bab iv tinjauan ekoteologi terhadap pandangan masyarakat...

41
104 Bab IV Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani 4. Pengantar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, istilah “pandangandiartikan sebagai hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan sebagainya). 1 Istilah “pandangan” dipilih atau digunakan oleh penulis dengan beberapa pertimbangan. Pertama, penulis ingin mengetahui bagaimana masyarakat sendiri melihat atau memperhatikan praktek bertani yang dilakukan saat ini. Kedua, dengan menggunakan pandangan masyarakat, penulis tidak terjebak dalam pemahaman yang subjektif. Melalui tulisan ini akhirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa pandangan masyarakat dapat benar tetapi dapat juga salah. Kajian ekoteologi dapat membantu penulis dalam menganalisa temuan di lapangan dan juga teori yang penulis digunakan di dalam bab II. Bab IV ini merupakan kajian ekoteologi terhadap pandangan masyarakat desa Kotabes tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, faktok-faktor penyebab terjadinya perubahan pola bertani dan bagaimana tinjauan ekoteologi terkait dengan pandangan tersebut. Hasil temuan di lapangan menunjukkan beberapa hal dan sejalan dengan rumusan serta tujuan masalah, yakni praktik-praktik bertani yang dilakukan oleh masyarakat Desa Kotabes yang berubah akibat masuknya revolusi hijau dan tinjauan ekoteologi terhadap perubahan praktik-praktik bertani yang dimaksud. Ada 1 https://kbbi.web.id/pandang, diunduh pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl. 21.46WIB

Upload: vuongthien

Post on 02-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

104

Bab IV

Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang

Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

4. Pengantar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, istilah “pandangan”

diartikan sebagai hasil perbuatan memandang (memperhatikan, melihat, dan

sebagainya).1 Istilah “pandangan” dipilih atau digunakan oleh penulis dengan

beberapa pertimbangan. Pertama, penulis ingin mengetahui bagaimana masyarakat

sendiri melihat atau memperhatikan praktek bertani yang dilakukan saat ini. Kedua,

dengan menggunakan pandangan masyarakat, penulis tidak terjebak dalam

pemahaman yang subjektif. Melalui tulisan ini akhirnya akan sampai pada

kesimpulan bahwa pandangan masyarakat dapat benar tetapi dapat juga salah. Kajian

ekoteologi dapat membantu penulis dalam menganalisa temuan di lapangan dan juga

teori yang penulis digunakan di dalam bab II.

Bab IV ini merupakan kajian ekoteologi terhadap pandangan masyarakat desa

Kotabes tentang pengaruh revolusi hijau dalam bertani, faktok-faktor penyebab

terjadinya perubahan pola bertani dan bagaimana tinjauan ekoteologi terkait dengan

pandangan tersebut. Hasil temuan di lapangan menunjukkan beberapa hal dan sejalan

dengan rumusan serta tujuan masalah, yakni praktik-praktik bertani yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Kotabes yang berubah akibat masuknya revolusi hijau dan

tinjauan ekoteologi terhadap perubahan praktik-praktik bertani yang dimaksud. Ada

1 https://kbbi.web.id/pandang, diunduh pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl. 21.46WIB

105

beberapa temuan penulis dalam penelitian lapangan. Pertama, masuknya revolusi

hijau membawa beberapa pengaruh seperti penggunaan alat-alat pertanian yang lebih

modern dan tidak ramah lingkungan. Kedua, kearifan lokal masyarakat yang mulai

digantikan dengan pengetahuan modern. Ketiga, orientasi bertani yang hanya semata

demi uang sehingga berusaha mencari alternatif dan kemudahan-kemudahan.

Keempat, revolusi hijau berdampak pada rusaknya tanah dan hilangnya tanaman-

tanaman lokal serta tinjauan ekoteologi terhadap revolusi hijau dalam bertani. Namun

sebelum itu penulis akan memberikan beberapa catatan penting terkait dengan konsep

bertani yang ramah lingkungan (pertanian organik) dan pandangan masyarakat

tentang bertani yang ramah lingkungan ditinjau dari ekoteologi.

4.1 Bertani Ramah Lingkungan sebagai Alternatif

Bertani yang ramah lingkungan adalah proses bertani yang tetap menjaga

keutuhan ciptaan dalam hal ini tanah dan makhluk hidup yang ada di sekitarnya.

Ketika revolusi hijau masuk yang terjadi adalah lingkungan menjadi rusak

(lingkungan bertani khususnya), agenda revolusi hijau seperti penemuan bibit unggul,

pembuatan obat pembasmi hama dan penggunaan bahan-bahan kimia nampaknya

merusak dan menghancurkan ekosistem serta menghancurkan keseimbangan

lingkungan.2 Teknologi dan pengetahuan modern sebenarnya tidak salah, sebaliknya

membantu masyarakat tani, yang salah adalah ketika teknologi dan pengetahuan

modern tidak diikuti dengan kesadaran moral akan pentingnya semua ciptaan bagi

kehidupan manusia. Pada akhirnya memang benar bahwa manusia tidak mungkin lagi

2 J. Mardimin, Petani Versus Globalisasi (Salatiga: Sinode GKJTU, 2009), 25

106

hidup seperti zaman dulu yang hanya memanfaatkan apa yang ada di alam semesta,

perubahan harus dilakukan demi dan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.

Teknologi dan pengetahuan kemudian menjadi sumber petaka ketika tidak

dimanfaatkan dengan bertanggungjawab. Hal inilah yang dikritik oleh seorang teolog

bernama Lynn White dalam tulisannya yang terkenal, yakni the historical roots of

our ecological bahwa menurut White akar dari krisis lingkungan sebenarnya

dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, mandat Allah kepada manusia sebagai penguasa

alam semesta yang disalahgunakan. Kedua, teknologi dan pengetahuan yang berasal

dari Barat.3 Namun demikian, tulisan White ini juga perlu dikritik bahwa teknologi

dan pengetahuan dari Barat tidak semuanya salah, sekali lagi yang salah adalah ketika

tidak ada etika dan kesadaran dari manusia untuk menjaga dan memelihara

lingkungan. Gerakan revolusi hijau bukan semata-mata dianggap sebagai program

pertanian yang meningkatkan kesejahteraan petani, melainkan merusak ideologi

masyarakat yang dulunya sangat mencintai dan menganggap alam sebagai bagian dari

hidupnya.

Sejak zaman dahulu, masyarakat tani di Amarasi sebenarnya sudah menerapkan

sistem pertanian yang ramah lingkungan atau istilah lainnya adalah pertanian organik,

namun entah mengapa hal tersebut dilupakan dan ditinggalkan. Masyarakat tani

tradisional di Amarasi memanfaatkan kotoran hewan dan daun-daun kering sebagai

pupuk untuk menyuburkan tanah dan tanaman. Di satu sisi, sistem pertanian organik

atau pertanian yang pro lingkungan dan keutuhan ciptaan nampaknya memberikan

3 Lihat dalam Bab II

107

keunggulan tersendiri. Di lain sisi pertanian organik sebenarnya ingin

mengembalikan perilaku masyarakat tani yang mulai lupa dengan pengetahuan lokal

yang mereka miliki. Ada empat aspek yang menjadikan pertanian organik sebagai

pilihan yang menjanjikan, yaitu:4

1. Menghapus Ketergantungan

Ketergantungan petani terhadap pupuk kimia dan bibit unggul, nampaknya sudah

menjadi hal yang biasa. Para petani akan merasa sangat bangga ketika berhasil

membeli obat pembasmi hama dengan kualitas yang bagus. Petani akan bangga

ketika pemasukan lebih banyak dan pengeluaran sedikit. Petani akan bangga ketika

hasil panen melimpah ataupun ketika mereka berhasil memanen hasil duluan dan

menjualnya. Hasil temuan penulis di lapangan bahwa sebagian masyarakat tani

Kotabes-Amarasi memang bergantung dengan pupuk kimia, pestisida dan bibit

unggul. Namun demikian, ada beberapa yang tidak bergantung sebab sebagian

masyarakat masih percaya bahwa tanpa pupuk kimia dan pestisida pun masih ada

kehidupan yang lebih baik. Penulis mengakui bahwa kaum perempuan adalah orang-

orang yang masih peduli dengan lingkungan. Keajaiban dari pupuk kimia dan

pestisida nampaknya mengubah mindset para petani di desa (ini juga terjadi dalam

masyarakat tani di desa Kotabes). Pola pikir dan pola perilaku mereka menjadi tidak

rasional lagi artinya masyarakat tani menggantungkan hidup sepenuhnya pada pupuk

kimia dan pestisida. Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat tani yang

tradisional terlahir sebagai petani-petani yang ramah lingkungan.

4 J. Mardimin, …. 63

108

Hal ini dapat terjadi karena tiga hal, yakni: pertama, para petani dengan mudah

dapat memperoleh bibit unggul yang dijual toko-toko, seperti bibit sayur, buah dan

kacang-kacangan yang dijual dalam bungkusan alumunium foil. Biasanya proses ini

terjadi dari mulut ke mulut ketika ada petani lain yang sudah membeli dan

menunjukkan hasil yang baik maka tanpa dikomando petani lainpun akan

mengikutinya. Kedua, produksi bibit unggul lokal yang mulai hilang dan sudah tidak

lagi dibudidayakan oleh masyarakat maupun para pemerhati tanaman, mengakibatkan

masyarakat hanya bergantung pada bibit unggul yang dijual di toko-toko. Hal inilah

yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes. Hasil wawancara

penulis menunjukkan bahwa tanaman lokal seperti tomat dan jenis jagung ataupun

buah-buahan yang sering ditanam dan dibudidaya sekarang sudah tidak ada lagi.

