beban kerja, stres kerja dan kepuasan kerja

51
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beban Kerja Workload atau beban kerja merupakan usaha yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi “permintaan” dari pekerjaan tersebut. Sedangkan kapasitas adalah kemampuan/kapasitas manusia. Kapasitas ini dapat diukur dari kondisi fisik maupun mental seseorang. Beban kerja yang dimaksud adalah ukuran (porsi) dari kapasitas operator yang terbatas yang dibutuhkan untuk melakukan kerja tertentu. Selain beban kerja fisik ,beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai. Namun demikian Tunjungsarilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan aktivitas fisik, karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) daripada kerja otot (Blue-collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsure 9

Upload: nurul-dzikrillah

Post on 01-Dec-2015

626 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

landasan teori

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Beban Kerja

Workload atau beban kerja merupakan usaha yang harus dikeluarkan oleh

seseorang untuk memenuhi “permintaan” dari pekerjaan tersebut. Sedangkan kapasitas

adalah kemampuan/kapasitas manusia. Kapasitas ini dapat diukur dari kondisi fisik

maupun mental seseorang.  Beban kerja yang dimaksud adalah ukuran (porsi) dari

kapasitas operator yang terbatas yang dibutuhkan untuk melakukan kerja tertentu.

Selain beban kerja fisik ,beban kerja yang bersifat mental harus pula dinilai.

Namun demikian Tunjungsarilaian beban kerja mental tidaklah semudah menilai beban

kerja fisik. Pekerjaan yang bersifat mental sulit diukur melalui perubahan fungsi faal

tubuh. Secara fisiologis, aktivitas mental terlihat sebagai suatu jenis pekerjaan yang

ringan sehingga kebutuhan kalori untuk aktivitas mental juga lebih rendah. Padahal secara

moral dan tanggung jawab, aktivitas mental jelas lebih berat dibandingkan dengan

aktivitas fisik, karena lebih melibatkan kerja otak (white-collar) daripada kerja otot (Blue-

collar). Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor,

supervisor dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih

besar. Menurut Grandjean (1993) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsure

persepsi, interpretasi dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ

sensor untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau.

2.2 Stres Kerja

2.2.1 Pengertian Stres Kerja

Perkataan stres berasal dari bahasa latin Stingere, yang digunakan pada abad XVII

untuk menggambarkan kesukaran, penderitaan dan kemalangan. “Stres adalah ketegangan

atau tekanan emosional yang dialami sesesorang yang sedang menghadapi tuntutan

yang sangat besar, hambatan-hambatan, dan adanya kesempatan yang sangat penting

yang dapat mempengaruhi emosi, pikiran dan kondisi fisik seseorang” (Hariandja

(2002:30) dalam Tunjungsari,2011).

9

10

“ Kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta

dikarakteristikkan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang

dari fungsi normal mereka” (Stephen P. Robbins terjemahan Benyamin Molan

(2006:796) dalam Tunjungsari,2011).

Stres adalah respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan

penyimpangan fisik, psikologis, dan atau perilaku pada anggota organisasi. Kesimpulan di

atas menunjukan adanya kondisi tertentu dalam lingkungan yang merupakan sumber

potensial bagi munculnya stres. Bagaimana bentuk stres yang dihayati tergantung dari

karakteristik yang unik dari individu yang bersangkutan serta penghayatannya tehadap

faktor-faktor dari lingkungan yang potensial memunculkan stres padanya, walaupun

hampir setiap kelompok orang dihadapkan pada jenis atau kondisi stres yang serupa,

tetapi hal ini akan menghasilkan reaksi yang berbeda, bahkan dalam menghadapi jenis

stres atau kondisi yang sama setiap individu dapat berbeda-beda pola reaksinya.

2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja

Menurut (A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2008:157) dalam Tunjungsari,2011)

berpendapat bahwa: “Penyebab stres kerja, antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu

berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang rendah, iklim kerja

yang tidak sehat, otoritas kerja yang tidak memadai yang berhubungan dengan tanggung

jawab, konflik kerja, perbedaan nilai antara karyawan dengan pemimpin yang frustasi

dalam kerja”.

T. Hani Handoko (2001:93) dalam Tunjungsari,2011, mengungkapkan bahwa

terdapat sejumlah kondisi kerja yang sering menyebabkan stres bagi para karyawan ,

diantaranya adalah:

1. Beban kerja yang berlebihan

2. Tekanan atau desakan waktu

3. Kualitas supervisi yang jelek

4. Iklim politis yang tidak aman

5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai

6. Kemenduaan peranan

7. Frustasi

11

8. Konflik antar pribadi dan antar kelompok

9. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan

10. Berbagai bentuk perusahaan.

2.2.2 Sumber Stres Kerja

Menurut Gibson dkk (1996) dalam Sriati,2008, yang menjadi sumber stres kerja

ada empat, diantaranya adalah :

a. Lingkungan fisik

Penyebab stres kerja dari lingkungan fisik berupa cahaya, suara, suhu, dan udara

terpolusi.

b. Tekanan individual

Stres kerja yang berasal dari tekanan individual sebagai penyebab stres kerja terdiri

dari :

1) Konflik peran

Stresor atau penyebab stres yang meningkat ketika seseorang menerima pesan-

pesan yang tidak cocok berkenaan dengan perilaku peran yang sesuai. Misalnya

adanya tekanan untuk bergaul dengan baik bersama orang-orang yang tidak

cocok.

2) Peran ganda

Untuk dapat bekerja dengan baik, para pekerja memerlukan informasi mengenai

apakah mereka diharapkan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Peran ganda adalah

tidak adanya pengertian dari seseorang tentang hak-hak khusus dan kewajiban-

kewajiban dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

3) Beban kerja berlebih

Ada dua tipe beban berlebih yaitu kuantitatif dan kualitatif. Memiliki terlalu

banyak sesuatu untuk dikerjakan atau tidak cukup waktu untuk menyelesaikan

suatu pekerjaan merupakan beban kerja berlebih yang bersifat kuantitatif. Beban

berlebih kualitatif terjadi ketika individu merasa tidak memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan pekerjaan mereka atau standar penampilan yang dituntut terlalu

tinggi.

12

4) Tidak adanya kontrol

Suatu stresor besar yang dialami banyak pekerja adalah tidak adanya

pengendalian atas suatu situasi. Sehingga langkah kerja, urutan keran kerja,

pengambilan keputusan, yang tepat, penetapan standar kualitas dan kendali jadwal

merupakan hal yang sangat penting untuk pedoman bagi karyawan.

5) Tanggung jawab

Setiap macam tanggung jawab bisa menjadi beban bagi beberapa orang, namun

tipe yang berbeda menunjukkan fungsi yang berbeda sebagai stresor.

c. Kelompok

Keefektifan setiap organisasi dipengaruhi oleh sifat hubungan diantara kelompok.

Karakteristik kelompok menjadi stresor yang kuat bagi beberapa individu.

Ketidakpercayaan dari mitra menyebabkan komunikasi antara anggota kelompok

menjadi terganggu. Dengan kata lain adanya hubungan yang buruk dengan rekan,

atasan dan bawahan menyebabkan stres kerja pada karyawan tersebut.

d. Organisasional

Adanya desain struktur organisasi yang jelek dan politik yang tidak sehat bisa

menyebabkan stres kerja pada karyawan.

