bab v etnogenesis rumpun etnik ... -...

40
201 BAB V ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM MATTA DALAM ALUR TEORITIK Pada bagian sebelumnya Penulis telah mendudukan sejarah sosial dan etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta melalui telusuran atas narasi-narasi dan praktik-praktik sosial mereka. Telusuran tersebut menegaskan bahwa rumpun etnik memliki pemahaman sejarah kritis dan konstruktif berbasis pada pengalaman sosial-kultural-religi mandiri melalui perjalanan panjang fase-fase sejarah sosial mereka. Mereka telah membangun dan mengedepankan perspektif kritik sejarah melalui narasi-narasi dan praktik-praktik sosial tandingan-alternatif. Mereka menjadi the makers of their own life. Mereka menjadi kreator kolektif sejarah mereka. Inilah sejarah kritik-konstruktif lokal. Kini Penulis akan membahas lebih jauh fenomena historis etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta mengikuti perangkaan dan alur teoiritik yang telah penulis sediakan. Bagian ini akan dipaparkan melalui sub-sub bab seperti berikut: mengelola dua kompleks perjumpaan, Dualitas inkorporasi, Reidentifikasi identitas dan reafirmasi moralitas sosial, Membangun masyarakat multicultural serta Sumbanga teoritik. A. Mengelola dua Kompleks Perjumpaan Internal dan Eksternal: Membangun Integrasi Sosial dan Sistem Sebelumnya sudah diperlihatkan bagaimana rumpun Etnik Mbaham Matta menjalani dan mengelola perjumpaan internal maupun eksternal. Secara internal mereka harus melewati fase-fase sejarah sosial yang mengantar pada kesadaran sosial dan moralitas sosial baru. Kondisi mana telah

Upload: buibao

Post on 24-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

201

BAB V

ETNOGENESIS RUMPUN ETNIK MBAHAM

MATTA DALAM ALUR TEORITIK

Pada bagian sebelumnya Penulis telah mendudukan

sejarah sosial dan etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta

melalui telusuran atas narasi-narasi dan praktik-praktik sosial

mereka. Telusuran tersebut menegaskan bahwa rumpun etnik

memliki pemahaman sejarah kritis dan konstruktif berbasis

pada pengalaman sosial-kultural-religi mandiri melalui

perjalanan panjang fase-fase sejarah sosial mereka. Mereka

telah membangun dan mengedepankan perspektif kritik

sejarah melalui narasi-narasi dan praktik-praktik sosial

tandingan-alternatif. Mereka menjadi the makers of their own

life. Mereka menjadi kreator kolektif sejarah mereka. Inilah

sejarah kritik-konstruktif lokal. Kini Penulis akan membahas

lebih jauh fenomena historis etnogenesis rumpun etnik

Mbaham Matta mengikuti perangkaan dan alur teoiritik yang

telah penulis sediakan. Bagian ini akan dipaparkan melalui

sub-sub bab seperti berikut: mengelola dua kompleks

perjumpaan, Dualitas inkorporasi, Reidentifikasi identitas dan

reafirmasi moralitas sosial, Membangun masyarakat

multicultural serta Sumbanga teoritik.

A. Mengelola dua Kompleks Perjumpaan Internal dan

Eksternal: Membangun Integrasi Sosial dan Sistem

Sebelumnya sudah diperlihatkan bagaimana rumpun

Etnik Mbaham Matta menjalani dan mengelola perjumpaan

internal maupun eksternal. Secara internal mereka harus

melewati fase-fase sejarah sosial yang mengantar pada

kesadaran sosial dan moralitas sosial baru. Kondisi mana telah

202 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi memampukan mereka mengatasi mental ghetto kerjawriya

yang penuh dengan konflik, perang atau hongi, dan

pengayauan serta ragam praktik-praktik tanpa moralitas

sosial serta struktur sosial eksploitatif atas manusia. Mereka

mampu melakukan transformasi sosial dengan membangun

aliansi yang berbasis pada kekerabatan yang bertolak dari

aliansi lintas marga dalam tiap kampung dan wilayah serta

lintas suku di bawah payung bersama Mbaham Matta.

Mereka menata sebuah sistem sosial yang menjadi

ruang interaksi antar marga, kampung, dan agama. Mereka

menjadi aktor-aktor sosial individual dan kolektif dalam ruang

sosial baru. Sistem kekerabatan menjadi basis kohesi dan

solidaritas sosial baru. Melewati fase panjang keterisolasian

dan perang hongi, mereka mengangkat sumpah kolektif untuk

menguburkan semua paham dan praktik sosial yang

menghancurkan dan merusak kehidupan. Mereka menemukan

betapa pentingnya ontological security bagi tatanan kehidupan

bersama. Mereka mengusung cita-cita etik-moral atau core

value baru yakni idu-idu maninina, damai (peace). Kehidupan

yang mencintai damai. Kata idu-idu maninina menunjuk

kepada tindakan simbolik memangku dan menaruh tangan di

atas kepala seseorang untuk memberi perlindungan dan rasa

aman.

Di sisi ini rumpun etnik Mbaham Matta membangun

integrasi sosial1 atau integrasi internal melalui penataan

1 Meminjam istilah yang dipakai oleh Anthony Giddens, lihat: bab II

tulisan ini, dengan perluasan tidak hanya menunjuk pada interaksi antar aktor individual, tetapi juga antar kolektivitas dalam masyarakat itu; Lihat Nicos P. Mouzelis, Back to Sociological Theory: the Construction of Social Orders (New York: Palgrave Macmillan, 1991) yang merumuskan konsep integrasi sebagai “regularized ties, interchanges, or reciprocity of practices between either actors or collectivities.” Resiporsitas praktik-praktik sosial ini bergerak atau mengayun antara relasi-relasi otonom dan dependensi relatif. Artinya: pada satu sisi ada aspek otonomi dan pada sisi lain aspek dependensi yang membentuk interdependensi antar tindakan atau aktivitas aktor/kolektifitas.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 203

interaksi sosial lintas aktor individual maupun kolektif dalam

masyarakat baru berdasarkan perjanjian lintas marga dan

aliansi wilayah yang diikat dengan sumpah kolektif (warqpa

thumber) untuk hidup dalam idu-idu maninina demi

terpeliharanya ontological security. Tahapan ini sangat penting

karena menunjukkan secara historis bagaimana tahapan,

proses dan dinamika etnogenesis rumpun etnik Mbaham

Matta berlangsung. Integrasi sosial menjadi prasayarat utama

dan menentukan bagi aliansi baru rumpun etnik Mbaham

Matta dalam menghadapi perubahan-perubahan sistemik

sebagai akibat dari perjumpaan dengan unsur-unsur politik-

ekonomi dan agama-agama baru yang memasuki wilayah

geografis dan kompleks sosial-kultural mereka.

Di sisi lain mereka menghadapi dan mengelola

kedatangan unsur-unsur politik-ekonomi dan agama-agama

baru yang membentuk suatu kompleks sistem eksternal

dengan integrasi sistem2 di luar kompleks sistem sosial

mereka. Suatu kompleks politik-ekonomi-religi baru yang

menjadi pengarah bagi eksistensi mereka. Kompleks sistem

sosial eskternal hadir melalui gerakan perluasan otoritas

politik-ekonomi-dagang Kesulatanan Tidore dan Belanda.

Dengan perluasaan otoritas ini ikut serta pula agama Islam,

Protestan, dan Katolik. Komponen-komponen keagamaan ini

hadir dengan gerakan dakwah, zending, dan misi masing-

masing. Kehadiran, keberadaan dan perluasaan kekuasaan

serta agama-agama ini telah dipaparkan pada Bab III-IV.

Integrasi sistemik ini juga berjalan secara khas. Sistem politik

kesultanan Tidore dan Belanda hadir sebagai kekuatan-

2Meminjam juga istilah yang digunakan oleh Giddens, lihat: Bab II

tulisan ini. Dan lihat catatan kaki nomor 299, ibid. Adanya relasi otonom dan dependensi yang membentuk interdependensi antar aktor/kolektivitas ini mengantar kita untuk memahami relasi antara sistem sosial internal (sistem sosial mikro) dan sistem sosial eksternal (sistem sosial makro), antara integritas sosial dan integritas sistem sebagai relasi resiprokal (interdependen) dengan tetap ingat pada aspek otonomi masing-masing sistem dan intergasi ini.

204 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi kekuatan yang ada dalam perjanjian ekonomi-dagang.

Hubungan kedua kekuatan politik-ekonomi ini sangat dinamis

yang diakhiri dengan klaim politik Belanda atas Papua bagian

Barat. Integrasi sistemik mewujud dalam tata pemerintahan

maupun ekonomi lokal dengan sistem raja (petuanan) beserta

struktur jabatannya. Kemudian sistem politik-ekonomi

kesultanan diganti oleh tata pemerintahan-ekonomi Belanda

sejak 1896. Bersamaan dengan itu gerakan dakwah dan misi

agama-agama membangun sistem dan jejaring aktifitas

mereka: dakwah rohani dan misi sosial.

Kita bisa melihat eksistensi lingkaran pertama dalam

skema atau alur studi dan teoritik di bawah ini

menggambarkan (1) eksistensi sistem sosial eksternal, sistem

sosial makro, yang membentuk integrasi sistem yang

terususun dari agama Islam, Protestan, dan Katolik dengan

backing up politik-ekonomi Kesultanan Tidore dan Belanda;

(2) eksistensi sistem sosial internal, sistem sosial mikro

(singkat: sistim sosial) rumpun etnik Mbaham Matta yang

berpusat dalam adat dan kekerabatan yang menerima dan

merangkul agama Islam, Protestan, dan Katolik ke dalam

ruang sosial-budaya mereka.

Alur studi dan kerangka teoritik

Selanjutnya kita bisa melihat proses dan dinamika

rumpun etnik Mbaham Matta menerima kehadiran unsur-

unsur sistemik eksternal (sistem sosial makro): agama-agama

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 205

dan politik-ekonomi. Melalui proses negosiasi dalam wilayah

demarkasi sosial-kultural (ethnic boundary) rumpun etnik

Mbaham Matta kita melihat dual proses, yakni inklusi dan

kritikal. Dual proses ini menunjukkan kepada relevansi

teoritik yang dikemumakan oleh Fredrik Barth terkait

pemeliharaan wilayah demarkasi etnik (ethnic bondary) dalam

sejarah etnogenesis etnik. Dalam area tertentu kelompok etnik

diizinkan untuk berinteraksi yang membuka jalan bagi proses

ambil-beri sosial-kultural. Proses ini yang penulis definisikan

sebagai inklusi. Inklusi menunjuk kepada penerimaan unsur-

unsur baru sistem politik-ekonomi dan agama-agama. Dalam

pengalaman etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta terlihat

bahwa atas dasar pemahaman tentang vision kultural Tete

Teang dan komunitas gerakan Mahambodmur serta didukung

penuh oleh sistim kekerabatan baru (aliansi-alianis lintas

marga, kampung, wilayah) mereka menerima agama Islam,

Protestan, dan Katolik. Mereka berpemahaman dasar bahawa

agama-agama itu telah mereka terima, dan kini agama-agama

itu datang secara langsung, dan mereka telah menyediakan

ruang sosial-budaya untuk menerima agama-agama ini.