Alasan yang dikemukakan, yakni tanaman atau bibit lokal rentan terhadap penyakit

serta juga kondisi saat ini tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan bibit lokal.

Ketiga, ketergantungan petani terhadap pupuk kimia, bibit unggul dan pestisida ini

disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana cara-cara

mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah pertanian serta bagaimana cara-

cara mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Faktor tingkat pendidikan dan

pengetahuan masyarakat tidak dapat diabaikan dalam hal ini. Teknologi lokal yang

dulunya dilakukan oleh leluhur zaman dulu telah hilang bahkan tidak dipedulikan

lagi, akibat keserakahan dan kecongkakan ilmu pengetahuan manusia yang semakin

maju.5

5 J. Mardimin, …. 64

109

2. Merehabilitasi Lingkungan

Gerakan revolusi hijau nampaknya telah mengakibatkan kerusakan

lingkungan yang begitu besar. Lahan pertanian menjadi rusak oleh karena

penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang secara terus menerus. Lahan

pertanian menjadi jenuh dan beracun. Tanah menjadi tidak sehat dan tidak

memberikan efek yang baik untuk meningkatkan produksi yang lebih tinggi. Kriteria

kerusakan lingkungan yang mencakup ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,

dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk

dapat tetap melestarikan fungsinya.6

Hal itu sudah terbukti bahwa penggunaan bahan-bahan kimia telah membuat

tanah kehilangan kemampuannya untuk mengikat unsur hara dan air, tanah akan

keras dan tingkat kegemburannya semakin menurun. Ketika hal tersebut terjadi, maka

tanah dengan sendirinya akan menghambat perkembangan akar tanaman. Selain itu,

pupuk kimia juga akan mematikan entitas alam yang menjadi penjaga kesimbangan

alam akan mengalami kepunahan.7 Pertanian organik pada akhirnya menawarkan cara

produksi pangan yang ramah lingkungan, menawarkan budaya tani yang lebih

mencintai kehidupan, memberikan jaminan akan perlindungan dan memberikan

keuntungan bagi lingkungan secara keseluruhan.8

6 http://www.unhas.ac.id/pplh/wpcontent/uploads/2012/12/UU_2009_32PPLH_1.pdf http://e-

journal.uajy.ac.id/2999/3/2TA12223.pdf, diunduh pada Rabu, 13 Desember 2017, Pkl. 07.04WIB 7 J. Mardimin, …. 65 8 J. Mardimin, …. 65

110

3. Menghasilkan Makanan Sehat yang Bebas Residu kimia (bahan kimia)

Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya revolusi hijau mengubah mindset

masyarakat tani mengenai untung dan rugi dalam bertani bahwa keuntungan dihitung

dari hasil jual panen yang lebih banyak dari pengeluaran biaya produksi. Masyarakat

tani tidak lagi mempedulikan, apakah ada pengaruh dari perilaku bertani yang

sekarang ini merusak lingkungan ataukah sebaliknya tidak. Dengan adanya pertanian

organik, cara-cara bertani yang merusak ekologi setidaknya dapat dikoreksi terutama

mematahkan mindset para petani bahwa keuntungan melimpah dengan

menghancurkan ekosistem lingkungan adalah sesuatu yang melanggar kodrat ciptaan.

Oleh karenanya pertanian organik dianggap sebagai obat penawar yang dapat

membantu masyarakat khususnya para petani agar mulai memikirkan kegiatan bertani

yang ramah lingkungan.9 Sekalipun secara kualitas dan kuantitas hasil dari bertani

organik tidak sebagus hasil pertanian pupuk kimia, karena kebanyakan sayur ataupun

buah-buahan banyak yang berlubang ataupun tidak sebagus, sehingga membuat

masyarakat memperhitungkan untung dan ruginya.

Namun demikian, hasil dari bertani organik secara fisik berlubang ataupun tidak

sebagus hasil pupuk kimia, sayuran ataupun buah-buahan lebih sehat untuk

dikonsumsi. Selain keuntungan finansial seperti menghasilkan bahan makanan sehat

untuk dikonsumsi, keuntungan lainnya yang diberikan dari pertanian organik, yakni

kelestarian alam tetap terjaga, keberlanjutan alam tetap akan dapat dinikmati oleh

9 J. Mardimin, …. 67

111

anak cucu dan keberagaman hayati akan tetap terpelihara dengan baik.10 Dalam

kehidupan masyarakat tani di desa Kotabes, hal ini terlihat belum jelas sehingga

membuat mereka masih tidak mau meninggalkan perilaku bertani. Mereka kawatir

hasil pertaniannya tidak laku, sementara mereka sudah mengeluarkan biaya yang

cukup besar.

4. Menjamin Keadilan dan Keselarasan Kehidupan

Gerakan revolusi hijau telah berhasil mengubah cara, gaya dan prinsip hidup

masyarakat tani menjadi masyarakat yang sangat mendukung kapitalis yang lambat

laun akan menggeser eksistensinya sendiri. Prinsip revolusi hijau sebenarnya

bukanlah prinsip keadilan, melainkan kontra keadilan. Revolusi hijau menciptakan

dan melanggengkan ketergantungan bagi petani yang tinggal desa. Gerakan pertanian

organik sebenarnya hadir untuk memutuskan rantai setan yang selama ini dialami

oleh masyarakat tani di desa, yang begitu bergantung dengan benih unggul, pupuk

kimia, dan pestisida. Dalam perspektif keutuhan ciptaan, pertanian organik

menjanjikan terjadinya kesetaraan antara manusia dengan ciptaan Tuhan lainnya.

Dari keempat keuntungan bertani organik atau yang ramah lingkungan yang

ditawarkan ini, menurut hemat penulis nampaknya agak sukar diterapkan dalam

masyarakat tani desa Kotabes. Hal ini dikarenakan ada masyarakat yang berpikir

bahwa pertanian organik tidak membawa keuntungan, tetapi kerugian. Di samping

itu, pertanian organik juga membutuhkan kerja keras dan usaha serta bantuan dari

pihak lain, seperti pemerintah dan penyuluh-penyuluh pertanian.

10 J. Mardimin, …. 68

112

4.2 Kesadaran Ekologi

Hasil temuan penulis di lapangan bahwa pendidikan ikut serta mempengaruhi

pola pikir ataupun perilaku masyarakat dalam bertani. Di satu pihak, sebagian

masyarakat mengakui bahwa ada ketergantungan yang begitu besar terhadap

pemakaian bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida, tetapi di lain pihak ada

masyarakat khususnya kaum perempuan yang masih terus bekerja dengan teknik

tradisional. Sejauh ini penulis masih menduga bahwa semakin tinggi pengetahuan

maupun pendidikan seseorang mempengaruhi pola dan perilakunya terhadap

bagaimana cara dia memperlakukan lingkungannya. Tampaknya kaum perempuan

dibanding kaum laki-laki lebih peka dalam memperlakukan alam.11 Kegiatan bertani

yang dilakukan oleh kaum perempuan dapat menjadi contoh bagi masyarakat tani

lainnya agar tidak saja bertani demi kebutuhan hidup atau untuk mendapatkan

keuntungan namun juga yang mempedulikan lingkungan sebagai bagian dari dirinya.

Pertanyaannya mengapa perempuan masih begitu peduli dengan lingkungan

hidupnya, ketika banyak pihak lain melupakan dan malah merusak?

Dalam buku Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi, ada satu tulisan yang

berjudul panggilan berhati ibu bagi semua yang dikaji dari ekofeminisme.12 Tulisan

ini dengan jelas menegaskan bahwa manusia sebagai citra Allah atau yang diciptakan

seturut dan segambar dengan Allah, manusia pada akhirnya harus memiliki hati yang

11 Ada kemungkinan bahwa dugaan penulis salah, namun ini adalah temuan penulis di

lapangan. Akan tetapi, tingkat pendidikan dan pengetahuan seseorangpun tidak menutup kemungkinan

berbanding terbalik dengan perilaku dn pola pikirnya. Namun demikian, hal ini kembali kepada

kesadaran individu itu sendiri terhadap lingkungannya. 12 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis dalam Buku Menyapa

Bumi Menyembah Nyang Ilahi: Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius,

2008), 103.

113

mampu meluapkan kasih Allah bagi sesamanya (tidak terkecuali bagi ciptaan lain,

selain manusia). Manusia dituntut agar memiliki hati layaknya seorang ibu yang

mencintai dan memelihara alam sebagai anaknya. Hati seorang ibu dipilih karena

menceritakan tentang relasi yang hidup antara Tuhan dengan ciptaan-Nya; ibu dengan

anaknya; manusia dengan lingkungannya yang digambarkan sebagai berikut:

Allah sebagai pencipta, penguasa dan pemberi kehidupan, tetapi juga

memberikan kebebasan kepada manusia.

Ibu sebagai yang melahirkan manusia baru di bumi, bertanggungjawab

atas anak yang dilahirkan, tetapi bukan sebagai penguasa dan

penindas.

