bab iv beli dalam - idr.uin-antasari.ac.id iv.pdf · 43 bab iv

115
43 BAB IV ANALISIS PENDAPAT K. H. SALIM MA’RUF TENTANG JUAL BELI DALAM RISALAH MU’AMALAH A. Hukum Jual Beli Sebelum memulai pembahasan jual beli, K. H. Salim Ma’ruf terlebih dahulu menyampaikan ayat Alquran dan hadis tentang kebolehan jual beli. Beliau mencantumkan ayat Alquran surah al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi: البيع واحل اAllah menghalalkan jual beli Metode bayani pada ayat ini dilihat dari petunjuk lafadz atas makna dari sudut jelas atau tidaknya lafadz (bi i’tibar dalalah al -lafazh ‘ala al -ma’na bihasab zuhurih wa khafih) adalah zahir. Sebab ayat itu menyebutkan secara jelas (zahir) bahwa hukum jual beli adalah halal. 1 Kata البيعmerupakan isim jenis yang dimasuki partikel alif lam istigraq (menunjukkan makna umum). Masuk ke dalam kehalalan jual beli tersebut semua bentuk jual beli, baik klasik maupun modern. Prinsip dasarnya adalah tetap hukumnya berdasarkan keumumannya sampai datang kemudian dalil yang men- takhsis-nya (mengkhususkannya). Tidak boleh men- takhsis kalam Allah dengan hawa nafsu dan fanatisme tetapi mesti dengan dalil yang shahih. Prinsip dasar tersebut diamalkan selama belum ada dalil yang menentangnya, 1 Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syari’ah…., Op cit , h. 143

Upload: others

Post on 26-Oct-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

43

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT K. H. SALIM MA’RUF TENTANG JUAL

BELI DALAM RISALAH MU’AMALAH

A. Hukum Jual Beli

Sebelum memulai pembahasan jual beli, K. H. Salim Ma’ruf terlebih

dahulu menyampaikan ayat Alquran dan hadis tentang kebolehan jual beli.

Beliau mencantumkan ayat Alquran surah al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:

واحل الله البيع

Allah menghalalkan jual beli

Metode bayani pada ayat ini dilihat dari petunjuk lafadz atas makna

dari sudut jelas atau tidaknya lafadz (bi i’tibar dalalah al-lafazh ‘ala al-ma’na

bihasab zuhurih wa khafih) adalah zahir. Sebab ayat itu menyebutkan secara

jelas (zahir) bahwa hukum jual beli adalah halal. 1

Kata البيع merupakan isim jenis yang dimasuki partikel alif lam istigraq

(menunjukkan makna umum). Masuk ke dalam kehalalan jual beli tersebut

semua bentuk jual beli, baik klasik maupun modern. Prinsip dasarnya adalah

tetap hukumnya berdasarkan keumumannya sampai datang kemudian dalil

yang men-takhsis-nya (mengkhususkannya). Tidak boleh men-takhsis kalam

Allah dengan hawa nafsu dan fanatisme tetapi mesti dengan dalil yang shahih.

Prinsip dasar tersebut diamalkan selama belum ada dalil yang menentangnya,

1 Cholil Nafis, Teori Hukum Ekonomi Syari’ah…., Op cit , h. 143

Page 2: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

44

maka apabila ada dalil yang mengharamkannya maka wajib menaatinya.2

Berkaitan dengan masalah ini, kaidah fiqih menyebutkan:3

الأصل فى المعاملات الإباحة إلا ان يدل دليل على تحريمهاPada dasarnya semua muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

mengharamkannya

Berdasarkan kaidah ini, maka setiap muslim diberi kebebasan untuk

melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Melakukan aktivitas ekonomi adalah

boleh, selama tidak merupakan bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak

mengandung unsur-unsur yang dilarang.4

Ibnu Khatib mengemukakan pendapat para ulama tentang keberadaan

ayat di atas kepada empat pendapat sebagai berikut:5

1. Kalimat البيع termasuk kalimat umum, artinya mencakup setiap jenis jual beli

dan menunjukkan kebolehannya, kecuali ada dalil yang melarangnya. Sebab

kalimat tersebut termasuk isim jenis.

2. Kalimat البيع termasuk ke dalam kalimat mujmal (global), karena macam-

macam jual beli ada yang diperbolehkan dan ada juga yang tidak

diperbolehkan.

3. Kalimat البيع termasuk kalimat umum yang di-takhsish dan termasuk kalimat

mujmal karena ada penjelasan ayat selanjutnya.

2 Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli… Op cit, h. 54

3 Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Mu’amalah, (Banjarmasin: LPKU, 2014),

h. 158 4 Ibid, h. 162

5 Ibnu Khatib, Mukhtasar min Qawa’id al-‘Alla’i wa Kalam al-Asnawi (t.t: t.tp, t.th),

h. 248

Page 3: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

45

4. Kalimat البيع mencakup jual beli yang diketahui, ayat ini diturunkan setelah

Nabi saw menjelaskan jual beli yang diperbolehkan dan dilarang.

Imam Syafi’i berkata, “Allah swt memaparkan hukum jual beli dalam sejumlah

ayat Alquran yang mengindikasikan kebolehannya. Penghalalan jual beli oleh

Allah swt mengandung dua pengertian:

1. Allah swt menghalalkan semua bentuk jual beli yang terjadi antara penjual

dan pembeli. Keduanya diperbolehkan melangsungkan transaksi atas dasar

kerelaan.

2. Allah swt menghalalkan jual beli yang tidak dilarang oleh Rasul saw selaku

juru penerang apa yang dikehendaki Allah swt. Jual beli ini termasuk

transaksi yang telah ditetapkan ketentuannya dalam Alquran dan teknisnya

dijelaskan melalui sabda Rasul saw atau termasuk redaksi yang bermakna

umum dengan maksud khusus. Kemudian Rasul saw menerangkan sesuai

kehendak Allah swt yang halal dan yang haram atau bisa halal dan bisa

haram atau yang secara umum dihalalkan kecuali yang diharamkan oleh

Nabi saw atau apa yang terkandung dalam sabda beliau”. 6

Imam Syafi’i berkata, “pada dasarnya hukum seluruh bentuk transaksi jual beli

adalah mubah selama terjadi atas dasar kerelaan pembeli dan penjual. Mereka

boleh memperjualbelikan apa saja kecuali yang dilarang oleh Rasul saw secara

tersurat maupun tersirat. Transaksi yang tidak termasuk dalam ketentuan di

atas kami perbolehkan sesuai dengan penjelasan dalam Alquran”. 7

6 Ahmad Mushtafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, juz. 01 (Riyadh: Daar al-

Tadmuriyah, 2006), h. 429 7 Ibid

Page 4: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

46

Selain itu, K. H. Salim Ma’ruf juga mencantumkan hadis Nabi saw

tentang kebolehan jual beli yang berbunyi:

غش فيه ولا خيانة وكل بيع مبرور اي لا بيده عمل الرجلUsaha seseorang yang dihasilkan oleh tangannya sendiri dan jual beli yang

mabrur

Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan

khiyanat, sedangkan dusta itu adalah penyamaran dalam barang yang dijual

dan penyamaran itu adalah menyembunyikan aib barang dari penglihatan

pembeli. Adapun makna khiyanat ia lebih umum dari itu, sebab selain

menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat atau hal-hal luar seperti dia

menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberi tahu harga yang

dusta.8

Islam menganjurkan agar pemeluknya berusaha atau berniaga dengan

cara yang halal dan menghindari yang haram. Hal ini sebagaimana ditanyakan

Rafi’ bin Khudaij kepada Rasul saw tentang perihal usaha yang paling baik,

lalu Nabi saw menjawab pertanya’an Rafi’ tersebut sebagaimana hadis di atas.

Hadis di atas menjelaskan kepada kita tentang keutamaan bekerja dalam rangka

mencari rezeki dan sebaik-baiknya perdagangan adalah berdasarkan syariat

Islam, karena jual beli merupakan sumbunya peradaban dan tatanan kehidupan

masyarakat.9

Oleh karena itu, keduanya termasuk diantara usaha yang paling utama

dan baik. Selain itu, jual beli termasuk mata pencaharian yang lebih sering

8 Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Manhaj, juz 02 (Beirut: Daar

Kutub al-Ilmiah, 2003), h. 220 9 Enang Hidayat…, Op cit, h, 02

Page 5: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

47

dipraktikkan para sahabat dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya,

seperti pertanian dan yang lainnya. Di samping itu, karena manfaatnya lebih

umum dirasakan dan banyak dibutuhkan oleh masyarakat. 10

Selain dalil dari Alquran dan hadis di atas, kebolehan jual beli juga

berdasarkan ijma’. Para ulama mujtahid telah sepakat tentang kebolehan jual

beli dan keharaman riba.11

B. Definisi Jual Beli

K. H. Salim Ma’ruf mendefinisikan jual beli dengan definisi sebagai

berikut, “akad yang mengandung pertemuan harta dengan harta atas jalan yang

ditentukan”.12

Definisi ini terlalu umum, kendatipun mengemukakan masuknya dalam

definisi tersebut ungkapan “atas jalan yang ditentukan” dalam hal ini yang

dimaksud adalah syarat-syaratnya. Namun di dalamnya tidak dikemukakan

tujuan akad dan jangka waktunya sehingga tidak mencegah masuknya akad

lain, misalnya sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan lain- lainnya. Di

dalamnya juga tidak mengandung saling tawar menawar dalam harga, padahal

tawar menawar dalam harga diperlukan agar menimbulkan keridhaan kedua

belah pihak dan mengecualikan akad sedekah dan wakaf karena semua akad

tersebut tidak ada tawar menawar.

10

Ibid 11

Muhammad Abd. Rahman Al-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab Rahmah al-Ummah

fi Ikhtilaf al-Aimmah, diterjemahkan oleh Abdullah Zaki Al-Kaf (Bandung: Hasyimi, 2012),

204 12

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02

Page 6: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

48

Adapun definisi jual beli yang jami’ dan mani’ adalah definisi yang

dikemukakan oleh Zumaili yaitu sebagai berikut:13

د ي ب أ ى الت ل ع ة ع ف ن م و ا ي ع ك ل م د ي ف ي ه ج ى و ل ع ة س ي كا م و ذ ة م ال ف و ل و ة ي ال م ة ض و عا م د ق ع

Akad saling tukar menukar harta walaupun dalam tanggungan, adanya saling

tawar menawar dalam harga dengan cara-cara tertentu yang bertujuan

memindahkan kepemilikan barang atau manfaatnya yang bersifat abadi

Penjelasan makna definisi di atas (syarah ta’rif) adalah sebagai berikut:

,maknanya mencakup jenis akad seperti jual beli, sewa menyewa عقد معاوضة .1

salam, syirkah dan lain- lainnya yang termasuk ke dalam akad mu’awadhah.

maknanya sesuatu yang dipandang harta oleh syara’, hal ini مالية .2

mengecualikan bangkai, khamr dan lain- lainnya.

ة .3 م maknanya adalah walaupun salah satu pengganti harta itu disifati ولو في الذ

dalam tanggungan (barangnya belum ada), tetapi yang lainnya ada (sifat,

jenis dan bentuknya), maka hal tersebut memasukkan akad salam ke dalam

akad jual beli.

maknanya yaitu saling tawar menawar dalam harga sehingga ذو مكايسة .4

menimbulkan keridhaan kedua belah pihak, hal ini mengecualikan akad

hibah, sedekah dan wakaf karena semua akad tersebut tidak ada tawar

menawar di dalamnya.

ة .5 maknanya ialah ungkapan yang menunjukkan على وجه يفيد ملك عين او منفع

saling suka sama suka, baik melalui ucapan, perbuatan maupun isyarat yang

bertujuan untuk memiliki benda atau manfaatnya.

13

Muhammad ‘Ali Muhammad al-Zumaili, Mahal ‘aqad al-Ba’i Dirasah Muqaranah

(Tesis tidak diterb itkan, Kulliyah al-Syari’ah, Jami’ah al-Malik ‘Abd. ‘Aziz, 1979), h. 14

Page 7: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

49

artinya adalah mengecualikan akad sewa menyewa atau upah على التأبيد .6

mengupah dan pinjam meminjam, karena kedua akad tersebut tujuannya

bukan memiliki barang melainkan manfaatnya untuk sementara waktu. 14

Definisi jual beli (bay’) yang disebutkan di atas adalah definisi bay’

secara terminologi. Adapun secara etimologinya, lafadz البيع dalam bahasa arab

menunjukkan arti jual beli, Ibnu Manzhur berkata راء البيع lafadz) البيع ضد الش

yang berarti jual kebalikan dari lafadz الشراء yang artinya beli).15

Dilihat dari segi bahasa lafadz البيع merupakan bentuk mashdar dari

bentuk ,yang mengandung makna sebagai berikut باع يبيع بيعا مبيعا

ال ب ل ما ة ل د با م Tukar menukar harta dengan harta

ء ي ش ب ء ي ش ة ل اب ق م Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu

ه ن ع ض و ا ع م خ أ و ض و ع ع ف د 16

Menyerahkan pengganti dan mengambil sesuatu yang dijadikan alat pengganti

tersebut

Lafadz البيع juga termasuk ke dalam أسماء الأضداد (kata-kata benda yang

dipakai untuk sesuatu dan lawannya) seperti الشراء yang artinya menjual,

sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. Yusuf/12:20.17

ة م م ع د ود ر اه ن ب س د ر و ه ب ث م ش و

14

Ibid 15

Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, juz 08 (Beirut: Daar Shodir, t.th), h. 23. Maktabah

Syamilah 16

Wazarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-

Kuwaitiyah, juz 09 (Kuwait : Daar al-Salasal, t.th), h. 05. Maktabah Syamilah 17

Wahbah az-Zuhaili, Mausu’ah Fiqih al-Islami wal Qodhoya al-Mu’asharah, juz 04

(Damasykus: Daar al-Fikr, 2012), h. 111

Page 8: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

50

Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham

saja

Ayat di atas mengartikan lafadz الشراء adalah menjual, sedangkan

menurut Ibnu Mandzur dalam hadis Nabi Muhammad saw bahwa lafadz البيع

maknanya adalah الشراء sebagaimana yang tercantum dalam hadis berikut:

يه ولا ي ب ع على ب ي ع أ خ

Berkenaan dengan makna hadis di atas, Ibnu Manzhur berkata dalam

kamusnya Lisan al-‘Arab, yaitu “لايبيع اي لايشتر على شراء اخيه” (janganlah dia

membeli apa yang sudah dibeli oleh saudaranya). Larangan dalam hadis

tersebut ditujukan kepada pembeli bukan kepada penjual, oleh karena itu

orang-orang arab berkata معنى اشتريته aku menjual sesuatu) بعت الشيء ب

maksudnya aku membeli sesuatu kepadanya). 18

Berdasarkan demikian, lafadz البيع dan الشراء merupakan kata dasar

bagi penyebutan istilah jual beli, karena keduanya menjadi sebab akad ini ada

kaitannya dengan penisbatan kedua belah pihak (penjual dan pembeli), tetapi

para fuqoha mendefinisikan secara khusus lafadz البيع dan البائع yaitu seseorang

yang menyerahkan harta bendanya (penjual). Sedangkan lafadz الشراء dan

ialah seseorang yang menyerahkan pengganti dari harta tersebut الشاري

(pembeli) atau keduanya ini dinamai juga dengan مشتري dan مبتاع.

Istilah jual beli (bay’) pada hakikatnya hanya berlaku dalam komoditi

(ma’qud ‘alaih) berupa barang (‘ain) bukan jasa (manfa’ah), sebab jual beli

hanya berlaku pada materi (maliyyah), sementara jasa pada hakikatnya bukan

18

Ibnu Manzhur…, Op cit, h. 23

Page 9: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

51

termasuk materi. Kategorisasi jasa atau manfaat sebagai maliyyah hanya

sebatas majaz, sebab eksistensinya bersifat abstrak (ma’dumah) dan lebih

dikarenakan demi mentolerir keabsahan mengadakan transaksi jasa. Jasa bisa

dijadikan komoditi dalam transaksi jual beli karena faktor desakan kebutuhan

seperti:

1. Pembelian manfa’ah berupa hak melintas (haq al-mamar), contoh seorang

memiliki kebun yang dikelilingi lahan milik orang lain, sehingga ketika

hendak masuk atau keluar kebun harus melewati lahan milik orang lain.

Lalu ia membeli manfa’ah lahan orang lain tersebut untuk digunakan

melintas atau lewat menuju atau keluar kebun.

2. Pembelian manfa’ah berupa hak mengalirkan air (haq al-majari) seperti

contoh di atas, namun pembelian manfaat lahan orang lain untuk digunakan

saluran irigasi dari tempat lain menuju kebunnya.

3. Pembelian manfa’ah berupa hak membangun (haq al-bina), contohnya

seseorang membeli bagian atap sebuah gedung untuk dibangun rumah di

atasnya.

Ketiga contoh pembelian manfaat ini bersifat permanen (mu’abbad). Artinya

tidak dibatasi dengan waktu tertentu sebagaimana akad ijarah. Karena itu

transaksi demikian tidak dikatakan jual beli murni, melainkan semi ijarah dari

segi komoditinya berupa jasa (manfa’ah) dan semi bay’ dari segi permanennya

(mu’abbad).19

19

Zakaria A l-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib, juz. 02 (Beirut:

DKI, 2000), h. 225. Maktabah Syamilah

Page 10: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

52

C. Rukun Jual Beli

K. H. Salim Ma’ruf dalam Risalah Mu’amalah menyebutkan bahwa

rukun jual beli ada enam. Rukun jual beli itu adalah: (1) penjual; (2) pembeli;

(3) uang; (4) barang; (5) ijab; (6) qabul.20

Rukun jual beli yang beliau tulis dalam karyanya adalah rukun jual beli

secara detail, secara umum rukun jual beli ada tiga yaitu ‘aqidain, ma’qud

‘alaih dan shigat, namun secara detail rukun jual beli ada enam sebagaimana

yang disebutkan oleh K. H. Salim Ma’ruf. Senada dengan K. H. Salim Ma’ruf,

Zakaria Anshari seorang ulama fiqih klasik juga menyebutkan demikian dalam

kitabnya yang bernama Fath al-wahhab dengan redaksinya,

ثمن ومثمن (ومعقود عليه) بائع ومشتر(عاقد)كما ف المجموع ثلاثة وهي ف الحقيقة ستة (أركانه)21(وقبول.. )(.إيجاب)الى والصيغة (... ولو كنايةوصيغة )

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Majmu’, rukun jual beli terbagi

kepada tiga macam, namun secara detail rukun jual beli terbagi kepada enam

macam, yaitu: (1) penjual; (2) pembeli; (3) barang; (4) harga; (5) ijab dan (6)

kabul.

Dijadikannya ‘aqidain, ma’qud ‘alaih dan shigat sebagai rukun karena

ketiganya merupakan unsur pokok dalam jual beli yang tidak bisa dipisahkan,

selain itu tanpa ketiganya praktik jual beli tidak akan terlaksana.

20

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 21

Zakaria Al-Anshari, Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab, juz. 02 (t.t: Daar al-

Kutub al-Islami, t.th), h. 157

Page 11: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

53

D. Syarat-Syarat Penjual Dan Pembeli

Ada lima syarat bagi penjual dan pembeli yang dipaparkan K. H. Salim

Ma’ruf dalam Risalah Mu’amalah. Syarat-syarat itu adalah: (1) balig; (2) akil;

(3) ‘adam al-riq; (4) ‘adam al-mahjur bi al-safih; (5) ‘adam al-mukrah.22

1. Balig dan akil

Syarat pelaku transaksi jual beli seperti balig dan akil termasuk kriteria

ahli al-tasharruf karena keduanya adalah al-rusyd. Transaksi jual beli secara

hukum sah jika melibatkan pelaku transaksi yang memiliki kriteria ahli al-

tasharruf. Syarat pelaku transaksi jual beli berupa ahli al-tasharruf ini akan

menafikan orang yang ghairu al-rusyd. Orang yang ghairu al-rusyd ini

meliputi anak kecil dan orang gila, keduanya disebut ghairu al-rusyd karena

tidak diakui ucapan dan kewenangannya secara syar’i (maslub al-ibarah wa al-

wilayah).23 Dalil dari syarat ahli al-tasharruf ini adalah firman Allah swt yaitu:

و ال م م أ م ف ع وا إ ل ي ه دا ف اد ه م ر ش ن ت م م (6: النساء) ف إ ن آ ن س

Jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),

maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. Al-Nisa: 06)

Pada ayat tersebut terdapat kata al-rusyd yang artinya adalah orang

dewasa yang memelihara agama dan hartanya dengan baik. 24 Al-Baghawi

dalam kitab tafsirnya menyebutkan bahwa al-rusyd adalah orang yang

memelihara agama dan hartanya dengan baik, dalam arti menjauhi perbuatan

22

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 23

Sulaiman Al-Bujairimi, Al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, juz. 03 (Beirut: DKI, 2013), h.

389 24

Jalaluddin Muhammad, Kanzu al-Rogibin…, Op cit, juz 02, h. 199

Page 12: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

54

keji dan meninggalkan maksiat yang dapat menghilangkan sikap ‘adalah dan

tidak bersikap mubazzir pada harta.25

Pada dasarnya ayat ini menjelaskan tentang perwalian terhadap harta

benda anak yatim. Ayat tersebut menjelaskan bahwa kewajiban wali

menyerahkan harta anak yatim kepada mereka dibatasi (diberi qayd) jika

mereka sudah berakal dan balig (al-rusyd). Metode bayani pada ayat tersebut

terletak pada huruf syarat yaitu فإن, sehingga ayat tersebut dapat dipahami

dengan mafhum al-syarat. Berdasarkan mafhum al-syarat, nash tersebut dapat

dipahami bahwa wali wajib menyerahkan harta kepada mereka dengan syarat

mereka sudah mencapai akil dan balig. Ayat tersebut dapat dijadikan dalil

terhadap masalah jual beli karena jual beli adalah urusan harta dan saling tukar

menukar harta. Oleh karena itu, berdasarkan ayat tersebut maka seseorang

tidak diperkenankan bertransaksi jual beli kecuali sudah mencapai akil balig

(al-rusyd).

Jika dilihat dari ‘illat hukumnya, maka pada hukum tersebut, sifat yang

dinilai sebagai‘illat adalah anak kecil. Anak kecil inilah yang ditetapkan

menjadi sebab wajibnya perwalian terhadap harta benda anak yatim.

Berdasarkan demikian, al-rusyd merupakan sifat yang dinilai sebagai ‘illat

yang akhirnya ditetapkan menjadi sebab wajibnya wali menyerahkan harta

kepada mereka. Demikian halnya dengan al-rusyd dalam transaksi jual beli, al-

rusyd inilah yang menjadi sebab seseorang boleh bertransaksi jual beli.

25

Husien Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, juz 02 (t.t: Daar Thaibah, 1997), h. 166.

Maktabah Syamilah

Page 13: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

55

2. ‘Adam al-riq

K. H. Salim Ma’ruf mensyaratkan pelaku transaksi jual beli tidak

berstatus budak, hal ini menurut Muhammad ‘Utsaimin dikarenakan budak

apabila dipandang dari sisi bahwa ia diperjual belikan, digadaikan, diwaqafkan,

dihadiahkan, dijadikan sebagai warisan, dijaminkan dengan harga, bisa

digunakan dan lainnya, maka hal ini budak mirip dengan harta. Oleh karenanya

budak tidak dapat menjadi pelaku transaksi jual beli, namun budak apabila

dipandang sebagai manusia maka ia diberi ganjaran, siksaan, menikah,

mencerai, menjual, membeli dan lainnya. 26 Atas dasar ini ia dapat dijadikan

pelaku transaksi jual beli.

K. H. Salim Ma’ruf cendrung berpendapat bahwa budak mirip dengan

harta, oleh karenanya beliau menghukumkan demikian.

3. ‘Adam al-mahjur bi al-sapih

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa syarat ‘aqidain berupa ahli al-

tasharruf ini menafikan orang yang ghairu al-rusyd yang meliputi anak kecil,

orang gila dan satu lagi yaitu orang yang dibekukan tasharruf-nya karena safih.

Dibekukan tasharruf-nya ini karena tidak diakui ucapannya dalam tasharruf

harta yang tidak terdapat unsur ibadah wajib (maslub al’ibarah fi al-tasharruf

al-mali).27

Adapun dalilnya adalah surah al-nisa ayat 06 yang disebutkan di atas

dan berupa alasan hukum yaitu jeleknya tasharruf orang safih seperti

26

Muhammad Al-‘Utsaimin, Al-ushul Min ‘Ilmi al-Ushul (Iskandariyah: Daar al-

Iman, 2001), h. 58 27

Sulaiman Al-Bujairimi, Al-Bujairimi…., Op cit, h. 389

Page 14: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

56

menggunakan harta kepada hal-hal yang diharamkan dan berlebihan kepada

hal-hal yang halal (pemborosan). 28

Selain itu, larangan mahjur bi al-safih melakukan transaksi adalah atas

dasar pertimbangan diberlakukannya ketentuan-ketentuan tersebut untuk

menghindarkan sejauh mungkin bahaya yang merugikan pihak-pihak yang

terlibat di dalam transaksi tersebut. Kaidah fiqih menyebutkan,

29الضرر يزالKemudharatan harus dihilangkan

4. ‘Adam al-mukrah

Dalam hal ini Allah swt berfirman,

ا ال ين آم ن وا لاا ي ل إ لا أ ك ل وا أ م و ال ك أ ي ه م م ب ي ن ك م ب ال ب اط ن ك أ ن ك ون ار ة ع ن ر اض م (92: النساء)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. Al-Nisa: 29)

Pada ayat tersebut Allah swt memerintahkan kepada orang yang

beriman agar memperoleh keuntungan dari sesamanya dengan jalan perniagaan

(baik perniagaan barang maupun jasa) yang berlaku secara ridha sama ridha.

