bab iv minahasa: negeri para taranak...lakukan dengan kolonial belanda pada 10 januari 1679. apapun...

59
59 BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK 1 Dalam pengumpulan data kultural, saya berhadapan dengan dua fakta lapangan, yakni sangat minimnya dokumen-dokumen kultural karena sebagian besar telah dimusnakan pada masa konflik internal komunitas Minahasa awal. 2 Kedua, di masa kekristenan masuk di tanah Minahasa, cap kafir terhadap budaya dan agama Minahasa melegitimasi tindakan pemusnahan terhadap dokumen-dokumen kultural yang masih tersimpan pada beberapa Tona’as 3 . Umumnya, Tona’as-Tona’as yang kemudian menjadi kristen bertindak memusnakan dokumen-dokumen kultural sebagai komitmen, bahwa dia mewakili komunitasnya sudah melepaskan keterikatan dengan agama Minahasa. Karenanya, pengumpulan data kultural yang saya kerjakan hanya mengacu pada cerita-cerita dan ucapan- ucapan tua yang telah menjadi tradisi lisan di tanah Minahasa kini, simbol-simbol/gambar kultural di waruga-waruga dan batu-batu pendirian kampung yang masih tersisa, syair dalam ritual yang dituturkan pemimpin ritual agama Minahasa (kini), serta data tertulis dari tulisan-tulisan para Zending, penulis 1 Kata taranak sengaja saya gunakan dalam tema ini untuk menegaskan tentang pemaknaan lokal Minahasa yang dikandung oleh kata tersebut. Kata ini menunjuk keluarga batih atau kumpulan beberapa keluarga dalam satu rumah dan memiliki ikatan darah. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa Dari Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu kompleks luas. 2 Mengenai konflik internal yang berakhir dengan pemusnahan para wali’an dan dokumen kultural yang mereka miliki akan dibahasa khusus dalam bab V. 3 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual. Posisi sebagai imam menjadi tanggung-jawab Tona’as setelah kalangan wali’an (imam) dibunuh dan melarikan diri dalam peristiwa mahawetik (pembahasan tentang peristiwa Mahawetik akan dilakukan pada bagian selanjutnya.

Upload: others

Post on 26-Nov-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

59

BAB IV

MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK1

Dalam pengumpulan data kultural, saya berhadapan dengan

dua fakta lapangan, yakni sangat minimnya dokumen-dokumen

kultural karena sebagian besar telah dimusnakan pada masa

konflik internal komunitas Minahasa awal.2 Kedua, di masa

kekristenan masuk di tanah Minahasa, cap kafir terhadap

budaya dan agama Minahasa melegitimasi tindakan

pemusnahan terhadap dokumen-dokumen kultural yang masih

tersimpan pada beberapa Tona’as3. Umumnya, Tona’as-Tona’as

yang kemudian menjadi kristen bertindak memusnakan

dokumen-dokumen kultural sebagai komitmen, bahwa dia

mewakili komunitasnya sudah melepaskan keterikatan dengan

agama Minahasa. Karenanya, pengumpulan data kultural yang

saya kerjakan hanya mengacu pada cerita-cerita dan ucapan-

ucapan tua yang telah menjadi tradisi lisan di tanah Minahasa

kini, simbol-simbol/gambar kultural di waruga-waruga dan

batu-batu pendirian kampung yang masih tersisa, syair dalam

ritual yang dituturkan pemimpin ritual agama Minahasa (kini),

serta data tertulis dari tulisan-tulisan para Zending, penulis

1 Kata taranak sengaja saya gunakan dalam tema ini untuk menegaskan tentang

pemaknaan lokal Minahasa yang dikandung oleh kata tersebut. Kata ini menunjuk

keluarga batih atau kumpulan beberapa keluarga dalam satu rumah dan memiliki

ikatan darah. Bandingkan juga dengan penjelasan Bert Supit, Minahasa Dari

Amanat Watu Pinawetengan sampai Gelora Minawanua (Jakarta: Sinar Agape

Press, 1986),47. Supit menjelaskan bahwa dalam konteks Minahasa taranak adalah

sebutan untuk kumpulan beberapa awu/keluarga batih. Mereka hidup dalam satu

rumah besar atau dalam bangsal-bangsal yang saling berdekatan pada satu

kompleks luas.

2 Mengenai konflik internal yang berakhir dengan pemusnahan para wali’an dan

dokumen kultural yang mereka miliki akan dibahasa khusus dalam bab V.

3 Tona’as adalah seorang pemimpin ritual. Posisi sebagai imam menjadi

tanggung-jawab Tona’as setelah kalangan wali’an (imam) dibunuh dan melarikan

diri dalam peristiwa mahawetik (pembahasan tentang peristiwa Mahawetik akan

dilakukan pada bagian selanjutnya.

Page 2: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

60 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Barat, pejabat pemerintah kolonial Belanda, dan juga peneliti-

peneliti lokal. Itu artinya, saya harus memilah dengan cermat

data kultural dari data interpretasi bahkan reinterpretasi yang

dikemukakan para informan dan juga para penulis tentang

Minahasa. Di sisi lain, data kultural yang telah diinterpretasi dan

direinterpretasi oleh para informan dan penulis tentang

Minahasa adalah juga bagian penting dari upaya rekonstruksi

Tou yang saya lakukan dalam penelitian dan penulisan disertasi

ini. Pemilahan dan akomodasi demikian akan terbaca jelas

dalam paparan data di bagian ini dan bagian-bagian lain di bab-

bab selanjutnya.

1. Asal-usul nama Minahasa

Minahasa awalnya dikenal dengan nama Malesung. Nama

yang dipakai untuk menunjuk kumpulan taranak yang ada di

tanah malesung. Kata malesung juga sering diartikan sebagai

satu keturunan. Terkait dengan arti kata malesung yang

menunjuk pada satu keturunan, ada syair ritual, yakni kita waya

katuuk ya reregesan ke karu ni tuwo tuman tu wutul. Syair

tersebut menunjuk pada manusia di tanah malesung sebagai

satu wadah dari kehidupan yang diberikan.4

Penyebutan malesung juga mengacu pada topografi

tanah Minahasa yang terdeskripsi seperti lesung atau tempat

menumbuk padi karena terdiri dari lembah-lembah dan gunung-

gunung. Pemaknaan simbolis kata malesung antara lain dapat

dilihat pada lesung-lesung berukuran besar —baik yang

terbentuk oleh alam maupun dibuat sengaja—yang masih dapat

ditemukan di tempat awal pendirian kampung. Dalam

pemaknaan selanjutnya, kata malesung secara kultural juga

menunjuk pada tanah bersama yang menjadi tempat hidup

keturunan Lumimuut-Toar.

4 Wawancara dengan Fredy Wowor, 2015.

Page 3: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 61

Kata Minahasa itu sendiri, digunakan secara formal pada

tanggal 8 Otober 1789 oleh J.D. Schierstein, Residen Manado,5

dalam laporannya kepada gubernur Maluku. Laporan mengenai

keberhasilan Schierstein menyelesaikan konflik antar kumpulan

taranak, yakni antara kumpulan taranak Bantik dan Tateli; juga

antara Pasan-Ratahan-Ponosokan dengan Langowan-Tompaso.

Schierstein juga melaporkan bahwa dia telah berhasil

mengumpulkan semua ukung6 untuk mengadakan musyawarah

atau Minhasa atau Landraad/Vergadering der dorpshoofden,

(Musyawarah para Ukung). Singkatnya, kata Minahasa awalnya

hanya digunakan dalam konteks formal Residen Belanda di

Manado, yakni untuk menunjuk para ukung sebagai kumpulan

elit di tanah Minahasa saat itu yang berkumpul melakukan

musyawarah.

Dalam tataran kultural Minahasa, musyawarah telah

lama dipraktekkan jauh sebelum Schierstein. Istilah yang

hampir mirip dengan yang digunakan Schierstein, yakni Mahasa

merupakan istilah yang digunakan ketika taranak/kumpulan

taranak berkumpul menjadi satu dan bermusyawarah dalam

rangka menyelesaikan persoalan internal taranak dan antar

kumpulan taranak. Realitas sosio-historis kumpulan taranak

5 Supit, Minahasa dari amanat…, 141,142. Data yang sama juga dipaparkan

Bertha Pantouw dalam Bertha Pantow, Beberapa Perubahan Kebudayaan Di

Minahasa Tengah Tahun 1829-1858, disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 1994,

hlm 39.

6 Ukung adalah pemimpin roong atau wanua (wilayah pemukiman) atau walak

yang berarti sama dengan kepala atau pemimpin satu pemukiman yang terdiri dari

keluarga-keluarga yang memiliki hubungan darah. Ukung dan umumnya pemimpin

di Minahasa awal dipilih oleh masyarakat, tetapi juga bisa dihentikan dan dilakukan

pemilihan pemimpin yang baru oleh masyarakat jika si pemimpin dinilai tidak

memimpin sesuai ketentuan yang disepakati. Mengenai bagaimana kepemimpinan

di Minahasa, bandingkan dengan penjelasan Y. Van Parsen mengenai praktek

kepemimpinan yang dilihatnya di Minahasa. Parsen menjelaskan bahwa

kepemimpinan di Minahasa dilakukan secara bersama, karena itu meskipun ada

orang tertentu yang mereka pilih sebagai pemimpin, tetapi jika pemimpin tersebut

tidak mentaati aturan yang telah disepakati, maka rakyat dapat menolak keputusan

tersebut dan memilih pemimpin/ukung yang baru. Y. Van Parsen, Blas Palomino,

O.F.M dan Lorenzo Garralda O.F.M. Dua Miisionaris dan Martir di Minahasa

1622 dan 1644 (Manado: Lotta: 2003) 20.

Page 4: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

62 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

yang beragam dan memiliki kekhasannya masing-masing, pun

klaim-klaim wilayah atau batas tanah yang terjadi di antara

mereka menjadi salah satu pencetus penggunaan dan

pemaknaan kata Mahasa7 dalam penyelesaian masalah.

Prinsipnya, setiap kali berhadapan dengan persoalan

penting, seluruh pimpinan taranak melakukan mahasa. Mahasa

yang berulang-ulang dilakukan tidak dimaksudkan oleh para

pemimpin untuk menjadi lembaga resmi yang mewadahi

seluruh taranak dan kumpulan taranak saat itu. kata Mahasa

pun tidak menunjuk pada komunitas atau lokasi tertentu, tetapi

pada cara menyelesaikan masalah dalam taranak dan antar

kumpulan taranak.

Beberapa peneliti tentang Minahasa sepemahaman

bahwa, sejak awal mahasa tidak dimaksudkan sebagai lembaga

resmi semua taranak. Dua alasan utama yang menjadi dasar

pemahaman mereka, yakni mahasa telah dilakukan berulang

setiap kali ada persoalan yang hendak diselesaikan bersama.

Kedua, setelah mahasa dan kesepakatan bersama telah diambil,

pakasa’an-pakasa’an kembali ke komunitas mereka dan

mengurus urusan masing-masing. Dengan kata lain, mereka

tidak hidup dalam gagasan penyatuan semua pakasa’an,

melainkan hidup dan mengembangkan pakasa’an dengan

kepentingannya masing-masing. Sistim Mahasa demikian

merupakan manifestasi dari pemaknaan Tou dalam pakasa’an-

pakasa’an terutama terkait dengan independensi pakasa’an,

7 Bandingkan dengan penjelasan N. Graafland bahwa saat dia berada di tanah

Minahasa, persoalan batas-batas tanah menurutnya sudah diselesaikan oleh para

pemimpin wilayah di tahun-tahun sebelumnya. Karena itu, di masa Graafland

berada di Minahasa, ia melihat bahwa pemetaan wilayah Kewedanaan (istilah yang

dipakai oleh Graaflad untuk menyebut pakasa’an) telah dilakukan. Meskipun

demikian, kecurangan masih juga terjadi terutama dilakukan oleh kewedanan yang

tidak puas dengan pembagian wilayah yang dilakukan para leluhur. Ketika terjadi

kecurangan, tindakan-tindakan tersebut langsung direspons dengan penolakan dan

pengajuan bukti oleh kewedanan yang wilayahnya hendak dicurangi. Demikian cara

kewedanan menyelesaikan masalah batas tanah. N. Graafland. Minahasa Negeri,

Rakyat, dan Budayanya. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), 156-157.

Page 5: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 63

penghargaan terhadap indepensi tersebut dan kesetaraan antar

pakasa’an.8 Karenanya, pertemuan ukung-ukung yang dilakukan

oleh Schirstein itulah cikal bakal pembentukan Minahasa

sebagai wadah resmi yang merangkum semua taranak. Alasan

mendasar yang dikemukakan adalah, karena Schirstein dan

kolonial Belanda memang bertujuan untuk menetapkan

persatuan para ukung yang mereka prakarsai sebagai presentasi

penyatuan semua kumpulan taranak. Penyatuan tersebut

memang dimaksudkan agar kolonial Belanda dapat

mengotimalkan kontrol mereka tehadap para ukung. 9

Kekuasaan Belanda semakin meluas di tanah Minahasa,

disertai dengan pengukuhan wilayah-wilayah yang didiami

seluruh taranak sebagai Minahasa. Perkembangan penting

bersamaan dengan nama Minahasa, yakni penataan wilayah

Minahasa oleh pemerintah Belanda. Belanda kemudian

memasukan Ponosokan, Tonsawang, Bantenan, dan Bantik yang

awalnya merupakan wilayah kekuasaan Bolang-Mongondow,

8 Kesimpulan yang saya ambil dalam FGD dengan Mawale Movement, 18

Februari 2015, di Manado.

9 Supit, Minahasa…, Ibid, bandingkan juga dengan F.S. Watuseke, Sedjarah

Minahasa (Manado, 1968), 24,25. Watuseke menyimpulkan bahwa kontrol dan

penguasaan kolonial terhadap para ukung telah dimulai sejak kontrak yang mereka

lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak

tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein-- untuk

menyelesaikan konfilik diantara wilayah-wilayah yang mereka pimpin lebih

mempertegas kekuasaan Belanda terhadap para pemimpin Minahasa saat itu. Mieke

Schouten, Minahasan Metamorphoses Leadhership and social mobility in a

Southeast Asian Society, c.1680-1983. Disertasi (Universitas Vritje Amsterdam,

1993), 48,49, mencatat bahwa efek dari kekuasaan Belanda di tanah Minahasa

semakin kuat era 1780-an dan 1790-an. Era tersebut merupakan era yang tidak

stabil karena konflik-konflik yang terjadi antar kumpulan taranak dalam walak

(kampung). Bersamaan dengan itu, Schouten juga mencatat, bahwa era itu adalah

juga era perjumpaan yang kuat antara pemimpin-pemimpin walak dengan VOC dan

juga Inggris. Lalu secara khusus beliau juga mencatat bahwa di era-era itu,

kekuasaan belanda semakin menguat di Manado. Dan meskipun dalam perjalanan

selanjutnya, Belanda mulai berhadapan dengan penolakan walak Tondano dan

beberapa walak yang bergabung, tetapi Belanda memang mulai memperkuat

kekuasaannya di tanah Minahasa saat itu.

Page 6: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

64 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

menjadi pakasaan baru sekaligus bagian dari Minahasa.10 Paul R

Renwarin, seorang peneliti tentang Minahasa, menilai bahwa

nama Minahasa itu sendiri telah menegaskan tentang intervensi

luar terhadap penyatuan tersebut. Sisipan “in” pada kata

Minahasa (awalnya Mahasa) atau pada Minaesa menunjuk pada

sikap ketertundukan yang lebih pasif terhadap pengaturan dari

luar untuk mencapai unifikasi. Kata Minahasa, menurut

Renwarin, menunjukkan bahwa kompetisi dan rivalitas masih

sangat kuat di kalangan taranak sehingga membutuhkan campur

tangan luar dalam rangka penyatuan.11

Perjalanan selanjutnya, tanah keturunan Lumimuut-Toar

dikenal juga dengan nyiur melambai pada tahun 1960-an dan

digunakan dalam hymne regional yang menunjuk pada produk-

produk yang ada di Minahasa, yakni kelapa, padi, cengkih dan

pala. Nama lainnya, yakni tanah Toar-Lumimuut yang mulai

digunakan 1990-an sebagai upaya pengingat dan penguatan

identitas diri orang Minahasa dengan memakai nama leluhur

utama.12 Minahasa, khususnya penduduk yang bermukim di

tanah Minahasa, dikenal juga dengan sebutan Kawanua. Karena-

nya, Kawanua tidak hanya menunjuk orang-orang yang memiliki

darah Minahasa, tetapi juga semua orang yang terikat dengan

tanah Minahasa.13 Meskipun terdapat beragam nama yang

dipakai untuk menunjuk tanah dan masyarakat, nama Minahasa

tetap menjadi nama resmi dan popular sampai saat ini.

10 Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as Dinamika Budaya Tombulu di

Minahasa (Jakarta: Cahaya Pineleng, 2007), 60.

11 Ibid, 58.

12

Ibid.

