bab vi redefinisi dan rekonstruksi tou dalam...

31
133 Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM MASYARAKAT DI TANAH MINAHASA KINI DAN DALAM KONTEKS NKRI 1 1. Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial tanah Minahasa kini Dalam bab V telah dipaparkan bahwa Tou adalah ukuran pencapaian hidup manusia Minahasa yang terkristalisasi dalam tiga kualitas hidup, yakni keter (kuat secara fisik, memiliki mental yang kuat, tegas dan memiliki kemampuan kepemimpinan), nate’ (hati/kepekaan), dan nga’as (otak, kejernihan dan ketajaman berpikir). Tiga kualitas hidup tersebut nampak dalam kejernihan berpikir, kepekaan diri, keberanian bertindak dan kemampuan menghargai manusia Minahasa terhadap sesama dan ciptaan lainnya. Karenanya, Tou juga dipahami sebagai identitas kultural yang sarat dengan penghargaan terhadap kesataraan semua ciptaan. Tou menjadi acuan dari upaya menata kembali kehidupan bersama antar kelompok taranak (dalam wale, walak dan pakasaan) dan juga dengan pendatang. Dalam perkembangan kemudian, Tou juga dituturkan dalam ucapan-ucapan tua seperti Tou Tumou Mawuali Tou (manusia hidup untuk menjadi manusia sepenuhnya), Tou Tumou tumou tou (manusia hidup untuk memanusiakan manusia lainnya), Maesa-esaan (saling berrsatu), Maleo-leosan (saling mengasihi dan menyayangi), dan lain-lain (sebagaimana 1 Yang saya maksudkan dengan tanah Minahasa, yakni derah-daerah yang menjadi wilayah Minahasa awal dan kemudian meluas di zaman penjajahan Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan Minahasa keseluruhan (sekarang terbagi menjadi Minahasa induk, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan), ditambah dengan kota Manado yang di masa Minahasa awal menjadi pintu masuk menuju ke pemukiman taranak Minahasa.

Upload: vandien

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

133

Bab VI

REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM

MASYARAKAT DI TANAH MINAHASA KINI DAN

DALAM KONTEKS NKRI1

1. Redefinisi dan Rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial

tanah Minahasa kini

Dalam bab V telah dipaparkan bahwa Tou adalah ukuran

pencapaian hidup manusia Minahasa yang terkristalisasi dalam

tiga kualitas hidup, yakni keter (kuat secara fisik, memiliki

mental yang kuat, tegas dan memiliki kemampuan

kepemimpinan), nate’ (hati/kepekaan), dan nga’as (otak,

kejernihan dan ketajaman berpikir). Tiga kualitas hidup tersebut

nampak dalam kejernihan berpikir, kepekaan diri, keberanian

bertindak dan kemampuan menghargai manusia Minahasa

terhadap sesama dan ciptaan lainnya. Karenanya, Tou juga

dipahami sebagai identitas kultural yang sarat dengan

penghargaan terhadap kesataraan semua ciptaan. Tou menjadi

acuan dari upaya menata kembali kehidupan bersama antar

kelompok taranak (dalam wale, walak dan pakasaan) dan juga

dengan pendatang.

Dalam perkembangan kemudian, Tou juga dituturkan

dalam ucapan-ucapan tua seperti Tou Tumou Mawuali Tou

(manusia hidup untuk menjadi manusia sepenuhnya), Tou

Tumou tumou tou (manusia hidup untuk memanusiakan

manusia lainnya), Maesa-esaan (saling berrsatu), Maleo-leosan

(saling mengasihi dan menyayangi), dan lain-lain (sebagaimana

1 Yang saya maksudkan dengan tanah Minahasa, yakni derah-daerah yang

menjadi wilayah Minahasa awal dan kemudian meluas di zaman penjajahan

Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan Minahasa keseluruhan

(sekarang terbagi menjadi Minahasa induk, Minahasa Utara, Minahasa Tenggara

dan Minahasa Selatan), ditambah dengan kota Manado yang di masa Minahasa awal

menjadi pintu masuk menuju ke pemukiman taranak Minahasa.

Page 2: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

134 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

yang dipaparkan dalam Bab V). Ucapan-ucapan tua yang

menegaskan keharusan menjaga kehidupan bersama dengan

mengembangkan sikap hidup saling menghargai dan menopang.

Pemaknaan demikian, memposisikan Tou yang adalah

identitas bersama taranak Minahasa, melalui dialektika dalam

kumpulan taranak (dalam wale, walak dan pakasa’an), juga

menjadi identitas individu. Proses dialetika yang menempatkan

Tou sebagai identitas bersama Minahasa awal dan juga identitas

individu, inilah yang dijelaskan Petter Berger dalam teorinya

mengenai eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi

(penjelasan lengkap dalam Bab II).

Memakai dialetika Berger untuk membaca Minahasa

awal tersebut, tidak hanya menunjuk pada manusia-manusia

lokal tetapi juga meberi ruang pada semua orang—termasuk

pendatang-- yang berdialektika (hidup dan meghidupi tanah

Minahasa) dalam masyarakat Minahasa. Konsekuensi sosiologis

berdasar dialektika tersebut, yakni jika ada individu—

masyarakat lokal atau pendatang—yang tidak menghidupi

identitas Tou, maka individu/kelompok tersebut menciderai

dialektika yang membentuk identitas individu dan sosial di

tanah Minahasa. Dalam konteks Minahasa awal,

individu/masyarakat yang menciderai identitas akan di pantik

(diberi peringatan), di wantik (diberi tanda) dan jika tidak

memposisikan diri kembali dalam dialektika sosial akan

menerima sangsi hukuman (santi).

Pertanyaan mendasar dibalik dialektika yang

menghasilkan Tou sebagai identitas individu sekaligus identitas

Minahasa, yakni bagaimana Tou dalam konteks kini?

Tanah Minahasa kini telah terbagi dalam enam wilayah

pemerintahan, yakni kota Bitung, kabupaten Minahasa Utara,

kabupaten Minahasa, kota Tomohon, kabupaten Minahasa

Tenggara dan kabupaten Minahasa Selatan. Dalam lingkup

Propinsi Sulawesi Utara, ke enam kabupaten-kota di tanah

Page 3: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 135

Minahasa berada bersama dengan kota Manado (sebagai ibu

kota propinsi), kabupaten kepulauan Sangihe, kabupaten

kepulauan Sitaro, kabupaten kepulauan Talaud, kabupaten

Bolaang Mongondow, kabupaten Bolaang Mongondow Utara,

kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow

Timur, dan kota Kotamobagu.

Di wilayah-wilayah tersebut di atas, tidak hanya hidup

masyarakat lokal, tetapi juga beragam orang dari etnis dan

agama berbeda. Keragamanan yang memberi ruang pada

interaksi sosial yang saling bertukar, mempengaruhi, dan

mendominasi. Karenanya, meskipun masyarakat Minahasa awal

terbentuk dari keragaman asal suku/bangsa, tetapi masyarakat

di tanah Minahasa kini lebih kental corak keragamannya.

Keragaman kultural demikian terdeskripsi dalam identifikasi

Tou untuk menunjuk orang Minahasa di masa kini, yang dalam

dialek melayu Manado disebut Tou Minahasa asli Tondano, Tou

Minahasa asli Tomohon, Tou Minahasa asli Tonsea, Tou

Minahasa asli Ratahan, Tou Minahasa asli Tountemboan, Tou

Minahasa kancingan2 Tonsea-Cina, Tou Minahasa kancingan

Tondano-Jawa, Tou Minahasa kancingan Ratahan-Sumatra, Tou

Minahasa kancingan Tomohon-bugis, Tou Minahasa kancingan

Tomohon-Belanda, Tou Minahasa kancingan Manado-Sanger,

Tou Minahasa kancingan Sonder-Spanyol, Tou Minahasa Borgo

(istilah lain untuk menunjuk orang Minahasa hasil perkawinan

campur dengan bangsa-bangsa lain), Tou Minahasa kancingan

Amurang-Batak, Tou Minahasa kancingan Tondano-Gorontalo,

Tou Minahasa kancingan Tonsea-Bolmong, dan ada juga yang

disebut sebagai Tou Minahasa plus (para pendatang yang tidak

kawin mawin dengan masyarakat lokal, tetapi kemudian

diangkat/ ditetapkan sebagai bagian dari Minahasa).

2 Kata kancingan adalah kata lokal yang biasa dipakai untuk menunjuk orang-

orang Minahasa hasil perkawinan campuran. Karenanya nama asal kampung di

Minahasa ditempatkan didepan menyusul nama asal suku atau daerah di luar

Minahasa atau bangsa lain. Misalnya Minahasa campuran Tomohon-Belanda,

Ratahan-Sumatera, dll.