Adapun sumber stres kerja menurut Cooper & Straw (1995) dalam Sriati,2008 ada

enam, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Kondisi pekerjaan

Stres kerja terjadi karena kondisi pekerjaan diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab stres kerja. Jika ruang

kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruang kerja terlalu

padat, ruang kerja kotor,dan bising, tentu besar pengaruhnya pada kenyamanan

kerja karyawan, sehingga karyawan menjadi gampang jatuh sakit.

2) Overload. Overload dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan

overload secara kuantitatif, jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi

kapasitas karyawan. Akibatnya karyawan mudah lelah dan berada dalam tegangan

tinggi. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan

sulit, sehingga menyita kemampuan karyawan.

13

3) Deprivational stres. Kondisi pekerjaan tidak lagi menantang, atau tidak lagi

menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan dan

ketidakpuasan kerja.

4) Adanya keputusan yang harus dibuat oleh seseorang. Stres terjadi ketika

seseorang ditekan untuk memutuskan apa yang harus dia lakukan dengan segera

dalam kondisi kritis atau tidak ketika kekurangan sumber daya manusia.

5) Jadwal bekerja. Jadwal kerja yang tidak sesuai dengan kondisi pekerja, adanya

lembur, kerja saat terik matahari atau yang lainnya menyebabkan karyawan

mudah mengalami stres kerja.

6) Technostress. Stres kerja ditimbulkan karena karyawan belum menguasai

penggunaan alat canggih berteknlogi tinggi. Misalnya, komputer.

b. Stres karena peran

Stres kerja terjadi karena karyawan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen

atau organisasi. Akibatnya sering muncul ketidakpuasan kerja, ketegangan,

menurunnya prestasi hingga akhirnya timbul keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Kaum wanita diprediksikan mengalami stres kerja yang lebih tinggi dibandingkan

dengan kaum pria. Karena wanita dihadapkan pada konflik peran sebagai wanita

pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Adanya bias dalam membedakan gender

dan stereotype peran gender pun menyebabkan stres kerja. Pria biasanya dinilai

sebagai sosok yang lebih unggul daripada wanita. Karena itu wanita lebih inferior

dibanding pria. Selain itu juga, wanita lebih sering menjadi korban pelecehan seksual

oleh rekan kerja dibandingkan pria, sehingga hal ini menyebabkan wanita mengalami

tekanan.

c. Pengembangan karier

Setiap orang punya harapan ketika mulai bekerja. Namun cita-cita dan perkembangan

karier banyak yang tidak sesuai harapan. Misalnya terjadi penurunan jabatan (demosi)

ke jabatan yang lebih rendah. Tetapi juga stres kerja bisa terjadi karena adanya

kenaikan jabatan (promosi) ke jabatan yang lebih tinggi. Stres kerja pada jabatan

tinggi, dikarenakan tugas dan tanggung jawab akan semakin besar. Stres kerja juga

disebabkan oleh ambisi yang berlebihan yang dimiliki karyawan, jika ambisi itu tidak

terpenuhi maka akibatnya sering mengakibatkan frustasi.

14

d. Hubungan interpersonal

Setiap karyawan berhubungan dengan karyawan lain, baik itu dengan rekan kerja,

atasan maupun bawahan. Kesemua hubungan tersebut akan menimbulkan konflik atau

pertentangan, sehingga karyawan mengalami apa yang disebut dengan stres kerja.

Sistem dukungan sosial yang buruk, menyebabkan karyawan tidak betah dengan iklim

kerja di perusahaan. adanya persaingan politik untuk menduduki jabatan tertentu akan

menimbulkan kecemburuan dan kemarahan antar karyawan. Selain itu, kurangnya

perhatian dari pihak manajemen terhadap karyawan akan menyebabkan stres kerja.

e. Struktur organisasi

Gambaran perusahaan yang diwarnai dengan struktur organisasi yang tidak jelas,

kurangnya kejelasan mengenai jabatan, peran, wewenang dan tanggung jawab, aturan

main yang terlalu kaku atau tidak jelas, iklim politik perusahaan yang tidak sehat,

pengawasan dan pelatihan yang tak seimbang, serta minimnya keterlibatan dalam

membuat keputusan akan menyebabkan karyawan mengalami stres kerja.

f. Faktor urusan rumah-pekerjaan

Stres kerja dapat terjadi karena karyawan mencampuradukkan masalah pekerjaan

dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari pasangan hidup dan anak-anak,

maupun karena adanya konflik pernikahan. Stres kerja juga bisa diakibatkan karena

memiliki dua pekerjaan, akibatnya karyawan kebingungan menentukan prioritas antara

pekerjaan satu dengan pekerjaan yang lainnya.

Manuaba (2005) dalam Sriati,2008, menyebutkan bahwa stres kerja bersumber

dari hal-hal seperti berikut ini :

a. Tuntutan pekerjaan terlalu berat atau terlalu rendah

b. Pekerja tidak punya hak.tidak diikutkan dalam mengorganisis pekerjaan mereka.

c. Dukungan rendah dari manajemen dan teman sekerja.

d. Konflik karena tuntutan yang tinggi seperti tercapaian kualitas dan produktivitas.

Prabu (1993:93) dalam Sriati,2008 mengungkapkan bahwa stres kerja dapat

bersumber dari beban kerja yang dirasakan terlalu berat waktu kerja yang mendesak,

kualitas pengawasan yang rendah, iklim kerja yang tidak menentu, konflik kerja,

perbedaan nilai antara karyawan dengan perusahaan, dan frustasi yang dialami karyawan.

15

Sedangkan Sunyoto (2001:381) dalam Sriati,2008, mengelompokkan faktor-faktor

yang menjadi sumber terjadinya stes kerja diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan

Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan meliputi tuntutan fisik dan tuntutan tugas.

Tuntutan fisik berupa bising, dan vibrasi (getaran). Sedangkan tuntutan tugas mencakup :

1) Beban kerja

Beban kerja berlebih atau beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres

kerja pada karyawan.

2) Paparan terhadap resiko kerja

Resiko dan bahaya dikaitkan dengan jabatan tertentu merupakan sumber stres.

Makin besar kesadaran akan bahaya daam pekerjaannya makin besar depresi dan

kecemasan pada tenaga kerja.

b. Peran individu dalam organisasi

Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai

dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya. Namun tenaga

kerja tidak selalu berhasil memainkan perannya sehingga timbul :

1) Konflik peran

2) Ketidakjelasan peran

Ketidakjelasan peran dirasakan jika seseorang tenaga kerja tidak memilikicukup

infrmasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau tidak

merealisasikan harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu.

3) Pengembangan karier

Pengembangan karier merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup

ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan promosi yang kurang.

4) Hubungan dalam pekerjaan

Harus hidup dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang

penuh stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja

dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi.

5) Struktur dan iklim organisasi

16

Kepuasan dan ketidakpastian kerja berkaitan dengan Tunjungsarilaian dari

struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang ditemui terpusat pada sejauh mana

tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta dalam organisasi.

6) Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan

Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan

seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja

di dalam satu organisasi dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu.

Isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan

pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan

tuntutan perusahaan semuanya dapat merupakan tekanan pada idividu dalam

pekerjaannya.

Sarafino (1994) dalam Sriati,2008 membagi sumber stres kerja menjadi empat

sumber, yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Lingkungan fisik yang terlalu menekan seerti kebisingan, temperature atau panas yang

terlalu tinggi, udara yang lembab, penerangan di kantor yang kurang terang.

b. Kurangnya kontrol yang dirasakan.

c. Kurangnya hubungan interpersonal

d. Kurangnya pengakuan terhadap kemajuan kerja (Penghargaan) . Para pekerja akan

merasa stres bila mereka tidak mendapatkan promosi yang selayaknya mereka terima.