Penerimaan agama-agama ini adalah dalam rangka

mematutkan atau melayakkan mereka dalam kompleks sosial-

kultural-religi baru. Inklusi ini dinyatakan melalui metafora:

“menerima agama-agama seumpama memilih dan

mengenakan pakaian pada tubuh kami.” Mereka memilih atas

dasar musyawarah dan pilihan bebas serta melalui pertukaran

sosial-religius yang khas sebagai adat mereka. Mereka tidak

terbeban oleh perbedaan-perbedaan doktrin, kultus dan ritus

serta sistim nilai dan etika yang dibawa oleh Islam, Protestan,

dan Katolik. Mereka mempertahankan identitas sebagai

individu dan kolektivitas adat yang menjunjung kekerabatan

dan etika hidup damai. Penulis teringat pada percakapan

dengan seorang tetua adat Mbaham Matta beberapa tahun

lalu. Tetua adat ini menjawab pertanyaan Penulis tentang

mengapa mereka menerima tiga agama sedemikian: “Kami

206 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi menerima ketiga agama, supaya berkatnya lengkap dan

sempurna. Bila kami menerima hanya satu agama, maka

berkatnya juga terbatas dan terpotong.” Mereka menerima dan

menempatkan agama-agama dalam struktur keruangan sosial

mereka sebagaimana digambarkan melalui metafora rumah

yang disampaikan oleh Ustadz Jamhari Iha.3 Metafora rumah

secara turun-temurun mereka gunakan menjelaskan

komunitas dialogis-komunikatif di mana ruang-ruang privat

keagamaan (digambarkan dengan kamar-kamar tidur) tidak

menghalangi anggota-anggota keluarga untuk setiap hari

berjumpa dan bertukar pikiran serta membahas permasalahan

atau tugas yang dihadapi dan dituntaskan di ruang publik

(digambarkan dengan ruang tamu/ruang besar). Bahkan

ruang dapur dengan satu tungku digunakan bersama oleh

mereka tanpa kecanggungan dan kegamangan doktrinal

agamawi. Dalam tradisi saling kunjung dalam perayaan hari

raya Idulfitri dan Natal, kerabat di gunung (Kristen) telah

menyiapkan peralatan masak, makan dan tidur yang

dikhususkan bagi kerabat dari pantai (Muslim) dan sebaliknya.

Peralatan-peralatan ini hanya diambil dan digunakan ketika

kerabat mereka berkunjung dan menginap, setelah itu

dibersihkan dan disimpan lagi secara rapih dan baik. Dalam

beberapa kesempatan diskusi lepas dengan beberapa tokoh

masyarakat Fakfak, metafora rumah ini juga digunakan secara

bijak dan halus merespons kecenderungan fanatisme dan

radikalisme agama untuk mencap atau mengaitkan satu

daerah dengan kiblat-kiblat keagamaan. Terhadap isu atau

topik bertendensi keagamaan itu muncul tanggapan bijak

masyarakat lokal Fakfak untuk menghempang kecenderungan

provokatif tersebut: ”Mengapa kita mau hanya di teras atau

serambi (bahasa Fakfak: stuf)? Kami mau duduk di dalam

ruang utama, bukan di teras atau serambi.” Ruang utama

3Percakapan saat Bapak Ustadz Jamhari, seorang PNS asal

kampung Ubadari, bersilahturahmi perayaan natal di rumah kami 26 Desember 2006. Penulis menyimpan catatan penting ini.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 207

adalah ruang keluarga, yang merupakan pusat perjumpaan,

dialog dan diskusi mengenai pemecahan masalah-masalah

dan tugas-tugas bersama. Sedangkan percakapan di teras

rumah (stuf) adalah percakapan biasa, percakapan sambil lalu.

Beberapa metafora serta narasi dan praktik sosial lokal

yang dikemukaan pada bab IV menunjukkan bahwa

penerimaan atau inklusi rumpun etnik Mbaham Matta

memiliki aspek kritikal sebagai sebuah alarm tentang adanya

wilayah batas sosial etnik yang harus diketahui, dikenal, dan

dihargai oleh aktor-aktor individual dan kolektif yang

memasuki kompleks sosial-kultural-religi mereka. Mereka

sebagai tuan rumah sosial-kultural telah menyediakan ruang-

ruang sosial bagi yang datang dan mau hidup bersama mereka.

Tetapi mereka tidak mau dipinggirkan atau disingkirkan dari

ruang utama rumah sosial-budaya mereka atas nama doktrin

agama sekalipun. Mereka ingin para tamu sosial-budaya-religi

mengambil posisi dan peran inklusif juga.

Sikap penerimaan yang kritikal ini menunjuk kepada

sinyal-sinyal pengidentifikasian kelompok etnik Mbaham

Matta terhadap kelompok-kelompok sosial, kultural, religi

yang datang. Di sini rumpun etnik Mbaham Matta

mengidentifikasikan diri mereka sebagai penerima agama-

agama yang tetap menjadikan kekerabatan sebagai tuas

penggerak interaksi dan interelasi religius. Mereka tetap anak-

anak adat Mbaham Matta yang menghidupi ethos kekerabatan

dalam kehidupan keberagamaan mereka. Haji Rubahi Muri,

Imam Kepala Mesjid Kampung Offie menegaskan dalam

metafora; “orang-orang tua mengajarkan kami bahwa hidup

beragama kami seperti air laut, sekalipun dipotong dengan

parang tidak akan pernah terputus atau terceraikan.”4

4Wawancara dengan Bapak Imam Haji Rubahi Muri pada 14 Januari

2016 di kampung Offie. Hal ini dutegaskan juga oleh Pdt.

208 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi Pada tataran integrasi sistem politik-ekonomi pada

Bab IV telah dikemukan dua contoh yakni penerimaan institusi

kerajaan Teluk Patipi dan Kerajaan Fatagar. Penulis telah

mengemukan model strategi pengintegrasian sistem politik-

ekonomi yang dipraktikan oleh rumpun etnik Mbaham Matta.

Rumpun etnik Mbaham Matta Teluk Patipi membangun aliansi

lintas marga dan kampung berbasis pada kekerabatan mereka

melawan perebutan kekuasaan raja oleh seorang Imam di

pusat kerajaan, Kampung Patipi Pasir. Perebutan kekuasaan

itu kemudian dikukuhkan oleh surat keputusan Residen

Ternate berdasarkan nasihat dari Pangeran Tidore Mohamad

Tahir Alting dan Raja Misool Abdulmajij. Perlawanan aliansi

lintas marga dan kampung serta agama berbasis kekerabatan

ini berhasil mengembalikan kursi kekuasaan raja Teluk Patipi

ke garis keturunan asal, yakni Iba.

Ketika raja Fatagar meninggal dunia potensial bagi

terjadinya kekosongan jabatan raja dan sangat rentan

terhadap perebutan kekuasaan antar faksi di kalangan

keluarga kerajaan. Menghadapi situasi kritis ini marga tuan

tanah (Kabes/Hindom) mengambil inisiatif berembuk dengan

marga pendatang kemudian, yakni marga Tanggahma tentang

pergantian raja tersebut. Karena alasan ketidakmampuan

berkomunikasi politik-dagang Marga tuan tanah (Mayor)

mendelegasikan otoritas raja kepada Marga Tanggahma.

Tetapi marga Tanggahma juga menyatakan belum sanggup

untuk tugas itu. Mereka kemudian menetapkan agar anak dari

raja yang meninggal, yang adalah keponakan mereka sendiri

dari Marga Uswanas/Tuturop, diangkat menjadi raja. Praktik

sosial demikian menunjukkan adanya pola strategi etnik lokal

menerima integrasi lanjut sistim politik-ekonomi kerajaan,

tetapi mereka melalui pembangunan aliansi internal lintas

marga setempat tetap memegang posisi menentukan. Tentu ini

terkait erat dengan penegasan posisi otoritatif aliansi lokal

dan keterjaminan serta perlindungan hak-hak politik dan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 209

ekonomi mereka di bawah sistem besar politik-ekonomi

Tidore/Belanda. Ini menunjukkan bagaimana etnik lokal

memperkuat struktur aliansi dengan mendinamisir sistem

sosial internal dalam konteks negosiasi politik dengan sistem

eksternal dengan integrasi sistemnya yang lebih kuat dan

berkuasa menjamin dan melindungi kelangsungan kekuasaan

maupun kepentingan-kepentingan ekonomi mereka. Sekali

lagi kita bisa lihat pola atau model strategi aliansi politik lokal

lintas marga dan agama melalui skema diagram berikut ini:

Dari diagram ini kita bisa melihat bagaimana strategi

penerimaan (inklusi) tetap memiliki aspek kritikal yang

merupakan pembuka bagi negosiasi lanjut dari dalam integrasi

sistem lokal mereka berhadapan dengan integrasi sistemik

Tidore/Belanda. Dengan kata lain, mereka melakukan

konsolidasi dalam lingkup sistim sosial yang bertujuan

memperkuat integrasi sosial lokal. Posisi politik-ekonomi

rumpun etnik Mbaham Matta yang tampak lemah mampu

menegaskan otoritas dan kedaulatan lokal mereka dengan

memanfaatkan institusi raja sebagai ruang negosiasi politik.

Pada Bab III telah Penulis paparkan teori antropologi politik

yang disampaikan oleh James Fox, yakni dapat menjelaskan

model strategi ini: installing the outsider inside.5 Mengambil

5Lihat Tulisan ini, halaman 102-102.

210 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi dan melantik orang luar dalam sturktur sosial dan politik

adalah bagian dari strategi inkorporasi etnik lokal.