Page 4: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

136 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Kategorisasi Tou Minahasa kancingan inilah yang

dikemukakan Arnold Van Genep mengenai proses isolasi bagi

pendatang/orang asing. Proses isolasi yang menjadi ruang bagi

para orang asing/pendatang untuk membuktikan keseriusan

dan ketertarikan terhadap suku.3 Mengacu pada penjelasan

Genep, maka proses isolasi para leluhur Tou Minahasa

kancingan dan dilanjutkan dengan asimilasi secara turun

temurun rupanya telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai

bagian dari masyarakat Minahasa. Sedangkan Tou Minahasa plus

diterima karena pertimbangan khusus, terutama terkait dengan

posisi ekonomi dan posisi legal mereka dalam komunitas atau

suku asalnya.4

Di tanah Minahasa kini, orang asing/pendatang plus

adalah mereka yang kemudian diterima/diangkat sebagai warga

kehormatan. Orang-orang asing/pendatang plus tersebut, pada

umumnya adalah para petinggi militer dan sipil yang sedang

bertugas atau pernah bertugas di Sulut, para pengusaha berhasil

yang memiliki bisnis di Sulut, tokoh-tokoh politik, dan tokoh

nasional lainnya.

Penetapan para warga kehormatan tersebut sebagai Tou

Minahasa dilakukan dengan ritual pemberian gelar adat.

Pemberian gelar adat demikian dapat menjadi diskusi menarik,

jika mengacu pada ritual pemberian gelar dalam konteks

Minahasa awal. Dalam bab IV telah dipaparkan data wawancara

mengenai bagaimana mekanisme pemberian gelar di masa

Minahasa awal. Gelar Tona’as, Walian, Waraney, Teterusan, dan

lain-lain tidak menunjuk pada jabatan atau posisi sosial tetapi

menunjuk pada fungsi dan kontribusi dalam masyarakat.

Bahkan gelar-gelar khusus yang menjelaskan bagaimana fungsi

dan peran seorang pemimpin diberikan atau dikenakan pada

orang tersebut setelah dia meninggal. Dengan kata lain, gelar

3 Arnold Van Genep, The Rites of Passage, terjemahan Monika B. Vizedom and

Gabrielle L. Caffe (London and HenLey, Routledge and Kegan Paul. 1977), 35. 4 Ibid.

Page 5: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 137

kultural di Minahasa awal adalah penghargaan terhadap

kontribusi seseorang dalam wale, walak dan pakasa’an selama

dia hidup dan diberikan kepadanya setelah dia meninggal. Hal

yang sama ditegaskan juga oleh Rikson Karundeng, salah

seorang anggota kelompok budaya Mawale movement, sebagai

berikut:

Di kampung-kampung di Minahasa lalu, tidak hanya Tona’as umbanua tetapi ada juga Tona’as bertanggung jawab untuk pertanian, Tona’as yang punya kemampuan mendengar suara burung, tonas untuk berburu, tetapi ada juga Tona’as untuk berperang. Ketika harus berhadapan dengan perang, harus ada Tona’as khusus yang memimpin. Bisa saja Tona’as perang itu, yakni Tona’as Umbanua, bisa juga teterusan yg dipercayakan sebagai pemimpin perang. Mengapa teterusan yang menjadi pemimpin perang? Karena dia yang tahu dan punya strategi berperang dan paling berani makanya dia yang dipercayakan untuk menjadi Tona’as itu. Jadi ada Tona’as Tona’as demikian. Saya sudah baca-baca, tapi saya tidak mengerti dengan gelar Tona’as wangko yang sering digunakan saat ini. Karena dulu tidak ada Tona’as wangko. Ton’aas kalau dia jadi Tona’as umbanua, dia harus jadi kelung umbanua (pelindung kampung). Pengetahuan dan tradisi yang harus dipegang seorang Tona’as umbanua, itu biasa tidak hanya kami dapat dari yang kami baca atau dengar, tetapi juga dari artefak situs-situs seperti waruga kita bisa melihat tentang pengetahuan itu. Kita kan kadang hanya melihat ornament-ornamen di waruga, padahal satu garis kecilpun punya arti. Kembali ke sebutan “Tona’as wangko, yang katanya Tona’as yang memimpin semua Tona’as, bagi saya ndak ada demikian. Karena di Minahasa itu kolektif kepemimpinanannya, ndak ada satu Tona’as memimpin semua Tona’as; tidak ada dalam tradisi Minahasa. Pemilihan dan penetapan Tona’as ada

Page 6: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

138 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

prosesnya yang tidak hanya mengandalkan pengetahuan, tetapi juga ada intervensi dari yang Ilahi. Tona’as ketika sudah terpilih tidak langsung dilatik sebagai Tona’as umbanua, terlebih dahulu harus bertanya pada Empung Walian Wangko. Ada ritual bertanya, misalnya jika hendak memilih dan menetapkan Tona’as umbanua, maka kepada leluhur Tonaas umbanua yang terkenal di masa itulah kita harus bertanya. Kalau leluhur tidak setuju, maka berarti harus memilih yang lain. Lalu setelah leluhur setuju, kemudian bertanya pada Empung Waliaan Wangko. Untuk mengetahui apakah Empung Walian Wangko setuju atau tidak dengan cara mendengar suara burung. Jadi prosesnya tidak cepat, karena ada tahapan. Setelah terpilih lalu diadakan ritual untuk penetapan Tonaas.5

Di masa Minahasa awal penerimaan orang asing/

pendatang juga mempertimbangkan kontribusi yang bisa

mereka berikan. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di

sini, yakni penerimaan Kyai Modjo dan pengikutnya oleh para

Ukung Tondano. Penerimaan terhadap mereka menurut tradisi

lisan yang dituturkan turunannya pada saya (sebagaimana yang

telah dipaparkan dalam Bab IV), dimudahkan terutama karena

keterbukaan leluhur Minahasa terhadap para pendatang. Selain

itu, faktor ketrampilan pandai besi dan bertanam padi yang

dimiliki Kyai Modjo dan pengikutnya (para leluhur masyarakat

di Kampung Jawa-Tondano) menjadi faktor penting penerimaan

mereka.6 Dengan demikian, titik berat penerimaan tersebut

lebih pada kepentingan komunitas Minahasa awal.

Di sisi lain, para pendatang yang diterima menjadi

bagian Minahasa awal memang memperlihatkan dedikasi dan

kotribusi mereka yang konkrit bagi komunitas. Sebaliknya,

pemberian gelar adat yang menjadi tanda penerimaan para

5 Wawancara dengan Rikson Karundeng, Manado, 2015.

6 Hasil wawancara ini telah dipaparkan dalam Bab IV.

Page 7: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 139

pendatang kini sebagai warga kehormatan lebih condong pada

kepentingan politik-ekonomi kalangan tertentu di SULUT.7

Sementara dari sisi para pendatang/orang asing, kesediaan

mereka menjadi warga kehormatan terkait dengan kepentingan

politik dan ekonomi mereka. Umumnya, kepentingan para warga

kehormatan berorientasi pada keinginan untuk mendapatkan

simpati dan dukungan bagi diri mereka, partai mereka atau

kelompok mereka; atau kepentingan untuk mendapatkan akses

yang luas dalam rangka pengembangan bisnis mereka di SULUT.

Kesimpulan demikian sejalan dengan penjelasan Daniel Bell

dalam tulisannya mengenai ethnicity and social change. Bell

menjelaskan, bahwa kecederungan pada hal-hal yang bersifat

kultural/etnik bukanlah fenomena primordial. Kecenderungan

kultural demikian, lebih tepat dipahami sebagai pilihan yang

strategis dalam rangka kekuasaan atau kesejateraan. Biasanya

pilihan etnisitas diambil untuk memperlancar kepentingan

ekonomi dan politik.8

Mengacu pada pemikiran Bell tersebut di atas, maka

dapat juga disimpulkan bahwa pemberian gelar adat yang

dilaksanakan kini lebih terkait dengan kepentingan

elite/kelompok tertentu dalam masyarakat dan pendatang.

Realitas demikianpun mengindikasikan bahwa ekspansi,

dominasi dan penetrasi nilai-nilai baru telah merembes jauh

dalam masyarakat dan menggeser fungsi dan makna yang

sebenarnya dari ritual penerimaan pendatang.

Di sisi lain, eksistensi tanah Minahasa sebagai bagian

dari NKRI membuat independensi penerimaan pendatang tidak

melulu ditentukan berdasar kriteria kultural. Hak untuk hidup

dan mencari penghidupan di seluruh wilayah Indonesia yang

7 Wawancara dengan Rinto Taroreh, Mando, 2014 di Warembungan. Bandingkan

juga dengan pernyataan resmi Lembaga Adat Minahasa yang diketuai oleh dr. Bert

Supit dalam www.suaramanado.com.

