bab iv deskripsi dan pembahasan hasil penelitian...

83
112 BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Dalam bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian. Uraian dalam deskripsi hasil penelitian disusun berdasarkan rumusan masalah yang kemudian dibahas sebagai dasar untuk merumuskan kesimpulan dan rekomendasi penelitian. 4.1 Deskripsi Hasil Penelitian 4.1.1 Sosiografi Cigugur-Kuningan Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Kelurahan Cigugur termasuk pada wilayah administratif Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan luas wilayah 300 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Utara: berbatasan dengan Kelurahan Cipari b. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kelurahan Kuningan c. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kelurahan Sukamulya d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke arah Barat dari pusat kota Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari permukaan laut. Bentuk permukaan tanahnya berupa perbukitan dengan keadaan tanah yang subur karena merupakan hasil pelapukan yang berasal dari gunung Ciremai. Di daerah Cigugur, terdapat tiga sumber mata air ini dipergunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan

Upload: vanhuong

Post on 23-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

112

BAB IV

DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Dalam bab IV ini akan diuraikan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian.

Uraian dalam deskripsi hasil penelitian disusun berdasarkan rumusan masalah yang

kemudian dibahas sebagai dasar untuk merumuskan kesimpulan dan rekomendasi

penelitian.

4.1 Deskripsi Hasil Penelitian

4.1.1 Sosiografi Cigugur-Kuningan

Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai

dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Kelurahan Cigugur termasuk pada

wilayah administratif Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kuningan dengan

luas wilayah 300 Ha, dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara: berbatasan dengan Kelurahan Cipari

b. Sebelah Timur: berbatasan dengan Kelurahan Kuningan

c. Sebelah Selatan: berbatasan dengan Kelurahan Sukamulya

d. Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana

Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke arah Barat dari pusat kota

Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari permukaan laut. Bentuk

permukaan tanahnya berupa perbukitan dengan keadaan tanah yang subur karena

merupakan hasil pelapukan yang berasal dari gunung Ciremai. Di daerah Cigugur,

terdapat tiga sumber mata air ini dipergunakan penduduk untuk memenuhi kebutuhan

Page 2: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

113

sehari-hari dan mengairi areal pesawahan. Disamping itu, banyak penduduk yang

mempergunakan air tersebut untuk memelihara ikan tawar dengan membuat kolam.

Kelebihan air yang dihasilkan dari ketiga mata air itu untuk mensuplai kebutuhan air

sebagian masyarakat kelurahan Kuningan dan Cirebon (Suganda, 2003 dalam http : //

www.urang sunda.Or.Id)

Wilayah Cigugur terdiri dari 38 RT, 13 RW dan 4 lingkungan yaitu:

Lingkungan Manis, Lingkungan Pahing, Lingkungan Puhun, dan Lingkungan Wage.

Keseluruhan lahan di Cigugur, umumnya dipergunakan sebagai perumahan,

pertanian, ladang, kolam, fasilitas pemerintahan, pendidikan (sekolah), tanah

kuburan, hutan, tempat peribadatan, dan sarana umum lainnya (Arsip Kelurahan

Cigugur).

Cigugur termasuk salah satu wilayah termaju di daerah Kabupaten Kuningan.

Masyarakat Cigugur pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani, peternak,

pedagang, dan pengrajin. Pertanian merupakan mata pencaharian yang paling banyak

dikerjakan oleh masyarakat Cigugur. Disamping itu, masyarakat Cigugur sebelah

barat pada umumnya mempunyai mata pencaharian sampingan sebagai peternak.

Mereka memelihara sapi perah yang susunya ditampung oleh sebuah koperasi besar

yang dikenal dengan Koperasi Dewi Sri Bahagia. Koperasi ini mensuplai kebutuhan

susu bagi pabrik-pabrik susu di Jakarta.

Page 3: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

114

Kelurahan Cigugur memiliki beberapa daya tarik yang khas diantaranya:

1. Kolam renang Cigugur yang oleh penduduk sekitarnya disebut sebagai

Balong Girang. Di dalamnya terdapat ratusan ikan yang dianggap keramat

oleh masyarakat

2. Situs Purbakala Cipari terletak di kampung Cipari (± 1,5 m dari Kantor

Kelurahan Cigugur). Penemuan Situs Purbakala Cipari pada tahun 1972 yang

bermula dari informasi yang diberikan oleh Wijaya, seorang pengunjung

pameran kepurbakalaan yang diselenggarakan di Gedung Paseban Tri Panca

Tunggal. Ia menuturkan bahwa pernah menemukan batu yang bentuk dan

ukurannya mirip tutup peti kubur batu yang ada di pameran. Informasi ini

ditindak lanjuti oleh Pangeran Djatikusumah sebagai Ketua Tim Survei

Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kuningan dengan mengadakan penggalian

di sekitar tempat papan batu ditemukan. Pembangunan taman purbakala

Cipari dilaksanakan pada tahun 1976 yang pelaksanaannya mendapat bantuan

dari Yayasan Pendidikan Tri Mulya Cigugur.

3. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal yang merupakan pusat kegiatan ADS.

Bentuk bangunan ini mempunyai ciri khas dan berbeda dengan bentuk

bangunan-bangunan lainnya. Di dalam gedung ini terdapat belasan ruangan

yang besar dan kecil. Tiang-tiang dan langitnya penuh dengan ukiran kayu jati

yang indah dan dindingnya dihias gambar-gambar relief yang indah. Diantara

ruangan sekian yang besar, terdapat satu ruangan yang dikenal dengan Hawu

Agung yang merupakan sebuah dapur (Hawu) berbentuk Mahkota Dewa

Page 4: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

115

Wisnu. Di gedung ini sering diadakan kegiatan-kegiatan seni budaya sunda

yang berorak khas dibandingkan dengan seni budaya sunda di daerah-daerah

Jawa Barat lainnya.

Keseluruhan penduduk yang menempati kelurahan Cigugur pada saat

penelitian dilaksaanakan berjumlah 7.198 orang yang terdiri dari 3. 688 orang laki-

laki dan 3.510 orang perempuan, dengan 600 kepala keluarga. Disamping itu

umumnya masyarakat kelurahan Cigugur menempuh pendidikan formal, hal ini

didukung dengan adanya sarana dan prasarana pendidikan, yaittu: TK (2 buah),

SD/MI (3 buah), SLTP/MTS (2 buah), SMA/MAN (2 buah), dan Perguruan Tinggi (1

buah), (Arsip Kelurahan Cigugur).

4.1.2 Kehidupan Beragama

Dalam proses kehidupan beragama, Cigugur merupakan satu wilayah yang

mempunyai keragaman beragama dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten

Kuningan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan

satu kepercayaan yang dianut masyarakat Cigugur, yaitu agama Islam, Katholik,

Protestan, Hindu, Budha, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

yang Maha Esa. Untuk lebih jelasnya, berikut data jumlah pemeluk agama di Cigugur

pada tabel 4.1.

Page 5: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

116

Tabel 4.1

Pemeluk Agama di Cigugur menurut Agama dan Kepercayaan yang Dianut

No Agama Jumlah

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Islam

Katholik

Protestan

Hindu

Budha

Lain-lain

4.128

2.656

219

2

1

155

Jumlah 7161

Sumber : Kantor Kelurahan Cigugur, 2008/2009

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas masyarakat Cigugur adalah

pemeluk agama Islam. Meskipun demikian, keanekaragaman keyakinan pada

umumnya dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Cigugur dan dapat hidup

rukun saling berdampingan. Hubungan sosial anatara warga yang berbeda keyakinan

dapat berjalan dengan baik dan semua warga dapat menjalankan ibadahnya dengan

tenang. Di kelurahan Cigugur bukanlah hal yang aneh jika dalam satu keluarga lebih

dari satu keyakianan. Misalnya ibu atau bapaknya menganut agama Katholik

kemudian anak-anaknya menganut agama Islam atau Penghayat Kepercayaan.

Perbedaan keyakianan tersebut tidak menimbulkan ketegangan di antara mereka,

hubungan diantara anggota keluarga tetap terjalin dengan serasi dan masing-masing

tetap menjalankan ibadahnya dengan baik.

Page 6: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

117

Masyarakat Cigugur terbiasa untuk hidup bergotong royong dan bekerjasama

dalam berbagai bidang kehidupan. Hal ini terjadi disebabkan banyak diantara orang-

orang dari beberpa kelompok penganut agama dan kepercayaan itu memiliki rasa

toleransi yang tinggi untuk saling membantu dan hidup dengan kekeluargaan. Jadi,

pemeliharaan rasa kebersamaan dan kedamaian seakan telah menjadi kebiasaan yang

paling utama. Ajaran dan keyakianan yang terdapat dalam masing-masing kelompok

tampaknya mendukung dan menjamin terlaksanaya kehidupan yang mengutamakan

kerukunan dan rasa toleransi.

4.1.3 Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan

Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal oleh awam

kebanyakan dikembangkan oleh Madrais. Sebagaimana dikembangkan oleh

Straathrof (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202,

dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh

Djatikusumah, 2008:1) bahwa “Pendiri Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa adalah Pangeran Madrais Alibasa Kusuma Wijaya Ningrat, putra

Pangeran Alibasa 1, Sultan Gebang”. Padahal sesungguhnya pangeran Madris tidak

bermaksud mendirikan suatu agama baru bahkan Kepercayaan Penghayat sekalipun.

Pelabelan agama atau kepercayaan penghayat itu sendiri merupakan atau

berangkat dari penilaian dasar teologia pemerintahan jajahan Belanda pada saat itu

terhadap hal-hal yang dijabarkan oleh Pangeran Madrais. Madrais pada dasarnya

Page 7: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

118

hanya mengembangkan dasar-dasar religiusitas adat karuhun Sunda (nenek moyang

Sunda) yang melandaskan pada Tri Tangtu atau Pikukuh Tilu (tiga pokok kehidupan

yang terdapat dalam wujud manusia dan di bumi).

Nama Madrais yang sebenarnya adalah Pangeran Sadewa Alibasa Kusuma

Wijaya Ningrat salah seorang keturunan Gebang dengan silsilah keluarga sebagai

berikut:

1) Pangeran Wira Sutajaya

2) Pangeran Seda Ing Demung

3) Pangeran Nata Manggala

4) Pangeran Seda Ing Tambak

5) Pangeran Seda Ing Garogol

6) Pangeran Dalam Kebon

7) Pangeran Sutajaya Upas

8) Pangeran Sutajaya II

9) Pangeran Alibasa.

Silsilah keturunan ini tidak banyak diketahui orang, masyarakat Cigugur

sekalipun tidak mengetahuinya. Mereka mengetahui bahwa Madrais masih keturunan

Kepangeranan Gebang dan ada hubungannya dengan Kesultanan Cirebon. Dalam

silsilah keluaga, Pangeran Alibasa disebut juga dengan nama Pangeran Surya Nata

atau Pangeran Kusuma Adiningrat, karena ada perseturuan dengan pemerintah

Belanda sebagai penjajah kemudian pangeran Surya Nata pada tahun 1825 dititipkan

Page 8: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

119

kepada Ki Sastrawadana di Cigugur dengan maksud agar beliau dapat meneruskan

leluhurnya dalam menentang penjajahan.

Sekitar tahun 1840 Pangeran Kusuma Adiningrat kembali ke Cigugur.

Meskipun beliau telah kembali ke Cigugur, beliau sering meningggalkan Cigugur

untuk berkelana sampai ke beberapa daerah seperti Kuningan, Cisuru, Ciamis,

Tasikamalaya, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya di tatar sunda dengan

maksud menimba pengetahuan, (diantaranya medalami agama Islam). Setelah

menetap kembali di Cigugur, beliau mendirikan ”mendirikan” atau perguruan tempat

orang belajar dan menimba ilmu hakekat kehidupan sebagai manusia (pada saat itu

padepokan ini dianggap sebagai pondok pesantren oleh awam). Pada akhirnya di

Cigugur dikenalah ”padepokan Kiyai Madrais”.

Menilik pada etimologi gelar atau sebutan Kiai ini berasal darai dua sebutan

kata yaitu Ki dan Yai. Sebutan Ki dan Yai sesungguhnya meiliki persamaan makna

adalah panggilan pada seorang ”kolot” atau seorang ”tetua” atau ”sepuh”. Sehingga

bilamana digabungkan dua kata tersebut menjadi Kiai, dimana makna gelar sebutan

Kiai ini banyak dipakai untuk kalangan ulama Islam. Sementara makna

sesungguhnya memiliki makna universal sebagai ”sesepuh atau yang dipertua dan

dihormati” dan tidak hanya milik keyakinan saja. Bahkan sebutan yang biasa dipakai

bagi Madrais adalah Kiayai Madrais bukan Kiai Madrais. Artinya pula sebutan atau

gelar Kiai sesungguhnya bukan semata-mata murni berasal dari tradisi agama tertenu

(Islam) tetapi merupakan sebutan penghargaan bagi seseorang yang dipertua atau

sesepuh dalam kebudayaan Sunda dan Jawa. Bahkan sebutan itu juga berlaku bagi

Page 9: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

120

benda-benda pusaka atau sesuatu yang dikeramatkan atau disucikan. Namun gelar ini

banyak dipakai juga bagai para ulama dalam kultur Islam.

Nama Kiayi Madrais itu sangat terkenal hingga ke Pesantren Heubeul Isuk

dan Ciwedus (daerah Gebang) sebagai seorang yang pandai dan berpengaruh. Ketika

pihak Keraton Cirebon mengakui kebangsawanannya, beliau menggunakan nama

Pangeran Sadewa Alibassa Kusuma Wijaya Ningrat. Dalam kapasitasnya sebagai

pemimpin pondok Pesantren yang pada mulanya mengajarkan agama Islam beliau

lebih dikenal dengan nama Kiyai Madrais. Sejarah berdirinya ajaran Kiayi Madrais

ini, tercatat dalam dokumen kejaksaan Negeri Kabupaten Kuningan No.

227/KK/IX/1964 tertanggal 25 September 1964.

Pada zaman kolonial Belanda, perkembangan Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh Kiyai Madrais kemudian diakui dan

terdaftar sebagai adat rech atau hukum adat. Pada masa itu, setiap perkawinan secara

hukum Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dicatatkan

secara resmi oleh pejabat daerah setempat setingkat patih yang dikenal dengan

wedana.