Manusia sebagai citra Allah, yang diberi kuasa atas semua ciptaan

yang lain bukan untuk menghancurkan, tetapi mengalirkan kasih yang

telah diterimanya.13

Ikatan yang terjalin antara Allah dan ciptaan-Nya, ibarat ikatan antara seorang

ibu dan anak yang begitu dikasihinya. Allah begitu mengasihi ciptaan-Nya, tidak

terkecuali, Allah tidak hanya mengasihi manusia tetapi semua yang Dia ciptakan

mendapat kasih dan berkat yang sama. Keistimewaan manusia sebagai yang ditulis

dalam Kejadian 1:26-28 menceritakan bagaimana manusia itu diciptakan serupa dan

segambar dengan Allah, dan juga mendapatkan mandat untuk berkuasa atas alam

semesta.

13 M. Henrika, Panggilan Berhati Ibu bagi Semua: Kajian Ekofeminis, … 104

114

4.3 Empat Pandangan tentang Perilaku Masyarakat terhadap Alam atau

Lingkungan

Hasil penelitian dan temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa sebenarnya

masyarakat Amarasi menganut empat pola perilaku dan pikir terhadap alam atau

lingkungan yang mempengaruhi tindakan masyarakat dalam memperlakukan

lingkungan khususnya dalam bidang pertanian, yakni:

Antroposentris

Manusia memandang dirinya sebagai pusat alam semesta, sebagai pusat dan

tolok ukur bagi semua kebijakannya dalam penataan seluruh alam semesta.

Manusialah yang diberikan mandat untuk memberikan nama kepada semua ciptaan

yang ada. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa alam hanya semata menjadi objek

untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Tujuan Allah menciptakan manusia

adalah untuk menguasai alam, tetapi bukan mengeksploitasi dan mendominasi dalam

hal yang buruk. Kata “menguasai” sebenarnya adalah memahami, mengenali secara

mendalam dan karenanya memanfaatkan untuk kehidupan yang lebih baik, bukan

sebaliknya menyebarkan kematian.14 Ciptaan yang sebenarnya setara kedudukannya

berubah menjadi objek-subjek karena paham antroposentrisme. Krisis lingkungan

sebenarnya muncul dari sikap dan cara pandang antroposentris. Sikap antroposentris

yang kemudian diikuti dengan teknologi dan pengetahuan modern yang tidak

bertanggungjawab, menjadi satu paket yang pada akhirnya memperparah kehidupan

di alam semesta. Panggilan berhati ibu sebenarnya mau menyadarkan manusia bahwa

hubungan manusia dan alam seharusnya mengikuti pola hubungan ibu dan anak yang

14 M. Henrika, . . . 123

115

saling mengasihi dan memelihara.15 Inilah yang menjadi kritikan White, jika manusia

cenderung mengklaim kalau alam hanya diciptakan untuk dirinya, maka yang dia

lakukan adalah bertindak sesuka hatinya dan hal ini masih terjadi dalam masyarakat

tani desa Kotabes.

Di desa Kotabes ada beberapa masyarakat yang masih menganut paham bahwa

semua ciptaan yang ada di dunia diciptakan untuk dirinya, hal ini membuat

masyarakat tani berasumsi bahwa, dia bebas untuk melakukan apa saja terhadap

lingkungan. Bahkan ada masyarakat tani yang berpendapat kalau tanah yang Tuhan

ciptakan adalah tempat mencari makan dan minum sehingga tidak menjadi persoalan

ketika tanah diolah sedemikian rupa sesuai dengan keinginan masyarakat.16 Hal

tersebut tidak salah, tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika tanah tidak

diperlakukan dengan baik dan penuh tanggungjawab. Dampak dari pandangan

antroposentris adalah beberapa masyarakat tani di desa Kotabes, tetap melakukan

kegiatan bertani yang tidak ramah lingkungan.

Biosentris

Pandangan biosentris berpendapat bahwa bukan hanya manusia saja yang

bernilai dan memiliki citra yang serupa dengan Allah, tetapi alam juga mempunyai

nilai yang sama yang setara dengan manusia. Pandangan ini menegaskan bahwa

semua makhluk memiliki nilai pada dirinya sendiri sehingga pantas untuk

diperhitungkan. Hubungan yang didasarkan antara manusia dan alam dan seluruh

15 M. Henrika, . . . 124 -125 16 Wawancara Ibu Sarah Maniyeni pada Jumat, 23 Juni 2017 Pkl. 15.00WITA

116

isinya memiliki harkat dan nilainya dalam komunitas kehidupan di bumi. Alam

sendiri mempunyai nilai justru karena ada kehidupan di dalam dirinya. Manusia juga

demikian menjadi bernilai dan berarti justru karena kehidupan yang ada di dalam

dirinya. Sampai pada akhirnya tanah dan bumi dengan demikian memiliki arti dari

dirinya dan harus diperlakukan dengan adil karena hidupnya.17 Paham atau

pandangan ini bagi masyarakat tani di desa Kotabes, dipahami secara lain bahwa bagi

masyarakat hewan pengganggu harus dibasmi atau dicegah sehingga tidak

menggangu tanaman. Hal ini terlihat dengan beberapa masyarakat yang mencampur

air dengan pupuk kimia atau zat beracun dan ditaruh di dalam kebun yang ketika

diminum oleh hewan akan mengalami keracunan dan mati dengan sendirinya. Paham

ini bagi masyarakat dipahami dari sisi yang lain, bahwa setiap hewan pengganggu

harus dibasmi agar tanaman dapat tumbuh dengan baik.18 Paham biosentris yang

semestinya menganggap semua makhluk hidup adalah satu kesatuan menjadi

kebalikannya yakni makhluk yang harusnya di jaga dan diperhatikan hanyalah

manusia.

Ekosentrisme

Jika dalam pandangan antroposentris yang berpusat hanya pada manusia dan

biosentris yang berpusat pada semua makhluk hidup selain manusia, maka

ekosentrisme memusatkan perhatiannya pada komunitas ekologis, baik yang hidup

maupun yang tidak hidup (tanah, air, udara). Karena secara ekologis, semua makhluk

hidup dan benda abiotik selalu berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan.

17 M. Henrika, . . . 126 18 Wawancara Wasti Nubatonis, pada Jumat, 23 Juni 2017 pukul 17.00WITA

117

Deep Ecology merupakan satu satu versi teori ekosenris yang dikembangkan oleh

Arne Naess seorang filsuf Norwegia, yang mulai mengembangkan prinsip-prinsip

dasariah deep ecology pada tahun 1970-an, mengingat bahwa manusia adalah bagian

dari alam semesta. Naess merasa frustasi karena kegagalan yang dialami oleh para

ekolog dan ilmuwan dalam menemukan akar-akar terdalam dari krisis lingkungan

hidup.19 Bagi Naess ada tiga prinsip dasar deep ecology, yakni pertama, semua

kehidupan insani pada dasarnya memiliki nilai dalam dirinya sehingga ini membuat

manusia tidak boleh dengan sesuka hati merampas nilai yang ada tersebut. Kedua,

pada dekade-dekade terakhir ini terjadi ledakan populasi dunia dan kepedulian

manusia pada jenis-jenis kehidupan perlahan mulai hilang. Ketiga, untuk mencapai

keseimbangan yang sehat, perubahan-perubahan signifikan perlu dilakukan baik

dalam struktur ekonomi, ideologis, dan lain sebagainya.

Deep Ecology menuntut suatu etika yang berpusat pada makhluk hidup secara

menyeluruh dalam kaitannya dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup.

Prinsip moral yang dikembangkan oleh deep ecology sebenarnya adalah menyangkut

kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology melihat permasalahan

lingkungan dalam relasional dan berusaha untuk mencari dan melihat akar

permasalahan secara komplit dan komprehensif untuk selanjutnya diatasi secara

mendalam. Dalam deep ecology disadari sesungguhnya bahwa krisis lingkungan

disebabkan oleh faktor yang paling fundamental, yakni cara pandang dalam diri

19 A. Naess: “Intuition, Intrinsic Value and Deep Ecology”. Dalam The Ecologist.

Vol.14,no.5-6, (1984): 201-202

118

manusia tentang dirinya, alam dan tempat manusia dalam alam.20 Deep ecology

nampaknya dapat menjawab keperluan mendasar di tengah perusakan bumi, deep

ecology hadir dan berupaya untuk menata kembali konsep mengenai relasi kosmologi

dan kosmogini.21 Temuan penulis di lapangan bahwa masyarakat tani yang ada di

desa Kotabes belum paham betul akan bahaya dari cara bertani yang dilakukan.

Lingkungan hanya dipahami masyarakat sebagai tempat memenuhi kebutuhan hidup

dengan cara bercocok tanam tanpa peduli bahwa praktik bertani akibat masuknya

revolusi hijau mengancam ekosistem pertanian. Deep ecology sebagaimana yang

Naess ungkapkan nampaknya akan menjadi wacana semata ketika tidak diikuti

dengan kesadaran dan rasa memiliki bahwa ekosistem juga bagian dari kehidupan

manusia itu sendiri. Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan bahwa,

kesadaran akan cara bertani yang aman terhadap lingkungan masih sangat kurang,

akibatnya masyarakat memandang ekosistem hanya sebagai tempat bagi dirinya.

Makhluk lain bukan menjadi prioritas dan agenda manusia dalam hidupnya. 22

Ekofeminisme

Perjuangan utama kaum feminis adalah meyakinkan manusia modern bahwa ada

beragam cara pandang, cara berpikir, dan cara berada. Bahwa ada sebuah entitas

berbeda dan beragam dalam hidup ini. Dunia bukan hanya dunia laki-laki, tetapi juga

20 M. Henrika, . . . 127 21 Kosmologi yakni ilmu tentang asal usul kejadian bumi, hubungannya dengan sistem

matahari dan jagat raya atau dengan kata lain ilmu tentang alam semesta sedangkan kosmogini yakni

teori tentang asal mula terjadinya benda langit dan alam semesta. 22 Hal ini penulis temukan ketika melakukan observasi langsung, hujan yang jarang turun juga

menjadi salah satu faktor terjadinya gagal panen. Ketika itu terjadi maka jalan satu-satunya yang

dilakukan oleh masyarakat tani adalah memesan air tanki dengan harga berkisar rp.150..000-

175.000/5.000Ltr.