8 Daniel Bell, Ethnicity and Social Change, dalam John Hutchinson & Anthony

D. Smith, ed., Ethnicity (New York: Oxford University Press, 1996), 146.

Page 8: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

140 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

diatur oleh undang-undang, menjadi salah satu pertimbangan

penerimaan pendatang di tanah Minahasa kini. Bersamaan

dengan itu, realitas di tanah Minahasa kini memaparkan, bahwa

kehadiran dan penerimaan pendatang tidak selalu tanpa gejolak.

Dalam bab pendahuluan dan bab IV telah dijelaskan,

bahwa keberadaan para pendatang di tanah Minahasa kini juga

melahirkan gesekan-gesekan sosial. Gesekan-gesekan sosial

tersebut telah meruncing pada klaim asli versus pendatang atau

Minahasa versus bukan Minahasa. Bahkan, klaim asli Minahasa

telah berkembang menjadi klaim Minahasa Kristen.

Data wawancara yang telah saya paparkan dalam bagian

pendahuluan menegaskan, bahwa gesekan-gesekan sosial yang

meruncing pada reduksi Tou dilatar-belakangi ketersinggungan

dan ketidaksenangan masyarakat lokal atas marginalisasi nilai-

nilai sosio-kultural mereka oleh pendatang kini.9

Ketersinggungan dan ketidaksenangan demikian semakin

menajam karena melihat pendatang yang mengekploitasi

masyarakat dan tanah leluhur semata-mata untuk kepentingan

ekonomi dan politik mereka.

Paul L. Brass dalam tulisannya mengenai Ethnic Groups

and Ethnic Identity Formation menjelaskan bahwa seringkali

konflik antar etnis berbeda tercetus karena kompetisi di bidang

politik, ekonomi, dan status sosial elit-elit etnis. Kompetisi di

sektor-sektor demikian kemudian dieksploitasi menjadi konflik

9 Reaksi ketersinggungan dan ketidaksenangan masyarakat lokal terhadap

marginalisasi nilai-nilai kultural Minahasa terutama menajam pada tahun 2000. Di

tahun itu, selain semakin banyak pendatang yang datang ke tanah Minahasa dan

tidak mau memahami nilai kultural yang ada, ketersinggungan dan ketidaksenangan

demikian juga diperparah oleh arah politik nasional yang dinilai mulai

menampilkan wajah Islam sektarian. Konflik Poso dan Ambon menjadi salah satu

faktor penting yang mendorong lahirnya gerakan masyarakat lokal dalam bentuk

Ormas adat. Ormas-ormas adat tersebut berkembang dan mengalami perpecahan di

atara mereka, tetapi bersamaan dengan itu menjadi bidan bagi kelahiran Ormas-

Ormas adat lainnya. Dalam observasi pelaksanaan ritual di Bitung, saya mencatat

bahwa Ormas adat yang secara resmi di undang untuk mengikuti kegiatan tersebut

berjumlah 25 kelompok Ormas adat. Data Observasi, 27 Juli 2016, di Bitung.

Page 9: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 141

karena perbedaan etnis, padahal tidak sepenuhnya demikian.10

Dalam konteks tanah Minahasa kini, saya juga melihat bahwa

apa yang dikemukakan Brass menjadi catatan penting dalam

upaya mencermati gerakan-gerakan protes terhadap para

pendatang yang dilakukan beberapa Ormas adat. Perasaan

terancam secara ekomomi dan mulai merasa tergeser secara

politik, tidak dapat dipungkiri adalah juga salah satu alasan

beberapa Ormas adat melakukan gerakan-gerakan budaya.

Meskipun demikian, secara umum gerakan-gerakan kelompok-

kelompok lokal, terutama sebagai reaksi terhadap marginalisasi

nilai-nilai kultural oleh pendatang karena kepentingan

penguasaan ekonomi dan politik.

Tantangan sosial demikianlah yang dihadapi oleh

masyarakat lokal di tanah Minahasa kini dengan meletakkan

adat sebagai pusat dari usaha perlawanan, sekaligus sebagai

upaya identifikasi diri orang Minahasa kini. Perlawanan adat

tersebut, selanjutnya terpolarisasi pada dua pilihan. Kelompok

pertama, yakni masyarakat dengan jumlah relatif kecil yang

berusaha mengembangkan sikap positif terhadap pendatang,

sekaligus bersikap kritis terhadap reduksi Tou. Sikap positif

tersebut, antara lain terungkap dalam wawancara dengan Denny

Pinontoan dari Kelompok budaya Mawale Movement. Menurut

Pinontoan memang perlu bersikap kritis terhadap pendatang

yang memiliki agenda tersembunyi, tetapi tidak berarti harus

menggeneralisasi semua pendatang. Selanjutnya Pinontoan

menjelaskan:

saya kira sebagaimana makna Tou Tumou yang bertumbuh kembang artinya kan dia berkreasi. Salah satu jalan yang dipilih leluhur sejak zaman lampau adalah membuka diri; dari 3 sub etnis, menjadi 4 lalu kemudian menjadi 9. Bahkan sekarang jadi lebih banyak karena ada juga yang

10 Paul R. Brass, Ethnic Groups and Ethnic Identity Formation, dalam John

Hutchine, Ethnicity, 86, 89.

Page 10: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

142 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

disebut Minahasa plus. Karena dalam rangka kehidupan berlanjut, sehingga keterbukaan terhadap orang lain tidak dianggap sebagai ancaman. Karena Minahasa/malesung adalah itu. Karena Lumimuut-Toar itu kan dari luar. Saya kira cerita tentang Lumimuut-Toar yang berputar mengelilingi gunung dan kemudian bertemu, itu adalah simbolisasi terhadap perjumpaan-perjumpaan. Cerita Lumimuut-toar sekarang ini yang ditemukan ada 50-an, lisan dan tulisan. Bahkan masing-masing komunitas mengembang-kan. Nah, apa artinya itu? Menurut saya, Minahasa itu multi interpretatif, menjadi persoalan jika ditunggalkan karena karakter keterbukaanya. Justru karena keterbukaan tersebut Minahasa mau berdialog dengan pendidikan modern Eropa; dia mau menerima kekristenan. Pada saat-saat tertentu sebagaimana dibuktikan dengan perang-perang tersebut, bahwa ternyata punya prinsip juga, yakni tentang kesetaraan. Karenanya, sangat sulit untuk memahami Minahasa tanpa mengaitkannya dengan keterbukaan dan penerimaan terhadap pendatang.

Sikap kelompok budaya yang demikian, memperlihatkan

bahwa meskipun jumlah mereka relatif kecil tapi cukup

mendeskripsikan kegelisahan dan keprihatinan mereka

terhadap reduksi Tou dalam rangka menanggapi gesekan sosial

dengan pendatang. Kelompok kedua, yakni masyarakat yang

memilih mereduksi Tou pada klaim manusia Minahasa asli,

bahkan mulai mengerucut pada klaim Minahasa Kristen.

Kelompok-kelompok ini juga sempat mewacanakan

pemeriksaan KTP agar bisa mengkontrol keberadaan orang

asing/pendatang di tanah Minahasa kini. Wacana ini memang

tidak terlaksana karena tidak mendapat dukungan pemerintah

dan pihak keamanan, tetapi cukup menciptakan keresahan

dalam masyarakat.

Page 11: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 143

Pilihan sikap yang diambil oleh kelompok (kedua)

tersebut di atas, bisa dimengerti dengan melihat kondisi terkini

pada sektor ekonomi di kota Manado dan juga di kabupaten-

kota di tanah Minahasa kini. Realitas sosial-ekonomi di kota

Manado dan di tanah Minahasa kini, dengan gamblang

memaparkan dominasi sentra bisnis oleh para pendatang, baik

di pusat-pusat bisnis moderen maupun pasar-pasar tradisional

besar di kota Manado.

Imbas dari realitas sosio-ekonomi demikian, yakni

keterpinggiran masyarakat lokal tidak hanya dalam peran di

sektor-sektor ekonomi, tetapi juga secara fisik menjadi manusia-

manusia yang hidup dipinggiran-pinggiran kota. Sebaliknya,

pendatang-pendatang sebagai pemilik baru—yang membeli

tanah dari masyarakat lokal, mengembangkan tanah-tanah

tersebut sebagai tempat bermacam-macam usaha produktif.

Karenanya, saya menilai perlawanan kelompok lokal yang

memakai kekuatan budaya dan mereduksi Tou untuk

kepentingan perjuangan mereka sebagai pilihan sadar

berhadapan dengan kenyataan kini. Artinya, mereka memilih

dengan sengaja karena sadar bahwa perjuangan dengan

memakai budaya dan juga mengaitkannya dengan issu agama

(Tou Minahasa Kristen) akan menjadi senjata ampuh untuk

memperjuangkan tuntutan mereka sebagai masyarakat lokal.