13

Kawanua adalah juga sebutan yang dipakai untuk menyebut orang-orang luar

Minahasa yang telah kawin-mawin dengan orang Minahasa, para pendatang yang

telah menjadi warga tanah Minahasa, dan para pendatang plus. Bahkan suku-suku

lain yang ada di tanah Minahasa, ketika berada di luar tanah Minahasa juga disebut

dan menyebut diri sebagai warga Kawanua.

Page 7: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 65

2. Taranak sebagai komunitas awal Minahasa

Ada banyak versi lisan dan tulisan tentang cerita taranak

awal Minahasa. Banyaknya versi lisan, karena setiap kumpulan

taranak memiliki cerita asal-usul masing-masing yang diawali

dengan Lumimut dan Toar sebagai taranak awal dan berakhir

dengan nama masing-masing kumpulan taranak.14 Tonaas Rinto

Taroreh menuturkan, bahwa cerita asal-usul atau silsilah di

masa Minahasa awal memang menjadi penanda dari masing-

masing taranak, selanjutnya Taroreh menuturkan:

Cerita asal usul atau cerita silsilah bagi orang Minahasa sebenarnya bukan sebagaimana dimengerti orang sekarang ini. Cerita tentang silsilah yang orang Minahasa maksudkan berasal dari bahasa kita, yakni se silen. Se silen itu berarti cerita yang dipilih, mana yang cocok untuk taranak ini dan mana yang cocok untuk taranak yang lain. Dalam silsilah orang tua dulu bercerita bukan hanya mengenai siapa memperanak siapa, tetapi lebih luas, termasuk tentang tata cara hidup dan sejarah yang kemudian berkembang menjadi tradisi lisan.15

Di sisi lain, menurut saya munculnya berbagai versi lisan

tersebut terjadi karena taranak tidak lagi hidup sendiri-sendiri

tetapi mulai berkelompok menjadi taranak dalam wale, walak

dan pakasaan. Selain itu, menurut saya cerita asal-usul

komunitas awal Minahasa mulai dituturkan diantara mereka

sebagai imbas dari perjumpaan dan perkawinan dengan

kumpulan taranak lainnya dan dengan pendatang. Perjumpaan

dan perkawinan tersebut rupanya menyebabkan pembauran

dan mengancam identitas taranak/kumpulan taranak.

Karenanya, penceritaan riwayat asal-usul taranak dapat juga

14 Kelompok budaya Mawale Movement, menemukan 43 versi tentang taranak

awal Minahasa.

15

Wawancara dengan Tona’as Rinto Taroreh, 14 Oktober 2014, di Manado.

Page 8: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

66 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

dimengerti sebagai upaya mengklaim kembali batas antar

taranak dan untuk menegaskan identitas taranak.16

Dari berbagai versi asal-usul tersebut, ada tiga versi

cerita yang popular di kalangan orang Minahasa hingga kini.

Versi pertama adalah cerita asal usul yang ditulis oleh para

penulis Barat, zending dan wakil pemerintah kolonial Belanda.17

Versi ini menceritakan bahwa leluhur Minahasa adalah seorang

perempuan yang berasal dari Indo-mongoloide atau Cina-

selatan. Mengenai siapa perempuan tersebut, ada yang

menceritakan bahwa dia adalah seorang putri raja dari Cina

yang dibuang karena melanggar aturan raja dan terdampar di

tanah Minahasa. Versi-versi tersebut yang umumnya tidak

hanya menceritakan tentang Lumimuut, tetapi juga tentang

perempuan tua yang kemudian dikenal dengan nama Karema.

Dua perempuan tersebut-- Lumimuut dan Karema-- menjadi

tokoh sentral cerita asal usul orang Minahasa.

Selanjutnya diceritakan dalam versi pertama, sebagai

berikut:

Setelah lama hidup hanya berdua di pulau, Karema kemudian melihat pentingnya keturunan bagi Lumimuut. Karema kemudian meminta Lumimuut untuk menghadap ke utara kepada dewa Amian lalu ia memohon kiranya dapat mengaruniakan

16 Bandingkan juga dengan Renwarin, matuari wo…, 54-55. Beliau menjelaskan

bahwa penyatuan Minahasa hanya terjadi dalam rangka penyelesaian masalah batas-

batas tanah. Setelah itu seluruh kumpulan taranak kembali ke tempatnya masing-

masing, mengembangkan komunitasnya dan tidak lagi peduli pada penyatuan

tersebut. 17 Dalam disertasi Bertha Pantow, beliau mengutip dari J.AT. Schwarz versi

cerita yang juga mendeskripsikan asal-usul orang Minahasa sebagai hasil

perkawinan ibu dan anak yang difasilitasi oleh Karema (imam Tertinggi yang

adalah seorang perempuan). J.A.T. Schwarz adalah seorang penginjil yang

bergabung dengan Nederlandsch Zendelinggenooschap (NZG). Swharz datang ke

Minahasa dan melakukan penginjilan yang intensif di Minahasa Tengah pada awal

abad 19. Bertha Pantow. Beberapa Perubahan…, 61-61. Bandingkan juga dengan

N. Graafland, Minahasa Negeri…, 85-86, meskipun bagian awal versi cerita yang

dipaparkan Graafland sedikit berbeda tetapi pada intinya sama, yakni taranak awal

Minahasa atau leluhur orang Minahasa adalah ibu dan anak.

Page 9: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 67

seorang putra kepada Lumimuut. Karena tidak berhasil, Karema kemudian meminta Lumimuut menghadap ke Timur kepada dewa Timu tetapi belum juga berhasil. Akhirnya Lumimuut diminta menghadap ke Barat kepada dewa Awahat, dan dewa membuat Lumimuut hamil. Selanjutnya Lumimuut melahirkan anak laki-laki dan Karema menamai dia To’ar yang artinya dewa ari.

Setelah To’ar dewasa dan Lumimuut masih tetap terlihat muda, Karema merasa perlu mencarikan jodoh bagi mereka berdua. Karenanya, Karema meminta keduanya untuk melakukan perjalanan mengelilingi gunung. Karema memberikan tongkat yang terbuat dari batang tawaang18 kepada Lumimuut dan To’ar diberikan tongkat yang terbuat dari batang tu’is. Lalu ia berpesan jika dalam perjalanan mengelilingi gunung mereka akhirnya bertemu, maka mereka harus saling menyamakan tongkat yang ada. Jika salah satu tongkat lebih panjang dari yang lain, maka itu artinya diantara mereka tidak terdapat pertalian keluarga sehingga dapat menjadi suami-istri. Lumimuut dan Toar kemudian mulai melakukan perjalanan, Toar mengambil jalan ke utara sedangkan Lumimuut menuju ke selatan. Setelah lama mengembara keduanya bertemu kemudian saling mencocokkan panjang tongkat yang ada pada mereka. Tongkat To’ar ternyata lebih panjang dari tongkat Lumimuut. Mereka selanjutnya kembali kepada Karema, lalu Karema menikahkan mereka. Selang beberapa waktu, Lumimuut dan Toar memiliki keturunan.

18 Tawaang adalah tumbuhan yang jika di tanam hanya akan bertumbuh panjang

ke bawah. Jika tidak di tanam ia tidak berubah sedikitpun. Sedangkan tu’is adalah

tumbuhan pelopor yang mudah bertumbuh (menjadi panjang) meskipun di tanam

ataupun dibiarkan tergeletak di mana saja. Marhaeni Mawuntu, Tou Minahasa:

Aku, Dia, Kamu, Mereka dan Itu, dalam Ruth K Wangkay, Dkk (ed.). Melangkah

Bersama Menuju Pembebasan & Transformasi. Bunga Rampai Pergulatan Teologi

Feminis-Kritis di Indonesia Dalam Rangka 20 tahun PERUATI (Pineleng-Manado:

Percikan hati 2015), 228.

Page 10: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

68 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Kelahiran pertama dan kedua kembar sembilan yang kemudian diberi nama se makaru siyow (2x9). Mereka kemudian digolongkan sebagai kelompok imam yang bertugas sebagai pengatur dan pelaksana ibadah; merekalah yang kemudian disebut sebagai Tonaas dan Walian. Kelahiran ketiga, keempat dan kelima kembar tujuh sehingga diberi nama se makatelu Pitu (3x7). Anak-anak ini kemudian digolongkan sebagai pemerintah atau penjaga kampung, dan selanjutnya disebut Patu’an atau Pa’ endon tua. Penjaga desa disebut Waraney atau prajurit. Kelahiran ke enam dan ketujuh kembar tiga yang kemudian dinamai se Pa’siyowan telu (3x9). Anak-anak dari kelahiran terakhir ini digolongkan sebagai kalangan rakyat jelata (petani dan pemburu). Lumimuut-Toar menjadi leluhur utama orang Minahasa dan Karema dihormati sebagai wali’an (imam) pertama di tanah Minahasa. Keturunan Lumimuut-Toar semakin berkembang dan membentuk taranak-taranak yang kemudian dikenal sebagai orang Minahasa.19

Versi pertama ini paling populer dari semua mitologi

asal-usul orang Minahasa. Salah seorang penulis tentang

Minahasa, yakni Bert Supit mengemukakan dua faktor penyebab

popularitas mitologi versi tersebut. Pertama, karena mitologi

versi pertama disebarkan menggunakan fasilitas sekolah-

sekolah Zending. Mitologi tersebut diajarkan oleh guru-guru

kepada para murid. Kedua, menurut Supit, mitologi ini sangat

mudah diterima dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat

Minahasa di masa itu karena yang menyebarkan kisah tersebut

adalah para pemuka agama.20 Supit memang tidak mengkaji

lebih lajut bagaimana teknis penyebaran mitologi tersebut,

tetapi saya menduga kuat bahwa cerita Lumimuut-Toar

diceritakan juga dalam pertemuan-pertemuan formal

keagamaan secara sistimatis oleh para zending. Selain itu, saya

19 Bertha Pantow. Beberapa Perubahan…, Ibid.

20 Supit, Minahasa…, 15.

Page 11: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 69

menduga kuat para zending juga memanfaatkan fasilitas kultural

Minahasa, yakni para pemimpin lokal yang telah menjadi kristen

untuk mensosialisasikan cerita asal-usul versi tersebut. Para

pemimpin lokal dengan kapasitas sebagai pemimpin taranak

memanfaatkan fasilitas kultural yang sangat kuat pengaruhnya,

yakni “ruang bercerita.”21 Pada malam hari sesudah mereka

selesai dengan semua kegiatan, biasanya karena mereka tidak

dizinkan lagi untuk keluar rumah—kecuali para

waraney/kesatria yang bertugas menjaga keamanan kampung--

para taranak Minahasa awal berkumpul di bagian tengah

rumah.22 Pada saat seperti itu selain bercerita satu sama lain,

kesempatan tersebut juga sering dipakai oleh pemimpin taranak

untuk membina taranaknya. Dugaan saya, pada saat seperti itu

cerita asal-usul taranak—khususnya cerita tentang Lumimuut-

Toar versi zending juga disampaikan oleh pemimpin taranak

yang telah menjadi kristen kepada seluruh anggota taranak dari

anak kecil sampai orang dewasa. Karenanya dengan mudah

mitologi versi para zending menjadi lebih popular dibandingkan

versi lain yang sebenarnya telah lebih dahulu diturun-

temurunkan kepada mereka sebelum para zending (utusan

badan-badan misi protestan) datang di tanah Minahasa.23 Hal

senada disampaikan Pdt. W.A. Roeroe—seorang Pendeta senior

dan mantan ketua Sinode GMIM, juga salah satu Pimpinan

21 Ruang bercerita taranak yang saya maksudkan adalah waktu menjelang malam

saat para taranak telah menyelesaikan kegiatan mereka sepanjang hari, mereka akan

berkumpul di ruang tengah untuk bercerita satu sama lain atau mendengar cerita dan

arahan dari para tua-tua (pemimpin mereka).

22 Di tanah Minahasa kini masih bisa dilihat rumah-rumah tradisional yang

meskipun ruangan dalam sudah di modifikasi sesuai kebutuhan keluarga kini, tetapi

pola bangunannya masih sebagian besar mengacu pada model rumah tradisional.

Rumah tradisional Minahasa terdiri dari ruang-ruang tidur sesuai jumlah anggota

taranak dan ruang tengah yang menjadi pusat pertemuan taranak. Di ruang tengah

ini banyak kegiatan umum taranak dilakukan, antara lain menjadi tepat berkumpul

dan mendengar pengajaran, arahan atau membahas satu persoalan di pimpin oleh

pemimpin taranak. Paul Richard Renwarin, Matuari Wo Tona’as Dinamika Budaya

Tombulu di Minahasa (Jakarta: Cahaya Pineleng), 2007,104-109.

23Analisis ini sudah pernah saya uraikan dalam tulisan saya. Marhaeni Mawuntu,

Tou Minahasa: Aku, Dia…, 22

Page 12: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

70 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Majelis Adat Minahasa—bahwa sejak kecil dia sudah mendengar

cerita bahwa Lumimuut leluhur Minahasa adalah seorang putri

raja dari Cina yang dibuang dan terdampar di tanah Minahasa.

Dalam pembuangannya, Lumimuut didampingi oleh seorang

perempuan tua bernama Karema. Cerita demikian menurut

Roeroe tertanam kuat dalam pikirannya, karena selain

diceritakan di rumah oleh orang tua dan orang-orang tua dalam

keluarga besarnya, juga diceritakan di sekolah. Selain itu

menurut Roeroe, ada juga yang menceritakan bahwa Lumimuut

adalah salah seorang dari rombongan budak-budak Cina yang

melarikan diri dan terdampar di Tanah Minahasa. Selanjutnya

Roeroe menjelaskan, bahwa seingat dia, cerita lumimuut sebagai

putri raja Cina lebih popoler dibandingkan dengan versi cerita

Lumimuut sebagai salah seorang budak dari Cina.24

Versi mitologi kedua, saya dapatkan dari Fredy Wowor

seorang akademisi, pelaku sekaligus pengkaji Budaya—

khususnya berperan sebagai mananombol/pendamping Tona’as

sekaligus penterjemah syair dalam ritual yang dilaksanakan

Tona’as.25 Menurut Wowor, versi mitologi ini memang tidak

terlalu popular dibandingkan versi cerita pertama, tetapi di

beberapa daerah khususnya di wilayah Sonder dan sekitarnya

versi ini diceritakan secara turun-temurun. Versi cerita ini

mendeskripsikan Lumimuut, Karema dan Toar sebagai cara

orang Minahasa menemukan kebijaksanaan. Dalam versi ini,

Karema diartikan sebagai yang mula-mula. Karema menunjuk

pada yang sejak awal sudah ada bersama alam semesta. Karema

adalah penunjuk jalan atau yang menjadi pembuka jalan atau 24 Wawancara dengan Pdt.Prof.Dr. W.A. Roeoe, 19 Desember 2014, Manado.

Terkait dengan cerita tentang budak-budak Cina yang melarikan diri dan terdampar

di Thailand, Filipina dan tanah Minahasa, beliau juga menceritakan pengalamannya

ketika berkunjung ke salah satu desa di Thailand dan juga di Filipina, dia

menemukan banyak lagu ritual yang mirip dengan lagu-lagu tradisional Minahasa.

Selain itu, menurut beliau, prototipe orang Tailand dan Filipina juga mirip dengan

orang-orang Minahasa.

25 Wawancara dengan Fredy Wowor, akademisi, pelaku dan pengkaji Budaya

Minahasa—berperan sebagai mananombol/pendamping Tona’as sekaligus sebagai

penterjemah syair ritual yang dilakukan Tona’as, 29 Januari 2015, Manado.

