bab iii pemikiran syed muhammad naquib al-attas...
TRANSCRIPT
BAB III
PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
TENTANG MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Pandangan yang Memprioritaskan Individu
Dalam bukunya Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas mengatakan bahwa
makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkitan yang telah
menarik perhatian pada filsuf sejak dulu kala. Adanya perubahan konseptualisasi
dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam
memahami hakikat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata
sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu
pengetahuan dan realitas mutlak oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita
menjumpai perbedaan pendapat di kalangan filosof dan pendidik. 1
Secara umum ada dua pendangan teoritis mengenai tujuan pendidikan,
masing-masing dengan tingkat keragaman tersendiri. Pandangan teoritis yang
pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap
pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk
sistem pemerintah demokratis, oligarki, maupun monarkis. Pandangan teoritis
yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada
kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.
Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut
Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik.
Sebaiknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Dalam
bukunya “Islam and Secularism” Al-Attas menerangkan secara lebih detail
tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:
1 Ibid, hlm. 163
22
23
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-
manusia yang baik.2 Baik di sini meliputi kehidupan spiritual dan material,
manusia yang memberikan sifat kebaikan yang dicarinya.3
Penekanan pada individu bukan hanya sesuatu yang prinsipil, melainkan
juga merupakan strategi yang jitu untuk mengatasi perbagai problema sekarang
ini. Penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal,
nilai, jiwa, tujaun dan maksud yang sebenarnya (arti kehidupan ini) : sebab akal,
nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu (sedangkan) penekanan
terhadap masyarakat dan negara…membuka pintu menuju sekularisme, termasuk
di dalamnya ideologi dan pendidikan sekuler. 4
B. Manusia Beradab
Al-Attas mengatakan bahwa orang terpelajar adalah orang baik. “Baik” di
sini maksudnya adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi
kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas
kebaikan yang diterimanya”. 5
Pendidikan menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab
dalam diri seseorang-ini disebut dengan ta’dib”.6 Al-Qur’an menegaskan bahwa
contoh ideal bagi orang yang beradab adalah nabi Muhammad saw, yang oleh
kebanyakan sarjana muslim disebut manusia sempurna (al-insan al-kamil) atau
manusia universal (al-insan al-kulliyy). “Contoh teladan yang paling baik”, QS.
Al-Ahzab (33) : 217 dan QS. Al-Qalam (68) : 48 : rasul untuk semua manusia”,
2 Syed Naquib al-Attas, Islam Sekularisme, Terjemahan Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung :
Pustaka, 1981), Cet. I , hlm. 221 3 Ibid, hlm. 222 4 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 173 5 Ibid, hlm. 1 6 Ibid, hlm. 37 7 Depag RI, Op, Cit, hlm. 670 8 Ibid, hlm. 960
24
QS. Saba’ (34) : 28).9 Oleh karena itu, pengaturan administrasi pendidikan dan
ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan manusia
yang sempurna yang secara simbolik dilakukan Al-Attas dengan mencantumkan
nama “Muhammad” di tengah-tengah institusi pendidikan yang didirikan dan
dipimpinnya yaitu ISTAC (International Institute of Islamic Thought and
Civilitation), Kuala Lumpur. 10
Dalam upaya merefleksikan manusia sempurna dalam dunia pendidikan
Islam, pada konferensi dunia pertama mengenai pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Makkah, pada April 1971, ketika tampil sebagai salah seorang
pembicara utama dan mengetahui komite yang membahas cita-cita dan tujuan
pendidikan, secara sistematis Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam
diganti dengan menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam
menjadi ta’dib. Alasan yang dikemukakan Al-Attas sangat konsisten dengan
perhatiannya terhadap akurasi dan autentisitas dalam memahami ide-ide dan
konsep-konsep Islam. Komite menerima usulannya dengan kompromis, dengan
alasan arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam konotasi istilah
tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.
Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini,
kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education
in Islam yang disampaikannya pada konferensi dunia kedua mengenai pendidikan
Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas jika
benar-benar dipahamai dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep
yang paling tepat untuk pendidikan Islam bukannya tarbiyah ataupun ta’lim.
Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim)
dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu bagi dikatakan bahwa
9 Ibid, hlm. 688 10 Wan. Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 174
25
konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai
konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.
Perkataan adab memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, sebab pada
awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan, maksudnya
perjamuan spiritual di bumi dan kita dinasehati untuk ikut mengambil bagiannya
dengan cara memperoleh pengetahuan sejati dari padanya,11 yang di dalamnya
terkandung ide mengenai hubungan sosial yang baik dan mulia. Namun adab
sebagaimana dipakai pada abad ke-1 H memiliki makna-makna intelektual, etika
dan sosial. Kemudian perkataan ini menjadi istilah yang berarti sejumlah ilmu
pengetahuan yang dijadikan seseorang manusia berperadaban dan “tercerahkan”
(urbane). Pada masa al-Hariri abad ke-10 M, makna adab dikhususkan pada
disiplin ilmu pengetahuan tertentu yaitu adabuyyat atau kesusastraan. Kemudian
digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada
kajian kesusastraan dan etika profesional dan kemasyarakatan. Berangkat dari
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ibn Mas’ud, sebagaimana disebutkan oleh
ibn Manzhur dalam karyanya yang terkenal, Lisan al-‘Arab, diislamisasikan dari
konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-
elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya. Secara hati-hati Al-
Attas menerjemahkan kata kerja addabani yang terdapat dalam hadits di atas
dengan ‘telah mendidikku’ kemudian mengartikan perkataan ta’dib dengan
pendidikan. Dari sini terjemahan hadits tersebut adalah “Tuhan telah mendidikku
dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”. Al-Attas mengutip ibn
Manzhur yang menyamakan addaba dengan ‘allama, pengertian yang
memperkuat posisinya dalam menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam yang
betul adalah ta’dib.