Mengkaji reaksi dan gejolak sosial demikian, saya

mengacu pada teori Max Weber mengenai kekuatan agama,

khususnya protestantisme yang menjadi faktor perubahan

sosial. Weber dalam studinya menyimpulkan, bahwa

Protestantisme yang menjadi bidan bagi kelahiran kapitalisme

awal (sebagaimana yang telah saya paparkan dalam Bab II).

Tentu saja saya sadar bahwa latar-belakang masyarakat yang

menjadi titik simpul dari teori Weber sangat berbeda dengan

realitas sosial yang digumuli masyarakat lokal Minahasa kini.

Karenanya akan terkesan sangat naif, jika tergesa-gesa

Page 12: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

144 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

menyimpulkan bahwa realitas yang dihadapi Weber dan realitas

Minahasa kini memiliki kesamaan.

Teori Weber menjadi penting dalam memahami realitas

Minahasa kini dan gejolak di dalamnya, dari sudut signifikansi

semangat protestantisme yang ditekankannya. Weber

menemukan bawa ajaran protestanlah yang telah mendidik,

membentuk etos kerja dan mendorong umatnya untuk

memperjuangkan kehidupan yang berkualitas dalam

masyarakat dan selanjuttnya melahirkan kapitalisme.

Signifikansi ajaran protestan demikian, yang saya ambil

sebagai dasar untuk menganalisis primordial agama yang

diangkat kelompok-kelompok budaya di tanah Minahasa kini.

Menurut saya, kelompok-kelompok budaya tersebut tidak hanya

mengklaim diri sebagai Minahasa Kristen, tetapi juga mengklaim

semangat kemakmuran sebagai orang Kristen.

Pada tataran berpikir demikian semangat kemakmuran

tersebut tidak akan terlaksana karena dominasi pendatang di

sektor ekonomi dan politik. Imbasnya, keberadaan pendatang

dieksploitasi sebagai ancaman dan kekuatan yang menghambat

perkembangan ekonomi masyarakat lokal, bahkan yang

menyebabkan mereka menjadi masyarakat yang terpinggirkan.

Bahkan kebijakan pemerintah yang terkesan tidak peka

terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat lokal, juga dipakai

sebagai dasar untuk menunjuk kuatnya pengaruh pendatang

pada kebijakan pemerintah. Karenanya, kemampuan kelompok

lokal di tanah Minahasa kini membaca dan memanfaatkan issu

agama sebagai modal dalam perlawanan mereka, memperkuat

teori Weber tersebut.

Di sisi lain, perlu juga secara terbuka menunjuk

kelemahan dari reduksi Tou, apalagi ketika issu agama mulai

dieksploitasi untuk kepentingan primordial. Karena reduksi Tou

sebagai bentuk perlawanan masyarakat, justru mende-

konstruksi Tou dari identitas sosio-kultural yang egaliter--

Page 13: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 145

sebagai hasil anyaman keragaman Minahasa sejak awal--

menjadi ideologisasi identitas untuk kepentingan primordial.

Dekonstruksi demikian yang dikuatirkan Stuart Hall dalam

penjelasannya mengenai konsep-konsep kunci yang hilang

karena ideologisasi identitas.11 Karenanya, mengacu pada

penjelasan Hall, maka redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai

identitas sosial harus selalu mengacu pada konsep-konsep

kunci, yakni bahwa Tou adalah produk dari tenunan

keragamaman kultural sejak Minahasa awal.

Tou merupakan tenunan kultural yang memberi ruang

setara pada perbedaan yang dikandung tanah Minahasa karena

keragaman yang dimiliki. Tenunan kultural yang dibangun di

atas dasar kesepakatan bersama yang telah diikrarkan sebagai

Tiwa Lumimuut-Toar (janji keturunan Lumimuut-Toar) dan

disyairkan sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si

parukuan cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (Satu

kita semua. Tidak boleh menyembah dan disembah sesama.

Semua manusia itu sama).12

Realitas tanah Minahasa kini, jika mengacu pada teori

mengenai batas-batas etnis Frederik Barth, juga bertolak

belakang dengan apa yang dijelaskan Barth. Dalam Bab II telah

dipaparkan penjelasan Barth, bahwa dalam interaksi antar etnis,

batasan-batasan etnis dipertahankan dengan teguh karena

batasan-batasan tersebut adalah juga batasan sosial. Bahkan

dalam interaksi dengan yang lain, batasan-batasan etnis dikelola

oleh komunitasnya sebagai identitas yang menunjuk

keanggotaan. Karenanya, intensitas interaksi yang terjadi antara

orang berbeda etnis akan memperkecil perbedaan, tetapi

kekhasaan kultural akan tetap kuat jika terus terimplikasi dalam

11 Stuart Hall. Introduction: Who Needs Identity. Dalam Stuart Hall dan Paul du

Gay, Questions of Cultural Identity (New Delhi: Sage Publications, 2003), 3,5.

12

Taroreh, Manado, 2014; Wowor, Manado, 2015; kelompok Mawale

Movement, Manado, 2015.

Page 14: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

146 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

perilaku.13 Yang terjadi pada masyarakat di tanah Minahasa kini,

Tou sebagai identitas sosio-kultural semakin tergerus oleh

ekspansi nilai sosio-kultural baru. Nilai-nilai baru yang

mengedepankan semangat sektarian dan membatasi relasi-

relasi sosial sebatas relasi permukaan. Nilai-nilai baru yang

membelenggu dialektika sosial dalam rangka penguatan Tou

yang egaliter.

Perbedaan-perbedaan tersebut di atas, rupanya terletak

pada signifikansi penguatan lokal yang terjebak pada tindakan

mereduksi Tou (meskipun tidak semua, tetapi kelompok ini

lebih agresif dibanding bagian masyarakat lokal lainnya).

Akibatnya, penguatan lokal menjadi sektarian dan tercabut dari

makna asali yang telah diturun-temurunkan dalam masyarakat.

Karenanya, tidaklah berlebihan jika saya menyimpulkan bahwa

interaksi kutural di tanah Minahasa kini justru berjalan

melawan arah yang sebenarnya. Interaksi yang terjadi justru

menepikan nilai-nilai Tou, dan sebaliknya memberi ruang luas

bagi pengembangan nilai-nilai kultural baru yang mengancam

integritas sosial. Seharusnya, interaksi antara nilai-nilai kultural

Minahasa dan nilai-nilai lainnya konstruktif terhadap Tou.

Interaksi tersebut memang dapat membuat pemaknaan Tou

mengalami transformasi, tetapi transformasi yang konstruktif

dan memperluas pemaknaan tersebut bukan mengingkis dan

mengganti dengan nilai-nilai baru.

Dalam lingkup yang lebih spesifik, intervensi dan

dominasi nilai baru, terbaca juga pada perubahan relasi

perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Nilai-nilai demikian

secara spesifik menampakkan diri dalam model relasi yang

patriarki. Fakta-fakta tersebut antara lain, dapat terlihat pada

kasus-kasus pembatasan akses ke posisi-posisi kepemimpinan

dalam masyarakat dan agama.14 Jika pun ada peran-peran sosial

13 Frederik Barth, Ethnic Group…, 15.

14 Salah satu contoh yang bisa saya kemukakan di sini, yakni kepemimpinan di

GMIM. Data pendeta GMIM perempuan sampai 2017 berjumlah 1.059 orang,

Page 15: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 147

yang bisa diakses oleh perempuan, maka peran tersebut hanya

sebatas posisi yang oleh masyarakat dianggap sebagai posisi

perempuan atau lebih tepat diberikan pada perempuan.

Sekalipun dalam pemerintahan Sulawesi Utara kini, ada 5

perempuan yang menjadi Bupati, satu orang wakil walikota

serta pejabat-pejabat perempuan di beberapa Dinas dan Badan,

jumlah tersebut belum berbanding lurus dengan jumlah

perempuan yang tidak mendapat akses berdasar spesialisasinya

karena pertimbangan jenis kelamin.

Pembagian kerja yang memposisikan laki-laki dan

perempuan berdasar jenis kelamin bertolak belakang dengan

pembagian kerja yang dimaksudkan Durkheim sebagai dasar

perubahan sosial dari masyarakat mekanik ke organik.