119

dunia perempuan. Feminisme hadir untuk menggugat cara pandang, bahkan nilai

yang umum diterima berlaku menyangkut perubahan revolusioner atas sistem yang

ekonomi dan politik yang meminggirkan dan menimbulkan ketidakadilan bagi

perempuan. Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme merupakan sebuah gerakan yang

ingin mendobrak pandangan antroposentrisme yang lebih mengutamakan manusia

daripada alam semesta seperti juga pandangan biosentrisme dan ekosentrisme.

Kontribusi utama ekofeminisme sebenarnya adalah membantu banyak pihak dalam

memahami akar permasalahan krisis lingkungan yang berakar pada dominasi

manusia. Setiap upaya untuk menyelamatkan alam semesta tidak akan berhasil ketika

tidak diikuti dengan upaya menghapus cara pandang patriakhi dalam masyarakat

modern saat ini. Adanya kesetaraan dalam semua makhluk ekologis, maka

ekofeminisme menawarkan kasih sayang, harmoni, cinta, tanggungjawab dan saling

percaya antara satu dengan lainnya.23 Hasil temuan penulis di lapangan menunjukkan

bahwa sebagian masyarakat terkhusus kaum perempuan, masih menunjukkan sikap

peduli terhadap lingkungan. ini jelas terlihat dengan proses bertani yang ramah akan

tanah dan tanaman. Sikap seperti ini harusnya ditularkan kepada semua masyarakat,

tidak saja kaum perempuan yang melakukannya. Namun demikian, hal ini sepertinya

sulit dilakukan mengingat kepelbagaian pola dan perilaku masyarakat.

Ada banyak tafsiran terhadap perikop ini yang memunculkan kerakusan manusia

atas alam semesta, pengerusakan dan pengeksploitasian yang dilakukan manusia

karena alam dan segala ciptaan diberikan untuk diusahakan demi dan untuk

23 M. Henrika, . . . 127-129

120

kepentingan dirinya. Kembali kepada panggilan berhati ibu yang menekankan

hubungan yang begitu dekat antara manusia dan ciptaan, ibu sebagai perantara

kehidupan yang memiliki tugas melahirkan, memelihara, menjaga, mendidik dan

melestarikan nampaknya harus menjadi model pembelajaran bagi manusia agar

memperlakukan alam dan lingkungan dengan baik dan bartanggungjawab. Umat

manusia pada umumnya dan masyarakat tani pada khususnya harus diingatkan bahwa

kehadirannya di bumi adalah untuk mengelola, mengusahakan dan menjaga alam

semesta dengan penuh kasih dan bertanggungjawab layaknya seorang ibu.

Pertanian organik atau yang ramah lingkungan nampaknya menjadi pilihan

berhati ibu kalau mau dilihat dari perspektif ekofeminisme dengan beberapa prinsip

yang ditekankan, yakni menghapus ketergantungan, merehabilitasi atau

mengembalikan kelestarian lingkungan, meraih keuntungan, dan menjamin keadilan

dalam bidang pertanian saat ini. Revolusi hijau nampaknya harus gulung tikar sebab

pengaruh yang ditimbulkan tidak sebaik kampanye yang dilakukan semenjak gerakan

tersebut dilakukan. Semua pihak harus ikut bertanggungjawab dan ikut memperbaiki,

baik masyarakat itu sendiri, pemerintah maupun gereja sebagai satu kesatuan yang

tidak terpisahkan. Ibarat batu tungku di mana ketiganya harus “duduk” secara baik

agar tidak terjadi ketimpangan. Kesadaran harus diikuti dengan sikap yang

bertanggungjawab yang juga mampu menjadi virus yang baik orang lain. Kaum

perempuan tani di desa Kotabes memiliki hati ibu yang peduli dengan lingkungannya

Di saat banyak pihak mulai beralih pada pertanian modern yang merusak lingkungan,

perempuan masih mempertahankan kebiasaan bertani tradisional dengan nilai-nilai

121

yang diyakini sebagai nilai luhur. Kesadaran ini seharusnya ditularkan kepada banyak

pihak dan tidak memandang laki-laki atau perempuan, orang muda atau anak-anak.

Masyarakat tani di desa Kotabes sebenarnya mengalami dilema antara

menyetujui revolusi hijau dan yang tidak sama sekali. Namun demikian, data

lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pro dengan revolusi hijau.24 Di bagian

awal, penulis sudah banyak menjelaskan bahwa pandangan masyarakat tani di desa

Kotabes juga dipengaruhi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan. Ada

masyarakat yang menganggap biasa saja dengan sistem bertani yang ia lakukan

karena tuntutan kebutuhan hidup dan ekonomi. Masyarakat tentunya menyadari juga

bahwa masuknya teknologi dan pengetahuan modern memudahkan masyarakat dalam

menyelesaikan pekerjaan. Misalnya, hasil wawancara dengan narasumber

menyatakan bahwa dengan adanya traktor membantu masyarakat dalam mengolah

tanah agar lebih cepat dan efisien. Selain traktor, beberapa kemudahan yang

ditawarkan oleh revolusi hijau antara lain, Pertama, adanya obat pengering rumput.

Kedua, benih atau bibit yang dijual di toko-toko. Ketiga, pupuk kimia.

Sejalan dengan itu juga bahwa peradaban manusia yang terus berkembang,

manusia yang ingin hidup lebih baik namun melupakan beberapa hal ataupun tradisi

yang sebenarnya masih sangat diperlukan pada masa sekarang. Ritual bertanam

misalnya sudah tidak dilakukan dengan alasan bahwa hasil panen atau buah pertama

akan dibawa ke gereja sebagai bentuk persembahan. Ritual tanam digantikan dengan

24 Perlu disadari juga bahwa pada satu sisi masyarakat sendiri kurang paham dengan kata

revolusi namun karena penulis berusaha untuk mencari agenda-agenda revolusi hijau seperti

penggunaan bibit unggul, pupuk kimia dan pembasmi kimia maka setidaknya ada informasi-informasi

yang dapat penulis peroleh.

122

doa yang dilakukan oleh Pendeta ketika masyarakat tani hendak membuka ladang

untuk bertanam. Masuknya agama dalam hal ini Kekristenan, secara perlahan

mengubah pola pikir yang ada dan mengakibatkan masyarakat menganggap ritual

tanam dan panen adalah sesuatu yang salah serta tidak boleh dilakukan lagi.

Kehidupan bertani yang tradisional yang masih dekat dengan alam kemudian

perlahan mulai berubah menjadi kehidupan bertani yang lebih modern, dengan

beberapa catatan penting bahwa kebutuhan hidup semakin banyak, harga barang

semakin mahal dan sudah tidak ada lagi keuntungan ketika masih mau bertani secara

tradisional. Pola perilaku dan pengetahuan masyarakat tani perlahan mulai

dipengaruhi oleh gerakan revolusi hijau dengan segala kemudahan yang tidak

disadari dengan cepat oleh masyarakat desa Kotabes. Pengaruh yang ditimbulkan

tidak saja terhadap manusia, makhluk hidup lain tetapi juga terhadap ekosistem.

Masuknya revolusi hijau mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat tani di

desa Kotabes dan juga dampak dari pandangan masyarakat yang antroponsentris,

biosentris, ekosentris dan ekofeminis, mempengaruhi masyarakat tani yang

berhubungan dengan bentuk-bentuk perubahan pola bertani. Di bawah ini penulis

membuatnya dalam empat poin penting yakni:

1) Penggunaan alat-alat pertanian yang lebih modern dan tidak ramah

lingkungan.

Moderniasai dapat dipahami sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada

kepada semua aktivitas atau aspek-aspek dalam bidang kehidupan manusia.25 Segi

25 J. W. Schoorl, Modernisasi (Jakarta: Gramedia, 1980), 4

123

modernisasi yang paling menonjol adalah dalam bidang teknik produksi dan

industri di mana sisi yang paling menonjol adalah perubahan metode tradisional

ke metode yang lebih modern. Misalnya, dalam bidang pertanian, perubahan

mulai terjadi sejalan dengan perdaban kehidupan manusia yang terus

berkembang. Penggunaan alat-alat atau metode tradisional pada masa kini sudah

tidak efisien lagi. Teknologi dan metode modern menjadi malaikat penolong bagi

proses bertani yang menawarkan banyak sekali keuntungan dan kemudahan. Pada

akhirnya dasar dari semua perubahan adalah dalam cara manusia berpikir, seperti

yang diungkapkan oleh J.W. Schoorl, bahwa:

Ada penghargaan yang positif terhadap perubahan, khususnya dalam bidang-

bidang kehidupan tertentu seperti ekonomi dan ilmu pengetahuan. Ada

semacam rasa optimisme yang didasarkan pada pengertian kemajuan,

pengertian evolusi. Kegiatan ekonomi sangat dihargai. Bekerja dipandang

sebagai sesuatu yang baik, yang mutlak. Sistem kepercayaan dan pandangan

dunia berubah sifatnya menjadi lebih universal, di mana masyarakat dunia

secara keseluruhan mendapat tempat dan arti. Bersamaan dengan hal itu

terjadi sebuah sekularisasi . . . . agama dan pandangan hidup berkurang

kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain.26

Sikap-sikap modern adalah ciri-ciri manusia baru atau manusia modern yang

terdiri dari beberapa sikap yakni: pertama, efisiensi. Kedua, kerajinan. Ketiga,

keteraturan. Keempat, ketepatan waktu. Kelima, penghematan. Keenam,

kejujuran yang teliti (yang meningkatkan efisiensi dalam segala hubungan sosial

dan ekonomi dlam jangka panjang). Ketujuh, rasionalitas dalam memutuskan

tindakan (pembebasan dari kepercayaan pada adat statis, dari kecenderungan

untuk memihak pada kelompok tertentu dan memandang bulu, dari tahyul dan

prasangka). Kedelapan, kesediaan untuk berubah (membuat percobaan,

26 J. W. Schoorl, Modernisasi, . . . 3

124

menempuh jalan baru serta pindah tempat, kedudukan dan pekerjaan).