Sedangkan menurut Igor (1997) dalam Sriati,2008. Stres kerja bersumber dari hal-

hal sebagai berikut :

a. Intimidasi dan tekanan dari rekan sekerja, pimpinan perusahaan dank lien.

b. Perbedaan antara tuntutan dan sumber daya yang ada untuk melaksanakan tugas dan

kewajiban.

c. Ketidakcocokan dengan pekerjaan.

d. Pekerjaan yang berbahaya, membuat frustasi, membosankan atau berulang-ulang.

e. Beban lebih.

f. Faktor-faktor yang diterapkan oleh diri sendiri seperti target dan harapan yang tidak

realistis, kritik dan dukungan terhadap diri sendiri.

17

2.2.3 Gejala Stres Kerja

Menurut Sunyoto (2001) dalam Sriati,2008, gejala-gejala stres kerja tampak pada

hal-hal seperti berikut ini :

a. Tanda-tanda suasana hati (mood)

Tanda-tanda suasana hati berupa cemas, merasa tidak pasti, sulit tidur di malam hari,

menjadi mudah bingung dan lupa, menjadi sangat tidak enak dan gelisahm serta menjadi

mudah gugup.

b. Tanda-tanda otot kerangka (musculoskeletal)

Berupa jari-jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat,

mengembangkan tic (gerakan tidak sengaja), kepala mulai sakit, merasa otot menjadi

tegang atau kaku, menggangap ketika bicara dan leher menjadi kaku.

c. Tanda-tanda pada organ-organ dalam (viseral)

Berupa perut terganggu, merasa jantung berdebar, banyak keringat, tangan berkeringat,

merasa kepala ringan atau akan pingsan mengalami kedinginan, wajah mulai menjadi

panas, mulut menjadi kering, dan mendengar bunyi bordering dalam telinga.

Adapun Igor (1997) dalam Sriati,2008 menyatakan beberapa gejala-gejala stres

kerja sebagai berikut:

a. Menolak perubahan.

b. Produktivitas dan efisiensi berkurang.

c. Kehilangan motivasi, ingatan, perhatian, tenggang rasa dan pengendalian.

d. Kurang tidur, kehilangan nafsu makan.

e. Tidak menyukai tempat kerja dan rekan kerja.

Adapun Cooper & Straw dalam Sriati,2008 membagi gejala stres kerja menjadi

tiga bagian yaitu diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Gejala fisik

Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup : nafas memburu, mulut dan

kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pemcernaan terganggu,

diare, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala, salah urat, dan gelisah.

b. Gejala-gejala dalam wujud perilaku

18

Banyak gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, diantaranya adalah sebagai

berikut :

1) Perasaan, berupa : bingung, cemas, sedih, jengkel,salah paham, tak berdaya, tak

mampu berbuat apa-apa, gelisah, dan kehilangan semangat.

2) Kesulitan dalam : berkonsentrasi, berfikir jernih, dan membuat keputusan.

3) Hilangnya : kreativitas, gairah dan minat terhadap sesuatu.

c. Gejala-gejala di tempat kerja

Adapun gejala-gejala di tempat kerja dapat dilihat pada hal-halberikut ini, yang

diantaranya adalah :

1) Kepuasan kerja rendah.

2) Kinerja menurun.

3) Semangat dan energi hilang.

4) Komunikasi tidak lancar.

5) Pengambilan keputusan jelek.

6) Kreativitas dan inovasi berkurang.

7) Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.

2.2.4 Dampak Stres Kerja

Menurut Cox (dalam Sriati,2008) stres kerja pada karyawan dapat berdampak

pada :

a. Sifat subyektif karyawan, berupa kekhawatiran atau ketakutan, agresi, apais, rasa

bosan, depresi, keletihan, frustasi, kehilangan kendali emosi, penghargaan diri yang

rendah, gugup dan kesepian.

b. Perilaku, berupa mudah mendapat kecelakaan, kecanduan alcohol, penyalahgunaan

obat, luapan emosional, makan atau merokok secara berlebihan, perilaku impulsive dan

gugup.

c. Kognitif, berupa ketidakmampuan untuk membuat keputusan yang masuk akal, daya

konsentrasi rendah, kurang perhatian, sangat sensitive terhadap kritik dan adanya

hambatan mental.

d. Fisiologis, berupa kandungan glukosa darah meningkat, denyut jantung dan tekanan

darah meningkat, mulut kering, berkeringat dan bola mata melebar.

19

e. Organisasi berupa angka ketidakhadiran karyawan meningkat, omset menurun,

produktivitas kerja jadi rendah, terasing dari mitra kerja, komitmen organisasi dan

loyalitas menjadi berkurang.

Menurt Tarupolo (2002) dalam Sriati,2008, tenaga kerja yang tidak mampu

bereaksi secara baik terhadap stres yang dialami, kesehatan jiwanya akan terganggu dan

karenanya kualitas hidup dan produktivitasnya menjadi rendah. Karyawan tersebut akan

menunjukkan :

a. Sering mengeluh sakit dan berobat.

b. Malas dan sering mangkir.

c. Sering membuat kesalahan dalam pekerjaan dan cenderung mengalami kecelakaan

kerja.

d. Sering marah dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik.

e. Tidak peduli dengan lingkungan, bingung dan pelupa.

f. Cara pandang yang negative dan rasa permusuhan.

h. Terlibat dalam penyalahgunaan narkoba.

Igor (1997) dalam Sriati,2008 menyatakan beberapa dampak stres kerja pada

karyawan diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Sering tidak masuk kerja.

b. Semangat dan produktivitas yang rendah.

c. Kepuasan kerja yang rendah.

d. Tidak betah di tempat kerja.

Menurut Retnaningtyas (2005), stres kerja dapat juga mengakibatkan hal-hal

sebagai berikut :

a. Dampak terhadap perusahaan

Di bawah ini adalah beberapa dampak yang disebabkan stres kerja, diantaranya adalah:

1) Terjadinya banyak kekacauan, baik dalam manajemen maupun operasional kerja.

2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.

3) Menurunnya tigkat produktivitas.

4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan.

b. Dampak terhadap individu

Munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan :

20

1) Kesehatan

Banyak penelitian menentukan bahwa stres berdampak terhadap kesehatan,

seperti sakit jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi dan

beberapa penyakit lainnya.

2) Psikologis

Stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang

terus-menerus. Ini disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerogoti dan

mengjancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara

perlahan-lahan.

3) Interaksi interpersonal

Orang yang sedang stres akan lebih sensitif dibandingkan orang yang tidak

dalam kondisi stres. Oleh karena itu sering salah persepsi dalam membaca dan

mengartikan suatu keadaan, pendapat dan Tunjungsarilaian, kritik, nasihat,

bahkan perilaku orang lain.pad atingkat stres yang berat, orang bisa menjadi

depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri.

2.3 Hubungan Beban Kerja dan Stres Kerja

Beban kerja/workload adalah bagian dari pekerjaan yang biasa dikenal sebagai

“tekanan kerja” yang selama ini telah mendapatkan perhatian yang besar dari para

peneliti. Terdapat 4 jenis beban kerja yang dapat menyebabkan stres, yaitu Quantitative

Overload, Qualitative overload, Quantitative Underload dan Qualitative Underload. 

Quantitative overload : terlalu banyak yang harus dilakukan dalam pekerjaan,

pekerjaan yang terlalu banyak dibarengi dengan adanya tekanan waktu.