Durkheim menjelaskan bahwa perubahan dari masyarakat

mekanik ke organik dimungkinkan karena pembagian kerja

berdasarkan spesialisasi. Karenanya relasi-relasi yang terjadi

adalah relasi ketergantungan fungsional yang setara sebab

setiap individu memiliki peran-peran khusus berdasar

spesialisasi atau kualitas diri.15

Mengacu pada penjelasan Durkheim yang demikian dapat

dikatakan, bahwa Minahasa awal (yang menurut pembagian

masyarakat menurut Durkheim tergolong masayarakat

mekanik) justru telah mulai menyemaikan pembagian kerja

berdasar pada spesialisasi, meskipun tidak sepenuhnya

mengikuti kaidah-kaidah pembagian kerja masyarakat organik

sebagaimana teori Durkheim. Sebaliknya, Dalam konteks tanah

Minahasa kini, pembagian kerja berdasar perbedaan jenis

pendeta laki-laki 406 orang. Dalam perbandingan jumlah demikian, struktur Badan

Pekerja Majelis Sinode yang terdiri dari 15 orang, perempuan haya mengisi 2

posisi. Posisi pertama sebagai salah satu Wakil bendahara dan posisi ke dua sebagai

anggota utusan Komisi Wanita Kaum Ibu (para ketua Komisi Ibu, Bapak, Pemuda,

Remaja dan Anak secara otomatis menjadi anggota BPMS). Dalam perjalanan

sebagai gereja, belum pernah seorangpun dari pendeta perempuan yang menjadi

Ketua Sinode.

15 Lihat pemaparan lebih lengkap dalam Bab II.

Page 16: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

148 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

kelamin tidak sejalan dengan dasar moral masyarakat modern

sebagaimana yang dijelaskan Durkheim dengan teorinya

mengenai masyarakat organik. Masyarakat di tanah Minahasa

kini seharusnya mengembangkan relasi berdasar pembagian

kerja fungsional dan setara, sebagaimana seharusnya diterapkan

dalam masyarakat moderen.

Relasi berdasar pembagian kerja fungsional yang setara—

yang telah disemai oleh leluhur-- seharusnya semakin kuat

karena ditunjang oleh semangat modernitas kini. Penyimpangan

sosial dalam masyarakat di tanah Minahasa kini, menegaskan

bahwa dominasi nilai patriarki, juga memangkas nilai-nilai Tou

yang egaliter yang telah dimulai para leluhur Minahasa.

Pertanyaan mendasar bertolak dari realitas tanah

Minahasa kini, yakni mengapa terjadi penyimpangan sosial

demikian? Mengacu pada pemikiran Linda Martin Alcoff

mengenai konstruksi identitas, penyimpangan demikian dapat

terjadi. Alcoof menjelaskan, bahwa seringkali individu/

masyarakat dapat membentuk identitasnya berdasarkan

pilihannya sendiri. Sebaliknya, tidak jarang identitasnya tidak

ditentukan oleh individu/masyarakat, melainkan ditentukan

antara lain oleh kondisi kolonialisme, rasial, subordinasi jenis

kelamin, konflik bangsa, dan lain-lain.16 Dalam realitas sosio-

kultural di tanah Minahasa kini, ekspansi dan dominasi nilai

kultural patriarki menekan dan menggeser nilai Tou yang

egaliter. Ekspansi dan dominasi nilai kultural patriarki membuat

masyarakat terdesak dan terkonstruksi menjadi patriarkal.

Perubahan demikianlah yang merubah masyarakat, termasuk

merubah pola relasi perempuan dan laki-laki.

Perubahan sosial demikian, terbaca pada sikap

masyarakat di tanah Minahasa kini yang cenderung tidak peduli

terhadap ketimpangan tersebut. Bahkan terkesan kuat

16 Linda martin Alcoff and Eduardo Mendieta, eds., Identity: Race, Class,

Gender, and Nationality (United Kingdom: Blackwell publishing, 2003), 3.

Page 17: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 149

masyarakat mulai terbiasa menerima ketimpangan relasi antara

perempuan dan laki-laki sebagai hal yang wajar. Saya melihat

kecenderungan sosial demikian, justru mengantar masyarakat di

tanah Minahasa kini pada apa yang disebut Marx sebagai

kesadaran palsu. Memang kesadaran palsu dalam teori Marx

bertolak dari konteks masyarakat dengan tekanan berbeda,

yakni proletar yang teralienasi karena sistim sosial yang lebih

memprioritaskan kepentingan borjuis. Meskipun demikian,

penjelasan Marx mengenai kesadaran palsu menjadi relevan

untuk mendorong lahirnya kesadaran sosial di tanah Minahasa

kini. Kesadaran bahwa penyimpangan-penyimpangan sosial

harus ditanggapi dengan upaya mengklaim kembali nilai-nilai

kultural Tou yang egaliter.

Tesis-tesis di atas semakin memperkuat tujuan akhir dari

penelitian dan penulisan disertasi ini, yakni bahwa kepentingan

redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial

masyarakat di tanah Minahasa kini terletak pada upaya

mengkalim kembali Tou dan memposisikan kembali sebagai

identitas sosial. Mengapa redefinisi dan rekonstruksi Tou?

Dalam masyarakat di tanah Minahasa kini yang plural

harus ada identitas sosial yang akan menjadi dasar moral

bersama. Kebutuhan terhadap identitas sosial yang dapat

mengurai ketersinggungan dan ketidaksenangan masyarakat

lokal melihat nilai-nilai kulturalnya diabaikan oleh pendatang. Di

sisi lain, identitas sosial yang akan dipilihpun tidak akan

menyebabkan masyarakat di tanah Minahasa kini menjadi

negara dalam NKRI. Dengan kata lain, identitas sosial tersebut

harus juga memperhitungkan hak pendatang untuk menetap

dan mencari kebutuhan hidupnya di semua wilayah NKRI

sebagaimana dijamin undang-undang.

Kebutuhan akan identitas sosial tersebut mengantar

saya pada kesadaran bahwa Tou adalah nilai kulural yang bisa

menjawab kebutuhan tersebut di atas. Mengapa? Karena nilai-

nilai yang dikandung Tou tidak hanya menekankan mengenai

Page 18: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

150 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

pengaturan bersama kepentingan kelompok-kelompok dalam

komunitas. Nilai-nilai Tou terutama menyangkut kecerdasan,

ketajaman dan kesadaran semua elemen dalam mengelola

keragaman, disertai keberanian berkomitmen terhadap

konsesus yang dibuat.

Redefinisi dan rekonstruksi Tou ada dalam posisi

demikian, mengklaim kembali, memahami secara baru dan

mengkonstruksi Tou sebagai identitas sosial. Artinya, redefinisi

dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial akan

mengembalikan Tou sebagaimana para leluhur mendefinisikan

dan mengkonstruksinya sebagai identitas sosial. Apa yang telah

saya kerjakan dalam Bab IV dan Bab V menjelaskan bahwa

redefinisi Tou mensyaratkan kesediaan memahami moral

kultural yang diemban para leluhur ketika merumuskan Tou

sebagai identitas bersama para taranak.

Intinya, rekonstruksi Tou harus merujuk pada kesadaran

moral sosial yang kuat bahwa Tou adalah pilihan strategis yang

diambil para leluhur Minahasa dalam upaya mengolah

keragaman mereka. Karenanya, paparan Dalam Bab IV dan V

diharapkan cukup untuk menyediakan semua kebutuhan

redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas sosial

masyarakat di tanah Minahasa kini. Selanjutnya, rekonstruksi

Tou tidak bisa tidak harus dapat menjalin kembali keretakan

sosial karena marginalisisi nilai-nilai kultural Tou oleh

pendatang dan reduksi Tou oleh masyarakat lokal.

Pada tataran demikian, jelas bahwa gerakan perlawanan

masyarakat lokal yang telah meletakkan Tou sebagai sentral

rekonstruksi identitas sudah menjadi langkah awal yang baik.

Meskipun demikian, titik berat sebagian masyarakat pada

identitas primordial yang mempolarisasikan masyarakat pada

Tou Minahasa asli versus bukan asli, Tou Minahasa kristen

versus bukan kristen harus dicatat secara tegas sebagai

memperuncing gesekan dan bertentangan dengan makna hakiki

Tou. Hal demikian juga yang dikuatirkan Durkheim, yakni ketika

Page 19: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 151

kesadaran kolektif menguat pada kelompok-kelompok dalam

masyarakat dan mengabaikan kesadaran kolektif secara umum.

Karena jika demikian yang terjadi, maka solidaritas sosial

masyarakat organik akan lemah, bahkan dapat menjadi anomi.