Al-taradhin dalam transaksi merupakan persyaratan yang paling mendasar

dalam semua transaksi dalam hukum Islam. Keridhaan ini bersifat subjektif

yang tidak dapat diketahui, kecuali dengan ekspresi nyata dari pihak yang

bertransaksi, baik melalui kata-kata, tulisan, tindakan maupun isyarat. Maka

28

Mushtofa al-Khin dan Musthofa al-Bugo, Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Mazhab al-

Imam as-Syafi’i, juz 06 (Beirut: Daar Al-Qolam,1996), h. 11 29

Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Mu’amalah…, Op cit, h. 131

Page 15: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

57

dari itu, keridhaan harus ditunjukkan melalui ijab kabul (hanya dapat dilakukan

oleh orang yang telah memiliki kecakapan ahliyah), yaitu balig dan berakal. 30

Persetujuan secara ridha juga harus bebas dari intimidasi, penipuan dan

ketidakadilan serta penyamaran. Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam adalah

agama yang menjamin perdamaian dan keharmonisan hidup manusia. Islam

menentang segala bentuk aktivitas yang menyebabkan permusuhan dan

pertikaian dalam masyarakat. Islam melarang mengambil hak atau milik orang

lain dengan cara bathil, baik dengan paksaan atau perampasan. Pengambilan

barang milik orang lain hanya boleh dilakukan atas dasar al-taradhin yang

direalisasikan dalam bentuk transaksi. Semua transaksi yang dilakukan atas

asas al-taradhin adalah sah karena menjamin keharmonisan dan perdamaian

hidup manusia.31

E. Jual Beli Anak-Anak

Menurut K. H. Salim Ma’ruf, “tidak sah jual beli kanak-kanak yang

kecil sekalipun sudah mumayyiz dan diberi izin oleh walinya karena adatnya

tiada ‘itibar kecuali barang yang kecil seperti kue-kue maka yaitu harus”.32

Menurut Imam Syafi’i sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili

bahwa anak-anak mumayyiz itu termasuk kategori ahliyah al-adaa al-naqishah,

sedangkan kategori ini ditinjau dari hak-haknya kepada sesama hamba seperti

melakukan transaksi akad adalah batal. 33

30

Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah (Bandung: CV. Pustaka Set ia, 2012), h. 114 31

Ibid, 115 32

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 33

Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqih al-Islami, juz 01 (Suria: Daar al-Fikr, 1986), h.

166-167

Page 16: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

58

Selain anak-anak itu sudah mumayyiz, K. H. Salim Ma’ruf juga

berpendapat bahwa “tidak sah jual beli anak-anak kendatipun diberi izin oleh

walinya”. Pendapat beliau ini dapat dilihat di dalam kitab Majmu’ dan

Hasyiyah Qalyubi ‘Umairah. Dalam kitab Majmu’ disebutkan:34

قد ذكرنا أن مهبنا أنه لا يصح سواء إذن له ف ماهب العلماء ف بيع الصبى المميز (فرع) الولى أم لا

Menurut mazhab ulama (Syafi’iyah) bahwa jual beli anak -anak mumayyiz

tidak sah, baik diberi izin oleh walinya atau tidak.

Dalam kitab Hasyiyah Qalyubi ‘Umairah juga disebutkan:35

ف ذ ل ك ( ف لا ي ص ح ع ق د الص ب ) ل و أ ذ ن ل ه ال و ل ل يل ع ل ى ذ ل ك ح و ن و الد د يث ر ف ع ال ق ل م ع ث ث لا

Berdasarkan hadis رفع القلم, maka transaksi jual beli yang dilakukan anak-anak

tidak sah, meskipun mendapatkan izin dari walinya

Imam Umairoh berdasarkan hadis rufi’a al-qalam menepis atau

menyanggah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa anak-anak yang

diberi izin oleh walinya boleh bertransaksi jual beli. 36

Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakan beliau, yaitu lafazd

lauu. Perhatikan lafadz lauu yang beliau gunakan dalam kitabnya Hasyiyah

34

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab Li al-

Syairazi, juz. 09 (Jeddah: Maktabah al-Irsyad, t.th), h. 185 35

Ahmad Qolyubi dan Ahmad Al-Barlisi, Hasyiyah al-Qalyubi wa ‘Umairah, juz. 02

(Beirut: DKI, 2009),h. 248 36

Ramadhan Hafiz Abd. Rahman, Al-Buyu’ al-Dharrah (Kairo : Daar al-Salam, 2006),

h. 21; Ali ‘Abbas al-Hukmiy, Al-Buyu’ al-Manhiyy’anha…, Op cit, h. 21

Page 17: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

59

Qalyubi ‘Umairah, yaitu ك ini bermakna ghayah لو Lafadz .ولو أذن له الولي في ذل

yang berfungsi untuk menepis sebuah pendapat lain. 37

Berbeda barang yang dijual atau dibelinya adalah barang yang kadarnya

sedikit, seperti kue, roti dan semisalnya sebagaimana yang dikemukakan oleh

K. H. Salim Ma’ruf di atas. Versi Imam Nawawi, jika dalam kadar yang sedikit

menurut standar umum (‘urf), maka sah meskipun dengan tanpa izin walinya.

Jika sebaliknya, maka sah bila ada izin dari walinya. 38

F. Jual Beli Orang Gila

K. H. Salim Ma’ruf berpendapat, “tiada sah jual beli orang yang gila

dan seumpamanya”.39

Hal ini disebabkan, orang gila bukan termasuk ahliyah ada sempurna.

Pihak-pihak yang melakukan transaksi adalah mereka yang bisa dipertanggung

jawabkan. Golongan ini ialah mereka yang sempurna akal pikiran, yaitu tidak

gila atau separuh gila.40

Metode ta’lili terhadap pendapat ini adalah dilihat dari ‘illat-nya, yaitu

menghamburkan uang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili.

Menurutnya, kegiatan jual beli dengan pengertian memberikan uang kepada

orang gila untuk menjalankan transaksi jual beli bisa mengakibatkan

menghamburkan uang saja. Penggabungan antara memberikan uang kepada

37

M. Fikri Hakim, Kamus Fathal Mu’in Memahami Isi Dan Kandungan Fiqh Klasik

(Kediri: Lirboyo Press, 2015), h. 95 38

Tim Kajian Ilmiah… Op cit, h. 263 39

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 40

Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah…, Op cit, h. 113

Page 18: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

60

mereka dan menghamburkan uang adalah akal yang kurang dimana keduanya

dapat menyia-nyiakan uang dengan cara yang tidak legal. 41

G. Jual Beli Orang Mabuk

Transaksi jual beli yang dilakukan oleh orang mabuk, tapi mabuknya

karena mengkonsumsi minuman keras, maka menurut K. H. Sa lim Ma’ruf

hukumnya sah, meskipun orang mabuk tersebut bukan mukallaf. 42

Mahkum ‘alaih atau yang disebut dengan mukallaf adalah seseorang

yang menjadi sasaran hukum taklifi. Mukallaf haruslah orang yang

mempunyai kemampuan untuk memahami khitab atau taklif (tugas) yang

dibebankan kepadanya. Sebab, tujuan dari taklif adalah pelaksanaan atas dasar

kepatuhan yang tidak akan terwujud tanpa ada pemahaman dari pihak yang

dibebani taklif. Oleh karenanya, orang gila dan anak kecil tidak terbebani

hukum taklifi. Begitu juga dengan ghafil, yaitu orang-orang yang tidak

memiliki kesadaran atas informasi yang disampaikan kepadanya, seperti orang

tidur, mabuk, lupa dsb.43 Berdasarkan hal ini, maka orang mabuk bukan

mukallaf.

Keberadaan orang mabuk sebagai mukallaf terdapat khilafiyah, namun

Imam Syafi’i mengatakan bahwa orang mabuk adalah mukallaf.44 Senada

41

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz. 06 (Suriah: Daar al-Fikr, t.th), h.

359 42

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 43

Tim Kodifikasi Anfa’, Tashilu Lubbil Ushul; Pengantar Memahami Lubbul Ushul

Terjemah Dan Kajian Lubbul Ushul Asy-Syekh Al-Islam Zakaria Al-Anshari (Kediri: Lirboyo

Press, 2015), h. 08 44

Khotib Syarbin i, Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani alfaz al-Minhaj, juz 02

(Lebanon: DKI, 2011), h. 09

Page 19: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

61

dengan Imam Syafi’i, al-Juwaini dan ulama lainnya berpendapat bahwa orang

mabuk adalah mukallaf dengan dalil firman Allah swt sebagai berikut:45

ا ال ق ول ون ي ا أ ي ه ل م وا م ا ت ع ار ى ح ك أ نت م س ر ب وا الص لا ة و ق ن وا لا ين آم (34: النساء)

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam

keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS. Al-

Nisa: 43)

Dalam al-wajiz, Wahbah Zuhaili menyebutkan berdasarkan hadis Nabi

saw رفع القلم maka orang mabuk bukanlah mukallaf.46 Terlepas dari kedudukan

orang mabuk sebagai mukallaf atau tidak, maka jual belinya tetap sah. Hal ini

bertujuan untuk memberikan peringatan dan sanksi terhadap perbuatan

mabuknya. Zuhaili menyebutkan bahwa jatuhnya talak yang diucapkan oleh

orang mabuk tidak dipandang dari sisi taklif-nya tapi dipandang dari sisi khitab

wadh’i-nya. Talak yang diucapkannya itu menjadi sebab jatuhnya talak,

sebagaimana tenggelamnya matahari menjadi sebab wajibnya menunaikan

sholat.47 Demikian halnya dengan jual beli yang dilakukan oleh orang mabuk,

sahnya jual beli tersebut tidak ditinjau dari sisi taklif-nya tapi ditinjau dari sisi

khitab wadh’i-nya.

Lebih tegas lagi Zuhaili menyebutkan dalam ushul al-fiqh al-Islami

bahwa apapun yang diucapkan oleh orang mabuk dianggap sah seperti

mencerai, memerdekakan budak, bertransaksi jual beli dan tindakan lainnya.

Dianggap sah semua tindakannya karena memberikan peringatan dan sanksi

45

Ibid, juz. 03, h. 341 46

Wahbah Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqih (Suriah: Daar al-Fikr, 1995), h. 155 47

Ibid, h. 156

Page 20: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

62

atas perbuatan mabuknya, bahkan apabila dia melakukan perbuatan tindak

pidana seperti membunuh maka wajib di-qhisash.48

Khotib Syarbini dalam kitabnya membahas tentang hal ini dengan jelas,

beliau menyebutkan:49

بيعه على المهب مع أنه غير مكلف كما قرر ف كتاب الأصولبالسكران فإنه يصح .....

Di dalam kitab ushul telah ditetapkan bahwa transaksi jual beli yang

dilakukan oleh orang mabuk adalah sah, meskipun dia bukan mukallaf

Contoh dari jual beli yang dilakukan oleh orang mabuk adalah seperti

seorang penjual dalam keadaan mabuk, karena dia tidak sadar karena dalam

keadaan mabuk, lalu dia menjual barang yang tidak dijualnya kepada pembeli.

Disaat transaksi jual beli sudah selesai atau keesokan harinya dia sudah sadar

dari mabuknya, maka dia tidak bisa lagi mengambil barang tersebut, karena

barang tersebut bukan miliknya lagi disebabkan jual belinya sah. Contoh lain,

orang mabuk selaku penjual memberikan harga yang murah kepada pembeli,

sehingga ketika dia sadar dia tidak dapat meminta kembali barangnya atau

meminta barangnya dibeli dengan harga yang wajar, kecuali dia dapat

membuktikan di muka hakim.

Dalam pasal 1457 KUHPerdata disebutkan, “jual beli adalah suatu

perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga

yang telah dijanjikan”.50

48

Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqih…, Op cit, h. 179 49

Khotib Syarbini, Mugni al-Muhtaj…, Op cit, h. 09 50

Soesilo, Pramudji, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (t.t: Rhedbook

Publisher, 2008), h. 325

Page 21: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

63

Dalam pasal 1458 KUHPerdata “jual beli dianggap telah terjadi antara

kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang itu mencapai sepakat

tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum

diserahkan maupun harganya belum dibayar”. 51

Dikarenakan jual beli adalah suatu persetujuan atau perjanjian, maka

untuk syarat sahnya jual beli, haruslah merujuk pada syarat sahnya perjanjian

yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:52

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal;

Syarat pertama dan kedua adalah syarat subjektif, karena mengenai

orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat

ketiga dan keempat adalah syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya

sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. 53

Di dalam uraian tersebut yang dipermasalahkan adalah orang yang

menjual dalam keadaan mabuk, maka ini berhubungan dengan syarat subjektif.

Dalam syarat kedua yaitu setiap orang yang membuat perjanjian harus cakap,

maksudnya setiap orang dewasa dan sehat pikirannya.

51

Ibid 52

Ibid, h. 300 53

Elly Erawat i dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan

Perjanjian (Jakarta: NLRP, 2010), h. 64

Page 22: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

64

Dalam pasal 1330 KUHPerdata disebut sebagai orang-orang yang tidak

cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu:54

1. Orang-orang yang belum dewasa;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu;

Ada keadaan lain yang berkaitan dengan syarat kecakapan untuk

membuat suatu perjanjian sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu

keadaan “tidak mampu secara faktual”. Elly Erawati dan Herlien Budiono

dalam bukunya membedakan antara tidak cakap dan tidak mampu secara

faktual. Orang yang termasuk dalam tidak mampu secara faktual ini misalnya

adalah orang-orang yang terhipnotis atau berada di bawah pengaruh narkotika.

Ketidak mampuan faktual harus dibuktikan keberadaannya di pengadilan. 55

Menjawab permasalahan di atas, berarti dalam hal penjual mabuk dan

meminta agar jual beli dibatalkan, maka dalam hal ini ia mengalami ketidak

mampuan faktual yang mana harus dibuktikan di muka hakim. Jika hakim

membatalkan jual beli ini, maka sejak pembatalan oleh hakim tersebut jual

belinya tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dilegalkannya ucapan dan tindakan orang mabuk, tidak lain karena

maslahat. Sebab dengan dilegalkannya ucapan dan tindakannya, maka dia akan

meninggalkan hal-hal yang memabukkan.

54

Soesilo, Pramudji, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata…, Op cit, h. 301 55

Elly Erawat i dan Herlien Budiono…., Op cit, h. 76

Page 23: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

65

H. Jual Beli Dengan Paksaan Yang Tidak Dibenarkan Oleh Agama

Syarat ‘aqidain diantaranya adalah mukhtar/’adam mukrah, karena itu

menurut K. H. Salim Ma’ruf “tiada sah jual beli pada orang yang digagahi

dipaksa dengan tiada sebenarnya apabila ia tiada berniat menjual atau

membeli”.56

Hal ini bersandar pada firman Allah dan hadis Nabi saw, Allah swt

berfirman sebagai berikut:

ا ال ين آم ن وا لاي ل وا أ م و ال ك ا أ ي ه ل إ لا أ ك م م ب ي ن ك م ب ال ب اط ن ك أ ن ك ون ار ة ع ن ر اض م (92: النساء)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta

sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. Al-Nisa: 29)

Metode bayani dalam pendapat beliau ini dapat dilihat dari shigat nahy

dalam ayat larangan memakan harta la ta’kulu amwalakum bainakum bi al-

bathil. Shigat nahy pada ayat tersebut menggunakan kata kerja (fi’il mudhari’)

yang disertai dengan huruf laa nahiyah, sehingga beliau memahami bahwa

ayat ini untuk menunjukkan haram, sebagaimana disebutkan dalam kaidah

ushul fiqih “pada dasarnya lafadz nahy menunjukkan haram”.57

Lafadz al-bathil pada ayat tersebut adalah ‘am (umum) yang mencakup

pelanggaran terhadap ketentuan agama.58

Lafadz illa pada ayat tersebut adalah istishna (pengecualian) bermakna

lakin (tetapi) artinya “akan tetapi makanlah dari harta perdagangan” dan

56

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 57

Abd. Hamid Hakim, Al-Bayan (Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putra, t.th), h. 30 58

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan Dan Keserasian al-Quran, vol. 02

(Jakarta: Lentera Hati, 2012), h. 499

Page 24: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

66

perdagangan merupakan gabungan antara penjualan dan pembelian. 59 Menurut

Abi Ishaq Syairazi bahwa lafadz illa tersebut adalah istishna munqathi’ karena

harta perdagangan bukan jenis harta yang bathil. 60 Illa antakuna tijarah ‘an

taradhin minkum, dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah swt

mensyaratkan kepada orang yang memakan harta dengan jalan perniagaan

harus berdasarkan saling meridhai. Oleh karena itu berdasarkan mafhum

mukhalafah, hukumnya tidak halal memakan harta dengan jalan perniagaan

apabila tidak didasari keridhaan kedua belah pihak.

Menurut ulama tafsir sebagaimana dikutip oleh Enang Hidayat,

mengemukakan pendapat mengenai ayat di atas bahwa Allah swt telah

mengharamkan kepada kita perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan cara

bathil dalam bermuamalah. Allah swt juga telah membolehkan kepada kita

jalan perniagaan yang telah disyariatkan-Nya dengan cara saling ridha diantara

penjual dan pembeli.61

Dalam hal ini, seolah-olah Allah berfirman: “lakukanlah olehmu jalan

perniagaan dalam upaya menghasilkan harta”. Kalimat tijarah pada ayat di

atas merupakan kalimat mutlak, menurut kaidah ushul disebutkan:62

المطلق يجب ابقاءه على اطلاقه حت يرد المقيدMutlak mesti ditetapkan kemutlakannya sampai ada yang membatasinya

Berdasarkan demikian, dalil di atas menunjukkan bahwa semua jenis

perniagaan hukumnya boleh, maka barang siapa yang mengharamkan

59

Al-Qurthubi, Al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, juz. 05 (Kairo: Daar Kutub al-Mishri,

1964), h. 150. Maktabah Syamilah 60

Abi Ishaq Al-Syairazi, Al-Muhazzab…., Op cit, h. 358 61

Enang Hidayat…., Op cit, h. 55 62

Ibid, 56

Page 25: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

67

perniagaan dan mengeluarkannya dari kemutlakannya ini, maka dituntut

baginya dalil.63 Adapun hadis terhadap pendapat K. H. Salim Ma’ruf di atas

adalah,

ن ع ع ي ب ال ا ن سلم إ و الله صلى الله عليه ل و س ر ال ق ل و ق ي ي ر د ال د ي ع س با أ ت ع س ل قا ه ي ب أ ن ع 64(رواه ابن ماجة) ض را

Dari ayahnya berkata, aku mendengar perkataan dari Abi Sa’id Al-Khudri

yaitu, Rasul saw pernah bersabda: “hanyasanya jual beli itu dilandasi atas

dasar suka sama suka”. (HR. Ibnu Majah)

Adapun hadis ini bisa dijadikan sebagai penguat (ta’kid) terhadap ayat

di atas. Metode bayani yang terdapat pada hadis di atas adalah melalui

pendekatan bahasa. Pada hadis tersebut terdapat lafadz innama al-bay’u, kata

innama termasuk adat hashr (alat meringkas, artinya semata-mata/hanya) yang

dapat dipahami makna sebaliknya (mafhum mukhalafah). Secara mantuq

menunjukkan bahwa akad jual beli apapun hanya dapat dianggap sah jika

saling rela, sedangkan secara mafhum mukhalafah menunjukkan bahwa jual

beli tidak sah jika dilakukan dengan tidak saling rela antara pembeli dan

penjual. Ada kaidah fiqih yang berkaitan dengan hal ini, yaitu:65

الأصل فى العقود رضى المتعاقدين

Hukum pokok pada akad adalah kerelaan kedua belah pihak

63

Ibid 64

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz 02 (Semarang: Karya Thoha Putra, t.th), h. 737 65

Abu ‘Abbas Al-Harrani, Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyyah, juz. 29 (Mesir:

Maktabah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1951), h. 224. Maktabah Syamilah

Page 26: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

68

Menurut Ruhaili, keridhaan termasuk syarat yang agung dalam akad

jual beli. Oleh karena itu, kaidah tersebut termasuk kaidah yang penting dalam

yang berhubungan dengan persoalan muamalah. 66

Pengaruh saling meridhai tersebut nampak dalam jual beli dilihat dari

dua hal sebagai berikut:

1. Dari segi sahnya akad jual beli, sahnya jual beli didasarkan a tas kerelaan

kedua belah pihak selama tidak terdapat nash yang melarangnya.

2. Dari segi pengaruh akad jual beli, misalnya menyegerakan dan

mengakhirkan penyerahan barang yang diperjualbelikan. Hukum asalnya

apabila jual beli sudah terjadi, maka penyerahan barang disegerakan, akan

tetapi jika kedua belah pihak meridhai penyerahan barang diakhirkan, maka

diberlakukanlah hal demikian. 67

Paksaan atau intimidasi merupakan faktor yang mengakibatkan cacat

dalam akad (batalnya akad). Memaksa atau mengintimidasi pihak lain secara

melanggar hukum untuk melakukan/tidak melakukan ucapan atau perbuatan

yang tidak disukainya dengan gertakan dan ancaman sehingga menyebabkan

terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.

Padahal, transaksi harus dilakukan dalam keadaan saling ridha dan bebas atas

keinginan sendiri.68

Suatu akad dianggap dilakukan di bawah intimidasi jika terdapat hal-hal

berikut:

66

Sulaiman Al-Ruhaili, Qawaid Fi al-Buyu’ (Madinah: Al-Jami’ah al-Islamiyah, t.th),

h. 54 67

Ibid, h. 55 68

Juhaya S. Pradja, Ekonomi Syariah…, Op cit, h. 125

Page 27: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

69

1. Pihak yang mengintimidasi hendaknya mampu melaksanakan ancamannya.

2. Orang yang diintimidasi tersangka berat bahwa ancaman itu akan

dilaksanakan terhadapnya.

3. Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarga terdekatnya.

4. Orang yang diancam itu tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan

untuk melindungi dirinya, baik dengan minta pertolongan temannya atau

perlindungan hukum.

Jika salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu

dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap akad

yang dilakukan. Adapun apabila ancaman itu ringan dan tidak perlu

dipedulikan, maka tidak ada pengaruhnya sama sekali, bahkan tidak dianggap

sebagai paksaan. Tolak ukur dalam hal ini adalah ancaman itu membahayakan

dan menyakitkan sehingga mendatangkan rasa takut kepada pihak yang

dipaksa. Transaksi yang dilakukan di bawah intimidasi, menurut Alquran

adalah tidak sah.69

I. Jual Beli Dengan Paksaan Yang Dibenarkan Oleh Agama

Keridhaan kedua belah pihak harus memenuhi syarat-syarat,

diantaranya tidak ditemukannya sebab yang menurut syara’ sebab tersebut

dapat menghilangkan atau menggugurkan keridhaan. Jika ditemukan sebab

tersebut maka tidak dianggap adanya keridhaan itu. 70

K. H. Salim Ma’ruf memberikan contoh pada masalah ini sekaligus

menyatakan sah hukum jual beli ini. Beliau mengatakan “adapun orang yang

69

Ibid, h. 126 70

Sulaiman Ruhaili, Qawaid Fi al-Buyu’…, Op cit, h. 56

Page 28: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

70

digagahi menjual supaya dibayar utangnya maka ia digagahi hakim supaya

menjual maka sah jualnya”. 71 Maka dalam misal demikian ditemukan sebab

yang oleh syara’ dapat menggugurkan keridhaan, pada masalah ini sebab

tersebut adalah mempunyai hutang.

Pemaksaan karena kebenaran maka tidak menghalangi dari sahnya

sebuah transaksi, karena kerelaan agama diutamakan daripada kerelaan orang

yang dipaksa.72

J. Pelaku Transaksi Jual Beli Disyaratkan Melihat

“Dan disyaratkan bagi sah akad bahwa orang yang meakadkan itu

melihat”,73 demikianlah ungkapan K. H. Salim Ma’ruf. Hal ini disebabkan,

diantara syarat jual beli adalah syarat ma’qud ‘alaih, dalam hal ini keberadaan

ma’qud ‘alaih harus diketahui secara transparan (ma’lum). Pengetahuan

terhadap komoditi ini bisa melalui salah satu dari dua metode, diantaranya

adalah ru’yah (melihat secara langsung). Ma’lum dicukupkan dengan metode

sekedar melihat komoditi secara langsung (ru’yah), meskipun tidak

mengetahui kadar atau nominalnya jika komoditi bersifat tertentu secara fisik

(mu’ayyan) dan tidak tercampur dengan selain komoditi. 74 Dalil kriteria ini

adalah hadis Nabi Muhammad saw,

75(الترميرواه ) عن بيع الغرر نهى رسول الله صلى الله عليه وسلمعن أبى هريرة قال

71

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 72

Wahbah Zuhaili, Fiqhu al-Islami…, Op cit, h. 361 73

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 02 74

Sulaiman Al-Bujairimi, Al-Bujairimi…., Op cit, h. 281 75

Abi Isa Muhammad al-Tarmidzi, Al-jami’ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi, juz 02

(Beirut: DKI, 2007), h. 270 Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03

Page 29: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

71

Dari Abi Hurairah meriwayatkan, Rasul saw melarang jual beli gharar. (HR.

Tirmidzi)

Shigat nahy pada hadis tersebut menggunakan lafadz nahy yaitu nahaa,

sehingga sangat jelas jual beli yang berunsur gharar dilarang oleh agama.

Pelaku transaksi jual beli yang melihat barang yang dibeli atau dijual akan

terhindar dari gharar.

K. Pelaku Transaksi Jual Beli Adalah Orang Buta

“Tiada sah orang yang buta meakadkan barang disyaratkan dilihat”.76

Itulah ungkapan K. H. Salim Ma’ruf. Telah disebutkan di atas bahwa barang

yang dijadikan transaksi harus dilihat. Maka dari itu pelaku transaksi harus

melihat barang yang dijadikan transaksi tersebut. Berdasarkan hal ini pula,

maka orang buta tidak diperkenankan melakukan transaksi jual beli. Hal ini

disebabkan orang buta tidak mampu untuk mengetahui sesuatu yang baik dan

jelek sehingga barang yang menjadi objek tidak diketahui olehnya. 77

Metode yang digunakan pada pendapat ini adalah metode ta’lili, sebab

‘illat tidak sahnya jual beli orang buta tersebut adalah jahalah. Transaksi jual

beli yang dilakukan orang buta ini adalah termasuk jahalah, dia bisa

memperoleh barang namun dia tidak tahu bagaimana kondisi barang tersebut.