Page 13: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 71

perintis jalan. Karena itu, para pelaku budaya sering juga

menterjemahkan Karema sebagai jalan kebijaksanaan. Saya

menangkap adanya pengaruh kekristenan dalam versi cerita ini,

yakni kisah penciptaan dalam kitab kejadian, “pada mulanya

adalah Firman.” Ketika hal tersebut saya konfirmasikan kepada

nara sumber, dijelaskan bahwa cerita demikian telah lama

menjadi tradisi lisan jauh sebelum kekristenan masuk di tanah

Minahasa. 26 Selanjutnya, untuk memperkuat argumennya

Wowor merujuk Alkitab yang diterjemahkan dalam bahasa tua

Tountemboan oleh Zending. Menurut Wowor, ketika Alkitab

diterjemahkan ke Bahasa Tountemboan, masyarakat tidak

menemukan perbedaan ajaran dalam Alkitab dengan ajaran tua

para leluhur yang diturun-temurunkan pada mereka. Dengan

kata lain, menurut Wowor, apa yang ditulis dalam Alkitab

dengan menggunakan bahasa lokal adalah ajaran-ajaran yang

sudah lama dikenal melalui ajaran para leluhur. Bagi saya, jika

tafsir kultural Wowor dipakai sebagai rujukan, maka minimal

ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, versi

kedua tersebut memang murni versi lokal yang sudah lama

dikenal oleh masyarakat sebelum kekristenan datang. Lalu

ketika Alkitab hendak diterjemahkan ke dalam bahasa lokal,

para zending sengaja menggunakan sastra lokal—tradisi lisan

mengenai ajaran-ajaran moral dari para leluhur dan juga cerita

asal-usul orang Minahasa—untuk memperjelas pengajaran

Alkitab. Kedua, bisa juga “dicurigai” bahwa versi ini mungkin

saja mengalami perubahan dalam perkembangan kemudian

sebagai imbas dari perjumpaan dengan hal-hal baru, termasuk

dengan kekristenan. Pemahaman ini saya dasarkan pada tradisi

lisan mengenai pengkristenan orang-orang di Tanah Minahasa,

antara lain yang direkam Richard Siwu dari masyarakat di

Amurang (salah satu wilayah Tountemboan). Siwu menuturkan

bahwa melalui studi yang dia lakukan, dia menemukan tradisi

lisan mengenai pembaptisan para ukung atau para pemimpin

26 Ibid.

Page 14: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

72 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

taranak yang diikuti dengan pembaptisan masal kepada seluruh

anggota taranak. Bahkan menurut Siwu, berdasar pada tradisi

lisan yang ada, pembaptisan para ukung adalah juga simbolisasi

dari turut dikristenkannya budaya Minahasa.27 Bagi saya inilah

salah satu penyebab mengapa sulit untuk menegaskan bahwa

versi cerita ini tidak terpengaruh oleh perjumpaan yang

demikian solid dengan kekristenan. Apalagi jika dalam

perkembangan selanjutnya, masyarakat di tanah Minahasa

mengklaim kekristenan sebagai Minahasa begitupun sebaliknya,

sebagaimana penuturan Siwu,

Di kampung-kampung di Minahasa orang-orang tua mengklaim Minahasa adalah kristen dan kristen adalah Minahasa. Sehingga jika ada orang luar yang kawin dengan orang Minahasa dan memilih menjadi kristen mengikuti agama istri atau suami, orang tersebut dengan sendirinya menjadi orang Minahasa. Sebaliknya, jika ada orang luar yang kawin dengan orang Minahasa dan tidak menjadi Kristen/tidak mengikuti agama istri atau suaminya meskipun dia telah hidup dan menetap di tanah Minahasa, akan tetap dianggap sebagai orang luar yang tahu menyesuaikan diri.28

Sejajar dengan Siwu, Rinto Taroreh menjelaskan

pengalaman yang sama yang dialaminya di awal-awal dia

menjadi Tona’as. Taroreh menjelaskan, kuatnya pemahaman

Minahasa adalah kristen dan kristen adalah Minahasa dalam

masyarakat, juga dialaminya ketika mempersiapkan diri untuk

melakukan ritual agama Minahasa. Rinto yang berlatar-belakang

Katolik selalu mengawali ritualnya dengan berdoa secara katolik

dan menggunakan Alkitab dalam pelaksanaan ritualnya. Setelah

ia memahami secara mendalam keberadaan agama Minahasa,

dia kemudian menyimpulkan bahwa kekristenan itu adalah

27 Wawancara dengan Richard A.D. Siwu, akademisi, agamawan, pemerhati

budaya Minahasa, dan anggota Majelis Adat Minahasa, 11 Desember 2014, di

Manado.

28 Ibid.

Page 15: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 73

pendatang di tanah Minahasa jauh setelah orang-orang di tanah

ini mengenal tentang Opo Empung atau Yang Maha Kuasa,

Pencipta Alam Semesta dalam keagamaan lokal Minahasa.29

Coba kita lihat silsilah keluarga kita masing-masing, silsilah itu tidak hanya menjelaskan nama marga Minahasa, tetapi juga tata cara hidup kita menurut ajaran-ajaran Opo Empung. Waruga-waruga menjadi tempat makam orang-orang tua Minahasa adalah juga tanda dari masih kuatnya adat-istiadat Minahasa dilaksanakan. Nanti setelah orang-orang tua tidak lagi di makamkan di Waruga, dan mulai mengikuti model penguburan para zending, lalu adat-istiadat menjadi semakin pudar. Berpatokan di situ, saya kemudian tidak lagi menggunakan Alkitab ketika menyiapkan diri untuk melakukan ritual agama Minahasa. Dan berdasar pemahaman itu pula, kelompok kawarasan (tarian perang) saya terbuka terhadap siapa saja dari suku dan latar belakang agama yang lain.30

Dalam observasi yang saya lakukan terhadap

pelaksanaan ritual oleh para pelaku budaya Minahasa (Tona’as),

saya menemukan hal yang sejajar sebagaimana yang

dikemukakan oleh Siwu dan Rinto. Data observasi pertama,

yakni yang saya lihat di altar kecil di rumah Tona’as Dede—

beliau menganut kepercayaan pada agama lokal Minahasa,

Kristen dan Tao. Di atas meja tempat melaksanakan ritual ada

salib dan Alkitab diletakkan bersamaan dengan alat-alat

kelengkapan ritual dan simbol dari Tao dan agama Miahasa.

Selain itu, dalam wawancara dengannya, beliau juga

membenarkan bahwa dalam pelaksanaan ritual dia juga

menggunakan Alkitab. Demikian Tonaas Dede menjelaskan:

Ayat-ayat Alkitab saya gunakan untuk memberi penerangan terhadap maksud saya melakukan

29 Wawancara, Rinto Taroreh, 2014.

30 Ibid.

Page 16: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

74 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

ritual. Bagi saya hal menggunakan Alkitab atau tidak dalam ritual adalah bagian dari metode. Jadi tergantung metode setiap Tona’as. Tetapi menggunakan Alkitab bukan dengan cara makomba (seperti berjudi/untung-untungan), melainkan menggunakan itu sebagai referensi perbandingan. Misalnya, jika ada yang datang dengan permasalahan tertentu dan meminta saya untuk melakukan ritual kampetan untuk bertanya pada Empung Wailan Wangko (Sapaan dalam agama lokal Minahasa terhadap Yang Kudus pencipta alam semesta) …. Saya biasanya dalam mempersiapkan ritual akan mencari bagian Alkitab yang bisa memberi penerangan sesuai masalah yang dihadapi, agar orang tersebut sudah memiliki refrensi acuan sebelum ritual dilakukan…31

Data lain, saya dapatkan pada saat melakukan observasi

pelaksanaan ritual di batu Pinabetengan yang dilakukan oleh

Tona’as kelompok budaya Waraney Waha. Ritual tersebut

dilakukan atas permintaan pasangan muda yang berencana

menikah dan hendak meminta petunjuk leluhur mengenai hari

yang tepat untuk pernikahan mereka dan persiapan “rohani”

bagaimana yang harus mereka lakukan. Ritual dimulai dengan

Tona’as melakukan penyembahan, selanjutnya pendamping

Tona’as (seorang perempuan dan laki-laki yang juga

menggunakan pakaian adat) membaca bagian Alkitab. Sesudah

itu Tona’as mengalami kerasukan arwah leluhur dan berbicara

dengan bahasa tua Minahasa. Ucapan-ucapan Tona’as

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia/Manado oleh

pendamping Tona’as (seorang perempuan). Ucapan-ucapan

tersebut mempertegas apa yang dibaca dari Alkitab. Setelah itu

Tona’as menuju ke batu besar (disebut batu Pinabetengan) yang

menjadi altar bagi ritual tersebut dan melanjutkan ritual dengan

31 Wawancara dengan Tona’as Dede Katopo, Ketua Kelompok Budaya Manguni

Esa Keter, Manado, 27 April 2015.

Page 17: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 75

menggunakan alat-alat ritual yang sudah disiapkan. Alat-alat

ritual yang diletakkan di atas batu Pinabetengan sebagai altar,

yakni kain merah-kuning sebagai alas di atas batu, Alkitab,

batang dan daun tawaang, patung batu kecil burung manguni

yang diletakkan di bagian atas urut-urutan alat-alat ritual,

pedang panjang, beberapa batu kecil yang licin dan pipih, kain

merah dengan simbol salib berwarna putih, dan simbol-simbol

lainnya.32 Pada saat melaksanakan ritual di depan altar batu,

Tona’as kembali mengalami kerasukan roh leluhur yang

memberi petunjuk pada pasangan muda tersebut. Sesudah itu,

Tonaas kembali sadar dan melanjutkan doa-doa kepada leluhur.

Dalam observasi tersebut, saya mencatat bahwa bagian Alkitab

yang dibaca di pra ritual hanya digunakan saat itu dan tidak

pernah dikaitkan dengan ritual yang Tona’as lakukan di depan

batu Pinabetengan. Karena pada saat ritual di depan batu,

seluruh gerak-gerik, suara dan nasihat-nasihat kepada calon

pengantin tersebut sepenuhnya berasal dari ucapan-ucapan

Tona’as yang mengalami kerasukan roh leluhur.

Dalam ritual Taratak Foso (ritual atur kampung/wilayah

kota Bitung) yang dihadiri oleh kelompok-kelompok budaya

yang ada di tanah Minahasa kini, terlihat jelas pengaruh

kekristenan dalam pelaksanaan ritual tersebut. Acara ritual

Taratak bertujuan untuk mengatur kembali batas-batas wilayah

Bitung. Pengaturan tersebut dibarengi harapan, bahwa Opo

Empung akan menjaga keutuhan kehidupan semua yang hidup

di wilayah Bitung; agar segala bentuk bahaya dihindarkan dari

kota Bitung. Acara ini dihadiri oleh dua puluh lima perutusan

kelompok adat dan organisasi masyarakat budaya, yang

sebelumnya diawali dengan ritual persiapan oleh masing-

masing kelompok adat satu hari sebelum kegiatan inti Foso

Taratak. Hal menarik dalam pelaksanaan Foso Taratak, yakni

acara ini dibuka dengan doa pembukaan oleh seorang pendeta,

32 Observasi pelaksanaan ritual lokal yang dilaksankan oleh kelompok budaya

Waraney Waha di batu Pinabetengan, 5 Mei 2016

Page 18: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

76 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

lalu dilanjutkan dengan sambutan ketua Panitia dan sambutan

wakil pemerintah (wakil walikota Bitung). Kemudian,

dilanjutkan dengan pembacaan deklarasi Minahasa Bersatu yang

diakhiri dengan berkat dan doa dipimpin oleh seorang Pendeta.

Di saat pendeta tersebut menyampaikan doa dan berkat, semua

pimpinan kelompok budaya (Tona’as dan waraney) berlutut di

depan pendeta. Ritual Taratak dilaksankan diakhir acara yang

diawali dengan doa kepada Opo Empung oleh seorang Tona’as

yang bertugas sebagai pemimpin ritual. Ritual kemudan

dilanjutkan di tiga titik yang menjadi batas-batas wilayah kota

Bitung oleh Tona’as-Tona’as sesuai pembagian tugas yang telah

dia atur.

Pelaksanaan ritual yang diawali dengan ibadah singkat

secara Kristen juga terungkap dalam wawancara yang saya

lakukan dengan Tona’as muda Erwin Tangka. Beliau

menuturkan bahwa dalam setiap ritual yang dilakukannya atau

yang diikutinya (yang dipimpin oleh Tona’as yang lebih

tua/lebih lama menjadi Tona’as) selalu diawali dengan ibadah

singkat (menyanyi dan berdoa) secara Kristen. Selain itu, Alkitab

juga menjadi salah satu perlengkapan ritual. Tona’as Tangka

menjelaskan lebih lanjut, bahwa ketika leluhur mulai memasuki

raganya yang pertama dilihat oleh leluhur adalah Alkitab dan

meminta salah seorang peserta ritual untuk membacakan bagian

Alkitab yang dibuka oleh Tona’as yang tengah mengalami

kesurupan arwah leluhur. Lalu leluhur mengingatkan para

peserta ritual untuk mentaati apa yang ditulis dalam bagian

Alkitab yang telah dibacakan. Setelah itu ritual akan berlangsung

sebagaimana ritual agama Minahasa di masa para leluhur. 33

Empat data tersebut, mempertegas realita mengenai

bagaimana posisi ajaran leluhur dan ritual kultural dalam

konteks Minahasa kini. Walaupun ada sebagian Tona’as yang

memilih untuk tidak lagi menggunakan Alkitab dan simbol-

33 Wawancara dengan Tonaas Erwin Tangka, Tandeki-Bitung, 6 Oktober 2016.

Page 19: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 77

simbol kristen lainnya dalam ritual lokal, tetapi sebagian besar

Tona’as masih mengaitkan ritual agama Minahasa dengan

kekristenan mereka. Di sisi lain, meskipun pelaksanaan ritual

mengakomodir ibadah dan simbol kristen, tidak semua orang di

tanah Minahasa kini memahami dan menerima secara positif

pelaksanaan ritual Minahasa. Sebagian orang di tanah Minahasa

kini, baik yang menyebut diri orang Minahasa asli atau

keturunan Minahasa melihat ritual yang dilakukan oleh para

pelaku budaya sebagai penyembahan terhadap roh-roh leluhur

dan bertentangan dengan ajaran Kristen.

Di era 80-an menurut penuturan Tona’as Rinto dan Dede

terjadi pengejaran dan penganiayaan terhadap para pelaksana

ritual agama Minahasa oleh aparat pemerintah dan masyarakat

yang telah terprovokasi. Para pelaksana ritual dituduh sebagai

dukun hitam (mariara) dan mereka dikejar serta dianiaya.

Penjelasan kedua Tona’as ini melahirkan dugaan, mengenai

beberapa kemungkinan yang menjadi maksud dari penggunaan

Alkitab dan simbol-simbol kristen lainnya dalam ritual lokal kini.

Apakah penggunaan simbol-simbol kristen semata-mata karena

perjumpaan nilai-nilai kultural dan kekristenan di tanah

Minahasa ataukah hal demikian dimaksudkan sebagai strategi

perlindungan diri? Para Tona’as yang menggunakan Alkitab

dalam ritual, sengaja melakukan agar tidak lagi dicurigai sebagai

dukun hitam.34 Di sisi lain, penghargaan dan perlindungan

terhadap keagamaan lokal yang masih jauh dari yang

diharapkan para pelaku budaya, akan mempersulit mereka jika

praktek-praktek ritual mereka dicurigai sebagai agama baru.

Dua fakta tersebut dapat saja menjadi dasar kajian mengenai

mengapa simbol-simbol Kristen digunakan dalam praktek

agama leluhur sampai kini.

34 Penggunaan simbol-simbol kekristenan dalam ritual agama Minahasa di tanah

Minahasa kini juga menjadi salah satu topik yang didiskusikan dalam FGD dengan

Kelompok Budaya Mawale Movement, 2015, di Manado.

Page 20: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

78 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Kembali ke versi cerita kedua, Lumimuut dimaknakan

sebagai keringat tanah atau embun pagi. Keringat tanah yang

keluar dari batu ketika terkena matahari pagi. Lumimuut adalah

juga pembuka pagi atau awal dari hari. Sedangkan Toar

dipahami sebagai tiang penyangga. Dalam rumah-rumah

panggung tradisional Minahasa, dikenal adanya tiang penyangga

utama; Toar diumpamakan sebagai tiang penyangga utama.

Karenanya, sering juga Toar diartikan sebagai kekuatan pikiran

dan fisik. Masih dalam versi cerita ini, penggambaran tentang

Lumimuut, Karema dan Toar yang berlatar alamiah demikian,

juga melahirkan pemahaman bahwa asal-usul manusia

Minahasa berawal dari menyatunya unsur-unsur alam;

menyatunya siang-malam matahari-bulan, seperti perkawinan

alam. Perkawinan alam ini kemudian melahirkan keringat pada

batu yang kemudian disebut Lumimuut yang artinya keringat

yang keluar dari batu. Dari batu yang berkeringat, kemudian

keluarlah tunas-tunas pertama yang disebut sebagai Toar

(artinya bertumbuh dari batu).35 Wowor selanjutnya

menegaskan, menghidupkan kembali cerita versi kedua ini

mengandung maksud agar mitologi asal usul Minahasa dipahami

secara proporsional sesuai tradisi lisan yang diwariskan.

Selanjutnya Wowor menegaskan, bahwa munculnya

versi cerita pertama yang ditulis oleh para zending atau penulis-

penulis Barat karena mereka salah menterjemahkan syair yang

memuat cerita tersebut. Syair itu seharusnya dipahami dalam

konteks ritualnya, karena ketika dilepaskan dari konteks

tersebut yang terjadi adalah pemahaman keliru terhadap syair

mengenai perkawinan Lumimuut dan Toar. Semakin kelirunya

pemahaman zending dan penulis Barat lainnya terhadap syair

mengenai leluhur orang Minahasa terutama karena syair yang

menekankan pada sifat diterjemahkan sebagai figurisasi.