Di pihak lain, marginalisasi nilai kultural Minahasa oleh

pendatang menjadi catatan penting, bahwa kehadiran pendatang

yang tidak mengerti signifikansi identitas Tou merupakan fakta

yang tidak terhindarkan. Karenanya, kesadaran mengenai

pentingnya melakukan redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai

identitas sosial harus menjadi gerakan moral sosial. Gerakan

moral sosial yang memilih dengan sadar untuk mengklaim

kembali Tou sebagai identitas dari masyarakat di tanah

Minahasa kini. Mengklaim kembali Tou sebagai nafas hidup yang

memungkinkan masyarakat di tanah Minahasa kini yang plural

agama, suku dan ras hidup dan berproses bersama sebagai

masyarakat. Inilah juga yang dimaksudkan Durkheim dengan

penjelasannya mengenai bagaimana mengelola penyimpangan

sosial secara positif. Durhkeim pecaya, bahwa penyimpangan

sosial dapat dikelola sebagai kekuatan yang menggerakan

masyarakat untuk menegaskan kembali nilai-nilai moral di mana

solidaritas itu berpijak. Dengan kata lain, masyarakat perlu di

dorong untuk membuat peraturan yang dapat meminimalisir

penyimpangan dan juga kesadaran untuk terus-menerus

memperkuat kembali dasar moral.17

2. Tou sebagai identitas sosial tanah Minahasa dalam

konteks NKRI

Dalam bagian 1 Bab ini saya telah menjelaskan bahwa

pilihan untuk meredefinisi dan merekonstruksi Tou sebagai

identitas sosial, merupakan pilihan strategis berhadapan dengan

penyimpangan sosial di tanah Minahasa kini. Karenanya,

redefinisi dan rekonstruksi Tou adalah upaya mengklaim

17 Doyle, Teori Sosiologi…, 195.

Page 20: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

152 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

kembali pemaknaan Tou sebagaimana dimaksudkan para

leluhur. Redefinisi dan rekonstruksi Tou adalah juga upaya

menemukan kembali identitas diri dan sosial yang menjadi

dasar berpijak dalam keberadan sebagai masyarakat di tanah

Minahasa dan juga sebagai warga NKRI.

Untuk mendapatkan kembali makna asali Tou, saya telah

melakukan kajian terhadap data-data kultural—termasuk di

dalamnya mengakomodir data dari ritual kampetan yang

dilakukan para Tona’as yang menjadi sumber data penelitian ini.

Dalam bab IV telah saya jelaskan bahwa ritual ini merupakan

ritual yang menjadi primadona dikalangan pelaku-pelaku

budaya Minahasa kini. Ritual ini menjadi cara untuk

menghubungkan kembali para pelaku budaya kini dengan para

leluhur yang merasuki tubuh Tona’as. Selain itu, ritual demikian

dilaksanakan dalam rangka memelihara hubungan dengan masa

lalu/leluhur dan juga dalam rangka melestarikan identitas moral

kelompok, dan bukan karena tujuan tertentu.18

Dalam pelaksanaan ritual kampetan, biasanya Tona’as

yang telah mengalami kesurupan (trance) akan menyampaikan

nasihat-nasihat dari para leluhur untuk dilakukan para

turunannya (masyarakat lokal di tanah Minahasa). Ucapan-

ucapan leluhur yang menggunakan bahasa Minahasa tua dapat

dimengerti oleh para peserta ritual karena diterjemahkan oleh

pembantu Tona’as.19 Dalam bab IV saya menjelaskan, bahwa

penuturan Tona’as yang kesurupan saya terima sebagai data

karena demikianlah mereka menggambarkan dan menuturkan

mengenai pemahaman mereka tentang diri, komunitasnya,

masyarakat dan dunia mereka. Berdasar observasi dan

wawancara yang saya lakukakan, saya menyimpulkan bahwa

18 Ibid, 533.

19 Orang-orang Minahasa yang tinggal di kampung-kampung pada umumnya

masih menggunakan bahasa Minahasa sebagai bahasa komunikasi, terutama yang

berusia 55 tahun ke atas. Pada umumnya, meskipun mereka tidak fasih lagi

menggunakan bahasa Minahasa dalam percakapan, tetapi sebagian besar mengerti

apa yang diucapkan orang lain dalam percakapan.

Page 21: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 153

ritual-ritual, termasuk kampetan adalah cara mereka

mengekpresikan perasaan, realitas yang mereka hadapi dan

pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban-jawaban

segera.

Kesimpulan demikian, sejalan dengan penjelasan Victor

Turner, bahwa ritual selalu terkait atau merupakan ekspresi

komunitas mengenai apa yang mereka alami, rasakan dan

harapkan. Karenanya, menurut Turner semakin tinggi frekuensi

pelaksanaan ritual berkorelasi dengan kompleksitas konflik

yang dialami komunitas suku.20 Apa artinya? artinya, semua

yang terpapar dalam realitas sosial sangat terkait erat dengan

ritual. Oleh karena itu, ritus tidak hanya dipahami sebagai

prosesi upacara keagamaan semata, tetapi juga menyangkut

prosesi hidup sebagai masyarakat. Bagaimana masyarakat

berelasi, memahami relasi yang berlangsung, dan menerima

perubahan-perubahan dalam relasi sebagai prosesi ritual.21 Pada

posisi demikian, ritus adalah juga tahapan yang menggambarkan

bagaimana realitas sosial dirajut. Sejalan dengan Turner, Genep

juga memberi penekanan yang sama terhadap pelaksanaan

ritual. Bagi Genep pelaksanaan ritual sangat terkait dengan

realitas hidup yang dihadapi masyarakat. Karenanya, seluruh

tahapan manusia selalu terkait dengan ritus (telah dijelaskan

dalam Bab III).

Durkheimpun melihat hal yang sama, bahwa ritus

dilaksanakan dalam rangka menyatukan komunitas, dan juga

mengikat mereka dalam pengalaman yang sama. Pengalaman

yang sama yang akan terulang setiap kali mereka melakukan

ritual. Mengacu pada Turner, Genep dan Durkheim, maka dapat

disimpulkan, bahwa ritual kampetan, adalah juga cara

masyarakat lokal mengelola keinginan dan harapan mereka

terhadap kehidupan yang mereka jalani sebagai bagian dari

20 Ibid, 6,10.

21

Ibid, 7.

Page 22: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

154 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

masyarakat di tanah Minahasa kini, masyarakat Sulawesi Utara

dan juga sebagai bagian dari NKRI.

Dengan memaparkan kembali proses pengklaiman Tou

yang demikian, saya ingin menegaskan bahwa Tou adalah tanah,

manusia, alam dan semua yang berjejalin dengan spitualitas

khas dalam wale, walak, pakasa’an, dan yang kemudian menjadi

Minahasa. Tou adalah bagian yang turut bersepakat ketika

Negara Indonesia merdeka akan dibetuk. Tou adalah identitas

kultural yang termanifestasi dalam cara pikir, perilaku dan

tindakan orang-orang di tanah Minahasa yang menyatakan diri

sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mengklaim kembali Tou adalah cara masyarakat

membangun kembali solidaritas sosial melalui ritual kepada The

Sacred. Singkatnya, ritual menjadi sarana untuk menghidupkan

kembali pengalaman-pengalaman bersama sebagai masyarakat

lokal Minahasa yang menyatu dalam NKRI. Solidaritas sosial

yang demikian mempertegas pemikiran Durkheim mengenai

keterkaitan yang kuat antara pengalaman-pengalaman sosial

yang dihadapi masyarakat dengan ritual kepada The Sacred.

Pengalaman-pengalaman sosial yang tidak hanya mengikat

masyarakat sebagai kesatuan, tetapi juga menegaskan bahwa

pengalaman-pengalaman tersebut adalah juga pengalaman

religius.

Mengacu pada Durkeim dapat disimpulkan, bahwa NKRI

sebagai buah solidaritas sosial tidak sekedar wadah bersama

dari kepelbagian masyarakat yang menyatakan diri sebagai

Indonesia. Karenanya, meskipun dalam bahasa politis,

penggabungan Minahasa ke dalam NKRI dipahami sebagai klaim

negara terhadap etnik. Klaim negara yang telah mengerakkan

masyarakat etnis untuk rela bergabung membentuk komunitas

yang setara dan mengeyampingkan latar-belakang rasial, agama

Page 23: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 155

atau bahasa yang berbeda.22 Lebih dari itu, NKRI adalah realitas

yang kudus yang menjadi ruang bersama dari kepelbagian

masyarakat, termasuk identitas Tou Minahasa. Kekudusan NKRI

sebagai ruang bersama, turut juga menegaskan kekudusan

identitas Minahasa. Karenanya, mengancam solidaritas sosial

NKRI dan identitas Tou Minahasa adalah juga ancaman terhadap

kekudusan bermasyarakat dan berbangsa.

Penjelasan di atas penting dipaparkan, dalam rangka

memposisikan kembali Tou sebagai identitas sosial di tanah

Minahasa kini dalam konteks NKRI dengan Pancasila sebagai

identitas kebangsaan.