Sedangkan jahalah merupakan bagian dari gharar, maka dari itu kasus ini

termasuk dalam kaidah, yaitu:78

كل معاملة فيها غرر او جهالة فيما يقصد فهي باطلة

76

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 77

Wahbah Zuhaili, Fiqhu al-Islami…, Op cit, h. 465 78

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu’ wa Faraid al-Furu’ (t.t: t.p, t.th), h. 39

Page 30: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

72

Setiap mu’amalah yang di dalamnya terdapat kesamaran atau ketidaktahuan

tujuannya maka hukumnya batal

L. Memperjualbelikan Mashaf Alquran Dan Kitab-Kitab Agama

“Orang yang membeli disyaratkan Islam apabila yang dijual itu mashaf

atau kitab hadis atau kitab-kitab ilmu syariat atau barang yang ada di dalamnya

tertulis nama Tuhan”.79

Demikianlah pendapat K. H. Salim Ma’ruf, mafhum mukhalafah dari

pendapat beliau adalah tidak sah orang kafir membeli mashaf Alquran dan

semacamnya. Dalam hal ini Allah berfirman,

اف ر ل ن يج ع ل الل ه ل ل ك ب يلاو ن ي س م ل ى ال م ؤ (131: النساء) ين ع Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir

untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Nisa: 141)

Hadis menyebutkan,

ر اف ر ع ن ع ب د الل ه ب ن ع م ى أ ن ي س ان ي ن ه ل م أ ن ه ك س ب ال ق ر آن إ لى ع ن ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ه و و 80(رواه مسلم) أ ر ض ال ع د و م اف ة أ ن ي ن ال ه ال ع د

Dari Abdillah bin Umar dari Rasul saw, bahwa Rasul saw melarang bepergian

ke tempat musuh dengan membawa Alquran, karena khawatir Alquran tersebut

dihina atau dirusak oleh musuh. (HR. Muslim)

Pada ayat di atas, metode bayani-nya terletak pada huruf lan yang

terdapat pada ayat tersebut yang maknanya adalah tidak akan sama sekali

sampai kapan pun.81 Jika demikian makna lan, maka ayat tersebut

79

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 80

Abi Husien Muslim al-Naisaburi, Shahih Muslim, juz 02 (Beirut: Daar Al-Fikr,

2009), h. 207 81

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan Yang Patut Ketahui

Dalam Memahami Alquran (Tangerang: Lentera Hat i, 2013), h. 88

Page 31: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

73

menunjukkan bahwa tidak akan sama sekali dan sampai kapan pun Allah tidak

memberikan jalan kepada orang kafir atas orang-orang beriman.

Melakukan transaksi jual beli Alquran kepada mereka adalah

memberikan jalan bagi mereka terhadap orang-orang beriman.82

Sedangkan pada hadis tersebut terdapat ‘illat dilarangnya menjual

mashaf Alquran kepada orang kafir, sebagaimana dipahami dari hadis di atas

ialah dikhawatirkan dengan adanya mashaf Alquran di tangan mereka, maka

mereka menghina bahkan merusak kehormatan Alquran. Adapun dilarangnya

menjual buku-buku Islam seperti kitab-kitab ilmu syariat atau barang yang di

dalamnya terdapat nama Allah kepada orang kafir, itu semua dianalogikan

kepada Alquran.

Selain menggunakan metode bayani pada pendapat ini, metode

istishlahi juga bisa digunakan dengan menggunakan teori sadd al-zari’ah.

Keharaman menjual Alquran dan semacamnya kepada orang kafir termasuk

haram li sadd al-zari’ah (haram karena tindakan preventif), yaitu karena

dikhawatirkan Alquran dan semacamnya tidak aman di tangan mereka. Adapun

hukum asal jual belinya diperbolehkan, namun karena dzari’ah-nya dijual

kepada orang kafir akan mendatangkan kerusakan, maka hukumnya menjadi

haram. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih,

83دهاكل ذريعة مباحة او جائزة أدت الى مفسدة لزم سSetiap dzari’ah (perantara) yang diperbolehkan namun mendatangkan

kerusakan maka wajib ditutup

82

Al-Qurthubi, Op cit, juz. 05, h. 421 83

Muhammad Hisyam Al-Burhani, Sadd al-Dzara’iy Fi al- Syari’ah Al-Islamiyah

(Damasykus: Mathba’ah al-‘Ilmiyah, 1985), h. 165

Page 32: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

74

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa

jual beli mashaf kepada orang kafir bukan hanya haram tapi juga berdampak

tidak sah.84

Terjadi perbedaan pendapat diantara ulama tentang jual beli mashaf

antara sesama muslim. Dari kalangan Syafi’iyah berpendapat bahwa jual beli

mashaf antar sesama muslim adalah makruh. Makruh dari mashaf ini adalah

murni Alquran. Kemakruhan tersebut sebab menghindarkan Alquran menjadi

sebuah barang dagangan yang diperjualbelikan. 85

Satu pendapat lain dari kalangan ini mengatakan bahwa yang makruh

adalah menjual tanpa ada hajat bukan membelinya dan ini dianggap mu’tamad

oleh Imam Qalyubi.86

M. Syarat Ma’qud ‘Alaih (Komoditi Yang Diperjualbelikan)

Menurut K. H. Salim Ma’ruf syarat ma’qud ‘alaih ada lima. Syarat-

syarat itu adalah sebagai berikut:87

1. Disyaratkan dalam keadaan suci atau bisa disuci dengan dibasuh.

Hal ini disebabkan, Allah swt mengharamkan barang-barang yang najis,

buruk (khabits) dan menghalalkan barang-barang yang baik, sebagaimana

firman-Nya,

م ال ب ائ ث ل ي ه (151: الأعراف) و ي ل ل م الط ي ب ات و ي ر م ع

84

Wazarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah…, Op cit,

h. 230 85

Ibid,h. 232 86

Ibid 87

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03-04

Page 33: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

75

Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi

mereka segala yang buruk. (QS. Al’Araf: 157)

Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya segala yang baik

dan haramnya segala yang buruk. Oleh sebab itu, menurut K. H. Salim

Ma’ruf tidak sah jual beli benda yang najis seperti anjing, babi, kulit

bangkai yang belum disamak dan kotoran binatang. Begitu juga menurut

beliau, tidak sah jual beli benda yang tidak dapat disucikan, seperti

ungkapannya “dan tiada sah menjual benda yang tiada boleh disuci seperti

cuka dan minyak yang terkena najis dan tiada sah menjual suatu benda yang

diliputi oleh najis sekalipun boleh disucikan dengan dibasuh”. 88 Adapun

dasar dan alasan hukum tidak sahnya jual beli benda najis dan jual beli

benda yang tidak dapat disucikan, seperti disebutkan di atas adalah sebagai

berikut:

a. Jual beli anjing

Anjing merupakan jenis binatang yang unik (tidak buas juga tidak

jinak), salah satu jenis binatang yang kuat menahan gaya hidup mewah,

memiliki loyalitas yang tinggi pada tuannya, sangat menghormati terhadap

orang yang mulia seperti ulama dan orang-orang shaleh bahkan tidak berani

menggonggong di hadapan mereka. Anjing lebih suka memakan bangkai

daripada daging segar.89

Kedokteran modern menetapkan bahwa anjing menyebarkan banyak

penyakit kepada manusia, karena anjing mengandung cacing pita yang

88

Ibid, h. 03 89

Team Kajian Ilmiah Ahla Shuffah 103, Rimba Van Java, Menyingkap Hikmah,

Hukum Dan Rahasia Dibalik Flora & Fauna Ekstrem (Kediri: Purna Siswa MHM, 2013), h.

54

Page 34: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

76

menularkannya kepada manusia dan menjadi sebab manusia terjangkit penyakit

yang berbahaya bahkan bisa sampai mematikan. 90

Anjing merupakan jenis binatang yang divonis najis oleh para ulama,

memang terdapat khilafiah tentang hukum najisnya anjing, namun pendapat

yang kuat (rojih) adalah pendapat ulama yang mengatakan bahwa anjing itu

najis dengan uraian sebagai berikut:

1) Rasul saw bersabda,

م ف ل ير ق ه ث ع ن أ ب ه ر ي ر ة ق ال د ك ل ب ف إ ن اء أ ح ل غ ال ك ل م إ ذ ا و س ل ى الل ه ع ل ي ه و ق ال ر س ول الل ه ص ر ار ب ع م ل ه س 91(رواه مسلم) ل ي غ س

Dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasul saw pernah bersabda, “apabila

seekor anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka hendaklah dia

mengeringkannya dan mencucinya tujuh kali. (HR. Muslim)

a) Riwayat lain diungkapkan dalam redaksi hadis yang berbunyi sebagai

berikut, طهور إناء احدكم (sucinya wadah salah seorang diantara kalian). Lafadz

.maksudnya berhubungan dengan menyucikan hadas dan najis (suci) طهور

b) Riwayat Muslim menggunakan redaksi ه maka keringkanlah wadah) فليرق

itu). Seandainya air yang terkena jilatan anjing itu hukumnya suci tentunya

Rasul saw tidak akan menyuruh untuk mengeringkannya.

c) Perintah membasuh wadah berarti berhubungan dengan najis.

2) Rasul saw diundang datang ke rumah seseorang tetapi beliau tidak

memenuhi undangan tersebut, maka dikatakan alasannya oleh beliau:

90

Ibid, h. 55 91

Abi Husien Muslim al-Naisaburi….Op cit, juz 01, h. 144

Page 35: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

77

إن ف دار فلان كلبا فقيل له إن ف دار فلان هرة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنها (رواه الحاكم والدار قطني والبيهقي)ليست بنجسة

Sesungguhnya di dalam rumah fulan ada anjing, kemudian Nabi ditanya lagi:

sesungguhnya di dalam rumah fulan ada kucing. Selanjutnya Rasul saw

bersabda, “sesungguhnya kucing itu tidak najis”. (HR. Hakim, Daruquthni dan

Baihaqi)

Berdasarkan uraian di atas, maka pemahaman hadis tersebut adalah

bahwa anjing itu najis. Adapun hukum memperjualbelikan anjing juga terdapat

khilafiyah sebagaimana pada masalah najisnya, namun pendapat yang rojih

adalah pendapat yang dikemukakan oleh kebanyakan ulama, yaitu haramnya

jual beli anjing.

Adapun dalil-dalil hukum Islam yang dikemukakan di sini diantaranya

adalah hadis dan qiyas, sebagai berikut:

Dalil dari hadis,

ع ود الأ ي الل ه ع ن ه ع ن أ ب م س ى ع ن ثم ن ن ص ار ي ر ض ل م ن ه س ل ى الل ه ع ل ي ه و أ ن ر س ول الل ه ص ر ال ب غ ي م ه ل ب و ن ال ك اه ل و ان ال ك 92(رواه البخاري) و ح

Dari Abi Mas’ud ra bahwasanya Rasul saw melarang memanfaatkan harga

anjing, upah yang dihasilkan dari pelacur dan upah yang diberikan kepada

peramal. (HR. Bukhari)

Rasul saw bersabda:

ر م ه ب يث و ل ب خ ب يث ثم ن ال ك ام خ ب الح ج س ب يث و ك 93(رواه مسلم) ال ب غ ي خ

Hasil usaha jual beli anjing adalah buruk, hasil usaha pelacuran adalah buruk

dan hasil usaha bekam juga buruk. (HR. Muslim)

92

Abi Abdillah Muhammad al-Bukhori, Matan Masykul al-Bukhori Bihasyiyah al-

Sindi, juz 02 (Beirut: Daar al-Fikr, 1995), h. 35 93

Abi Husien Muslim al-Naisaburi….Op cit, juz. 02 h. 34

Page 36: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

78

Pada hadis pertama sangat jelas larangan jual beli anjing dengan shigat nahy

berupa lafadz nahy yaitu nahaa. Adapun hadis kedua, Nabi saw memberikan

pernyataan bahwa hasil jual beli anjing adalah buruk, sedangkan sesuatu yang

buruk (khabits) dilarang oleh Allah sebagaimana firman-Nya di atas. Selain

hadis juga dianalogikan kepada hukum haramnya babi dengan ‘illat najisnya.

b. Jual beli babi

Adapun transaksi jual beli babi, sebelum membahas hukum jual belinya

maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai hukum najisnya. Jumhur ulama

mengatakan bahwa babi najis zatnya dengan uraian sebagai berikut:

1) Allah berfirman,

ن ز ير ف إ ن ه ر ج س (135: الأنعام) أ و لح م خ

Atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor. (QS. Al-An’am: 145)

Alquran menyifatkan daging babi termasuk kotor (najis), adapun

pengkhususan daging tanpa menyebutkan bagian lainnya, maka dalam hal ini

dijelaskan oleh Al-Jashash dalam ahkam al-Qur’an bahwa walaupun

disebutkan hanya dagingnya saja tetapi maksudnya semua juzu atau bagian

lainnya (min ithlaq al-juz wa iradah al-kull). Penyebutan khusus terhadap

daging karena daging lebih banyak manfaatnya. Hal ini seperti nash tentang

haramnya membunuh binatang buruan bagi orang yang sedang melakukan

ihram, tetapi maksudnya larangan setiap perbuatan dalam berburu. 94

Pengkhususan menyebutkan membunuh karena membunuh lebih

dimaksud kaitannya dalam berburu. Selain itu, contohnya adalah pengkhususan

94

Ahmad ‘Aly al-Jashash, Ahkam al-Qur’an li al-Jashash, juz. 01 (Beirut: Daar Ihya

al-Turats, 1405 H), h. 153. Maktabah Syamilah

Page 37: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

79

larangan jual beli sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Jumu’ah ayat 09

karena jual beli lebih besar diperoleh manfaatnya oleh manusia, tetapi

maksudnya adalah setiap aktivitas yang menyibukkan diri dari shalat. 95

Begitupun kaitannya dengan pengkhususan penyebutan larangan daging

babi merupakan penegasan hukum haramnya bagi semua bagiannya.

Berdasarkan demikian dalam hal ini yang dimaksud adalah semua bagian-

bagiannya, walaupun nash secara khusus hanya menyebutkan dagingnya saja. 96

Kata رجس pada ayat tersebut mengandung makna yang luas, antara lain

kotor lahir maupun batin, dosa, pekerjaan yang tidak layak dilakukan, sesuatu

yang mengarah kepada resiko, siksa dan kebobrokan moral dan keburukan

budi pekerti. Babi termasuk binatang pemakan segala (omnivora) atau

pemakan organik yang sudah mati atau busuk (saprofit), termasuk kotoran

manusia dan binatang. Itulah sebabnya mengapa babi mudah menjangkitkan

penyakit kepada manusia.97

Banyak analisis yang dikemukakan para pakar tentang sebab-sebab

diharamkannya binatang atau makanan tertentu. Babi misalnya, dinilai

mengidap sekian banyak jenis kuman dan cacing yang berbahaya terhadap

kesehatan manusia. Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang

berkembang biak dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan

meter.98

95

Ibid 96

Ibid 97

Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Op cit, vol. 03, h. 707-708 98

Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan

Umat (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), h. 153

Page 38: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

80

Berdasarkan uraian yang disebutkan di atas, maka dapat d iambil

kesimpulan bahwa segala macam binatang, makanan, minuman dan lain-

lainnya yang memiliki sifat rijs tentu saja diharamkan oleh Allah swt.

2) Adapun dalil hadis adalah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu

Daud dari Abu Tsa’labah al-Khusyani, beliau bertanya kepada Rasul saw:

“tanah kami adalah tanah ahli kitab, sesungguhnya mereka (ahli kitab)

memakan daging babi dan meminum khamr. Apa yang harus kami lakukan

terhadap wadah dan periuk mereka ? Baginda Rasul saw menjawab:99

ت غ ي ر ه د ر ب وا اإ ن و ج اش ا و ل وا ف يه ر ب واف ك ل وا و اش اء و ك ا ب ال م ض وه ا ف ار ح ر ه وا غ ي د إ ن ل رواه ابو ) و (داود

Apabila kalian mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah padanya

dan apabila kalian tidak mendapatkan selainnya, maka cucilah menggunakan

air dan makan serta minumlah. (HR. Abi Daud)

Hadis tersebut menggunakan redaksi فارحضوها بالماء (cucilah dengan

air). Seandainya tempat bekas babi itu hukumnya suci, tentunya Rasul saw

tidak akan menyuruh untuk mencucinya. Adapun qiyas, maka dianalogikan

kepada hukum anjing. Apabila anjing dihukumkan najis maka babi lebih lagi

najisnya, karena keadaan najis babi lebih buruk daripada anjing (qiyas aulawi).

Adapun jual beli babi dapat dilihat dari hadis, yaitu sahabat Nabi saw

Jabir berkata bahwa beliau mendengar Rasul saw bersabda ketika berada di

Makkah pada tahun pembebasan kota Makkah (fath Makkah), Nabi bersabda:

99

Abi Daud Sulaiman al-Sajastani, Sunan Abi Daud, juz 03 (Beirut: Daar Al-Fikr,

2003), h. 377

Page 39: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

81

ر و ر م ب ي ع ال م ال ن ز ير و الأ إ ن الل ه و ر س ول ه ح ي ت ة و 100(رواه البخاري) ص ن ام ال م

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar, bangkai,

babi dan berhala. (HR. Bukhari)

Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa

Rasul saw telah bersabda:

ا و ح لله صلى الله عليه وسلم ق ال أ ن ر س ول ا ر و ثم ن ه ر م ال م اإ ن الل ه ح ه ي ت ة و ثم ن ر ر م ال م م ال ن ز ير و ح 101(رواه ابو داود) و ثم ن ه

Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamar dan uang penjualannya,

mengharamkan bangkai serta uang hasil penjualannya serta mengharamkan

babi dan uang hasil penjualannya. (HR. Abu Daud)

Kedua hadis di atas menggunakan shigat nahy berupa lafadz harrama

sehingga kedua hadis tersebut secara sharih (jelas) menunjukkan haramnya

memperjualbelikan babi sebagaimana yang tercantum dalam hadis riwayat

Jabir ra. Kemudian diharamkan pula harganya (hasil penjualannya)

sebagaimana yang tercantum dalam hadis riwayat Abu Hurairah ra. Hal ini

menunjukkan haramnya jual beli babi, karena seandainya diperbolehkan

memperjualbelikannya tentunya tidak akan diharamkan hasil penjualannya.

Begitu juga setiap sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah swt kepada

hamba-Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram. Sebagaimana kaidah

fiqih:102

كل ما حرمه الله على العباد فبيعه حرام لتحريم ثمنه

100 Abi Abdillah Muhammad al-Bukhori, Matan Masykul al-Bukhori…, Op cit, juz.

02, h. 35 101

Abi Daud Sulaiman al-Sajastani, Op cit, juz 03, h. 260 102

Athiyyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Munazhzhamah li al-

Mu’amalah al-Maliyah al-Islamiyah wa Dauriha fi Taujih al-Nazhm al-Mu’ashirah (t.t: Daar

al-Aiman al-Iskandariyah, t.th), h. 172

Page 40: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

82

Setiap sesuatu yang telah diharamkan Allah swt kepada hamba-Nya, maka

memperjualbelikannya adalah haram karena haram memakan ladang darinya.

Pada kasus jual beli anjing dan babi ini juga dapat di-istinbath dengan

menggunakan metode ta’lili, yaitu ‘illat pengharaman tersebut adalah tidak

adanya sifat maliyah (tidak dipandang harta) pada harta yang diharamkan,

sedangkan kebolehan jual beli dibangun di atas sifat maliyah.

c. Jual beli kulit bangkai

Kulit bangkai adalah najis karena kulitnya bagian dari bangkai, oleh

sebab itu ia diharamkan berdasarkan firman Allah swt.

ي ت ة ل ي ك م ال م (4: المائدة) ح ر م ت ع

Diharamkan kepada kalian bangkai. (QS. Al-Maidah: 03)

Berdasarkan hal itu, kulit bangkai tidak sah diperjualbelikan kecuali

sesudah disamak. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw bersabda,

ل م ي ق ول ع ن ع ب د الل ه ب ن ع ب اس ق ال س ل ى الل ه ع ل ي ه و ع ت ر س ول الل ه ص اب إ ذ ا د ب غ الإ س د ه ق ف 103(رواه مسلم) ط ه ر

Dari Abdillah bin Abbas berkata, aku mendengar Rasul saw bersabda

“apabila kulit bangkai telah disamak maka hukumnya suci”. (HR. Muslim)

Lafadz ها ال sebagaimana dalam hadis di atas menunjukkan makna

umum, hal ini mencakup setiap kulit bangkai, baik kulit bangkai yang berasal

dari binatang yang dagingnya bisa dimakan atau tidak atau binatang yang

matinya disembelih atau tidak. Akan tetapi dalam hal ini dikecualikan babi dan

anjing yang keduanya dipandang najis zatnya. Hadis di atas menunjukkan

secara jelas adanya kebolehan memanfaatkan kulit bangkai dengan syarat

103

Abi Husien Muslim al-Naisaburi, Op cit, juz. 01 h. 172

Page 41: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

83

disamak (mafhum syarat). Salah satu upaya memanfaatkannya adalah dengan

memperjualbelikannya, karena hal itu sangat bermanfaat bagi kehidupan

manusia.

Berdasarkan hadis di atas (hadis Ibnu ‘Abbas), Yusuf Qardhawi

berkomentar: “yang dimaksud haramnya bangkai hanyalah soal memakannya.

Adapun memanfaatkan kulitnya, tanduknya, tulangnya atau rambutnya tidaklah

terlarang. Bahkan satu hal yang terpuji karena barang-barang tersebut masih

mungkin digunakan, oleh karena itu tidak boleh disia-siakan.104

Kulit bangkai setelah disamak hukumnya boleh dimanfaatkan menurut

syara’ dan termasuk dipandang harta. Keharaman bangkai bukan disebabkan

karena matinya, karena kalau karena matinya maka hal ini ada juga pada ikan

dan belalang yang keduanya dihalalkan. Tetapi hal itu disebabkan karena di

dalamnya terdapat lembab atau basah yang mengalir dan darah yang dipandang

karena membeku disebabkan mati. Oleh karena itu, hukum kulit bangkai yang

sudah disamak adalah suci dan boleh diperjualbelikannya. Alasannya atau ‘illat

hukumnya adalah karena hilangnya lembab atau basah dari bangkai tersebut

dan hilangnya darah yang mengalir darinya setelah disamak. 105

d. Jual beli kotoran binatang

Di dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuh disebutkan bahwa dalam sebuah

hadis diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah diberi dua kerikil dan

kotoran kering untuk digunakan dalam ber-istinja’, lalu beliau mengambil dua

104

Yusuf Al-Qardhawi, Halal wa al-Haram fi al-Islam, diterjemahkan Tim Penerb it

Jaba (Bandung: Penerbit Jabal, 2009), h. 61 105

Enang Hidayat, Op cit, h. 157

Page 42: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

84

kerikil saja dan menolak kotoran kering tersebut seraya bersabda “ini adalah

riks (najis).106

Selain itu Wahbah Zuhaili mengatakan “apa saja yang keluar dari dubur

binatang hukumnya adalah najis”. 107

Adapun jual belinya tidak sah, karena boleh tidaknya dijual suatu

barang tergantung pada bersih tindakannya. Berdasarkan demikian, semua

barang yang bersih artinya barang yang dibolehkan oleh agama untuk

digunakan, maka ia dapat dijual. 108

e. Jual beli benda yang tidak dapat disucikan

Dalam madzhab Syafi’i, sebuah barang bisa dikategorikan sebagai

mutamawwal, juga disyaratkan harus bersifat suci. Menurut Zakaria Anshari,

barang najis atau barang suci yang terkena najis dan tidak memungkinkan

disucikan melalui metode cuci atau membasuh (ghaslu) meskipun bisa

disucikan melalui metode memperbanyak volume air (takatsur) atau melalui

metode istihalah, maka bukan termasuk barang mutamawwal sebab dianggap

sama dengan barang najis itu sendiri (fi ma’na najs al’ain) sehingga tidak sah

dijadikan komoditi dalam transaksi jual beli. 109

2. Ma’qud ‘alaih memiliki nilai manfaat, walaupun manfaatnya pada masa

yang akan datang.

106

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami…, Op cit, juz. 01, h. 161 107

Ibid, h. 151 108

Ibid, juz. 04 h. 448 109

Zakaria Al-Anshari, Ghurar al-Bahiyah fi Syarh Manzhumah al-Bahjah al-

Wardiyah, juz. 04 (Beirut: DKI, 1997), h. 435-436

Page 43: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

85

Sebagaimana ungkapan K. H. Salim Ma’ruf “bermanfaat dan jikalau

manfaatnya pada masa yang lagi akan datang seperti anak khemar atau anak

kucing”.110

Syarat kedua dari ma’qud ‘alaih menurut K. H. Salim Ma’ruf adalah

bermanfaat. Ma’qud ‘alaih haruslah muntafa’ bih artinya memiliki nilai

kemanfaatan, tinjauan muntafa’ bih sebuah komoditi melalui dua perspektif

yaitu syar’i dan ‘urfi.111

Memperjualbelikan barang yang tidak memiliki nilai kemanfaatan

secara hukum tidak sah, sebab termasuk tindakan menyia-nyiakan harta

(idha’ah al-mal) yang dilarang dalam hadis. Nabi Muhammad saw bersabda,

ر م ع ل ال الأ ي ك م ع ق وق إ ن الل ه ح ر ة السؤ ث ق ال و ك ر ه ل ك م ق يل و ات و ك م ن ع و ه أ د ال ب ن ات و و ات و م ه ال إ ض اع ة ال م 112(رواه البخاري) و

Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada kalian durhaka kepada ibu,

mengubur hidup-hidup anak perempuan, menolak kewajiban. Allah juga

membenci orang yang banyak bicara, banyak pertanyaan dan menyia-nyiakan

harta. (HR. Bukhari)

Sebagaimana disebutkan di atas, menurut K. H. Salim Ma’ruf meskipun

manfaat sebuah komoditi baru ada pada masa yang akan datang seperti anak

keledai atau anak kucing. Pendapat beliau ini senada dengan pendapat Zakaria

Anshari dalam kitab Fath al-wahhab,

110

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 111

Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Fiqih al-Manhaji…, Op cit, juz. 06, h.