Imbasnya, Lumimuut dipahami sebagai perempuan yang

35 Wawancara, Fredy Wowor, 2015.

Page 21: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 79

melahirkan Toar dan yang juga menikahi Toar atas perintah

Karema.36

Intinya menurut Wowor, dalam versi kedua ini,

penggambaran tentang Lumimuut, Karema dan Toar yang

demikian dimaksudkan untuk menggambarkan mengenai yang

inti dan yang menyatu dalam diri manusia Minahasa, yakni

kebaikan hidup yang membuat manusia Minahasa menjalankan

hidup secara bijaksana; menghargai dirinya dengan cara hidup

sebagaimana layaknya manusia.37

Cerita versi kedua ini menurut saya dapat berimplikasi

pada kesimpulan bahwa awalnya taranak di tanah Minahasa

tidak memiliki figur leluhur, karena penekan versi ini ada pada

upaya menjelaskan identitas orang Minahasa dari karakter yang

dimiliki. Berdasar data lapangan, saya memahami bahwa

kesadaran mengenai pentingnya figur leluhur menguat setelah

orang-orang di tanah Minahasa bertemu dengan kumpulan

taranak yang lain dan juga para pendatang yang datang

kemudian di tanah Minahasa. Apalagi ada data kultural tentang

leluhur Minahasa yang diduga kuat berasal dari luar dan dari

tempat berbeda-beda.38 Misalnya, di pakasa’an Tonsea

(Minahasa utara sekarang) masih terpelihara tradisi lisan

mengenai Opo Roti dan waruga tempat dia dimakamkan.

Ditemukan tiga waruga yang diidentifikasi oleh warga sebagai

makam opo Roti di derah Likupang sampai Kema.

Kemungkinan lain, Karema, Lumimuut dan Toar adalah

tokoh-tokoh yang pernah ada dan menjadi leluhur dari salah

satu kumpulan taranak. Peran dari ketiga tokoh tersebut sangat

signifikan dalam kumpulan taranaknya, sehingga kemudian

36 Ibid.

37

Ibid.

38

Graafland, misionaris yang menyebarkan agama protestan di tanah Minahasa

juga mengutip tradisi lisan mengenai leluhur Minahasa yang datang secara bertahap

dari tempat berbeda. N Graafland, Minahasa Negeri, Rakyat, dan budaya, (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1991), 7-9.

Page 22: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

80 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

kisah kepemimpinan mereka memberi inspirasi bagi semua

taranak. Karenanya ketika orang-orang di tanah Minahasa

membutuhkan tokoh leluhur utama, maka ketiga tokoh tersebut

kemudian diceritakan seolah-olah adalah juga leluhur seluruh

taranak. Dugaan ini sejajar dengan versi ketiga yang

menceritakan bahwa Karema, Lumimuut dan Toar bukan orang

pertama di tanah Minahasa, mereka adalah orang-orang yang

selamat dari banjir besar yang melanda tanah Minahasa.

Versi lainnya, yakni versi cerita asal-usul orang

Minahasa yang saya rekam dari pelaku budaya sekaligus salah

satu pemimpin ritual budaya Minahasa, Tonaas Rinto Taroreh.

Taroreh menulis demikian (selanjutnya tulisan Taroreh saya

terjemahkan dalam bahasa Indonesia):

Abis banjer basar ta dampar kasana tu satu orang perempuan gagah… Dia da ta anyor dari jao ta bawa deng banjer. Waktu ni perempuan gaga masih bingo-bingo di pinggir pante, dia Karengan tulung kong bawa dia ka pinggir. Serta dia sosadar butul-butul Karengan bilang “ngana kita da kase slamat, sapa ngana pe nama? dari mana so ngana?” manyao kamari tu perampuan mar masih rupa bingo “torang pe tampa kwa ada dapa banjer basar banya orang da ta anyor, kita nentau dorang da slamat atouw nyandak,” bicara kasana tu Karengan “kong na pe nama dang?” so lebe bingo tu parampuang ini “sapa kang? Sapa kang kita?” kong manangis dia nentau kote dia so lupa depe nama. Bicara tu Karengan “ooh kasiang ee, bagini jo der ngana so lupa tu nama, kita mo kase nama baru pa ngana, anggap jo buang soe-soe.” brenti sadiki tu Karengan da bicara, abis itu dia bicara ulang “bagini jo, ngana kita mo pangge-pangge Limu’ut artinya basuar, sama deng kita dapa pertama pa ngana, ngana katu da berjuang mo hidop kong slamat sampe di tana ini.” Mulai itu dia Karengan kurang ja pangge Limu’ut atouw Lumimu’ut.

Page 23: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 81

So brapa hari Karengan lia-lia ni Limuut, abis itu dia bicara dalang hati “ohh katu’ee tu limu’ut bagus katu da tamang manusia nemboleh katu dia sandiri.” Amper siang Karengan ba sombayang pa EMPUNG, dia babuju baminta supaya Limu’ut dapa tamang, terserah laki-laki atow perempuan. Siang kamari dia batunggu, akhirnya sore-sore dia dapa dengar ada suara orang. Babalari dia pigi cari der mana tu suara, nentau kote dari pinggir pante, akhirnya dia dapa lia kong dia tulung. Bicara tu Karengan “Trima kase kasiang EMPUNG, Na so kase akang tamang tu Limuut.” Dia ba pangge deng hati sanang pa Lumimu’ut “ohoo hoii, eeh Limuut napa ngana so dapa tamang.” Ini orang lei da tabawa deng banjer basar.

Karengan lia ni Lumimu’ut rupa so bakusuka deng ni Laki-laki. Bicara tu Karengan “der ngoni dua dapa lia so bakusuka, ngoni dua kita somo se sama-sama jo mar mominta berkat dulu pa EMPUNG yang da beking ni dunia. Sebelum dia bicara pa EMPUNG dia bicara dulu pa itu laki-laki, dia bilang “der ngana laki-laki lebe kuat dari Lumimu’ut perempuan, ngana tu mo jadi pokok Tu’ur, tu mo bajaga pa limuut deng ngana tu utama mo cari makang. Kong abis itu Karengan ambe tu tumbuhan ba warna mo beking Na’weng, dia angka ka atas deng dua tangan, kong dia bicara “ooh EMPUNG yang da beking ni dunia, lia-lia akang pa torang yang babaminta, kase-kase akang kamari umur panjang deng berkat patorang di dunia, kase-kase akang berkat kamari pa dua orang ini, jaga-jaga akang pa dorang kong antar-antar akang pa dorang di jalang yang memang butul-butul, ooh EMPUNG ja bajaga deng ja ba baantar patorang. Abis itu tu Na’weng yang dia da angka ka atas dia tanang ka tana kong bicara “sobagimana tadi ini Na’weng da angka kaatas kong ngoni dapa lia deng samua da iko dapa lia, sobagitu ngoni musti inga-inga ni bicara der ada ja babalia. Sobagimana tadi da kase tanang ka tana,

Page 24: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

82 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

sobagitu ini mo jadi panjaga pa ngoni mo tatanang pa ngoni.”

Abis itu Karengan suruh tu Lumimu’ut deng Toar bajalang ka tampa kaluar matahari, tampa kaluar hidop baru, hari baru for dorang der so jadi satu. Abis itu Karengan yang salalu ba batamang nentau da kamana, Cuma ta ilang bagitu. kalu dorang perlu skali baru dia mo kaluar.

Bajalang tu Tu’ur deng Limu’ut arah matahari kaluar ka sendangan. Dorang da lewat akang tu gunung so nda dapa reken. Sampe dorang di tampa babatu-batu basar kong rupa da bekas-bekas potong Mahwatu Ni E Takkan. Dorang ba lia kablakang tu gunung-gunung dorang da lewat akang rupa da se ator, kong dorang ja bilang itu Wulur Ma’atus. Toar deng Lumimu’ut akhirnya menetap di situ, tinggal di goa batu Wale Watu.

Lumimu’ut akhirnya hamil kong dapa anak banya. Dorang pe anak kuat-kuat kong dengar-dengaran, depe bilangan 2x9 Makarua siouw, Brikut no kong Walian-Walian ja bilang dorang pe hubungan deng Toar-Lumimu’ut lebe dekat, hubungan selaku anak. 9 itu sebenarnya bukang Cuma angka mar 9 itu tentang simbol kesempurnaan, kagenapan, paling kuat, angka paling besar orang minahasa. Makarua siouw itu kakuatan nda dapa ukur selaku anak deri Toar-Lumimu’ut, anak yang dengar-dengaran deng ja ba bajalang di butul RONDOR.39

Terjemahan:

Setelah banjir besar, seorang perempuan cantik hanyut terbawa banjir. Waktu perempuan itu masih kebingungan di pinggir pantai, Karema datang dan menolong membawanya ke tepi.

39 Dokumen tertulis milik Tonaas Rinto Taroreh. Dokumen ini bersumber pada

ritual kampetan atau ritual pemanggilan arwah leluhur untuk ditanyai hal-hal

khusus.

Page 25: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 83

Setelah perempuan itu sudah sadar betul, Opo Karema berkata padanya: “Aku yang telah menolong kamu,” Siapa namamu? Kamu berasal dari mana? Dalam keadaan bingung perempuan itu menjawab;” tempat kami dilanda banjir besar, banyak yang hanyut, saya tidak tahu apakah mereka selamat atau tidak. Kemudian karema berkata, “siapa namamu? Perempuan itu bingung dan berkata siapa ya? siapa ya saya? Lalu dia menangis karena dia tidak ingat lagi siapa namanya. Opo karema berkata, “ooh kasian. Begini saja, karena kamu telah lupa siapa namamu, saya akan memberi nama baru padamu. Anggap saja buang sial. Lalu Karema melanjutkan, begini saja, kamu akan saya panggil Lumimuut yang artinya berkeringat sama seperti saat kita bertemu kamu berkeringat karena berjuang hidup dari banjir.

Sudah beberapa hari Karema memperhatikan Lumimuut, dan dia berbicara dalam hati “oh kasihan Lumimuut, baiknya ia memiliki teman mansuia, tidak boleh sendiri saja. Pada waktu subuh Karema berdoa pada Empung, dia memohon kiranya Lumimuut diberi teman—terserah teman laki-laki atau perempuan. Saat hari mulai terang dia menunggu, lalu sore-sore Karema mendengar ada suara orang. Berlari-lari dia pergi mencari sumber suara, tidak taunya dari pinggir pantai. Akhirnya dia melihat dan menolong orang itu. Karema kemudian bicara, “terima kasih Empung, Kau sudah memberi teman pada Lumimuut.”, lalu dengan gembira ia memanggil Lumimuut ohooo hoi eh Lumimuut ini kamu sudah dapat teman. Orang ini juga terbawa oleh banjir besar.

Karema melihat bahwa Lumimuut dan laki-laki tersebut saling suka, Karema berbicara pada mereka: karena kalian kelihatannya sudah saling suka, kamu berdua akan saya satukan, tetapi kita

Page 26: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

84 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

meminta berkat terlebih dahulu pada EMPUNG yang menciptakan dunia ini. Sebelum Karema berbicara pada EMPUNG, terlebih dahulu dia berbicara pada laki-laki itu. Dia berkata demikian, “karena kamu laki-laki lebih kuat dari Lumimuut perempuan, kamu yang akan menjadi yang utama, yang akan menjaga Lumimuut dan kamu juga yang utama mencari makan. Setelah itu Karema mengambil tumbuhan berwarna Na’weng lalu dia angkat ke atas dengan kedua tangannya, lalu dia berkata “ooo EMPUNG yang menciptakan dunia ini, tolong lihat kami yang meminta, beri kami umur panjang dan berkat. Beri kedua orang ini berkat, tolong jaga dan sertai mereka. Setelah itu ia mengangkat tumbuhan berwarna Na’weng ke atas sambil berkata “sebagaimana tadi tumbuhan ini saya angkat ke atas, dan kalian berdua melihat, begitu juga kalian harus saling melihat. Sebagaimana tumbuhan ini saya tanam ke tanah begitu juga yang akan menjaga kalian akan seperti ini

Setelah itu Karema memerintahkan Lumimuut dan Toar berjalan ke arah tempat keluar matahari, tempat keluar hidup baru, hari baru untuk mereka karena sudah menjadi satu.

Berjalan ke arah matahari ke luar ke Timur. Mereka melewati gunung yang sudah tidak terhitung banyaknya. Mereka tiba di tempat berbatu batu besar dan seperti ada bekas-bekas potongan pohon Mahwatu Ni E Takan. Lalu ketika mereka melihat ke belakang ke gunung-gunung yang telah mereka lewati, gunung-gunung itu seperti di atur, karenanya mereka menyebut tempat itu “wulur Ma’atus. Mereka kemudian menetap di situ, tinggal di goa batu Wale batu.

Akhirnya Lumimuut hamil lalu melahirkan banyak anak. Anak-anak mereka kuat-kuat dan taat pada orang tua. Jumlah mereka 2x9 Makarua siow (kelompok imam). Karena itu para walian (para

Page 27: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 85

imam/pemimpin ritual) menyebut diri mereka sebagai yang memiliki hubungan dekat dengan Lumimuut dan Toar, hubungan selaku anak. Angka 9 itu sebenarnya bukan hanya sekedar angka tetapi merupakan symbol kesempurnaan, paling kuat, angka paling besar orang Minahasa. Makarua siow selaku anak Lumimuut dan Toar kekuatannya tidak terukur, anak yang taat dan berjalan pada jalan yang benar.40

Versi cerita ini menurut Taroreh bersumber dari

penuturan leluhur yang merasuki dirinya pada saat

melaksanakan ritual pemanggilan arwah leluhur atau ritual

kampetan.41 Dalam studi sosio-kultural yang menggunakan

grounded theory method, mendengar penuturan informan

mengenai pemahaman mereka tentang diri, masyarakat dan

dunia mereka adalah bagian penting dari kerja penelitian.42 Saya

mengkaji penuturan Taroreh dalam tataran penghargaan

demikian dan memahami bahwa apa yang disampaikannya

adalah juga kristalisasi dari pemahamannya tentang dunia,

leluhur dan ajaran leluhur. Di sisi lain, saya menemukan

persamaan mendasar tentang isi cerita tersebut dengan versi

cerita kedua yang menegaskan bahwa leluhur Minahasa bukan

ibu dan anak sebagaimana yang diceritakan dalam versi

pertama. Bahkan saya menduga kuat, bahwa cerita versi

Taroreh adalah cerita yang bersumber sama dengan versi kedua.

Yang membedakannya dengan versi kedua, yakni bahasa syair

dalam versi kedua telah diterjemahkan dalam bahasa figurisasi

pada versi ketiga; sudah ada figur-figur yang digambarkan

40 Ibid.

41

Ritual Kampetan dilaksanakan karena sesudah perisiwa mahawetik (peristiwa

konflik antara taranak Minahasa awal) banyak ajaran leluhur tidak lagi diketahui.

Para wali’an yang menyimpan ingatan mengenai ajaran leluhur ada yang telah

dibunuh dan banyak juga yang melarikan diri. Karenanya, ritual kampetan

dilakukan untuk bertanya pada leluhur.

42Erin Horvat, et al, The beginner’s guide to doing qualitative research: how to

get into the fild, collect data, and write up your (New Yor & London: Teacher

College Press Colombia University, 2013), 73

Page 28: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

86 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

sebagai Karema, Lumimuut dan Toar. Perbedaan tersebut

menarik dan melahirkan pertanyaan kapan versi ini mulai

dikenal oleh para taranak Minahasa? Taroreh menjelaskan

bahwa versi ini lebih tua dari versi pertama atau versi zending,

tetapi penceritaan dengan menunjuk pada Karema, Lumimuut

dan Toar melahirkan “kecurigaan” mengenai perubahan dalam

cerita karena perjumpaan dengan bangsa-bangsa asing yang

datang ke tanah Minahasa. Dengan kata lain, versi ketiga

dikonstruksi sedemikian untuk memenuhi kebutuhan mengenai

figur leluhur setelah bertemu nilai-nilai lain—termasuk cerita-

cerita leluhur dari para pendatang.

Kajian demikian terhadap versi ketiga didukung oleh

tradisi lisan mengenai kedatangan leluhur dan ditemukannya

waruga-waruga leluhur setempat di beberapa daerah di tanah

Minahasa. Misalnya tradisi lisan mengenai kedatangan Opo Roti-

- salah satu leluhur Tonsea—yang diceritakan datang dari luar

tanah Minahasa dan mendarat/ masuk melalui Likupang dan

selanjutnya menjadi salah satu leluhur penting dari taranak

Tonsea. Selain itu, ada tradisi lisan mengenai Wurik Muda yang

diceritakan merupakan keturunan campuran Portugis-Minahasa

dan memiliki wajah dan postur seperti orang Portugis (telah

dipaparkan dalam Bab Pendahuluan). Tradisi lisan tersebut

sekaligus mengindikasikan bahwa sangat sulit untuk mengklaim

taranak Minahasa sebagai taranak-taranak yang memiliki satu

leluhur yang sama.