B. Dualitas Inkorporasi: incorporated-incorporating

Dualitas proses negosiasi, yakni inklusi dan kritikal,

membawa kita kepada strategi kebudayaan rumpun etnik

Mbaham Matta, yakni inkorporasi. Inkorporasi memiliki ragam

mode.6 Penulis mendudukan inkorporasi sebagai strategi

kebudayaan berdasarkan riset lapangan, di mana masyarakat

lokal tidak menolak, tetapi manyambut dan merangkul serta

memberi ruang kepada unsur-unsur sosial-kultural-religi-

politik yang mendatangi mereka. Hal mana telah dipaparkan

pada Bab IV. Sebagai pembanding bisa kita lihat bahwa dalam

komunikasi keseharian ada satu yang menonjol dari perilaku

sosial adatis etnik Mbaham Matta, yakni tabu menyatakan

ketidak setujuan atau penolakan. Ini tampak dari dua kata

untuk menyatakan “ya” dalam bahasa Iha: njo dan ein. Kata njo

merupakan jawaban ‘ya’ atau pernyataan setuju yang dalam

konteks tertentu belum mengindikasikan kepastian; agaknya

merupakan jawaban demi sopan-santun (courtesy) untuk tidak

menyatakan ketidaksetujuan atau penolakan secara langsung.

Kata ein adalah ya atau pernyataan setuju yang memiliki

kepastian. Pembahasaan seperti ini mensinyalkan etika adatis

mereka yang memang tetap memberikan ruang bagi kehadiran

pihak lain sekalipun terdapat perbedaan. Perilaku moral adatis

ini dipegang teguh oleh mereka yang secara sosial adalah

marga-marga pemangku adat atau yang dituakan. Ini tampak

dalam sosok pimpinan-pimpinan marga atau kampung yang

6Lihat antara lain Jeffrey C. Alexander, “Theorizing the “modes of

Incorporation”: Assimiliation, Hyphenation, and Multiculturalism as Vaieties of Civil Participation” Sociological Theory 19:3 November 2001, pp.237-249; juga lihat: paparan teoritik dalam tulisan ini, pada Bab II.D Multikultrualisme.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 211

disebut para dupiat, khususnya dupiat hereditma,7 yang selalu

bersedia memperhatikan dan menolong orang lain. Dupiat

hereditma adalah sosok sederhana, arif, tulus, dan selalu

menghadirkan ketenangan dan memberikan jalan keluar.

Inkorporasi selalu dilihat dari satu arah, yakni dari sisi

kelompok sosial dominan. Dalam riset ini ditemukan bahwa

kelompok etnik lokal yang biasanya berposisi lebih lemah

menghidupi inkorporasi sebagai strategi kebudayaan dalam

interaksi sosial dengan kelompok-kelompok sosial-kultural-

politik-religi yang lebih kuat. Rumpun etnik Mbaham Matta,

baik dalam konteks sosial internal mapun sosial eksternal,

menunjukkan bahwa mereka melakukan inkorporasi ganda

secara resiprokal. Pada satu sisi mereka terinkoporasi

(incorporated) ke dalam integrasi sistem (eksternal: sistem

sosial makro). Ini mereka jalani secara sadar sebagaimana

ditunjukan baik pada ranah integrasi sistem politik-ekonomi

maupun sistem agama-agama. Dalam kesadaran pula mereka

secara aktif menyediakan ruang-ruang sosial bagi kehadiran

aktor-aktor individual, kolektif dan institusional dari sistem

sosial besar (eksternal). Dengan kata lain, mereka

menginkorporasi (incorporating) aktor-aktor individual,

kolektif dan institusional dari sistem sosial eksternal dengan

bawan-bawaan sosial, kultural, religi, politik, dan ekonomi

masing-masing ke dalam rumah sosial-budaya lokal mereka.

Dengan begitu jelas bahwa dualitas inkorporasi yang

dijalani oleh rumpun etnik Mbaham Matta sebagai aktor-aktor

sosial subyektif-reflektif. Menurut Giddens aktor-aktor sosial

adalah para agen aktif dan proaktif yang bertindak

berdasarkan daya reflektif mereka sendiri. Mereka memiliki

kemampuan memonitor aktivitas mereka dalam konteks

interaksi sosial atau interaksi muka dengan muka. Masih

7Berbeda dengan dupiat neingma yang hanya memperhatikan dan

menolong orang-orang dekat, keluarga atau kelompoknya dan dupiat kodahuhu yang kikir, membantu orang lain dengan pamrih.

212 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi menurut Giddens daya atau kapasitas reflektif para aktor

sosial ini didukung dan bersumber dari kesadaran praktikal

dan kesadaran diskursif mereka. Kesadaran praktikal

menunjuk kepada apa yang para aktor tahu atau yakini

tentang kondisi-kondisi sosial yang secara khusus mencakupi

kondisi-kondisi tindakan mereka, tetapi mereka tidak dapat

mengungkapkan atau menjelaskan itu. Ini mirip dengan

konsep habitus yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu yang

menekankan bahwa pengetahuan praktikal ini merupakan

disposisi dalam diri para aktor yang mereka terima dari kultur

kelas mereka. Tetapi menurut Bourdieu pengetahuan ini

berada dalam level ketidaksadaran, biasanya bekerja secara

otomatik atau refleks sosial.8 Keterbatasan konsep Bourdieu

ini diatasi oleh Giddens dengan memasukan konsep kesadaran

diskursif. Kesadaran diskursif menekankan bahwa para aktor

atau agen dalam interaksi sosial memiliki kompetensi untuk

mengetahui dan menjelaskan hampir sebagian besar apa yang

mereka lakukan – bila ditanya mereka bisa menjelaskan.

Tetapi kesadaran diskursif ini terkait dengan para aktor

modern. Agaknya bagi Giddens, masyarakat suku (tribal) yang

masih pada berkebudayaan lisan masih menggunakan

kesadaran praktikal.

Telusuran atas narasi dan praktik sosial rumpun etnik

Mbaham Matta memberikan kritik-korektif terhadap teorisasi

praktik sosial Giddens. Pertama, Giddens membatasi para

aktor dalam sistem sosial dan integrasi sosial hanya pada level

individu. Penekanan pada individu juga mendominasi teorisasi

Fredrik Barth sehingga mengabaikan importansi kolektivitas

atau kelompok dan efek normatif dari kebudayaan. Barth lebih

8Sangat mungkin karena Bourdieu melakukan riset antropologi

sosial dalam masyarakat suku. Sementara teorisasi Giddens berpusar dalam masyarakat modern. Menarik bahwa Fredrik Barth yang meneliti kelompok-kelompok suku pedalaman Birma malah mengidentifikasikan para aktor sosial subsusku pedalaman sebagai enterprenurial subjects yang melakukan tidanakan atau aktivitas dengan perhitungan demi mencapai tujuan mereka.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 213

tegas lagi dengan mengategorikan aktor-aktor sosial

etnik/subetnik sebagai enterpreneurial subjects. Sementara

praktik sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan

bahwa para aktor sosial tidak hanya individu, tetapi lebih

menekankan peran kelompok atau marga. Posisi ontologis

kelompok marga sangat menentukan dalam membentuk

narasi-narasi dan praktik-praktik sosial individu. Di mana adat

atau kultur, yang tampak dalam pola-pola perilaku normatif,

menjadi basis utama dan referensi serta tuas (giroskop)

paradigmatik mereka sebagaimana ditegaskan oleh para teoris

etnisitas konvergensif seperti Abner Cohen dan Charles F.

Keyes. Temuan ini secara riset lebih dekat kepada teorisasi

Bourdieu yang menekankan kelas sebagai basis eksitensi

agensi, tetapi dalam rumpun etnik Mbaham Matta tidak

mengenal sistem kelas sosial. Mereka berbasis penuh pada

marga, kekerabatan, dan aliansi lintas marga.

Kedua, Giddens menempatkan para aktor atau agen

dalam lingkup interaksi sosial tatap muka (sistim sosial-

mikro) terkait dengan kompleks integrasi sosial. Ini berlaku

untuk masyarakat suku (tribal). Padahal strategi kebudayaan

etnik Mbaham Matta menanggapi aktivitas dalam konteks

sistem sosial-makro dengan integrasi sistemnya menunjukkan

bahwa para aktor lokal melalui aliansi lintas marga

menegaskan otoritas dan kepentingannya melalui pemilihan

pengganti raja yang mereka kehendaki. Untuk itu marga-

marga utama di wilayah petuanan Fatagar mengirim utusan

ke Seram yang bergerak cepat menjemput dan membawa

pulang serta melantik keponakan mereka, Mafa, sebagai raja

Fatagar. Mereka dengan sadar dan tegas memasuki tarung

kekuasaan politik dalam ranah institusional kekuasaan

kesultanan Tidore dan Belanda. Mereka memiliki pengetahuan

tentang kondisi dan dinamika politik serta sadar posisi dan

kepentingan mereka. Mereka sejak awal telah memandang dan

memperlakukan insitusi raja, yang diinkorposasikan ke dalam

214 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi kehidupan mereka, sebagai ruang negosiasi kritis dengan

aparatus kekuatan-kekuatan sistemik politik-ekonomi

Tidore/Belanda.

Telurusan ke dalam narasi-narasi dan praktik-praktik

sosial rumpun etnik Mbaham Matta menunjukkan bahwa

pemeliharaan ruang demarkasi sosial etnik (ethnic boundary)

sebagaimana dikemukan oleh Fredrik Barth memang sangat

penting dalam rangka identifikasi sosial (group identification)

dan kelangsungan kekhasan kultural etnik. Dengan begitu

teorisasi etnisitas Barth lebih memberi fokus pada dinamika

internal etnogenesis yang berujung pada reproduksi sosial

etnik. Kecenderungan teorisasi instrumentalis ini

mengabaikan dinamika etnogenesis di ruang eksternal atau

ruang publik, yaitu perjumpaan dengan kekuatan-kekuatan

sistemik politik-ekonomi dan agama-agama yang datang.

Etnogenesis Mbaham Matta telah menunjukkan bahwa

mereka, sebagai etnik lokal menyeberang masuk, melalui

strategi dualitas inkorporasi ke dalam ruang publik tarung

kekuasaan. Kritik korektif ini juga telah disinyalkan oleh

antara lain Jenkins yang menyatakan bahwa Barth terlampau

mengutamakan proses-proses identikasi kelompok, yang

berlangsung dalam lingkup internal etnik dan mengabaikan

proses-proses kategorisasi sosial yang berlangsung di luar

lingkup etnik. Menurut Roberth Jenkins kompetisi lintas etnik

atau kelompok dalam ruang publik ini terkait erat dengan

relasi-relasi kekuasaan. Tetapi Jenkins pun tidak bertolak jauh

dari pokok argumentasi Barth, yakni masyarakat etnik

cenderung pada maintanenance of boundary yang inward

looking.

Kritik ini membawa kepada pandangan bahwa rumpun

etnik Mbaham Matta tidak hanya berkutat dalam ranah sistim

sosial dengan integrasi sosialnya, tetapi mereka juga masuk ke

dalam ranah sistem sosial-makro dengan integrasi sistemnya.