Dengan demikian, pada awal ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa di Cigugur bersifat komunitas keadatan. Bahkan penamaan

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sendiri pun

sesungguhnya pada awalnya bukan dari Kiayi Madrais sendiri, tetapi merupakan

sebutan ajaran dari orang lain yang memahami dan mengapresiasi ajaran Kiayi

Madrais yang sering mengajarkan nilai kebangsaan dalam tradisi budaya spiritual

Page 10: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

121

Sunda dan Jawa masyarakat menyebutnya sebagai Agama Djawa Sunda. Namun pada

perkembangannya kemudian, kolonial Belanda mencium adanya upaya penanaman

kesadaran berbangsa yang dianggap berbahaya oleh kolonial penjajah saat itu, dalam

ajaran yang dikembangkan Kiyai Madrais. Sampai pada akhirnya diketahuilah oleh

kolonial Belanda bahwa Kiayi Madrais ini adalah salah seorang keturunan dari

Kesultanan Gebang yang pernah melawan VOC pada pemerintahan kolonial Belanda

di masa lalu.

Berbagai upaya dilakukan penjajah Belanda untuk menghasut dan

menumbuhkan ketidakpercayaan para pengikut Madrais bahkan sampai pada upaya

politik adu domba dengan sesama padepokan atau pondok pesantren yang ada di

Cigugur. Upaya kolonial penjajah Belanda saat itu berhasil, di mana puncaknya

membubarkan Komunitas Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa dan melarang penyebaran ajarannya. Selain itu, penjajah Belanda menangkap dan

membuang Kiyai Madrais Tanah Merah atau Boven Digul di Irian Barat (Papua) pada

tahun 1901.

Sekembalinya Kiyai Madrais dari pembuangan, beliau tidak mengajarkan

ajarannya secara langsung, tetapi melalui strategi bertani tanaman bawang merah.

Karena pada saat itu keberadaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa masih dilarang, maka pertemuan dengan para pengikutnya

yang masih setia adalah dengan cara bertani bawang merah tersebut.

Sepeninggalannya Kiyai Madrais pada tahun 1939 Masehi, perkembangan Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa kemudian diteruskan

Page 11: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

122

oleh Putra Pangeran Sadewa Kusuma Wijaya Ningrat (Kiyai Madrais) yaitu oleh

Pangeran Tedja Buwana.

Pada masa Pangeran Tedja Buwana, inilah gejolak muncul lagi pada

pemerintahan transisi dari Orde Lama ke Orde Baru. Gejolak ini dikarenakan masih

kuatnya stigmatisasi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa atau Madraisme ini sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Islam

sehingga memaksa pimpinan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa saat itu yaitu pangeran Tedja Buwana membubarkan organisasi

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (pada sekitar

tahun 1964) dan berpindah menganut keyakinan agama-agama yang dianggap” diakui

negara pada saat itu (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).

Kebanyakan para pengikut eks Penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa banyak menganut agama Katholik atau Kristen pada

umumnya, sesuai dengan amanat dari sesepuh Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yaitu pangeran Tedja Buwana yang

menyatakan bahwa: ”sementara untuk berteduh di bawah pohon cemara putih”

(sebagian kecil saja yang menganut Islam) (wawancara dengan Gumirat Barna Alam,

23 Juni 2009).

Kondisi ini mengingat secara politis memang terjadi provokasi atau

pendiskriminasian oleh sekelompok umat Islam di Cigugur yang dipimpin seorang

ulama setempat bernama Kiai Mad Tohir. Selain itu, karena beberapa hal dalam

tradisi atau ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Page 12: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

123

Maha Esa yang dianggap bertentangan dengan tradisi Islam kebanyakan, justru tidak

dipermasalahkan oleh ajaran kaum Kristiani (Jejak Sejarah Komunitas ADS,

2008:11)

Dalam meneruskan perjuangan menentang penjajahan kolonial Belanda

sebagai amanat dari leluhurnya, Kiayi Madrais tidak melakukannya dengan cara adu

kekuatan fisik, tetapi melalui penanaman rasa kepribadian dan persatuan bangsa.

Sebab jika rasa kepribadian dan persatuan bangsa sudah tertanam, maka dengan

sendirinya masyarakat akan menentang dan melawan terhadap pemerintah kolonial

Belanda.

Dalam menanamkan tentang pentingnya persatuan bangsa, Kiyai Madrais

sangat menonjolkan unsur-unsur budaya spiritual Sunda. Selain mengupas tuntunan

budaya spiritual sistem kepercayaan Sunda, Kiyai Madrais juga mengajarkan atau

mengupas hakekat ajaran agama-agama yang sudah ada (Islam, Kristen dan

sebagainya). Hal ini dilakukan bertujuan untuk dapat menemukan titik persamaan

dalam ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar bagi terwujudnya cinta kasih

terhadap sesama. Hal demikian sangat diperlukan dalam menumbuhkan rasa

persatuan kebangsaan.

Karakter spiritual yang berwawasan kebangsaan dan Pluralis dari ajaran dan

sifat Kiyai Madrais ini juga sesuai dengan semangat dan karakter spiritual Rahiang

Tangkuku atau Seuweu Karma, seorang Prabu dari Kerajaan Saung Galah di

Kuningan, yang mikukuh ”tapak Dangiang Kuning” yaitu ajaran keparamartaan

(ajaran kebijakan dalam menata kehidupan manusia yang berpedoman pada Dasa

Page 13: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

124

Pasanta berupa Parigeuing). Penonjolan unsur-unsur budaya yang dikembangkan

oleh Kiyai Madrais memberikan corak yang tersendiri yang berbeda dari padepokan

atau pesantren lainnya. Perbedaan lainnya selain ajaran yang mengakar pada unsur-

unsur budaya Sunda dan Jawa, juga adanya beberapa perubahan seperti khitanan

tidak diwajibkan bagi para pengikutnya, kecuali alasan tertentu yang berhubungan

dengan kesehatan seseorang yang jalan keluarnya terpaksa harus dikhitan. Selain itu,

tata cara penguburan jenasah menggunakan peti (biasanya terbuat dari peti kayu jati).

Adanya perbedaan-perbedaan tersebut, oleh para kiai yang lainnya dianggap

merupakan suatu penyimpangan terhadap ajaran Islam dan dinyatakan bahwa Kiyai

Madrais mendirikan Agama Djawa Sunda (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan

Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa).

Penamaan ADS atau Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa terhadap ajaran yang dikembangkan oleh Kiyai Madrais tidak dinyatakan

oleh Kiyai Madrais sendiri, namun penamaan tersebut dinyatakan oleh pihak luar.

Berdasarkan penamaan tersebut, Kiyai Madrais tidak menolak dan tidak melakukan

pembantahan. Meskipun orang menamainya Agama Djawa Sunda, Kiyai Madrais

sama sekali tidak bermaksud menambah jumlah agama dan tidak bermaksud

menciptakan agama baru.

Dalam perkembangan selanjutnya, paham Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipimpin oleh Kiyai Madrais semakin

diintensifkan. Pendalaman paham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa kepada para pengikutnya dipusatkan di Cigugur. Pada waktu Kiyai

Page 14: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

125

Madrais mengembara ke beberapa daerah di tatar Sunda seperti Kuningan, Cisuru,

Ciamis, Garut, Bandung, dan beberapa daerah lainnya, banyak yang tersentuh oleh

fatwa-fatwanya, terutama oleh pancaran kekuatan kepribadiannya dan

keteladanannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bila kita merujuk pada istilah Soekanto (2004), maka tipe kepemimpinan

yang dimiliki oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka

dan di belakang. Digolongkan pada tipe ini, karena Kiai Madrais adalah seorang

pemimpin yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta cita-

cita yang diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti

perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk

pada tipe kepemimpinan kharismatik. Rintangan dari pihak luar yang mencoba untuk

menghambat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat

disikapi dengan bijaksana oleh Kiai Madrais.

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak

mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab Suci yang

dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agama-

agama lainnya. Kitab suci yang disebut kitab suci ”titis tulis” yang berarti wujud

pribadi manusia itu sendiri. Kiyai Madrais lebih menitikberatkan pada kesadaran diri

baik fungsi diri selaku manusia maupun fungsi diri selaku suatu bangsa (Jejak Sejarah

Komunitas ADS, 2008:11).

Pada tahun 1939 Kiyai Madrais meningggal dunia kedudukannya dalam

mengajarkan faham Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Page 15: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

126

dilanjutkan oleh Putranya bernama Pangeran Tedja Buwana Alibassa. Pada Tahun

1956 ajaran yang dikembangkan oleh Madrais di bawah pimpinan Pangeran Tedja

Buwana Alibassa terdaftar pada Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI), dan

kepemimpinannya dilanjutkan oleh cucunya bernama Pangeran Djatikusumah.

Selanjutnya dengan terbentuknya Himpunan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa (HPK) pada tahun 1981 membentuk lembga secara formal dengan sebutan

Paguyuban Adat Karuhun Urang (PACKU) di bawah pimpinan Pangeran

Djatikusumah dan terdaftar pada Direktorat Jenderal Bina Hayat dengan nomor

192/R.3/N.1/1982 yang wilayah kerjanya meliputi Jawa Barat dan sekitarnya.

Pangeran Djatikusumah telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya,

yaitu Gumirat Barna Alam untuk meneruskan ajaran Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus

bersikap netral dan dapat mengerti semua agama. Sementara anak-anak Djatikusumah

lainnya bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain (wawancara dengan

Djatikusumah, 23 Juni 2009).

4.1.4 Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Setiap kepercayaan, baik itu dikategorikan sebagai suatu agama atau suatu

aliran kepercayaan pasti memiliki ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan

perkembangan kepercayaan itu. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa yang didirikan oleh Kiayi Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan

Page 16: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

127

pemikiran tersendiri. Kiai Madrais berusaha untuk mencari titik temu dari ajaran

agama yang ada, dengan tetap berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang

dimilikinya.

Bila ditinjau dari sudut pandang Islam, ada kesamaan konsep ajaran

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesamaan itu

diantaranya:

1. Mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa yang dalam ajaran Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan

Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa sangat mempercayai akan kekuasaan dan kekuatan Tuhan,

sehingga mereka selalu mengandalkan segala sesuatunya kepada kekuatan Tuhan.

Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Al Ikhlash : 1-4) yang berbunyi:

”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”.

2. Mengakui bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan

memiliki kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya. Hal ini sejalan dengan

Kitab Suci Alquran yang berbunyi:

a) Q.S. Al Qashash ayat 77 ” Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai oarang-orang yang berbuat kerusakan”.

Page 17: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

128

Kepercayaan bahwa manusia adalah manusia sempurna yang mempunyai

kewajiban untuk menjaga alam dan seisinya menjadikan dasar ajaran dan pemikiran

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dituangkan

dalam Pikukuh Tilu. Dalam Pikukuh Tilu sangat ditekankan bahwa manusia

mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam sehingga membantu

ciptaan Tuhan yang lainnya kembali lagi kepada penciptanya.

Satu yang berbeda dari pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa bila ditinjau dari ajaran Islam adalah keberadaan Tuhan. Umat

Islam meyakini bahwa selain Tuhan berada dekat dengan setiap ciptaan-Nya dan

selalu menjaga alam dan seisinya (imanen), Tuhan juga merupakan Zat Yang Maha

agung, Maha besar, Maha sempurna kebesaran-Nya, Bagi-Nya segala kerajaan, Maha

kuasa atas segala sesuatu dan tidak terjangkau oleh manusia (transenden). Tuhan

bukan hanya tidak terjangkau oleh akal manusia, tetapi berada di sekitar kita, bahkan

berada di setiap jiwa manusia. Hal ini membuktikan bahwa kuasa Tuhan begitu besar

dan tak terbatas. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Al-Baqarah ayat 186),

(Al-Baqarah 115), (Al-Qaaf ayat 16) yang berbunyi:

a) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

b) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.

Page 18: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

129

c) Al-Qaaf ayat 16 Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Kepercayaan akan adanya Tuhan bagi penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan dasar bagi segalanya. Ajaran

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa

Tuhan itu ada dan Maha Pencipta, Maha Kuasa, Maha adil, Maha Esa, dan Maha

Pengasih terhadap alam dan seisinya. Keesaan Tuhan ini disimpulkan dalam

perkataan yang disebut dengan Gusti Pangeran Sikang Sawiji-wiji (Pangeran Yang

Tunggul). Ia adalah Allah Maha Pencipta alam semesta serta segala isinya.

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menganggap bahwa

Gusti Allah tidak berbentuk, tidak berwujud, tidak bisa ditentukan jenis dan

tempatnya (sawabnya). Tuhan tidak jauh dan tidak terpisahkan dari semua

ciptaanNya terutama makhluk beriman yaitu manusia, makhluk yang paling tinggi,

paling tinggi diantara makhluk lainnya (Yayasan Tri Panca Tunggal : 2).

Sawab atau arus kekuatan dan sifat-sifat Allah pencipta dipercaya ada

bersemayam dan hidup di setiap ciptaannya, khususnya manusia sebagai ciptaan

Tuhan yang paling sempurna. Menurut ajaran Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap diri manuisa bersemayam

daya dan citra (sifat-sifat Tuhan ) lebih dari makhluk-makhluk lainnya. Manusia

dianugerahi oleh Tuhan berupa budi, sir, rasa, pikir (batin), dan iman (wawancara

dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).

Page 19: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

130

Sekalipun kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi ADS,

Suhandi (1988: 194) menilai bahwa dalam perkembangan, pengajaran, dan penerapan

praktisnya kepercayaan itu lebih langsung dipusatkan kepada manusia sendiri, kepada

sifat-sifatnya yang khas, hubungannya yang khas pula dengan alam semesta, dan

keluhuran serta tanggung jawabnya sebagai manusia yang sempurna. Disinilah

kiranya pandangan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan aliran kebatinan umumnya lebih condong ke arah antroposentris.

Pemahaman bahwa kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih cenderung bersifat antoposentris, tidak terlepas

dari konsep immanen yang diyakininya. Menurut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa Tuhan berada di dalam setiap ciptaan-Nya baik itu

yang bernyawa maupun tidak bernyawa. Pemikiran seperti ini menurut Bakhtiar

(1999: 93-95) termasuk ke dalam aliran panteisme. Menurut aliran ini Tuhan sangat

dekat dengan alam, mempunyai penampakan-penampakan atau cara berada di alam.

Disamping mempunyai sifat maha Esa, Tuhan dalam pandangan aliran ini

mempunyai sifat Maha Besar dan tidak berubah. Berdasarkan keyakinan ini, segala

sesuatu yang terbatas, seperti dunia dan segala isinya tidak dapat berdiri sendiri,

melainkan sangat tergantung pada substansi yang satu, yaitu Tuhan. Substansi yang

Satu itu, berada di dalam segala sesuatu yang beraneka ragam. Jadi keanekaragaman

hanyalah merupakan gambaran dari cara berada Tuhan.