Kesembilan, kesediaan untuk membuat rencana jangka panjang (menolak

keuntungan jangka pendek, subordinasi spekulasi kepada investasi, dan

sebagainya).27

Harus diketahui bersama bahwa modernisasi memerlukan manusia atau

orang-orang yang mengerti bahwa perubahan adalah sebuah unsur yang normal

dalam kehidupan manusia, juga bahwa lewat perubahan-perubahan yang terjadi

manusia diharapkan untuk mengambil nilai yang dianggap penting. Manusia

modern percaya bahwa ilmu pengetahuan serta teknik dan metode ilmiah

memudahkan dan bahkan memungkinkan masyarakat untuk mempergunakan

alam dan memperbaiki kehidupan.28 Kenyataannya sekarang teknologi dan ilmu

pengetahuan disalahgunakan oleh manusia-manusia modern yang memiliki

kepentingan tertentu, dampaknya tidak saja bagi kehidupan manusia tetapi

kehidupan lingkungan. Teknologi yang awalnya membantu masyarakat

khususnya alat pertanian, perlahan mulai menjadi tidak ramah lingkungan.

Perubahan ini yang jelas dialami oleh masyarakat tani di desa Kotabes.

2) Kearifan lokal masyarakat yang mulai digantikan dengan pengetahuan

modern.

Karena modernisasi memerlukan manusia yang rasional dan pragmatis, maka

semua program pembangunan harus berdasarkan pada kepercayaan bahwa dengan

27 Gunnar Myrdal Basis XVI, No. 3, 77 28 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1989), 144-145

125

pikiran logis manusia dapat memecahkan semua masalah yang menghambat

proses kemajuan.29 Menurut Emerico P. Nacpil, seorang uskup Methodist di

Filipina, menjelaskan bahwa gambaran manusia tradisional orang Filipina

umumnya berlaku juga bagi orang di Asia. Nacpill memberikan tiga sikap

manusia tradisional yang bertentangan dengan pikiran manusia modern, yakni

pertama, pikiran orang Filipina berdasarkan pada sikap menyembah dan

mengagumi, bukan keinginan untuk mengerti. Lingkungan alam dianggap penuh

dengan kuasa-kuasa gaib yang dipengaruhi oleh roh-roh, dewa-dewa dan nenek

moyang. Bagi orang Filipina yang juga mewakili orang Asia menganggap bahwa

alam tidak dapat diuraikan dan dikuasai oleh cara ilmiah. Kedua, baik orang

Filipina dan Asia sama-sama menyukai keselarasan dan persatuan dengan alam,

manusia bersatu dengan alam sehingga keduanya dianggap saling membutuhkan.

Ketiga, pengertian orang Filipina dan Asia biasanya berdasarkan pada mitos,

bukan konsep ilmiah.30 Nilai-nilai Asia tradisional lebih mengutamakan

kestabilan daripada perubahan, bagi orang Asia waktu dianggap berjalan sesuai

dengan peredaran musim-musim tanam dan musim-musim panen yang berselang-

seling. Kearifan lokal masyarakat khususnya di desa Kotabes perlahan mulai

ditinggalkan dengan alasan tidak mampu lagi menjawab persoalan kebutuhan

hidup manusia. Salah satunya pengetahuan tentang obat tradisional untuk

menjaga tanaman dan membasmi hama serta penyakit tanaman.

29 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145 30 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 145

126

Kearifan lokal pada akhirnya harus tetap dijaga oleh masyarakat, meskipun

tidak lagi mampu menandingi pengetahuan modern, tetapi paling kurang kearifan

lokal yang tetap dijaga dan dipelihara dapat menjadi penyeimbang bagi kehidupan

alam. Sikap manusia dalam memandang alam juga berbeda. Manusia tradisional

lebih pasif sebab dianggap bersatu dengan alam yang keramat dan harus hidup

selaras dengan alam sedangkan manusia modern lebih aktif dalam memandang

alam, manusia harus berusaha untuk mengerti hukum-hukum alam dan

menaklukkannya Manusia sebagai subjek yang berhadapan dengan alam sebagai

objek, alam tidak dimaknai secara keramat sehingga alam dengan hukum-

hukumnya harus diselidiki dan dimengerti.31

Masyarakat desa Kotabes sendiri sejak dahulu kala memiliki kearifan lokal

sebut saja pemahaman mereka tentang adanya dewa penguasa dan penjaga alam

semesta. Semua yang masyarakat lakukan tidak boleh menganggangu alam

semesta, bekerja sesuai dengan ritme yang telah ditentukan oleh alam.

Kepercayaan akan terjadinya bencana ketika memanfaatkan alam dengan tidak

bertanggungjawab.32 Hal inilah yang seharusnya dimaknai oleh teologi dalam hal

ini Kekristenan, bagaimana melihat kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat

kemudian menggabungkan dengan ajaran-ajaran teologi (gereja) sehingga

masyarakat mampu memperlakukan alam dengan penuh kasih dan

bertanggungjawab, sehingga dogma gereja tidak hanya terkungkung dalam

mimbar-mimbar gereja semata.

31 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 153 32 Lihat Bab III Hal 76-77

127

3) Orientasi bertani yang hanya semata demi uang sehingga berusaha

mencari alternatif dan kemudahan-kemudahan

Manusia sebagai makhluk yang bekerja seperti yang dikatakan oleh Marx,

terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun kegiatan bekerja itu

terkadang merusak ciptaan yang lainnya, salah satunya tanah.33 Bagaimana

mungkin kebutuhan manusia menjadi terpenuhi dengan baik, tetapi

lingkungannya menjadi rusak dan kelaparan. Fritjof Capra mengungkapkan

bahwa sebuah masyarakat yang berkelanjutan adalah masyarakat yang tidak saja

maju dan sejahtera dalam bidang ekonomi, tetapi juga masyarakat yang sekaligus

secara ekologis ramah dan harmonis dengan alam sebagai sebuah sistem

kehidupan yang autopoesis disipatif.34 Ilmu ekonomi dan ekologi seharusnya

saling melengkapi, bukan saling menjatuhkan satu sama lain.35 Masuknya

revolusi hijau ternyata meniadakan hal tersebut, nilai ekonomi semata dipandang

lebih menguntungkan dan mendatangkan banyak keberuntungan sehingga tidak

ada masalah ketika mengesampingkan alam sebagai bagian dari manusia itu

sendiri. Dalam masyarakat desa Kotabes hal ini benar-benar terjadi bahwa

masyarakat memisahkan diri dari alam bahkan menganggap alam hanya sebagai

objek untuk dikelola demi dan untuk kebutuhan hidup tanpa ada tindakan

33 George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai

Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern (Bantul: Kreasi Wacana, 2016), 46-47 34 Autopoesis disipatif, yaitu menyerap energi dan makanan dari luar, mengolahnya lalu

mengeluarkan sisa proses metabolisme sebagai limbah, yang akan diserap oleh sistem kehidupan

lainnya yang juga akan berproses secara sama, dalam interaksi saling terkait dan menunjang kehidupan

satu sama lain di unduh dari http://www.menlh.go.id/melek-ekologis/, pada Kamis, 28 September

2017. Pkl. 23.10WIB 35 Frijof Capra, Bioregionalisme: menyatunya ekonomi dan ekologi dalam jurnal Etika Sosial,

Respons, Vol. 17, No. 1, Juli 2012.

