bell palsy

Upload: nurulfitriantisah

Post on 14-Jan-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

neuro

TRANSCRIPT

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judulBells Palsy

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Islam FaisalPeriode 4 Mei 2015 31 Mei 2015

Disusun oleh:Muh. Yasdar Bahri (110 2011 0022)

Telah diterima dan disetujui oleh Dr. dr. Nadra Maricar, Sp.S selaku dokter pembimbing bagian neurologi RS Umum Islam Faisal.

Makassar, April 2015Mengetahui,

Dr.dr. Nadra Maricar, Sp.S

BAB ISTATUS PASIENNama Mahasiswa: Muh. Yasdar BahriNIM: 110 211 0022Dokter Pembimbing: Dr. dr. Nadra Maricar, Sp.S A. IDENTITASNama: Ny. RAgama: IslamUmur: 40 tahunAlamat : Manuruki 9 Jenis Kelamin: PerempuanSuku : BugisPekerjaan : Ibu rumah tanggaTgl. Masuk:16/05/15Status : Menikah Ruang: 115

B. ANAMNESISKeluhan Utama: Mulut mencong ke kiri Anamnesis Terpimpin: Informasi mengenai keluhan utamaDialami sejak 3 jam yang lalu secara tiba tiba saat bangun tidur. Pada saat kejadian pasien tidak demam dan dan tidak ada riwayat trauma sebelumnya. Selain itu pasien mengalami tegang pada leher.Informasi riwayat penyakit terdahulu (penyakit yang mungkin mendasari KU dan penyakit yang pernah diderita.Tidak ada riwayat hipertensi, tidak menderita penyakit DM namun ada riwayat keluarga mempunyai penyakit DM.

Anamnese sistematisDemam (-), Mual (+), Muntah (-), Demam (-), BAK dalam batas normal, BAB dalam batas normal.Anamnese tentang pekerjaan/keluarga/hobbi/ dan sebagainya.Pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga

C. PEMERIKSAAN FISIKKeadaan UmumKesadaran : Compos MentisKesan Sakit: Sakit SedangTanda Vital: Tekanan Darah : 120/80 mmHg Nadi: 88x/menit Pernapasan: 28x/menit Suhu: 36,5o CStatus Generalisa. Kulit: Kulit warna putih, Ikterus (-), Sianosis (-), turgor kulit Baik, teraba hangat.b. Kepala: Normocephali, rambut hitam dan distribusi merata Mata: Anemis (-), Ikterus (-) Hidung: Deformitas (-), secret (-) Telinga: Pendengaran dalam batas normal Mulut: Sudut bibir kiri dangkal, kering (-), Sianosis (-) Tenggorokan: Arcus faring simetrisc. Pemeriksaaan Leher Inspeksi: Tidak ada bekas trauma atau massa Palpasi: Tidak ada pembesaran KGB, tidak ada deviasi trakhea

d. Pemeriksaan ThoraksJantunga. Inspeksi : Tidak tampak iktus cordisb. Palpasi : Tidak teraba iktus cordisc. Perkusi : Batas jantung paru dalam batas normald. Auskultasi: Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, mur-mur (-)Parua. Inspeksi: Dinding thoraks simetris saat statis atau dinamis, retraksi otot dinding dada (-)b. Palpasi: Simetris antara kiri dan kananc. Perkusi: Sonor di kedua lapangan parud. Auskultasi: Suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

e. Pemeriksaan Abdomena. Inspeksi: Massa (-), Ascites (-)b. Palpasi: Tidak ada nyeri tekan. Massa abnormal (-)c. Perkusi: Dalam batas normald. Auskultasi: Peristaltik normal

f. Ekstremitas : Tidak ada bekas trauma, akral hangat.