17 112

Abi Abdillah Muhammad al-Bukhori, Op cit, juz 02 h. 71

Page 44: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

86

اوسواء أكان النفع حالا ام م.... به شرعا( نفع)ثانيها ( و) كجحش لا 113صغير

Syarat kedua dari ma’qud ‘alaih adalah bermanfaat menurut syara’…., baik

manfaat itu dimasa sekarang maupun dimasa mendatang seperti anak keledai

a. Jual beli benda yang tidak memiliki manfaat

Jual beli ini menurut K. H. Salim juga tidak sah, seperti ungkapannya

“tiada sah menjual yang tiada ada manfaatnya seperti biji beras atau biji

gandum oleh karena sedikitnya”. 114

Jual beli ini tidak sah karena faktor qillah, sedangkan benda yang

mempunyai faktor qillah termasuk benda yang tidak memiliki nilai manfaat.

Selain ma’qud ‘alaih disyaratkan muntafa’ bih juga disyaratkan mutamawwal,

sedangkan mutamawwal adalah barang yang memiliki nilai intrinsik yang

dapat terpengaruh oleh fluktuasi harga. Menurut versi lain, mutamawwal

adalah barang yang memiliki nilai manfaat secara konkrit. 115

Barang yang tidak terpengaruh oleh fluktuasi harga dalam kondisi

normal karena faktor minimalis (qillah), seperti dua biji beras, biji gandum dan

semacamnya maka tidak sah dijadikan komoditi dalam transaksi jual beli,

sebab tidak termasuk mutamawwal.116

b. Jual beli hasyarat (binatang kecil) dan jual beli binatang yang tidak halal

dimakan.

113

Zakaria A l-Anshari, Fath al-Wahhab…, Op cit, h. 158 114

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 115

Jalaluddin Abd. Rahman Al-Suyuti, Al-asybah Wa al-Nazha’ir Fi al-Furu’

(Surabaya: al-Hidayah, 1965), h. 197 116

Syams al-Din Ahmad Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj Ila Syarah al-Minhaj, juz 03

(Beirut: DKI, 2013), h. 14

Page 45: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

87

“Dan tiada sah menjual hasyarat (binatang kecil) yang melata di bumi

yang tiada halal dimakan seperti kala dan ular dan lilipan, tikus, kodok dan

bingkarungan dan sebagainya oleh karena kejinya dan hinanya kecuali pacat

yang dipergunakan untuk mengisap maka yaitu sah dijual”.

Demikianlah ungkapan K. H. Salim Ma’ruf tentang hal ini. Binatang-

binatang yang disebutkan di atas adalah binatang-binatang yang diharamkan

mengkonsumsi dengan alasan kondisinya yang beracun dan dipandang

menjijikkan oleh orang-orang yang normal. Allah swt mengharamkan hal-hal

yang bernilai kotor, najis dan buruk (khabits). Karena itu syarat ma’qud ‘alaih

haruslah suci dan muntafa’ bih. Menurut pendapat ashah dari kalangan

Syafi’iyah, nahy yang dimutlakkan menunjukkan fasad atau batalnya manhy

‘anhu (obyek larangan), baik berupa ibadah maupun muamalah. Larangan

adakalanya berfokus pada dzatiyah ibadah atau muamalah atau bagian darinya

atau kelaziman (sesuatu yang melekat) dari ibadah atau muamalah.117

Sebagai contoh:

1) Larangan shalat/puasa bagi wanita haid

Fokus larangan → dzatiyah shalat/puasa

Dampak hukum → shalat/puasa tidak sah/batal

2) Larangan berpuasa pada hari raya Idul Adha

Fokus larangan → kelaziman dari puasa dihari ini, yakni berpaling dari

hidangan yang diberikan Allah

Dampak hukum → puasa tidak sah/batal

117

Abd. Rahim Al-Asnawi, Al-Tamhid Fi Takhrij al-Furu’ ‘Ala al-Ushul (Beirut:

Muassasah Al-Risalah, 1980), 292-294

Page 46: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

88

3) Larangan jual beli hewan dan makanan yang dinilai najis atau kotor

Fokus larangan → mabi’ (barang yang diperjualbelikan) tidak memenuhi

syarat karena tidak suci dan tidak memiliki nilai kemanfaatan, sedangkan

mabi’ merupakan salah satu rukun jual beli, berarti أمر داخل (bagian dari

jual beli)

Dampak hukum → jual beli tidak sah/batal

c. Jual beli binatang buas

K. H. Salim Ma’ruf berpendapat, “tidak sah menjual binatang buas

seperti macan dan beruang dan anjing hutan bahkan apabila binatang itu boleh

diambil manfaat”.118

Di atas telah disebutkan bahwa ma’qud ‘alaih haruslah muntafa’ bih,

tinjauan muntafa’ bih sebuah komoditi melalui dua perspektif yaitu syar’i dan

‘urfi. Barang dengan nilai kemanfaatan yang berlaku terbatas pada individu

tertentu, seperti manfaat barang yang hanya diketahui orang-orang khusus atau

seperti binatang buas yang biasa dipelihara sebagian penguasa untuk

mencitrakan kewibawaan, maka tidak sah dijadikan komoditi dalam akad jual

beli. Sebab nilai kemanfaatan yang bersifat terbatas tidak diakui secara publik

(‘urfi) memiliki nilai ekonomis yang layak dikomersialkan, sehingga tidak

masuk dalam kategori mutamawwal.119

Berbeda memperjualbelikan elang untuk berburu, kucing untuk

menjaga tikus, lintah untuk mengisap darah dan semacamnya, sebagaimana

118

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 119

Abd. Karim Al-Rofi’i, Fath al-‘Aziz Syarah al-Wajiz, juz 08 (t.t: Daar al-Fikr, t.th),

h. 119. Maktabah Syamilah

Page 47: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

89

yang diungkapkan K. H. Salim Ma’ruf, maka semuanya itu dianggap sah jual

belinya karena dinilai memiliki kemanfaatan bagi manusia. 120

Bahkan barang yang pada mulanya diharamkan namun karena alasan

kebutuhan memanfaatkannya, maka diperbolehkan transaksi jual beli tersebut,

seperti memanfaatkan anjing untuk berburu dan menjaga rumah atau toko dan

lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada sebuah ka idah fiqih yang

disampaikan Sulaiman al-Ruhaili:121

أن الأصل ف جنسه التحريم لكنه يباح ف موضع الحاجةHukum asal jenis barang yang diperjualbelikan itu diharamkan, namun karena

alasan kebutuhan maka diperbolehkan

d. Jual beli barang yang manfaatnya tidak diizinkan agama

K. H. Salim Ma’ruf juga berpendapat, “dan tiada sah menjual barang

yang bermanfaat tetapi manfaat itu tiada diizinkan oleh agama Islam seperti

menjual alat-alat permainan yang haram, umpama tunbur dan suling musik

gemelan, biola, gambus dan kitab-kitab ilmu yang dilarang oleh syariat seperti

ilmu sihir, ilmu nujum untuk mengetahui yang gaib dan sebagainya”. 122

Syarat barang yang diperjualbelikan yang dikemukakan K. H. Salim

Ma’ruf berupa suci dan memiliki nilai manfaat termasuk masalah yang dibahas

ini termuat dalam kaidah fiqih yang berbunyi,

123الأصل أن كل ما صح نفعه صح بيعه إلا بدليل

120

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 121

Sulaiman Al-Ruhaili, Qawaid Fi al-Buyu’…, Op cit, h. 71 122

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 03 123

Walid Rasyid, Op cit, h. 22

Page 48: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

90

Hukum asal setiap sesuatu yang sah dimanfaatkannya maka sah pula

diperjualbelikannya kecuali adanya dalil yang mengharamkannya

Kaidah di atas berhubungan dengan objek yang bisa

diperjualbelikannya dan dimanfaatkannya. Dalam hal ini terdapat syarat-

syaratnya, yaitu sebagai berikut.

1) Benda yang diperjualbelikan itu ada manfaatnya, berdasarkan demikian

benda yang tidak ada manfaatnya sama sekali tidak bisa dijadikan objek

akad jual beli karena hukumnya tidak sah. Selain itu termasuk meng-

infakkan harta yang tidak ada manfaatnya termasuk sia-sia atau mubazzir

seperti serangga yang tidak bisa diperjualbelikan karena tidak ada

manfaatnya.

2) Manfaat benda tersebut diperbolehkan oleh syara’, berdasarkan demikian

tidak boleh memperjualbelikan yang ada manfaatnya tetapi diharamkan oleh

syara’ seperti minuman keras, alat hiburan seperti alat musik dan benda-

benda najis.124

Jadi apabila dua syarat di atas terpenuhi, maka benda tersebut boleh

dimanfaatkan, karena prinsip dasar setiap benda adalah boleh diperjualbelikan

kecuali terdapat dalil yang melarangnya. Senada dengan kaidah di atas adalah

kaidah berikut:125

الإنتفاع المباح منوط التقويم وأساس المالية وعليه ينبني جواز البيعSesuatu yang diperbolehkannya memanfaatkannya menjadi tempat

bergantungnya akad dan menjadi dasar urusan harta, padanya dibangun

kebolehan memperjualbelikannya

124

Ibid 125

Athiyyah Ramadhan….Op cit, h. 176

Page 49: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

91

Maksud kaidah tersebut adalah sesuatu yang bukan harta tidak pantas dijadikan

harta dan dimilikinya. Begitu juga harta yang tidak mempunyai nilai menurut

syara’, tidak halal diperjualbelikannya kecuali harta tersebut bisa dimanfaatkan

pada jalan yang diperbolehkan oleh syara’. Apabila tidak bisa dimanfaatkan

maka tidak boleh diperjualbelikannya dan tidak boleh mengadakan akad timbal

balik atau saling terima darinya, karena dianggap tidak memiliki sifat-sifat

yang melekat pada harta tersebut yaitu harta tersebut dapat dimanfaatkan dan

dimanfaatkannya pada jalan yang diperbolehkan oleh syara’.126

3. Barang yang dijadikan transaksi dapat diserah terimakan

Syarat ma’qud ‘alaih yang ketiga adalah “kuasa menerima”, demikian

ungkapan K. H. Salim Ma’ruf. 127

Disyaratkan mabi’ itu mampu diserah terimakan (maqdur ‘ala taslim).

Artinya mabi’ tersebut ada di tempat sehingga mampu diserah terimakan.

Apabila mabi’ tersebut tidak ada di tempat sehingga tidak dapat diserah

terimakan maka jual belinya tidak sah, karena sabda Nabi:

فقلت يأينى الرجل يسألنى من كيم بن حزام قال أيت رسول الله صلى الله عليه وسلمعن ح128(رواه الترمي. )لا بع ما ليس عندكبتاع له من السوق ث أبيعه قال ما ليس عندى أ البيع

Makna dari hadis ini adalah seseorang yang menjual barang miliknya

tapi barangnya tidak ada di tempat dan tidak menjelaskan bentuk dan sifatnya,

maka hal ini termasuk bay’ al-gharar (jual beli sesuatu yang tidak pasti).

Karena memungkinkan rusaknya barang tersebut sebelum terjadi serah terima

126

Ibid,h. 177 127

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 128

Abi Isa Muhammad al-Tarmidzi, Op cit, juz 02 h. 271

Page 50: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

92

atau si pembeli tidak menginginkannya setelah melihat barang tersebut.129

Rasul saw juga bersabda,

اما ف لا ف ي ه إ ذ ا اب ت ع ت ط ع ت و ت س ه ح (رواه مسلم) ب ع Apabila kamu membeli makanan maka jangan membelinya sampai kamu

menerima barangnya tersebut. (HR. Muslim)

Hadis lain menyebutkan,

ل ى السوق ع ن ع ب د الله ق ال ان وا ي ت ب اي ع ون الط ع ام ج ز افا ع اه م ر س ول الله ص ل ك ه ى الل ه ع ل ي ه ف ن ل م س 130(رواه أحمد) ي ن ق ل وه أ ن ي ب يع وه ح ت و

Dari Abdillah berkata, dahulu para sahabat membeli makanan tanpa

ditimbang di pasar, kemudian Rasul saw melarang mereka melakukan jual beli

seperti itu sampai mereka memindahkannya barang yang diperjualbelikan

tersebut. (HR. Ahmad)

Pada hadis tersebut para sahabat membeli makanan tanpa ditimbang di

pasar kemudian Nabi melarang transaksi tersebut sampai mereka

memindahkannya barang yang diperjualbelikan tersebut. ‘Illat larangan jual

beli tersebut pada hadis di atas adalah karena tidak bisa diserahkan barang yang

diperjualbelikan tersebut. Dari kedua hadis di atas lahir kaidah yang berkaitan

dengan masalah ini, yaitu:

131من ابتاع شيئا فلا يبعه حت يقبضهBarang siapa membeli sesuatu maka janganlah membelinya sampai menerima

barang tersebut

Kaidah di atas menjelaskan permasalahan boleh tidaknya melakukan

akad sebelum diterimanya barang tersebut secara sempurna atau tidak boleh

129

Enang Hidayat, Op cit, h. 115 130

Ahmad al-Hanbali, Musnad Ahmad Bin Hanbal, juz. 02 (Beirut: ‘A lam al-Kutub,

1998), h. 15. Maktabah Syamilah 131

Walid Rasyid…., Op cit, h. 107

Page 51: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

93

kecuali setelah diterimanya. Penjelasannya adalah kepemilikan terhadap suatu

barang tidak terlepas dari dua hal, yaitu bisa dengan cara membeli (akad

mu’awadhah) dan bisa dengan cara lainnya seperti wakaf, hibah, sedekah dan

wasiat (akad tabarru’ah). Jika barang tersebut diperoleh dengan cara membeli,

maka dalil-dalil telah menjelaskan tentang ketidakbolehannya hal tersebut

kecuali setelah diterimanya secara sempurna. Tindakan menerima

dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf), baik pada barang yang bisa ditimbang

atau ditakar atau selain keduanya. 132 Kaidah yang senada dengan kaidah di atas

ialah,

133صح بيعه قبل القبضالمضمون بعوض ف عقد معاوضة لايSesuatu yang bisa dijadikan jaminan dalam akad mu’awadhah tidak sah

hukumnya melaksanakan jual beli sebelum terjadi serah terima

Maksud kaidah tersebut adalah bahwa benda yang bisa dijadikan

jaminan dalam akad seperti dalam jual beli dan lain- lainnya yang termasuk

akad mu’awadhah, baik berupa makanan, benda yang bergerak atau benda

yang tidak bisa bergerak, benda yang bisa ditakar, ditimbang, dihitung atau

tidak dapat dihitung (jazaf). Dalam keadaan demikian tidak diperbolehkan

kepada pembeli membeli barang tersebut sebelum ia menerima barangnya,

karena pindahnya kepemilikan belum jelas dan akan menimbulkan perselisihan

dikemudian hari bila ternyata terdapat kerusakan atau cacat yang tidak

diketahui sebelumnya pada barang tersebut. 134

a. Jual beli barang yang hilang dan dirampas

132

Ibid 133

Athiyyah Ramadhan, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Op cit, h. 140 134

Ibid

Page 52: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

94

K. H. Salim Ma’ruf berpendapat bahwa tidak sah menjual barang yang

hilang dan yang dirampas kecuali barang tersebut dijual kepada orang yang

mampu menemukannya dan menjual barang yang dirampas kepada orang yang

mampu mengambilnya dari orang yang merampas dengan catatan proses

pengembaliannya itu tidak memerlukan biaya. 135

Imam Mahalli berpendapat bahwa menjual barang yang hilang dan

yang dirampas tidaklah dinilai sah, dikarenakan pihak penjual tidak mampu

menyerahkan barang tersebut pada sewaktu akad (ghair /’ajzi ‘an imkan taslim

fi al-hal).136

Sedangkan yang dinilai menjadi orientasinya adalah imkan taslim.

Selain itu, maksud dari jual beli adalah memberikan hak tasharruf dan hal ini

tidak mungkin terjadi pada barang yang tidak bisa diserahkan dengan

pertimbangan hilangnya manfaat pada barang yang dibeli. 137

Menurut pendapat shohih, jika seseorang menjual barang yang hilang

kepada orang yang mampu menemukannya dan menjual barang yang dirampas

kepada orang yang mampu mengambilnya dari orang yang merampas, maka

jual beli semacam itu dianggap sah dengan pertimbangan bisa diterima oleh

pembeli.138

135

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 136

Jalaluddin Al-Mahalli, Kanzu al-Rogibin…., Op cit, juz 02 h. 202 137

Aziz Muhammad, Nizham al-Mu’amalat, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari,

(Jakarta: Amzah, 2010), h. 54 138

Jalaluddin Al-Mahalli, Kanzu al-Rogibin…., Op cit, juz 02 h. 202

Page 53: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

95

Kalau proses pengembaliannya itu memerlukan biaya maka hukumnya

tidak sah, sebagaimana pendapat K. H. Salim Ma’ruf di atas. Dalam hal ini,

beliau berdasarkan pendapat Zakaria Anshari, yaitu:139

عه بلاف بي... إلى ان قال لمن لا يقدر على رده... فلا يصح بيع نحو ضال كابق ومغصوب لقادر على ذالك نعم إن احتاج فيه الى مؤنة

Tidak sah jual beli barang yang hilang seperti budak yang kabur dan barang

yang dirampas…. bagi orang yang tidak mampu mengembalikannya… berbeda

bagi orang yang mampu mengembalikannya, namun dengan syarat tidak

memerlukan biaya

b. Jual beli ikan di dalam air dan burung di udara

K. H. Salim Ma’ruf mengatakan “dan tiada sah menjual ikan di dalam

air kecuali ikan itu di dalam kolam yang kecil, boleh dilihat dan mudah diambil

dan tiada sah menjual burung di atas hawa, sekalipun teradat kembalinya

kepada tempatnya seperti burung merpati”. 140

Transaksi jual beli ini tidak sah karena hadis Nabi saw yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah,

(الترميرواه ) عن بيع الغرر نهى رسول الله صلى الله عليه وسلمعن أبى هريرة قال

Hal ini termasuk gharar, sebab itulah Ibnu Mas’ud berkata “jangan

kalian membeli ikan dalam air karena itu adalah gharar dan karena maksud

jual beli adalah memberikan hak tasharruf dan ini tidak mungkin terjadi pada

barang yang tidak bisa diserahkan dengan pertimbangan hilangnya manfaat

pada barang yang dibeli.141

139

Zakaria A l-Anshari, Op cit, h. 159 140

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 141

Aziz Muhammad, Nizhom al-Mu’amalat….., Op cit, h. 54

Page 54: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

96

Gharar yang dimaksud di sini adalah ketidak mampuan untuk

menyerahkan barang. Imam Shan’ani menegaskan bahwa jual beli yang

mengandung gharar contohnya adalah ketidak mampuan menyerahkan

barang.142

c. Jual beli barang gadai

K. H. Salim berpendapat tidak boleh menjual barang yang digadaikan

tanpa izin orang yang menerima gadaian. 143

Alasan hukumnya adalah tidak bisa diserahkan secara syar’i,144 tetapi

apabila menjualnya berdasarkan izin dari orang yang menerima gadai maka

hukumnya sah, karena orang yang menerima gadai mempunyai hak pada

barang tersebut.

Setelah akad gadai (rahn) terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya,

selanjutnya akan menetapkan beberapa konsekuensi hukum, diantaranya ialah:

1) Status akad , sebelum terjadi serah terima (qabd) marhun maka status akad

rahn adalah ja’iz dari kedua belah pihak. Sebab akad rahn termasuk akad

yang memiliki muatan tabarru’ dari pihak rahin sebagaimana akad hibah.145

Karena itu akad rahn akan berubah status menjadi akad lazim dari pihak

rahin ketika terjadi serah terima marhun, seperti akad hibah pasca serah

terima mauhub. Disamping itu, dalam ayat rahn terdapat qayid مقبوضة yang

secara eksplisit menegaskan akad rahn tidak berstatus lazim kecuali dengan

142

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami…, Op cit, juz. 04 h. 436 143

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 144

Zakaria A l-Anshari, Op cit, h. 159 145

Mushtofa al-Khin dan Musthofa al-Bugo, Al-Fiqh al-Manhaji…., Op cit, juz 07 h.

122

Page 55: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

97

qabd. Sedangkan dari pihak murtahin, akad rahn berstatus ja’iz baik pra

atau pasca qabd.146 Sebab rahn diproyeksikan untuk kepentingan hak

murtahin, sehingga ia bebas dengan haknya dan tidak terikat dengan akad

rahn.147

2) Penahanan marhun seperi penjelasan di atas, ketika telah terjadi serah

terima marhun maka status akad rahn menjadi lazim dari pihak rahin.

Konsekuensi hukumnya, rahin terikat kontrak dan tidak berhak menarik

kembali marhun dan murtahin memiliki otoritas (yadd wa sulthanah) untuk

menahan marhun di bawah kekuasaannya.

3) Tasarruf marhun, tasarruf yang dimaksud di sini adalah tasarruf layaknya

pemilik barang (tasarruf al-muthlaq), yakni tasarruf yang memiliki

konsekuensi syar’i berupa hilangnya kepemilikan barang (‘ain) atau

manfaat barang seperti menjual, menghibahkan, mewakafkan atau

menyewakannya. Sebagaimana dilarang memanfaatkan marhun, rahin juga

dilarang men-tasarruf-kannya yang dapat menghilangkan kepemilikan.

Segala bentuk tasarruf yang bisa menghilangkan kepemilikan atas marhun

dihukumi batal dan status barang tetap sebagai marhun. Demikian juga,

dihukumi batal bentuk tasarruf yang bisa mengakibatkan kualitas marhun

berkurang, baik secara real (hissan) seperti meminjamkannya yang beresiko

merusak barang atau secara substansial (ma’nan) seperti menyewakannya

dalam jangka waktu yang melebihi batas jatuh tempo pembayaran rahin.

Namun apabila pihak murtahin mengizinkan, maka tasarruf yang dilakukan

146

Bakri Syatha, I’anah al-Tholibin, juz. 03 (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), h. 58 147

Abi Ishaq Al-Syairazi, Al-Muhazzab, Op cit, juz 01 h. 424

Page 56: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

98

rahin dihukumi sah dan akad rahn menjadi batal. Sebab pemberian izin oleh

pihak murtahin tersebut berarti inisiatif pembatalan akad rahn yang ja’iz

dari pihaknya.148

4. Komoditi tranksaksi jual beli harus milik ‘aqid

Syarat keempat dari ma’qud ‘alaih menurut K. H. Salim Ma’ruf adalah

“benda yang dijual milik oleh yang meakadkan”. 149 Syarat keempat dari

ma’qud ‘alaih ini didasari dari hadis Nabi Muhammad saw, yaitu:

150(رواه ابو داود) لا طلاق إلا فيما تملك ولا عتق إلا فيما تملك ولا بيع إلا فيما تملك

Tidak ada perceraian kecuali kepada perempuan yang kamu nikahi, tidak ada

memerdekakan budak kecuali kepada budak yang kamu miliki dan tidak ada

jual beli kecuali kepada barang yang kamu miliki. (HR. Abu Daud)

Lafadz لابيع pada hadis tersebut terdapat makna yang tersimpan (dalalah

iqtidha). Secara zhahir, makna yang ditunjukkan (manthuq) hadis di atas

adalah pernyataan bahwa tidak ada jual beli kecuali pada barang yang dimiliki,

namun makna tersebut kurang tepat. Oleh karena itu, hadis ini meniscayakan

adanya makna yang tersimpan, yaitu lafadz “sah, dianggap, diperbolehkan dan

semacamnya,”. Sehingga lafadz لابيع mempunyai makna “tidak sah jual beli,

tidak dianggap jual beli dan tidak diperbolehkan jual beli”. Selain itu, pada

hadis di atas terdapat huruf istisna berupa lafadz illa, sehingga secara jelas

(sharih) hadis tersebut menjelaskan larangan jual beli atau tidak sah, tidak

dianggap jual beli kecuali pada barang yang dimiliki.

a. Memperjualbelikan benda yang bukan miliknya

148

Mushtofa al-Khin dan Musthofa al-Bugo, Op cit, juz 07 h. 128-129 149

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 150

Abi Daud Sulaiman al-Sajastani, Op cit, juz 02 h. 231

Page 57: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

99

K. H. Salim Ma’ruf berpendapat, tidak sah memperjualbelikan benda

yang bukan miliknya kecuali berdasarkan izin pemiliknya dengan ungkapannya

“tiada sah menjual benda yang bukan miliknya kecuali dengan izin yang

ampunya dengan sebab jadi wakil atau ada wilayah kekuasaan”. 151 Pendapat

beliau ini berdasarkan kaidah fiqih, yaitu:152

إلا من مالك للعي او من يقوم مقامه لايصح البيعTidak sah hukumnya jual beli kecuali barangnya itu milik penjual sendiri atau

orang yang diberi kuasa olehnya/wakilnya

Maksud kaidah di atas ialah bahwa barang yang diperjualbelikan itu

milik penjual sendiri atau orang yang dapat kuasa darinya atau wakilnya. Jika

bukan miliknya, maka akad jual belinya tidak sah karena termasuk ghasab.