Dengan ini mereka secara diam-diam ingin menunjukkan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 215

model atau strategi mereka membangun jembatan dialog dan

negosiasi berkelanjutan yang konstruktif-transformatif antara

eksistensi sosial-kultural-politik-religi mereka dengan

eksistensi sosial-kultural-politik-religi kelompok pendatang.9

Catatan ini sangat penting terkait teorisasi etnisitas atau

etnogenesis dan transformasi sosial. Rumpun etnik Mbaham

Matta tidak berhenti hanya pada titik maintenance of ethnic

boundary, tetapi mereka menunjukkan gairah kelompok-

kelompok etnik untuk mendinamisir dan mengelaborasi

wilayah demarkasi sosial etnik mereka sebagai rumah

perjumpaan dan model yang mereka tawarkan dalam usaha

transformasi masyarakat secara menyeluruh.

Karakter penting lain yang harus diberi perhatian

dalam konteks etnogenesis Mbaham Matta adalah sistem

kekerabatan. Sistem kekerabatan menjadi giroskop atau tuas

pemutar dan penggerak seluruh dinamika etnogenesis

Mbaham Matta. Bermula dari pengalaman pahit dan kelam

sepanjang fase kerjawriya, muncul kesadaran baru untuk

memperbaharui ikatan-ikatan lintas marga dan kampung serta

wilayah. Hal mana ditandai dengan sumpah kolektif warqpa

thumber serta pembentukan aliansi-aliansi di bawah payung

narasi keasalan bersama sebagai sesama turunan dari Gunung

Mbaham yang menjangkau sejarah panjang migrasi sampai

wilayah Matta.

9Muncul catatan kritis kultural dari beberapa informan kunci

dalam riset Penulis terkait istilah “kelompok atau kaum pendatang.” Mereka menyatakan bahwa istilah “pendatang” yang penulis gunakan untuk orang-orang luar etnik mereka adalah kurang tepat. Menurut mereka yang dikategorikan sebagai ‘pendatang’ sesungguhnya adalah keturunan leluhur mereka yang dulu pergi keluar. Para leluhur dulu berjanji akan kembali lagi. Kini mereka kembali melalui kaum ‘pendatang’ yang adalah saudara-saudara seketurunan. Fenomena ini terkiat dengan pandangan-pandangan gerakan cargo-cult yang menjadi ciri khas wilayah kebudayaan Melanesia sampai kepualauan-kepulauan Pasifik. Lihat: G. W. Trompf (ed.), Cargo Cults and Millenarian Movements: Transoceanic Comparisons of New religious Movements (New York-Berlin: Mouton De Gruyter, 1990).

216 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi

Jaringan kekerabatan mereka mengalir, terajut dan

tertata rapih serta kokoh melalui perkawinan lintas keluarga,

marga, kampung dan agama. Sejarah panjang praktik-praktik

perkawinan mereka dengan suku-suku dari luar menjadi

mekanisme sosial yang memperluas dan meragamkan

kekerabatan rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka sangat

menghargai para ipar entah lelaki maupun perempuan dan

keluarga. Besar. Karena itu mereka sering memberikan

kepercayaan kepada para ipar lelaki untuk memegang tugas-

tugas atau jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan

masyarakat kampung. Praktik atau mekanisme sosial

pengembangan kekerabatan yang bukan sedarah ini

berlangsung atas seorang Pendeta yang berasal suku

Tanimbar. Setelah bertugas beberapa tahun, Pendeta diundang

oleh seorang Bapak yang adalah mayor di kampung tersebut.

Mereka duduk melingkar di rumah panggung berhadapan.

Kemudian Mama membuka kain putih yang di atasnya

diletakkan mehak (minuman kopi lokal), pandoki (daun

pembungkus tembakau), dan tembakau lokal.10 Bapak Mayor

kemudian menyampaikan suara hatinya untuk mengangkat

sang Pendeta menjadi anak dalam keluarga dan marga mereka.

Bapak Mayor katakan bahwa setelah dia melihat kehidupan

dan cara kerja serta pelayanan sang Pendeta dia sangat senang

dan bahagia. Baginya Pendeta layak diangkat jadi anaknya.

Kemudian Bapak keluarga berbicara dalam bahasa yang

disampaikan kepada anak-anaknya yang lain bahwa sekarang

Pendeta telah menjadi bagian dari keluarga dan marga

mereka.11

Perluasan kekerabatan ini menjadi mekanisme sosial

penting yang menunjukkan bahwa rumpun etnik Mbaham

Matta adalah masyarakat yang terbuka. Sikap kultural

10Kain putih, mehak, pandoki, dan tembakau menunjukkan

keseriusan dan pentingnya pertemuan tersebut. 11Wawancara dengan Pendeta Rudi Falirat, S.Th. tanggal 2 Oktober

2017 via telepon.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 217

sedemikian memberi dasar bagi pengembangan kekerabatan

yang bukan hanya atas dasar perkawinan, tetapi juga melalui

mekanisme atau praktik sosial lainnya termasuk inkorporasi

kemargaan dari yang tidak memiliki hubungan darah dan dari

luar suku/daerah. Model perluasan kekerabatan ini

terimplementasi secara jelas dalam acara adat kumpul harta

(tomhormag) di mana orang-orang yang tidak memiliki

hubungan darah terlibat membawa sumbangan mereka. Kami

dilibatkan dalam proses-proses tombhormag dalam

lingkungan marga Rohohmana dan Hindom karena kami

mengangkat orang tua saksi baptisan untuk anak kami dari

marga Rohrohmana/Hindom. Tombhormag adalah acara adat

yang sangat penting sebagai implementasi ikatan-ikatan

kekerabatan (aliansi) dalam rumpun etnik Mbaham Matta.

Partisipasi dalam acara adat ini memang berantai dan tak

terputuskan. Hal ini ditandai dengan adanya rantai social

interchange melalui pembayaran tanggungan harta. Model

kekerabatan ini mendukung konsep dan proyek elaborasi

kekerabatan yang disampaikan oleh Janet Carsten yakni

relatedness: kekerabatan bisa dibangun atau terbangun karena

ragam interaksi dalam ragam konteks atau peristiwa sosial.

Dengan pendekatan kekerabatan seperti ini niscaya untuk

membangun sistim kekerabatan baru dalam rangka

pengembangan tatanan masyarakat luas yang multikultural.

C. Reidentifikasi Sosial dan Reafirmasi Moralitas Sosial

Dalam lingkup sejarah sosial internal rumpun etnik

Mbaham Matta telah diperlihatkan bahwa berlangsung juga

perubahan struktur sistem sosial dan struktur sistem

kebudayaan. Migrasi dan perubahan fase kehidupan

membawa kepada perjumpaan dan interaksi dengan

kehadiran pihak-pihak lain. Ini tentunya memengaruhi jumlah

dan kualitas partisipan dalam interaksi sosial. Secara khusus

mulai pada fase hriet wriya dan kerja wriya serta peh wriya.

218 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi Dari interaksi yang penuh kecurigaan dan permusuhan bahkan

perang dan pengayauan berubah menjadi kehidupan dengan

kultur saling aliansi atau band yang berbasis pada adat dan

kekerabatan. Dari budaya perang membentuk budaya cinta

damai (idu-idu maninina). Budaya masyarakat berkelas dan

tertutup (patron-klien; tuan-budak; tuan tanah – pendatang,

dll.) berubah menjadi masyarakat egaliter yang inklusif dan

terbuka.

Perubahan struktur kebudayaan sedemkian jelas

membawa pada reafirmasi moralitas sosial. Moralitas sosial

keseharian masyarakat etnik Mbaham Matta ditandai antara

lain dengan kearifan yang khas: (1) mereka tidak berbicara

sembarang waktu dan sembarang ucapan; (2) mengutamakan

musyawarah dengan pembicaraan-pembicaraan yang halus

menggunakan ragam metafora yang mengajak kawan bicara

memasuki lebih dalam maksud atau pendapat yang

disampaikan; (3) menghormati status dan hak orang lain; (4)

terbuka dan ramah; (4) nilai-nilai agama seperti cinta kasih,

jangan mencuri, dll sangat dipegang.

Terkait dengan perubahan struktur sistem

kebudayaan, yang teorisasi Giddens disebut struktur (cultural

stucture) atau dalam teorisasi Barth disebut cultural stuff perlu

diajukan elaborasi mengikuti kritik Margareth S. Archer.12

Archer melihat bahwa sebagai akibat dari fokusnya pada

agensi manusia dan praktik sosial dalam interaksi sosial serta

individualisme aktor sosial (begitu juga Barth), Giddens

mengabaikan keberadaan kebudayaan (culture) sebagai

entitas sistemik yang berdiri di luar sistem sosial. Bagi Archer

Giddens telah menumpang-tindihkan (conflation) sistem

kebudayaan (cultural system) dengan kebudayaan yang

dipraktikan dalam interaksi sosial, yang Archer sebut sebagai

socio-cultural system. Giddens lebih menekankan kebudayaan

12 Margareth S. Archer, Culture and Agency:The Place of Culture in Social Theory (Cambridge, New York: Cambridge University Press, 1988).

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 219

sebagai praktik sosial. Baginya yang disebut kebudayaan

adalah yang dipraktikan dalam sistem sosial melalui interaksi-

interaksi sosial tatap muka. Giddens mengembangkan

pemahaman kebudayaan sebagai praksis. Dalam garis pikir ini,

Giddens mengatakan bahwa para aktor sosial selalu berusaha

mempertahankan theoritical understanding dasar-dasar

tindakan atau aktivitas mereka. Mereka mempertahankan

dasar-dasar tindakan atau aktivitas mereka itu karena sebagai

praksis relevan dan bermanfaat dalam memelihara batas-

batas ruang sosial-budaya etnik mereka. Sejalan dengan Barth

bahwa kebudayaan itu adalah hasil pilihan praktis manusia

dalam mengahadapi situasi dan mengejar tujuannya.

Pandangan seperti ini berat sebelah dimana kebudayaan

dilihat sekedar sebagai semacam tempat peralatan (tools kit)

seperti yang didefinisikan oleh An Swidler. Ini berakibat

negasi atas entitas sistim kebudayaan sebagai produsen

keyakinan-keyakinan (beliefs), core values, kerangka makna

dan tindakan. Bila paham ini semata yang kita pegang, maka

kita tidak bisa menerangkan mengapa rumpun etnik Mbaham

Matta begitu kokoh berpegang pada adat dan kekerabatan

mereka, pada perjanjian aliansi-aliansi lintas marga mereka?