3. Pengelompokkan taranak dalam Wale dan Walak

Keturunan Lumimuut-Toar semakin berkembang, dan

kehidupan mereka tidak lagi sendiri-sendiri melainkan mulai

hidup berkelompok. Kumpulan awal taranak dapat dilihat dari

pengelompokkan dalam wale/rumah tradisional Minahasa. Wale

secara hurufiah dapat diterjemahkan sebagai rumah atau tempat

tinggal. Dalam pemaknaan kultural penyebutan wale juga

Page 29: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 87

menunjuk pada pembagian ruangan dalam rumah. Biasanya

ruangan dalam wale akan bertambah jika ada anggota keluarga

yang menikah dan tetap tinggal di situ. Pertambahan keluarga

batih dalam wale terkait dengan pertambahan ruangan,

terutama terkait dengan awu atau dapur. Setiap keluarga batih

dalam wale memiliki awu sendiri, dan itulah juga yang melatar-

belakangi sebutan Minahasa untuk keluarga batih yakni sebagai

awu. Dalam satu wale bisa saja berisi 5-9 keluarga batih,

sehingga pembagian ruanganpun disesuaikan dengan jumlah

awu. Tetapi ada juga wale yang hanya ditempati oleh satu

keluarga. Biasanya wale yang hanya ditempati oleh satu

keluarga bentuknya jauh lebih kecil dan dibangun di halaman

yang sama dengan beberapa wale kecil lainnya.43 Sama seperti

keluarga-keluarga yang tinggal bersama dalam satu wale, maka

keluarga-keluarga yang tinggal di beberapa wale kecil dalam

satu halaman memiliki satu garis keturunan. Setiap wale yang

dihuni oleh beberapa keluarga dipimpin oleh seorang yang

dituakan yang disebut pa’ endon tua. Terkait dengan keberadaan

Pa’ endon Tua, maka wale juga menunjuk pada otoritas taranak

yang mewadahi seluruh taranak di situ. Sekaligus menegaskan

mengenai otoritas pa’endon tua sebagai pelindung dari semua

taranak yang hidup bersama dalam wale. Pa’endon Tua yang

dipilih oleh kumpulan taranak dalam wale tidak menunjuk pada

orang tertua dalam wale. Dalam tradisi lisan di kampung-

kampung di tanah Minahasa, Pa’endon Tua dipilih berdasarkan

kualitas diri yang dimiliki, seperti kemampuannya memimpin,

karisma yang bisa mempengaruhi wale, keberanian serta

ketegasan dalam mengambil keputusan penting bagi wale.

Karenanya, pemimpin wale tidak selalu seseorang yang berusia

tua, tetapi juga orang muda yang dituakan. Inilah juga

penampakan nilai kultural Tou dalam relasi antar taranak di

wale.

43 Bandingkan juga dengan pemaparan Renwarin tentang wale dalam Paul

Richard Renwarin. Matuari…103-109.

Page 30: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

88 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Mengenai besar-kecil wale, ada perbedaan dibeberapa

tempat di tanah Minahasa. Di kampung-kampung di Tombulu

masih dapat ditemukan wale dengan banyak ruangan atau

dihuni oleh 5-9 keluarga. Lain lagi di Tountemboan yang tidak

mengenal wale dengan jumlah ruang yang banyak. Model wale

yang masih ada tersebut merupakan model yang diwarisi sejak

Minahasa awal. Dengan kata lain, sejak awal di Tountemboan

hanya mengenal wale-wale kecil yang dibangun dalam satu

halaman. Sebaliknya, di Tombulu wale besar—dengan jumlah

kamar sesuai jumlah awu—telah lama dikenal.

Selanjutnya, pengelompokkan taranak yang lebih luas

bisa juga dilihat dalam walak. Walak adalah istilah yang

kemudian digunakan secara formal oleh perwakilan kolonial

Belanda untuk menunjuk kesatuan hukum di tanah Minahasa

yang terdiri dari kumpulan keluarga yang memiliki persamaan

garis keturunan, dan menempati satu wilayah tertentu.

Pengelompokkan tersebut didasarkan pada satu pemukiman

yang terdiri dari beberapa wale/kumpulan keluarga. Karenanya,

walak sering disamakan dengan desa/satu pemukiman/wanua,

misalnya walak Kali, Kakaskasen, dan lain-lain. Jelas, bahwa

walak menunjuk pada kesatuan kelompok orang dan wilayah.

Karenanya, walak juga menunjuk pada batas-batas tanah yang

bisa didiami oleh taranak yang tergabung dalam walak tersebut.

Dalam FGD beberapa pengurus kelompok budaya Barisan

Pemuda Adat Nusantara, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara,

dan kelompok budaya Makatanak Minahasa, seorang peserta

dari Kelompok Budaya Barisan Pemuda Adat Nusantara

menceritakan tentang hukum adat yang mengatur pengelolaan

tanah kosong di kampungnya. Hukum adat tersebut merupakan

warisan dari hukum walak yang masih digunakan sampai

sekarang. Tanah di kampungnya diolah oleh taranak-taranak

yang merupakan warga kampung tersebut, dan juga terbuka

juga terhadap orang-orang yang bukan bagian dari kampung.

Orang lain atau pendatang dapat mengelolah tanah kosong di

Page 31: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 89

wilayah walak dengan izin pemimpin kampung dan ketaatan

terhadap aturan yang ada. Selanjutnya peserta FGD menuturkan,

Biasanya kalo ada orang dari luar kampung datang dan ingin mengolah tanah kosong, mereka harus menemui Hukum Tua (kepala kampung yang dipilih oleh masyarakat) untuk meminta izin. Setelah mendapat izin, biasanya Hukum Tua akan mengumumkan kepada masyarakat bahwa status tanah tersebut dikelola pendatang tetapi seizin Hukum Tua. Selanjutnya, hukum tua akan menjelaskan batas-batas tanah tersebut; tanah mana saja yang bisa ia kelola dan mana yang tidak. Jika pendatang melakukan pelangaran terhadap batas yang telah ditentukan, dia akan menerima sangsi atau diusir. Pengaturan demikian telah dilakukan oleh pemimpin walak dan sampai saat ini tetap ditaati oleh semua orang di kampung tersebut.44

Di zaman kolonial, makna sosio-kultural walak direduksi

menjadi makna politis, yakni bahwa walak menunjuk pada

orang-orang distrik yang ditunjuk sebagai pemasok balok untuk

pembangunan benteng dan perumahan kompeni di manado.

Tetapi reduksi tersebut kemudian diluruskan antara lain oleh

J.G. Riedel, N. Graafland dan J.A.T. Schwars yang menjelaskan

melalui tulisan mereka, bahwa kata walak berasal dari Bahasa

asli Tontemboan yang berarti stam atau volks-stam atau suku.

Seorang peneliti Minahasa, N. Adriani juga menemukan data

sejajar yang menjelaskan bahwa walak berasal dari bahasa

Minahasa Toe’oer im balak yang berarti kepala suku atau kepala

Taranak/keluarga besar. Ketika Belanda resmi menguasai tanah

Minahasa, kata Toe’oer im balak diadaptasikan ke Bahasa Melayu

menjadi kepala balak. Jadi menurut Andriani, pemasukan balak

ke kompeni tidak terkait sedikitpun dengan kata walak.45

44 FGD dengan pengurus kelompok-kelompok Budaya dari kalangan muda,

Manado, 2015

45 Supit, Minahasa…52

Page 32: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

90 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

4. Pengelompokkan taranak dalam Pakasa’an

Pengelompokkan Taranak dalam Paksa’an merupakan

reaksi terhadap konflik antar walak yang disebabkan oleh klaim

wilayah. Para Ukung bertemu di batu Pinabetengan dan

bermusyawarah serta menata kembali pembagian wilayah

diantara keturunan Luimuut-Toar. Saat itu wilayah Minahasa

dibagi menjadi empat, yakni Pakasa’an Tombulu, Tonsea, Tolour

dan Tountemboan46 Musyawarah di batu Pinawetengan rupanya

juga mengikutsertakan kesepakatan sebagai pakasa’an di tanah

yang Mahasa/menyatu mengenai bagaimana memelihara

keamanan dan keutuhan Pakasa’an masing-masing. Indikasi itu

antara lain terlihat pada peristiwa penyerangan yang dilakukan

kerajaan Bolaang-Mongondow terhadap Pakasa’an Tonsea

dalam rangka ekspansi kekuasaannya. Menghadapi serangan

tersebut pakasa’an Tonsea dibantu oleh Pakasa’an Tondano dan

Tombulu.47 Data yang sama dikemukakan oleh Kelompok

Budaya Mawale Movement,” bahwa pertemuan para pemimpin

taranak—dalam walak--di batu Pinabetengan yang

menghasilkan kesepakatan membentuk Pakasa’an. Pakasa’an-

Pakasa’an tersebut memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengembangkan Pakasa’an masing-masing, tetapi ketika satu

Pakasa’an diintervensi atau diganggu oleh komunitas lain, maka

Pakasa’an lain berkepentingan untuk membantu mempertahan-

kan integritas sosial di situ. Peristiwa yang sama dialami juga

oleh Pakasa’an Tolour (Tondano). Ketika Pakasa’an ini harus

menghadapi serangan Belanda, Pakasa’an Toumbulu dan

Tountemboan turut membantu secara sistimatis. Cerita

penyerangan Belanda ke Pakasa’an Tolour menjadi cerita turun

temurun mengenai keberanian para leluhur menentang Belanda.

46 Taulu. Bunga Rampai…7-8.

47 Ibid, 14; bandingkan dengan Supit, Minahasa…74, memaparkan data yang

sama, bahwa tindakan ekspansif dari kerajaan Bolaang Mongondow terhadap

wilayah-wilayah di Minahasa saat itu, khususnya terhadap wilayah Tonsea berhasil

digagalkan dengan dibantu oleh wilayah Tondano dan Tombulu.

Page 33: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 91

Demikian dituturkan kembali oleh Rikson Karundeng, anggota

kelompok budaya Mawale Movement:

Perang Tondano adalah juga gambar mengenai bagaimana tua-tua bersepakat. Sesuai catatan sejarah, Dewan Pakasaan (terdiri dari pemimpin-pemimpin Pakasaan) bertemu di Toliang oki, kemudian mereka sepakat bahwa dari pada nanti mati di tempat lain, lebih baik berjuang mati-matian di sini. Kalau menang syukur, tapi kalau mati toh sama saja kan dikemudian hari manusia memang akan mati. Akhirnya mereka bersepakat dan memilih wilayah Mina wanua Tondano sebagai benteng pertahanan. Katanya kan menurut sumber-sumber lisan—sumber-sumber Barat tidak menyebut siapa saja yang terlibat perang-- tapi dari data-data lisan, mayoritas yang disebut di situ orang Tolour dan Tombulu terlibat di situ. Orang Tountemboan punya perang penting dalam perang Tondano yaitu mensuplai makanan. Selain terlibat mereka juga melakukan suplai. Yang lain kan sudah berdiam di benteng tidak tahu mau ambil makanan dari mana. Jalan tomohon-Tondano sekarang, itu bukan jalan utama dulu. Jalan Tomohon dari tombariri, jalan lurus itu sampai Tondano memang jalan tua…ada banyak jalan-jalan demikian/jalan tikus yang digunakan para waraney Tountemboan utk mensuplai makanan secara rutin ke Minawanua (maksudnya, pusat pertahanan Pakasaan Tolour/ Tondano).48

Deskripsi pembetukan relasi dan kerjasama diantara

Pakasa’an di Minahasa awal tersebut menjelaskan, bahwa

Pakasa’an-pakasa’an yang kemudian berkembang menjadi

Minahasa berasal dari wilayah-wilayah, dialek bahasa dan ritual

yang berbeda. Karena meskipun keempat pakasa’an awal

dipahami berasal dari keturunan Lumimu’ut-To’ar, tetapi

48 Wawancara dengan Rikson Karundeng, anggota kelompok budaya Mawale

Movement, 8 Maret 2015, di Manado.

Page 34: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

92 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

mereka merupakan kumpulan taranak yang berbeda satu sama

lain yang disatukan dalam pakasa’an. Pakasa’an-pakasa’an

tersebut awalnya adalah orang-orang asing satu terhadap yang

lain, sebagaimana arti dari orang asing, yakni yang datang dari

luar negeri, daerah, atau lingkungan. 49 Selain itu, keasingan

antar pakasa’an, karena mereka berasal dari komunitas yang

memiliki bahasa, dialek dan ritual berbeda. Bahkan dalam

perkembangan kemudian, ketika semakin meluas kekuasaan

Belanda di tanah Minahasa, dilakukan penataan ulang wilayah

Minahasa oleh pemerintah Belanda. Belanda kemudian

memasukan Ponosokan, Tonsawang, Bantenan, dan Bantik, yang

awalnya merupakan wilayah kekuasaan Bolang-Mongondow,

menjadi pakasaan baru sekaligus bagian dari Minahasa.

Berdasar penataan wilayah demikian, Minahasa selanjutnya

dikenal sebagai wilayah yang memiliki delapan pakasaan.

Gambar 4.1 Peta Pakasa’an50

Realitas Minahasa awal demikian, juga menegaskan

bahwa perjumpaan dan relasi yang mendalam dengan orang

asing/pendatang51 adalah juga bagian dari proses menjadi

49 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ketiga (Jakarta: Gramedia, 1991),61.

50

Mieke Schouten, Minahasan…14.

51

Yang saya maksudkan dengan tanah Minahasa dalam bagian ini, yakni daerah-

daerah yang menjadi wilayah Minahasa awal dan kemudian meluas di zaman

Page 35: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 93

Mahasa/Minaesa atau selanjutnya dikenal dengan sebutan

Minahasa. Proses menjadi tersebut juga mendeskripsikan bahwa

kebersamaan diantara pakasa’an-pakasa’an yang berkumpul

dalam semangat mahasa telah melahirkan realitas berbeda bagi

semua pakasa’an. Realitas tersebut adalah realitas baru yang

mau tidak mau mendorong semua pakasa’an memahami

keberadaan mereka dalam pemaknaan baru. Tentu saja, upaya

memahami secara baru tersebut juga berlangsung dalam

pemaknaan diri mereka sesuai walak dan pakasa’an masing-

masing. Pada posisi demikian saya memahami, bahwa dalam

proses pemaknaan diri secara baru terjadi tarik-menarik antara

identitas pakasaan – dengan kepentingannya masing-masing—

dengan identitas Minahasa yang berbeda tersebut. Merosotnya

semangat penyatuan setelah tujuan dan kepentingan pakasa’an

tercapaimerupakansalahsatu contoh dari tarik menarik dua

identitas tersebut.52 Di sisi lain, proses tarik-menarik demikian

menegaskan bahwa sejak awal Minahasa bukanlah realitas yang

homogen; sebaliknya adalah realitas yang plural dan kolektif.

Minahasa adalah kumpulan taranak yang berkumpul dan

menyatu ketika menghadapi masalah, tetapi kemudian kembali

menjadi taranak yang independen satu terhadap yang lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, independensi pakasa’an

terdeskripsi juga dalam ucapan kultural, yakni sa kita esa

sumerar kita, sa kita sumerar esa kita (jika kita satu, baiklah kita

menyebar. Jika kita menyebar, tetapi kita adalah satu). Ucapan

kultural yang mendeskripsikan bagaimana makna dari ikatan

yang dibangun diantara pakasaan yang selanjutnya menjadi

dasar idependensi dalam relasi diantara mereka.

Sistim idependensi demikian, menurut para pelaku

budaya didasarkan pada ikrar diantara mereka. Ikrar yang

penjajahan Kolonial Belanda. Daerah-daerah tersebut, yakni Bitung dan Minahasa

keseluruhan (sekarang terbagi menjadi Minahasa induk, Minahasa Utara, Minahasa

Tenggara dan Minahasa Selatan), ditambah dengan kota Manado yang di masa

Minahasa awal menjadi pintu masuk menuju ke pemukiman Minahasa. 52 Paul Richard Renwarin, Matuari Wo…50-51.

Page 36: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

94 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

disyairkan sebagai Esa cita waya, tou peleng masu’at. Cawana si

parukuan cawana si pakuruan, pute waya tou maesa cita (satu

kita semua. Tidak boleh disembah atau menyembah sesama.

Semua manusia itu sama).53Ikrar ini menggambarkan juga

mengenai bagaimana nilai-nilai Tou terkonstruksi bersamaan

dengan tantangan dan kebutuhan yang dihadapi kumpulan-

kumpulan taranak Minahasa awal.

5. Perjumpaan dan pembauran Taranak dengan pendatang

Orang Minahasa umumnya tinggal di pegunungan,

karena daerah pesisir pantai hanya dihuni oleh para Tona’as

penjaga batas dan turunannya (taranaknya). Karenanya,

sebelum orang asing/pendatang masuk ke daerah pedalaman

(pegunungan) yang menjadi daerah hunian orang Minahasa,

mereka harus melewati pos-pos penjagaan yang dijaga oleh para

Tona’as penjaga batas. Tona’as-tona’as inilah yang kemudian

memutuskan apakah orang asing tersebut dapat masuk ke tanah

Minahasa atau tidak.

Posisi tempat tinggal orang Minahasa awal tersebut

menyebabkan mereka memandang dari bukit/dataran tinggi

terhadap orang asing yang datang dari arah pantai. Karenanya

ada tiga sebutan yang umum mereka gunakan bagi orang asing,

yakni pasekotan (yang datang dari air/ orang pelayaran) dan

tasikela (yang datang dari laut), dan mangindano (yang datang

dari air).