Berdasarkan demikian, hal tersebut bertolak belakang dengan maqashid

syari’ah yang salah satunya menjaga harta (hifzh al-mal).153

Kaidah yang senada dengan di atas diungkapkan pula oleh Sulaiman

Ruhaili:154

لا ينعقد البيع إلا من مالك او مأذون لهTidak sah akad jual beli kecuali barang yang diperjualbelikan tersebut milik

penjual atau orang yang diberi izin menjualnya

Pemilik barang maksudnya adalah orang yang memiliki barang yang

diperjualbelikan tersebut sah menurut syara’. Jika barang tersebut bukan

miliknya maka hukum jual belinya tidak sah. Misalnya, harta yang diperoleh

dengan jalan ghasab atau merampas, pencurian dan lain- lainnya. Maksud

151

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 152

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 59 153

Ibid 154

Sulaiman Al-Ruhaili,…., Op cit, h. 79

Page 58: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

100

orang yang diberi izin (ma’dzun lah) adalah orang yang diberikan izin oleh

pemilik barang untuk melakukan akad terhadap barang yang diperjualbelikan,

seperti wakil atau lainnya. 155

Sulaiman Bujairimi menyebutkan dalam kitabnya bahwa wilayah atau

otoritas pelaku transaksi atas komoditi bisa didapatkan melalui salah satu dari

empat hal, yaitu:

1). Kepemilikan (milk)

2). Perwakilan (wakalah)

3). Kekuasaan (wilayah), karena berperan sebagai wali seperti wali anak kecil,

anak yatim, orang gila, penerima wasiat dan lain- lain

4). Legitimasi syariat (idznu al-syari’ah), seperti penemu barang hilang dan

orang yang mengambil haknya (dzhofir).156

Menurut Zakaria Anshari, pelaku transaksi yang tidak memiliki salah

satu dari empat kewenangan ini maka jual beli yang dilakukannya termasuk

transaksi fudhuli yang batal secara hukum, hanya saja jika pada saat transaksi

menduga tidak memiliki otoritas, namun selanjutnya ternyata terbukti memiliki

otoritas maka jual belinya sah secara hukum. Sebab dalam konteks muamalah

yang menjadi pertimbangan hukum adalah realitas yang sebenarnya (nafs al-

amr) bukan asumsi (dhonn al-mukallaf).157

b. Memperjualbelikan barang syirkah

155

Ibid 156

Sulaiman Al-Bujairimi, Al-Bujairimi…., Op cit, h. 280 157

Zakaria A l-Anshari, Ghurar al-Bahiyah…, Op cit, h. 445-446

Page 59: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

101

K. H. Salim Ma’ruf mengatakan, “apabila seorang menjual barang

syarikat dengan tiada ada diberi izin karena syarikat-nya sahlah jual itu pada

miliknya sendiri”.158

Tidak diperkenankan bagi salah satu pelaku syirkah men-tasarruf

barang partner syirkah-nya kecuali berdasarkan izinnya. Bahkan seyogianya

jangan menjual barang syirkah miliknya sendiri kecuali meminta pertimbangan

kepada partner syirkah-nya. Sebagaimana sabda Rasul saw,

الله أن نب الله صلى الله عليه وسلم قال من كان له شريك ف حائط فلا يبيع عن جابر بن عبد (رواه الترمي)نصيبه من ذلك حت يعرضه على شريكه

Apabila salah satu pelaku syirkah menjual barang syirkah tanpa ada izin

dari pelaku-pelaku syirkah yang lain, maka jual belinya tetap sah. Akan tetapi

jual belinya yang sah adalah pada barang miliknya sendiri. Kaidah fiqih

mengungkapkan,

159بي جائز ومحرم صح فى الجائز بقسطهمن جمع فى البيع Barang siapa mengumpulkan benda yang boleh diperjualbelikan dan benda

yang haram diperjualbelikan maka lakukanlah jual beli terhadap benda yang

boleh diperjualbelikan

Maksudnya adalah apabila seseorang melakukan transaksi jual beli

sesuatu yang boleh diperjualbelikan berkumpul dengan sesuatu yang tidak

boleh diperjualbelikan dalam satu akad, maka jual beli yang sah adalah jual

beli terhadap sesuatu yang boleh diperjualbelikan. 160

c. Menjual barang orang lain

158

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 159

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 80 160

Ibid

Page 60: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

102

Transaksi jual beli ini tidak sah meskipun pada akhirnya pemilik barang

memberikan izin, demikianlah pendapat K. H. Salim Ma’ruf dengan

ungkapannya “ dan tiada sah menjual barang yang lain padahal ia tiada menjadi

wakil dan tiada ada kekuasaan sekalipun diharuskan oleh yang ampunya

sesudah dijualnya”.161

Hal ini dikarenakan pada saat transaksi dilakukan si penjual tidak

memiliki kuasa atau izin pada barang tersebut. Transaksi semacam ini

dinamakan transaksi jual beli fudhuli. Transaksi jual beli fudhuli dilarang

karena tidak sesuai syarat jual beli, yaitu barang yang dijual harus milik pelaku

transaksi. Selain itu, Nabi melarang transaksi jual beli fudhuli.

d. Memperjualbelikan barang wakaf

Menurut beliau tidak sah sekalipun barang wakaf itu sudah hampir

runtuh.162 Sebagai contoh pada masalah ini adalah masjid yang roboh dan tidak

memungkinkan dibangun lagi maka mutlak tidak boleh dijual, karena masih

bisa digunakan shalat di atasnya. Puing-puing masjid demikian juga tidak

boleh digunakan sebagai bahan bangunan selain masjid, seperti dipakai

membangun gedung, mushalla, gedung sekolah, gedung yayasan dll, melainkan

disimpan, digunakan membangun masjid baru atau disumbangkan untuk

masjid lain, demi menjaga tujuan yang telah ditetapkan waqif.163

Sedangkan aset wakaf berupa tikar atau karpet masjid, tiang atau bahan-

bahan wakaf lain yang telah mengalami kerusakan fatal dan tidak memiliki

161

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 162

Ibid 163

Khotib Syarb ini, Mugni al-Muhtaj…., Op cit, juz 02 h. 485

Page 61: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

103

fungsi sama sekali, menurut qaul ashah boleh dijual dengan alasan hukum

untuk menghindari penyia-nyia’an (idha’ah). Disamping itu, penjualan

demikian tidak lagi termasuk penjualan aset wakaf, sebab aset wakaf telah

kehilangan fungsi.164

Formulasi hukum wakaf dalam mazhab Syafi’iyah ini karena dilandasi

pemikiran bahwa status fisik mauquf telah terbatas dari kepemilikan seseorang

dan bersifat abadi sebagai aset wakaf, sehingga tidak ada celah hukum

melakukan penjualan aset wakaf. Sebab jual beli mensyaratkan adanya

kepemilikan barang. Pemikiran ini didasarkan pada hadis:165

لايباع أصلها ولا بتاع ولا وهب ولا ورث5. Diketahui kadar, jenis dan sifatnya

“Dima’lumkan kadarnya dan jenisnya dan sifatnya”, demikian pendapat

K. H. Salim Ma’ruf tentang syarat kelima dari ma’qud ‘alaih.166

Setiap transaksi perdagangan yang memberi peluang terjadinya

persengketaan, karena barang yang diperjualbelikan itu tidak diketahui, maka

cara ini dilarang oleh Rasul saw sebagai usaha menutup pintu perbuatan

maksiat (sad al-dzari’ah). Oleh karena itu, ma’qud ‘alaih disyaratkan diketahui

kadarnya, jenis dan sifatnya. Selain itu, objek akad jual beli disyaratkan

semacam ini karena khawatir ada unsur gharar, sehingga menimbulkan

perselisihan. Sedangkan gharar dilarang oleh agama sebagaimana hadis yang

telah disebutkan di atas.

164

Ibid, h. 484 165

Wazarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah…, Op

cit, juz 06 h. 325 166

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04

Page 62: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

104

a. Jual beli terhadap barang yang tidak dapat ditentukan dan tidak dapat

diketahui

K. H. Salim Ma’ruf mengatakan “tiada sah menjual barang yang tidak

dapat bertentu seperti menjual salah satu dari dua lembar kain dengan tiada

bertentu sekalipun sama harganya”. Begitu juga menurut beliau, tidak sah

menjual tepung, beras dan gula yang masih berada di dalam karung, menjual

buah-buahan seperti delima, mangga, timun yang masih bertumpuk, menjual

bawang, ubi dan lainnya yang masih di dalam tanah dan menjual bulu yang

masih di badannya.167

Transaksi jual beli semacam ini dinilai tidak sah karena mengandung

unsur gharar. Gharar yang dimaksud di sini adalah gharar al-katsir/al-

fahisyah, yaitu ketidaktahuan yang banyak sehingga menyebabkan perselisihan

di antara kedua belah pihak dan keberadaannya tidak dimaafkan dalam akad,

karena itu menyebabkan akad menjadi batal. Sedangkan diantara syarat sahnya

akad itu ialah objek akad (ma’qud ‘alaih) harus diketahui agar terhindar dari

perselisihan dikemudian hari.168 Kaidah fiqih menyebutkan,

169فسد العقود بالغرر الكثير دون اليسير

Akad bisa menjadi rusak karena terdapat gharar yang banyak bukan yang

sedikit

Maksud kaidah tersebut adalah bahwa gharar yang dimaksud menjadi

sebab rusaknya akad dalam jual beli sebagaimana tertera dalam hadis Nabi saw

167

Ibid 168

Yasin Ahmad Ibrah im, Nazhariyyah al-Gharar Fi al-Syari’ah al-Islamiyah

Dirasah Muqaranah (t.t: t.p, t.th), h. 96 169

Athiyyah Ramadhan, Op cit, h. 150

Page 63: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

105

yakni gharar yang banyak, karena menyebabkan perselisihan dan kezaliman

diantara kedua belah pihak, misalnya kasus yang disebutkan di atas. Sedangkan

gharar yang sedikit tidak menjadikan akad rusak, karena susah memeliharanya

dan akad jual beli hampir tidak terlepas darinya. Misalnya, seseorang yang

menjual pondasi rumah tanpa kelihatan kedalamannya pondasi tersebut,

dikatakan demikian karena kedalaman pondasi rumah posisinya tidak nampak

di dalam tanah.170

Menurut, K. H. Salim Ma’ruf “dan sah menjual satu gantang atau satu

kilo dari jumlah tumpukan gandum atau padi dan tiap yang bersamaan segala

juzu’nya”.171

Pendapat ini sama dengan pendapat ulama klasik seperti Zakaria

Anshari yang disebutkan dalam kitabnya Fath al-Wahhab dengan redaksi

sebagai berikut:172

لعلمها بقدر المبيع مع ساوى الأجزاء فلا ( ويصح بيع صاع من صبرة وإن جهلت صيعانها) غرر

b. Jual beli barang yang tidak dilihat oleh ‘aqidain (pelaku transaksi)

K. H. Salim Ma’ruf mengungkapkan, “dan tiada sah menjual yang tiada

ada dilihat oleh dua orang yang berakad”. Menurut Khotib Syarbini bahwa hal

ini disebabkan jual beli tersebut adalah bay’ al-ghaib. Model transaksi ini

hukumnya tidak sah karena termasuk bay’ al-gharar yang dilarang oleh

170

Ibid, h. 152 171

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 04 172

Zakaria A l-Anshari, Op cit, h. 159

Page 64: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

106

agama.173 Akan tetapi menurut K. H. Salim Ma’ruf, “dan sah melihat sebelum

akad pada barang yang tiada berubah pada ghalibnya daripada masa melihat

sampai kepada masa berakad seperti bumi, kebun, batu-batu dan besi, tembaga,

kayu dan lain- lain”. Hal ini disebabkan ma’qud ‘alaih seperti tanah, batu-batu

dan semacamnya pada biasanya (ghalib) tidak berubah sampai waktu berakad,

sehingga transaksi jual beli ini sah dengan pertimbangan ghalib-nya.174

c. Komoditi yang diperjualbelikan hanya dilihat sebagian

Sebagaimana yang diungkapkan K. H. Salim Ma’ruf, “dan sah melihat

zahir sebahagian yang dijual jika menunjukkan kepada yang tinggalnya, seperti

melihat kepada tumpuk daripada tumpukan beras atau gandum. Belainan kalau

yang tumpuk itu dari tumpukan delima dan mangga karna tiada bersamaan

bijiannya”.175

Menurut Aziz Muhammad, apabila melihat sebagian barang yang dijual

bisa menunjukkan keseluruhannya, maka cukup dengan melihat sebagian dan

tidak perlu semuanya, yaitu pada barang yang tidak berubah bagiannya seperti

gandum, tepung terigu, kelapa dan kacang. Seorang ulama pernah ditanya

tentang menjual gula dalam ceretnya apakah boleh, apakah cukup dengan

melihat dari atas tutupnya saja ?. Ulama tersebut menjawab “jika gula itu lebih

maslahat dalam ceret itu maka akad boleh”, kemungkinan alasannya karena

melihat dari atasnya saja tidak menunjukkan semuanya, namun ulama tersebut

173

Khotib Syarb ini, Op cit, juz. 02 h. 23 174

Zakaria A l-Anshari, Op cit, h. 160 175

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 05

Page 65: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

107

menganggap itu sudah cukup, apalagi kalau keberadaannya dalam tempat itu

membawa maslahat. Berbeda dengan barang-barang yang berbeda bagiannya

dengan perbedaan yang banyak seperti semangka, delima, jambu dan anggur

karena hanya melihat sebagiannya tidak sah dan harus dilihat satu persatu

secara teliti, jika tidak demikian maka jual beli batal karena sama dengan

menjual barang yang tidak diketahui.176

Disebutkan dalam kitab al-muhazzab, jika dia melihat sebagian barang

yang akan dijual dan tidak semuanya, maka perlu dirinci. Jika tidak ada

perbedaan pada setiap bagiannya maka boleh menjualnya, karena dengan

melihat sebagiannya ketidaktahuan (jahalah) akan hilang karena yang terlihat

di luar sama dengan yang di dalam. Tetapi jika termasuk yang bisa berubah

maka perlu dirinci, jika sulit untuk melihat bagian lainnya seperti buah kelapa

dalam tempurung maka boleh menjualnya, karena melihat bagian dalam sangat

sulit.177

d. Menjual anak binatang yang di dalam perut induknya.

Jual beli semacam ini dinamai ba’i habl al-habalah, artinya jual beli

janin binatang yang masih dikandung oleh induknya. K. H. Salim Ma’ruf

berpendapat tidak sah jual beli demikian.178

176

Aziz Muhammad, Nizhom al-Mu’amalat….., Op cit, h. 63 177

Abi Ishaq as-Syairazi, Al-Muhazzab, Op cit, juz 01 h. 367 178

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 05

Page 66: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

108

Dalil hukum Islam yang berhubungan dengan ba’i habl al-habalah

adalah hadis Nabi saw.

ا ه م ي الل ه ع ن ر ر ض ل ع ن ع ب د الل ه ب ن ع م ب ى ع ن ب ي ع ح ل م ن ه س ل ى الل ه ع ل ي ه و أ ن ر س ول الل ه ص ان الر ج ل ي ب ت اع الج ز ور إ لى أ ن ن ت ج الن ل ي ة ك ل الج اه عا ي ت ب اي ع ه أ ه ان ب ي اق ة ث ن ت ج ال ي ف الح ب ل ة و ك

ا (رواه البخاري) ب ط ن ه Dari Abdillah bin Umar ra, sesungguhnya Rasul saw melarang menjual (anak)

yang dikandung dalam perut unta. Cara itu merupakan jual beli orang-orang

jahiliyah yang mana seseorang membeli sesuatu yang ada di dalam kandungan

unta, sehingga unta itu melahirkan lalu anak unta tersebut melahirkan

kembali. (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadis tersebut dapat dipahami bahwa ba’i habl al-habalah

termasuk jual beli yang dilarang dalam Islam karena jual beli tersebut adalah

bentuk jual beli terhadap sesuatu yang bukan hak milik, tidak diketahui, tidak

mampu diserahkan dan akad jual beli yang dipraktikkan oleh zaman jahiliyah

yang tidak patut untuk ditiru.

N. Syarat-Syarat Ijab Kabul

K. H. Salim Ma’ruf menyebutkan lima syarat bagi ijab dan kabul,

yaitu:179

1. Melafadzkan keduanya dengan sharih atau kinayah.

Disyaratkan ijab kabul itu sharih dengan alasan hukum bahwa jual beli

adalah akad yang berorientasi pada kerelaan hati (taradhin) dan ijab kabul

yang sharih merupakan ekspresi paling representatif untuk pernyataan

taradhin. Adapun ijab kabul secara implisit (kinayah) maka dibolehkan

dengan syarat harus disertai niat (qashdu) mengadakan akad jual beli agar

179

Ibid

Page 67: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

109

menghilangkan ambiguitas makna shigah.180 Terkait masalah ini, kaidah fiqih

menyebutkan:181

مقاصد اللفظ على نية اللافظMaksud lafadz tergantung niat orang yang melafalkan

2. Ijab dan kabul harus berkesinambungan, artinya tidak ada jeda waktu.

Antara ijab kabul tidak boleh diselingi dengan pernyataan asing yang tidak

termasuk dalam konteks transaksi, meskipun pernyataan asing itu sedikit

ataupun kedua pihak belum berpisah dari tempat transaksi, karena tindakan

itu menunjukkan tidak mau untuk melanjutkan transaksi. Demikian juga

diselingi dengan diam yang lama, tindakan diam yang lama adalah tindakan

yang mengesankan bahwa orang yang bersangkutan menolak mengucapkan

kabul.182

3. Berkesuaian

Antara ijab kabul harus sinkron atau sesuai dengan isi keduanya, artinya isi

kesepakatan dari kabul sesuai dengan ijabnya dan tidak berpengaruh akan

keabsahannya jika cuma beda lafadznya saja, misalnya seorang penjual

berkata “saya jual baju ini kepadamu dengan harga 10 ribu” lalu dijawab

oleh pembeli “saya terima dengan harga tersebut” maka tidak apa-apa

walaupun dalam contoh tersebut pembeli tidak menyebutkan “saya beli” dan

tidak menyebutkan nominalnya karena sudah dapat dimengerti dengan

180

Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqih Mu’amalah Diskursus Metodologis Konsep

Interaksi Sosial-Ekonomi (Lirboyo: Lirboyo Press, 2013), h, 10 181

Muhammad Yasin Al-Fadani, Al-Fawaid al-Janiyah Hasyiyah al-Mawahib al-

Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyyah (Beirut: Daar al-Fikr, 1997), h. 175 182

Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami…, Op cit, juz. 04 h. 391

Page 68: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

110

ucapan “dengan harga tersebut”, akan tetapi jika beda arti dan isi

kesepakatan antara kedua akad tersebut maka tidak sah, misalnya seperti

contoh di atas lalu pembeli menjawab “baik saya beli dengan harga 5 ribu”

maka tidak sah karena tidak searti dan sesuai dengan kesepaka tan harga

dalam akad ijabnya. Bahkan walaupun harga yang disebutkan lebih banyak

maka tetap tidak sah, misalnya “baik saya beli dengan harga 15.000”. 183

4. Tidak terdapat ta’liq (penangguhan pada syarat tertentu)

5. Tidak terdapat ta’qit (limitasi waktu kepemilikan)

Larangan dua poin terakhir ini karena dalam penangguhan (ta’liq) terdapat

muatan syarat yang merefleksikan kesangsian ridha dalam mengadakan

transaksi yang berorientasi pada kerelaan hati. Di samping itu, transaksi

yang berorientasi pada kepemilikan (milkiyah) harus bersifat pasti (jazimah)

dan bebas dari unsur spekulatif, agar tidak menyerupai perjudian.

Sedangkan dalam (ta’qit), karena bertentangan dengan konsekuensi jual beli

yang mengharuskan kepemilikan secara permanen (ta’bid).184

O. Jual Beli Mu’athah

K. H. Salim Ma’ruf menyatakan tidak sah jual beli ini, namun beliau

menceritakan bahwa Imam Nawawi memilih qaul (pendapat) yang menyatakan

sah jual beli ini.185

183

Segaf Baharun, Fiqih Mu’amalat (Kajian Fiqih Mu’amalat Menurut Madzhab

Imam Syafi’i Ra) (Bangil: Yayasan Ponpes Daar al-Lughoh wa ad-Da’wah, 1433 H), h. 19 184

Tim Laskar Pelangi, Op cit, h. 11 185

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 05

Page 69: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

111

Mu’athah berasal dari kata اعطى يعطي yang artinya memberi, kemudian

dibentuk dengan bentuk mufa’alah sehingga menjadi mu’athah (معاطاه) yang

artinya saling memberi. Jual beli dengan sistem mu’athah adalah jual beli yang

hanya dengan penyerahan dan penerimaan tanpa ada ucapan atau ada ucapan

tetapi dari satu pihak saja, namun kemudian kalangan ahli fiqih memakainya

untuk jual beli yang bersifat saling memberi secara khusus. 186

Menurut pendapat Imam Syafi’i bahwa jual beli jenis ini tidak sah

karena Alquran dan hadis menyebutkan,

Allah swt berfirman,

م إ لا ن ك ن ر اض م أ ن ك ون ار ة ع

Nabi Muhammad saw bersabda,

ض را ن ع ع ي ب ال ا ن إ

Sifat kerelaan itu adalah sesuatu yang tidak jelas maka dibutuhkan

pernyataan kata-kata yang jelas maknanya ataupun kata-kata yang kurang jelas

maknanya pada ijab dan kabul. Apalagi ketika ingin membuktikan adanya

transaksi ketika terjadi sengketa, karena itu seorang hakim tidak akan

menerima kesaksian seseorang kecuali dari kata-kata yang didengarnya

langsung. Nabi Muhammad saw bersabda,

187مرت ان أحكم بالظاهر والل ه يتولى السرائرأ

186

Ahmad Ali Al-Fayumi, Qamus al-Mishbah al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir

Li al-Rafi’i (Beirut: Daar al-Fikr, 2010), h. 222 187

Abid Al-Sindi, Tartib Musnad al-Imam al-Syafi’i (Beirut: Daar al-Fikr, 1997), h.

14

Page 70: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

112

Aku diperintahkan untuk menghukumi hal-hal yang nyata sedangkan Allah

mengurusi hal-hal yang tersembunyi

Pendapat inilah yang populer dari mazhab Syafi’i bahwa jual beli jenis

ini adalah tidak sah, baik dalam jual beli yang sedikit atau banyak. Beberapa

ulama dari mazhab Syafi’i seperti Imam Nawawi menganggap sah jual beli

jenis ini pada semua transaksi jual beli yang biasa dilakukan oleh orang-orang.

Sebab tidak ada dalil yang mensyaratkan harus adanya kata-kata, karena itulah

rujukan selalu kepada tradisi (‘urf) seperti kata-kata umum lainnya. Akan tetapi

beberapa ulama lainnya dari mazhab Syafi’i seperti Ibnu Syuraij dan Ruyani

membatasi bolehnya jual beli tanpa ijab kabul pada barang-barang biasa yaitu

tidak mahal, dimana orang sering melakukannya dengan tanpa ijab kabul

ketika membeli sekerat roti, seikat sayur dan semacamnya. 188

Sudah menjadi kebiasaan orang bahwa sah membeli barang-barang

kecil (tidak begitu berharga) tanpa ucapan ijab kabul, sedangkan jika yang

dijual barang berharga maka tidak sah kecuali dengan ijab kabul dan menilai

satu barang apakah berharga atau tidak maka dikembalikan kepada adat

kebiasaan setempat. Jika ia dianggap barang tidak berharga maka sah jual beli

tanpa ijab kabul dan jika sebaliknya maka harus ada ijab kabul. Ini adalah

pendapat yang terkenal dalam pembahasan sahnya jual beli dengan sistem

mu’athah.189

Al-Rafi’i menyebutkan ada pendapat lain bahwa barang tidak berharga

adalah barang yang tidak sampai nishab mencuri. Pendapat ini menyimpang

188

Khotib Syarb ini, Op cit, juz. 02, h. 05 189

Aziz Muhammad, Op cit, h. 35

Page 71: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

113

dan lemah, tetapi yang benar adalah tidak hanya sebatas itu tapi bergantung

kepada apa yang dianggap jual beli oleh adat kebiasaan.190

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan terkait hukum bay’ al-

mu’athah berkembang tiga pendapat ulama:

1. Jual beli demikian tidak sah sesuai dengan ayat Alquran dan hadis yang

disebutkan di atas, yaitu jual beli didasari saling meridhai dari kedua pihak

transaksi. Sifat ridha adalah kata yang universal dan dapat dilihat dengan

ucapan, tulisan dan isyarat, maka tidak sah jual beli jenis ini dan tidak ada

bedanya baik berupa barang yang tidak berharga, sedikit, banyak dan barang

yang berharga. Sebab jual beli bagian dari ijab kabul dan bukan hanya

sekedar menyerahkan dan menerima.

2. Jual beli demikian sah dalam setiap barang yang kurang berharga, seperti

roti, sayuran dan lain- lainnya.