Qualitative underload : kurangnya variasi stimulus dalam pekerjaan, tidak ada

tuntutan atas kreatifitas dan pemecahan masalah, rendahnya kesempatan untuk

interaksi sosial dan pekerjaan.

 Quantitative Underload : terjadi ketika sebuah pekerjaan terlalu sedikit untuk

dikerjakan

 Qualitative Overload: terjadi ketika sebuah pekerjaan dianggap terlalu sulit untuk

dikerjakan

21

Terdapat dua jenis beban kerja yang paling penting untuk dipelajari,yaitu

Quantitative overload dan Qualitative underload. Hal ini dikarenakan kedua jenis beban

kerja itulah yang paling sering terjadi pada dunia kerja. Tidak hanya kelebihan atau

kekurangan beban kerja, namun pekerjaan yang sering dianggap membosankan dan

dilakukan secara berulang-ulang, seperti pekerjaan pada pabrik perakitan mobil atau

memasukan data computer, juga cenderung meningkatkan tingkat stres pegawai (Karasek

& Theorell, 1990 dalam Kautsar,2012). Pekerjaan yang sama tersebut juga sering

membuat pekerja merasa terisolasi dari para rekannya.

Reid dan Nygren (dalam Kautsar,2012) mendefinisikan beban kerja melalui tiga

dimensi yaitu penuhnya waktu, tingginya usaha mental yang dilakukan, dan stres

psikologis yang menyertai individu saat melakukan pekerjaan Aspek-aspek beban kerja

antara lain :

1. penuhnya waktu (timeload) yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan meliputi

jarangnya waktu senggang, bertumpuknya kegiatan yang berdekatan, target kerja

yang tinggi dalam waktu yang cukup singkat   

2. penuhnya usaha mental (mental effort) yang dilakukan untuk melakukan

pekerjaan tersebut meliputi kompleksitas pekerjaan, konsentrasi tinggi, tugas-

tugas yang sukar diprediksi

3. penuhnya stres (stres load) yang muncul karena pekerjaan tersebut, meliputi

konflik, resiko, tuntutan akan kontrol diri, perasaan tidak aman dan terganggu

22

2.4 Kepuasan Kerja

2.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli bahwa kepuasan kerja adalah suatu

sikap yang dimiliki oleh seseorang mengenai pekerjaan yang dihasilkan dari persepsi

mereka terhadap pekerjaannya.

Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap

individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai

yang berlaku pada dirinya. Kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan

seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam

bekerja.

Kepuasan kerja adalah seperangkat perasaan pegawai tentang

menyenangkan atau tidaknya pekerjaan mereka (Umar, 2008: 37 dalam

Tunjungsari,2011). Kepuasan kerja menunjukkan kesesuaian antara harapan seseorang

yang timbul dan imbalan yang disediakan perusahaan.

Menurut Fathoni (2006:128 dalam Tunjungsari,2011) kepuasan kerja adalah sikap

emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Sikap ini dicerminkan oleh

moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan ini dinikmati dalam pekerjaan, luar

pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan.

Kepuasan kerja dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam

memperoleh pujian hasil kerja yang baik. Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan

kerja dalam pekerjaan akan lebih mengutamakan pekerjaan dari pada balas jasa walaupun

balas jasa itu penting.

Kepuasan di luar pekerjaan adalah kepuasan kerja karyawan yang dinikmati

di luar pekerjaan dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar

dia dapat membeli kebutuhan-kebutuhannya.

Kepuasan kerja, kombinasi dalam dan luar pekerjaan adalah kepuasan kerja

yang mencerminkan sikap emosional yang seimbang antara jasa dengan pelaksanaan

pekerjaannya.

23

2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Stephen P. Robbins (2001:149 dalam Tunjungsari ,2011)

mengemukakan bahwa variabel-variabel yang berhubungan dengan kepuasan

kerja adalah: "Mentality challenging, equitable rewards, supportive working

condition, and supportive colleagues". Mentality Challenging (kerja yang secara mental

menantang), karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi

mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka, dan

menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka

bekerja. Equitable rewards (ganjaran yang pantas), karyawan menginginkan system upah

dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan

dan segaris dengan pengharapan mereka. Supportive working (Kondisi kerja yang

mendukung), karyawan sangat memperhatikan faktor-faktor lingkungan kerja

seperti kenyamanan bekerja. Studi fisik mengatakan bahwa karyawan lebih suka

lingkungan fisik yang tidak berbahaya dan nyaman. Supportive colleagues (Rekan kerja

yang mendukung), karyawan tidak hanya membutuhkan uang dan sesuatu yang dapat

diukur. Pada dasarnya karyawan membutuhkan teman sebagai interaksi sosial dan

bahkan pimpinan yang dapat bekerja sama dengan karyawan.

Sedangkan Malayu S. P Hasibuan (2002:203) dalam Tunjungsari,2011

mengemukakan bahwa kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh:

1. Balas jasa yang adil dan layak

2. Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian

3. Berat ringannya pekerjaan

4. Suasana dan lingkungan pekerjaan

5. Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan

6. Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya

7. Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

Menurut Siagian (1995 dalam Tunjungsari,2011) ada empat faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :

24

1. Pekerjaan yang penuh tantangan

Pekerja ingin melakukan pekerjaan yang menuntut imajinasi, inovasi, dan

kreativitas. Pekerja ingin mendapat tugas yang tidak terlalu mudah sehingga

penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa mengerahkan segala ketrampilan,

tenaga, dan waktu yang tersedia baginya. Sebaliknya, pekerja juga tidak

menginginkan pekerjaan yang terlalu sukar, yang memungkinkan hasilnya kecil,

walaupun telah mengerahkan segala kemampuan, ketrampilan, waktu, dan

tenaga yang dimilikinya karena akan menyebabkan dirirnya frustasi jika

berlangsung secara terus-menerus.Apabila untuk jangka waktu yamg lama, pasti

berakibat pada tingkat kepuasan kerja yang rendah.

2. Sistem penghargaan yang adil

Seseorang akan merasadiperlakukan secara adil apabila perlakuan itu

menguntungkannya dan sebaliknya jika merasa tidak adil, apabila pelakuan itu

dilihatnya sebagai suatu hal yang merugikan. Dalam kehidupan bekerja,

presepsi itu dikaitkan dengan berbagai hal :

a. Soal pengupahan dan penggajian

Upah atau gaji adalah imbalan yang diterima oleh seseorang dari organisasi atas

jasa yang diberikannya baik berupa waktu, tenaga, keahlian, atau ketrampilan.

Biasanya seseorang melihat upah atau gaji itu dengan beberapa perbandingan,

seperti:

1) Perbandingan pertama dikaitkan dengan harapan seseorang berdasarkan

tingkat pendidikan, pengalaman, masa kerja, jumlah tanggungan, status

sosial, dan kebutuhan ekonomisnya.

2) Perbandingan kedua dikaitkan dengan orang lain dalam organisasi

terutama mereka yang memiliki karakteristik yang serupa dengan pembanding

dan melakukan pekerjaan yang sejenis serta memikul tanggung jawab

yang profesional yang relatif sama. Jika terdapat perbedaan diantara

upah dan gaji seseorang dengan rekannya yang menurut pandangannya

memilki karakteristik yang sejenis, hal itu dipandang sebagai suatu hal

yang tidak adil.