Mengapa adat dan kekerabatan berposisi sangat kuat sebagai

giroskop kebudayaan (cultural gyroscope) dalam proses-

proses negosiasi dan inkorporasi yang dijalankan oleh rumpun

etnik Mbaham Matta? Mengapa mereka menerima proses

legitimizing identity tetapi tetap melakukan perlawanan

kebudayaan serta bergerak menuju identifikasi sosial proyek

dan transformasi sosial dengan tetap menjadikan adat dan

kekerabatan sebagai basis? Harus dijawab secara tegas bahwa

terdapat sebuah entitas sistem kebudayaan yang menjadi

giroskop bagi keseluruhan proses-proses sosial-kultural etnik

Mbaham Matta. Sistem kebudayaan ini memiliki daya

pembentuk dan pengarah yang kuat dan mengatasi sistem

sosial, human agensi, dan interaksi sosial. Jadi yang berubah

dinamis adalah socio-cultural system, bukan cultural system.

220 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi Cultural system mengalami perubahan dalam rentang waktu

yang panjang. Socio-cultural system atau kebudayaan yang

dipraktikan dalam interaksi sosial oleh para aktor inilah yang

mengarah kepada reafirmasi moral sosial – tentu dengan tetap

merujuk pada panduan asal sistem kebudayaan yang

menyediakan peta dasar sistem keyakinan dan nilai, sistem

pemaknaan dan tindakan serta sistem penataan institusional

(sistem kekerabatan dan sistem perkawinan). Socio-cultural

system menyediakan stok pengetahuan praktis (kesadaran

praktis) interpretasi-interpretasi dan kerangka kerja

kontekstual. Proses ini sedemikian juga berlangsung atas

reidentifikasi sosial etnik Mbaham Matta.

Identitas sosial pun menjalani perubahan dan

penguatan. Menurut Barth identifikasi sosial terkait erat

dengan proses dan dinamika pemeliharaan batas sosial etnik

(ethnic boundary). Identitas sosial bergerak bersama

pergerakan ethnic boundary. Proses identifikasi ini

berlangsung di dua ranah terkait, yakni ranah internal etnik

atau kelompok dan ranah eksternal sistemik sebagaimana

telah dijelaskan di atas. Identifikasi sosial rumpun etnik

Mbaham Matta berakar kuat dalam adat dan kekerabatan,

yang mereka ungkapkan melalui metafora: “pertama adat,

barulah agama dan pemerintah. Adat yang membungkus

agama dan pemerintah.” Integrasi mereka ke dalam lingkup

keagamaan baru dan sistem pemerintahan (politik, ekonomi,

dll) mengantar mereka mengambil simbol-simbol, nilai, ajaran,

etika, ritual keagamaan maupun perilaku politik baru, tetapi

bagi mereka adat dan kekerabatanlah yang menjadi tuas atau

sumbu penumpu dan penggerak identitas sosial mereka.

Misalnya sekeras apapun perbedaan pandangan dan pilihan

politik, pada ujungnya mereka akan kembali kepada narasi

atau tuturan adat dan silsilah (kekerabatan). Sebegitu juga

mereka tabu menjadikan perbedaan kiblat, ajaran, ritus, dan

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 221

etika sebagai pemisah atau pemecah belah kekerabatan dan

nilai-nilai adat mereka.

Dalam konteks sedemikian kita mengakui adanya

konsep atau pemahaman diri yang menjadi disposisi dalam

diri mereka, yakni diri mereka adalah keberadaan yang

mutualis. Diri sendiri adalah bagian dari diri orang lain atau

diri kolektif. Dalam teori dikatakan bahwa mereka memahami

diri sebagai poros partispasi (a node of participation).

Sehingga kedirian mereka tidak dipahami dan diperlakukan

secara individual, diri yang berada di dalam diri sendiri dan

tertutup (atomistic), tetapi diri yang dividual. Diri yang

dividual adalah diri yang terbuka dan terbagi dalam

kolektivitas mereka. Diri mereka saling berpartisipasi atau

saling mengambil bagian dalam semangat kekerabatan dan

adat. Ini yang oleh Lieber disebut consocial personhood. Lieber

merumuskan demikian “The person is not an individual in our

Western sense of the term. The person is instead a locus of

shared biogarphies: personal histories of people’s relationships

with other people and with things.” Kedirian warga rumpun

etnik Mbaham Matta adalah kedirian kolektif, mereka

membawa kedirian kolektif dalam diri-diri mereka. Identitas

mereka dibentuk dan diarahkan oleh kedirian kolektif ini,

karena diri seseorang merupakan lokasi biografi-biografi

bersama. Dalam konsep atau filsafat kedirian etnik sedemikian

terdengar gaung pengaruh pemikiran Durkheim tentang

masyarakat sebagai entitas yang mengatasi dan mengarahkan

individu-individu.

Tetapi kedirian ini bukanlah kedirian yang statis,

sebaliknya dinamis sebagimana telah ditunjukkan disepanjang

sejarah etnogenesis Mbaham Matta. Mereka merupakan aktor-

aktor kolektif berbasis kekerabatan yang memiliki

pengetahuan tentang diri mereka dan kondisi-kondisi yang

melingkupi mereka baik karena kesadaran praktikal maupun

kesadaran diskursif yang mereka milik. Dalam tataran inilah

222 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi dualitas struktur yang dikemukan oleh Anthony Giddens

terjelaskan secara praktis riset. Sturktur budaya (atau

mengikuti Archer: socio-cultrual system) kolektif yang

menyediakan panduan keyakinan dan nilai serta kerangkan

pemaknaan dan tindakan pada satu membatasi (constraining),

tetapi pada pihak lain secara simultan memberdayakan

(enabling) para aktor sosial melakukan restrukturasi, yaitu

reformulasi dan rekonstruksi struktur kebudayaan dalam

merespons situasi atau kebutuhan melalui praksis-praksis

sosial mereka. Jadi di satu sisi terdapat aspek kuat atau tetap,

di pihak lain terdapat aspek dinamis yang memungkinkan

keterbukaan, inklusi dan transformasi.

Melihat konsistensi pengaruh basis kekerabatan dan

adat terhadap identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta,

sebagaimana mereka telah tunjukkan dalam dinamika dualitas

inkorporasi, mengantar Penulis memahaminya dalam

kerangka teorisasi identitas yang dikemukakan oleh Manuel

Castell. Ini penting karena terkait dengan imajinasi mereka

membangun tatanan masyarakat multikultural. Dari

pengamatan dan pengalaman hidup bersama mereka tampak

bahwa ketiga kategori identitas yang dikemukaan Castell

melekat membentuk sebuah tahapan dan pergerakan inklusif-

kritikal dan resistensif-proyektif dalam proses-proses

identifikasi sosial etnik Mbaham Matta. Penerimaan identitas

legitimasi (inklusi) tidak menghasilkan sebuah komunitas

etnik yang tertaklukan dan pasrah pada otoritas agama-agama

yang mereka telah terima secara demokratis. Sikap kritis

kultural etnik terhadap aspek-aspek keagamaan yang

berkarakter penakluk hegemonik doktrinal tetap hidup.

Sekalipun ethnic boundary telah mereka buka tetapi

penjarakkan atau distansi dan sinyal alarm kritis kultural tetap

hidup. Kondisi inilah yang mendorong berputarnya sumbu

identifikas sosial resistensif dan proyektif mereka. Fenomena

budaya ini dapat ditunjukan melalui diagram di bawah ini:

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 223

Pada tahap pertama, mereka menerima identitas yang

diprakarsai oleh institusi-instutusi politik-ekonomi dan

keagamaan dominan. Kita dapat menyusuri fenomena ini

dalam sejarah sosial mereka. Karakter kultural rumpun etnik

Mbaham Matta yang tenang dan tidak reaktif-vulgar

mendukung kondisi pelegitimasian identitas demikian. Mereka

menjadi umat Islam, Protestan, dan Katolik. Mereka menjalani

pendidikan, pengajaran, ritual dan menggunkan atribut-

atribut sesuai kiblat keagamaan yang dianut. Castel menyebut

tahap identifikasi sosial ini legitimizing identity.

Tahap kedua, bila diperhatikan dengan baik akan

ditemukan sisi lain dari proses identifikasi sosial mereka.

Mereka memang bukan tipe masyarakat yang suka

berkampanye diri, tetapi identifikasi sosial mereka yang khas

sesungguhnya menjadi kritik halus kebudayaan terhadap

identifikasi sosial yang disebarkan atau ditanamkan antara

lain oleh institusi-instusi, aparatur-aparatur keagamaan

dominan-hegemonik. Penulis menanyakan kepada seorang

Imam yang adalah salah seorang informan kunci tentang

kunjungan penghotbah-penghotbah “keras” ke kampung

mereka. Bapak Imam menyatakan bahwa “Kami tidak

menolak, kami mepersilahkan individu atau kelompok

penghotbah itu untuk menjalankan tugas mereka di Mesjid.

Kami ikut kegiatan dan mendengar apa yang mereka

sampaikan. Tetapi kami tidak pernah akan mengakui dan

legitimizing identity

identitas resisten-

si

identitas proyek

224 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi mengikuti ajaran-ajaran mereka yang radikal dan

merendahkan agama-agama lain.”13

Penulis teringat pada narasi seorang Ketua DPRD

Kabupaten Fakfak, Bapak Umar Patiran, dalam suatu

pertemuan terkait pembinaan kerukunan umat beragama

pada tahun 1992. Bapak Umar menyatakan bahwa mereka

pernah meminta dengan tegas agar salah satu Khatib, yang

bekerja di Kantor Pengadilan Agama Fakfak, dipulangkan ke

daerah asal atau dipindahkan dari Fakfak. Karena khobtah-

khotbahnya cenderung merusak sendi-sendi kehidupan

beragama di Fakfak yang berasaskan kekerabatan atau

kekeluargaan.

Ketika para penyusup (intruders) penyebar virus

kerusuhan Maluku memasuki wilayah Teluk Patipi pada tahun

2000 mereka menyinggahi salah satu kampung Muslim.

Mereka menyusup menggunakan boat dan membawa alat-alat

perang seperti alat tajam dan senjata serta mesium. Mereka

ingin memprovokasi warga muslim menyerang warga Kristen.

Tetapi secara diam-diam warga kampung Muslim mendayung

perahu ke kampung Kristen terdekat memberitahu kehadiran

para intruder dan rencana mereka. Sesuai watak etnik

Mbaham Matta yang tidak reaktif tetapi tenang, mereka

melaporkan secara baik-baik kepada pihak keamanan. Para

intruders diamankan dan dipulangkan ke daerah mereka.