3. Jual beli demikan sah pada setiap yang dinamakan jual beli, artinya setiap

yang dianggap jual beli oleh adat kebiasaan orang dan mereka sudah biasa

melakukan itu dan menganggap sah jual beli itu tanpa ijab kabul, karena itu

jual beli semacam ini sah sebab tradisi merupakan bagian dari sumber

hukum.191 Kaidah fiqih menyebutkan,

192العادة محكمةAdat kebiasaan ditetapkan sebagai hukum

193إنا عتبر العادة اذا اضطردت او غلبت

190

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi,Kitab al-Majmu…, Op cit juz. 09 h. 192 191

Aziz Muhammad, Op cit, h. 36 192

Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah…, Op cit, h. 133

Page 72: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

114

Hanyasanya tradisi dianggap sebagai dasar hukum adalah apabila telah

menjadi tradisi yang terus menerus atau lebih banyak dilakukan

Dalam mengomentari kedudukan bay’ al-mu’athah, Ibnu Suraij

mengemukakan sebuah kaidah berikut:194

كل ما جرت العادة فيه بالمعاطاه وعدوه بيعا فهو بيع وما ل ر العادة فيه بالمعاطاه كاالجواري والدواب والعقار لا يكون بيعا

Setiap jual beli yang diakui oleh adat bisa dilakukan dengan cara mu’athah

dan masyarakat memandang bahwa hal itu termasuk jual beli, maka praktik

tersebut disebut jual beli

Menurut K. H. Salim Ma’ruf, khilafiyah tentang bay’ al-mu’athah juga

berlaku pada tiap-tiap akad seperti ijarah, gadai dan lainnya.195 Pada masalah

ini, Imam Nawawi ini dalam kitab Majmu’ syarah muhazzab menyebutkan,

196اللاف المكور فى المعاطاة فى البيع يجري فى الإجارة والرهن والبة ونحوها( فرع)

Perbedaan bay’ mu’athah juga berlaku pada ijarah, rahn, hibah dan

semisalnya

P. Jual Beli ‘Inah

Tentang jual beli ‘inah ini, K. H. Salim Ma’ruf berpendapat bahwa

hukumnya makruh jika tidak ada syarat dalam akad tetapi jika ada syarat maka

hukumnya haram. Dalam hal ini beliau memberikan contoh, “menjual seorang

akan mata bendanya kepada seorang laki- laki dengan harga bertempo seratus

193

Ibid, h. 148 194

Ibnu Khatib, Mukhtasar Min Qawa’id al…, Op cit, h. 253 195

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 06 196

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi,Kitab al-Majmu…, Op cit juz. 09 h. 194

Page 73: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

115

dua puluh kemudian dibelinya pula oleh yang menjual tadi dengan harga

seratus berkontan, maksudnya supaya lepas daripada riba qordh.197

Para ulama memberikan definisi tentang jual beli ’inah sebagai berikut,

Imam Nawawi berkata dinamakan jual beli ’inah karena akad jual beli ini dapat

mendatangkan ‘ain yaitu keuntungan dinar dan dirham. 198

Selanjutnya Al-Fayumi menegaskan ‘inah ditafsirkan oleh fuqoha

sebagai berikut, yaitu seorang menjual barang dagangannya dengan cara

diangsur (kredit) sampai batas waktu yang telah disepakati. Setelah itu, dia

membelinya kembali pada majelis yang sama secara kontan dengan harga yang

murah, agar selamat dari riba. Seolah-olah ia menjual dirham yang dikreditkan

dengan dirham yang kontan bersamaan dengan adanya perbedaan selisih harga.

Sedangkan harga barang itu hanya sekedar tipu daya (hilah), padahal intinya

riba.199

Al-Shan’ani menyebutkan jual beli ‘inah ialah seseorang menjual

barang dagangannya kepada orang lain dengan harga yang sudah diketahui,

diangsur sampai batas waktu tertentu. Kemudian ia membelinya kembali dari

pihak pembeli dengan harga yang murah. Berdasarkan demikian barang

dagangan semula tetap kembali kepada pihak penjual dan inilah yang

menunjukkan haramnya jual beli semacam ini. Dinamakan ‘inah karena barang

yang telah dijual itu kembali lagi kepada penjual. 200

197

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 06 198

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Tahzib al-Asma wa al-Lughah, juz. 02 (Beirut:

DKI, 2007), h. 489 199

Ahmad Ali A l-Fayumi, Qamus al-Mishbah…, Op cit, h. 234 200

Muhammad Al-Shan’ani, Subul al-Salam, juz. 03 (Bandung: CV. Diponegoro,

t.th), h. 42

Page 74: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

116

Pendapat K. H. Salim Ma’ruf tentang jual beli ‘inah ini terdapat qayid

yaitu jika tidak disyaratkan dalam akad, sehingga hukumnya sah tapi makruh.

Apabila sebaliknya maka hukumnya haram karena ada unsur riba.

Imam Syafi’i membolehkan jual beli ini tetapi memakruhkannya,

karena menurutnya akad jual beli yang demikian selamat dari mafsadat

(kerusakan).201

Menurut Imam Syafi’i, dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah

hadis Nabi Muhammad saw berikut ini:

ا م ه ي الل ه ع ن ن أ ب ه ر ي ر ة ر ض ع ر ي و ع يد ال د ل م ه أ ن ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ل ي ع ن أ ب س س و لا ل ر ج ت ع م ل م أ ك ل اس س ل ى الل ه ع ل ي ه و ال ر س ول الل ه ص ن يب ف ق ر ج اء ه ب ت م ر ف ج ي ب تم ر ع ل ى خ

ا ق ال لا ك ي ب ر ه ا ب الص خ ن ه ث ة لص اع ي ب الث لااع ي و ا و الل ه ي ا ر س ول الل ه إ ن ا ل ن أ خ الص اع م ل ل م لاف ق ال ر س ول الل ه ص س ن يباى الل ه ع ل ي ه و م ج ر اه م ث اب ت ع ب الد ر اه ع ب الد ل ب ع الج م ع رواه ) ف

(البخاري

Dari Abi Sa’id Al-Khudri dan dari Abi Hurairah, sesungguhnya Rasul saw

pernah mempekerjakan seseorang di daerah Khaibar, lalu orang itu datang

dengan membawa kurma pilihan yang terbaik. Maka Rasul saw bertanya:

“apakah semua kurma khaibar seperti ini ?”, orang itu menjawab: “demi

Allah tidak wahai Rasul saw. Sesungguhnya kami menukar (barter) satu sha’

dari jenis kurma ini dengan dua sha’ kurma lain dan dua sha’ kurma ini

dengan tiga sha’ kurma lain. Maka Rasul saw bersabda: “janganlah kamu

melakukannya, juallah semua dengan dirham kemudian beli dengan dirham

pula”. (HR. Bukhari)

Bunyi hadis لا تفعل adalah nahy (larangan) dengan shigat nahy berupa

fi’il mudhari’ yang disertai dengan huruf laa nahiyah. Sedangkan bunyi hadis

201

Ibid

Page 75: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

117

ع dan بع adalah perintah (amar), sebagaimana disebutkan kaidah ushul ابت

fiqih:202

الأصل ف الأمر للوجوب

Pada dasarnya amar itu menunjukkan wajib

Dikarenakan kedua amar tersebut letaknya sesudah nahy, maka makna

amar tersebut tidak bermakna wajib lagi melainkan boleh ( ibahah). Kaidah

ushul fiqih menyebutkan:203

الأمر بعد النهي يفيد الإباحةAmar sesudah nahy menunjukkan boleh (ibahah)

Pada hadis tersebut terdapat kedua amar yaitu بع (amar pertama) dan

Dalam masalah ini terdapat dua amar dengan menggunakan .(amar kedua) ابتع

huruf ‘athaf ( م Jika amar kedua di-athaf-kan (dihubungkan) kepada amar .(ث

pertama maka fungsi amar kedua sebagai ta’kid, karena muta’allaq-nya

serupa. Namun pendapat yang rojih sisi ta’sis lebih unggul karena dzahir dari

adanya athaf adalah untuk fungsi ta’sis.204

Berdasarkan uraian di atas, maka wajar Imam Syafi’i membolehkan

pihak penjual membeli barangnya kembali. Untuk memperkuat pendapatnya

itu, beliau berpendapat telah terjadi kesepakatan ulama tentang bolehnya jual

beli ini, tetapi dengan catatan bukan dimaksudkan untuk mengeruk

keuntungan.205

202

Abd. Hamid Hakim, Al-Bayan…, Op cit, h. 15 203

Ibid, h. 28 204

Abd. Rahman Al-Syarbin i, Hasyiyah al-Bannani ‘ala Syarh al-Jalal al-Mahalli,

juz. I (Surabaya: Daar al-Ilmi, t.th), h. 389 205

Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Op cit, h. 42

Page 76: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

118

Menurut Shan’ani bunyi hadis di atas, yaitu م راه menunjukkan بع الجمع بالد

bolehnya jual beli ‘inah adalah dikarenakan Nabi saw tidak merinci transaksi

yang dilakukan oleh orang khaibar tersebut yang kemungkinan terjadi

pemilahan di dalamnya. Nabi saw tidak merinci atau tidak memilah terlebih

dahulu, apakah orang khaibar tersebut menukar (barter) satu sha’ kurma dari

jenis ini dengan dua sha’ kurma lain secara bersamaan atau tidak atau Nabi

merinci dengan hal-hal yang lain terhadap transaksinya. Jelasnya Nabi saw

tidak merinci atau memilah terhadap pekerjaan orang khaibar tersebut. Setelah

mendengarkan cerita dari orang khaibar tentang transaksinya, Nabi saw

langsung melarang transaksi tersebut sekaligus memerintahkan untuk menjual

barangnya dengan sabdanya,

ن يبا م ج ر اه م ث اب ت ع ب الد ر اه ع ب الد ب ع الج م

Sehingga berdasarkan hal ini, maka jual beli ini sah secara mutlak, baik dari

pihak penjual ataupun selainnya.206 Dalam kajian ushul fiqih, hal ini disebut

dengan:

رك الإستفصال ينزل منزلة العمومSebuah jawaban tanpa disertai penjelasan dan pemilahan secara rinci atas

pertanyaan, maka jawaban itu diberlakukan layaknya lafazh ‘am.

Ungkapan ini muncul dari statemen Imam Syafi’i sebagai berikut:207

رك الإستفصال ف وقائع الأحوال مع قيام الإحتمال ينزل منزلة العموم ف المقالMengabaikan perincian atas beberapa keadaan kasus disertai adanya sudut

kemungkinan maka diposisikan sebagai keumuman dalam ucapan.

206

Ibid 207

Hasan Al-‘Atthor, Hasyiyah al-‘Atthor ‘Ala Syarh al-Jalal al-Mahalli ‘Ala Jam’i

al-Jawami’, juz. 03 (t.t: t.p, t.th), h. 364. Maktabah Syamilah

Page 77: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

119

Sebagian masyarakat di zaman sekarang telah mempraktikkan jual beli

ini, Syekh Ibnu al-‘Utsaimin sebagaimana dikutip oleh Abi Malik Kamal

memberikan sebuah contoh yang diantaranya ialah seseorang yang

membutuhkan mobil, kemudian dia datang ke penjual. Dia berkata “saya

memerlukan mobil seseorang yang sedang dipertunjukkan dalam pameran”.

Selanjutnya si penjual mendatangi orang yang punya mobil tersebut dan

membelinya. Setelah itu, mobil tersebut dijualnya kembali dengan harga yang

lebih mahal kepada orang yang membutuhkan tadi secara kredit. Ini adalah tipu

daya (hailah) dari riba. Hakikatnya adanya riba pada contoh di atas terletak

pada si penjual memberi pinjaman (utang) kepada orang yang memerlukan tadi

atas harga mobil dengan adanya harga tambahan. Karena kalau tidak seperti ini

orang yang membutuhkan tersebut tidak akan membeli mobil tersebut. 208

Allah swt sendiri telah mengharamkan riba dan bay’ (jual beli) ‘inah

merupakan perantara (wasilah) kepada riba, karena sesungguhnya penjual dan

pembeli dalam jual beli ini tidak mempunyai maksud memiliki barang

melainkan uang tunai. Diharamkannya bay’ ‘inah ini karena memandang

tindakan preventif (sadd al-dzari’ah). Kemudian hal-hal yang dihukumi mubah

itu bisa menjadi perantara (wasilah) dan berpengaruh pada dampak hukum

disebabkannya. Ulama ushul fiqih telah menetapkan beberapa kaidah yang

berkenaan dengan wasilah diantaranya,

209فوسائل المحرم محرمة

208

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah wa Adillatuh wa Taudih Mazahib al-

Aimmah, juz. 04 (Kairo: Maktabah al-Taufiqiyah, t.th), h. 306 209

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 111

Page 78: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

120

Wasilah kepada haram maka hukumnya menjadi haram

Riba hukumnya haram dan bay’ al-‘inah merupakan wasilah kepada riba yang

dilarang, oleh karena itu bay’ al-‘inah hukumnya haram.

Q. Jual Beli Murabahah

K. H. Salim Ma’ruf menghukumkan sah jual beli murabahah.210

Landasan hukum fatwa ini berdasarkan Alquran, hadis, ijma’ dan kaidah fiqih.

Allah berfirman,

ر م الر ب ا ل الل ه ال ب ي ع و ح أ ح (915: البقرة) و

Menurut Cholil Nafis, metode bayani dalam jual beli murabahah ini

terletak pada lafazh al-bay’ dalam ayat البيع adalah isim mufrad (kata وأحل الل

tunggal) yang ditambah huruf alif dan lam (baca: al) adalah lafazh ‘am (yang

menunjukkan arti umum). Maka maksud al-bay’ pada ayat ini adalah seluruh

model dan jenis akad jual beli termasuk jual beli murabahah.211 Hadis Nabi

yang menjadi landasan jual beli murabahah adalah sebagai berikut:

ن ع ع ي ب ال ا ن سلم إ و الله صلى الله عليه ل و س ر ال ق ل و ق ي ي ر د ال د ي ع س با أ ت ع س ل قا ه ي ب أ ن ع (رواه ابن ماجة) ض را

Dari ayahnya berkata, aku mendengar perkataan dari Abi Sa’id Al-Khudri

yaitu, Rasul saw pernah bersabda: “hanyasanya jual beli itu dilandasi atas

dasar suka sama suka”. (HR. Ibnu Majah)

Nabi saw juga bersabda,

فيهن البركة البيع الى اجل والمقارضة وخلط عن صهيب أن النب صلى الله عليه وسلم قال ثلاث (رواه ابن ماجة)البر بالشعير لا للبيع

210

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 06 211

Cholil Nafis, Op cit, h. 165

Page 79: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

121

Dari Shuhaib bahwa Nabi saw bersabda: ada tiga hal yang mengandung

berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah dan campur gandum dengan

jewawut untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah)

Pada hadis di atas, muqaradhah adalah salah satu transaksi yang

membawa keberkahan dari Allah. Abu Ibrahim Al-Shadiq mendefinisikan

muqaradhah sebagai berikut:212

قطع منه مادفعه الى الغير ليعمل فيه والربح بينهما على ما شرطاه: قارض الرجل من ماله

Seseorang yang berdagang terhadap hartanya: seseorang yang

memotong/memberikan sebagian hartanya kepada orang lain untuk

diperdagangkan dan memperoleh keuntungan sesuai dengan kesepakatan

keduanya

Mayoritas ulama sepakat mengatakan dibolehkan jual beli dengan cara

murabahah.213 Adapun kaidah fiqihnya sebagai berikut,

الأصل فى المعاملات الإباحة إلا ان يدل دليل على تحريمهاPada dasarnya semua muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang

mengharamkannya

Murabahah secara bahasa berasal dari kata kerja رابح يرابح مرابحة yang

berarti saling menguntungkan. 214 Jual beli murabahah ialah transaksi yang

ditinjau dari cara menetapkan harga, karena jual beli murabahah merupakan

bagian dari jual beli amanah (bay’ al-amanah).215

212

Jalal Abd. Rahman Suyuti, Mishbah Al-Zujajah ‘ala Sunan Ibnu Majah, juz. 02

(Beirut: DKI, 2015), h. 81 213

Syarif Hidayatullah, Qawa’id Fiqhiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi

Keuangan Syari’ah Kontemporer (Mu’amalat, Maliyyah Islamiyyah, Mu’ashirah) (Jakarta:

Gramata Publishing, 2012), h. 135 214

Ibid, h. 131 215

Yusuf Al-Subaily, Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat Dan

Aplikasinya Dalam Ekonomi Modern, diterjemahkan o leh Erwandi Tarmizi (t.t : t.tp, t.th), h. 05

Page 80: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

122

Adapun definisi jual beli murabahah ialah transaksi jual beli dengan

prosedur penjual menyatakan modal pembelian barang, kemudian menentukan

margin profit (ribh) yang disepakati dari modal. Laba dalam jual beli

murabahah boleh bukan dari jenis modal. Misalnya, “aku jual barang ini

kepadamu dengan sistem murabahah, yakni modalku Rp. 1.000.000 dengan

margin keuntungan tiap dari Rp. 100.000-nya adalah Rp.10.000 atau pakaian

sekian”.216

Syafi’i Antonio memberikan contoh terhadap jual beli murabahah,

misalnya pedagang eceran membeli komputer dari grosir dengan harga Rp.

10.000.000, kemudian ia menambahkan keuntungan sebesar Rp. 750.000.00

dan ia menjual kepada pembeli dengan harga Rp. 10.750.000.00. Pada

umumnya, pedagang eceran tidak akan memesan dari grosir sebelum ada

pesanan dari calon pembeli dan mereka sudah menyepakati tentang lama

pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil pedagang eceran serta

besarnya angsuran kalau memang akan dibayar secara angsuran. Jual beli

murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara pemesanan dan biasa

disebut sebagai murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Dalam kitab al-

Um, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-amir bi al-

syira.217

Syarat-syarat jual beli murabahah adalah sebagai berikut:

216

Tim Laskar Pelangi, Op cit, h. 15 217

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktik (Depok: Gema

Insani, 2011), h. 101

Page 81: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

123

1. Diketahui harga pertama (harga dasar), disyaratkan agar harga pertama

diketahui oleh pembeli karena mengetahui harga adalah salah satu syarat

untuk sahnya jual beli dan karena harga awal (harga pokok) dijadikan dasar

dalam transaksi murabahah. Jika tidak diketahui harga dasar maka jual beli

dipandang fasid, kecuali kalau diketahui pada majelis akad dan jika tidak

diketahui harga dasar/pokok tersebut hingga dua pihak telah berpisah dari

majelis akad, maka akad murabahah menjadi batal karena fasad telah

berulang kali. Hal ini agar tidak merugikan salah satu pihak yang

bertransaksi. Kaidah fiqih mengatakan,

الضرر يزالSegala mudharat (bahaya) wajib dihilangkan

2. Diketahui keuntungan: seyogiyanya keuntungan harus diketahui, karena

keuntungan itu merupakan bagian dari harga. Pengetahuan terhadap harga

adalah salah satu syarat untuk sahnya jual beli.

3. Hendaklah modal dari sesuatu yang dapat ditukar, ditimbang atau dapat

dihitung.218

Sedangkan menurut Syafi’i Antonio, syarat-syarat murabahah adalah sebagai

berikut:

1. Penjual memberi tahu biaya kepada nasabah

2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan

3. Kontrak harus bebas dari riba

218

Syarif Hidayatullah…., Op cit, h. 136

Page 82: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

124

4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang

sesudah pembelian

5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,

misalnya jika pembelian dilakukan secara utang

Secara prinsip jika syarat satu, empat atau 5 tidak dipenuhi, maka pembeli

memiliki pilihan:

1. Melanjutkan pembelian seperti apa adanya

2. Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang

dijual

3. Membatalkan kontrak

Jual beli secara murabahah di atas hanya untuk barang atau produk yang telah

dikuasai atau dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Bila

produk tersebut tidak dimiliki penjual maka sistem yang digunakan adalah

murabahah kepada pemesan pembelian (murabahah KPP). Hal ini dinamakan

demikian karena penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi

kebutuhan pembeli yang memesannya. 219

R. Jual Beli Muhathah

Disebutkan oleh K. H. Salim Ma’ruf dalam Risalah-nya bahwa sah jual

beli muhathah, seperti ungkapannya berkata ia aku jual akandikau ini barang

seharga yang aku beli tetapi aku kurangkan satu rupiah pada tiap-tiap sebelas

rupiah maka yang demikian itu sah jualnya dan dinamai akan dia muhathah.220

219

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah…, Op cit, h. 102 220

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 06

Page 83: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

125

Jual beli muhathah hukumnya sah dan diperbolehkan berdasarkan

keumuman firman Allah swt dalam QS. Al-Baqarah: 275, hadis Nabi saw yang

menjelaskan bahwa landasan akad jual beli adalah saling rela (suka sama suka)

dan kaidah fiqih yang menjelaskan bahwa dasar semua muamalah boleh

dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.

Jual beli muhathah juga merupakan bagian dari bay’ al-amanah, jenis

jual beli ini juga dinamai jual beli wadh’iyyah (bay’ al-wadh’iyyah). Adapun

definisinya adalah pihak penjual menyebutkan harga pokok barang dan

menjual barang tersebut di bawah harga pokok. Misalnya, penjual berkata

“barang ini saya beli dengan harga Rp. 10.000,- dan akan saya jual dengan

harga Rp. 9.000,- atau saya potong 10% dari harga pokok”. 221

S. Jual beli Yang Haram Dan Sah Akadnya

1. Jual beli seseorang terhadap jual beli saudaranya

K. H. Salim Ma’ruf berpendapat jual beli tersebut sah namun haram dan

beliau memberikan contoh terhadap jual beli ini, sebagai berikut “seseorang

berkata kepada pembeli dalam masa khiyar, batalkan jual bel ini dan saya akan

menjual kepadamu barang seperti itu dengan harga yang lebih murah atau

barang yang lebih bagus kualitasnya”.222 Dasar hukumnya adalah hadis, Rasul

saw bersabda.

ا م ه ي الل ه ع ن ر ر ض ل ى الل ع ن ع ب د الل ه ب ن ع م ل م ق ال لا ه أ ن ر س ول الل ه ص س م ع ل ي ه و ي ب يع ب ع ض ك يه (رواه البخاري) ع ل ى ب ي ع أ خ

2. Menawar atas tawaran saudaranya

221

Yusuf Al-Subaily, Fiqh Perbankan Syariah…, Op cit, h. 05 222

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 07

Page 84: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

126

Begitu juga tentang menawar atas tawaran saudaranya, dalam hal ini

K. H. Salim Ma’ruf juga berpendapat bahwa hukumnya haram. Beliau

memberikan contoh terhadap menawar atas tawaran saudaranya, “seseorang

menawar dengan harga yang lebih tinggi akan barang yang telah ditawar oleh

orang lain dan kedua belah pihak telah sepakat dalam masalah harga”.223 Dalam

hal ini Rasul saw bersabda,

ل م ق ال لاع ن الن ب ص ل ى الل ب ه ر ي ر ة ع ن أ س ط ب الر ه ع ل ي ه و يه و لا ط ب ة أ خ ل ى خ ي س وم ج ل ع يه م أ خ و (رواه مسلم) ع ل ى س

Kedua hadis ini mengandung larangan sehingga siapa yang

melanggarnya berdosa jika dia mengetahuinya. Disebutkannya kata “seorang

laki- laki dan saudaranya” bukan untuk membatasi, namun karena sebab yang

pertama sebab ini yang paling sering dan yang kedua karena kelembutan,

kedekatan dan cepatnya respons dan demikian juga dengan yang lainnya. 224

Menurut mayoritas ulama, penyebutan kata akhi pada hadis itu tidak

terbatas kepada saudara seagama yaitu orang Islam saja tetapi juga kepada

orang kafir.225

Larangan jual beli ini terdapat qayid, yaitu jika harga sudah ditentukan.

Pada masalah ini, pengharaman terletak pada jika tawaran yang pertama sah,

namun jika sebaliknya maka tidak haram baginya berbuat demikian. Dalilnya

223

Ibid 224

Aziz Muhammad, Nizhom al-Mu’amalat….., Op cit, h. 84 225

Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz. 05 (Beirut:

DKI, 2011), h. 445

Page 85: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

127

sama dengan bolehnya melamar wanita yang sudah dilamar orang lain jika

lamaran pertama diharamkan. 226

‘Illat larangan dua jenis jual beli di atas adalah mendatangkan

kemudaratan dan dapat mendatangkan kebencian serta permusuhan diantara

manusia.227 Sedangkan prinsip bermuamalah adalah memelihara kemaslahatan

dan menghilangkan kemudaratan kedua belah pihak. Kaidah fiqih

menyebutkan,

228رفع الضرر عنهما هو العدل ف كل المعاملات ومراعاة مصلحة الطرفي والأصل Hukum asal dalam muamalah adalah keadilan, memelihara kemaslahatan dan

menghilangkan kemudaratan

Berdasarkan ‘illat yang disebutkan di atas, maka keharaman dua jenis

jual beli tersebut termasuk haram li sadd al-zari’ah (haram karena tindakan

preventif), yaitu dikhawatirkan terjadinya permusuhan dan pertikaian. Oleh

sebab itu, dua jenis transaksi tersebut dilarang untuk menutup celah terjadinya

permusuhan dan pertikaian.

3. Jual beli al-hadhir li al-baad

Menurut K. H. Salim Ma’ruf jual beli ini haram, namun sah akadnya.