128

mengembalikan kelestarian alam. Orientasi bertani yang dilakukan oleh

masyarakat tani di desa Kotabes, bukan semata demi memenuhi kebutuhan hidup,

tetapi mulai beralih menjadi nilai ekonomi. Masyarakat tidak lagi peduli apakah

kegiatan bertani yang dilakukan tetap melestarikan lingkungan atau sebaliknya

tidak. Karena orang tradisional pada awalnya hanya bekerja untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya, ia akan berhenti ketika ia sudah cukup memenuhi kebutuhan

hidupnya. Hal ini berbeda dengan orang yang mencari keuntungan di mana ia

akan bekerja supaya mendapatkan keuntungan yang lebih besar.36

4) Revolusi hijau berdampak pada rusaknya tanah dan hilangnya tanaman-

tanaman lokal

Dalam pandangan orang Timor atau atoinmeto, tanah dalam bahasa Dawan

dikenal dalam dua kata, yakni afu dan nain/naijan. Kata afu berhubungan dengan

afa yang artinya lemak, lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Orang yang

sejahtera adalah mereka yang memiliki tanah dan merawat serta memelihara

tanahnya, sedangkan konsep lainnya, yakni naijan yang mempunyai akar kata

yang dekat dengan kata nai yang artinya leluhur dan nai yang artinya periuk serta

nain yang artinya kerabat. Dalam pandangan orang Meto tanah, leluhur, periuk,

dan kerabat saling berhubungan erat satu sama lainnya. Tanah sebagai nai atau

periuk dipahami oleh masyarakat Meto sebagai sebagai tempat di mana

masyarakat mencari makanan untuk dibagi kepada semua anggota keluarga. Di

atas tanah tumbuh berbagai jenis tanaman, tak ada satupun makanan manusia

36 Malcom Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan, . . . 157

129

yang tidak berasal dari dan berhubungan dengan tanah. Bahkan semua makhluk

hidup yang bergerak, termasuk binatang, hidup dari apa yang tumbuh di atas

tanah. Tanah menjadi periuk kehidupan, tempat manusia mengolah hidup. Di atas

tanah yang sama pula, manusia bergumul untuk mencukupi kebutuhan

hidupnya.37 Filosofi ini tidak lagi menjadi sebuah pegangan bagi masyarakat,

tanah sudah tidak lagi menjadi satu kesatuan sehingga masyarakat dengan

gampang menggunakan kemampuannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang

diinginkannya. Tanah sebagai periuk kehidupan, beralih fungsi menjadi tanah

sebagai lahan ekonomi. Periuk kehidupan terpenuhi akan tetapi tidak

menguntungkan bagi tanah maupun makhluk hidup lainnya. Tanah sudah

memelihara manusia, namun demikian hubungan timbal balik dari manusia

memelihara tanah nampaknya tinggal cerita semata.

Teknologi dan pengetahuan modern telah mengubah paradigma berpikir

masyarakat dan membuat masyarakat melupakan kearifan lokal yang mereka

miliki. Hal ini pula yang dikemukakan oleh Vandana Shiva, dalam tulisannya

yang berjudul Ecological Balance in an Era of Globalization38 mengkritik bahwa

masuknya globalisasi mengubah sistem tatanan yang ada di dalam kehidupan

masyarakat. Ia menggunakan masyarakat India sebagai contoh konkirt bagaimana

globalisasi menarik kearifan lokal masyarakat yang menjaga dan melestarikan

37 Mery L. Y. Kolimon, Teologi Ramah Tanah di Timor Barat dalam Jurnal Oase STT INTIM

(Teologi Tanah: Perpektif Kristen terhadap Ketidakadilan Sosio-ekologis di Indonesia), 25-26 38 Frank J. Lechner and John Boli (ed), The Globalization Reader Second Edition (Blackwell

Publishing, 2003), 422

130

alam menjadi kehidupan yang merusak alam. Ia menyebutnya sebagai “yang

global menarik yang lokal.”

Bagi Shiva perlu adanya keseimbangan ekologi di era globalisasi saat ini.

Tidak adanya keseimbangan menyebabkan masyarakat India sebagai negara dunia

ketiga dijadikan tempat sampah yang meracuni dan merusak alam serta

lingkungan.39 Globalisasi secara tidak langsung menciptakan masalah baru yang

berujung pada kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Temuan penulis di

lapangan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin berkembang

membuat masyarakat menjadi semakin ingin hidup instan, tidak mau susah-susah

ataupun berkeringat. Pada akhirnya hal tersebut akan membuat manusia merusak

ciptaan lainnya. Berkaca dari peristiwa di India, mengenai globalisasi yang

merusak lingkungan (pembuangan sampah, polusi udara) Shiva mencoba untuk

tetap terus mempertahankan kearifan lokal, menjaga keseimbangan lingkungan di

era globalisasi, menolak penggunaan bahan kimia pada tanaman sebagai bentuk

penolakan mereka akan masuknya arus globalisasi yang berdampak buruk.

Hal inilah yang seharusnya menjadi contoh bagi komunitas di setiap daerah,

di Desa Kotabes pemikiran untuk membentuk sebuah komunitas yang peduli

terhadap lingkungan khususnya dalam pertanian belum dipikirkan, mengingat

sumber daya manusia yang masih memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Inilah

kemudian yang juga menjadi pergumulan bersama bahwa bagaimana terus

39 Retnowati, Agama dan Globalisasi: Refleksi Teori-teori Globalisasi dan Relevansinya

Terhadap Persoalan-persoalan Sosial, Gereja dan Masyarakat (Salatiga: Fakultas Teologi, 2015), 61

131

menjaga lingkungan alam, menjaga sumber pangan, menjaga keanekaragaman

hayati yang mulai rusak di tengah-tengah era globalisasi yang terus masuk dalam

kehidupan masyarakat. Filosofi ini pada akhirnya, ingin mengingatkan manusia

bahwa dia berasal dari alam, manusia bukan tuan atas alam, tetapi saudaranya.

Hubungan manusia Timor dengan tanah bukanlah hubungan hirarkis-dominatif,

tetapi sebuah hubungan mutual-equalis. Tanah memelihara kehidupan manusia,

begitupun sebaliknya manusia memelihara tanah. Oleh karena sama-sama berasal

dari tanah, manusia seharusnya tidak merusak tanah dengan penggunaan pupuk

kimia dan pestisida yang tidak bertanggungjawab dan merugikan ciptaan yang

lain. Manusia bersama dengan alam harus menjadi rekan kerja. Pertanian yang

ramah lingkungan harusnya tetap dijaga dan lebih ditingkatkan kembali. Selain

sebagai makhluk sosial, manusia sebenarnya adalah makhluk ekologis. Manusia

tidak saja membutuhkan orang lain, tetapi juga membutuhkan alam sebagai

bagian dari hidupnya. Manusia tidak dapat menjadi manusia tanpa lingkungan

hidup, tidak dapat hidup tanpa air, udara, tanah, dan makhluk hidup lainnya.

Kalaupun demikian manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa

interaksi dan saling mempengaruhi, saling terkait dengan sesama makhluk hidup

lainnya.40 Penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak

pada menurunnya kualitas tanah, unsur hara yang terkandung di dalam tanah pada

akhirnya tidak dapat memberikan kesuburan bagi tanaman. Hal ini membuat

tanah harus terus disiram dan tetap basah.

40 Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup (Jogjakarta: Kanisius, 2014), 90

132

4.4 Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes tentang

Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

Tinjauan ekoteologi yang penulis gunakan untuk mengkaji persoalan revolusi

hijau terhadap bertani yang ramah lingkungan bukanlah semata-mata mau

menegaskan bahwa tinjauan ekoteologi adalah yang paling tepat dan menjadi

alternatif paling ampuh dalam menangani masalah ini, tetapi tinjauan ekoteologi

setidaknya dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang membantu

masyarakat tani secara umum tentang bagaimana kembali membina relasi atau

hubungan yang baik dengan alam semesta sebagai bagian dari dirinya. Dalam bab II,

penulis sudah sangat jelas memberikan beberapa konsep tentang ekoteologi baik

secara umum maupun secara khusus yang berasal dari pikiran beberapa ahli seperti

Lynn White, Sallie McFague, Denis Edwards, Aldo Leopold, John B. Cobb, Simone

Morandini dan Leonardo Boff. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemunculan para

ekoteolog bermula dari keprihatinan tentang krisis ekologi atau lingkungan hidup

yang terjadi sekarang ini.

Program revolusi hijau dianggap sebagai masa depan untuk menjaga ketahanan

pangan penduduk dunia. Namun demikian masa kejayaan itu mulai tidak lagi

mendapatkan respon ketika program revolusi hijau ternyata menyimpan banyak

rahasia, sebut saja pengetahuan dan politik. Beberapa sumber menyebutkan bahwa

pada awalnya program revolusi hijau ini membawa kesuksesan ketika diterapkan

pada satu daerah di India, di mana benar-benar mengalami revolusi hijau dalam

produksi gandum, juga sumber lain menyebutkan bahwa ini bukan hal yang pertama

133

tetapi sudah ada dan tidak terlepas pisahkan dari proses yang sudah dimulai sekitar

tahun 1950.41 Seperti yang diketahui bersama bahwa India pada tahun 1967

mengalami kekurangan pangan dan masih mengimpor puluhan juta ton beras ataupun

gandum dari negara lainnnya. Dengan keadaan yang demikian, muncullah pemikiran

untuk mengubah sistem pertanian tradisional. Oleh karena itu, teknologi baru harus

ditemukan melalui sebuah penelitian. Beberapa negara yang sudah lebih dulu maju,

seperti Meksiko, Taiwan dan Sudan, sudah sejak lama meninggalkan pola pertanian

tradisional karena dianggap tidak lagi dapat memenuhi kenaikan permintaan pangan

akibat pertambahan penduduk yang pesat dan kenaikan pendapatan industri.42

Sejalan dengan itu jelas benar yang dikatakan oleh ekoteolog White bahwa salah

satu akar krisis ekologi adalah teknologi dan ilmu pengetahuan dari Barat, namun

kelemahan yang tidak disadari bahwa pemicu kerusakan lingkungan terjadi oleh

karena perubahan pola perilaku manusia. Revolusi hijau dalam kegiatan bertani,

merupakan salah satu agenda yang dibawa oleh teknologi dan ilmu pengetahuan

modern. Revolusi hijau menjadi negatif ketika disalahgunakan oleh orang-orang yang

menggantungkan dirinya pada nilai ekonomi atau keuntungan semata dan menjadi

bingung ketika masalah mulai terjadi. Seorang ekoteolog lain bernama Sallie

McFague menggambarkan bahwa alam semesta sebagai bagian dari the body of God

artinya alam semesta juga bagian dari tubuh Kristus yang saling melengkapi dan

membutuhkan. Oleh karenanya, manusia dan alam sudah seharusnya menjadi kawan

41 Sri Widodo & Pinjung Nawang Sari, Dinamika Pembangunan Pertanian (Jogjakarta:

Liberti Jogjakarta, 2016), 3-4 42 Sri Widodo & Pinjung Nawang Sari, Dinamika Pembangunan Pertanian, . . . 2