Dalam wawancara dan FGD, saya menyimpulkan bahwa

tradisi lisan mengenai orang asing/pendatang, terutama

berkaitan dengan cerita bagaimana relasi yang terbangun di

awal kedatangan mereka. Relasi tersebut terkait dengan

penerimaan dan penolakkan terhadap kehadiran pendatang

53 Wawancara dengan Taroreh, Oktober 2014, di Manado, Wowor, Januari 2015,

di Manado, Kelompok Mawale Movemment, Februari 2015, di Manado.

Page 37: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 95

asing. Karenanya, bentuk dari relasi pendatang dengan leluhur

(dalam pakasa’an-pakasa’an) juga terjadi dalam bentuk berbeda,

yakni ada pakasa’an yang menjalin persahabatan dan kemitraan.

Di sisi lain, ada pakasa’an yang terlibat konflik, terutama karena

pelanggaran yang dilakukan pendatang terhadap kesepakatan

tiwa Lumimuut Toar.

Perjumpaan komunitas Minahasa awal dengan

pendatang asing, dimulai dengan kedatangan bangsa-bangsa

tersebut ke tanah Minahasa. Dokumen sejarah yang menjadi

acuan para peneliti Minahasa, menjelaskan bahwa bangsa asing

yang pertama berkunjung ke tanah Minahasa adalah Portugis

dan Spanyol.

Portugis diperkirakan datang ke Minahasa pada tahun

1512, tetapi penetapan tahun tersebut tidak didukung oleh data

yang kuat. Satu-satunya acuan yang dipakai adalah peta yang

dibuat sekitar tahun 1512 oleh seorang Juru mudi Portugis. Juru

mudi tersebut mencatat, bahwa Minahasa adalah pulau damar

yang menghasilkan kayu cendana.54 Dokumen yang lebih jelas

mengenai kedatangan Portugis, yakni laporan mengenai

kedatangan paderi Diogo de Magelhaes sekitar abad XVI yang

kemudian mengkristekan 1500 orang termasuk raja Manado.

Persoalan lain yang muncul bertolak dari data tersebut, yakni

bahwa Manado (yang terletak dipulau Sulawesi, yakni daerah

pesisir pantai yang menjadi salah satu pintu masuk ke

pedalaman Minahasa) nanti dikenal dengan nama Manado

sekitar tahun 1680 setelah benteng kayu VOC Belanda didirikan

di muara sungai Wenang (yang kemudian dinamakan

Manado).55 Sementara itu, satu-satunya kerajaan yang dikenal

juga sebagai kerajaan Manado yang ada di perairan lepas pantai

Sulawesi, yakni kerajaan Babontehu/ Manado Tua (Manado Tua

54 Watuseke, Sedjarah Minahasa. (Manado: Tanpa Penerbit, 1968),17.

55

H.M. Taulu, Bunga Rampai Sejarah dan Antropologi. BudayaMinahasa

(Manado: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Propinsi

Sulawesi Utara, 1981),15.

Page 38: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

96 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

adalah satu pulau yang terletak dilepas pantai pulau Sulawesi

berhadapan dengan pesisir pantai kota Manado). Karena itu,

banyak peneliti Minahasa sepakat bahwa kunjungan paderi

Diogo de Magelhaes dan pengkristenan 1500 orang dilakukan di

kerajaan Manado tua, bukan di Manado (pulau Sulawesi).

Catatan lain mengenai kedatangan Portugis di Minahasa

ditemukan juga dalam laporan mengenai kunjungan paderi

Mascarenhas pada tahun 1568. Meskipun demikian tidak ada

keterangan jelas mengenai bagaimana pengaruh kedatangan

Mascarenhas di Minahasa, selain catatan bahwa beliau

menerima utusan orang-orang Minahasa di pedalaman yang

meminta dibaptiskan tetapi tidak dipenuhi olehnya.56 Itu

artinya, Mascarenhas hanya mengunjungi pesisir pantai Manado

dan belum masuk ke pedalaman Minahasa.

Kunjungan orang-orang Minahasa pedalaman yang

meminta untuk dibaptispun melahirkan pertanyaan penting.

Apakah permintaan tersebut lahir dari kesadaran akan

kebutuhan untuk menjadi Katolik atau lebih tepat diinterpretasi

sebagai bagian dari upaya mencari sekutu? Karena dari laporan

para misionaris proses pengkristenan orang-orang Minahasa di

pedalaman bukan hal mudah dilakukan. Kesulitan tersebut jelas

dalam laporan Pastor Spanyol Bas Palamino mengenai misi

pengkristenan yang ditolak oleh masyakat Minahasa pedalaman

(penjelasan mengenai pastor Palomino akan dijelaskan di bagian

selanjutnya). Karenanya, sulit memahami permintaan tersebut

sebagai murni kebutuhan dan kesadaran untuk menjadi Katolik.

Di sisi lain, konflik antar walak yang terjadi mendorong

walak-walak kecil/lemah sangat mebutuhkan sekutu untuk

mengamankan mereka dari tekanan walak-walak lain.

Karenanya, permohonan untuk dibaptis lebih bisa diterima

sebagai upaya orang pedalaman Minahasa untuk mendapatkan

sekutu.

56 Watuseke, Sedjarah …, 17.

Page 39: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 97

Kurang kuatnya data mengenai Portugis sebagai bangsa

asing pertama yang datang di Minahasa pada tahun 1512,

menempatkan Spanyol sebagai pendatang pertama di tanah

Minahasa. Ada beberapa perkiraan terkait dengan tahun ke

datangan Spanyol di Minahasa. Taulu menyimpulkan bahwa

Spanyol diperkirakan masuk tanah Minahasa pada tahun 1524

melalui kehadiran para tawanan Portugis di Ternate yang

melarikan diri ke Minahasa. Para tahan Portugis tersebut adalah

para bekas awak kapal Trinidad dari armada Ferdinan

Magelhaes. Mereka melarikan diri ke Minahasa di bantu oleh

Raja Manado Tua.57 Tidak ada penjelasan lain mengenai

bagaimana relasi yang terbangun antara para pendatang

Spanyol dengan masyarakat di tanah Minahasa. Taulu hanya

menjelaskan bahwa para pendatang Spanyol tersebut mendarat

di Amurang kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke

Pontak, Tulau, Toumuhung dan ke Kali (daerah-daerah yang

menjadi pemukiman Minahasa awal). 58 Penyebutan mengenai

daerah-daerah yang dijajaki oleh para pendatang Spanyol

tersebutpun tidak disertai dengan penjelasan mengenai

bagaimana pengaruh kedatangan mereka di daerah-daerah

tersebut.

Data lain yang lebih signifikan menunjuk kegiatan para

pendatang Spanyol, yakni laporan kunjungan paderi Scialamonte

dan Cosma Pintto pada tahun 1617. Dalam laporan tersebut

dijelaskan, bahwa kedua pederi tersebut tinggal selama dua

tahun di Manado. Mereka juga melaksanakan perayaan besar

serta mendirikan Salib yang tinggi di tepi pantai Wenang-

Manado. Meskipun demikian, Scialaminte dan Cosma Pintto

belum sempat masuk ke pedalaman tanah Minahasa yang

menjadi daerah pemukiman komunitas awal Minahasa.59

57 Taulu, Bunga…, 14.

58

Ibid.

59 Jessy Wenas, Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa (Jakarta: Institut Seni

Budaya Sulawei Utara, 2007), 43.

Page 40: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

98 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Misionaris Spanyol pertama yang berhasil masuk dan

berelasi dengan komunitas Minahasa di pedalaman, yakni Pastor

Blas Palomino pada akhir bulan April 1619. Palomino masuk ke

Minahasa melalui Kali (salah satu desa di Minahasa) dan juga

mengunjungi Kakaskasen, Sarongsong, Tombariri, dan

Tondano.60 Di Kali dia bertemu dan berbicara dengan pemimpin

masyarakat (ukung) bernama Wongkar. Mereka membicarakan

maksud kedatangannya di Kali, yakni untuk mengajarkan ajaran

Katolik dan melakukan pembaptisan. Dalam catatan hariannya,

Das Palomino menceritakan bagaimana suasana perjumpaan

dengan pemimpin dan masyarakat Kali, sebagai berikut:

Di mana-mana penduduk menerima kami sebagai sahabat,…. Waktu itu rakyat sedang sibuk dengan panen padi. Pada satu ketika, mereka akhirnya mengatakan bahwa imam-imam tidak boleh bermalam di sana karena mereka harus merayakan persembahan pesta panen dan mempersembahkan korban kepada dewa-dewanya. Jadi, selama itu pastor tidak boleh tinggal di daerahnya dan mereka minta agar kami berangkat saja dari sana. Namun mereka berjanji akan mengadakan lagi rapat nanti. Kami pulang dengan harapan kecil saja dan menunggu saat kunjungan yang nanti mereka akan tentukan waktunya. Memang, kami tidak dapat memaksa mereka melihat mereka belum masuk kedalam kuasa Raja Spanyol sehingga mereka bukan bawahan kami.61

Pastor Puga, biograf dari Blas Palomino menambahkan

dalam catatannya mengenai perjumpaan Palomino dan

rombongan dengan pemimpin dan masyakat Kali.

Mereka berkata bahwa sesuai dengan apa yang telah ditetapkan, mereka tidak dapat menerima

60 Watuseke, Sedjarah…, 19

61

Blas Palomino, Laporan tentang Kegiatan Misi di Sulawesi Utara, terjemahan

H B. Palar dan J. Van Paasen dalam Y Van Paasen, Blas Plamino, 20,21.

Page 41: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 99

seorangpun pastor dan tidak akan mengijinkannya tinggal di kampung mereka. Dengan alasannya: bagi seorang pastor tidak ada kemungkinan lain baginya selain akan mengkristenkan orang-orang, karna untuk itulah ia datang dan begitulah kewajibannya. Selanjutnya, pastor itu akan berusaha memisahkannya dari upacara nenek moyang (foso-foso) serta membuat mereka lupa akan dewa-dewa. Seorang akan terpengaruh dan yang lain tidak. Dengan begitu perpecahan akan timbul diantara taranak-taranak (anggota keluarga), antara bapa dan anak akan timbul pertentangan dan seluruh negeri akan terbagi. Oleh karena itu mereka tidak mengijinkan pastor ke situ.62

Pastor Blas Palomino akhirnya meninggalkan Kali dan

berangkat ke Makasar untuk melaporkan mengenai

pekerjaannya yang belum mencapai hasil maksimal. Selanjutnya

dari Makasar Pastor Blas Palomino hendak kembali ke Ternate.

Dalam perjalanan ke Ternate karena angin sakal menerpa kapal

dan karena persediaan makan mulai menipis, mereka mendarat

di Kemah (sekitar 33 km dari Manado, terletak di wilah Tonsea).

Pastor Blas berbicara dan berunding dengan beberapa

penduduk setempat tentang bagaimana jalan kembali ke

manado dan mengatur barter untuk mendapatkan bahan

makanan dari penduduk. Keesokan harinya sesuai perjanjian

barter yang disepakati, Pastor Blas Palomino kembali bertemu

dengan penduduk Kemah, tetapi ternyata mereka telah bersiap

menjebak Pastor. Pastor Pedro de la Concepeion mencatat,

bahwa rombongan mereka diserang dengan tombak oleh

penduduk dan Pastor Blas Palomino terbunuh dalam insiden

tersebut.63

62 Ibid, 26.

63

Pedro de la Concepeion, Hidup dan Kematian pastor Blas Palomino Misionaris

di Minahasa tahun 1619-1622, dalam Y Van, Ibid, 27-30.

Page 42: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

100 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Sangat minimnya deskripsi mengenai bagaimana relasi

singkat dengan masyarakat Kemah pada saat Pastor Blas

Palomino dan rombongan berkunjung ke sana, turut

mengaburkan penyebab perubahan sikap masyarakat. Kemah di

masa Minahasa awal adalah daerah pesisir pantai yang menjadi

salah satu pintu masuk pendatang ke daerah pemukiman

Minahasa. Artinya, menerima kunjungan pendatang bukan

sesuatu yang asing, sebagaimana yang digambarkan Palomino

mengenai pertemuan mereka pada hari pertama.64 Palomino

mencatat bahwa pada hari pertama pertemuan dengan

beberapa masyarakat Kemah berlangsung baik. Beberapa

masyarakat yang sempat naik ke kapal dilayani dengan baik oleh

pastor Palomino dan rombongan.65 Karenanya, tidak ada

kesulitan untuk melakukan perjanjian barter yang sedianya

direalisasikan pada keesokan harinya. Pada hari ke dua, suasana

berubah drastis dan Pastor Blas Palamino terbunuh dalam

serangan yang telah direncanakan oleh masyarakat setempat.

Kisah tragis yang dialami pastor Blas Palamino menjadi catatan

penting mengenai relasi singkat yang berakhir tragis antara

masyarakat/walak di Kemah dengan pendatang.

Tahun 1580, pengaruh Spanyol yang sistimatis di

Minahasa semakin menguat. Amurang dan Manado menjadi

pusat penjelajahan Spanyol ke pedalaman Minahasa. Dalam

wawancara dengan Fredy Wowor (pelaku budaya, khususnya

sebagai penterjemah ucapan-ucapan tua pada saat Tona’as

mengalami kerasukan roh leluhur), beliau menuturkan tradisi

kultural mengenai kedatangan orang Spanyol dan pendirian

benteng di Manado, sebagai berikut:

Orang Spanyol minta izin pada para pemimpin Minahasa untuk mendirikan Benteng dagang. Mereka kemudian mengambil kulit sapi besar dan menjelaskan bahwa benteng dan areal yang

64 Palamino, Laporan…, 26.

65

Ibid.

Page 43: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 101

mereka butuhkan hanya sebesar kulit sapi. Mereka mengundang ukung-ukung untuk makan bersama dan dalam makan bersama itu mereka melakukan percakapan dan meminta izin untuk mendirikan pos dagang di tanah Minahasa (Belakang Ex bioskop Benteng Manado). Para ukung menyetujui karena area yang dibayangkan untuk didirikan pos dagang hanya sebesar kulit sapi, tetapi ternyata orang Spanyol mengunting kulit sapi itu menjadi tali dan selanjutnya memakai itu sebagai ukuran dari area benteng yang akan mereka dirikan. Para ukung yang merasa ditipu akhirnya merelakan tanah sebesar itu kepada Spanyol, tetapi lama-kelamaan mulai terjadi yang tidak sesuai dengan perjanjian.66

Kehadiran Spanyol di Minahasa era tersebut

terdeskripsikan melakukan tindak semena-mena dan tidak

menghargai masyarakat lokal. Perampasan hasil bumi dan

binatang peliharaan penduduk menjadi sasaran Spanyol. Mereka

juga melakukan tindakan pemerkosaan terhadap perempuan-

perempuan di Minahasa-- terutama di wilayah Pakasa’an

Tombulu. Akibatnya terjadi perlawanan terhadap Spanyol.67

Spanyol diusir, dikejar dan terjadi pembunuhan tanpa pandang

bulu, karena para misionarispun menjadi sasaran. Banyak orang

Spanyol yang terbunuh, tetapi ada juga yang berhasil melarikan

diri dan ada juga yang disembunyikan oleh orang Tombulu yang

telah bersahabat dekat atau kawin mawin dengan mereka.68

66 Fredy Wowor, 2015.

67

Supit, Minahasa, 82.

68

Bandingkan juga dengan informasi yang disampaikan Taulu mengenai sepak

terjang Spanyol di Pakasa’an Tombulu. Taulu memaparkan bahwa kebrutalan dan

ketidaksopanan Spanyol terhadap masyarakat Tombulu akhirnya disikapi dengan

keras oleh opo Lumi salah seorang ukung Tombulu. Beliau mengumumkan

pembunuhan total kepada seluruh orang Spanyol yang berada di Tombulu. Taulu

mengutip catatan pastor Juan Yranzo yang menulis bahwa malam pertama setelah

pengumuman perang oleh Lumi, orang Spanyol ditangkap dan 19 orang langsung

dipancung kepala. Dalam pergolakan tersebut ada 44 orang Spanyol yang

dipancung. Pastor Juan Yranzo sendiri berhasil menyelamatkan diri karena ditolong

Page 44: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

102 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Data-data tersebut memaparkan bahwa relasi antara

Spanyol dan masyarakat Minahasa sangat buruk tersebut,

terutama terjadi di wilayah Pakasa’an Tombulu. Ada tradisi lisan

yang masih terpelihara di Kali-Lotta (salah satu wilayah

Pakasa’an Tombulu) sampai saat ini, sebagaimana yang

dituturkan Tona’as Rinto Taroreh dan Mananombol

(pendamping Tona’as sekaligus penerjemah syair ritual) Fredy

Wowor:

Orang-orang Spanyol merampok hasil pertanian petani atau membayar dengan harga yang sangat murah, melakukan pelecehan seks dan pekosaan pada perempuan-perempuan Minahasa. Ada cerita lisan di Lota-kali, yang menceritakan bahwa pemutusan hubungan dengan Spanyol ditandai dengan peristiwa ritus pengejaran dan pemotongan kepala orang-orang Spanyol, yang didahului dengan pengejaran kepala imam Spanyol untuk di potong karena dia dianggap bertanggung-jawab terhadap perbuatan tidak benar orang-orang Spanyol. Dan itu dilakukan dengan ritual, jadi tidak sembarang memotong kepala imam dan orang Spanyol lainnya. Pemotongan kepala itu adalah ritual kunci untuk semua konflik yang terjadi dengan Spanyol. Tapi ketika cerita itu ditulis terlepas dari konteks cerita, sehingga terkesan seolah-olah tindakan bar-bar.69

Cerita kebrutalan Spanyol di pakasa’aan Tombulu

rupanya telah terdengar juga oleh para pemimpin pakasa’an

Tolour/ Tondano, karena itu ketika Spanyol datang di wilayah

Tondano mereka mendapat perlawanan. Pakasa’an Tondano

menolak dan melarang dengan keras Spanyol memasuki wilayah

Tondano. Karenanya, Spanyol merubah pendekatan terhadap

oleh seorang kenalan dan bersembunyi di jurang kali selama tiga tahun. Taulu,

Bunga Rampai,… 15,16.