Dalam hal ini beliau memberikan contoh sebagai berikut, seseorang datang dari

desa dengan membawa barang dagangannya. Ia bertujuan untuk menjualnya

dengan harga standar pada waktu itu, sedangkan kebutuhan akan barang pada

saat itu sangat diperlukan oleh masyarakat karena langkanya. Kemudian dia

mencari seseorang yang berasal dari kota yang tujuannya untuk menitipkan

226

Aziz Muhammad, Nizhom al-Mu’amalat….., Op cit, h. 85 227

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 391 228

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 44

Page 86: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

128

barang dagangannya kepadanya dan agar dia menjualnya secara bertahap

dengan harga yang lebih mahal. 229

Al-hadhir artinya penduduk kota, sedangkan al-bad artinya penduduk

desa. Maknanya adalah jual beli yang dilakukan oleh seorang agen

(penghubung atau samsarah) terhadap produk pertanian desa yang dijual

kepada pedagang kota. Dia (agen) menjual komoditi lebih mahal daripada

harga saat itu dan dia dapat komisi dari penjual (petani) dan pembeli (baik

pedagang maupun konsumen) di kota. 230

Dalil hukum Islam yang berhubungan dengan keharaman jual beli ini

ialah hadis sebagai berikut:

لا يبع حاضر لباد دعوا الناس يرزق الله سول الله صلى الله عليه وسلمعن جابر قال قال ر (رواه مسلم) بعضهم من بعض

Dari Jabir berkata, Rasul saw bersabda “penduduk kota tidak boleh menjual

barang milik penduduk desa. Biarkanlah manusia masing-masing saling

menerima rezeki dari Allah”. (HR. Muslim)

Menurut Imam Syafi’i dan mayoritas ulama bahwa hadis ini

mengandung keharaman jual beli al-hadhir li al-baad.231 Imam Nawawi dan

Ibnu Munzhir memberikan kesimpulan pendapat jumhur ulama yang

mengharamkan mengenai jual beli al-hadhir li al-baad, yakni apabila

memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Mengetahui bahwa jual beli tersebut hukumnya dilarang232

229

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 07

230 Enang Hidayat, Op cit, h. 134

231 Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, juz. 10

(Beirut: DKI, 2012), h. 141 232

Ibid

Page 87: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

129

b. Barang dagangan tersebut pada waktu sangat diperlukan oleh masyarakat233

c. Jika orang kota menawarkan kepada orang desa untuk menjual barang

dagangannya (milik orang desa), tetapi jika sebaliknya maka

diperbolehkan.234

‘Illat hukum diharamkannya jual beli ini sebagaimana dikemukakan

oleh kebanyakan ulama yang melarangnya adalah karena jual beli tersebut

dapat mendatangkan mafsadah (kerusakan) dan mudarat (kerugian) kepada

masyarakat.235

Sedangkan berbuat kerusakan dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, Allah

swt berfirman:

اد ف ا ين لأ ر ض إ ن الل ه لاو لا ب غ ال ف س د ب ال م ف س (11: القصص) ي

Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah

tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshas: 77)

Rasul saw bersabda,

(رواه احمد)ضرار ضرر ولا لاTidak boleh membahayakan dan tidak boleh pula saling membahayakan

(merugikan). (HR. Ahmad)

Kaidah fiqih menyebutkan,

الضرر يزال

Kemudharatan (bahaya) itu wajib dihilangkan

4. Jual beli talaqq al-jalb au al-rukban

233

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 393 234

Ibid 235

Ramadhan Hafizh ‘Abd. Rahman, Al-Buyu’ al-Dharrah…, Op cit, h. 79

Page 88: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

130

Artinya adalah sekelompok orang yang menghadang atau mencegat

pedagang yang membawa barang di pinggir kota (di luar daerah pasar). Mereka

sengaja membeli barang dagangannya sebelum mereka mengetahui harga di

pasar. Mereka mengatakan kepada pedagang bahwa harga sedang jatuh dan

pasar sedang sepi. Tindakan mereka itu mengakibatkan pedagang tertipu,

sementara mereka sendiri membeli barang dagangannya dengan harga yang di

bawah standar.236

Tindakan mereka seperti itu menurut K. H. Salim Ma’ruf dilarang.

Menurut mayoritas fuqaha sebagaimana yang dikutip oleh Abu Malik bahwa

jual beli talaqqi hukumnya haram karena Nabi saw melarang transaksi tersebut

dan di dalamnya terdapat penipuan, akan tetapi alasannya secara umum adalah

dapat mengakibatkan kemudharatan (kerugian) kepada pihak pedagang.237

Imam Bukhari berkata, transaksi jual beli tersebut ditolak karena pelaku

transaksi tersebut berdosa apabila dia mengetahui larangan transaksi tersebut

dan transaksi tersebut mengandung penipuan. 238

Dalil hukum Islam yang berkaitan dengan keharaman jual beli talaqq

al-jalb au al-rukban ialah hadis Nabi saw.

نهى أن يتلقى الجلب فإن لقاه إنسان فابتاعه عن أبى هريرة أن النبى صلى الله عليه وسلم (رواه الترمي) فصاحب السلعة فيها باليار إذا ورد السوق

Dari Abi Hurairah, sesungguhnya Nabi saw melarang menghadang atau

mencegat pedagang yang membawa barang dagangannya di pinggir kota (di

luar daerah pasar). Maka jika seseorang yang menunggu di luar pasar

236

Enang Hidayat, Op cit, h. 131 237

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 392 238

Ibnu Hajar Al-‘Asqallani, Fath al-Bari…, Op cit, h. 470

Page 89: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

131

membeli suatu barang, si pemilik barang dapat membatalkan penjualannya

setiba di pasar. (HR. Tarmidzi)

Para ulama berbeda pendapat mengenai ‘illat dilarangnya jual beli ini,

namun pendapat yang rajih mengenai ‘illat dilarangnya jual beli semacam ini

adalah pendapat yang dipaparkan oleh ulama Syafi’iyah dan Hanabilah,

berdasarkan pertimbangan sebagai berikut:

a. Menurut kaidah muamalah bahwa hak khiyar tidak diberikan kecuali kepada

pihak yang terkena kemudaratan (kerugian). Maka dalam hal ini, hadis

riwayat Tarmidzi sebagaimana disebutkan di atas, menjelaskan bahwa hak

khiyar diberikan kepada pedagang (ahl al-jalb), bukan kepada penduduk

kota atau pasar (ahl al-suq).

b. ‘Illat dilarangnya jual beli ini sebagaimana yang tercantum dalam hadis

tidak berhubungan dengan mendatangkan kemudaratan (kerugian) kepada

masyarakat umum (ahl al-balad). Karena seandainya ‘illat-nya seperti itu

tentunya dalam hal ini mereka mempunyai hak khiyar, tetapi apabila

timbulnya kemudaratan kepada masyarakat umum tersebut akibat

penghadang (pencegat barang dagangan), maka dalam hal ini terdapat hadis

secara khusus yang menunjukkan larangan tersebut, yaitu hadis tentang

dilarangnya penimbunan (ihtikar). Berdasarkan demikian, apabila pencegat

atau penghadang bertujuan mempermainkan harga barang, kemudian setelah

itu melakukan penimbunan barang komoditi, sedangkan masyarakat pada

waktu itu sangat membutuhkan barang maka hal tersebut diharamkan. 239

5. Jual beli ihtikar

239

Ramadhan Hafizh ‘Abd. Rahman, Albuyu’ al-Dharrah…, Op cit, h. 110

Page 90: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

132

“Haram ihtikar, yaitu bahwa membeli makanan yang mengacangkan

seperti gandum dan padi beras dan sebagainya di dalam waktu mahal supaya

ditahan untuk menunggu harga lebih mahal sesudah orang-orang bersengatan

hajat dan picik karena kurang makanan”. Begitulah ungkapan K. H. Salim

Ma’ruf.240

Ihtikar secara etimologis berarti menahan makanan agar harganya

mahal. Adapun secara terminologis adalah jika seseorang membeli sesuatu

pada saat harga mahal, kemudian ia menimbunnya untuk dijual pada harga

lebih mahal ketika kebutuhan terhadap barang itu mendesak. 241

Dalil hukum Islam yang berhubungan dengan keharaman jual beli jenis

ini adalah sabda Rasul saw yang diriwayatkan Muslim dari Ma’mar bin

Abdullah, sebagai berikut:

ر ب ن ع ب د الل ه م ع ل م ق ال لا ي ت ك ر إ لاع ن ر س ول الل ه ص ل ى الل ع ن م س ه ع ل ي ه و اط رواه ) خ (مسلم

Dari Ma’mar bin Abdullah dari Rasul saw bersabda, “tidak ada orang yang

melakukan penimbunan melainkan orang yang berdosa”. (HR. Muslim)

Imam Nawawi berkata “ahli bahasa mengatakan makna al-khati adalah

orang berbuat maksiat atau berdosa”. Kemudian beliau berkata “hadis di atas

berhubungan dengan diharamkannya penimbunan barang komoditi”.

Selanjutnya Imam Nawawi menegaskan bahwa penimbunan yang diharamkan

adalah penimbunan khusus makanan pokok, yaitu seorang yang membeli

makanan kemudian dengan sengaja menyimpannya (menimbunnya).

240

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 07

241 Mardani, Ayat-Ayat Dan Hadis Ekonomi Syari’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2012), h. 198

Page 91: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

133

Kemudian tatkala masyarakat memerlukannya, dia menjualnya dengan harga

yang mahal. Adapun penimbunan selain makanan pokok tidak diharamkan. 242

Pada hadis tersebut terdapat huruf nafi dan istisna, sehingga

berdasarkan mafhum istisna hadis tersebut menunjukkan bahwa orang yang

melakukan penimbunan hanya orang maksiat atau berdosa, bukan yang lain.

Artinya, praktik monopoli (ihtikar) tergolong dosa dan maksiat yang dilarang

dan diharamkan.

Menurut Hamzah Ya’qub, hadis yang melarang menimbun itu tidak

dikhususkan pada suatu barang, maka lebih tepat di sini diartikan barang-

barang yang umumnya menyangkut kebutuhan pokok masyarakat yang

meliputi sandang, pangan, bahan bangunan dan lain- lain kebutuhan primer.

Saudagar yang melakukannya, biasanya membeli barang sebanyak-banyaknya

ketika harga-harga sedang turun lalu ditimbunnya untuk masa tertentu,

sehingga barang-barang itu berkurang atau lenyap dari pasaran. Sehubungan

orang banyak sangat memerlukan barang itu, maka si penimbun dapat

mempermainkan harga semaunya untuk mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya.243

Selanjutnya Yusuf Qardhawi mengatakan, ulama ber-istinbath bahwa

penimbunan yang diharamkan adalah memiliki dua syarat, yaitu:

a. Dilakukan disuatu negara, dimana penduduk negara itu akan menderita

disebabkan adanya penimbunan.

242

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 394 243

Enang Hidayat, Fiqih Jual Beli…, Op cit, h. 139

Page 92: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

134

b. Bermaksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa kesulitan,

sedangkan penimbunan sendiri mendapatkan keuntungan yang berlipat

ganda.244

Pada hakikatnya alasan hukum (‘illat) diharamkannya penimbunan

adalah karena menolak kemudharatan pada masyarakat umum. Sebab

masyarakat umum tidak lagi mendapatkan produk dan barang yang dibutuhkan

oleh mereka. Praktik monopoli itu melanggar prinsip bisnis, karena ingin

mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, penjual membeli produk dari

pasar sehingga harga melonjak naik kemudian dijualnya dengan harga tinggi. 245

Ini adalah praktik yang tidak sehat dan merugikan konsumen dan

produsen. Praktik ini bertentangan dengan transaksi bisnis yang harus

mengikuti kaidah supply and demand (permintaan dan penawaran) secara

natural dan alami. Hal inilah yang diungkapkan dalam Alquran:

ي لا ي ك ون د ول ة ب ي الأ ن ك م ك (1: الحشر) غ ن ي اء م

Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara

kamu. (QS. Al-Hasyar: 07)

Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa salah satu tujuan harta

adalah harta itu bisa beredar dan bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Maka

mafhum mukhalafah-nya, jika produk tertentu dimonopoli dan hanya dinikmati

oleh beberapa orang, sehingga masyarakat tidak bisa menikmatinya atau hanya

244

Yusuf Qardhawi, Halal Dan Haram…., Op cit, h. 263 245

Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar Dan Kaidah-Kaidah

Ekonomi Syari’ah: Analisis Fikih Dan Ekonomi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), h.

160

Page 93: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

135

bisa mendapatkan dengan harga yang tinggi adalah mafsadah dan bertentangan

dengan tujuan (maqshad) harta ini.246

Di samping itu, monopoli juga menyebabkan harga barang menjadi

mahal karena jumlah barang ditarik dari pasar dan hanya dikuasai oleh pelaku

monopoli. Berdasarkan demikian monopoli juga mengurangi produksi dan

pada saat yang sama mengurangi produktivitas pekerja. Karena para pelaku

monopoli juga tidak akan memerhatikan kualitas produk dan menutup pintu

persaingan sehat di pasar. Oleh karena itu praktik ihtikar ini berakibat terhadap

masyarakat umum oleh karena itu diharamkan. Ketentuan ini juga yang

melandasi kebijakan sahabat Umar r.a yang melarang dengan tegas setiap

praktik ihtikar. Beliau menegaskan,

247لا حكرة ف سوقناTidak boleh ada monopoli di pasar kita

6. Jual beli najasy

Substansi jual beli najasy ini menurut K. H. Salim Ma’ruf adalah

seseorang menaikkan harga bukan karena ingin membeli melainkan ingin

menolong penjual atau ingin menipu orang lain supaya orang lain membeli

dengan harga yang mahal. 248

Jual beli najasy secara bahasa artinya al-istitar (menyembunyikan), al-

khadi’ah (penipuan), al-ziyadah (penambahan). Sedangkan menurut istilah

adalah menaikkan harga komoditi yang dilakukan oleh orang yang tidak ingin

246

Ibid, h. 161 247

Ibid 248

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 07

Page 94: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

136

membeli barang yang diperjualbelikan tersebut. Tujuannya adalah hanya

semata-mata agar orang lain tertarik untuk membelinya. 249

Menurut Adiwarman A. Karim substansi jual beli najasy adalah bila

seorang produsen menciptakan permintaan palsu seolah-olah ada banyak

permintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu naik.

Contohnya, seorang pedagang dalam rangka menaikkan harga jual barangnya,

maka ia membuat beberapa order fiktif terhadap barang dagangannya. Order

tersebut digunakannya sebagai bargaining power dalam transaksi mereka

terhadap para konsumennya sehingga mereka bisa menentukan harga yang

tinggi terhadap konsumennya.250

Jual beli najasy hukumnya diharamkan dalam Islam sesuai dengan

hadis Rasul saw:

ا ق ال م ه ي الل ه ع ن ر ر ض ل م ع ن الن ج ش ع ن اب ن ع م س ص ل ى الل ه ع ل ي ه و ى الن ب ( رواه البخاري) ن ه Hadis di atas menegaskan bahwa transaksi dan praktik jual beli najasy

itu dilarang dalam Islam. Maksud larangan tersebut adalah haram, karena

akibat negatif (mafsadah) dari praktik ini terhadap pasar dan masyarakat secara

luas.251

7. Menjual barang kepada orang yang akan menjadikannya kepada hal-hal

yang diharamkan

249

Ramadhan Hafizh ‘Abd. Rahman, Albuyu’ al-Dharrah…, Op cit, h. 113 250

Adiwarman A. Karim…., Op cit, h. 173 251

Ibid, h. 175

Page 95: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

137

K. H. Salim Ma’ruf memberikan contoh, misalnya menjual anggur

kepada orang yang diduga akan membuat khamar, menjual senjata kepada

orang yang akan membunuh orang lain secara zholim, menjual kayu dan

sebagainya kepada orang yang akan membuat alat-alat permainan yang

diharamkan, tempat hiburan dan lain- lainnya.252

Keharaman jual beli tersebut karena Nabi Muhammad saw bersabda,

yaitu:

فى المر عشرة عاصرها ومعتصرها أنس بن مالك قال لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم عنرواه ) وساقيها وبائعها وآكل ثمنها والمشترى لا والمشتراة لهوشاربها وحاملها والمحمولة إليه

(الترمي

Dari Anas bin Malik berkata, Rasul saw mengutuk sepuluh orang yang

berkenaan dengan khamr; orang yang memeras, orang yang minta diperaskan,

peminum, pembawanya, orang yang dibawakan untuknya, penuangnya,

penjual, orang yang memakan hasilnya, pembelinya dan orang yang minta

dibelikan. (HR. Tirmidzi)

Hadis di atas menjelaskan bahwa setiap jual beli yang bisa mengarah

kepada maksiat, maka hukumnya haram. Oleh karena itu dalam hal ini tid ak

boleh hukumnya menjual sesuatu yang diperas seperti anggur dan lainnya

kepada orang yang diduga akan membuat khamar seperti yang disebutkan di

atas. Memang pada dasarnya jual beli sesuatu yang diperas seperti anggur atau

menjual alat-alat bangunan, senjata dan semacamnya adalah boleh, tetapi

karena wasilah-nya dijual kepada orang yang diharamkan seperti membuat

khamr, membuat tempat hiburan, membunuh orang dan sebagainya, maka

hukumnya menjadi haram. Diharamkannya jual beli semacam ini tidak lain

252

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08

Page 96: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

138

karena semata-mata tindakan preventif (sadd al-dzari’ah). Ada kaidah fiqih

yang berhubungan dengan masalah ini, yaitu:

253كل مباح أدى عاطيه الى محرم فهو حرام

Setiap sesuatu yang diperbolehkan tapi mengarah kepada yang diharamkan

maka hukumnya haram

Bentuk jual beli ini merupakan kezaliman terhadap pembeli karena

membantunya berbuat maksiat, padahal seharusnya dia dinasehati agar berhenti

berbuat maksiat.254

8. Jual beli ghasysyi

K. H. Salim Ma’ruf mengharamkan jual beli ini sehingga berdosa orang

yang mempraktikkannya, namun jual belinya sah. 255

Jual beli ghasysyi adalah jual beli yang di dalamnya terdapat penipuan.

Menurut jumhur ulama, makna jual beli ini adalah menyembunyikan cacat

yang ada pada barang sehingga berpengaruh pada harganya. 256

Praktik jual beli ini bisa berbentuk perbuatan, ucapan dan

menyembunyikan cacat pada barang.

a. Contoh bentuk perbuatan, seperti mengikat pentil susu hewan agar tampak

isinya banyak.

b. Contoh bentuk ucapan, seperti penjual berbohong kepada pembeli mengenai

keberadaan kualitas barang yang diperjualbelikan.

253

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 111 254

Yusuf Al-Subaily, Fiqh Perbankan Syariah…, Op cit, h. 22 255

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08 256

Enang Hidayat…, h. 139

Page 97: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

139

c. Contoh bentuk menyembunyikan cacat pada barang, seperti menjual kain

yang sobek yang tidak diketahui oleh pembeli. 257

Para ulama sepakat bahwa hukum jual beli jenis ini adalah haram

berdasarkan Alquran dan hadis. Dalil Alquran yang berhubungan dengan

keharaman jual beli ini adalah firman Allah swt. 258

ن وا لاي ين آم ا ال ل ا أ ي ه ن ك م ب ال ب اط (92: النساء... ) أ ك ل وا أ م و ال ك م ب ي

Adapun dalil hadisnya adalah bahwa Rasul saw pernah melewati suatu

timbunan makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, sehingga

jari-jarinya terkena basah. Lalu beliau bertanya “apakah ini hai pemilik

makanan ?” ia menjawab “terkena hujan ya Rasulullah”. Kemudian Nabi saw

bersabda:

ني أ ف لا ي ي ر اه الن اس م ن غ ش ف ل ي س م ق الط ع ام ك ع ل ت ه ف و (رواه مسلم عن اب هريرة) ج

Mengapa kamu tidak taruh dia di atas supaya orang-orang dapat melihatnya?

Barang siapa menipu maka bukan dari golonganku. (HR. Muslim dari Abi

Hurairah)

Syafi’iyah berpendapat barang siapa yang memiliki barang dan dia

mengetahui barang tersebut terdapat cacat, maka dia tidak boleh menjualnya

sampai dia sendiri menjelaskan kepada pembeli bahwa barang tersebut ad a

cacatnya. Jika dia tetap saja menjualnya dan tidak menjelaskan cacat pada

barang tersebut, maka sah jual belinya. Sebab Nabi Muhammad saw

257

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 397 258

Enang Hidayat…, Op cit, h. 139

Page 98: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

140

mensahkan jual beli susu dari hewan yang pentil susunya diikat agar tampak

isinya banyak (bay’ mishrah) yang mengandung penipuan.259

Jika dia (pembeli) tidak mengetahui cacat pada barang tersebut dan

membelinya, kemudian setelahnya mengetahuinya bahwa yang dibeli itu

ternyata ada cacatnya, maka dia mempunyai hak khiyar, yaitu apakah dia mau

meneruskannya jual beli itu atau mau membatalkannya. 260 Hadisnya adalah

sebagai berikut:

ي الل ه ع ن ه ل م لا ص روا الإ ع ن الن ب ص ل ق ال أ ب و ه ر ي ر ة ر ض س ا ى الل ه ع ل ي ه و ه ب ت اع ن ا ب ل و ال غ ن م ف م د أ ا و ص اع تم ر ب ع د ف إ ن ه ب ير الن ظ ر ي ن ب ع اء ر د ه إ ن ش ك و س اء أ م ا إ ن ش ه (رواه البخاري) ن ي ت ل ب

Abi Hurairah ra berkata, dari Nabi saw: “janganlah kalian mengikat pentil

susu unta dan kambing, maka barang siapa membeli susu dari pentil susu yang

diikat, dia boleh memilih yang dipandang lebih baik, yaitu meneruskan

pembelian atau mengembalikan setelah susu selesai diperas. Jika dia tidak

keberatan, dia boleh menahannya dan jika tidak dia boleh mengembalikannya

beserta segantang kurma”. (HR. Bukhari)

Menurut Syafi’iyah jual beli tersebut hukumnya sah tapi berdosa, tapi

bagi pembeli ada hak khiyar jika cacat tersebut dapat menyebabkan

berkurangnya harga barang. Menurut mereka, sahnya jual beli dan ada

ketetapan hak khiyar ini sesuai dengan hadis Nabi saw tentang bay’ al-mishrah

(sebagaimana telah disebutkan di atas). Petunjuk (dilalah) hadis tersebut adalah

sesungguhnya pembeli dalam jual beli yang mengandung penipuan ( jual beli

ghasysy) berhak khiyar antara meneruskan atau membatalkan akad jual beli.

Selain itu, larangan dalam jual beli jenis ini berhubungan dengan ‘aqid.

259

Ibid, h. 141 260

Ibid

Page 99: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

141

Apabila hal tersebut maksudnya demikian, maka tidak menghalangi sahnya

akad jual beli.261

Menurut Ramadhan Hafizh Abd. Rahman, pendapat pengarang kitab

Syarh fath al-qadir tersebut mengindikasikan bahwa disyariatkannya khiyar itu

adalah untuk menolak kemudharatan pada si pembeli apabila dia sendiri

mengetahui cacat yang ada pada barang. Tentunya hal ini menunjukkan bahwa

‘illat dilarangnya jual beli ghasysyi itu adalah menolak kemudharatan yang

terjadi pada si pembeli disebabkan disembunyikannya cacat pada barang oleh

penjual.262

9. Jual beli kepada orang yang bercampur hartanya antara halal dan haram

K. H. Salim Ma’ruf menyatakan makruh bertransaksi kepada orang

yang diketahui bahwa hartanya bercampur antara halal dan haram. 263

Wahbah Zuhaili dalam kitabnya juga membahas hal ini, menurutnya

jika hartanya tidak seluruhnya haram tetapi bercampur antara yang haram dan

yang halal, maka bertransaksi kepadanya adalah makruh. Hal ini sesuai dengan

dalil hadis Nu’man bin Basyir, yaitu:264

ير ي ق ول ان ب ن ب ش م ع ت الن ع ر ق ال س ع ت ر س ول الل ه ص ل ى الل ه ع ع ن ع ام ل م ي ق ول س س ل ي ه و الح لا الح ر ام ب ي ا ل ب ي و م ه ن ب ي ات لا و ب ه ات م ش ب ه ن ا ق ى ال م ش ن الن اس ف م ث ير م ا ك ه ل م ي ع

ل الح م و ر اع ي ر ع ى ح ات ك ق ع ف الشب ه ن و م ه و ع ر ض ر أ ل د ين ه و ت ب ه أ لااس ك أ ن ي و اق ع إ ن و ى ي وش

261

Ibid 262

Ramadhan Hafizh ‘Abd. Rahman, Albuyu’ al-Dharrah…, Op cit, h. 43-45 263

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08

264 Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz. 05 (Suriah : Daar al-Fikr, t.th),

h. 196. Maktabah Syamilah

Page 100: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

142

ى أ لا ل ك حم ه مح ار م ه أ لا إ ن حم ى الل ل ك ل م أ ر ض ل ح ه ف ت ص ل ح د م ض غ ة إ ذ ا ص إ ن ف الج س و د إ ذ ا ف س د ك له و د ك له أ لاالج س د الج س ي ال ق ل ب ت ف س

(رواه البخاري) و ه Dari Amir berkata, aku mendengar Nu’man bin Basyir berkata, aku

mendengar Rasul saw bersabda: “sesuatu yang halal itu jelas dan sesuatu

yang haram itu juga jelas dan diantara keduanya adalah hal-hal yang syubhat

(samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang

menjauhi hal-hal yang syubhat, maka dia telah membebaskan agamanya dan

kehormatannya. Barang siapa yang terjatuh dalam hal-hal yang syubhat, maka

dia telah terjatuh dalam hal yang haram”. (HR. Bukhari)

Apabila seluruh hartanya haram seperti penjual mengetahui bahwa harta

pembeli adalah hasil dari penjualan khamar, babi, bangkai, anjing atau

pendapatannya tidak sesuai syara’ seperti hasil suap, uang lotere, uang judi

atau upah dari pekerjaan haram seperti meratapi mayat, menari dan upah zina,

maka bertransaksi kepadanya adalah haram. Wahbah Zuhaili juga mengatakan

bahwa hal ini adalah jual beli yang diharamkan tapi tidak bathil menurut ulama

Syafi’iyah.265 Nabi Muhammad saw bersabda,

266مااجتمع الحلال والحرام إلا غلب الحرام الحلالTidaklah terkumpul sesuatu yang halal dan yang haram melainkan sesuatu

yang haram mengalahkan sesuatu yang halal

Dari hadis ini lahir sebuah kaidah fiqih yang berbunyi,

267إذا اجتمع الحلال والحرام غلب الحرامApabila halal dan haram berkumpul maka yang dimenangkan adalah yang

haram

265

Ibid 266

Abd. Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih: Telaah Kaidah Fiqih Konseptual, II

(Surabaya: Khalista, 2009), h. 22 267

Ibid

Page 101: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

143

Dalam pergaulan hidup sehari-hari, percampuran antara hal-hal yang

dihalalkan dan yang diharamkan seringkali sulit dihindari. Hal ini terjadi dalam

setiap persoalan, baik dalam konstruksi ibadah maupun muamalah. Islam

sebagai agama sempurna telah memberikan rambu-rambu untuk dijadikan

pijakan dalam melangkah, agar umat Islam dalam hidup dan kehidupannya

terhindar dari unsur-unsur haram, sehingga bisa selamat baik di dunia maupun

di akhirat.268

Salah satu kepedulian Islam kepada umatnya tercermin dari pesan

substansial kaidah ini. Di dalamnya ditegaskan, jika terdapat pergumulan

antara halal dan haram, maka hukum haram harus diutamakan. Artinya, jika

dalam satu objek terdapat dua hukum; halal dan haram, maka kita harus

menghindari haramnya agar tidak terjerumus pada jurang kesesatan dan

dosa.269

Sesuai hadis dan kaidah fiqih di atas, maka pendapat K. H. Salim

Ma’ruf yang disebutkan di atas bisa ditepis. Artinya, jika seseorang melakukan

transaksi jual beli kepada orang yang bercampur hartanya dengan yang halal

dan yang haram, maka haram bertransaksi kepadanya sebab hukum haram

lebih diunggulkan. Berdasarkan hadis dan kaidah fiqih di atas, maka pendapat

K. H. Salim Ma’ruf tersebut bisa dibantah, tapi pendapat beliau ini tidak bisa

dibantah begitu saja, sebab Imam Nawawi juga berpendapat demikian, yaitu:270

268

Ibid 269

Ibid 270

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Kitab al-Majmu’…, Op cit, h. 417

Page 102: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

144

البلد حرام لا ينحصر حللال ينحصر ل يرم الشراء منه بل يجوز الاخ منه إلا أن للط فايقترن بتلك العي علامة دل على انها من الحرام فان ل يقترن فليس حلرام ولكن ركه ورع

محبوب وكلما كثر الحرام أكد الورعJika terjadi di sebuah negara dana haram yang tidak terbatas bercampur

dengan dana halal yang terbatas, maka dana tersebut boleh dibeli bahkan

boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana

haram. Jika tidak ada bukti maka tidak haram tetapi meninggalkan perbuatan

tersebut itu dicintai oleh Allah swt. Setiap kali dana haram itu banyak maka

harus disikapi dengan wara’.