Status NeurologisKesadaran: Compos MentisGCS: E4 M6 V5Gerakan Abnormal: Tidak adaa. Rangsangan Meningeal1. Kaku kuduk: Negatif2. Brudzinsky I : Negatif3. Brudzinsky II: Negatif4. Kernigs sign: Negatif 5. Laseque: Negatif b. Nervus Cranialis1. Nervus I (Olfactorius) : Normosmia2. Nervus II (Opticus)a. Visus : Tidak dilakukan pemeriksaanb. Warna : Tidak dilakukan pemeriksaanc. Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaand. Lapangan Pandang : Dalam batas normal3. Nervus III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducens)a. Gerakan bola mata: Mata kanan terganggub. Nistagmus: Positif, fase cepat kearah kanan, ada fase laten dan fase fatiguec. Ptosis: Tidak adad. Pupil: Anisokor. OD : 2,5mm OS : 2,5 mme. Refleks Pupil Langsung: + / + Tidak Langsung : + / +

4. Nervus V (Trigeminus)a. Sensorik N-V1 (Ophtalmicus): + N-V2 (Maxillaris): + N-V3 (Mandibularis): + b. Motorik : + c. Refleks kornea: + 5. Nervus VII (Facialis)a. Sensoris (indra pengecap): Tidak dilakukan pemeriksaanb. Motorik: Angkat Alis: Sebelah kanan tertinggal Menutup Mata: Mata kanan tidak tertutup Menggembungkan pipi: Pipi kanan terganggu Menyeringai: yang kanan tidak simetris6. Nervus VIII (Vestibulocochearis)a. PendengaranTest Rinne: Tidak dilakukan pemeriksaanTest Schwabach: Tidak dilakukan pemeriksaanTest Weber: Tidak dilakukan pemeriksaan7. Nervus IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)a. Refleks menelan: +b. Refleks Batuk: Tidak dilakukan pemeriksaanc. Refleks Muntah: Tidak dilakukan pemeriksaand. Posisi Uvula: Normal. Tidak ada deviasie. Posisi Arkus Faring: Simetris8. Nervus XI (Accesorius) Kekuatan M. Sternocleidomastoideus : Baik Kekuatan M. Trapezius : Baik9. Nervus XII (Hypoglossus)a. Tremor Lidah: Adab. Atrofi lidah: Tidak adac. Deviasi lidah: ke arah kanand. Fasikulasi: Tidak ada

c. Pemeriksaan Motorik1. Refleksa. Refleks FisiologisBiceps: + / + Triceps:: + / +Achilles: + / +Patella: + / +b. Refleks PatologisHofman-Tromner: - / -Babinsky: - / -Oppenheim: - / -Chaddock: - / -Gordon: - / - Schaffer: - / -2. Kekuatan otot 5 5 5 5

3. Tonus ototNN NN

d. Sistem Ekstrapiramidal1. Tremor: Tidak ditemukan selama pemeriksaan

e. Sistem Koordinasi1. Romberg test: Tidak dilakukan pemeriksaan2. Heel to toe Walking: Tidak dilakukan pemeriksaan3. Finger to nose test: Tidak dilakukan pemeriksaan4. Tes Pronasi -Supinasi: Tidak dilakukan pemeriksaan

f. Fungsi KortikalPemeriksaan Fungsi Kortikal Luhur Normal

g. Susunan Saraf OtonomBAB : LancarBAK: Lancar

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Penilaian EKGSinus: Sinus RitmeRegularitas: RegularHR: 100x/menitAxis: NormoaksisGel. P: NormalPR Interval: NormalQRS Kompleks: NormalGel. T : NormalKesan: EKG NormalE. RESUMEPasien masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Islam Faisal pada tanggal 16 Mei 2015 pukul 08.40 WITA dengan keluhan mulut mencong ke kanan. Keluhan ini sudah dirasakan sejak pukul 05.30 WITA. Keluhan ini dialami secara tiba tiba setelah bangun tidur. Pasien juga mengeluhkan tegang pada leher. Nausea (+), Vomiting (-), Kehilangan kesadaran (-). Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik status generalis tidak ditemukan adanya kelainan yang berarti . Dari pemeriksaam EKG dalam batas normal.