134

sekerja Allah dalam dunia ini. Manusia sudah tidak lagi berada di atas alam untuk

berkuasa, merusak dan mengeksploitasi, tetapi harus menjaga, memelihara, dan

merawat ibarat seorang ibu yang merawat anak yang dikasihinya. Revolusi hijau yang

berdampak pada rusaknya ekosistem nampaknya bukan bagian dari the body of God,

namun karena kecenderungan untuk lebih hebat dari Sang Pencipta yang menguasai

dunia. Hal inilah yang dikatakan oleh Vandana Shiva yakni:

“Neither God nor traditions is privileged with the same credibility as

scientific rationality in modern cultures… The project that science’s

sacredness make taboo is the examination of science in just the ways any

other institution or set of practices can be examined.”43

Lain halnya dengan ekoteolog John B. Cobb, menurutnya banyak orang yang

menganggap bahwa kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi dengan teknologi

canggih, tetapi banyak orang juga lupa bahwa tidak semua teknologi canggih dapat

menyelesaikan semua permasalahan lingkungan. Teknologi canggih justru cenderung

menjadikan alam sebagai objek untuk dirombak. Kerusakan lingkungan hanya dapat

diatasi jika ada perubahan visi dan misi tentang alam, tentang posisi manusia yang

cenderung antroposentris. Revolusi hijau tidak mampu menjawab persoalan

masyarakat dalam menjaga ketahanan pangan sebab pengaruh yang ditimbulkan

adalah merusak lingkungan. Menurut hemat saya, kembali kepada kearifan lokal

dengan mengangkat kembali budaya dan pengetahuan lokal dapat membantu manusia

untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup namun juga dapat menjaga alam.44

43 Vandana Shiva, The Violence of The Green Revolution: Third World Agriculture, Eology

and Politics (London: Zed Books Ltd, 1991), 21 44 Dalam UU No 32 thn 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan definisi

kearifan lokal sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain

melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.

135

Tinjauan ekoteologi dengan sangat jelas menentang revolusi hijau terhadap

proses bertani yang tidak ramah lingkungan karena merusak keutuhan ciptaan dan

hakikat manusia sebagai bagian dari penjaga alam semesta. Solusi yang ditawarkan,

yakni kembali kepada gaya bertani yang ramah lingkungan yang disebut dengan

pertanian organik. Masyarakat seharusnya disegarkan kembali bahwa dulunya

kegiatan bertani yang dilakukan adalah yang ramah terhadap alam, tidak begitu

peduli dengan adanya perubahan, untung ataupun rugi tetapi lebih kepada bagaimana

dapat memenuhi kebutuhan hidup dan lain sebagainya. Ketika nilai-nilai tradisional

mulai bergeser di situlah peran teologi hadir sebagai jembatan atau penyeimbang

yang memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dapat membantu baik lewat

etika, tindakan moral maupun spiritualitas dalam diri manusia. Pendamaian dengan

alam semesta perlu dilakukan sebagai bentuk dari penyesalan manusia yang bertindak

melebihi pencipta alam semesta seperti yang dikemukakan oleh Yewangoe dalam

bukunya yang berjudul Pendamaian.

Menurut hemat penulis, para pakar ekoteolog nampaknya hanya mampu

memberikan teori mengenai krisis lingkungan dan faktor penyebabnya, tetapi tidak

mampu memberikan contoh tindakan konkrit yang harus dilakukan oleh manusia

untuk menjaga lingkungan. Nampaknya para pakar ekoteolog harus bekerja sama

dengan banyak pihak agar mampu menciptakan kehidupan harmonis dengan alam

semesta. Kesadaran akan pentingnya lingkungan tidak cukup mampu mengubah pola

pikir masyarakat yang sudah terlanjur menganggap dirinya sebagai “penguasa” alam

136

semesta. Kritikan sangat diperlukan namun sebuah kritikan yang baik dan

membangun harus diikuti dengan aksi atau tindakan nyata.

Krisis atau masalah ekologi yang terjadi juga tidak terlepas dari masalah moral

dan religius. Kualitas moral dan religius seseorang ikut mempengaruhi pola pikiran

dan perilakunya terhadap alam semesta.45 Hal tersebut dapat dirumuskan dalam

beberapa poin di bawah ini. Pertama, masalah moral di mana pemeliharaan dan

perawatan alam semesta adalah masalah makhluk yang berkesadaran atau yang

mempunyai akal budi untuk berpikir. Kita tahu bersama bahwa baik lingkungan

ataupun makhluk hidup lainnya memiliki nilai pada dirinya sendiri yang tidak dapat

diganggu gugat ataupun diambil dengan paksa oleh makhluk yang disebut manusia.

Pendekatan antroposentris lagi-lagi diduga sebagai akar permasalahan lingkungan.

Apalagi diikuti dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang begitu hebat,

akhirnya mengakibatkan alam atau lingkungan mengalami “mimpi buruk” yang

berkepanjangan. Era modernisasi yang menganggap kearifan tradisional masyarakat

lokal sebagai bentuk kebodohan manusia yang memandang dirinya sebagai tuan atas

alam. Artinya bahwa orang modern adalah mereka yang memiliki sikap arogansi dan

menganggap masyarakat tradisional adalah orang-orang yang bodoh. Namun, semua

itu salah karena masyarakat lokal sekali lagi adalah masyarakat yang melihat

keberadaan dirinya sebagai bagian dari alam.46 Kedua, masalah religius di mana

sebagai citra Allah manusia harus peduli dengan taman kehidupan yang telah Allah

45 John Paul II, Peace with God the Creator, Peace with All of Creation (World Day of

Peace, 1 January 1990) 46 Reymundus Sudiarsa. “Merumuskan Tanggungjawab Iman dan Keberpihakan pada

Lingkungan Hidup” dalam Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi(Yogyakarta: Kanisius, 2008),

186-187.

137

ciptakan bagi kehidupannya. Hal ini harus ditandai dengan sikap peduli dan mau

memelihara, sebagai makhluk yang dianggap memiliki akal budi dan dapat berpikir

seharusnya manusia sadar bahwa ia harus menjadi ibu bagi makhluk biotik maupun

abiotik (makhluk hidup maupun benda mati). Pembangunan juga harus

mensejahterakan semua ciptaan tanpa terkecuali.

Kesadaran moral dan religius nampaknya belum disadari dengan baik dan benar

oleh masyarakat desa Kotabes. Masyarakat sudah menyadari pengaruh yang

ditimbulkan dari agenda revolusi hijau terhadap kegiatan bertani yang tidak ramah

lingkungan, namun tetap dilakukan dengan banyak alasan dan pertimbangan.

Kesadaran moral akan pentingnya lingkungan seharusnya lebih ditingkatkan lagi,

demi dan untuk generasi yang akan datang.

4.4.1 Peran Gereja terhadap Pelestarian Lingkungan dan Pemanfaatan

Sumber Daya Alam

Dalam pokok-pokok tugas panggilan bersama (PTPB)47 Persekutuan Gereja-

gereja di Indonesia memberikan beberapa penjelasan mengenai peran gereja dan

warga gereja terhadap pelestarian lingkungan, yakni:

1) Sebagai gambar dan citra Allah, manusia diberikan mandat menjadi

kawan sekerja Allah untuk menjaga dan merawat bumi, alam dan

segala isinya, agar menjadi “rumah tangga” (oikos) dengan merujuk

pada Kitab Kejadian 2:15. Di mana segala makhluk dapat tinggal dan

hidup dengan berdampingan. Di dalam “rumah tangga Allah” inilah

47 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI)2014-2019

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. 1. 2015)

138

kehidupan berkembang dan mencapai kepenuhannya ketika semua

diperdamaikan dengan Allah dan “Allah menjadi semua di dalam

semua.”48

2) Sebagai akibat dosa manusia, tatanan rumah tangga itu berantakan.