Konsep hidup dan mati yang diyakini oleh Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih dikenal dengan istilah Sampuraning Hirup

Page 20: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

131

Sajatining Mati (Kesempurnaan Hidup Dan Mati). Berdasarkan arsip Yayasan Tri

Mulya (1960/1915 Saka), ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa dapat dibagi menjadi dua, yaitu mengenai:

a. Papasten manusia sebagai makhluk utama, makhluk yang terpilih oleh Tuhan

untuk menyempurnakan dunia. Manusia sebagai perantara roh-roh segala

ciptaan Allah supaya dapat kembali ke Penciptanya.

b. Kewajiban manusia untuk selalu menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh

Tuhan dalam mengukur semua gerak batin, segala ucapan, dan mengukur

semua tingkah laku hidup manusia.

Kedua ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa ini menunjukan bahwa manusia mempunyai peranan yang sangat penting

di dunia ini. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna mempunyai tugas

untuk menjaga alam dan seisinya sehingga dapat kembali kepada Sang Pencipta.

Manusia harus mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam dan isinya sehingga

pada akhirnya manusia dapat mensyukuri ciptaan Tuhan dan memuliakan nama-Nya.

Ajaran pokok Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa juga

mengajarkan bahwa manusia hendaknya selalu berada di jalan Tuhan. Penulis setuju

dengan hal ini, karena setiap manusia diwajibkan untuk mewujudkan segala perintah

Tuhan dalam setiap gerak langkahnya, yang pada akhirnya akan kembali memuliakan

nama-Nya.

Kedua pokok ajaran itu bertujuan untuk membentuk manusia yang “Sempurna

Hidupnya dan Sejati Matinya (Sampuraning Hirup, Sajatining Mati)”. Hidup

Page 21: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

132

Sempurna adalah manusia diharapkan selalu hidup di jalan Tuhan, sadar dan mengerti

apa yang harus dilakukan untuk dirinya, sesamanya, bangsa dan negaranya, yang

pada akhirnya bertujuan untuk memuliakan Tuhan. Hidup yang sempurna adalah

sempurna dalam Sir, Rasa, dan Pikiran. Sempurna dalam setiap langkah dan tingkah

laku dalam mengerjakan setiap tugas yang dibebankan kepadanya. Jadi hidup

sempurna menurut ialah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati

sesuai dengan kodratnya (papasten) (wawancara dengan Subrata, 23 Juni 2009).

Mati Sejati, ialah apabila manusia bisa pulang kembali ke asalnya (Tuhan).

Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini

bahwa manusia asalnya dari Tuhan dan kembali lagi pada Tuhan. Menurut

kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

mati sejati adalah Mati pur Katut, yaitu mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya

karena manusia itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi. Tidak ada

karena pada hakekatnya manusia berasal dari roh, abstrak, dan misteri. Mati yang

sejati akan terjadi dengan sendirinya apabila manusia yang mati itu sudah sempurna

selama hidupnya (wawancara dengan Gumirat Barna Alam, 23 Juni 2009).

Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memiliki

pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut pandangan yang dimiliki

oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa apabila manusia mampu mencintai

Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh,

dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini

sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi:

Page 22: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

133

”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”.

Satu hal yang berbeda dengan agama Islam, yang meyakini bahwa manusia

berasal dari yang tidak ada kembali menjadi yang tidak ada. Konsep bahwa ”jasad

berasal dari tanah kembali lagi ke tanah”. Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa mempercayai bahwa baik jasad maupun jiwa akan kembali

kepada Tuhan, karena sama-sama berasal dari yang tidak ada.

Pikukuh Tilu merupakan pokok ajaran Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tiga asas dasar Ajaran ini pernah mengalami tiga

kali penyempurnaan redaksional. Hal ini disebabkan oleh adanya tuntutan jaman.

Naskah asli Pikukuh Tilu disajikan dalam bentuk pupuh Sunda dengan menggunakan

bahasa Sunda buhun. Untuk mempermudah para pemeluk Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menghayati ajarannya, maka Pikukuh

Tilu disadur ke dalam bahasa Sunda biasa, kemudian disadur lagi ke dalam bahasa

Indonesia.

Adapun Pikukuh Tilu yang penulis kaji adalah Pikukuh Tilu berbahasa

Indonesia. Pikukuh Tilu terdiri dari tiga dasar pokok, yaitu:

1. Ngaji Badan adalah memilih dan menyaring roh hirup tanah pakumpulan

(memilih dan menyeleksi dengan selektif) agar tetap berada di jalan Tuhan.

Manusia telah dianugrahkan oleh Tuhan lima sifat yang dikenal dengan cara

ciri manusa, yaitu: Welas Asih (cinta kasih), Tatakrama adalah etika dan

Page 23: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

134

aturan hidup yang baik di masyarakat, undak-usuk adalah tahap-tahap dan

status sosial yang menentukan sikap hidup, budi basa-budi daya, sikap dan

ucapan, wiwaha yuda naraga, yaitu mengukur, menimbang, dan memikirkan

setiap ucapan dan tindakan yang akan dilakukan. Kelima sifat yang

dianugerahkan oleh Tuhan ini diharapkan tetap mampu dipertahankan,

sehingga manusia mampu melaksanakan papastennya itu.

2. Iman Kana Tanah yang terbagi menjadi dua, yaitu: tanah amparan dan tanah

adegan. Tanah amparan adalah tanah/bumi yang kita pijak. Alam jagad raya

dengan manusia yang lahir di dalamnya merupakan ciptaan Tuhan. Manusia

diciptakan oleh Pangeran Sikang Sawiji-wiji sebagai manusia yang sempurna,

karena dianugerahi oleh Tuhan sir, rasa, dan pikiran (cipta, karya, dan karsa)

yang menyebabkan manusia dapat berfikir dan berkreasi untuk mengolah dan

memanfaatkan alam tanpa harus merusaknya. Manusia juga mempunyai

kewajiban membantu ciptan Tuhan yang lainnya untuk kembali kepada

pencipta-Nya.

Dengan demikian, manusia wajib menyempurnakan segala ciptaan

Tuhan. Oleh karena itu, iman kana tanah berarti manusia mempunyai

kewajiban untuk menjaga dan melestarikan bumi dan isinya yang diciptakan

oleh Tuhan. Pengertian tanah sebagai tanah adegan, yaitu berupa wujud fisik

manusia (rupa jeung wanda).

Para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa mempercayai bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam lima

Page 24: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

135

kebangsaan inti (cara- ciri bangsa) yang berbeda rupa/warna kulit, bahasa,

aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya. Kelima kebangsaan inti yang

diciptakan oleh Tuhan adalah: bangsa Belanda/Eropa/Kulit Putih, bangsa

Hindu/Kulit Tembaga, Bangsa Arab/Kulit Hitam, bangsa Cina/Kulit Kuning,

dan Bangsa Sunda/Kulit sawo matang. Urutan kelima bangsa ini berasal dari

yang terkecil menuju yang terbesar berdasarkan sifat dan kesempurnaannya.

Pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa meyakini bahwa bangsa Sunda merupakan bangsa penyempurna dari

kelima bangsa yang ada. Setiap bangsa itu akhirnya melakukan persilangan

dan percampuran sehingga menimbulkan banyak bangsa seperti sekarang ini.

3. Ngiblat ka Ratu Raja 3, 2, 4, 5, lilima, 6. Ngiblat adalah menghadap,

mengimani, atau menghayati. Ratu raja adalah bahasa simbol untuk segala

sesuatu yang rata atau adil dan Raja simbol mengolah atau memperlakukan

sesuatu agar menjadi rata atau adil. Unsur 3 menggambarkan sir, rasa, dan

pikiran yang merupakan komponen batin manusia, unsur 2 menggambarkan

polaritas alam yang berpasangan, unsur 4 menggambarkan geraknya 2 kaki

dan tangan. Sedangkan unsur 5 menggambarkan panca indera, unsur lilima

menggambarkan fungsi dari organ tubuh yang lain, dan unsur 6

menggambarkan wujud manusia secara utuh (Yayasann Tri Mulya, 2007: 24).

Hal ini berfungsi untuk menggambarkan bentuk dan rupa setiap bangsa dan

kebudayaan yang dimilikinya. Selain itu ngiblat ka ratu raja berarti

menghadap atau mentaati apa saja yang dapat mengatur atau menata segala

Page 25: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

136

sesuatu yang tidak teratur dan tidak seimbang (tidak rata). Seperti

pemerintahan, peraturan atau perundang-undangan, hukum dan hak asasi.

Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep kesempurnaan hidup yang

dibuat oleh Kiai Madrais. Pikukuh Tilu mengajarkan bagaimana manusia harus

menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna,

sehingga mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam guna

membantu ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena

itu, ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa lebih

menekankan kepada Tuhan yang bersifat imanen (penjaga alam semesta).

Setiap pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

ditanamkan kepercayaan bahwa Tuhan berada dalam setiap ciptaan-Nya, sehingga

dalam setiap langkah dan gerak manusia, setiap pemeluk Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diharapkan selalu mengingat Tuhan dan

melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Bila manusia sudah dapat

melaksanakan Pikukuh Tilu dengan baik, maka kelak ia akan memperoleh hidup yang

sempurna.

Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang

tertuang dalam Pikukuh Tilu tersebut mempengaruhi waktu, cara, dan tempat

beribadah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa mewajibkan para

penganutnya untuk beribadat pada setiap saat kapan saja dan di mana saja, terutama

pada saat berfikir, hendak berbuat sesuatu, hendak berkata-kata, dan sebagainya.

Page 26: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

137

Dengan kata lain, para pemeluk Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa diwajibkan untuk melakukan ibadat ketika hendak melakukan suatu

kegiatan. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai ciptaan Tuhan diwajibkan untuk

menyembah, memuja, berbakti, dan mengabdi kepada Tuhan baik secara langsung

maupun tidak langsung (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).

Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersamadi.

Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu

keadaan dimana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila

manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan

berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga

kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan

semadi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak

baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22).

Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni

2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap

peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas,

sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang

Page 27: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

138

terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api,

tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia.

Menurut kepercayaan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa, panas api tidak hanya terdapat dalam bumi dan benda-benda yang

memiliki cahaya, tetapi terdapat pula dalam setiap diri manusia. Panas api yang

berada di dalam setiap badan manusia bisa dipergunakan untuk menghancurkan daya-

daya pengaruh yang bisa mengubah sifat-sifat manusia sekaligus mengusirnya dari sir

(kemauan), rasa, dan pikiran manusia. Bila manusia menyadari tugasnya di alam

jagad ini untuk menampung, mengolah, menyaring, dan menolak daya-daya kekuatan

pengaruh yang ada di dalam alam semesta ini, maka apilah yang dijadikan cermin

dalam melakukan semadi. Di muka api, manusia diajak untuk memusatkan perhatian

kepada dirinya sendiri. Ia seolah-olah dihadapkan kepada kenyataan dan keadaan

yang sebenarnya. Sambil bersemadi manusia diajak ber-sisaka rupa pribadi,

membersihkan dan menyucikan diri. Api dipandang sebagai suatu alat penuntun

kepada Tuhan.

Menurut pandangan Kartapradja (1990:132) api dipandang sebagai sumber

dari segala kejadian, oleh karena itu Madraisme memuliakan api sejati, yang tidak

tampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan raba batin dan yakin. Konsep

pandangan ini dalam agama Islam bisa dikategorikan perbuatan syirik. Perbuatan

syirik termasuk dosa besar yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT, sebagaimana

tercantum dalam (Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 8) bahwa: Sesungguhnya Allah

tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain

Page 28: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

139

dari (syirik) itu, barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah

berbuat dosa besar.

Memahami betapa kuatnya keyakinan Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa akan makna dan fungsi api dalam

sistem kepercayaan, maka tidak mengherankan apabila mereka melalukan semadi di

depan api, baik api dapur, api lilin, atau bahkan api rokok sekalipun.

Doa merupakan hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari sikap dan

kelakuan konkret seseorang. Pengertian doa bagi Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sama dengan pengertian doa pada

masyarakat awam. Selain berdoa secara perorangan, Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa biasanya menyelenggarakan doa

bersama di pusat kegiatan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa, yaitu Gedung Paseban Tri Panca Tunggal.

Berdasarkan paparan tentang waktu dan cara beribadah, diperoleh gambaran

bahwa cara beribadah penganut Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa tidak mengenal waktu khusus, melainkan setiap waktu. Hal

ini berdasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan selalu menyertai manusia setiap saat.

Pikukuh Tilu juga mempengaruhi Tata Cara Perkawinan Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hukum dan aturan

perkawinan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa pertama

kali diberlakukan pada tahun 1873, kemudian mengalami penyempurnaan pada tahun

1956. Penyempurnaan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, yaitu tidak mau

Page 29: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

140

melibatkan petugas pemerintahan dalam upacara pernikahan dan merevisi peraturan

lama yang belum sepenuhnya menjalankan pokok ajaran Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam Pikukuh Tilu. Sebelum

disempurnakan, UU Perkawinan tahun 1873 masih melibatkan pegawai pemerintah

dalam pencatatan pernikahan dan belum mempersoalkan dilakukannya perkawinan

campur, baik yang bukan sesama Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa maupun berbeda suku bangsa. Untuk itulah UU Perkawinan

disempurnakan pada tahun 1956.

Tujuan Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

membuat Hukum Aturan Perkawinan sendiri adalah untuk menjaga kemurnian

bangsa. Ajaran Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa memandang bahwa di dunia ini manusia harus hidup rukun dengan sesamanya

dan berusaha untuk menjaga dan menghargai ciri khas budaya yang dimiliki oleh

bangsanya. Dengan kata lain, Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa mencoba untuk mengejar kesempurnaan hidup sebagai manusia dan

sebagai bangsa. Berdasarkan tujuan pembuatan hukum perkawinan ini, maka dapat

dilihat bahwa Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa mencoba untuk menjaga kemurnian budaya bangsa (Sunda), sehingga terkesan

bersifat eksklusif (tertutup).

Dasar pemikiran inilah yang menyebabkan Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mengijinkan adanya perkawinan

campuran antar bangsa. Dalam ketentuan perkawinan dijelaskan bahwa: “Sedangkan

Page 30: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

141

apabila seseorang melakukan atau menganjurkan perkawinan campuran antar bangsa-

bangsa, maka ia dianggap telah mengubah kodrat Tuhan yang dapat diartikan pula

mengurangi keimanan kepada-Nya dengan sadar ataupun tidak”. Apabila perkawinan

campuran terus dilakukan, maka “keaslian” bangsa akan lebih sulit ditentukan.

(dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam

pemaparan singkatjejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah,

2008:25-26) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni 2009).

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu

aliran kepercayaan yang sangat menjunjung tinggi kemurnian budaya bangsa Sunda.

Mereka mempercayai bahwa setiap bangsa mempunyai rupa/warna kulit, bahasa,

aksara/huruf, adat istiadat, dan budaya yang berbeda (cara-ciri bangsa). Oleh karena

itu untuk menjaga kemurnian dari cara ciri bangsa tersebut, Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa melarang adanya perkawinan campur.