25

3) Perbandingan ketiga dikaitkan dengan para pekerja di organisasi lain di

kawasan yang sama, terutama organisasi yang bergerak di bidang / dalam

kegiatan yang sejenis dengan organisasidimana seseorang tersebut bekerja.

4) Perbandingan keempat dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan,

teruatama yang menyangkut tingkat upah minimum yang dibanyak negara

sudah diatur dengan perundang-undangan.

5) Perbandingan kelima dikaitkan dengan apa yang diterima seseorang dalam

bentuk upah atau gaji dengan kemampuan organisasi

b. Sistem promosi

Setiap organisasi harus mempunyai kejelasan tentang peningkatan

karier yang mungkin dinaiki oleh seseorang apabila berbagai kriteria persyaratan

yang telah ditetapkan terpenuhi dengan baik. Apabila menurut presepsi seseorang

promosi dalam organisasi tidak didasarkan pada pertimbangan obyektif, tetapi

didasarkan pada pertimbangan subyektif, seperti personal likes and dislikes,

kesukuan, dan asal daerah akan timbul perasaan diperlakukan secara tidak adil.

2.4.3 Hubungan Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja

Penelitian yang dilakukan Caplan dan kawan-kawan terhadap 2000 pekerja dari

23 jabatan di Amerika Serikat, Fraser, 1985 (dalam Leila, 2002: 10) menarik kesimpulan

bahwa lingkungan stres yang dirasakan secara subyektif lebih berperan sebagai penentu

ketegangan daripada lingkungan itu sendiri, dan bahwa reaksi subyektif seperti

kecemasan, kemarahan, tekanan mental, dan gangguan-gangguan psikosomatis berkaitan

erat satu sama lainnya dan tampaknya lebih dipengaruhi oleh ketidakpuasan terhadap

pekerjaan daripada oleh sifat-sifat pekerjaan itu sendiri. Lebih jauh lagi, dijelaskan

bahwa unsur-unsur yang sama, yang identik dengan pembangkit stres, juga ditetapkan

sebagai penyebab ketidakpuasan.

Robert R. Holt, 1982 dalam Anitawidanti (2010) menyatakan bahwa “Job

satisfaction is eudently highly relevant to occupational stress and its pathogenics effects”

Konsekuensi stres dapat dibagi ke dalam tiga kategori umum yaitu gejala fisiologis,

psikologis, dan perilaku (Robbins, 2007: 800). Gejala fisiologis lebih mengarah pada

perubahan metabolismen meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan

tekanan darah, menimbulkan sakit kepala, hingga menyebabkan serangan jantung.

26

Hubungan antara stres dan gejala fisiologis tertentu tidaklah jelas, jikalau ada pasti

hanya sedikit hubungan yang konsisten. Ini terkait dengan kerumitan gejala-gejala itu

dan kesulitan untuk secara objektif mengukurnya.

Ditinjau dari gejala psikologis, stres dapat menyebabkan ketidakpuasan. Stres

yang berkaitan dengan pekerjaan dapat menimbulkan ketidakpuasan yang berkaitan

dengan pekerjaan. Itulah “dampak psikologis yang paling sederhana dan paling jelas”

dari stres. Stres juga dapat muncul dalam keadaan psikologis lain, misalnya ketegangan,

kecemasan, mudah marah, kebosanan, dan suka menunda- nunda. Terbukti bahwa bila

orang ditempatkan dalam pekerjaan yang mempunyai tuntutan ganda dan berkonflik atau

di tempat yang tidak ada kejelasan mengenai tugas, wewenang, dan tanggungjawab

pemikul pekerjaan, stres dan ketidakpuasan kerja akan meningkat. Semakin sedikit

kendali yang dipegang orang atas kecepatan kerja mereka, makin besar stres dan

ketidakpuasan.

Walaupun diperlukan lebih banyak riset untuk memperjelas hubungan itu

bukti mengemukakan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang memberikan keragaman, nilai

penting, otonomi, umpan balik, dan identitas pada tingkat yang rendah ke pemangku

pekerjaan akan menciptakan stres dan mengurangi kepuasan serta keterlibatan dalam

pekerjaan itu. Gejala perilaku sebagai konsekuensi dari stres mencakup perubahan

produktivitas, absensi, tingkat keluar-masuknya karyawan, kebiasaan makan,

meningkatnya merokok, bicara cepat, gelisah, dan gangguan tidur. Straus dan Sayles,

1980 (dalam Handoko, 2008: 196) mengemukakan bahwa kepuasan kerja juga penting

untuk aktualisasi diri.

Karyawan yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai

kematangan psikologis dan pada gilirannya akan menjadi frustasi. Karyawan seperti

ini akan sering melamun, mempunyai semangat kerja yang rendah, cepat lelah, dan

bosan, emosinya tidak stabil, sering absen, dan melakukan kesibukan yang tidak ada

hubungannya dengan pekerjaan yang harus dilakukan.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Leila (2002: 12) dalam Anitawidanti

2010 dari jurnal yang berjudul stres kerja dan kepuasan kerja disimpulkan bahwa stres

dan kepuasan kerja mempunyai hubungan timbal-balik. Kepuasan kerja dapat

27

meningkatkan daya tahan individu terhadap stres dan dampak-dampak stres dan

sebaliknya, stres yang dihayati oleh individu dapat menjadi sumber ketidakpuasan.

Penelitian yang dilakukan oleh Brewer dan Jama McMahan Landers (2003: 37)

dari University of Tennessee yang ditulis dalam jurnal Career and Technical Education

berjudul The Relationship Between Job Stress and Job Satisfaction Among Industrial and

Technical Teacher Educators bahwa terdapat hubungan yang kuat antara stres kerja

dengan kepuasan kerja setelah diuji dengan menggunakan analisis korelasional. Mohajeri

dan Nelson (2009: 02) dalam Anitawidanti,2010 mengemukakan dalam jurnal yang

ditulisnya berjudul Stress Level and Job Satisfaction: Does A Causal Relationship Exist?

bahwa “although many factors, such as rate of pay, job security, and benefits, have been

correlated with the level of job satisfaction, many researchers have demonstrated that an

increase in stress level is associated with a decrease in job satisfaction” (e.g., Spector,

1997; Murphy and Schoenborn, 1989; Benner, 1984 dalam Mohajeri dan Nelson, 2009:

02), sehingga dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat stres dihubungkan dengan

penurunan kepuasan kerja dan sebaliknya.

2.5 Metode NASA-TLX (Nasa Task Load Index)

Metode pengukuran beban kerja mental subyektif yang populer digunakan adalah

metode NASA-TLX (NASA Task Load Index). Metode NASA-TLX dikembangkan oleh

Sandra G. Hart dari NASA-Ames Research Center serta Lowell E. Staveland dari San

Jose State University pada tahun 1981 (Hancock dan Meshkati, 1988) dalam

Simanjuntak,2010. Metode ini berupa kuesioner dikembangkan berdasarkan munculnya

kebutuhan pengukuran subjektif yang lebih mudah tetapi lebih sensitif pada pengukuran

beban kerja. Metode NASA-TLX merupakan prosedur rating multi dimensional, yang

membagi workload atas dasar rata-rata pembebanan 6 dimensi, yaitu Mental Demand,

Physical Demand, Temporal Demand, Effort, Own Performance, dan Frustation. NASA-

TLX dibagi menjadi dua tahap, yaitu perbandingan tiap skala (Paired Comparison) dan

pemberian nilai terhadap pekerjaan (Event Scoring).