Dalam Bab II, telah saya deskpripsikan historisitas

Penetapan Pancasila sebagai dasar Negara. Penetapan yang telah

melewati pergulatan pemikiran, terutama antara kalangan

nasionalis dan Islam. Karenanya penetapan Pancasila sebagai

dasar negara dan juga penghapusan tujuh kata dalam

mukadimah UUD 1945, menegaskan bahwa persoalan

pengutamaan kelompok tertentu telah selesai. Pancasila menjadi

payung yang mengatasi identitas-identitas sosial (lokal) di

Indonesia dan meletakan semuanya pada tataran sejajar.

Meskipun demikian tidak dengan begitu saja gerakan-gerakan

lokal turut berakhir. Dalam perjalanan berbangsa dan

bernegara, persoalan pengelolaan relasi antara pemerintah

NKRI dengan masyarakat lokal, masih menjadi penyebab

menguatnya kembali gerakan-gerakan lokal di beberapa tempat

di Indonesia.

Gerakan lokal yang terjadi di tanah Minahasa dalam

kaitan dengan NKRI, yakni gerakan rakyat yang menyebut diri

sebagai PERMESTA (Perjuangan Rakyat Semesta). Kelahiran

PERMESTA dilatar-belakangi oleh kekecewaan terhadap

perkembangan bernegara di era 1950-an, yang cenderung

22 David Brown, Ethnic Conflict and Nationalism, dalam John Hutchinson,

Ethnicity, 307.

Page 24: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

156 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

memprioritaskan Jawa dan mengabaikan kepentingan daerah-

daerah luar Jawa. George McT. Kahin menyimpulkan

kekecewaan rakyat diluar Jawa sebagai ekspresi dari kesadaran

politik bahwa mereka diabaikan dan dibedakan dari suatu kasta

pimpinan nasional yang semakin Jawa sentris di Jakarta.23

Kompleksitas permasalahan semakin berkembang,

karena kepentingan politik, ekonomi dan kesejahteraan rakyat

di luar Jawa—khususnya di Sulawesi sangat jauh dari yang

diharapkan. Barbara Sillars Harvey dalam bukunya yang

berjudul PERMESTA Pemberontakan Setengah hati, memberi

contoh kasus harga penjualan kopra dan pengurusan distribusi

kopra yang tidak memenuhi ekspetasi masyarakat di Sulawesi,

khususnya Minahasa.24

Permesta awalnya direncanakan oleh orang-orang sipil

yang tergabung dalam Partai Kedaulatan Rakyat (PKR). Anggota-

anggota PKR ini memegang jabatan-jabatan penting dalam

pemerintahan di Sulawesi—termasuk di dalamnya Gubernur

Sulawesi, Andi Burhanuddin. Pada bulan Februari 1957 Andi

Burhanuddin mengatasnamakan rakyat Sulawesi menyampai-

kan kepada Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri

tuntutan agar Provinsi Sulawesi diberi status otonom dalam

tempo satu bulan. Harvey mencatat tuntutan-tuntutan tersebut

sebagai berikut:

Supaya disediakan uang untuk proyek-proyek pembangunan di provinsi; dan supaya diberi prioritas bagi suatu pembagian penghasilan provinsi, yaitu 70% dari penghasilan ditahan oleh daerah, dan 30 % untuk pemerintah pusat. …dia telah membicarakan dengan Menteri tentang

23 George McT. Kahin, Kata Pendahuluan, dalam Barbara Sillars Harvey,

PERMESTA Pemberontakan Setengan Hati. Terjemahan oleh Inkultra (Jakarta:

Grafiti Pers, 1984), 2.

24

Pejelasan lengkap mengenai kekecewaan Sulawesi, termasuk Sulawesi Utara

terhadap pemerintah pusat dapat di baca dalam tulisan Barbara Sillars Harvey,

PERMESTA Pemberontakan Setengan Hati, 49-53.

Page 25: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 157

keinginan rakyat Sulawesi untuk membagi pulau ini menjadi dua provinsi otonom…Gubernur mengatakan, sangat diharapkan untuk mengangkat orang-orang Sulawesi menduduki jabatan-jabatan administrasi dalam provinsi, sebab orang-orang setempat lebih menyadari adat dan tradisi setempat, yang membuat pekerjaan lebih lancar.25

Gejolak dalam masyarakat di Sulawesi semakin menguat,

karena tuntutan-tuntutan mereka tidak ditanggapi oleh

pemerintah pusat. Kekecewaan mendorong PKR untuk

melakukan gerakan-gerakan yang lebih kuat, khususnya

membangun komitmen dan kesadaran yang sama dengan

kelompok-kelompok lain. Harvey menjelaskan bahwa selama

bulan Februari 1957 telah dilakukan rapat-rapat dengan

kelompok-kelompok pemuda, sipil yang lebih tua, dan perwira

militer setempat (yakni dengan Letnan Saleh Lahade yang

kemudian menjadi penghubung dengan para perwira militer

senior asal Indonesia Timur).26

Pada 2 Februari 1957, Saleh Lahade mewakili Sulawesi

membacakan Piagam Perjuangan Semesta Alam. Piagam ini

menuntut otonomi provinsi, perhatian pada perkembangan

wilayah, alokasi dana yang lebih adil dari penghasilan dan

devisa asing, pengesahan dan perdagangan barter,

pembangunan Indonesia Timur sebagai daerah pertahanan

territorial dan pemberian suatu mandat untuk penyelesaian

keamanan di daerah.27

Penting untuk dicatat, bahwa gerakan lokal tersebut

kemudian menyebabkan perang saudara antara pemerintah

pusat dan pemerintah Sulawesi. Perang tersebut kemudian

terpusat di Manado-Minahasa karena pusat komando

25 Ibid, 62,63.

26

Ibid, 64.

27

Ibid, 70.

Page 26: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

158 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

PERMESTA yang dipindahkan dari makasar ke Manado-

Minahasa. Maret 1957, Ventje Sumual membacakan Deklarasi

politik PERMESTA dengan tetap meletakkan gerakan tersebut

dalam bingkai Negara Republik Indonesia.28 Suatu deklarasi

politik yang menginginkan perubahan mendasar di wilayah

Sulawesi.

Memaparkan PERMESTA sebagai gerakan rakyat adalah

upaya untuk menunjuk kegagalan pengelolaan relasi identitas

ethnic-nation yang pernah terjadi antara NKRI dan Minahasa.

Kajian-kajian yang dilakukan Harvey, menjelaskan bahwa ada

kesalahan pengurusan administrasi negara dalam relasi dengan

kepentingan lokal. Kajian ini sejalan dengan penjelasan Brown

bahwa relasi identitas etnik dengan identitas bangsa sangat

tergantung pada kapasitas negara mengelola administrasi.29 Jika

negara mampu mengelola manajemen relasinya dengan

masyarakat etnis secara proporsional, maka konflik dapat

diminimalisir. Di sisi lain, Brown juga mengingatkan bahwa

dalam relasi identitas bangsa dan identitas etnis seringkali

negara bersikap ambigu. Negara memberi perhatian pada warga

negara yang memiliki atribut kultural yang kuat, dan

memarginalisasi kepentingan masyarakat yang memiliki atribut

kultural yang lemah.

Kasus PERMESTA bisa saja dilihat dari sudut teori

Brown di atas, mengingat penggabungan ke NKRI

mengharuskan penguatan solidaritas nasional, sementara itu

basis-basis kultural yang awalnya kuat mulai diminimalisir. Di

sisi lain, kasus PERMESTA juga mengindikasikan, bahwa

kekuatan-kekuatan kultural dapat dibangkitkan oleh kesadaran

bersama mengenai kepentingan lokal mereka yang tergerus.

Kesadaran yang kemudian mendorong masyarakat Minahasa

melalui PERMESTA untuk merebut kembali hak atas tanah, hak

28 Ibid, 165.

29

Brown, Ethnic…, 306.

Page 27: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 159

atas kehidupan yang sejahtera dan setara sesuai tujuan

penyatuan dengan NKRI.

Gerakan berbasis kultural, kembali terjadi melalui

pelaksanaan Konggres Minahasa Raya pada 5 Agustus 2000.

Konggres ini diprakarsai oleh Tua-tua Adat, Tua-tua kampung

dari 7 pakasa’an, tokoh agama dan masyarakat, kalangan

masyarakat umum dan para pejabat lokal (al. Wakil Gubernur

Fredy Sualang dan Bupati Minahasa Dolvie Tanor). Konggres

Minahasa Raya dilaksanakan sebagai reaksi terhadap

kecederungan politik nasional yang berwajah sektarian Islam,

terutama terkait dengan rencana MPR untuk memasukkan

Piagam Jakarta dalam amandemen UUD’45. Selanjutnya,

Konggres ini merumuskan Rekomendasi Sidang sebagai berikut:

Satu. Menpertegas kembali komitmen ke-Minahasaan di dalam ke-Indonesiaan, di dalam negara Republik Indonesia sebagai yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Undang-undang dasar 1945. Penegasan ini bersumber dari kesadaran bahwa sejak berdirinya republik ini, komponen-komponen rakyat Minahasa sudah terlibat dalam peran aktif tanpa pamrih. Bahkan tidak sedikit jiwa dan raga rakyat Minahasa yang telah dipersembahkan bagi tegaknya negara RI.