Perkawinan campur dianggap sebagai suatu tindakan pelanggaran terhadap perintah

Tuhan. Keyakinan ini menurut penulis membuktikan bahwa Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai

budaya yang dimilikinya sehingga tidak mau terkontaminasi oleh budaya lain yang

berasal dari luar. Hal ini bisa dimengerti karena kondisi sosial politik pada masa itu

menunjukan bahwa adanya penetrasi budaya barat yang sangat besar, terutama masa

penjajahan Belanda.

Aturan perkawinan itu disusun berlandaskan kepada asas dasar Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Pikukuh Tilu, khususnya

Page 31: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

142

ajaran mengenai Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Oleh karena itu, dalam

Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa banyak memuat ketentuan yang berhubungan dengan hak azasi (hak

untuk hidup) dan nilai-nilai manusia beradab dan berbudaya (manusia memiliki

tatanan nilai dan norma dalam kehidupan sosialnya), serta memuat mengenai nilai-

nilai kebangsaan (manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga kemurnian bangsa

yang dimilikinya) sebagai anugerah Tuhan.

Adapun larangan dari Hukum Aturan Perkawinan (HAP) Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu tidak boleh bercerai, tidak boleh

berpoligami atau berpoliandri, tidak boleh melakukan hubungan intim sebelum resmi

menikah, suami/istri tidak boleh menyakiti pasangannya, suami/istri tidak

diperkenankan mengabaikan kewajibannya dan tanggung jawabnya kecuali apabila

fisiknya tidak memungkinkan karena sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan

Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak komunitas ADS

ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26).

Perkawinan menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa wajib hukumnya. Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa memandang bahwa perkawinan adalah sesuatu yang suci dan sakral,

sehingga perkawinan harus bersifat monogami dan disetujui oleh orang tua kedua

pihak. Perkawinan tidak boleh terjadi karena adanya paksaan atau rekayasa tertentu.

Perkawinan ADS dianggap sah apabila berlangsung di hadapan kedua orang tua,

saksi, dan petugas pernikahan yang ditunjuk oleh Pimpinan Pusat Kepercayaan dan

Page 32: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

143

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, memenuhi semua ketentuan HAP ADS,

dan terdaftar di instansi pemerintahan yang berwenang (Kantor Catatan Sipil/Kantor

Urusan Agama) (Straathnof , 1971: 50 ).

Tata Cara Penguburan yang dimiliki oleh Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan pemikiran bahwa manusia diciptakan

oleh Tuhan dengan beraneka ragam bentuk, nama, sifat dan karakter. Hal ini

bertujuan agar manusia dapat memanfaatkan dan melestarikan alam yang pada

akhirnya memuji kemuliaan Tuhan. Berdasarkan pemikiran tersebut, ajaran

Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa meyakini bahwa

manusia baik lahir maupun batin harus benar-benar sempurna menuju kematian yag

sejati. Dalam istilah Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

dikenal sebagai ”Sampurnaning Hirup Sajatining Mati”. Sajatining mati oleh

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa diartikan sebagai

“Mulih ka Jati Mulang ka Asal”, yaitu manusia berasal dari Allah kembali lagi ke

Allah dengan membawa roh susun-susun tanah pakumpulan ke maha penciptanNya

sakit (dalam BASIS majalah Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam

pemaparan singkat jejak komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah,

2008:26).

Pemikiran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

tentang kematian itu mendorong Kiai Madrais menciptakan cara penguburan baru

yang dianggap dapat membantu orang yang meninggal mencapai kesempurnaan

dengan kembali kepada sang Pencipta. Penguburan jenazah dilakukan dengan

Page 33: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

144

menggunakan peti yang terbuat dari kayu jati. Hal ini merupakan simbol dari

“sajatining mati”. Selain itu, jenazah dibalut dengan kain kafan warna hitam yang

merupakan simbol “pulang ke jagat peteng/gaib”, ditaburi oleh arang kayu yang

merupakan simbol “supaya dosa-dosanya diserap dari jiwa almarhum”, dan ditaburi

kapur sebagai simbol “menghancurkan segala dosa” (dalam BASIS majalah

Kebudayaan Umum edisi April 1971 XX/7:202, dalam pemaparan singkat jejak

komunitas ADS ke komunitas Akur oleh Djatikusumah, 2008:26).

Berdasarkan pokok-pokok ajaran yang dimiliki oleh Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka dapat dimengerti apabila

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa berusaha untuk

menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan manusia secara lahir dan batin. Manusia

dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna, karena itu manusia

mempunyai kewajiban untuk mendasarkan segala prilaku hidupnya dengan ajaran

Tuhan.

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah suatu

aliran kepercayaan yang berkembang pada akhir abad ke-19. Agama ini berkembang

cukup pesat di Jawa Barat, bahkan sampai ke Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Luasnya

penyebaran ini menunjukkan bahwa Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa memiliki pengaruh yang cukup besar. Hal tersebut menurut penulis

dikarenakan adanya seorang pemimpin yang kharismatik, berwibawa, dan mampu

meyakinkan para pengikutnya.

Page 34: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

145

Ajaran-ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

telah ditafsirkan oleh beberapa pihak sebagai suatu penyimpangan dari ajaran agama

Islam, sehingga dengan alasan tersebut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa dalam perkembangannya mendapat tekanan dari berbagai pihak.

Akan tetapi dengan keyakinan bahwa ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa memperjuangkan kebebasan manusia secara lahir dan batin,

maka perjuangannya tidak pernah surut. Pola kepemimpinan Kiai Madrais atau pun

Pangeran Tedjabuana masih menggunakan pola kepemimpinan tradisional dengan

watak kepemimpinan di muka dan di belakang. Tipe kepemimpinan ini sesuai dengan

perkembangan masyarakat tradisional pada masa itu.

4.1.5 Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan

Salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama dengan

manusia lainnya. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia

dan kelompok tersebut, terjadi ”hubungan” dalam rangka memenuhi kebutuhan

hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan, dan

keinginannya masing-masing. Sementara itu, untuk mencapai keinginan tersebut

harus diwujudkan dengan tindakan melalui hubungan timbal-balik. Interaksi terjadi

bila dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, bahan persaingan,

pertikaian, dan sejenisnya, juga merupakan interaksi sosial.

Page 35: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

146

Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial, oleh karena tanpa

interaksi sosial tidak mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang-orang

secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu

kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila orang-orang

perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan

seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian

dan lain sebagainya. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses

sosial, yang mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis

(Soekanto,S.,2004:60-61).

Proses interaksi yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan

Cigugur didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Pada

umumnya interaksi yang sering terjadi adalah dengan orang-orang yang satu

pekerjaan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda. Hal ini terjadi pada

waktu mereka untuk berinteraksi lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang

berbeda pekerjaannya. Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur

juga terlihat dalam gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat seperti pada

kegiatan bakti sosial, jumat bersih dan membuat sarana peribadatan sering

dlaksanakan oleh masyarakat di Kelurahan Cigugur. Ketika diadakan kegiatan gotong

royong biasanya antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya saling

berjumpa. Pada waktu itu mereka saling menyapa dan saling bersenda gurau yang

menandakan akrabnya hubungan mereka walaupun berbeda latar belakang dan

agamanya.

Page 36: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

147

Selain itu, gotong royong, dalam upacara perkawinan dan kematian juga

merupakan saat-saat biasanya anggota masyarakat saling berkumpul dan saling

berinteraksi. Dalam kehidupan masyarakat tokoh-tokoh agama dan kepala kelurahan

dianggap sebagai seorang pemimpin kharismatik yang harus dipatuhi dan dijadikan

panutan selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Kepala Kelurahan dan tokoh-tokoh agama tidak hanya sebagai tokoh panutan, tetapi

juga dianggap sebagai tokoh yang mampu menyelesaikan berbagai masalah dalam

masyarakat.

Berdasarkan pernyataan di atas, dalam kehidupan sehari-hari para Penghayat

Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa juga terlihat adanya kepatuhan terhadap

pimpinan dan ajarannya. Sosok Djatikusumah dianggap sosok panutan bagi mereka,

khususnya di Paseban Tri Panca Tunggal di Kelurahan Cigugur. Selain itu, para

penganut penghayat kepercayaan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya

sangat baik seperti masyarakat beragama pada umumnya. Para penganut penghayat

terbuka dengan perubahan yang terjadi khusunya dalam masalah IPTEK, mereka

mengambil manfaat dari IPTEK dan berusaha untuk berfikir maju (wawancara

dengan Subrata, 23 Juni 2009).

Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat

harmonis. Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa

toleransi diantara mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan

ritual keagamaan cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh

Page 37: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

148

masyarakat biasanya dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Sarana-sarana

peribadatan pun cukup lengkap, terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan,

seperti masjid yang berjumlah enam, langgar sembilan, dan gereja ada dua buah

(Arsip Kelurahan Cigugur, 2008).

Bagi masyarakat komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa yang juga tersebar di wilayah Cigugur, tetapi juga di wilayah

Jawa Barat lainnya, hidup berdampingan dan bertetangga dengan pemeluk agama

yang berbeda. Bahkan tidak jarang dalam suatu keluarga terdapat beberapa keyakinan

yang dianut tanpa saling menganggu satu dengan yang lainnya. Mereka bisa dan

terbiasa menerima anggota keluarganya yang berasal dari pemeluk agama yang

berbeda. Karena prinsip hidup tersebut, peneliti melihat bahwa kerukunan dalam

masyarakat penghayat kepercayaan sangatlah dijunjung tinggi yaitu ”meskipun tidak

sepengakuan tetapi mengutamakan pengertian”. Hal ini dilakukan dalam upaya ikut

serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera, seperti melakukan kegiatan sosial

kemasyarakatan, bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama, maupun

golongan, baik itu yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari

warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut wujud dari kesadaran akan kerukunan

hidup Umat berKetuhanan Yang Maha Esa.

Sejalan dengan hal di atas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa sangat menilai tinggi warisan budaya nenek moyangnya. Adat

istiadat warisan para leluhurnya tetap dipelihara dalam kehidupan sehari-hari. Tidak

dapat dipungkiri bahwa adat istiadat tersebut berhubungan erat dengan sistem

Page 38: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

149

kepercayaan. Sistem kepercayaan ini terlihat di dalam upacara adatnya, seperti yang

dapat kita saksikan dalam upacara Seren Taun.

Dalam upacara Seren Taun semua warga di Cigugur turut berpartisifasi di

dalamnya tanpa memandang latar belakang agama, ras, suku dan golongan

(wawancara dengan Angga, 13 Mei 2009). Dalam hal ini, Seren Taun bukan hanya

milik Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa saja.

Hal ini karena hakIkat keberadaan Upacara adat Seren Taun merupakan tuntunan bagi

siapapun, suku bangsa, dan agama apapun yang mau bersama-sama bersyukur kepada

hakekat Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadaan ini perlu diungkapkan karena memang

pada kenyataannya Upacara Seren Taun meskipun merupakan tradisi upacara ritual

masyarakat Sunda (di Cigugur), tetapi dalam pra dan pelaksanaannya melibatkan

berbagai elemen masyarakat Cigugur khususnya dan daerah lainnya tanpa

membedakan keyakinan agama, suku, golongan dan sebagainya. Di satu sisi tentunya

dalam mendukung pengembangan pariwisata daerah dan nasional, maka adanya

upacara Seren Taun di Cigugur ini sekaligus juga merupakan Kalender Even nasional

untuk kunjungan wisata budaya dan wisata alam.

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

sangat menjunjung kerukunan dalam kehidupan berbangsa. Oleh karena itu,

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat patuh dan taat

terhadap program-program yang diusung oleh pemerintah, di mana peran pupuhu atau

ketua penghayat memiliki peranan yang besar untuk menggerakan para penganutnya

dalam menjalankan program pemerintah.

Page 39: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

150

4.1.6 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Kesalahan anggapan hanya ada 5 agama yang diakui boleh jadi didasarkan

pada struktur Departemen Agama yang hanya terdiri atas Direktorat Jenderal

Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik , dan

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu/ Budha. Hal ini telah menimbulkan

masalah yang cukup penting.

Mengenai pelarangan agama kita bisa mengambil ilustrasi kalau pembubaran

atau pelarangan suatu partai politik saja dapat memerihkan, terlepas dari benar atau

salahnya partai tersebut, apalagi pelarangan agama yang berkenaan dengan keyakinan

terhadap sesuatu yang bersifat ultimate dalam kehidupan seseorang yang menyangkut

keselamatan hidupnya, tidak hanya sekarang melainkan juga nanti setelah mati. Kalau

orang bertepo seliro dengan mencoba meletakan diri ditempat mereka yang

kehilangan kebebasannya dalam menganut keyakinannya, mungkin orang tidak akan

begitu mudah mencabut kebebasan orang lain dalam berkeyakinan yang jelas-jelas

dijamin oleh konstitusi negara kita.

Di sini kita perlu menegaskan bahwa tidak mengakui keberadaan suatu agama

sama saja dengan tidak menghargai hak asasi manusia. Adanya suatu agama tidak

perlu mendapat pengakuan dari suatu negara, karena bisa jadi suatu agama ada

sebelum negara itu ada. Keberadaan suatu agama juga tidak memerlukan pengakuan

Departemen Agama yang suatu saat bisa saja dihapus sesuai kebutuhan (Madjid,

Nurcholish; 2001: 113-115). Seiring dengan itu, pelarangan terhadap berbagai aliran

Page 40: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

151

atau faham keagamaan dalam kenyataannya tidak akan efektif. Sebab hal ini

menyangkut keyakinan pribadi seseorang dan keyakinan tidak mungkin ditaklukan

dengan kekuasaan (negara).

Dengan demikian, Fungsi legitimasi agama berupa pembenaran dan

pengukuhan dari pemerintah juga penting guna menyukseskan program-program

pembangunan yang diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu peran pemerintah

sangat dibutuhkan dalam penglegitimasian tersebut. Berkaitan dengan masalah

tersebut, Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai turunan dalam pengawasan

terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

yang ada di kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.

Dalam rangka kelancaran roda Pemerintah Daerah Kuningan, khususnya yang

menaungi atau membawahi masalah keagamaan yang berkaitan dengan Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan,

maka sesuai dengan pelimpahan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan

melimpahkan masalah ini. Adapun instansi terkait tersebut diantaranya adalah

Departemen Agama Kabupaten Kuningan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Kabupaten Kuningan dan Bakor Pakem. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya

pembinaan dan memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan

kebijakan-kebijakan pusat ataupun peraturan daerah.