69 Wowor, Manado, 2015 dan Taroreh, Manado 2014.

Page 45: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 103

ukung-ukung Tondano. Spanyol menawarkan persahabatan dan

hubungan dagang berdasar persamaan derajat. 70

Perubahan sikap Spanyol tersebut pada akhirnya dapat

mengambil hati walak Tondono, mereka diterima dengan baik

sebagai tamu. Menurut Supit, penerimaan persahabatan dan

relasi dagang Spanyol oleh para walak Tondano juga

dimungkinkan oleh kebutuhan walak Tondano untuk

memperoleh kawan yang dapat menjadi sekutu berhadapan

dengan tekanan walak-walak lain. Selain itu, Supit menilai

bahwa persahabatan dengan Spanyol memberi dampak positif

bagi walak Tondano. Walak Tondano belajar banyak hal positif,

antara lain mengenai cara membuat benteng yang kukuh di atas

air, strategi dan taktik perang, membangun rumah yang baik dan

kuat, pandai besi, dan meningkatkan pertanian padi.71

Selain kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam

kehidupan walak Tondano, relasi dengan Spanyolpun

memudahkan para misionaris Katolik untuk masuk dan

menyebarkan ajaran. Pada tahun 1640 di masa pastor Iranzo,

misionaris Katolik telah mengirim sekitar 15 orang kepala

kampung untuk belajar agama Katolik di Ternate selama satu

tahun.72 Demikian positif relasi yang terbangun antara Spanyol

dan Pakasa’an Tondano, karenanya ketika Belanda—sesuai

permintaan dan undangan beberapa ukung—datang ke

Minahasa untuk membantu mengusir Spanyol, para ukung

Tondano tetap menaruh simpati pada Spanyol.73

Belanda—VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)-- di

Ternate datang ke Minahasa atas undangan beberapa ukung

yang berharap dapat berkoalisi untuk mengusir Spanyol.

Undangan tersebut awalnya tidak direspon oleh Belanda, nanti

sekitar tahun 1655 Gubernur Simon Cos dan pasukan datang ke

70 Supit, Minahasa.., Ibid

71

Ibid.

72

Ibid, 83.

73

Watuseke, Minahasa…, 22.

Page 46: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

104 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Manado. Cos mendirikan benteng sederhana di pesisir pantai

Manado dan menetapkan Paulus Andriessen sebagai residen

Belanda yang pertama di Minahasa.74

Pendirian benteng oleh Belanda tidak dengan sendirinya

menjadikan Belanda sebagai bangsa asing satu-satunya di tanah

Minahasa. Hal tersebut terukur dari pasokan beras masyarakat

lokal untuk Belanda yang hanya sekitar satu ton, padahal

Minahasa dinilai sebagai penghasil beras oleh Belanda. Ternyata

minimnya pasokan beras masyarakat Minahasa untuk Belanda

disebabkan oleh masih berlangsungnya perdagangan beras

antara Spanyol dan Pakasa’an Tondano, dan antara kerajaan

Makasar dan Spanyol di Amurang.75

Untuk mengoptimalnya pasokan beras dari pakasa’an-

pakasa’an dan terutama karena masih ada beberapa pakasaan

yang menolak untuk bekerjasama dengan Belanda, Gubernur

Simon Cos melakukan penaklukkan. Imbasnya, terjadi perang

antara Belanda dan Paksa’an Tondano. Demikian juga dengan

pakasa’an-pakasa’an di wilayah Amurang, yang akhirnya

bersedia bekerjsama dengan Belanda menyediakan pasokan

beras yang dibutuhkan. Tahun 1665, Belanda—melalui VOC—

berhasil mendapatkan beras sebanyak 135 ton dari Amurang

dan juga hasil-hasil lain seperti kulit penyu dan kulit kayu

lahendong (bahan pembuatan baju).76

Relasi antara Belanda dan Pakasa’an-pakasa’an semakin

signifikan pada tahun-tahun kemudian, terutama pada tahun

1677 dibawah pimpinan Padtbrugge. Padtbruge melakukan

ekspedisi di seluruh tanah Minahasa saat itu, dan memaksa

pakasa’an-paksa’an yang belum bekerja sama dengan Belanda

untuk bekerja sama. Relasi kerjasama VOC Belanda dan

Pakasa’an-pakasa’an pada tahun 1679 ditetapkan dalam

dokumen perjanjian yang dikenal sebagai Verbon 10 Januari

74 Ibid. Bandingkan juga dengan penjelasan Taulu, Bunga.., 16 dan Supit, Ibid, 88.

75

Watuseke, Minahasa…, 23.

76 Ibid.

Page 47: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 105

1679. Dokumen perjanjian tersebut dimaksudkan sebagai

dokumen yang mengatur kemitraan antara Belanda dan

Pakasa’an-pakasa’an di Minahasa.

Watuseke mencatat, bahwa perjanjian tersebut adalah

akhir dari kebebasan atau kemerdekaan orang-orang Minahasa

berhadapan dengan Belanda. Karena menurut Watuseke,

perjanjian kerjasama tersebut lebih mencerminkan penaklukan

Belanda dari pada kemitraan dengan Pakasa’an-pakasa’an

Minahasa. Demikian Watuseke menyimpulkan isi Verbon 10

januari 1679, sebagai berikut:

Minahasa berdjandji:

1. mengakui kekuasaan V.O.C

2. membantu V.O.C

3. memasukkan padi dan beras pada V.O.C

4. Menjelenggarakan benteng Amsterdam di Manado

V.O.C. berdjandji:

1. melindungi semua kepala-kepala walak

2. membebaskan Minahasa dari padjak

3. tidak menuntut alat2 kaju untuk diekspor

4. kontrak ini berlaku djuga untuk suku-suku Bantik,

Tonsawang, Ponosokan dan Ratahan (dahulu mereka

adalah daerah taklukkan Bolaang)77

Penilaian berbeda dikemukakan oleh Supit yang

menyimpulkan, bahwa Verbon 1679 tidak dapat dimengerti

sebagai tanda hilangnya kemerdekaan masyarakat Minahasa.

Karena, para ukung dengan sadar memposisikan diri sebagai

mitra. Karena itu, ketika relasi “kerjasama” tersebut kemudian

dihentikan oleh pemerintah kolonial Belanda, para ukung

mendesak agar tetap dilanjutkan. Jika sejak awal relasi tersebut

77 Ibid, 25.

Page 48: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

106 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

adalah relasi kekuasaan/penaklukkan pastilah mereka tidak

akan menuntut agar relasi tersebut tetap dijalankan.78

Supit selanjutnya mengkaji, bahwa telah terjadi

kecurangan dan manipulasi yang dilakukan pemerintah kolonial

Belanda terhadap para ukung melalui dokumen penjanjian

tersebut. Supit menduga ada perbedaan antara yang ditulis

pemerintah Kolonial Belanda dalam dokumen perjanjian dengan

perjanjian lisan antara mereka dengan para ukung. Dalam

dokumen, pemerintah kolonial Belanda merumuskan bentuk

relasi tersebut sebagai penakluk dan yang ditaklukan.

Sebaliknya, dalam penjelasan kepada para ukung diduga kuat

pemerintah kolonial belanda menggambarkan bentuk relasi

tersebut adalah persahabatan; relasi yang sejajar dan saling

menguntungkan. Penilaian demikian didukung oleh tradisi lisan

yang menggambarkan orang-orang Minahasa (dalam Pakasa’an)

sebagai orang-orang merdeka dan tidak mau tunduk pada orang

asing atau pimpinan yang tidak mereka pilih.79

Keberadaan VOC di Indonesia berakhir pada tahun 1731,

selanjutnya pemerintahan di Indonesia beralih pada pemerintah

kolonial Belanda. Khusus di Minahasa, pemerintahan kolonial

Belanda sempat terinterupsi dengan kehadiran Inggris yang

kemudian secara resmi menduduki Minahasa sejak tahun 1801.

Selama pemerintahan Inggris di Minahasa, Tondano didirikan

kembali (1812) dan orang-orang Tondano yang tersebar akibat

perang Tondano melawan Belanda dikumpulkan kembali.

Tahun 1817 Inggris meninggalkan Minahasa dan

pemerintahan diserahkan kembali kepada Belanda.

Pemerintahan Belanda di Minahasa secara resmi dimulai sejak

tahun 1817-1942. Di masa pemerintahan yang panjang tersebut,

78 Wowor, 2015, Taroreh, 2014 dan FGD dengan para pimpinan Badan

Kerjasama Antar Umat Beragama Sulut (BKSAUA), Januari 2015, di Manado.

79 lihat juga dalam Y. Van Parsen, Blas Palomino…20. Van Parsen juga

mencatat ketidakseganan orang Minahasa untuk mengganti pemimpin yang tidak

lagi menjalankan kesepakatan bersama.

Page 49: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 107

kekuasaan Belanda semakin kuat dan posisi orang Minahasa

bergeser dari mitra menjadi masyarakat jajahan.

Minahasa sebagai masyarakat jajahan tentu saja

mengalami kooptasi dan tidak memiliki kebebasan

menyelenggarakan kepemimpinan dalam walak dan pakasa’an.

Sistim kepemimpinan di Minahasa mengalami perubahan, yang

sebenarnya telah dimulai sejak zaman VOC dan semakin

sistimatis di masa pemerintahan wakil pemerintah Belanda di

Minahasa.

Perubahan-perubahan tersebut antara lain, Minahasa

mulai mengenal jabatan Residen, yakni perwakilan pemerintah

Belanda di Manado. Jabatan Hukum Mayoor Minahasa, yang

sudah dimulai sejak masa VOC, semakin menemukan bentuknya

di Masa kolonial Belanda. Pakasa’an diganti menjadi distrik,

sedangkan walak menjadi distrik bawahan. Kepala walak

disebut Hukum Besar dan wakilnya disebut Hukum Kedua,

sedangkan kepala desa disebut Hukum Tua. Di samping itu,

dalam walak-walak yang memiliki serdadu dikenal juga jabatan

Kapitein, yakni koordinator serdadu.80

Jabatan-jabatan tersebut di atas, tidak melalui proses

pemilihan oleh rakyat sebagaimana sistim pemilihan pemimpin

di Minahasa saat itu. Sebaliknya, para pemimipin tersebut dipilih

dan ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Tentu saja penetapan

demikian tidak begitu saja diterima oleh para pemimpin

Minahasa. Keberatan anak-anak Lontoh dan Paat terkait dengan

pengangkatan Tololiu Supit sebagai Hukum Mayoor Minahasa

(yang terdiri dari Tombariri, Tomohon, dan Tonsarongsong),

adalah salah satu contoh penolakan terhadap penataan sistim

pemerintahan demikian.81

80 Jessy Wenas, Sejarah Dan Kebudayaan Minahasa, (Manado: Institut Seni

Budaya Sulawesi Utara, 2007), 47,51.

81 Ibid.

Page 50: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

108 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Belanda juga melakukan pengaturan ulang pakasa’an-

pakasa’an. Contoh yang paling kuat mengenai pengaturan ulang

tersebut, yakni penyatuan yang dilakukan kolonial Belanda

terhadap Tonsawang, Pasan, Ratahan, Panosokan dan Bantik

yang awalnya adalah wilayah kerajaan Bolaang-mongondow

menjadi pakasa’an baru di tanah Minahasa.82

Sisi lain dari bercokolnya Belanda di tanah Minahasa,

yakni perubahan-perubahan di bidang pendidikan dan

kesehatan. Dua bidang ini terutama dikerjakan oleh pada

Zending yang mendapatkan akses dari pemerintah Belanda. Di

lingkungan Protestan Minahasa, misionaris J.G. Schwarz, J.F.

Riedel, dan C.T. Herman merupakan tenaga-tenagan Misi yang

tidak hanya mementingkan usaha-usaha pengkristenan, tetapi

juga pendidikan dan kesehatan masyarakat Minahasa. Kemajuan

kehidupan Masayarakat Minahasa di bawah pemerintahan

kolonial Belanda, terutama karena kerja keras para misionaris

tersebut. 83

Kemajuan di bidang pendidikan tersebut, ditandai juga

dengan pendirian sekolah-sekolah, kesempatan bersekolah bagi

semua anak negeri di Minahasa. Tahun 1872 dibuka sekolah

Pamongpraja/ Hoofdenschool (sekolah anak-anak kepala) yang

merupakan satu-satunya sekolah demikian di Indonesia. Tahun

1881 dibuka sekolah khusus untuk para perempuan Minahasa

yang disebut Meisjesschool/sekolah nona. Selanjutnya, pada

tahun 1901 dbuka sekolah kelas VII Manadosche School, yakni

sekolah khusus yang kemudian berubah menjadi HIS. Sekolah-

sekolah setingkatan juga di buka di Tondano, Tomohon dan

Amurang, bahkan sekolah-sekolah lanjutan. 84

82 Supit, Minahasa, 97.

83

Penjelasan lebih mendalam mengenai siapa dan bagaimana J.G. Schwars, J.F.

Riedel dan C.T. Herman serta bagaimana kerja mereka dibidang pendidikan dan

kesehatan masyarakat, dapat dibaca dalam kajian Bertha Pantouw, Perubahan…

84

Watuseke, Minahasa…, 45,48.

Page 51: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 109

Perkembangan di bidang pendidikan yang terjadi di

Minahasa pada zaman kolonial Belanda memang unik.

Masyarakat Minahasa sebagai jajahan mendapat kesempatan

untuk mengembangkan kualitas diri mereka melalui pendidikan

yang disediakan kolonial Belanda. Bahkan, beberapa pemuda

berprestasi diberi kesempatan oleh Belanda untuk melanjutkan

studi di luar negeri. Salah satu pemuda yang studi di luar negeri,

yakni DR. G.S.S.J. Ratu Langie; Beliau adalah doktor ilmu pasti

lulusan Swis (1919). 85

Ketika Ratu Langie kembali ke tanah Minahasa, dia

kemudian terpilih sebagai sekretaris Minahasa Raad (Dewan

Minahasa di Manado. Tahun 1928-1937 Ratu Langie menjadi

anggota Volskraad mewakili Persatuan Minahasa. Beliau

selanjutnya berkiprah bersama para pemikir dan pejuang

Nasional, seperti Soekarno dan Hatta.86

Tahun 1942 Belanda mengakhiri pemerintahannya di

Indonesia, bersamaan dengan itu Jepang menjadi penguasa

tunggal di Indonesia. Masuknya Jepang di Minahasa, disertai

dengan pembasmian tentara KNIL orang Minahasa. Selanjutnya

Jepang membentuk pemerintahan Militer yang disebut

Sjutjosjotjo,87 serta memberi hak campur tangan dalam

pemerintahan kepada Indonesia. Di Tanah Minahasa dibentuk

Sjukai (Dewan keresidenan) dan untuk kota Manado dibentuk

Sikai (Dewan Kota).88

Di masa pendudukan Jepang, sekolah-sekolah, gereja dan

perkantoran kembali digiatkan. Di bidang pertanian, Jepang

menganjurkan semua penduduk untuk menanam yang

pelaksanaannya diawasi langsung oleh para perwira Jepang

dengan disiplin yang ketat. Di sisi lain, tindakan kekerasan

terhadap masyarakat dengan alasan tidak disiplin juga menjadi

85 Ibid, 53.

86

Ibid.

87

Jessy, Sejarah…, 56.

88 Watuseke, Minahasa…, 57.

Page 52: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

110 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

pengalaman hidup yang tidak ringan bagi orang Minahasa.

Bahkan tidak terhindarkan tindak kekerasan seksual terhadap

perempuan-perempuan Minahasa, yang dikemudian hari

menjadi subyek permohonan maaf pemerintah Jepang.

Perjumpaan dan relasi dengan orang-orang asing/

pendatang sebagaimana yang dialami taranak dalam wale dan

Pakasa’an—baik ataupun tidak baik relasi yang terjadi—pastilah

telah turut memberi pengaruh pada proses pembentukan

Minahasa awal. Tidak berlebihan, jika saya mengatakan bahwa

proses pembentukan Minahasa awal berada dalam suasana tarik

menarik antara sikap terbuka yang telah mengakar kuat dalam

diri mereka karena pemahaman mengenai Tou yang mengkristal

dalam Tiwa Lumimuut-Toar dengan keberadaan sebagai

masyarakat yang mengalami kooptasi dan penguasaan oleh

orang-orang asing.