Dalam lingkup kekristenanpun pengajaran-pengajaran

dan khotbah-khotbah tabu untuk menyinggung atau

merendahkan agama Islam. Warga Kristen sangat menghindari

dan enggan atau tidak tertarik pada wacana-wacana doktrinal

keagamaan narsistik. Dalam ajaran gerakan mesianik lokal

Mahambotmur Yesus disapa sebagai kakak laki-laki tertua

(Iha: nen). Sebutan ini memiliki makna etik terkait dengan

13 Wawancara dengan Bapak Haji Aman Patiran, salah satu Imam di Mesjid Kampung Offie.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 225

kekerabatan dan identifikasi sosial mereka. Mereka memiliki

satu saja kakak laki-laki yaitu Yesus. Itu berarti mereka semua

adalah adik, sesama adik. Mereka setara sebagai adik-adik

apapun agama yang dianut.14

Dalam pergaulan sehari-hari, rumpun etnik Mbaham

Matta enggan membahas hal-hal keagamaan yang

mengistimewakan keberagamaan sendiri dan merendahkan

keberagamaan orang lain. Mereka tidak tertarik pada narasi-

narasi keagamaan narsistik. Hal-hal doktrinal keagamaan yang

memecah belah tidak menarik perhatian mereka. Kata kafir

dan ucapan serta tindakan mengafirkan orang yang beragama

lain adalah sesuatu yang tabu bagi mereka.

Identifikasi sosial rumpun etnik Mbaham Matta dalam

ranah publik ini menegaskan apa yang Castel klasifikasikan

sebagai identitas resistensi (resistance identity): identifikasi

sosial sebagai perlawanan kultural. Bagi rumpun etnik

Mbaham Matta kekerabatan dan persaudaraan tidak bisa

dihancurkan oleh provokasi agama – tidak mungkin mereka

saling membunuh karena agama. Narasi dan praktik agama

keluarga adalah perlawanan kultural mereka terhadap usaha-

usaha dominasi sentimen-sentimen ideologis keagamaan,

seperti fundamentalisme dan radikalisme agama.

Pada April 1997 Gereja Gereja Protestan Indonesia di

Papua (GPI Papua) menandatangani kerjasama dengan

Overseas Missionary Fellowship (OMF) melalui Program Lintas

Budaya mereka.15 Kerjasama pelayanan ini berlangsung

sampai 2001. Kegiatan pokok adalah bantuan ekonomi umat

dan bantuan pendidikan. Tetapi kedua tenaga Pelayanan

14 Wawancara dengan Pdt. Musa Tuturop (kampung Adora) pada 21 Februari 2016; Pdt Kabes (kampung Degen) pada 15 Juli 2016. Kakak Yesus sedang pergi dan akan kembali pada satu waktu nanti untuk menjumpai dan berkumpul dengan adik-adikNya. 15 Yang mewakili GPI Papua adalah Sekertaris Umum Sinode (Penulis sendiri).

226 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi Lintas Budaya ditarik oleh OMF ke Jakarta yang menandai

terputusnya kerjasama. Hal ini terjadi karena menyeruak

perbedaan pendapat di antara OMF dan GPI Papua terkait

dengan visi dan praktik Pelayanan Lintas Budaya tersebut.

Dalam evaluasi program, OMF tidak menemukan bukti adanya

“pemenangan jiwa” atau berapa orang yang berhasil

dikristenkan. Dalam pertemuan di Jakarta, kami jelaskan

bahwa konteks kultural Fakfak tidak memungkinkan

pekerjaan-pekerjaan misi pemenangan jiwa. Kami pada saat

itu menyatakan tidak bisa mendukung misi via bantuan sosial

dengan tujuan menobatkan orang yang sudah beragama dalam

kontes keberagamaan keluarga di Fakfak. Sikap tegas ini

merupakan bagian dari kritik kultural-teologis-misiologis

gereja.16

Tahap ketiga, identifikasi sosial Mbaham Matta, baik

dalam ranah internal maupun eksternal, dari sudut pandang

teorisasi praktik lanjutan terkait erat dengan transformasi

sosial. Itu berarti identifikasi sosial mereka tidak lain adalah

usaha mereka mempromosikan model, ethos, dan arah bagi

transformasi keseluruhan struktur masyarakatnya. Teorisasi

Castel menggolongkan identitas pada tahap ini sebagai

identitas proyek (identity project): identifikasi sosial

merupakan proyek historis bagi transformasi masyarakat luas.

Ini sejalan dengan arah pikir teori praktik sosial yang

ditegaskan oleh Shery B. Ortner. Praktik-prkatik sosial tidak

hanya bertujuan reproduktif dalam konteks maintenace of

boundary, mejaga wilayah batas etnik guna menjaga identitas

sosial dan kekhasan budaya etnik. Praktik-praktik sosial yang

dilakukan oleh para aktor, dengan berbasis pada prinsip

teleo-afektif dan kesadaran diskursif, maju memasuki

16 Untuk menguatkan catatan ini: Penulis melakukan wawancara via telepon dengan kedua tenaga OMF, yang kini sudah menjadi Pendeta-Pendeta GPI Papua, Pdt Ruben Rewasan dan Pdt Yenny Singale (Suami-Istri) pada 11 Nopember 2017.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 227

transformasi sosial luas. Ortner menyebut transformasi sosial

sebagai proyek sejarah.

Petunjuk dasar dari identifikasi sosial sebagai sebuah

proyek transformasi sosial yang diberikan sebagai model

hidup etnik Mbaham Matta adalah perkawinan lintas agama.

Perkawinanan lintas agama adalah fondasi kekerabatan yang

menjadi basis struktur sistem sosial dan kultural serta

identitas baru. Lebih jauh lagi: perkawinan adalah institusi

dasar dan tuas bagi konstruksi fondasional suatu masyarakat

multikultural.

Mereka telah mencapai level kehidupan trans-agama

atau beyond-religion dan beyond-tolerance. Trans-agama

menunjuk kepada keberagamaan yang melampaui

pemahaman dan pengalaman hidup beragama segregatif,

berada bersama tetapi terpisah dalam sekat-sekat sosial

relijius. Praktik sosial-relijius mereka menunjukkan bahwa

agama-agama terjalin dan menjadi tuas-disposisional dalam

diri maupun dalam sistem sosial mereka, yang

terimplementasi dalam interaksi sosial sehari-hari. Beyond-

tolerance menggarisbawahi kenyataan sosial bahwa bagi

mereka toleransi bukan lagi wacana, tetapi mereka hidupi –

bukan lagi persoalan, tetapi gaya hidup mereka. Dalam hidup

sehari-hari agama tidak lagi menjadi persoalan bagi mereka.

Kiblat-kiblat keagamaan tidak lagi menjadi handicap dalam

praksis dan pertukaran sosial dalam kehidupan mereka. Bagi

mereka agama-agama datang untuk memperjelas dan

menerangi penglihatan dan pemahaman keagamaan asal

mereka yang masih kabur atau buram (fuzzy). Bukan

sebaliknya: mempersulit dan membebani serta menghalangi

kultur agama keluargaan mereka. Agama Islam, Protestan, dan

Katolik diterima seumpama pakaian untuk memperpatut

hidup mereka dalam konteks baru. Mereka ingin agama-agama

belajar tentang budaya hidup keberagamaan mereka. Mereka

228 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi ingin agama-agama tidak mengajarkan pengingkaran dan

pencideran kekerabatan asali mereka.

Oleh karena itu mereka tidak menolak kedatangan

agama-agama dengan menggunakan mekanisme isolasi

kultural. Mereka berbagi pilihan anutan keagamaan tanpa

beban. Malah ruang-ruang sosial disediakan bagi kehadiran

dan aktifitas agama-agama dalam sistem sosial. Hal mana

mereka tunjukan melalui metafora rumah keluarga. Dalam

satu keluarga hiduplah kakak-adik yang telah berbagi pilihan

kiblat keagamaan: Islam, Protestan, dan Islam. Mereka masing-

masing menempati kamar-kamar tidur yang adalah ruang-

ruang privat keagamaan mereka. Tetapi mereka tetap adalah

kakak beradik yang hidup bersama sebaai satu keluarga.

Mereka memiliki satu ruang keluarga (ruang publik) di mana

setiap hari mereka bertemu, berdialog, berdiskusi serta

berbagi kehidupan, memecahkan persoalan dan mencari solusi

bersama. Struktur bangunan sosial mereka gambarkan melalui

metafora rumah seperti penulis visualisasikan dengan diagram

di bawah ini:

Otoritas-otoritas agama formal memandang praktik

kehidupan agama keluarga (kekerabatan) demikian

mengandung bahaya sinkritisme atau percampurbauran

Ruang Keluarga

TERAS

Islam

Katolik

Protestan

Dapur

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 229

ajaran-ajaran agama yang berbeda. Sesungguhnya kehidupan

manusia, termasuk keberagamaan, adalah sinkretistik.

Eksistensi kedirian individual dan kolektif kita adalah

konstruksi sosial sebagai buah dari sejarah perjumpaan dan

interaksi sosial yang dijalani. Andrew Beatty17 menolong kita

memahami sinkritisme secara lebih obyektif, positif, dan

terbuka. Sinkritisme bukanlah sebuah percampuradukan

aneka ragam tradisi keagamaan yang serampangan dan

kebetulan. Sebaliknya: sinkritisme adalah tanggapan

terancang dan terpola masyarakat lokal terhadap pluralisme

dan perbedaan kultural.

Dalam interaksi sosial sehari-hari, rumpun etnik

Mbaham Matta tetap saling menghormati ajaran, ritual, dan

etika keagamaan. Mereka saling mengingatkan untuk

mengingat dan menjalankan ibadah. Dalam perayaan-

perayaan keagamaan bersama atau kegiatan-kegiatan sosial

mereka sangat menjaga dan mematuhi ajaran dan etika

keagamaan. Penyediaan makanan selalu harus dimulai dengan

memberikan kesempatan kepada saudara atau keluarga

muslim untuk melakukan ritual sebelum menyembelih hewan

sesuai ajaran dan etika Islam. Begitu juga alat-alat masak dan

makan selalu dijaga tidak boleh tercemari oleh unsur-unsur

yang dilarang oleh agama Islam.

Tetapi pada pihak lain ada ritual Islam seperti sunat.

Dalam tradisi mereka, paman harus mendampingi anak yang

akan disunat. Paman yang beragama Kristen yang berhak dan

bertanggungjawab secara adat berdiri mendampingi sang

ponakan. Sebegitu juga pada saat Penulis menghadiri acara

pentahbisan seorang Khatib di Kampung Offie perempuan

yang duduk disampingnya sebagai pendamping adalah

saudara perempuan dari Ibu sang Khatib yang telah memeluk

agama Protestan. Sementara yang memberikan sambutan

17 Beatty, Varieties of Javanesse Religion, ibid.

230 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi adalah Pamannya dari marga Tuturop yang beragama

Protestan. Kerabat yang beragama Protestan dan Katolik hadir

dengan sukacita. Gambar di bawah ini: Khatib Hayat Patiran

didampingin oleh sauduara-saudara perempuan dari Ibunya

serta para Paman/Bapak yang beragama Kristen:

D. Membangun Masyarakat Multikultural: Undangan dan

Tantangan bagi Agama-agama

Telusuran etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta

mengantar kita pada identifikasi sosial sebagai bagian dari

transformasi sosial. Sistem sosial dan integrasi sosial mereka

menunjukkan sebuah konfigurasi aktor-aktor sosial individual

dan kolektif lintas agama sebagai cerminan karakteristik

multikultural. Sejarah sosial membentuk mereka menjadi

masyarakat inkulsif dan multikultural. Dengan begitu

multikulturalitas menjadi sumbu penggerak identifikasi sosial.