Metode pengukuran dengan NASA-TLX ini banyak digunakan dibandingkan

metode obyektif karena cukup sederhana dan tidak membutuhkan banyak waktu serta

biaya. Peneliti cukup membuat kuesioner dan menyebarkannya pada para pekerja dalam

28

yang akan diukur beban mentalnya. Perlu digarisbawahi bahwa yang diukur disini

merupakan beban kerja dari jenis pekerjaannya, bukan beban kerja yang dimiliki oleh

masing-masing pekerja. 

Hancock dan Meshkati (1988) dalam Simanjuntak,2010 menjelaskan langkah-

langkah dalam pengukuran beban kerja mental dengan menggunakan metode NASA-

TLX.

1. Penjelasan indikator beban mental yang akan diukur

Tabel 2.1 Indikator Beban Mental pada NASA-TLX

SKALA RATING KETERANGANMental Demand (MD)

Rendah,Tinggi Seberapa besar aktivitas mental danperceptual yang dibutuhkan untuk melihat, mengingat dan mencari. Apakah pekerjaan tsb mudah atau sulit, sederhana atau kompleks, longgar atau ketat .

Physical Demand(PD)

Rendah, Tinggi Jumlah aktivitas fisik yangdibutuhkan (mis.mendorong, menarik, mengontrol putaran, dll)

Temporal Demand(TD)

Rendah, tinggi Jumlah tekanan yang berkaitandengan waktu yang dirasakan selama elemen pekerjaan berlangsung. Apakah pekerjaan perlahan atau santai atau cepat dan melelahkan

Performance (OP) Tidak tepat,Sempurna

Seberapa besar keberhasilanseseorang di dalam pekerjaannya dan seberapa puas dengan hasil kerjanya

Frustration Level(FR)

Rendah,tinggi Seberapa tidak aman, putus asa,tersinggung, terganggu, dibandingkan dengan perasaan aman, puas, nyaman, dan kepuasan diri yang dirasakan.

29

Effort (EF) Rendah, tinggi Seberapa keras kerja mental danfisik yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan

Sumber : Jurnal Analisis Beban kerja mental dengan metode NASA-Task Load Index, Risma

Adelina Simanjuntak, Agustus 2010

2. Pembobotan

Pada bagian ini responden diminta untuk melingkari salah satu dari dua indikator

yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental terhadap pekerjaan

tersebut. Kuesioner NASA-TLX yang diberikan berupa perbandingan berpasangan. Dari

kuesioner ini dihitung jumlah tally dari setiap indikator yang dirasakan paling

berpengaruh.  Jumlah tally menjadi bobot untuk tiap indikator beban mental.

3. Pemberian Rating

Pada bagian ini responden diminta memberi rating terhadap keenam indikator

beban mental. Rating yang diberikan adalah subyektif tergantung pada beban mental yang

dirasakan oleh responden tersebut. Untuk mendapatkan skor beban mental NASA-TLX,

bobot dan rating untuk setiap indikator dikalikan kemudian dijumlahkan dan dibagi

dengan 15 (jumlah perbandingan berpasangan).

4. Menghitung nilai produk

Diperoleh dengan mengalikan rating dengan bobot faktor untuk masing-masing

deskriptor. Dengan demikian dihasilkan 6 nilai produk untuk 6 indikator (MD, PD, TD,

CE, FR, EF)

Produk = rating x bobot faktor

5. Menghitung Weighted Workload (WWL)

Diperoleh dengan menjumlahkan keenam nilai produk

30

6. Menghitung rata-rata WWL

Diperoleh dengan membagi WWL dengan jumlah bobot total

7. Interpretasi Skor

Berdasarkan penjelasan Hart dan Staveland (1981) dalam teori NASA-TLX, skor

beban kerja yang diperoleh terbagi dalam tiga bagian yaitu pekerjaan menurut para

responden tergolong agak berat jika nilai >80, nilai 50-80 menyatakan beban pekerjaan

sedang, sedangkan nilai <50 menyatakan beban pekerjaan agak ringan.

Output yang dihasilkan dari pengukuran dengan NASA-TLX ini berupa tingkat beban

kerja mental yang dialami oleh pekerja. Hasil pengukuran ini bisa menjadi pertimbangan

manajemen untuk melakukan langkah lebih lanjut, misalnya dengan mengurangi beban

kerja untuk pekerjaan yang memiliki skor di atas 80, kemudian mengalokasikannya pada

pekerjaan yang memiliki beban kerja di bawah 50 atau langkah-langkah yang lainnya.

31

2.6 Minnesota Satisfaction Questionarre

Minnesota Satisfaction Questionarre (MSQ) ini dikembangkan oleh Weiss,

Dawis dan England pada tahun 1967. MSQ merupakan kuesioner yang mengukur

kepuasan kerja dengan 20 aspek kepuasan kerja sebagai berikut :

Tabel 2.2 20 Aspek Kepuasan Kerja MSQ

Aspek ke- Keterangan

1 Penggunaan kemampuan

2 Prestasi

3 Keaktifan dalam bekerja

4 Otoritas

5 Kreatifitas

6 Kemandirian

7 Tanggung jawab

8 Variasi pekerjaan

9 Perasaan aman

10 Penghargaan

11 Promosi

12 Kompensasi

13 Penerapan kebijakan

14 Gaya kepemimpinan atasan

15 Kemampuan atasan

16 Teman kerja

17 Pelayanan sosial

18 Status sosial

19 Kondisi lingkungan kerja

20 Nilai moral

MSQ mempunyai dua bentuk yaitu bentuk panjang dan bentuk sederhana. Pada

bentuk yang panjang setiap asek dari keduapuluh aspek yang ada mempunyai masing-

masing lima buah pertanyaan, sedangkan untk bentuk yang sederhana masing-masing

32

aspek hanya memiliki 1 buah pertanyaan. Pengukuran ini mempunyai skala yang terdiri

dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas dan sangat puas.

MSQ merupakan kuesioner yang banyak digunakan oleh para peneliti. Hal ini

dikarenakan memenuhi kriteria atribut survey yang baik sebagai berikut :

1. Validitas

Instrument ini mengukur apa yang seharusnya diukur. Unsur-unsurnya sangat

berhubungan erat dengan yang lain.

2. Reliabilitas

Instrument ini telah menunjukkan hasil yang konsisten meliputi beberapa unsur

yang mengukur bagia khusus tertentu dari kepuasan kerja dan menyediakan

instruksi yang jelas kepada para responden.

3. Isi

Instrument ini mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja dan

efektifitas organisasi dalam jangkauan yang cukup luas.

4. Gaya bahasa

Gaya bahasa yang terdapat pada kuesioner ini sedemikian rupa dibuat sehingga

dapat dimengerti oleh responden dan juga dapat digunakan dalam organisasi yang

berbeda-beda.

2.7 Uji Alat Ukur

2.7.1 Uji Validitas

Validitas menunjukkan sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa yang ngin

diukur. Dengan kata lain, kesimpulan yang kita buat benar-benar diperoleh dari alat

ukur yang mendukung kesimpulan tersebut. Suatu angket dikatakan valid (sah) jika

pertanyaan pada suatu angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh

angket tersebut. Jenis validitas, sebagai berikut :

1. Validitas Konstruk

Adalah kerangka dari suatu konsep, untuk mencari kerangka konsep tersebut

dapat dilakukan cara-cara :

33

a. Mencari definisi-definisi konsep yang dikemukakan para ahli yang

tertulis dalam literatur.

b. Bila definisi konsep ingin diukur tidak dapat diperoleh dari literatur

penelitian harus mendefinisikan sendiri konsep tersebut.

c. Menanyakan definisi konsep ingin diukur kepada calon responder atau

orang yang memiliki karakteristik sama dengan responden.