Berdasarkan penelitian terungkap bahwa peran Pemerintah Daerah terhadap

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan

Page 41: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

152

Cigugur Kuningan yang diwakili oleh instansi-instansi terkait sebagai kepanjangan

tangan dari Pemerintah Daerah Kuningan adalah sebagai berikut:

1) Dinas Pariwisata dan Budaya

Pemerintah Daerah melalui Dinas Pariwisata dan Budaya berkaitan dengan

masalah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berfungsi hanya sebatas melindungi Benda Cagar Budaya. Hal ini tercantum dalam

UU RI No.5 tahun 1992 tentang benda-benda cagar budaya dan Peraturan Dearah

(Perda) Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun 2006 tentang pengelolaan Museum,

Kepurbakalaan dan Nilai Tradisional.

Perhatian pada bidang budaya diwujudkan dengan pemeliharaan dan

penugasan gedung Paseban Tri Panca Tunggal. Gedung ini dimanfaatkan baik untuk

mencapai tujuan-tujuan pendidikan maupun kebudayaan, yaitu:

1. Sebagai tempat penyelenggaraan Upacara Seren Taun yang digelar tiap tahun.

2. Sebagai tempat untuk menyimpan benda-benda bersejarah seperti:

a. Macam-macam senjata, yaitu keris, tombak, dan sebagainya.

b. Koleksi alat-alat kesenian daerah dari masa lampau dan

perkembangannya.

3. Sebagai perpustakaan

a. Buku-buku sejarah.

b. Buku-buku keagamaan/ kepercayaan dari setiap agama dan kepercayaan

penghayatan kepada Tuhan yang Maha Esa.

4. Sebagai pusat perkembangan seni budaya

a. Latihan karawitan.

b. Seni tari daerah.

Page 42: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

153

c. Kerajinan.

Berdasarkan pemaparan di atas berkaitan dengan skripsi yang dikaji, peran

Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan khususnya peran Dinas Pariwisata dan

Budaya yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan nomor 7 tahun

2006 yang berkaitan dengan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa lebih tepat dalam pengelolaan Nilai Tradisional, yaitu konsep abstrak

mengenai masalah dasar yang sangat penting yang berguna dalam hidup dan

kehidupan manusia yang tercermin dalam ide dan sikap dalam perilaku serta selalu

berpegang teguh kepada adat istiadat. Sementara itu, peran Dinas Pariwisata dan

Budaya yang tercantum dalam UU RI no.5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya.

Cagar budaya yang dimaksud adalah ”Paseban Tri Panca Tunggal”, yaitu tempat

berkumpul khususnya para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa (wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009).

Dengan demikian, pada dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan di sini

adalah melakukan pengelolaan, pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan

melestarikan peninggalan budaya serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran

terhadap peninggalan budaya daerah. Dinas Pariwisata dan Budaya mengharapkan

agar para Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia

(wawancara dengan Suryono, 22 Juni 2009).

Page 43: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

154

2) Departemen Agama

Indonesia sering disebut sebagai nation state yang unik karena memiliki

departemen yang khusus menangani masalah kehidupan beragama. Pembentukan

Departemen Agama (dahulu Kementerian Agama) pada 3 Januari 1946 atau lima

bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan. Keputusan yang mengakomodasi aspirasi

para pemimpin Islam tersebut semakin mempertegas bahwa agama merupakan

elemen yang penting dan terkait secara fungsional dengan kehidupan bernegara.

Departemen Agama dibentuk dalam rangka memenuhi kewajiban pemerintah

untuk melaksanakan isi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29. Pasal tersebut

berbunyi, ayat (1) Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa, ayat (2) Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-

masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut kaidah bahasa Indonesia dan berdasarkan penjelasan Bung Hatta

bahwa kata-kata ”itu” di belakang kata kepercayaan dalam pasal tersebut

menunjukkan makna kesatuan di antara agama dengan kepercayaan. Jadi, yang

dimaksud adalah kepercayaan di dalam agama, bukan kepercayaan di luar agama.

Dengan demikian tugas Departemen Agama adalah membina umat beragama sesuai

yang digariskan UUD 1945. Prinsip fundamental dalam UUD 1945 mengamanatkan

supaya ajaran dan nilai-nilai agama selalu berperan dan memberi arah bagi kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Page 44: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

155

Berkenaan dengan itu, dalam Instruksi Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1978

tentang kebijakan mengenai aliran-aliran kepercayaan yang ditandatangani Menteri

Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, antara lain ditegaskan bahwa Departemen

Agama yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian tugas pemerintahan

umum dalam pembangunan di bidang agama tidak akan mengurusi persoalan-

persoalan aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama tersebut. (Dalam:

http://pendis.depag.go.id/index.php?a=artikel&id2=perandepagnationstate).

Pemerintah daerah melalui Departemen Agama Kuningan berfungsi dan

berperan sebagai instansi yang memberikan pengawasan, pembinaan dan bimbingan

agar tidak terjadi penyempalan-penyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan

serta tidak membuat agama baru seperti yang diharapkan Departemen Agama sendiri

(wawancara dengan Ikin Asyikin, 22 Juni 2009).

Selain itu, Departemen Agama Kuningan juga berperan dalam memberikan

penjelasan tentang perkawinan Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa, baik itu mengenai perkawinan campuran maupun statusnya

terdaftar atau tidak di kantor Catatn Sipil.

3) Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan

Masyarakat)

Di Indonesia, lembaga yang berhak dan memiliki kewenangan khusus untuk

menangani masalah aliran sesat ini adalah Tim Koordinasi Pengawasan Aliran

Page 45: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

156

Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem ini dibentuk berdasarkan Surat

Keputusan Jaksa Agung No.KEP-108/JA/5/1984. Sementara, dasar hukum terkait

dengan penindakan terhadap aliran-aliran sesat didasarkan pada UU No.1/PNPS/1965

tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Untuk diketahui,

Kejaksaan Agung mengenal dua delik dalam bidang agama yaitu delik

penyelewengan agama dan delik anti agama. Penetapan itu didasarkan pada Surat

Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang

Tindak Pidana Agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang ditujukan kepada Kepala

Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia.

Pemerintah daerah melalui Kejaksaan Negeri dan Bakor Pakem Kuningan

berperan sebagai lembaga yang memberikan penanganan dan pengawasan terhadap

perkembangan Penghayat Kepercayaan di Cigugur Kuningan serta aliran-aliran

kepercayaan lainnya yang ada di Kabupaten Kuningan.

4.1.7 Landasan Hukum Pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur

Kuningan

Ketentuan Bab XI Pasal 29 UUD 1945 berbunyi: (1) Negara berasas atas

Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

menurut kepercayaannya itu. Dalam konsep UUD 1945 yang semula terdiri atas 42

pasal termasuk aturan peralihan dan aturan tambahan, di dalam pasal 29 hanya

Page 46: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

157

dinyatakan bahwa ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”.

Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan

terhadap penduduk yanng beragama dan menjalankan ibadat berdasarkan atas agama

atau kepercayaan itu, merupakan ciri negara berKetuhanan Yang Maha Esa.

Indonesia tidak berdasarkan pada agama tertentu dan juga tidak berdasarkan pada

semua agama yang ada, tetapi memberikan perlindungan pada semua agama dan

aliran kepercayaan, sehingga dari sudut ini tampak wawasan kebangsaannya sera

sifatnya yang sekularistik.

Pada dasarnya, agama dan negara mempunyai peran sendiri dan

keberadaannya saling mengatur kehidupan manusia pada bidangnya masing-masing.

Negara mengatur manusia dalam hubungannya dengan sesama dalam pergaulan dan

hubungan dengan Tuhan. Negara sebenarnya juga mengatur hubungan manusia

sebagai subjek hukum atau manusia yang lain. Namun hubungan manusia yang

bersangkutan dengan soal hak dan kewajiban keperdataan itu, dasar pengaturannya

berada pada kehendak para pihak yang saling berhubungan dan atau berdasarkan

Undang-Undang Negara. Sementara itu, hubungan antar manusia diatur oleh agama

berkait dengan kepercayaan dan kewajiban seseorang yang diperintahkan oleh Yang

Maha Kuasa.

Negara memiliki bidang pengaturan yang berbeda dengan bidang yang di atur

oleh agama. Oleh karena itu, tidak perlu dicampuradukan antara urusan agama

dengan urusan negara. Negara tidak akan mencampuri urusan bagaimana cara-cara

Page 47: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

158

beribadat, karena itu merupakan bidang yang dilakukan oleh agama. Demikian pula

negara tidak perlu membuat kriteria tentang apa yang diyakini oleh penduduk sebagai

agama, serta persyaratan suatu kepercayaan disebut sebagai agama. Dalam UUD

1945 hanya dinyatakan bahwa” ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia

terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.

Pembentuk Undang-undang Dasar tidak pernah mempermasalahkan macam

agama yang dianut oleh penduduk Indonesia. Salah satu yang menyangkut tentang

macam agama itu disinggung, ketika membicarakan Piagam Jakarta yang

mencantumkan kata-kata dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya

merupakan kompromis antara golongan Islam dengan Non-Islam. Tambahan kata-

kata itu hanyadimaksudkan bagi ”pemeluk agama Islam” diwajibkan menjalankan

syariat Islam, sedang yang non-Islam tidak dimaksud dalam kata-kata tambahan

tersebut. Mula-mula golongan Islam menghendaki agar kata-kata ”bagi pemeluk-

pemeluknya” ditiadakan sehingga kewajiban menjalankan syariat Islam berlaku bagi

seluruh warga negara Indonesia.

Akhirnya, disepakati bahwa Negara Indonesia tidak berdasarkan agama

tertentu dan memberikan peluang bagi penduduk negara memeluk masing-masing

agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dengan tidak

dicantumkannya jenis agama yang dapat menampung kemungkinan adanya agama

yang belum pernah dikenal di Indonesia. Dengan demikian pembatasan terhadap

agama-agama tertentu tidak sesuai dengan Nilai Dasar yang terkandung dalam pasal

29 UUD 1945.

Page 48: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

159

Penafsiran secara gramatikal dari pasal 29 ayat 2 UUD 1945 itu menghasilkan

pengertian bahwa agama tidak dapat dipisahkan dengan kepercayaan sehingga tidak

ada yang terlepas dari induk agama. Tampaknya penafsiran ini jauh dari realita

empirik yang ada di masyarakat Indonesia. Di Indonesia masih banyak aliran yang

tidak berpangkal pada induk agama. Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29

ayat 2 yang masih sangat dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga

dapat mengantisifasi perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya

diartikan agama dan atau kepercayannya itu.

Setelah diakuinya Aliran Kepercayaan sebagai aliran yang berdiri sendiri,

kelompok masyarakat yang beraliran kepercayaan memperoleh pula pengakuan, dan

memperoleh jaminan pelaksanaan ibadah berdasarkan atas kepercayaannya itu.

Penganut aliran kepercayaan di Indonesia lahir sebelum tersentuh oleh pengaruh

agama, oleh karena itu seyogyanya diakui oleh pemerintah.

Di lain pihak, tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945,

menimbulkan permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macam-

macam agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi

Indonesia yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan

pengakuan terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk

Indonesia. Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang

sama bagi agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia.

Perdebatan tentang apa yang disebut sebagai ”agama” harus ditinggalkan dan

diserahkan saja pada pemeluknya tentang apa yang disebut sebagai agama dan atau

Page 49: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

160

aliran kepercayaan. Sikap demikian sejalan dengan tidak dinyatakannya salah satu

agama sebagai agama negara. Pemerintah tidak perlu menetapkan jenis agama yang

diperbolehkan oleh penduduk negara berdasarkan salah satu pandangan agama dan

atau kepercayaan tertentu. Pengawasan dapat saja dilakukan terhadap ajaran yang

diberikan di dalam agama, sehingga apabila agama yang beredar dan dipeluk oleh

penduduk Indonesia ternyata mengajarkan aliran sesat dan membahayakan keamanan,

pemerintah dapat melarang. Ketentuan pasal 29 UUD 1945 ini mengandung Nilai

Dasar, yang penerapannya perlu peraturan perundangan. Dalam peraturan

perundangan yang mengandung Nilai Instrumentalis justru tidak boleh membatasi

Nilai Dasar.

Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan

bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada

senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa

yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang

dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Pada zaman republik upaya pemerintah ”mencampuri” agama dalam

pengertian upaya memberikan pengakuan terhadap macam-macam agama itu bermula

dari Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan

atau Penodaan Agama. Dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama

yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu,

Budha, dan Kong Hu Cu. Pengakuan terhadap 6 agama ini dilatarbelakangi oleh

Page 50: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

161

agitasi dan provokasi komunis yang cenderung melakukan pelecehan terhadap agama

di Indonesia.

Di dalam Penetapan Presiden itu sebenarnya sudah pula dijelaskan bahwa

penetapan tersebut tidak bersifat membatasi agama, sehingga agama lain pun berhak

memperoleh perlindungan hukum. Berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1969,

tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai

Undang-undang, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965 tercantum dalam lampiran

IIA yang bersama-sama dengan 22 Penetapan Presiden yang lain dalam lampiran itu

yang dinyatakan sebagai Undang-undang. Keberadaan Undang-undang No. 1/Pn.

Ps./1965 dari segi ketatanegaraan sebagai undang-undang yang sah yang secara

hirarkis di bawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagaimana undang-undang

lainnya.

Dalam pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa ”Kemerdekaan adalah hak

segala bangsa” Kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan bangsa adalah

kemerdekaan pada pasca revolusi kemerdekaan adalah perjuangan membebaskan

bangsa dari pengaruh bangsa dan ideologi lain yang tidak sejalan dengan amanat

yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya antara lain yang

berhubungan dengan kebebasan yang paling azasi bagi manusia adalah kebebasan

untuk beragama atau berkeyakinan seperti tertuang dalam:

Pasal 28 E

1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,

memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih

Page 51: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

162

kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.

2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan

pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.

Pasal 29

1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu.

UU RI No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Pasal 8

1) Instansi pelaksana melaksanakan urusan Adminduk dengan kewajiban meliputi:

a) Mendaftar peristiwa kependudukan dan mencatat peristiwa penting b) Memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap Penduduk

atas pelaporan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; c) Menerbitkan Dokumen Kependudukan; d) Mendokumentasikan hasil Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil; e) rnenjamin kerahasiaan dan keamanan data atas Peristiwa Kependudukan dan

Peristiwa Penting; dan F) melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi yang disampaikan oleh

Penduduk dalam pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. 4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk persyaratan dan tata

cara pencatatan peristiwa penting bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.

Page 52: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

163

Pasal 61

2) Keterangan rnengenal kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam data base Kependudukan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2007

TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Pasal 81

1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan pemuka penghayat kepercayaan

2) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan untuk mengisi dan menandatangani surat penghayat kepercayaan

3) Pemuka penghayat kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di daftar pada kementrian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa.