Oleh karena itu model indetifikasi sosial etnik Mbaham Matta

bergerak dari keengganan menjadikan agama sebagai identitas

hegemonik-ideologis menuju perlawanan-perlawanan

(resitensi) kultural terhadap model identifikasi sosial-relijius

hegemonik. Identifikasi sosial sebagai perlawanan kultural ini

memberi dorongan kuat kepada usaha-usaha atau proyek

bersama membangun tatanan masyarakat terbuka, inklusif

dan multikultural.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 231

Proyek transformasi tatanan masyarakat terbuka,

inklusif, dan multikultural sudah built-in atau terintegrasi

sebagai karakter budaya dalam sistem sosial dan warga

rumpun etnik Mbaham Matta. Mereka telah menginisiasi suatu

model sistem sosial multikultural. Agama-agama diinkorporasi

ke dalam sistem sosial mereka. Agama-agama diberi ruang

sosial serta hak bereksistensi dalam jalinan kemargaan dan

tatanan kekerabatan mereka.

Dari lingkup makro-sosial (integrasi sistem),

Pemerintah Daerah Kabupaten Fakfak sejak tahun 1999 telah

mengangkat karakter terbuka, inklusif dan multikultural etnik

Mbaham Matta ini sebagai motto atau slogan daerah “Satu

Tungku Tiga Batu.” Motto daerah ini memaksudkan bahwa

konstruksi dasar kehidupan masyarakat yang telah dibangun

oleh etnik asli lokal, yang terdiri dari tiga agama (Islam,

Protestan, dan Katolik) merupakan perekat kohesi dan

solidaritas sosial masyarakat dan pemerintahan Kabupaten

Fakfak. Pejabat-pejabat Pemerintah daerah yang merupakan

anak-anak adat Mbaham Matta menginisiasi pengangkatan

motto ini. Mereka yang menghidupi spirit dan ethos

kekerabatan lokal inkorporator adat atau budaya mereka ke

ranah publik-politik dalam rangka menata penyelenggaraan

pemerintahan dan kehidupan masyarakat luas. Inkorporasi

adat atau budaya ke dalam ruang publik politik ini merupakan

reproduksi kultural sistem kekerabatan ke dalam kerangka

usaha membangun kohesi dan solidaritas sosial. Jadi baik

sistem maupun ethos kekerabatan etnik lokal model dasar dan

ethos dalam membangun fondasi dan menata interaksi sosial-

budaya-religi-politik masyarakat multikultural di Kabupaten

Fakfak.

Masyarakat modern terus bergulat dengan persoalan

multikulturalisme yang terkait dengan bagaimana menata dan

mengarahkan perbedaan-perbedaan kultural. Parekh menye-

butkan bahwa perbedaan-perbedaan kultural ini terkait

232 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi dengan realitas diversitas subkultur, diversitas perspektif, dan

diversitas komunal. Ragam usulan model dan strategi

pengembangan masyarakat multikultural terus diajukan

dalam masyarakat yang makin kompleks dan penuh

persaingan sosial-kultural-politik-ekonomi dengan masing-

masing egoisme dan obsesi hegemoniknya. Parekh

mengonstruksi model dan strategi multikulturalisme dalam

empat model, yaitu asimilasionis, proseduralis, asimilasi

kewargaan dan millet.18 Tetapi Parekh simpulkan bahwa bila

dikaji dari sisi kemampuan untuk mensinergikan tuntutan

unitas dan diversitas kultural, keempat model inipun tidaklah

memuaskan dalam tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Menurutnya model asimilasi mengabaikan diversitas dan

model millet mengabaikan unitas. Sementara model

proseduralis dan asimilasionis kewargaan sangat menekankan

diversitas dan unitas, tetapi gagal memberikan perhatian pada

kondisi saling pengaruh dialektik (resiprositas) dan

menemukan keseimbangan yang tepat antara kedua aspek ini

(diversitas dan unitas). Kegagalan tersebut disebabkan oleh

pemisahan ruang publik dan privat. Baginya pengembangan

model dan strategi penguatan tatanan masyarakat

multikultural yang relevan tergantung pada bagaimana

menata kekuasaan politik, penegakan keadilan, sambil tetap

mengakui dan merangkul cultural differences serta pengaturan

hak-hak kolektif dan pengembangan kebudayaan bersama

termasuk identitas nasional. Dalam proses inilah Parekh

menekankan pentingnya pendidikan multikultural.

Situasi dan arah kontekstual ini merupakan udangan

rumpun etnik Mbaham Matta kepada agama-agama untuk ikut

terlibat dalam transformasi sosial membangun tatanan

masyarakat multikultural. Di tengah-tengah pergulatan dunia

18 Lihat juga pemodelan dua diemnsi yang diajukan oleh Douglas Hartman and Joseph Gerteis, “Dealing with Diversity: Mapping Multiculturalism in Sociological Terms.” Sociological Theory 23:2 June 2005, 218-240.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 233

perihal tatanan masyarakat multikultural, dalam skopa daerah

rumpun etnik Mbaham Matta menawarkan suatu model dan

strategi kebudayaan: dualitas inkorporasi dalam konteks

dinamika dan proses-proses ethnic boundarying berbasis

kekerabatan. Secara filosofis dan praktik mereka

menyodorkan paradigma “agama keluarga” yang membawa

kepada pengembangan relijiusitas atau keberagamaan

keluarga dengan etika ideal atau core value “idu-idu maninina”

dan tujuan menjamin ontological security sistem sosial mikro-

makro (integrasi sosial dan integrasi sistem).

Agama-agama diundang terlibat membangun masya-

rakat multikultural dalam kompleks sosial-budaya etnik

Mbaham Matta patut memperhatikan hal-hal mendasar

tersebut. Pertama, strategi budaya inkorporasi. Rumpun etnik

Mbaham Matta telah membuka dan menyediakan ruang-ruang

sosial menyambut agama-agama dunia. Inkorporasi

merupakan undangan bagi agama-agama ikut serta dalam

proses-proses kehidupan mereka sehari-sehari. Bila kembali

mengingat negosiasi dalam ruang demarkasi etnik (ethnic

boundary), agama-agama patut menyadari adanya sinyal-

sinyal pengingat budaya dan perangkat nilai utama dan

normatif built-in sebagai disposisi individual dan kolektif

mereka yang memberikan kerangka interpretasi dan tindakan

sosial terkait keberagamaan.

Kedua, disposisi kultural-relijius itu mereka

deklarasikan melalui ungkapan “agama keluarga.” “Agama

keluarga” adalah paradigma kultural yang mencerminkan

penghayatan dan praktik keagamaan mereka. Ini adalah

relijiusitas praktik19 mereka. Agama keluarga menegaskan

bahwa bagi mereka keberagamaan yang mereka hidupi setiap

hari adalah agama yang sudah dijalin oleh mereka sendiri

19 Mengikuti Giddens yang memahami kebudayaan sebagai praktik, kebudayaan yang menyadi bagian dari praktik sosial dalam konteks interaksi sosial sehari-hari.

234 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi dalam sturktur sosial yang berbasis kekerabatan atau aliansi-

aliansi lintas keluarga, marga dan kampung. Secara spesifik

penjalinan agama-agama ke dalam struktur sosial mereka

dilakukan melalui mekanisme perkawinan lintas agama. Di sini

mereka tidak mengizinkan agama-agama menjadi unsur

pengganggu kekerabatan atau aliansi-aliansi lintas keluarga,

marga, dan kampung.

Ketiga, merawat eksistensi dan kalangsungan

kekerabatan atau aliansi dalam rumpun etnik Mbaham Matta

merupakan tanggungjawab bersama yang sangat penting dan

menentukan. Karena kekerabatan atau aliansi lintas keluarga,

marga dan kampung mempunyai akar dan basis pengalaman

historis mereka melewati atau melampaui fase kerjawriya

yang penuh perang hongi, pengayauan, dan aneka amorilitas

sosial yang merendahkan kemanusiaan serta ketiadaan kohesi

dan solidaritas sosial. Mereka membangun aliansi atau

kekerabatan baru yang mereka berdirikan di atas warqpa

thumber atau tumpukan batu-batu sumpah. Mereka

membangun aliansi atau kekerabatan baru sebagai sebuah

perjanjian hidup baru yang dialas dengan sumpah kolektif.

Sumpa kolektif ini menjadi terasa kuat bila dibaca dalam

bahasa mereka. Dalam bahasa Iha, sumpah adalah nahambe

sebagai kata benda sedangkan bersumpah adalah naham

hanbe. Makna kata sumpah atau bersumpah ini senafas dengan

kata oath atau binding oath dalam bahasa Inggris yang terkait

dengan praktik sumpah untuk meneguhkan perkataan atau

janji seseorang atau sekelompok orang dengan menyerukan

nama atau kehadiran dewa atau orang atau benda tertentu

sebagai saksi yang mengafirmasi dan mengawasi realisasi

sumpah tersebut. Sumpah jelas terkait dengan kutuk atau

berkat. Dengan begitu kesetiaan mereka terhadap sumpah

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 235

menjaga dan merawat kekerabatan adalah bagian dari nilai

dan etika hidup keberagamaan mereka.20

Keempat, etika ideal atau core value yang mereka

hidupi adalah idu-idu maninina. Mereka menjadikan etika

utama adalah hidup damai, aman, tenang, dan seimbang. Kata

ini berarti juga ‘senang, bahagia.’ Dalam praktik gerakan

mesianik Mahambotmur, ada perang iman melawan kuasa-

kuasa alami yang menguasai dan menempati lokasi-lokasi atau

wilayah-wilayah tertentu. Perang iman ini dilakukan untuk

mendamaikan lokasi atau wilayah itu, sehingga tempat atau

wilayah tersebut bisa ditinggali atau diusahakan. Etika ideal

idu-idu maninina lahir dari pengalaman panjang perang hongi,

pengayauan, dan lain lain pada fase kerjawriya. Jadi jelas hidup

damai adalah juga janji etik yang dialas dengan sumpah

kolektif.

Kelima, kehidupan damai ini menjadi inti etik atau

moralitas sosial rumpun etnik Mbaham Matta yang telah

bersumpah membangun kekerabatan atau aliansi lintas

keluarga, marga, kampung, dan agama untuk menjamin

ontological security21 dalam sistem sosial mikro dan makro.