Selain Imam Nawawi, Ibnu Nujaim juga berpendapat demikian, yaitu: 271

أ أ م ا م س ل ط الح لاو ت ا إذ ا اخ ق وم د لان ه يج وز الش ر اء ف إ ل ب الح ر ام ف ال ب ل د ل ة م إلا أ ن ل ة و الأ خ ن الح ر ام ع ل ى أ ن ه م

Jika terjadi di sebuah negara dana halal bercampur dengan dana haram,

maka dana tersebut boleh dibeli dan diambil kecuali jika ada bukti bahwa

dana tersebut itu haram

Di atas disebutkan bahwa dengan kaidah fiqih tersebut, maka pendapat

K. H. Salim Ma’ruf bisa dibantah, tapi pada kaidah tersebut terdapat

pengecualian kaidah, yaitu dibolehkan melakukan transaksi bisnis kepada

orang yang mayoritas uangnya adalah uang haram dengan catatan bahwa nilai

nominal uang halal dan uang haram itu tidak diketahui secara pasti berapa

jumlahnya.272

Selain itu, pendapat K. H. Salim Ma’ruf pada masalah ini bisa

diterapkan karena beberapa hal, yaitu:

271

Ibnu Nujaim, Al-Asybah wa al-Nazhair ‘ala Mazhab Abi Hanifah al-Nu’man

(Beirut: DKI, 1980), h. 113. Maktabah Syamilah 272

Abd. Haq dkk, Formulasi Nalar Fiqih…, Op cit, h. 32

Page 103: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

145

a. Umum al-balwa, maksudnya harta halal yang bercampur tersebut menjadi

sulit dihindarkan dalam aktivitas bisnis atau selain bisnis.

b. Raf’ul haraj wa al-hajah al-‘ammah (meminimalisir kesulitan dan

memenuhi hajat umum), diantaranya lingkungan dan pranata ekonomi

masih belum Islami; masyarakat yang belum paham ekonomi syariah,

industri konvensional yang mendominasi sehingga transaksi dengan

konvensional menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan.

c. Mura’ah qawa’id al-katsrah wa al-ghalabah, artinya standar hukum adalah

bagian lebih dominan.273

T. Jual Beli Yang Haram Dan Tidak Sah Akadnya

1. Jual beli daging kurban

Menurut K. H. Salim Ma’ruf, haram dan tidak sah menjual daging dan

kulitnya.274 Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Abi Hurairah, yaitu:275

من باع جلد أضحيته فلا رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عن أب هريرة رضي الله عنه قال (رواه الحاكم) أضحية له

Pada hadis di atas terdapat makna nahy, hal ini bisa dilihat dari redaksi

hadis yaitu فلا أضحية له. Pada hadis tersebut, Nabi Muhammad saw bercerita

bahwa akibat dari menjual kulit hewan kurban, maka ia tidak memperoleh

kurban apapun. Berdasarkan demikian, secara tidak langsung dalam hal ini

Nabi melarang perbuatan tersebut. Pada hadis di atas yang disebutkan hanya

jilda udhiyah (kulit hewan kurban), tetapi maksudnya semua juzu atau bagian

273

Adiwarman A. Karim…., Op cit, h. 220 274

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08 275

Muhammad Abdillah Al-Naysaburi, Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, juz. 02

(Beirut: DKI, 1990), h. 422. Maktabah Syamilah

Page 104: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

146

lainnya. Penyebutan kulit hewan kurban pada hadis di atas merupakan

penegasan hukum bagi semua bagiannya, sehingga berdasarkan demikian

dalam hal ini yang dimaksud adalah semua bagian-bagiannya, walaupun nash

secara khusus hanya menyebutkan kulitnya saja.

Oleh karena itu, redaksi kitab Mauhibah Dzi al-Fadhl pada masalah ini

adalah,

276أي أضحية التطوع ولو جلودها( ولايجوز بيع شيء)Tidak boleh menjual apapun dari hewan kurban sunnah meski hanya kulitnya

Lafadz شيء di atas bersifat umum sehingga artinya adalah “apapun”,

karena lafadz tersebut tidak dimasuki definitif al ( ال ) . Adapun lafadz ولو dari

lafadz جلودها ولو bermakna ghayah yang berfungsi sebagai penyamarataan

hukum. Artinya, tidak ada bedanya kulit hewan kurban atau yang lainnya tetap

tidak boleh diperjualbelikan. 277

Ungkapan K. H. Salim Ma’ruf dalam Risalah Mu’amalah pada masalah

ini masih umum, sehingga memunculkan pertanyaan kepada siapa hukum

haram tersebut ditujukan, apakah orang tersebut dari kalangan faqir atau

kalangan yang kaya. Menurut Abd. Rahman Ba’alawi, apabila orang fakir yang

mengambil bagian hewan kurban, maka ia berhak mengelola walaupun dengan

menjualnya pada orang muslim, karena ia telah memiliki apa yang telah

276

Mahfudz Tarmas , Mauhibah Dzi al-Fadhl, juz. 04 (Mesir: Mathba’ah al-‘Amirah

al-Syarfiyah, 1326 H), h. 667 277

M. Fikril Hakim, Kamus Fathal Mu’in…, Op cit, h. 96

Page 105: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

147

diberikan kepadanya. Berbeda jika yang mengambil tersebut dari kalangan

orang kaya.278

Menurut Sulaiman Jamal, orang kaya boleh diberi daging kurban tapi

hanya untuk dimakan dan tidak boleh memberi kebebasan pemilikan terhadap

daging tersebut kepada mereka. Menurutnya hal ini berdasarkan firman Allah

swt, yaitu:

أ ط ع م وا ال ق ان ع ت ر و (46: الحج) و ال م ع

Dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak

meminta-minta) dan orang yang meminta. (QS. Al-Haj: 36)

Menurut Sulaiman Jamal, al-qani’ adalah al-sa’il (orang yang

meminta), sedangkan al-mu’tar adalah al-mu’taridh li al-su’al (orang yang

berkunjung kepada orang lain untuk meminta. 279

Berbeda dengan orang faqir, selain mereka diberi daging kurban untuk

dimakan, mereka juga diberikan kebebasan pemilikan terhadap daging tersebut,

agar mereka dapat men-tasharruf daging tersebut dengan cara dijual maupun

lainnya.280

Berdasarkan aqwal al-‘ulama (pendapat ulama) di atas, maka

keharaman tersebut ditujukan kepada kalangan yang kaya. Selain larangan dari

hadis di atas, ‘illat atau alasan utama kenapa menjual bagian tubuh hewan

udhiyah dilarang adalah karena kurban disembahkan sebagai bentuk taqarrub

278

Abd. Rahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin (Beirut: DKI, 2009), h. 319 279

Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘Ala Syarah Manhaj al-Thullab, juz 22 (t.t:

t.tp, t.th), h. 183. Maktabah Syamilah 280

Ibid

Page 106: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

148

kepada Allah, yaitu mendekatkan diri pada-Nya sehingga tidak boleh

diperjualbelikan.

2. Jual beli‘urbun

Adapun jual beli ‘urbun hukumnya tidak sah menurut K. H. Salim

Ma’ruf, beliau mengungkapkan “dan tiada sah menjual urbun”. 281 Menurut

istilah ulama fiqih jual beli ‘urbun adalah:

ت الس ل ع ة اح ث ر ع ل ى أ ن ه إ ن أ خ ا أ و أ ك ف ع إ لى ال ب ائ ع د ر ه ي د تر ي الس ل ع ة و ن أ ن ي ش ب ب ه م س إ ن ل ي أ خ و ل ل ب ائ ع الث م ن و ا ف ه ه 282

Seseorang yang membeli barang kemudian membayarkan uang panjar (DP)

kepada penjual dengan syarat bilamana pembeli jadi membelinya, maka uang

panjar itu dihitung dari harga dan jika tidak jadi membelinya maka uang

panjar itu menjadi milik penjual

Imam Syafi’i berpendapat bahwa jual beli ‘urbun termasuk jual beli

yang batal.283 Menurut Imam Malik dan kalangan rasionalis (Hanafiyah)

sepakat bahwa hukum jual beli ‘urbun tidak sah dengan dalil hadis riwayat

Ibnu Majah, yaitu:

)رواه ابن ماجة (سلم نهى عن بيع العربونب صلى الله عليه و أن الن

Sedangkan Imam Ahmad melegalkan jual beli ‘urbun dengan dalil

tindakan (fi’lu) Sahabat Umar bin Khattab. 284 Menurut Syaukani, ‘illat yang

terdapat dalam larangan jual beli ini adalah karena terdapat dua syarat yang

dipandang fasid (rusak), yaitu: (1) Adanya syarat uang muka yang sudah

281

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08 282

Wazarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah…, Op

cit, juz 09 h. 93 283

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Kitab al-Majmu…, Op cit, h. 408 284

Ibnu Quddamah, Al-Mugni Ibnu Quddamah, juz. 04 (Beirut: Daar al-Fikr, 1405 H),

h. 312. Maktabah Syamilah

Page 107: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

149

dibayarkan kepada penjual itu hilang (tidak bisa kembali lagi) bilamana

pembeli tidak jadi membeli barang tersebut (pembelian tidak diteruskan); (2)

Mengembalikan barang kepada penjual jika penjualan dibatalkan. 285

Selain itu jual beli ini dilarang karena terdapat gharar, dalam jual beli

ini gharar yang berlaku adalah kedua pihak (penjual dan pembeli) sama-sama

tidak mengetahui apakah jual beli tersebut akan terlaksana atau tidak

terlaksana. Apabila jual beli tersebut tidak terlaksana maka uang panjar dari

pembeli tersebut tidak bisa kembali lagi, maka dalam hal ini termasuk

memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.286

3. Jual beli munabadzah dan mulamasah

Munabadzah adalah jual beli dengan cara lempar-melempar, seperti

seorang penjual berkata kepada pembeli bahwa pakaian yang aku lemparkan

kepadamu itu, maka itulah yang kamu beli. Adapun jual beli mulamasah

adalah jual beli saling menyentuh, maksudnya apabila pembeli meraba kain

atau pakaian milik penjual, maka pembeli harus membelinya. Kedua jenis jual

beli ini, menurut K. H. Salim Ma’ruf hukumnya tidak sah. 287

Dalil hukum Islam tentang kedua jenis jual beli ini adalah hadis Nabi

Muhammad saw berikut ini,

285

Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authar min Ahadis Sayyid al-Akhyar Syarh

Muntaqa al-Akhbar, juz. 05 (t.t: Idarah al-Thiba’ah al-Muniriyah, t.th), h. 215. Maktabah

Syamilah 286

Abd. Hadi, Gharar Dalam Perspektif Fiqh Al-Hadith: Analisis Terhadap ‘Illah

Dan Prinsip, Hadis: Jurnal Ilmiah Berimpak, Tahun Kedua, Bil: 04, Desember 2012, h. 80 287

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08

Page 108: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

150

ر ه ب ي الل ه ع ن ه أ خ ع يد ر ض ي أ ن أ ب ا س ه ة و ن ال م ن اب ى ع ل م ن ه س ل ي ه و ل ى الل ه ع أ ن ر س ول الل ه ص

ب ه ب ال ب ي ع إ لى الر ج ل ة ق ب ل أ ن ي ق ل ب ه أ و ي ن ظ ط ر ح الر ج ل ث و ة و ال م لام س ى ع ن ال م لام س ن ه ر إ ل ي ه و (رواه البخاري) ي ن ظ ر إ ل ي ه ل م س الث و ب لا

Sesungguhnya Abi Sa’id ra menceritakan bahwa Rasul saw melarang

munabadzah, yaitu seseorang melempar pakaiannya sebagai bukti pembelian

harus terjadi (dengan mengatakan bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi)

sebelum orang lain itu menerimanya atau melihatnya. Nabi saw juga melarang

mulamasah, yaitu menjual kain dengan hanya menyentuh kain tersebut tanpa

melihatnya (yaitu dengan suatu syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti

kamu membeli). (HR. Bukhari)

Kedua bentuk jual beli ini termasuk jual beli yang biasa dilakukan di

zaman jahiliyah. Jumhur ulama selain Hanafiyah memandang kedua jual beli

ini hukumnya batal, karena menurut mereka larangan itu menghendaki hukum

batal. Larangan tersebut dilihat karena berdasarkan zatnya akad, sebagaimana

penafsiran kata menyentuh dan melemparkan atau sifatnya yang lazim

berdasarkan penafsiran-penafsiran lainnya.288

Munabadzah menjadikan “menjatuhkan” sebagai jual beli sudah

dianggap cukup menggantikan shigat, kemudian yang lain mengatakan “saya

jatuhkan bajuku kepadamu dengan harga sepuluh”, lalu diambil pihak kedua

atau dia berkata “saya jual kepadamu baju ini dengan harga begini dengan

syarat jika saya menjatuhkannya kepadamu”, maka jual beli ini menjadi wajib

dan tidak ada khiyar. Hukumnya batal karena tanpa ru’yah atau karena tanpa

shigat atau karena syarat yang rusak.289

288

Enang Hidayat, Op cit, h. 106 289

Aziz Muhammad, Op cit, h. 70

Page 109: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

151

Adapun mulamasah seperti seseorang memegang baju yang dilipat atau

dalam gelapnya malam lalu ia membelinya tanpa khiyar jika dia melihatnya,

sebab memegang sudah dianggap cukup dari melihat atau dia mengatakan “jika

kamu menyentuhnya maka saya menjualnya kepadamu”, cukup dengan

menyentuh tanpa shigat atau menjual sesuatu dengan syarat kapan dia

memegangnya, maka jual beli menjadi wajib dan tidak ada khiyar majlis dan

yang lain.290

Imam Syafi’i menjelaskan alasan batalnya akad karena ada

penggantungan dan tidak memakai shigat syar’i. Al-Asnawi menjelaskan

bahwa jika dia menjadikan memegang (lams) sebagai syarat, maka batalnya

akad karena ada penggantungan dan jika dia menjadikan memegang sebagai

jual beli, maka batalnya karena tidak ada shigat. Adapun ucapan “jika kamu

memegangnya maka saya telah menjualnya kepadamu” kemudian diterima

oleh pihak yang lain, walaupun ada ijab dan kabul namun ada syarat yang

rusak yaitu memegang.291

Menurut Abu Malik Kamal, dilarangnya jual beli tersebut karena ada

hadis yang melarangnya, jahalah, mengantarkan kepada perjudian, tidak

dilihat, syarat fasid dan gharar.292

4. Bay’ataini fi bay’atin

Artinya, dua penjualan dalam satu produk atau dua akad dalam satu

akad. Contohnya sebagaimana yang disebutkan K. H. Salim Ma’ruf “seperti

290

Ibid 291

Ibid 292

Abu Malik Kamal, Shahih Fiqh al-Sunnah…, Op cit, h. 293

Page 110: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

152

katanya aku jual ini barang dengan harga seribu dengan tempo dan lima ratus

dengan berkontan ambillah yang mana engkau sukai”. Contoh lain “seperti

katanya aku jual ini rumah kepada engkau dengan seribu rupiah dengan syarat

jual rumah engkau kepada aku” atau “katanya aku jual ini barang kepada

engkau dengan syarat engkau mengutangi kepada aku seratus rupiah”. 293 Jual

beli ini dilarang karena sabda Nabi saw,

ع ي ب ع ن أ ب ي ر و ب ن ش د ه ق ال ع ن ع م ع ت ي ف ه ع ن ج ل م ع ن ب ي س ل ى الل ه ع ل ي ه و ى ر س ول الله ص ن ه ل ف ب ي ع ة س ع ن ب ي ع و ن ر ب ح م و ع ن و ك ا ل ي ض م ن ب ي ع م ا ل ي س ع ن د ع 294(رواه احمد) و

Menurut Jalal al-Mahalli, batalnya akad karena bayaran tidak diketahui

dalam contoh pertama dan karena syarat yang rusak dalam contoh kedua. 295

Dalam contoh pertama ada sikap toleransi dan dinamakan dua akad

karena ada unsur tardid (ragu-ragu) dalam menentukan harga antara seribu

hutang dan lima ratus tunai.296

Adapun dalam contoh kedua dan ketiga menurut Jalal al-Mahalli

bermakna bahwa dia menjadikan seribu dan embel-embel akad kedua dengan

cara memanfaatkannya sebagai bentuk harga dan membuat syarat dalam akad

yang kedua dianggap rusak, sehingga sebagian harga menjadi batal dan tidak

ada nominal yang pasti, sehingga harus dibagi untuk yang pertama dan yang

kedua dengan begitu akad jual beli menjadi batal. 297

293

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 08 294

Ahmad al-Hanbali, Musnad Ahmad…, Op cit, juz. 02 h. 174 295

Jalaluddin al-Mahalli, Kanzu al-Rogibin…., Op cit, juz 02 h. 219 296

Aziz Muhammad, Op cit, h. 73 297

Jalaluddin al-Mahalli, Kanzu al-Rogibin…., Op cit, juz 02 h. 219

Page 111: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

153

5. Jual beli malaqih

Malaqih bentuk kata plural dari malquhah, secara bahasa artinya janin

unta secara khusus.298 Menurut K. H. Salim Ma’ruf, “malaqih adalah

memperjualbelikan anak binatang yang masih di dalam perut induknya”. 299

Adapun istilah syara’ lebih umum daripada istilah bahasa, yaitu janin

yang ada dalam perut hewan baik jantan atau betina. 300 Rasul saw bersabda

tentang jual beli malaqih, yaitu:

لا ربا ف الحيوان وإنا نهي من الحيوان عن ثلاثة عن المضامي عن سعيد بن المسيب انه قالوالملاقيح وحبل الحبلة والمضامي بيع ما ف بطون إناث الإبل والملاقيح بيع ما ف ظهور الجمال

301(رواه مالك)

Tidak ada riba dalam jual beli hewan, hanya saja ada tiga hal yang dilarang

dalam jual beli hewan: madhamin, malaqih dan habalul habalah. Madhamin

ialah menjual janin yang masih berada dalam perut unta betina, sedangkan

malaqih ialah menjual barang yang berada di atas punuk unta. (HR. Malik)

Berdasarkan hadis di atas dan ‘illat hukum yaitu mengandung gharar

(ketidakjelasan), jahalah (ketidaktahuan) dan ‘adam qudrot ‘ala taslim (tidak

bisa diserah terimakan pada waktu akad), maka bay’ malaqih hukumnya

haram.302

298

Aziz Muhammad, Op cit, h. 69 299

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 09 300

Aziz Muhammad, Op cit, h. 69 301

Jalal al-Din Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Mawattha’ Malik, juz. 03

(Surabaya: Al-Hidayah, t.th), h. 150 302

Enang Hidayat, Op cit, h. 110

Page 112: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

154

6. Memisah anak binatang dari induknya

Menurut K. H. Salim Ma’ruf, haram memisah antara anak binatang

dengan induknya kecuali anak binatang tersebut sudah berhenti menyusu

dengan induknya (mandiri). 303

Menurut qaul adzhar, apabila memisahnya dengan diperjualbelikan

maka jual belinya batal.304 Mengenai masalah ini Nabi saw bersabda,

سعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول من فرق بي والدة وولدها فرق عن اب أيوب قال (رواه الترمي)الله بينه وبي أحبته يوم القيامة

Pada hadis ini terdapat makna nahy, hal ini bisa dilihat dari redaksi

hadis yaitu فرق الل بينه وبين أحبته يوم القيامة. Pada hadis tersebut, Nabi Muhammad

saw bercerita bahwa akibat dari perbuatan tersebut Allah akan memisah antara

orang yang berbuat demikian dengan orang yang dicintainya dihari kiamat

nanti. Berdasarkan demikian, secara tidak langsung dalam hal ini Nabi

melarang perbuatan tersebut.

7. Bay’ al-kali bi al-kali

“Haram menjual utang dengan utang (bay’ al-kali bi al-kali)”, demikian

pendapat K. H. Salim Ma’ruf dalam Risalah Mu’amalah.305

Menurut bahasa, al-kali dalam hadis tersebut secara majaz berarti

maklu, karena al-kali itu isim fa’il yaitu pemilik piutang, sedangkan yang

303

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 09 304

Muhyi Al-Din Yahya Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin

(Beirut: Daar al-Fikr, 2010), h. 118 305

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 09

Page 113: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

155

dimaksud adalah piutangnya, piutang (objek) dalam bahasa arab disebut

maklu.306

Dalam kamus istilah dan bahasa arab seluruh ahli bahasa sepakat bahwa

yang dimaksud dengan bay’ al-kali bi al-kali adalah al-nasi’ah bi al-nasi’ah.

Nasi’ah yang dimaksud adalah al-ta’khir atau menunda pembayaran/tidak

tunai. Sesuai dengan makna bahasa ini, maka fuqaha mendefinisikan bay’ al-

kali bi al-kali adalah bay’ al-dain bi al-dain atau bay’ nasi’ah bi al-nasi’ah.

Maksudnya menjual piutang (tidak tunai) dengan harga tidak tunai juga, jadi

harga dan objek yang dijual itu diserahkan tidak tunai. 307 Istilah bay’ al-kali bi

al-kali diambil dari hadis Rasul saw,

ال ب ال ك ال ى ع ن ب ي ع ال ك ر أ ن الن ب صلى الله عليه وسلم ن ه 308(رواه الدار قطني) ع ن اب ن ع م

Menurut ulama hadis, seperti Ibnu Hajar al-Asqallani, Al-Zaila’i, Al-

Syaukani dan ulama-ulama hadis yang lain menegaskan bahwa hadis ini hadis

dha’if, karena diantara perawinya adalah Musa bin Ubaidah, menurut mereka

Musa adalah perawi matruk. Walaupun hadis ini tidak bisa dijadikan dalil

hukum karena sanad-nya dha’if, tetapi para ulama sepakat dengan isi hadis ini,

para ulama telah konsensus bahwa bay’ al-kali bi al-kali itu haram. Diantara

para ulama yang meriwayatkan ijma’ ulama tentang hukum bay’ al-kali bi al-

kali adalah Ibnu Mundzir, Ibnu Rusyd dan Al-Subki. Maka ijma’ ulama ini

yang menjadi sandaran hukum bay’ al-kali bi al-kali bukan hadis tersebut.309

306

Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar…, Op cit, h. 129 307

Ibid 308

Ali A l-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, juz. 04 (t.t: t.p, t.th), h. 40. Maktabah

Syamilah 309

Adiwarman A. Karim dan Oni Sahroni, Riba, Gharar…, Op cit, h. 131

Page 114: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

156

Ibnu Arafah mengatakan “karena umat menerima hadis ini maka cacat

sanad hadis ini menjadi hilang”. Berdasarkan landasan ijma’ ini, maka para

ulama dan fuqaha seperti Imam Malik dalam al-mawaththa, Imam Syafi’i

dalam al-um, Al-Syairazi dalam al-muhazzab dan ulama yang lain menegaskan

bahwa bay’ al-kali bi al-kali itu haram.310

8. Mengambil manfaat dari utang-piutang

K. H. Salim Ma’ruf dalam Risalah Mu’amalahnya menceritakan kasus

hukum yang terjadi dizamannya, yaitu meminjamkan uang dengan adanya

keuntungan bagi si peminjam, baik keuntungan itu berbentuk uang maupun

yang lainnya. Dalam hal ini beliau memberikan contoh, seperti seseorang

meminjamkan uang kepada petani dengan perjanjian bahwa apabila padi itu

sudah panen maka petani itu harus menjual padi tersebut dengan harga yang

murah kepada seseorang yang meminjamkannya uang. Contoh lain, seperti

seseorang meminjamkan uang kepada orang-orang yang bekerja dengannya

dengan catatan bahwa orang yang bekerja dengannya diberi upah kerja yang

kurang daripada pekerja-pekerja yang lain.311

Jelasnya setiap pinjaman yang menguntungkan pihak peminjam dalam

hal apapun bentuk keuntungan tersebut, maka hal itu dihukumi riba (riba qord).

Kaidah fiqih menyebutkan,

312كل قرض جر نفعا فهو ربا

Setiap utang-piutang yang menarik manfaat maka hukumnya riba

310

Ibid 311

Salim Ma’ruf, Op cit, h. 09 312

Walid Rasyid, Qawaid al-Buyu…, Op cit, h. 88

Page 115: BAB IV BELI DALAM - idr.uin-antasari.ac.id IV.pdf · 43 bab iv

157

Kaidah di atas menjelaskan bahwa tambahan atau manfaat yang diambil oleh

muqaridh (orang yang memberikan pinjaman) dari muqtaridh (orang yang

diberikan pinjaman) termasuk riba yang dilarang oleh agama Islam.