Dari peraturan hukum di atas, dapat dipahami secara menyeluruh bahwa

terlihat jelas walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat

kepercayaan, sejumlah aturan menyangkut hal itu masih belum optimal. Sekilas

eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun dalam praktiknya diskriminasi

tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas penduduk contohnya, mereka tidak pernah

bisa mencantumkan penghayat kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah

perkawinan, yang juga tidak bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap

menganut sebagai seorang penghayat kepercayaan.

Page 53: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

164

UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya sering

dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak belakang

dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan makin

luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur tangan

negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara

menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar pada tradisi spiritual genuine

masyarakat nusantara yang seringkali terstigma dengan sebutan aliran sesat.

Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan

peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan

kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya

peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus.

Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 25 Tahun 2006 tentang administrasi

kependudukan, yang dari judulnya saja hanya terlihat hanya mengatur hal yang

bersifat administratif, namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan

kebebasan berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat

kepercayaan, namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari

komunitas Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Perubahan kedua UUD 1945 yang ditetapkan tahun 2000, bersamaan dengan

berlakunya secara efektif UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Dalam

pasal 7 ayat (1) bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh

bidang pemerintahan, kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,

Page 54: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

165

peradilan, moneter, dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Namun

demikian, sering kali terjadi pemahaman yang tidak tuntas tentang pengertian

otonomi daerah dan bahkan tidak jarang diartikan secara berlebihan tanpa

mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya

mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini

adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban

warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama.

Beberapa masalah dalam kaitannya dengan diskriminasi dalam pelayanan

aparat pemerintah terhadap hak-hak sipil para Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa umumnya diantaranya adalah:

1. Pencatatan perkawinan yang belum bisa dicatatkan secara sama (bahkan

dengan PP yang ada kaitannya dengan UU ADMINDUK sekalipun,

pelayanan pencatatan perkawinan kaum Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak bisa dicatatkan. Hal ini

mengingat dalam PP tersebut hanya membatasi pada kelompok kepercayaan

yang memiliki ”organisasi kepercayaan formal” saja yang tercatat di

Direktorat Bina Hayat Pusat).

2. Pencantuman identitas keyakinan dalam KTP, atau dokeumen-dokumen

resmi, kolom tersebut selalu tertulis kolom agama.

Page 55: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

166

3. Pendidikan kerohanian (agama) di sekolah dan perguruan tinggi. Di mana

anak-anak penghayat kepercayaan yang kebetulan ”duduk di bangku sekolah”

diharuskan mengikuti pendidikan agama yang tidak dianutnya, kalau tidak

mengikuti maka anak tersebut tidak mendapat nilai agama dan raport.

4. Tidak diberikannya tunjangan pegawai negeri sipil kaum penghayat karena

tidak memiliki akte perkawinan. Meskipun pegawai negeri sipil bersangkutan

sudah lama bekerja dengan baik, bahkan mendapat penghargaan dari Presiden

RI sebagai pegawai teladan.

5. Masih berkembangnya ”Madraisme Phobia” dengan stigmatisasi yang

melekat pada pola pemikiran dan pandangan masyarakat terhadap hal-hal

yang berkaitan dengan kegiatan kebudayaan yang dikembangkan oleh

masyarakat Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa (wawancara dengan Djatikusumah, 23 Juni 2009).

Page 56: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

167

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian

4.2.1 Sosiografi Cigugur-Kuningan

Cigugur merupakan sebuah kelurahan yang terletak di kaki Gunung Ciremai

dan berjarak 30 km ke arah selatan kota Cirebon. Desa Cigugur merupakan suatu

desa yang berbeda dibandingkan desa yang lainnya. Hal ini terlihat dengan adanya

kekayaan budaya dan sejarah yang beragam yang dimiliki oleh masyarakat desa

Cigugur. Selain itu, di desa Cigugur terdapat sumber mata air, tanahnya yang subur

dan ditemukannya benda-benda purbakala. Oleh sebab itu, di desa Cigugur terdapat

obyek wisata yang dikenal oleh warga masyarakat dengan sebutan balong Girang atau

kolam renang Cigugur, serta Taman Purbakala Cipari.

Secara geografis, lokasi Kelurahan Cigugur terletak kurang lebih 3,5 km ke

arah barat dari pusat kota Kuningan dengan letak geografis ketinggian 660 m dari

permukaan laut. Di daerah Cigugur terdapat tiga sumber mata air dengan air yang

jernih. Sumber mata air ini digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari dan sebagai saluran irigasi tanah pertanian di desa Cigugur dan sekitarnya.

Disamping itu, sebagian masyarakat ada yang memanfaatkan sumber air tersebut

untuk memelihara ikan air tawar dalam kolam-kolam. Kelebihan air dari ke tiga

sumber mata air itu juga digunakan untuk mensuplai kebutuhan air sebagian

masyarakat Kelurahan Kuningan dan Cirebon (Arsip Kelurahan Cigugur).

Dilihat dari sudut administratif, wilayah Cigugur terdiri atas 38 RT, 13 RW

dan 4 lingkungan yang memungkinkan terjadinya mobilitas yang tinggi. Hubungan

antar warga masyarakat Cigugur dengan masyarakat luar Cigugur dapat berjalan

Page 57: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

168

lancar, sebab telah tersedia sarana transpotasi dan perhubungan yang memadai.

Masyarakat Cigugur dapat menjangkau daerah sekelilingnya, seperti Desa Cisantana,

Kelurahan Kuningan dan Kelurahan Sukamulya. Letaknya yang strategis tersebut

memungkinkan proses akulturasi budaya yang berlangsung antara budaya di Cigugur

dengan budaya di luar Cigugur.

Berkaitan dengan keberadaan penduduk sebagaimana terungkap dari deskripsi

hasil penelitian, bahwa Penganut Kepercayaan dan Pengahayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa yang ada di Kelurahan Cigugur berawal dari pendirian Agama Djawa

Sunda (ADS) oleh Kiai Madrais yang mencoba untuk membuat suatu sintesa dari

seluruh agama yang ada. Kiai Madrais adalah seorang pangeran keturunan dari

Kesultanan Gebang, beliau menyebarkan ajaran ajarannya kepada keluarga dan

murid-muridnya setelah mendirikan paguron atau padepokan di wilayah Cigugur.

Pada saat penelitian di lakukan jumlah Penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa berjumlah 155 orang dan 137 kk yang tersebar di

tempat kecamatan, diantaranya kecamatan Subang, Ciniru, Garawangi dan Cigugur.

Dilihat dari sudut mata pencaharian masyarakat, sebagaimana terungkap

dalam deskripsi hasil penelitian, ternyata sebagian masyarakat Kelurahan Cigugur

khususnya para penghayat kepercayaan bermata pencaharian sebagai petani dan telah

memiliki pekerjaan yang secara rutin mereka lakukan etos kerja yang terbina dalam

diri masyarakat menumbuhkan sikap kerja keras diantara mereka untuk mendapatkan

penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sebagaimana yang

diungkapkan oleh Sanderson (Mutakin, 2006:63) bahwa:

Page 58: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

169

Masyarakat agraris menyandarkan hidup kepada pertanian murni. Tanah dibersihkan dari semua tanaman dan ditanami dengan menggunakan bajak dan binatang-binatang dipergunakan menarik bajak. Ladang dipupuk secara besar-besaran, terutama dengan pupuk kandang. Ketika tanah ditanami dengan cara ini, maka ia dapat dipergunakan secara agak berkesinambungan . Dengan cara demikian, periode kosong sangat pendek atau bahkan tak ada lagi. Para petani sering menanami sebiang tanah tertentu setiap setahun, dan dalam beberapa kasus panen dapat dipungut dari ladang yang sama lebih dari satu kali dalam setahun.

Dalam kegiatan keseharian ini, terungkap juga nilai budaya mereka yang

memandang kerja untuk nafkah hidup dan untuk menambah karya seperti yang

mereka pahami dan jalankan sesuai dengan ajaran leluhur mereka yang menjunjung

tinggi nilai-nilai adat tradisional, rasa kebersamaan dan kebangsaan serta kecintaan

terhadap budaya yang dimiliki oleh bangsa sendiri yang menurut pandangan Bushar

Muhammad (2003:27) bahwa:

masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah, adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu, dan oleh karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya.

Dengan demikian, landasan yang mempersatukan para Penganut Kepercayaan

Penghayat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang dengan tanah

yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami oleh neneknya, yang didiami oleh

nenek moyangnya, secara turun-temurun.

Dilihat dari sudut pendidikan warga masyarakat Kelurahan Cigugur

khususnya penghayat kepercayaan, dapat dikemukakan bahwa pendidikan yang

mereka tempuh adalah pendidikan formal. Hal ini terbukti dengan adanya sarana dan

Page 59: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

170

prasarana pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak samapai kejenjang perguruan

tinggi. Mereka mempunyai kemauan yang keras untuk mendapatkan pendidikan yang

lebih tinggi. Tentu saja di balik semangat yang tinggi untuk menempuh pendidikan

itu, terkandung nilai positif adanya gerak sosial atau mobilitas sosial ke arah yang

lebih baik yang berorientasi ke masa depan untuk mencapai status sosial yang lebih

baik, sebab melalui pendidikan diharapkan dapat terkumpul sejumlah pengalaman

dan pengetahuan yang diperlukan dalam menghadapi hidup dan kehidupan di masa

yang akan datang.

Berkaitan dengan masalah kehidupan beragama dan sistem kepercayaan,

Kelurahan Cigugur merupakan salah satu wilayah yang mempunyai keragaman

beragama dibandingkan wilayah lain di Kabupaten Kuningan. Hal ini dibuktikan

dengan berkembangnya beberapa agama di Cigugur dan satu kepercayaan yang

dianut oleh sebagaian masyarakat Cigugur. Agama dan kepercayaan tersebut antara

lain: Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha dan penghayat kepercayaan yang

menjadi kajian dalam skripsi ini, walaupun terdapat keragaman dalam hidup

beragama, tetapi mereka bisa hidup berdampingan dan terlihat harmonis. Hal ini

terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan penghayat kepercayaan sangat

memegang teguh toleransi beragama diantara mereka. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Levy Bruhl (dalam Geografi Budaya, 2006:108) sebagai berikut:

…karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, yang pada dasarnya

Page 60: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

171

hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif; semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif.

Berdasarkan pembahasan sosiografi Kelurahan Cigugur di atas, maka dapat

dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut: Cigugur merupakan sebuah

wilayah yang ada di Kabupaten Kuningan yang mempunyai keunikan tersendiri

diantara wilayah lainnya, dimana Cigugur mempunyai kekayaan budaya dan sejarah

serta keanekaragaman dalam kehidupan beragama. Dalam keberagaman tersebut

terdapat suatu keharmonisan hubungan antara sesama warga yang berbeda agama

dan penghayat kepercayaan. Mereka hidup saling berdampingan tanpa membeda-

bedakan latar belakang. Selain itu, mereka hidup dalam rasa gotong royong dan

kekeluargaan yang tinggi, bahkan bisa membaur dalam semua kegiatan upacara

Seren Taun yang bisa menyatukan mereka yang dalam prosesnya kental dengan

nilai-nilai budaya tradisional, rasa kebangsaan dan kebersamaan.

4.2.2 Latar Belakang Kemunculan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan

Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana, tidak lain karena

adanya fenomena alam, di luar jangkauan dan keterbatasan pemikiran manusia dalam

menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap adanya kekuatan

dahsyat yang tidak dapat ditaklukan oleh kekuatan manusia. Hal itu sebagai kekuatan

supranatural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar memberikan perlindungan dan

Page 61: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

172

berkah bagi masyarakat, sehingga Firth (dalam Geografi Budaya, 2006 : 110)

mengemukakan sebagai berikut:

Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu di luar kekuasaan alam, akan tetapi oleh karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa dari manusia… Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa kemunculan Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, di Kelurahan Cigugur Kuningan

berawal dari Agama Djawa Sunda (ADS) yang dikembangkan oleh Madrais di

wilayah Cigugur Kuningan. Menurut Hartanto (2003), pada tahun 1940 di Cigugur-

Kuningan mulai dikenal nama Madrais tetapi ia sering meninggalkan Cigugur dengan

maksud berkelana sampai akhirnya kembali lagi ke Cigugur dan mendirikan paguron

dengan mengajarkan agama Islam dan dikenal Kiai Madrais. Menurut Prof.

Pudjawijatna (1981:135) mengemukakan kepercayaan sebagai berikut:

Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepastian terdapat karena percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Di paguron Cigugur, selain mengajarkan kerohanian dan agama Islam, Kiai

Madrais menganjurkan pula anak istri dan murid-muridnya supaya lebih menghargai

cara dan ciri (karakteristik kebudayaan) kebangsaan sendiri khususnya cara dan ciri

Jawa Sunda. Kiai Madrais tidak membenarkan masyarakat menjiplak dan memakai

bangsa lain, apalagi sampai tidak menghargai bangsanya sendiri (Indonesia). Selain

Page 62: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

173

itu, Kiai Madrais dalam memberikan pengajarannya menguraikan ajaran-ajaran dari

agama-agama lain untuk dapat diyakini dan ditemukan titik persamaannya dalam

Ketuhanan Yang Maha Esa yang akan menjadi dasar terciptanya kesadaran

berprikemanusiaan dalam mewujudkan cinta kasih terhadap sesamanya. Kesadaran

akan kebangsaan dinyatakan sebagai syarat mutlak terwujudnya persatuan dan

keutuhan bagi kebesaran suatu bangsa. Kesadaran yang pada prinsipnya tidak mau

diperbudak oleh bangsa lain dilanjutkan oleh Kiai Madrais sebagai keturunan

pangeran Gebang melalui paguronnya dengan menggugah kesadaran diri di samping

mengajarkan dan menggali inti dari setiap ajaran agama.

Pendirian Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa,

merupakan implementasi dari ajaran yang didapatkan oleh Kiai Madrais selama

perkelanaannya. Kiai Madrais berusaha mencoba untuk membuat sintesa dari seluruh

agama yang ada. Sebagaimana diungkapkan A. Mukti Ali (Muchtar

Ghazali,2004:217) yang menyatakan bahwa:

Pemikiran sintesis adalah menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari pelbagai agama, supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari jaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Hal ini dilakukannya untuk mencari suatu kebenaran yang hakiki. Dalam

melakukan sintesa dari ajaran agama yang ada. Kiai Madrais tetap memegang teguh

unsur budaya bangsa, dalam hal ini adalah budaya Sunda.

Berdasarkan pengalamannya mencari ilmu hampir di seluruh pulau jawa dan

pembuangannya ke Boven Digul (tempat pembuangan tahanan politik), maka penulis

Page 63: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

174

menganggap bahwa tidak mustahi selama pengelanaannya dan pengasingannya itu,

Madrais mengenal dan melakukan kontak dengan tokoh-tokoh nasionalis. Hal ini

semakin mempergigih usahanya untuk menanamkan kesadaran jangan mau

diperbudak oleh bangsa lain kepada para pengikutnya (Djatikusumah, wawancara 23

Juni 2009).