Hubungan antara Allah dan manusia yang terputus mengakibatkan

hubungan antara manusia dengan alam juga ikut terputus. Tanah

berubah menjadi tempat manusia mencari makan dengan susah payah

demi menjalankan kehidupannya. Segala makhluk mengerang

menantikan kemerdekaan anak-anak Allah. Namun demikian, karena

kasih Allah kepada dunia dan semua ciptaan, Ia mengutus anak-Nya

untuk memulihkan hubungan yang terputus itu menjadi utuh kembali

dan menyeluruh atas semua makhluk. Sebagai ciptaan baru, gereja

diberi tugas panggilan untuk melanjutkan misi Allah, yaitu

memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di

bumi, maupun di sorga.”49

3) Berdasarkan pada poin dua di atas, maka gereja tidak boleh tinggal

diam menyaksikan proses eksploitasi dan perusakan sumber daya

alam. Berbagai kerusakan lingkungan antara lain dapat terlihat dalam

kenyataan-kenyataan berikut ini: degradsai air, eksploitasi berlebihan

sumber daya kelauatan, lahan/tanah, dan udara, deforestasi hutan,

48 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 77 49 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 78

139

kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, perubahan atmosfir serta

degradasi masyarakat dan budaya (kearifan lokal).50

4) Gereja melihat bahwa kesadaran ekologis seharusnya mewarnai

seluruh kehidupan umat manusia, baik sebagai pribadi maupun

sebagai kelompok atau bangsa. Hanya dengan pemanfaatan sumber

daya alam yang dilandasi oleh kesadaran ekologis itulah sebenarnya

yang dimaksud dengan shalom Allah, yaitu keadilan, damai sejahtera,

dan keutuhan ciptaan dapat ditegakkan.51

5) Gereja-gereja di Indonesia harus menaruh perhatian dan berusaha

menyadarkan warga gereja tentang pentingnya memelihara kelestarian

alam, mengembangkan pola hidup yang ramah lingkungan, dan

menopang usaha-usaha advokasi ekologi bersama kelompok agama

dan kepercayaan lain serta semua pihak yang berkehendak baik.52

Menurut hemat penulis, pelestarian alam dan kesadaran terhadap pola hidup yang

ramah lingkungan tidak akan dapat dilakukan, kalau belum ada kesadaran dari setiap

individu. Sebagus atau sebaik apapun program yang dibuat harus juga didasarkan

pada sumber daya manusia ataupun jemaat di dalam gereja. Ini menjadi tugas yang

berat, karena gereja tidak saja berperan dalam penyampaian Firman Allah, tetapi

bagaimana Firman Allah menjadi nyata di dalam kehidupan jemaat ataupun

masyarakat.

50 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 78 51 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 79 52 Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, . . . 79

140

Gereja perlu memeriksa kembali visi dan misi kehadirannya di tengah-tengah

dunia yang Allah ciptakan. Dalam makalah Studi Institut PERSETIA yang

dipaparkan oleh Yusak B. Setyawan bahwa tidak cukup hanya sekadar

mengembangkan pemahaman baru terhadap nature atau alam, melainkan yang

menjadi sangat penting untuk mengembangkan pemahaman baru tentang gereja

dalam hubungannya dengan krisis ekologi. Sejauh ini gereja masih fokus pada

dogma, khotbah, hari raya gerejawi, persembahan, pembangunan gereja, dan hal-hal

lain. Fokus pada krisis ekologi menjadi hal yang tidak pernah disinggung.53

Selanjutnya ia menawarkan kepada gereja tentang pentingnya pemahaman ulang

teologi bagi eko-eklesiologi. Disampaikan olehnya bahwa “akan sangat bermanfaat

untuk melakukan rekonstruksi eklesiologi dengan lebih menyadari keterhubungannya

dengan ekologi.” Eklesiologi yang demikian harus menghubungkan diri dengan

pemahaman-pemahaman baru yang terhubung dengan kesadaran ekologi tentang

Tuhan. Keselamatan, Kristus, manusia dan gereja merupakan komunitas

eklesiologis.”54 Gereja harus ikut memperbaharui visi dan misinya karena krisis

ekologi berakar dari ajaran gereja dan teologi yang memusatkan perhatian utama pada

manusia dan didorong secara massif oleh kultur konsumerisme dan kaptalisme.

Gereja perlu terlibat dan melibatkan diri dalam pengambilan kebijakan publik tekait

dengan penggunaan teknologi, isu-isu ekologi yang langsung berkaitan dengan proses

kehancuran ekosistem (salah satunya agenda revolusi hijau), perlakuan terhadap

53 Yusak B. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja Dalam Konteks Persoalan Ekologis

Di Indonesia, Makalah Studi Institut PERSETIA, STT Jakarta, 23-26 Juni 2015, 5 54 Setyawan, Menuju Ekko-Eklesiologi, . . . 10

141

binatang, kepunahan binatang dan tanaman dan tanggungjawab pada generasi yang

akan datang.55

4.4.2 GMIT dan Lingkungan Hidup

Berhadapan dengan fakta kerusakan lingkungan hidup (tanah, air, hutan, laut,

udara) yang semakin parah pada zaman ini, GMIT punya tugas untuk merawat alam

semesta ciptaan Allah yang diciptakan-Nya baik, bahkan sangat baik. Karena masalah

lingkungan hidup adalah masalah bersama, maka sebagaimana kita adalah bagian dari

masalah maka kita pula adalah bagian dari jalan keluarnya. Alam semesta adalah

ciptaan Allah, dan manusia harus menghargai batas-batas yang diletakkan oleh Allah

sendiri dalam mengelola dan memanfaatkan alam untuk kepentingannya.

Meskipun manusia disebut gambar Allah, namun manusia bukan pencipta

semesta (bukan co-creator). Karena itu, semesta harus diperlakukan dengan hormat

sebagai sesama ciptaan. Di antara Allah, manusia, dan alam semesta ada hubungan

timbal balik yang harus dijaga dengan rasa hormat. Sebagaimana Allah mengikat

perjanjian dengan manusia, Allah pun dapat mengikat perjanjian dengan alam

semesta buah tangan-Nya. Keselamatan manusia memiliki hubungannya dengan

pemulihan terhadap alam. Jika manusia tidak bertobat, maka Allah dapat memakai

alam semesta sebagai nabi yang menegur dan menghukum manusia (Hos. 4:1-3).

Oleh sebab itu, GMIT perlu melahirkan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran

teologis yang kontekstual mengenai lingkungan, yang menjadi dasar pendorong bagi

perhatian jemaat/masyarakat. Dengan ekoteologi kontekstual ini diharapkan akan ada

55 Setyawan, Menuju Ekko-Eklesiologi, . . .18-19

142

sumbangan masyarakat (jemaat) lokal terhadap upaya dunia mengatasi krisis

lingkungan, sekaligus perawatannya demi keberlanjutan (sustainability), baik bagi

manusia maupun alam lingkungan. GMIT perlu menghayati dan mewujudkan

panggilan dan amanat untuk mengelola taman kehidupan (bnd. Kej. 2:8-17) dan

mempertanggungjawabkan amanat itu kepada sang Pencipta. Hal ini semakin

mendesak di era krisis ekologi global di masa sekarang karena ancaman bencana di

depan mata kita.56

4.4.3 Respon GMIT Imanuel Hausisi terhadap Krisis Ekologi di Desa

Kotabes

Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana respon, tanggapan ataupun

aksi nyata yang dilakukan oleh sinode GMIT terkait dengan krisis ekologi? Di desa

Kotabes, penulis menemukan bahwa pola pikir dan perilaku petani masih bersifat

antroposentris terhadap lingkungan atau alam semesta, sehingga mengakibatkan

masyarakat masih memperlakukan alam sesuka hati. Gerakan revolusi hijau seolah

mengubah perilaku masyarakat yang hidup dekat dengan alam menjadi asing dengan

alam dan kearifan-kearifan lokal mulai dianggap “kuno” dan tidak dapat menjawab

berbagai persoalan terkait dengan kebutuhan hidup. Beberapa program Sinode GMIT

seperti bulan lingkungan hidup dan pendeta suka tani telah dilakukan sebagai respon

terhadap krisis ekologi, terapi belum semua gereja dan jemaat mempraktikkanya

dengan pertimbangan masih pembangunan gereja, masih banyak hal yang lebih

56 Pokok –pokok Eklesiologi GMIT NOMOR: 1/TAP/SSI-GMIT/II/2010, 50-51

143

penting yang harus dilakukan dan alasan-alasan lainnya.57 Namun program ini

memunculkan pertanyaan bagi penulis apabila dilakukan, yakni apakah program yang

dilakukan oleh sinode dan gereja, semata-mata demi kelestarian lingkungan ataukah

hanya untuk menaikkan ekonomi jemaat?58 Menurut hemat penulis, sejauh ini gereja

belum melakukan apa-apa, yang gereja lakukan masih sekitar ibadah formal,

pemberitaan firman dan kegiatan hari raya gerejawi setiap tahunnya.

Kesimpulan:

Setelah melakukan penelitian dan memperlihatkan kondisi masyarakat Kotabes

terkait dengan persoalan Revolusi Hijau dalam bertani maka tawaran yang dapat

penulis berikan adalah:

1. Masyarakat sebaiknya melihat lagi kearifan lokal yang dimiliki.

2. Kesadaran akan pentingnya ekologi bagi masyarakat seharusnya lebih

ditingkatkan

3. Kembali belajar dari filosofi lokal yang dimiliki masyarakat mengenai tanah

4. Membudidayakan bibit tanaman lokal yang dimiliki masyarakat dan

mengurangi penggunaan bibit yang dijual di toko-toko dan penggunaan

pupuk buatan yang berasal dari kotoran hewan nampaknya harus kembali

digunakan

57 Wawancara Ketua Majelis Imanuel Hausisi, pada Rabu, 18 Oktober 2017, Pkl, 18.00WIB 58 Hal in tentunya membutuhkan penelitian lebih mendalam bagi peneliti yang tertarik dengan

penelitian sebelumnya. Penulis tidak membahas lebih lanjut karena penelitian tidak akan fokus tetapi

sebaliknya semakin melebar.

144

5. Masyarakat dapat memadukan kegiatan bertani yang tradisional dan modern

secara baik dan bertanggungjawab

6. Pelatihan dan pendampingan seharusnya lebih diberikan baik dari pihak

gereja dan pemerintah.

Tawaran yang penulis berikan memang hanya berupa teori ataupun ide, namun

penulis berharap bahwa dengan ide ini mampu membantu masyarakat tani yang ada

di Amarasi, lewat kerja sama dengan pemerintah ataupun gereja.