2. Validitas Isi

Adalah suatu pengukur yang dipertimbangkan berdasarkan atas sejauh mana isi

alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek

kerangka konsep.

3. Validitas Eksternal

Adalah validitas yang diperoleh dengan cara mengkorelasikan alat pengukur

baru dengan tolok ukur eksternal yang berupa alat ukur yang akan datang.

4. Validias Prediktif

Bila suatu alat pengukur memiliki prediktif maka alat pengukur terseut dapat

memprediksi apa yang terjadi di masa yang akan datang.

5. Validitas Budaya

Validitas ini penting bagi penelitian di Negara yang suku bangsanya dangat

bervariasi.

6. Validitas Rupa

Validitas rupa ini hanya menunjukkan bahwa dari segi rupanya suatu alat

pengukur tampaknya mengukur apa yang ingin diukur.

Langkah-langkah menguji validitas adalah :

1. Mendefinisikan secara operasional konsep yang akan diukur.

2. Melakukan uji coba pengukur tersebut pada sejumlah responden.

3. Mempersiapkan tabel tabulasi jawaban.

4. Menghitung korelasi antara masing-masing pernyataan dengan skor total

memakai rumus teknik korelasi product moment.

Langkah-langkah perhitungan uji validitas adalah :

1. Mengumpulkan hasil jawaban kuesioner untuk uji validitas.

34

2. Membuat tabulasi data mentah dari skor yang dihasilkan pada tiap skala

pengukuran variabel pada kuesioner penelitian. Tabulasi data mentah merupakan

perhitungan nilai-nilai X2,Y2,XY,∑X∑Y, ∑X, ∑Y, ∑X2, ∑Y2

3. Menghitung angka korelasi

4. Membandingkan apakah nilai korelasi hasil perhitungan lebih besar dari nilai

korelasi yang terdapat pada tabel nilai kritis r dengan derajat kebebasan (df)

sesuai dengan N-k.

Uji validitas yang digunakan dalam kuesioner penelitian ini menggunakan

bantuan Software for Windows. Langkah dalam menguji validitas adalah:

1. Menentukan hipotesis

2. Menentukan nilai r tabel

3. Mencari r hasil

4. Mengambil keputusan

Dasar pengambilan keputusan :

1. Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel, maka atribut tersebut valid.

2. Jika r hasil tidak positif, serta r hasil < r tabel, maka atribut tersebut tidak valid.

Pengujian validitas adalah proses menguji butir-butir pertanyaan yang ada dalam

sebuah kuesioner, apakah isi dari butir pertanyaan tersebut sudah valid. Apabila butir

tersebut sudah valid berarti butir tersebut sudah bisa untuk mengukur faktornya.

2.7.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur dapat

dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali untuk

mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten,

maka alat pengukur tersebut reliabel. Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan

konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Suatu angket

dikatakan reliabel (andal) jika jawaban seseorang terhadap pertanyaan adalah konsisten

atau stabil dari waktu ke waktu. Secara rumusan matematik, keadaan tersebut

digambarkan dalam persamaan berikut :

Xo = Xt + Xe……………………………………………………….(2.1)

Dimana :

35

Xo = angka yang diperoleh

Xt = angka yang sebenarnya

Xe = kesalahan pengukuran

Ada beberapa teknik yang digunakan dalam menghitung uji reliabilitas, yaitu :

1.Teknik pengukuran ulang

Untuk mengetahui reliabilitas suatu alat engukur dengan pengukuran ulang kita harus

meminta responden yang sama agar menjawab semua pertanyaan dalam alat

pengukur dua kali. Selang waktu antara pengukur pertama dengan pengukur yang

kedua sebaiknya tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh (selang 15-30 hari).

2. Teknik Spearman-Brown

Syarat penggunaan teknik ini :

a. Bentuk pertanyaan hanya terdiri atas dua pilihan jawaban, misalnya ya diisi

dengan 1 dan tidak diisi dengan 0.

b. Jumlah butir pertanyaan harus genap, agar dapat dibelah.

c. Antara belahan pertama dengan belahan kedua harus seimbang.

Belahan instrument dikatakan seimbang jika jumlah butir pertanyaan sama

dan pertanyaan tersebut mengungkapkan aspek yang sama.

3. Teknik Observasi

Dilakukan oleh pengamat terhadap benda untuk benda diam, sasaran dapat diambil

sewaktu-waktu jika diperlukan, sedangkan benda bergerak membutuhkan alat bantu

seperti rekaman video yang dapat menunjukkan proses yang diamati.

4. Teknik Alpha (Cronbach’s alpha)

Mencari reliabilitas instrument yang skornya bukan 0-1, tetapi merupakan rentangan

antara bebeapa nilai, misalnya 0-10 atau 0-100 atau bentuk skala 1-3, 1-5, atau 1-7

dan seterusnya.

Cara menganalisa hasil uji reliabilitas dengan Software SPSS for Windows

adalah sebagai berikut :

a. Menentukan hipotesis

b. Menentukan nilai r pembanding

Disini r pembanding adalag angka ALPHA (ada di akhir output)

c. Mencari r hasil

36

Disini r hasil untuk tiap variabel bisa dilihat pada kolom ALPHA IF ITEM

DELETED

d. Dasar pengambilan keputusan

1) Jika r alpha positif, serta r alpha < r pembanding, maka variabel tersebut

reliabel.

2) Jika r alpha tidak positif, serta r alpha > r pembanding, maka variabel

ersebut tidak reliabel.

2.8 Uji Asumsi Klasik

2.8.1 Uji Autokorelasi

Salah satu asumsi kelayakan suatu model regresi adalah adanya kebebasan data.

Kebebasan data disini berarti data untuk satu periode tertentu tidak terpengaruh oleh

data sebelumnya. Dalam pengumpulan data yang berdasarkan deret waktu, perlu diuji

apakah data saling berkaitan. Jika berkaitan, maka hasil residual yang positif akan

cenderung diikuti residual yang positif juga, begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang

dikatakan autokorelasi di antara dua data.

Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan

asumsi klasik autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara residual pada satu

pengamatan dengan pengamatan lain pada model regresi. Prasyarat yang harus

terpenuhi adalah tidak adanya autokorelasi dalam model regresi. Metode pengujian

yang sering digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson (uji DW) dengan ketentuan

sebagai berikut:

1)     Jika d lebih kecil dari dL atau lebih besar dari (4-dL) maka hopotesis nol ditolak,

yang berarti terdapat autokorelasi.

2)     Jika d terletak antara dU dan (4-dU), maka hipotesis nol diterima, yang berarti

tidak ada autokorelasi.

3)     Jika d terletak antara dL dan dU atau diantara (4-dU) dan (4-dL), maka tidak

menghasilkan kesimpulan yang pasti.

Nilai du dan dl dapat diperoleh dari tabel statistik Durbin Watson yang bergantung

banyaknya observasi dan banyaknya variabel yang menjelaskan.

37

2.8.2 Uji Heteroskesdastisitas

Uji heteroskesdastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan varian dari satu pengamatan yang lain (Ghozali,2001 dalam

Rizkiyah,2012). Cara mendeteksinya adalah dengan melihat ada tidaknya pola tertenu

pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y adalah Y yang

telah diprediksi, dan sumbu X adalag residual (Y prediksi-Ysesungguhnya) yang telah

di- standardized.