Penyebaran penghayat kepercayaan dari hasil penelitian terungkap bahwa

penyebarannya tidak hanya meliputi daerah Kuningan saja, tetapi juga hampir seluruh

Jawa Barat, bahkan samapai ke luar Jawa. Dari luasnya penyebaran, maka kita bisa

melihat bahwa kharisma dan wibawa yang dimiliki oleh Kiai Madrais sangatlah

besar. Faktor ini merupakan salah satu faktor dominan yang menyebabkan Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat berkembang.

Merujuk pada pendapat Soekanto (2004) tipe kepemimpinan yang dimiliki

oleh Kiai Madrais berdasarkan wataknya adalah tipe pemimpin di muka dan di

belakang. Digolongkan pada tipe ini karena Kiai Madrais adalah seorang pemimpin

yang mempunyai idealisme kuat dan mampu menentukan tujuan serta cita-cita yang

diinginkan kepada para pengikutnya dengan jelas dan mampu mengikuti

perkembangan masyarakat. Dari aspek wewenang, kepemimpinan Madrais termasuk

pada tipe kepemimpinan kharismatik.

Berdasarkan pembahasan tentang latar belakang kemunculan Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur Kuningan,

dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: Madrais melahirkan dan

menggerakan Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa karena

Page 64: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

175

tidak mendapat kepuasaan baik dari ajaran Islam yang diberikan kepadanya maupun

dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh Madrais mendasarkan pada

sistem keyakinan yang mengguanakan landasan keyakianan pada konsep suci yang

dibedakan dari duniawi, unsur gaib atau supranatural yang menjadi lawan dari

hukum-hukum alamiah. Ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa juga dijadikan sebagai pendorong, penggerak dan pengontrol bagi

tindakan-tindakan para pemeluknya untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai

kebudayaan dan ajarannya.

4.2.3 Hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Deskripsi hasil penelitian mengungkapkan bahwa setiap kepercayaan baik itu

dikategorikan sebagai suatu agama maupun suatu aliran kepercayaan pasti meiliki

ajaran dan pemikiran yang menjadi landasan perkembangan kepercayaan itu.

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang didirikan oleh

Kiai Madrais ini mempunyai suatu ajaran dan pemikiran sendiri. Kiai Madrais

berusaha untuk menjunjung tinggi budaya yang dimilikinya. Dalam ajarannya

tersebut menitikberatkan pada kesadaran kebangsaan sebagai dasar dari kesadaran

iman kepada Tuhan dan dalam ajarannya di samping kepercayaan yang benar-benar

menghayati, mengerti, dan dapat merasakan ke Agungan Tuhan serta menyadari

fungsi hidup selaku manusia serta selaku suatu bangsa.

Page 65: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

176

Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Djatikusumah (2008:7) bahwa

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak

mempunyai kitab suci (tertulis) sebagaimana agama-agama lainnya. Kitab suci yang

dimaksudkannya bukan berbentuk kitab tertulis (buku) sebagaimana dalam agama-

agama lainnya. Kitab suci yang dimaksudkannya adalah kitab suci ”titis tulis” yaitu

wujud atau pribadi manusia itu sendiri. Kiai Madrais lebih menitikberatkan pada

kesadaran diri selaku suatu bangsa. Madrais mengajarkan dan percaya kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Sebutan yang sering digunakan oleh para Penganut Kepercayaan

dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah ”Pangeran Si Kang Sawiji-

Sawiji”. Menurut paham penghayat kepercayaan, manusia hendaklah dipandang

dalam konteks keseluruhan dengan bentuk keanekaragaman hidupannya. Dalam

menjalani kehidupannya, manusia memiliki kewajiban-kewajiban yang harus

dilaksanakan yakni:

1) percaya Ka Gusti Si Kang Sawiji-Wiji (percaya kepada Tuhan Yang Maha

Esa);

2) ngaji badan (Mawas diri);

3) akur rukun jeung sesama bangsa (hidup rukun dengan sesama);

4) hirup ulah pisah ti mufakat (mengutamakan musyawarah untuk mencapai

mufakat);

5) hirup kudu silih tulungan (hidup harus tolong-menolong).

Melalui pemahaman nilai-nilai tersebut, terungkap bahwa penghayat

kepercayaan sudah memiliki dasar dasar yang kuat dalam memaknai nilai-nilai yang

Page 66: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

177

luhur yang telah diwariskan kepada mereka dengan menjunjung arti kesempurnaan

hidup dalam tatanan vertikal dan horizontal (percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa

dan menjalin hubungan baik dengan sesama).

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan

budaya spiritual yang berisi tuntunan luhur untuk berperilaku. Hukum ilmu suci

dihayati dengan hati nurani, dengan kesadaran dan keyakinan terhadap Tuhan Yang

Maha Esa. Manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi pekerti, dengan

kehalusan budi pekerti itulah manusia mempunyai nilai-nilai moral serta ketulusan

budi. Menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berarti setiap warga

harus yakin merasakan dan memikirkan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud

karena perpaduan serta yakin diantara Ciptaan Yang Maha Esa sebagai pernyataan

keagungan-Nya.

Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, hal-hal yang menjadi

dasar pengikutan penghayat Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang

Maha Esa mewujud dalam bentuk kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai

konsep hidup dan mati serta pemantapan tuntunan Pikukuh Tilu. Sebagaimana

diungkapkan Nurdin (2001:27) mengemukakan bahwa agama meliputi tiga persoalan

pokok, yaitu:

1) tata keyakinan atau credial, yaitu bagian dari agama yang paling mendasar berupa keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan yang supernatural, Dzat Yang Maha Mutlak di luar kehidupan manusia.

2) tata peribadatan atau ritual, yaitu tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam berhubungan dengan Dzat yang diyakini sebagai konsekuensi dari keyainan akan keberadaan.

Page 67: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

178

3) tata aturan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan keyakinan dan peribadatan tersebut.

Seperti halnya diungkapkan oleh Yayasan Tri Mulya (2006/2007:24) sebagai

berikut:

1) Kepercayaan akan adanya Tuhan

Dalam tuntunan penghayat kepercayaan, hakikat Tuhan ada di atas segala-

segalanya, Maha Tunggal. Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan

dengan ciptaannya terutama manusia sebagai mahluk Tuhan yang paling

sempurna, karena manusia memiliki rasa dan pikir yang melahirkan budi

pekerti dan memiliki nilai-nilai moral dan nilai religius. Jadi pada dasrnya

kepercayaan akan Tuhan merupakan landasan terdalam bagi penghayat

kepercayaan. Sedangkan menurut ajaran Islam kepercayaan akan adanya

Tuhan terkandung dalam Kitab Suci Al-Quran:

a) (Q.S. Al Ikhlash : 1-4): yang berbunyi:

”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”.

b) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

c) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.

d) Al-Qaaf ayat 16

Page 68: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

179

Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Dari ayat-ayat di atas, dapat dikaji bahwa dari ayat-ayat Al-Qur’an itu

dapat dipastikan terdapat juga dalam jaran-ajaran agma-agama lain, walaupun

tidak sama sepenuhnya, sedikitnya sejalan dengan apa yang dimaksud oleh

ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.

2) Konsep Hidup dan Mati

Manusia mempunyai peranan penting dalam menyempurnakan hidupnya di

dunia. Konsep hidup dan mati ini diyakini oleh penghayat kepercayaan untuk

membentuk manusia yang sempurna hidupnya dan sejati matinya. Hidup

sempurna adalah tujuan manusia untuk selalu hidup di jalan Tuhan dan

menjauhi segala laranganNya. Jadi, hidup sempurna menurut penghayat

kepercayaan adalah apabila manusia sudah bisa hidup sebagai manusia sejati

sesuai dengan kodratnya (papasten). Sedangkan mati sejati menurut penghayat

kepercayaan adalah mati tanpa meninggalkan jasad kasarnya karena manusia

itu berasal dari yang tidak ada kembali ke tidak ada lagi.

Jika Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

memiliki pandangan tentang hidup dan mati tersebut, maka menurut

pandangan yang dimiliki oleh agama Islam. Agama Islam meyakini bahwa

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kami-lah,

kamu dikembalikan” (Q.S.Al-Ankabut:57). Menurut ajaran Islam apabila

manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi

seluruh ciptaan-Nya, beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia

Page 69: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

180

memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci

Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi:

”Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”. Dari ayat di atas, dapat dikaji surga dan neraka merupakan suatu

keharusan demi tegaknya keadilan, karena kedailan di dunia belum

diperhitungkan dengan seksama dan diadili dengan seadil-adilnya. Pengadilan

Allah SWT di alam akhirat yang betul-betul diadili dengan seadil-adilnya

terhadap semua perbuatan manusia ketika di dunia. Apabila manusia mampu

mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya,

beramal shaleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang

kekal yaitu surga

3) Pikukuh Tilu

Pada dasarnya manusia hidup menuju purwawisesa yakni sabda Tuhan yang

dijiwai oleh pancaran kemanusiaan sejati. Manusia adalah mahluk religius,

mahluk sosial, dan mahluk budaya. Untuk mencapai ke tiga hal tersebut

diperlukan tuntunan yang disebut ”Pikukuh Tilu” yaitu tiga hal yang harus

dipegang teguh (dipikukuhkan). Isi Pikukuh Tilu tersebut ialah sebagai

berikut:

a. Ngaji badan.

b. Tuhu/ Mikukuh Kana Tanah.

Page 70: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

181

c. Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.

Jadi, pada dasarnya Pikukuh Tilu merupakan tuntunan tentang konsep

kesempurnaan hidup dan mengajarkan bagaimana manusia harus menyadari bahwa

dirinya merupakan makhluk Ciptaan Tuhan yang lainnya kembali kepada Sang

Pencipta.

Cara terbaik yang dilakukan oleh Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan ibadahnya ialah dengan bersemedi.

Bersemadi menurut ajaran Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa adalah sebagai suatu upaya untuk menciptakan si sakarupa sorangan, yaitu suatu

keadaan di mana manusia bisa berhadapan dan berdialog dengan dirinya sendiri. Bila

manusia bisa berdialog dengan dirinya, maka ia diharapkan seperti melihat dan

berdialog dengan karya ciptaan Allahnya. Dalam ajaran Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dijelaskan bahwa “Sing saha uninga

kana dirina sorangan, moal samar ka Allahna”. Adapun tujuan utama dilakukan

semedi adalah membersihkan dan membebaskan dirinya dari segala pengaruh tidak

baik yang berasal dari luar (Yayasan Tri Mulya, 1960: 22).

Menurut Suhandi (1988: 198) dan (wawancara dengan Djatikusumah, 23 juni

2009) api merupakan benda simbolik bagi penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selalu ada dan dihadapi dalam setiap

peribadatan, terutama dalam peribadatan masal. Api memancarkan terang dan panas,

sehingga dapat menjadi simbol adanya suatu kehidupan. Proses hidup dan mati yang

terjadi dalam diri manusia, titisan roh kehidupan hanya dapat terlaksana lewat api,

Page 71: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

182

tempat semua daya hidup diolah dan diselaraskan bagi manusia. Sebagaimana yang

dikemukakan oleh Durkheim (Awan Mutakin, 2006:107) bahwa:

religi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka kegiatan religi yang dilakukan masyarakat, nampaknya memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang diyakini bersama memiliki kekuatan yang dapat mempersatukan kehidupan mereka yang disebut Totem. Dengan demikian, bahwa sistem totem sebagai religi yang hidup dalam

masyarakat primitif, telah memberikan suatu keyakinan yang dalam terhadap

kelompoknya, sehingga di manapun mereka berada akan tetap bersatu dalam totem

yang sama dan akan berkumpul di saat-saat tertentu dalam upacara keagamaan yang

dilaksanakan oleh klannya, sehingga totem ini sebagai alat integrasi sosial ke dalam

bagi kehidupan masyarakat.

Dari pembahasan hal-hal yang menjadi dasar suatu pengikutan Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dapat diambil

kesimpulan bahwa ada hal yang mendasari kepercayaan penghayatan tersebut yaitu:

Kepercayaan akan adanya Tuhan, memaknai konsep hidup dan mati serta

menjalankan Pikukuh Tilu. Adanya hal-hal dasar itu memberikan acuan atau

tuntunana bagi para Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

untuk berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari mereka. Perilaku

penghayatan tersebut terbagi dalam beberapa aspek , seperti aspek teologis (Ngaji

badan, Tuhu kana tanah, Madep Ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6), aspek sosial (Tolong

menolong, gotong royong, dan berbudi luhur yang diwujudkan dalam tekad ucap

Page 72: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

183

serta lampah), aspek kultural (membina, mengembangkan serta melestarikan alam

dan budaya sesuai dengan cara-ciri manusia dab cara ciri bangsa).

4.2.4 Pola Interaksi Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa

Sebagaimana dikemukakan dalam deskripsi hasil penelitian terungkap bahwa

dalam mengamalkan ajaran budi luhur warga atau para Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa menyadari bahwa manusia diciptakan

sebagai makhluk sosial yang berbeda dan hidup bersama orang lain. ” Adanya aku

karena adanya engkau”, artinya manusia bisa hidup karena adanya orang lain. Dalam

hidup keseharian manusia selalu ingin dicintai dan mencintai, satu sama lain saling

membutuhkan karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan manusia untuk ikut

serta mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera.

Dalam upaya ikut serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera warga penghayat kepercayaan mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan bekerja bersama-sama tanpa memandang suku, ras, agama maupun golongan, baik itu kegiatan yang datangnya dari pihak pemerintah maupun atas inisiatif dari warga masyarakat itu sendiri. Kegiatan tersebut sekaligus merupakan perwujudan dari jalinan persatuan dan kesatuan bangsa.

Proses yang terjadi antar sesama warga masyarakat di Kelurahan Cigugur

didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Dalam

pandangan Koentjaraningrat (Awan Mutakin, 2006:65) pentingnya gotong royong

dapat dilakukan dalam hal:

Page 73: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

184

1. Dalam hal kematian, sakit atau kecelakaan, di mana keluarga yang sedang menderita itu mendapat pertolongan berupa tenaga dan benda dari tetangga dan orang lain sedesa.

2. Dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah, membersihkan rumah dari hama tikus, menggali perigi pekarangan rumah dsb., di mana si pemilik rumah dapat meminta bantuan dari tetangga yang hidup dekat sekeliling rumahnya dengan memberi jamuan makan.

3. Dalam hal pesta bila seseorang misalnya hendak mengawinkan anaknya, bisa minta bantuan tidak hanya dari kaum kerabatnya tetapi juga dari kaum tetangganya dalam hal mengurus persiapan dan penyelenggaraan pestanya.