Anthony Giddens mendefinisikan ontological security sebagai

“confidence or trust that natural and social worlds are as they

appear to be, including the basic existential parameters of self

20 Ada beberap kasus yang Penulis temukan terkait dengan pernikahan lintas agama yang gagal atau ditolak. Karena perkawinan adalah mekasime sosial penting dalam merawat kerabatan, maka penolakan perkawinan lintas agama tanpa alasan mendasar harus dibayar. Ada dua kasus terkait penolakan perkawinanan lintas agama yang masih dalam proses negosiasi terkait dengan relasi silsilah perkawinan lintas agama yang sudah dilewati oleh orang tua atau kakek/nenek mereka. Menurut beberapa informan mereka yakin penolakan perkawinana karena alasan perbedaan agama akan kena kutuk. Mereka menceritakan beberapa kasus kutukan seperti ganguan jiwa, sakit, bahkan kecelakaan dan kematian. 21 Lihat Jennifer Mitzen, “Ontological Security in World Politics: State Identity and the Security Dillemma,” European Journal of International Relations, Vol12 (3) 2006: 341-370.

236 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi and social identity.”22 Konsep ini menunjuk kepada keadaan

yang terkait dengan keyakinan bahwa lingkungan hidup

mereka, baik alam maupun dunia sosial, ada dalam kondisi

baik dan stabil, termasuk kedirian dan identitas sosial mereka,

ada dalam kondisi pasti (tidak terganggu) dan stabil, serta

aman. Ontological security, di samping physical security, adalah

kebutuhan dasar konstan (a basic need). Kebutuhan dasar ini

dimunculkan dalam ilmu-ilmu sosial bukan untuk menjelaskan

variasi perilaku, tetapi lebih untuk membantu pengungkapan

proses-proses yang memproduksi kontinuitas eksistensi

kelompok-kelompok sosial atau masyarakat. Ontological

security menunjuk kepada rasa aman diri para aktor individual

dan kolektif karena kepastian atau kemantapan sistuasi

interaksi sosial baik dalam lingkup sistem sosial (mikro)

maupun sistem sosial makro. Rasa aman diri dan kepastian

sistuasi akan memampukan dan memotivasi mereka

melakukan tindakan dan aktivitas. Importansi ontological

security ini terkait dengan dua hal kunci dalam memahami

masyarakat, yaitu identitas sosial dan kekhasan kultural

(cultural distinctiveness). Kelompok-kelompok merutinisasi

relasi-relasi di antara mereka untuk memelihara kekhasan

kultural mereka. Relasi-relasi lintas kelompok yang tertata dan

berlangsung baik akan membantu mereka mempertahankan

koherensi identitas masing-masing. Jadi ontological security

menjadi prasyarat sosial penting dalam upaya-upaya

membangun suatu tatanan masyarakat multikultural.

Keterjaminan dan keberlangsungan ontological security

merupakan tanggungjawab semua komponen membangun

relasi-relasi sosial yang mantap dan pasti sambil memberi

ruang kepada masing-masing mempertahankan dan

mendinamisir kekhasan-kekhasan sosio-kultural dan identitas

sosial.

22 Anthony Giddens, The Constitution of Society (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1984).

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 237

E. Sumbangan Teoritik: Dualitas Inkorporasi

Dari telusuruan di atas sebagaimana ditunjukkan oleh

diagram alur studi dan perangkaan teoritik pada kahir Bab II,

terlihat jelas bahwa Penulis menggunakan wawasan teoritik

antropologi sosial dan teoritik sosiologi. Dari antropologi

sosial teori-teori etnisitas menjadi wilayah jelajah. Etnisitas

(etnogenesis) tidak bisa dijelaskan dari satu perspektif teoritik

semata. Kompleksitas etnisitas mengharuskan kita

menggunakan silang wawasan dan komponen-komponen

mereka. Kita tidak bisa mengatakan bahwa etnik terbentuk

sebagai proses produkasi kultural-primordial semata atau

sebaliknya hanya sebagai proses konstruksi sosial yang

dibangun oleh manusia atau para aktor sosial. Oleh karena itu

muncul teori konvergensi.

Dalam alur studi Penulis mencari titik poros (axial)

krusial etnogenesis atau proses kemenjadian suatu etnik.

Penulis menemukannya dalam komponen utama teorisasi

etnik yang dikemukakan oleh Fredrik Barth, yaitu ethnic

boundary. Ethnic boundary adalah ruang demarkasi imajinatif

etnik yang memagari entias etnik dan para anggotanya dalam

perjumpaan dengan kelompok etnik yang lain. Ketika terjadi

perjumpaan lintas etnik, mereka dilingkari oleh masing-

masing etnik boundary. Di titik perjumpaan inilah terjadi

proses dan dinamika negosiasi lintas etnik. Barth menekankan

pada bagaimana masing-masing kelompok etnik berusaha

memelihara wilayah batas etnik mereka. Ada titik-titik yang

diizinkan oleh masing-masing pihak berlangsung perjumpaan

dan berlangsung interaksi yang bisa membawa kepada

modifikasi kekhasan kultural maupun segi-segi tertentu dari

identitas sosial masing-masing kelompok. Proses sedemikian

yang Penulis rumuskan sebagai dualitas proses, yakni

penerimaan (inklusi) dan penolakan kritikal.

Yang terpenting di sini adalah kelangsungan kekhasan

kultural dan identitas sosial kelompok tergantung penuh pada

238 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi maintenance of ethnic boundary. Kelompok cenderung

mempertahankan batas-batas terluar dari wilayah sosial-

kulturalnya. Sebagian besar area batas etnik cenderung

ditutup untuk melindungi kekhasan budaya dan identitas

sosial. Itu berarti identifikasi berserta kekhasan-kekhasan

kultural kelompok internal sangat diutamakan. Sementara

proses dan dinamika negosiasi di wilayah luar, yakni dalam

perjumpaan dengan kelompok lain cenderung diabaikan.

Mekanisme pertahanan diri kultural menjadi sangat dominan.

Bila larut ke dalam wilayah batas etnik lain, mereka akan

kehilangan identitas sosial dan kekahasan kultural asal. Sisi ini

sudah dikritik oleh antara lain R. Jenkins. Menurut Jenkins,

karena terlalu fokus pada proses identifikasi internal

kelompok Barth mengabaikan dan gagal menjelaskan

dinamika kategorisasi sosial yang berlangsung di luar batas-

batas sosial etnik. Jenkins telah menambahkan bahwa dalam

proses-proses kategorisasi sosial lintas kelompok ini

berlangsung tarung kekuasaan perebutan hegemoni kategori

dan penguasaan sumber-sumber atau modal-modal sosial-

kultural satu keompok atas kelompok lain. Tetapi Jenkins pun

masih terikat pada konsep askripsi-diri dalam kelompok atau

identifikasi kelompok dan askripsi oleh orang atau kelompok

lain dalam proses kategorisasi sosial.

Bagi Penulis pada titik ini terjadi kemandegan dalam

menjelaskan lebih jauh perjumpaan lintas kelompok etnik

dengan masing-masing wilayah batas sosial-kultural. Seolah

hanya ada dua pilihan: fokus pada proses-proses identifikasi

dalam sistem sosial mempertahankan wilayah batas etnik atau

membuka batas-batas sosial etnik masuk dalam ruang tarung

kekuasaan untuk menghegemoni kategorisasi sosial dan

merebut sumber-sumber daya sosial-kultural yang menjadi

basis kekuatan identifikasi sosial kelompok lain. Akibatnya

pun hanya satu: menang atau kalah.

Etnogenesis Rumpun Etnik Mbaham Matta dalam Alur Teoritik 239

Untuk mengatasi kegamangan perjumpaan lintas etnik

dan batas wilayah sosial-kultural ini, penulis menemukan dan

mengajukan konsep dualitas inkorporasi. Konsep ini

ditemukan dari pengalaman perjumpaan rumpun etnik

Mbaham Matta dengan agama-agama dan otoritas-otoritas

politik-ekonomi Kesulatanan Tidore dan Belanda. Dualitas

inkorporasi menunjukkan bahwa etnik lokal, yang berposisi

lebih lemah, pada satu sisi terinkoporasi ke dalam sistem

sosial makro di mana terdapat aktor-aktor individual maupun

kolektif integrasi sistemnya yang hadir melalui institusi raja.

Tetapi mereka masuki dengan strategi khas, yakni inkorporasi

lintas marga yang membentuk aliansi politik lokal yang

menegaskan otoritas dan menjami kepentingan mereka. Pada

pihak lain, rumpun etnik lokal menginkorporasi entitas

agama-agama baru ke dalam ruang batas etnik lokal. Mereka

menyediakan ruang-ruang sosial bagi agama-agama baru.

Agama-agama dijalin ke dalam rajutan sistim kekerabatan dan

aliansi lintas keluarga, marga, kampung dan agama. Dalam

dualitas inkorporasi ini berlangsung proses-proses

reidentifikasi sosial dan reafirmasi moralitas sosial mengikuti

restrukturisasi sistem sosial mikro maupun makro serta

restrukturasi socio-cultural structure.

Dengan konsep dualitas inkorporasi kita menjelaskan

lebih jauh proses tranformasi sosial melalui identifikasi sosial.

Dalam teorisasi Barth identifikasi sosial terimplementasi

melalui askripsi-diri (identifikasi kelompok internal) dan

askripsi oleh orang lain (kategorisasi sosial) yang kurang

ditekankan oleh Barth. Dalam dualitas inkorporasi identifikasi

sosial dapat secara simultan berproses awal dari menerima

identifikasi sosial heteronom dari kekuatan-kekuatan integrasi

sistem/sistem sosial makro, yang dalam klasifikasi Manuel

Castell disebut legitimizing identity. Kemudian perputaran tuas

identifikasi sosial heterenom menggerakan identifikasi

perlawanan sosial-budaya. Bersamaan pula bergerak

240 Strategi Budaya Rumpun Etnik Mbaham Matta Kabupaten Fakfak dalam

Perjumpaan dengan Agama-agama dan Otoritas Politik-Ekonomi identifikasi proyek transformasi sosial. Jadi dengan dualitas

inkorporasi kita bisa menjelaskan pergeseran dari hanya

sebatas reproduksi sosial, yang menjadi buah dari proses-

proses ethnic boudarying dalam lingkup teorisasi Barth,

menunju transformasi sosial. Dalam rangka mendudukan dan

menjelaskan kaitan identifikasi sosial dengan transformasi

sosial, konsep dualitas inkorporasi bisa memberdayakan

simultansi pergerakan model-model identifikasi sosial yang

dikemukakan oleh Manuel Castel sebagaimana ditunjukan

melalui etnogenesis rumpun etnik Mbaham Matta.