Dua. Menolak segala kecederungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukkan gagasan “Piagam Djakarta” dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apapun ke dalam UUD 1945-Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Jika keinginan untuk membatalkan komitmen proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan

Page 28: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

160 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikitpun, maka pada saat yang sama eksistensi keberadaan NKRI berakhir. Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesiaan dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasaan dalam ke-Indonesiaan. Dengan demikian, maka rakyat Minahasa berhak menentukan nasibnya sendiri untuk masa depan.

Tiga. Menentang dan mengutuk segala bentuk kekerasan yang dijadikan alat politik untuk mempertentangkan komponen-komponen bangsa Indonesia, serta mendesak seluruh unsur pimpinan negara di Jakarta (eksekutif, legislatif, dan judikatif serta militer) untuk menyelesaikan konflik-konflik dan kerusuhan-kerusuhan yang telah dijadikan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) serta menutup segala kemungkinan munculnya konflik-konflik dan kerusuhan-kerusuhan serupa terjadi.30

Mengacu pada rumusan rekomendasi Konggres tersebut

di atas, jelas bahwa gerakan berbasis identitas lokal Minahasa

dilakukan sebagai upaya mengklaim kembali kesepakatan

Minahasa-NKRI pada saat menyatakan diri menjadi bagian NKRI.

Hal menarik lainnya yang juga tercetus dalam Konggres

Minahasa tersebut, yakni wacana Minahasa Merdeka digemakan

sebagai tindakan lanjutan yang akan diambil rakyat Minahasa

jika MPR tetap memasukkan Piagam Jakarta dalam amandemen

UUD’45. Wacana tersebut memang tidak mendapat tanggapan

serius dari pemerintah pusat karena hanya dilihat sebagai

seruan yang tidak menjadi penanda gerakan makar terhadap

NKRI. Meskipun demikian, wacana Minahasa Merdeka

mendeskripsikan dengan jelas kegusaran dan kekritisan

masyarakat lokal Minahasa terkait dengan pengelolaan relasi

nation-etnis di Indonesia.

30 https://m.facebook.com.

Page 29: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 161

Wacana Minahasa Merdeka kembali didengungkan oleh

beberapa kelompok masyarakat kini, sebagai tanggapan

terhadap pergulatan politik nasional berbasis SARA yang

menguat di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sejak awal

tahun 2017.31 Meskipun wacana tersebut hanya dilakukan oleh

beberapa kelompok, tetapi cukup mendeskripsikan mengenai

relasi identitas keminahasaan yang terus berdialektika dengan

identitas kebangsaan.

Kecenderungan sosial demikian semakin mengugah

kesadaran bahwa redefinisi dan rekonstruksi Tou berhadapan

dengan identitas NKRI merupakan kebutuhan mendesak.

Redefinisi dan rekonstruksi Tou berhadapan dengan identitas

NKRI adalah juga bagaimana masyarakat di tanah Minahasa kini

memahami Tou sebagai identitas sosial keminahasaan yang

mengindonesia. Saya merekam harapan Ketua Aliansi

Masyarakat Adat Nasional Sulut, Allan Sumele sebagai berikut:

Bagi saya generasi masa kini adalah generasi yang bertugas mencari hal-hal baik yang pernah ada di masa lampau dan kemudian menilai apa yang baik yang ada di masa Kini supaya ada yang bisa diwariskan lagi bagi generasi di masa depan. Selanjutnya menurut saya, pergeseran-pergeseran dalam masyarakat kita terjadi al. karena penguasaan-penguasaan negara melalui kebi-jakan-kebijakannya yang merubah pengakuan terhadap lokal dan mengenyampingkan nilai-nilai lokal. Kemudian bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut tidak bertolak-belakang dengan kearifan lokal, sehingga menyebabkan banyak hal terjadi. Kita juga perlu memperkuat diri dengan nilai-nilai

31 Wacana Minahasa Merdeka kembali didengungkan, terutama berkaitan dengan

gerakan-gerakan sektarian Islam yang berusaha menekan pemerintah Pusat dan

masyarakat DKI terkait dengan pelaksanaan PILKADA DKI. Tekanan-tekanan

yang dilakukan yang telah mendiskreditkan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahya

Purnama dan mengkaitkan dengan keberadaanya sebagai orang Kristen telah

menyinggung perasaan kebangsaan masyarakat Minahasa. Gerakan-gerakan

sektarian tersebut dinilai telah mencederai kesetaraan sebagai warga bangsa.

Page 30: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

162 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

budaya agar kita tidak gampang ikut arus, dan dapat bersikap. Seperti lalu di masa-masa awal sebagai bagian NKRI, gerakan Permesta yang dilakukan tua-tua kita karena mereka ingin memiliki hak atas pengelolaan tanah.32

Pemaparan dalam Bagian ini semakin mempertegas

pentingnya redefinisi dan rekonstruksi Tou sebagai identitas

sosial di tanah Minahasa dalam konteks NKRI. Saya mencatat

bahwa kepentingan redefinisi dan rekonstruksi Tou bertujuan

menjadikan masyarakat di tanah Minahasa sebagai warga NKRI

yang hidup dan dihidupi oleh nilai Tou.

Redefinisi dan rekonstruksi Tou dalam hadap-hadapan

dengan NKRI adalah juga upaya memahami kembali identitas

diri dan identitas keminahasaannya dalam rangka

memposisikan diri secara proporsional dalam konteks NKRI. Hal

demikian sangat dimungkinkan, karena nilai-nilai Tou yang

egaliter menyediakan kebutuhan-kebutuhan masyarakat di

tanah Minahasa untuk setia pada komitmen NKRI dengan

berbasis pada penguatan-penguatan lokal keminahasaan.

Bersamaan dengan itu, nilai-nilai Tou yang egaliter akan terus

merangsang negara untuk memeriksa kembali manajemen

relasinya dengan etnis dan kelompok-kelompok lokal lainnya.

Mengapa manajemen relasi NKRI dengan etnisitas penting?

Karena jika tidak, manajemen yang rapuh dapat menjadi

penyebab pencideraan terhadap NKRI.

Dalam bagian sebelumnya, mengacu pada pemikiran

Durkheim mengenai keterkaitan solidaritas sosial, ritual pada

The Sacred, saya menjelaskan bahwa disepakatinya

pembentukan NKRI dengan Pacasila sebagai dasar negara tidak

hanya mengikat masyarakat sebagai kesatuan. Lebih dari itu,

kesepakatan yang melewati pergulatan intelektual dan batin

adalah juga pengalaman relijius sebagai bangsa. Dengan

32 Wawancara dengan Allan Sumele, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara

SULUT, Manado, 2015.

Page 31: Bab VI REDEFINISI DAN REKONSTRUKSI TOU DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13361/6/T2_762011001_BAB VI... · Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan

Redefinisi dan Rekonstruksi Tou dalam Masyarakat di Tanah Minahasa 163

demikian, NKRI sebagai buah solidaritas sosial tidak sekedar

wadah bersama dari kepelbagian masyarakat yang menyatakan

diri sebagai Indonesia. NKRI merupakan realitas yang kudus

karena dibidani oleh pengalaman relijius sebagai bangsa. NKRI

demikian yang menjadi ruang bersama dari kepelbagian

masyarakat, termasuk identitas Tou Minahasa. Karenanya,

kekudusan NKRI sebagai ruang bersama, turut juga menegaskan

kekudusan identitas Tou Minahasa. Itu artinya, tindakan-

tindakan yang membahayakan solidaritas NKRI—termasuk di

dalamnya pengelolaan relasi dengan masyarakat etnis oleh

pemerintah- dapat menjadi ancaman terhadap kekudusan

berbangsa. Bersamaan dengan itu, reduksi identitas dan

pengabaian identitas Keminahasaan dalam konteks NKRI adalah

juga tindakan yang sama membahayakan bagi NKRI. Karena

pada dasarnya, identitas Minahasa adalah juga salah satu tiang

yang menyangga kekokohan bangunan NKRI. Pentingnya

redefinisi dan rekonstruksi Tou ada dalam posisi ini, yakni

bagaimana mengembalikan Tou sebagai identitas sosial

Minahasa yang mengokohkan bangunan NKRI.