Sedangkan dasar pengambilan keputusan untuk uji ini adalah :

1. Jika ada pola tertenu, seperti titik yang ada membentuk pola tertentu teratur

(bergelombang, melebur kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah

terjadi heterokesdastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah

angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskesdastisitas.

2.8.3 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel

terikat, variabel bebas atau keduanya mempunya distribusi normal atau tidak. Model

regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau penyebaran data statistik

pada sumbu diagonal dari grafik distribusi normal (Ghozali,2001 dalam Rizkiyah,2012).

Pada prinsipnya, normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada

sumbu diagonal atau dengan melihat histogram dari residualnya. Dasar pengambilan

keputusannya :

1. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal

atau grafik histogramnya menunjukkan distribusi normal, maka model regresi

memenuhi asumsi normalitas.

2. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis

diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan distribusi normal, maka

model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.

38

2.8.4 Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui apakah dua variabel mempunyai

hubungan yang linear atau tidak secara signifikan. Uji ini biasanya digunakan sebagai

prasyarat dalam analisis korelasi atau regresi linear. Pengujian pada SPSS dengan

menggunakan Test for Linearity dengan pada taraf signifikansi 0,05. Dua variabel

dikatakan mempunyai hubungan yang linear bila signifikansi (Linearity) kurang dari

0,05. (Sulistyo, 2012)

2.9 Analisis Regresi

Sering kali dalam praktek kita berhadapan dengan persoalan yang menyangkut

sekelompok peubah bila diketahui bahwa diantara peubah tersebut terdapat suatu

hubungan alamiah. Misalnya dalam industri diketahui bahwa kadar ter hasil suatu

proses kimia berkaitan dengan temperatur masukan. Mungkin perlu dikembangkan

suatu metode peramalan, yaitu suatu cara kerja guna menaksir kadar ter untuk berbagai

taraf temperatur masukan yang didapat dari data percobaan segi statistika dari persoalan

tersebut menjadi persoalan menemukan taksiran terbaik untuk hubungan antara

sekelompok peubah itu.

Regresi berhubungan erat dengan pendugaan mengenai suatu variabel (variabel

tak bebas) dari satu atau lebih variabel variabel bebas dan biasanya peubah terikat yang

tunggal tersebut (disebut respon Y), yang tidak dikontrol dalam percobaan tersebut.

Respon Y bergantung pada satu atau lebih peubah bebas, misalnya x1, x2…, xk.

Regresi diterapkan dalam banyak bidang seperti peramalan penjualan, biaya ataupun

yang lainnya.

Bila Y dan X masing-masing tunggal, persoalan menjadi regresi Y atas X.

bila ada k peubah bebas maka dikatakan regresi Y atas X1, X2, Xk.

Istilah regresi linier berarti bahwa rataan yIx berkaitan linier dalam bentuk

persamaan linier populasi:

yIx = + x………………………….............................................................….(2.2)

Analisis regresi merupakan sebuah alat statistik yang memberikan penjelasan

tentang pola hubungan (model) antara dua vaiabel atau lebih. Dalam analisis regresi,

dikenal dua jenis variabel yaitu :

39

1. Variabel respon disebut juga variabel dependent yaitu variabel yang

keberadaannya dipengaruhi oleh variabel lainnya dan dinotasikan dengan Y.

2. Variabel predictor disebut juga variabel independent yaitu variabel yang bebas

(tidak dipengaruhi oleh variabel lainnya) dan dinotasikan dengan X.

Regresi linear merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola

hubungan antara dua atau lebih variabel. Pada kenyataan sehari-hari sering dijumpai

sebuah kejadian dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel, oleh karenanya

dikembankanlah analisis regresi linear berganda dengan model persamaan regresi yang

dipakai adalah sebagai berikut (Supranto,1998 dalam Rizkiyah,2012) :

Y = βX1 + βX2 + βX3 + βX4 + βX5 +e…………………………….(2.3)

Dimana :

Y = variabel dependent

Β = koefisien regresi

Xi = faktor ke i

e = standar error

2.10 Uji Goodness of Fit

Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat dinilai

dengan Goodness of Fit-nya. Secara statistik setidaknya ini dapat dukur dari nilai

koefisien determinasi, nilai statistik F dan nilai statistik t. Perhitungan statistik disebut

signifikan secara statistik apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis

(daerah dimana H0 ditolak), sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji statistiknya

berada dalam daerah dimana H0 diterima (Ghozali,2001 dalam Rizkiyah,2012)

2.10.1 Uji F

Uji F pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara semua

variabel bebas dan variabel terikat, apakah variabel bebas yang dimaksudkan dalam

model mempunyai pengaruh bersama-sama terhadap variabel terikat.

Ketentuan :

a. H0 : 1 < 0 artinya tidak ada pengaruh yang signifikan pada masing-masing

varabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y)

40

b. H1 : 1 > 0 artinya ada pengaruh yang dignifikan pada masing-masing variabel

bebas (X) terhadap variabel terikat (Y)

Tingkat kepercayaa yang digunakan 95% atau taraf signifikansinya adalah 5% dengan

criteria sebagai berikut :

a. Apabila f hitung > f tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti ada pengaruh

yang signifikan antara variabel (X) secara bersama-sama dengan variabel terikat

(Y)

b. Apabila f hitung < f tabel, maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti tidak ada

pengaruh yang signifikan antara variabel (X) secara bersama-sama dengan

variabel terikat (Y)

2.10.2 Uji t

Uji t dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen

secara individual dalam menerangkan variasi variabel independen (Ghozali, 2001)

a. Perumusan Hipotesis Nihil (H0) dan Hipotesis Alternatif (Ha)

b. Penentuan harga t tabel berdasarkan tarag signifikansi dan taraf derajat kebebasan.

Taraf signifikansi = 5% (0,05) dengan derajat kebebasan = (n-1-k)

2.11 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model

dalam menerangkan variasi variabel independen. Nilai koefisien determinasi adalah

antara nol dan satu. Nlai yang kecil berate kemampuan variabel-variable independen

dalam menjelaskan variasi dependen sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti

variable-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan

untuk memprediksi variasi variabel dependen.

2.12 Korelasi

Analisis korelasi berusaha mengukur eratnya hubungan antara dua peubah dengan

menggunakan suatu bilangan yang disebut koefisien korelasi sampel r yang dapat

diperoleh dari perhitungan menggunakan rumus:

41

r=b√ J xx

J xy

=J xy

√J xx−J yy ………………………………...……………….(2.4)

Nilai r antara -1 dan +1 perlu ditafsirkan dengan berhati-hati. Sebagai contoh nilai

r sebesar 0,3 dan 0,6 hanya berarti bahwa kedua korelasi itu positif, yang satu lebih erat

dari yang lainnya. Namun tidak dapat diartikan bahwa r = 0,6 menunjukkan hubungan

linier yang dua kali lebih erat daripada yang diberikan oleh nilai r = 0,3.

(Walpole, 1995)

Arti angka korelasi menurut kriteria Gulford ( 1956 ) dalam Sulistyo,2012 :

1. kurang dari 0,2 : Hubungan sangat kecil dan bisa diabaikan

2. 0,2 < r < 0,4 : Hubungan yang kecil ( tidak erat )

3. 0,4 < r < 0,7 : Hubungan yag cukup erat

4. 0,7 < r < 0,9 : Hubungan yang erat ( reliabel )

5. 0,9 < r < 1 : Hubungan yang sangat erat ( sangat reliabel )

6. 1 : Hubungan sempurna