Uniknya, dalam konteks masyarakat Minahasa awal

relasi buruk dengan beberapa bangsa asing yang datang tidak

membuat mereka menjadi tertutup terhadap orang asing

lainnya. Relasi dagang yang mereka bangun dan pembauran

melalui perkawinan dengan orang-orang Cina yang kemudian

membangun perkampungan Cina di tanah Minahasa,89

merupakan salah satu contoh bagaimana orang Minahasa

memilih untuk membentuk identitas sesuai yang mereka

inginkan. Contoh lain, yakni penerimaan orang Minahasa

terhadap kelompok orang yang berasal dari suku Jawa dan

Sumatera90 yang datang ke Minahasa. Dua diantaranya, yakni

89 Dalam Fokus Group Discussion (FGD) dengan tokoh-tokoh BKSUA (Badan

Kerjasama Antar Umat Beragama) Propinsi Sulut, dituturkan oleh tokoh yang

mewakili Budha bahwa Cina mengenal kota Manado melalui kopi yang dipasarkan

Spanyol ke daratan Cina—karena kopi tersebut merupakan hasil tanah yang

ditanam Spanyol di tanah Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan

gudang kopi (kini seputar Pasar 45—nama tempat yang berada di pusat kota

Manado) yang kemudian menjadi daerah Pecinan. FGD dengan tokoh-tokoh

BKSUA Propinsi Sulut, 9 Januari 2015.

90

Tahun 1830-an, orang-orang buangan kolonial Belanda, yakni Imam Bonjol

dan pengikutnya dibuang ke Minahasa dan kemudian bermukim di Pineleng (salah

Page 53: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 111

Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya yang menjadi tahanan

politik Belanda dan di buang ke tanah Minahasa pada tahun

1929. Imam Bonjol dan seorang pengawalnya yang bernama

Apolos Minggu. Imam Bonjol meninggal di Lotta, Minahasa pada

tanggal 6 November 1864. Para pengikut Kyai Mojo dan

pengawal Tuanku Imam Bonjol tersebut tinggal di tanah

Minahasa, menikah dengan perempuan Minahasa (pengikut Kyai

Mojo menikah dengan anak-anak para ukung) bahkan diberikan

tanah untuk tempat tinggal dan lahan pertanian oleh para

pemimpin lokal.91

Dalam perkembangan selanjutnya, perjumpaan dengan

para pendatang lainnya yang datang ke tanah Minahasa semakin

tidak terhindarkan. Bersamaan dengan itu, batas-batas

pakasa’an menjadi semakin kabur. Terkait dengan hal tersebut,

menarik menggarisbawahi pemikiran Fredrik Barth tentang

penyebab kabur dan hilangnya batas antar etnis. Barth

menjelaskan bahwa meskipun awalnya setiap etnis membuat

dengan sengaja batas-batasnya berhadapan dengan etnis lain

demi menjaga kesinambungan etnisnya, lama kelamaan batas-

batas tersebut tidak lagi menjadi penghalang. Sebaliknya,

proses interaksi yang terjadi antar etnis akan mewujud dalam

satu tempat di Minahasa). Demikian juga Kyai Modjo dan pengikutnya yang

dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda dan selanjutnya membangun pemukiman

di Tondano di tanah yang diberikan pemimpin pakasa’an. Para pengikut Kyai

Mojo yang menikah dengan anak-anak pemimpin walak di Tolour tinggal di tanah

yang diberikan kepada mereka. Sekarang anak-cucu mereka tetap mendiami wilyah

tersebut yang kini dikenal dengan nama Kampung Jawa Tondano (Jaton). Anak-

cucu pengikut Kyai Mojo memiliki saudara dari garis ibunya yang tersebar di

kampong-kampung lainnya di Tondano, bahkan di kampung-kampung lainnya di

tanah Minahasa kini. Wawancara dengan Tokoh-tokoh agama dan Masyarakat

Kampung Jawa – para turunan pengikut Kyai Mojo, Tondano, 2015

91

Wawancara dengan keturunan pengikut Kyai Mojo, 25 Juni 2015, di Tondano;

wawancara dengan keturunan Apolos Minggu, 4 Mei 2015, di Lota Pineleng.

bandingkan juga dengan tulisan Djafar, Sukirman. H, Himpunan Pergerakan Perang

Di Panagara melalui Tiga Serangkai dalam Sambutan Para Walak Minahasa di

Tempat Pengasingan Jaton, (Jakarta: Timpari, 2008).

Page 54: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

112 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

potensi interaksi yang selanjutnya mendorong terjadinya

transformasi etnis.92

Dalam konteks relasi dalam walak dan antar pakasa’an

di tanah Minahasa, teori Barth bisa dipakai sebagai acuan untuk

memahami peleburan dari wale menjadi walak, walak menjadi

pakasa’an dan pakasa’an menjadi Minahasa sebagai hasil

konstruksi dari interaksi yang kuat yang berlangsung diantara

mereka. Bahkan dapat juga dipakai untuk memahami peleburan

atau proses asimilasi yang terjadi melalui perkawinan yang

kemudian membuka ruang bagi orang asing untuk menjadi

bagian dari Pakasa’an dan selanjutnya menjadi bagian dari

Minahasa.

Di masa kini proses pembauran karena perkawinan

tidak hanya menyebabkan batas-batas pakasa’an sebagaimana

yang ditetapkan leluhur menjadi kabur, tetapi juga sangat sulit

bagi orang Minahasa kini untuk mengklaim diri sebagai orang

asli Minahasa. Dengan nada positif, Denny Pinontoan, anggota

Mawale Movement menyimpulkan realitas tersebut sebagai

proses menjadi Minahasa yang telah dimulai sejak zaman para

leluhur.

Sebagaimana makna Tou Tumou yang bertumbuh kembang artinya kan dia berkreasi. Salah satu jalan yang dipilih leluhur sejak zaman lampau adalah membuka diri; dari 3 sub etnis, menjadi 4 lalu kemudian menjadi 9. Bahkan sekarang jadi lebih banyak karena ada juga yang disebut Minahasa plus. Karena dalam rangka kehidupan berlanjut, sehingga keterbukaan terhadap orang lain tidak dianggap sebagai ancaman. Karena Minahasa/malesung adalah itu. Karena Lumimuut-Toar itu kan dari luar. Saya kira cerita tentang Lumimuut-Toar yang berputar mengelilingi gunung dan kemudian bertemu, itu adalah

92 Frederich Barth, Ethnic Group and Boundries; The Social Organitation of

Culture Difference. (Oslo: Pensumtjeneste), 1994, 14,15.

Page 55: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 113

simbolisasi terhadap perjumpaan-perjumpaan. Cerita Lumimuut-toar sekarang ini yang ditemukan ada 50-an, lisan dan tulisan. Bahkan masing-masing komunitas mengembangkan. Nah, apa artinya itu? Menurut saya, Minahasa itu multi interpretatif, menjadi persoalan jika ditunggalkan karena karakter keterbukanya. Justru karena keterbukaan tersebut Minahasa mau berdialog dengan pendidikan modern Eropa; dia mau menerima kekristenan. Pada saat-saat tertentu sebagaimana dibuktikan dengan perang-perang (maksudnya dengan bangsa asing), bahwa ternyata orang Minahasa punya prinsip juga, yakni tentang kesetaraan.93

Di sisi lain, tidak semua orang Minahasa kini—termasuk

kelompok budaya—yang melihat keberadaan para pendatang

(kini) secara positif. Kecenderungan sebagian pendatang kini

yang hanya datang untuk mencari nafkah dan tidak peduli

dengan tanah dan nilai yang dikandung oleh tanah Minahasa,

menjadi penyebab ketersinggungan dan ketidaksenangan

masyarakat lokal. Pendatang-pendatang demikian hanya

mengejar kepentingan mereka, bisnis mereka, bahkan mulai

masuk ke ranah politik untuk mempengaruhi kebijkan-

kebijakan pemerintah (khususnya pemerintah kota Manado).94

Karenanya, menurut Rivo Gosal, Ketua Aliansi Masyarakat Adat

Nasional meskipun keliru jika menggeneralisasi pendatang,

tetapi perlu juga untuk bersikap hati-hati. Selanjutnya Gosal

menuturkan:

Kami di Mawale (salah satu kelompok adat di mana beliau juga menjadi bagian) sudah merumuskan satu rumusan tentang siapa Tou Minahasa.95 Tou Minahasa menurut kami adalah

93 Wawancara dengan Deny Pinontoan, salah satu anggota kelompok Mawale

Movement, 18 Februari 2015, di Manado.

94 Wawancara dengan Welem Kumaunang, 2015, di Manado.

95

Tou Minahasa yang mereka maksudkan dalam rumusa tersebut, hanya

menunjuk pada manusia-manusia yang hidup bersama di tanah Minahasa.

Page 56: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

114 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

siapapun yang menjadikan tanah Minahasa sebagai ruang hidup dan berkomitmen menjaga keberlangsungan tanah Minahasa dan segala yang ada di tanah ini berarti dia Tou Minahasa. Jadi tidak melihat dari darahnya, warna kulit, suku. Saya sebagai pribadi melihat ada yang kemudian merusak hal tersebut--bukan hanya pendatang tapi juga masyarakat lokal Minahasa. Sikap saya sebagai pribadi terhadap pendatang, yakni hati-hati. Tetapi Ada klasifikasi lagi, yakni pendatang yang memang jujur memaknai diri sebagai bagian dari tanah Minahasa, karena telah mendapatkan hidup dari tanah ini. Sementara itu ada juga pendatang yang memang hanya menjadikan tanah ini sebagai tempat mencari kebutuhan hidupnya dan tidak ada tanggung-jawabnya untuk menghargai kehidupan di tanah ini; bahkan tidak jarang mereka mempunyai agenda-agenda khusus. Memang karena kelompok-kelompok yang memiliki agenda-agenda khusus demikian, kemudian membuat masyarakat lokal terjebak untuk menganggap pendatang dengan agama tertentu semuanya sama, yakni memiliki agenda khusus. Tapi memang harus tetap berhati-hati terhadap pendatang agar kita tidak kecolongan oleh para pendatang yang memiliki agenda khusus.... Selain itu, kita harus mengerti betul, bahwa jangan mencurigai pendatang hanya karena mereka lebih sukses dari kita. Karena mereka mungkin lebih giat atau lebih bekerja keras.96

Kekuatiran lain yang juga mengemuka terhadap

pendatang, yakni terhadap penguasaan sektor ekonomi oleh

para pendatang di tanah Minahasa kini. Dalam wawancara

dengan pengurus Kelompok Budaya Makatanak, mereka

menyampaikan kegelisahannya sebagai berikut,

96Wawancara dengan Rivo Gosal, Ketua Aman, Manado, 2015.

Page 57: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 115

Kami juga berpikir, bahwa yang salah itu sebenarnya masyarakat lokal Minahasa. Kelebihan kita, yakni terbuka tetapi karena terlalu terbuka sehingga jati diripun hilang. Kita lihat misalnya, di boulevard ini sentra ekonomi telah dikuasai oleh pendatang. Kami terus bergerak, tetapi bukan anti. Karena sejak awal leluhur kita telah membangun kepercayaan dengan para pendatang. Lihat misalnya adanya kampung Islam dibeberapa tempat di tanah Minahasa. Bahkan di kampung Jawa-Tondano, para leluhur (khususnya para walak) mengawinkan anak-anak perempuan mereka dengan pengikut-pengikut Kyai Modjo. Hanya, dalam realita perkembangan sekarang ini, para pendatang sudah mulai menguasai. Dalam Artian kita yang tuan tanah mulai tersingkir.97

Sebaliknya ketika pertanyaan tentang keberadaan

pendatang dikemukakan juga para pendatang yang telah hidup

lama di tanah Minahasa, saya merekam hal berbeda. Mereka

memahami, bahwa keterbukaan dan penerimaan yang

bersahabat yang dilakukan oleh leluhur Minahasa membuat

mereka (yang di mulai dari para leluhur mereka) dalam proses

waktu tidak lagi merasa sebagai orang asing atau pendatang

sebaliknya menjadi bagian dari Minahasa. Hal demikian bukan

hanya disebabkan karena perkawinan dengan orang Minahasa

(yang sudah di mulai sejak Minahasa awal), tetapi juga karena

interaksi dan keterlibatan konkrit dalam kegiatan bersama di

kampung. Kontribusi konkrit yang telah para pendatang lakukan

melalui beragam ketrampilan mereka, sangat mempermudah

proses penerimaan tersebut.98 Dalam FGD BKSUA pemimpin

agama Islam menuturkan kembali cerita leluhurnya mengenai

keterbukaan orang dan sikap menghargai mereka terhadap para

pendatang.

97 Wawancara dengan pengurus kelompok budaya Makatanak, Maret 2015, di

Manado.

98 Wawancara dengan turunan-turunan pengikut Kyai Modjo, 25 Juni 2015, di

Tondano.

Page 58: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

116 Redefinisi dan Rekonstruksi Tou

Tanah Minahasa inikan sejak abad IX menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dianggap memberontak terhadap Belanda. Tetapi orang Minahasa menerima mereka, berbaur bahkan kawin-mawin dengan mereka. Penerimaan dan keterbukaan tersebut juga dialami oleh suku-suku lain yang beragama Islam, termasuk suku Bugis yang datang kemudian di tanah Minahasa. Situasi demikian masih berlangsung sampai saat ini, karena itu umat Islam yang ada di kampung Jawa Tondano tetap hidup damai bahkan menjadi bagian suku Minahasa. Semuanya itu disebabkan karena suku Minahasa membuka diri terhadap mereka. Karena itu pula, kampung-kampung Islam menyebar dengan berbagai nama; kampung Islam, kampung Arab, kampung Bugis, kampung Ternate di tanah Minahasa.99

Cerita sejajar dikemukakan juga oleh salah seorang

peserta FGD kelompok BKSUA Sulut—pemimpin agama

Budha—menjelaskan bagaimana cerita turun temurun

mengenai keberadaan mereka di tanah Minahasa dan juga

pengalaman terlibat konflik dengan suku Gorontalo (salah satu

suku pendatang di tanah Minahasa yang mendominasi pasar dan

kaki lima di kota Manado).

Menurut cerita orang-orang tua kami, para leluhur kami yang datang di tanah Minahasa untuk berdagang diterima baik oleh para pemimpin Minahasa. Bahkan ketika kami kemudian berdiam di wilayah pemukiman kami sekarang (kampung Cina di pusat kota Manado sekarang), kami tidak pernah diganggu. Kami juga kemudian menikah dengan orang-orang Minahasa. Memang tanggal 14 Maret 2005, pernah terjadi konflik di pasar 45, tetapi bukan dengan orang Minahasa melainkan dengan pedagang-pedagang kaki lima di situ yang berasal dari Gorontalo. Tapi tidak semua pedagang

99 FGD BKSUA, 2015.

Page 59: BAB IV MINAHASA: NEGERI PARA TARANAK...lakukan dengan kolonial Belanda pada 10 Januari 1679. Apapun hasil dari kontrak tersebut, tetapi pertemuan kembali para ukung-- diprakarsai Schirstein--

Minahasa: Negeri Para Taranak 117

asal Gorontalo berkonflik dengan kami, ada juga para pedagang yang menjadi langganan kami yang membantu kami dengan cara mengantar makan ke ruko-ruko kami ketika kami terjebak dalam ruko selama beberapa hari karena konflik yang memanas. Konflik itu akhirnya bisa diselesaikan, karena semua pihak terutama orang-orang Minahasa—yang dimaksud orang-orang Minahasa dari daerah pegunungan yang turun gunung menyelesaikan konflik di kota Manado-- membantu mengumpulkan kami dan bermusya-warah menyelesaikan konflik tersebut.100

Signifikansi dari pemaparan data wawancara di atas,

yakni terdapat perbedaan penilaian antara informan

representasi masyarakat lokal dan informan masyarakat

pendatang. Perbedaan tersebut melahirkan pertanyaan, siapa

pendatang yang oleh kelompok masyarakat lokal dinilai tidak

menghargai nilai-nilai Tou? Siapa pendatang yang oleh

masyarakat lokal dinilai hanya beroreintasi penguasaan

ekonomi masyarakat di tanah Minahasa? Dari data observasi

dan wawancara saya menyimpulkan bahwa gesekan-gesekan

sosial yang terjadi berlangsung atara masyarakat lokal dengan

oknum pendatang kini. Para oknum pendatang kini yang tidak

mengerti sejarah kultural terbentuknya tanah Minahasa; yang

tidak mengerti relasi masyarakat lokal dan pendatang di masa

lalu; para oknum pendatang yang berorientasi pada kepentingan

bisnis dan kekuasaan. Dari deskripsi tentang para pedatang

yang demikian, meskipun dengan beberapa catatan kritis yang

akan dikemukakan dalam bab VI, tetapi reduksi Tou yang

menajam pada klaim orang Minahasa asli bisa dimengerti.

100 FGD dengan BKSUA, 2015.