4. Dalam hal pekerjaan yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb., di mana penduduk desa dapat terpengaruh untuk bekerja bakti sesuai dengan pemerintah dari kepala desa

Pada umumnya interaksi yang terjadi diantaranya: 1). dalam hal pekerjaan

yang berguna untuk kepentingan umum dalam masyarakat desa, seperti memperbaiki

jalan, jembatan, bendungan, irigasi, bangunan umum dsb.; 2). dalam hal kematian,

sakit atau kecelakaan; 3) dalam hal pekerjaan sekitar rumah tangga, misalnya

memperbaiki atap rumah, mengganti dinding rumah; 3) alam hal pesta bila seseorang

misalnya hendak mengawinkan anaknya dan yang terbesar adalah dalam upacara

seren taun. Hal itu di lakukan meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda.

Dalam kehidupan beragama, masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis. Hal

ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantar

mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Merujuk pendapat Soekanto

(2004:61) bahwa:

Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling tegur-menegur, berjabat tangan,

Page 74: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

185

saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial Interaksi diantara warga masyarakat di Kelurahan Cigugur juga terlihat dalam

kegiatan gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat, seperti kegiatan bakti

sosial, jumat bersih, dan membuat sarana peribadatan. Dalam hal ini, meskipun

mereka berbeda agama maupun kepercayaan tetapi mereka bisa membaur diantara

masyarakat yang lainnnya untuk saling membantu membuat sarana peribadatan

bahkan kalau ada yang meninggal berbeda agama mereka bahu-membahu ikut

mengurus adan mengucapkan belasungkawa dan mengantarkan jenajahnya. Dalam

kehidupan sehari-hari, mereka bisa mengesampingkan ego dan fanatisme demi

terciptanya rasa toleransi dan kekeluargaan diantara mereka tanpa membedakan latar

belakang agama, ras, suku, dan golongan. Betapa pentingnya kerja sama, di

gambarkan oleh Charles H. Cooley sebagai berikut:

”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi-memenuhi kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna”. Dalam kehidupan beragama masyarakat Kelurahan Cigugur terlihat harmonis.

Hal ini terjadi karena antara masyarakat Cigugur dan Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa memegang teguh rasa toleransi diantara

mereka sehingga terjalin suatu hubungan yang baik. Pelaksanaan ritual keagamaan

cukup kental, bahkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh masyarakat biasanya

dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Sarana-sarana peribadatan cukup lengkap,

Page 75: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

186

terlihat dengan banyaknya tempat peribadatan, seperti masjid ada enam buah, langgar

ada sembilan buah dan gereja ada dua buah (Arsip Kelurahan Cigugur, 2008).

Sebagaimana diungkapkan oleh Hasyim (1979:22) bahwa:

Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menetukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.

Dengan demikian, toleransi secara prinsipil adalah suatu tindakan yang

apresiatif (menghargai), membiarkan tetap mengontrol tindakan orang lain, baik itu

dalam konteks ibadah, akhlak, dan muamalah, agar sesuai dengan norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat.

Selanjutnya Hasyim (1979:23) memasukan unsur-unsur yang melandasi sikap

toleransi, antara lain:

1) mengakui hak setiap orang; 2) menghormati keyakinan orang lain; 3) setuju dalam perbedaan; 4) saling mengerti; 5) kesadaran dan kejujuran; 6) jiwa.

Berdasrkan pembahasan tentang pola interaksi Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan masyarakat sekitar di Kelurahan

Cigugur Kuningan, maka dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut:

Pola interaksi dengan warga sekitar terjalin dengan baik, sehingga saling

menghargai, menghormati, toleransi dan kerukunan antar umat beragama terjalin

dengan baik. Disamping itu, gotong-royong, bantu-membantu atau bekerjasama

Page 76: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

187

dalam segala aktivitas dan kegiatan sosial juga terjalin dengan baik diwarnai

dengan kehidupan yang harmoni dan bisa berkembang sampai sekarang di

Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan.

4.2.5 Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan terhadap Penganut

Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa

Sebagaimana terungkap dalam deskripsi hasil penelitian, bahwa peran

Pemerintah Daerah Kuningan dalam rangka kelancaran roda pemerintahan dan

berjalannya stabilitas kerukunan anatar umat beragama, maka sesuai dengan

pelimpahan dan kewenangannya Pemerintah Daerah Kuningan melimpahkan masalah

ini pada instansi-instansi yang terkait yang berhubungan dengan masalah ini. Adapun

insatansi-instansi terkait tersebut diantaranya:

1) Departemen Agama Kuningan

2) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan

3) Bakor pakem Kuningan.

Pelimpahan pada insatansi-instansi terkait ini sebagai kepanjangan tangan dari

Pemerintah daerah Kuningan sendiri yang khusus menaungi atau membawahi

masalah keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan penghayat di Kelurahan

Cigugur Kuningan ini. Pelimpahan ini dilaksanakan sebagai upaya pembinaan dan

memfasilitasi aparatur pemerintahan dalam rangka pelaksanaan kebijakan-kebijakan

pusat ataupun peraturan daerah untuk terciptanya stabilitas nasional dan kerukunan

antar umat beragama. Sebagaimana diungkapkan oleh M. Panggabean (Hasyim,

Page 77: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

188

1979:357) menguraikan pandapat yang senada mengenai faktor-faktor dalam

membina kerukunan hidup umat beragama, sebagai berikut:

1) Golongan yang belum beragama atau belum berKetuhanan Yang Maha Esa termasuk golongan atheis dan animis diusahakan agar mereka beragama dan berKetuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan pilihannya sendiri.

2) Golongan yang sudah beragama atau berKetuhanan Yang Maha Esa, diusahakan agar mereka makin mantap dan tebal imannya serta luhur budi pekertinya berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing.

3) Golongan pemuda dan golongan remaja diusahakan untuk mengahargai dan menghayati nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur serta kegiatan-kegiatan usaha yang lebih mengarah kepada pembangunan.

4) Golongan agama dan cendikiawan diusahakan kreativitas dan dukungan yang bergairah sehingga akan menimbulkan partisifasi nyata dari rakyat terhadap program-program pembangunan.

5) Peningkatan kerukunan hidup beragama dan jiwa tenggang rasa umat beragama yang tinggi antar pemeluk agama yang berlainan, dengan memperhatikan faktor-faktor dibawah ini: a. Jangan sampai berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk agama

meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan.

b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antar kelompok-kelompok yang berbeda agama.

c. Saling memahami kepercayaan satu sama lain. Pembinaan yang baik membutuhkan pengawasan. Demikian pula aturan-

aturan dan larangan-larangan dapat berjalan dengan baik jika disertai dengan

pengawasan yang terus-menerus. Oleh sebab itu, tokoh agama dan aparat pemerintah

terkait haruslah berupaya untuk mengawas secara ketat dan bertanggung jawab

terhadap praktek Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha

Esa.

Fungsi legitimasi dari pemerintah terhadap agama dan kepercayaan berupa

pembenaran dan pengukuhan sangat penting. Hal ini dikarenakan agar tidak adanya

Page 78: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

189

kesimpangsiuran dan penyimpangan-penyimpangan dalam agama yang dapat

meresahkan masyarakat yang nantinya akan menghambat suksesnya program-

program pembanguanan yang akan diselenggarakan. Sehubungan dengan hal itu,

Pemerintah Daerah Kuningan juga mempunyai peranan pengawasan terhadap

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada di

Kelurahan Cigugur Kuningan tersebut.

Dari pembahasan tentang peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan

terhadap Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di

Kelurahan Cigugur Kuningan, dapat ditarik kesimpulan sebagi berikut: Pada

dasarnya peran Pemerintah Daerah Kuningan disini adalah melakukan pengelolaan,

pemeliharaan, melindungi, mengamankan dan melestarikan peninggalan budaya

serta meningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap peninggalan budaya daerah

serta pengawasan, pembinaan dan bimbingan agar tidak terjadi penyempalan-

penyempalan agama, penyimpangan-penyimpangan dan tidak membuat agama baru.

4.2.6 Landasan hukum pembenaran terhadap Penganut Kepercayaan dan

Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan Cigugur

Kuningan

Beragama dan beraliran kepercayaan adalah Hak Sipil dalam arti bahwa hak

itu sudah ada, tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial serta keagamaan

sebelum lahirnya organisasi negara. Hak Sipil itu umumnya berkaitan dengan dengan

prinsip kebebasan, yang terganggu karena hadirnya negara. Negara melalui

Page 79: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

190

pemerintah cenderung mengatur, membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil.

Kebebasan sipil yang berkait dengan nilai-nilai agama diatur oleh kaidah agama,

seringkali berimpit dengan hak penguasa dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan.

Hak untuk memilih pasangan hidup merupakan kebebasan yang harus diakui

keberadaannya oleh Pemerintah.

Negara tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang

sama agamnya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari

kebebasan memilih calon suami istri. Kaidah dalam hak-hak asasi membenarkan

perkawinan antar agama, jika pemerintah menolak pencatatan, kaidah hak asasi itu

akan kehilangan makna. Oleh karena itu walaupun negara melarang perkawinan

campuran antar agama, pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi melalui

lembaga pencatatan nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan kesan bahwa

pemerintah memaksakan seseorang untuk memilih agama, yang semata-mata hanya

untuk kepentingan unifikasi hukum dan administrasi pemerintahan. Didalam

Ketentuan Pasal 18 Universal Declaration of Human Right dinyatakan bahwa:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion: this right includes freedom to change his religion or belif, and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance.

Unsur-unsur kebebasan yang dapat diturunkan dari ketentuan pasal tersebut

adalah: (a) setiap orang mempunyai kebebasan atas pikiran, keinsafan batin dan

agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan; (b) setiap

orang mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara

Page 80: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

191

mengajarkannya, melaksanakannya, beribadat dan menaatinya; (c) kebenasan

sebagaimana termaksud dalam butir b tersebut dapat dilaksankan baik sendiri maupun

bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun di tempat

pribadi.

Kebebasan memeluk agama dan atau alairan kepercayaan tercantum pula

dalam Konvensi Internasioanal tentang Hak Sipil dan Politik. Di dalam

Internasioanal “Convention on Civil and Political Right” dinyatakan:

Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This righ shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and public or private, to manifest his religion or belif in worship observance, practice and teaching.

Ketentuan Pasal 29 ayat2 UUD 1945 yang ditafsirkan secara gramatikal akan

bertentangan dengan Pasal 18 International Convention on Civil and Political Right.

” to have or to adopt a religion or belief of his choice” berarti agama dan

kepercayaan itu suatu alaternatif , sedangkan biasanya pasal 29 ayat 2 ditafsirkan

secara komulatif. Sebagian masyarakat Indonesia mengenal bentuk ibadat yang

artinya menjalankan perintah dari alairan kepercayaan yang tidak bersumber dari

agama tertentu. Namun begitu konvensi tentang Hak Sipil dan Politik juga

membenarkan pembatasan yang dilakukan dengan Undang-undang, sepanjang

pembatasan itu untuk kepentingan keamanan ketertiban, hak-hak asasi dan kebebasan

orang lain.

Di Indonesia masih banyak aliran yang tidak berpangkal pada induk agama.

Penafsiran yang tepat untuk memahami pasal 29 ayat 2 yang masih sangat

Page 81: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

192

dipertahankan saat ini adalah penafsiran extensiel sehingga dapat mengantisifasi

perkembangan. Ketentuan pasal 29 ayat 2 ini seyogyanya diartikan agama dan atau

kepercayannya itu. Dengan tidak dijelaskannya macam agama dalam UUD 1945,

timbul permasalahan yaitu perlukah pemerintah mengatur tentang macam-macam

agama yang diperkenankan dipeluk oleh penduduk Indonesia. Konsekuensi Indonesia

yang tidak sekularistik, dapat dibenarkan bahwa pemerintah memberikan pengakuan

terhadap agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia.

Hanya saja pemerintah harus memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi

agama dan atau aliran kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia

UUD 1945 sebagai sumber hukum di negeri ini dalam implementasinya di

lapangan sering dipersempit oleh aturan pelaksanaan turunannya yang justru bertolak

belakang dengan spirit keberagaman bangsa. Tumpang tindih hukum mengakibatkan

makin luasnya dampak diskriminasi bagi warga negara. Terutama dengan campur

tangan negara dalam menentukan agama yang diakui dan tidak diakui oleh negara.

Berkaitan dengan landasan hukum Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada

Tuhan Yang Maha Esa menyebabkan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan

Kepada Tuhan Yang Maha Esa yang menjadikan landasan keyakinannya berakar

pada tradisi spiritual genuine masyarakat nusantara seringkali terstigma dengan

sebutan aliran sesat.

Dampak dari perubahan Undang-undang Dasar 1945 bagi pembentukan

peraturan perundang-undangan di tingkat pusat khususnya yang berhubungan dengan

kebebasan berkeyakinan tidak segera tampak ke permukaan, karena biasanya

Page 82: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

193

peraturan perundang-undangan tersebut terselubung oleh judul yang sangat bagus.

Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi

kependudukan, dari judulnya hanya terlihat mengatur hal yang bersifat administratif,

namun dalam kenyataannya masalah yang berhubungan dengan kebebasan

berkeyakinan. Kini seolah terakomodir payung untuk para penghayat kepercayaan,

namun birokrasi pemerintahan terbiasa mempersempit pemahaman dari komunitas

Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Diskriminasi pada Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan

Yang Maha Esa umumnya karena tidak terakomodasinya hak-hak sipil dan budaya

mereka dalam sistem hukum yang berlaku. Masalah yang senantiasa muncul saat ini

adalah perlakuan dari aparat pemerintah yang sering membedakan hak dan kewajiban

warga penghayat kepercayaan dengan para penganut agama.

Gagasan memberikan pengakuan terhadap agama tertentu, membuktikan

bahwa upaya pemerintah untuk memberikan pengakuan terhadap agama yang ada

senantiasa menimbulkan keresahan dan masalah ketidakadilan. Kita sebagai bangsa

yang merdeka tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sangat diskriminatif yang

dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Berdasarkan pembahasan tentang landasan hukum pembenaran terhadap

Penganut Keprcayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Kelurahan

Cigugur Kuningan, dapat dirumuskan kesimpulan sementara sebagai berikut:

Landasan hukum pembenaran terhadap penghayat kepercayaan tersebut adalah a)

UUD 1945 Pasal 29 ayat (1 dan 2); b) UUD 1945 Pasal 28 E ayat (1 dan 2); c) UU

Page 83: BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN 4a-research.upi.edu/./operator/upload/s_ppk_053735_chapture4.pdf · Sebelah Barat: berbatasan dengan Desa Cisantana Kelurahan Cigugur

194

RI No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependuduk; d) Peraturan Pemerintah

RI No. 37 Tahun 2007 tentang Administrasi Kependudukan.