F. DIAGNOSISDiagnosis Klinik: Bells palsyDiagnosis topis: N.VII periferDiagnosis Etiologi: Idiopatik

Diagnosis Banding: Hemoragic StrokeG. TERAPI IVFD RL 20 tpm Berthy go 1amp/24jam/IM Ranitidin 1 amp/12 jam/IV Prednison tab 3x4

H. FOLLOW UPTanggalSOAP

17Mei2015Mulut masih mencong ke kiri TD: 120/100 mmHg HR: 76x/menit RR: 20 x/mnit S : 37oCGCS: E4M6V5Pupil isokor 2.5mm/2.5mmRCL +/+RCTL +/+Refleks Fisiologis NN

NN

Refleks Patologis--

--

MotorikGerakanNN

NN

KekuatanNN

NN

TonusNN

NN

Otonom :BAB/BAK: DbnBells palsy IVFD RL 20tpm Berthy go 1 amp/24 jam/IM Ranitidin 1amp/12 jam/IV

I. PROGNOSIS Ad Vitam: Ad BonamAd Fungsionam: Ad BonamAd Sanationam: Ad Bonam

J. PEMBAHASAN KASUSDari hasil data data yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat disimpulkan pasien mengalami Bells palsy. Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini berupa paresis atau paralisis fasial perifer yang terjadi tiba-tiba, bersifat unilateral tanpa penyebab yang jelas. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell, meskipun masih banyak kontroversi mengenai etiologi dan penatalaksanaannya, Bells palsy merupakan penyebab paralisis fasial yang paling sering di dunia.Insidensi Bells palsy di Amerika Serikat adalah sekitar 23 kasus per 100.000 orang. Insiden Bells palsy tampak cukup tinggi pada orang-orang keturunan Jepang, dan tidak ada perbedaan distribusi jenis kelamin pada pasien-pasien dengan Bells palsy. Usia mempengaruhi probabilitas kontraksi Bells palsy. Insiden paling tinggi pada orang dengan usia antara 15-45 tahun. Bells palsy lebih jarang pada orang-orang yang berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 60 tahun.(1)Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Permasalahan yang ditimbulkan Bells palsy cukup kompleks, diantaranya masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas profesi penderita, permasalahan kapasitas fisik (impairment) antara lain berupa asimetris wajah, rasa kaku dan tebal pada wajah sisi lesi, penurunan kekuatan otot wajah pada sisi lesi, potensial terjadi kontraktur dan perlengketan jaringan, potensial terjadi iritasi pada mata sisi lesi. Sedangkan permasahan fungsional (fungsional limitation) berupa gangguan fungsi yang melibatkan otot-otot wajah, seperti makan dan minum, berkumur, gangguan menutup mata, gangguan bicara dan gangguan ekspresi wajah. Semua hal ini dapat menyebabkan individu tersebut menjadi tidak percaya diri.Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengaha. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.b. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.c. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda timpani.Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu.

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.Diperkirakan, penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Penyebab edema dan iskemia ini sampai saat ini masih diperdebatkan. Dulu, paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bells palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bells palsy, karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa penelitian otopsi. Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bells palsy berat yang menjalani pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan local pada myelin.(2)Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius.Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.(3)

Diagnosis Bells palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bells palsy lesinya bersifat LMN.(4)

Penatalaksanaan Bellspalsy yaitu a. Agen antiviral.Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bells palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bells palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.(5)Nama obatAcyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan langsung melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara selektif.

Dosis dewasa4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatric< 2 tahun : tidak dianjurkan.> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obatPenggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas acyclovir terhadap SSP.

Kehamilan C keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah dilaporkan.

Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang bersifat nefrotoksik.

b. Kortikosteroid.Pengobatan Bells palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bells palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.Nama obatPrednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.

Dosis pediatricPemberian sama dengan dosis dewasa.

Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obatPemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis, penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan bersama glukokortikoid.

c. Perawatan mata.Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bells palsy. Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan pelindung mata.1. Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.2. Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.3. Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung dengan kornea.d. Konsultasi.Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut:1. Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.2. Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.3. Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.4. Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik untuk dilakukan pembedahan.Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.(6)Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23% kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

DAFTAR PUSTAKA1. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bells Palsy. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Accessed february 15, 2012.2. Holland, J. Bells Palsy. Brithis Medical Journal. 2008;01;1204.3. Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.4. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5th ed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163.5. Sjahrir, Hasan. Nervus Fasialis. Medan ;Yandira Agung, 2003. 6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed. George Thieme Verlag: German, 2003. 98-99.