11 S. M. N. Al-Attas, Op. Cit., hlm. 221
26
Sedangkan menurut Mahmud Qambar yang dikutip oleh Wan Moh. Nor
Wan Daud mengatakan : “menurut saya Al-Attas adalah orang pertama yang
memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”,
menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta’dib adalah akhlak. 12
Berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan
berangkat dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai
adab : 13
“Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya
ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan dengan
kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki
tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitasnya, potensi
fisik, intelektual dan spiritualnya”.
Yang dimaksud “pengenalan” dalam definisi di atas adalah mengetahui
kembali (recognize) perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dan
Tuhan. Hal ini bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing
dalam pelbagai hierarki wujud, tetapi karena disebabkan oleh kebodohan dan
kesombongannya, manusia kemudian mengubah tempat-tempat tersebut sehingga
terjadilah ketidakadilan. Sedangkan “pengakuan” yang dimaksudkan Al-Attas
adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenal di atas. Ini
semacam “afirmasi”, “konfirmasi” dan “aktualisasi” di dalam diri seseorang
mengenai apa yang sudah dikenalnya itu, yang tanpanya pendidikan menjadi
sesuatu yang tidak lebih dari sekedar proses belajar (ta’allum).
Pentingnya makna adab dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia
yang baik akan semakin terasa ketika disadari bahwasanya pengenalan yang
meliputi ilmu, pengakuan, tindakan dan tentang tempat yang pantas sebagaimana
12 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 176 13 S. M. M Al-Attas, Op. Cit, hlm. 177
27
penjelasan di atas sangat berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam
pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (‘adl),
realitas dan kebenaran (haqq).
Al-Attas memberikan beberapa contoh bagaimana adab hadir dalam
pelbagai tingkat pengalaman hidup manusia :
1. Adab terhadap diri sendiri ketika seseorang mengakui bahwa dirinya adalah
terdiri dari 2 unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan, dan ketika akalnya
bisa menguasai dan mengontrol sifat-sifat kebinatangannya maka ia sudah
menjadi orang yang adil, karena bisa menempatkan keduanya (akal dan sifat
binatang) pada tempatnya masing-masing.
2. Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia, yang berarti bahwa
manusia itu bisa mematuhi norma-norma yang ada dan berada pada posisinya
yang benar sesuai dengan kedudukannya, baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
3. Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan
mengakui adanya hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran
dan kemuliaan. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara
yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang
berbeda. Dengan demikian tujuan yang sebenarnya bisa mencapai
kebahagiaan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
4. Dalam kaitannya dengan alam semesta adab berarti memanfaatkan dan
meletakkan segala sesuatu yang menjadi isinya pada tempatnya yang benar,
baik itu sebagai ilmu maupun sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan
manusia.
5. Adab terhadap bahasa berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang
benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun ucapan sehingga
tidak menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi dan konsep. Dalam Islam
28
kesusastraan, disebut dengan adabiyah, semata-mata karena ia dianggap
sebagai pujangga peradaban dan penghimpunan ajaran dan pernyataan yang
bisa mendidik jiwa manusia dan masyarakat dengan adab sehingga keduanya
menduduki tempat yang tinggi sebagai manusia dan masyarakat yang beradab.
6. Untuk alam spiritual adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-
tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual. Pengakuan dan
pengakuan terhadap pelbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah;
pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah
menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual atau akal. Sedang
menurut Jurjani,14 adab merupakan sesuatu yang setara dengan ma’rifah yaitu
sejenis ilmu khusus dalam konteks ilmu pengetahuan yang mencegah si
empunya ilmu dari terjerumus ke dalam pelbagai bentuk kesalahan. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan sekiranya adab juga diangap sebagai
representasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah, kebijaksanaan.
Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab, bisa
dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah sebagaimana
yang terkandung dalam konteks ta’dib, yang di dalamnya terkandung tujuan,
kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya”.15
Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya Al-Attas menolak peristilahan
tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap
mengenai pendidikan dalam Islam. Alasan beliau yaitu keduanya menunjukkan
ketidaksesuaian makna, istilah tersebut hanya menyinggung aspek fisikal dalam
mengembangkan tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional
dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.16 Hal senada
14 Al-Jurjani adalah penulis kitab “Al-Ta’rifat”. 15 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 178-180 16 Ibid, hlm. 180
29
diungkapkan oleh tokoh-tokoh berikut sebagaimana dikutip oleh Wan Mohd. Nor
Wan Daud.17 Adalah sebagai berikut :
Ibnu Miskawaih18 misalnya memakai istilah ta’dib untuk menunjukkan
pendidikan intelektual, spiritual dan sosial, baik bagi anak muda maupun orang
dewasa, sedangkan tarbiyah dipakai untuk mengajari binatang, baik yang
dilakukan oleh manusia maupun sesama binatang.
Al-Farabi mendefinisikan ta’dib sebagai aktifitas yang bertujuan
memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Ta’dib berbeda
dengan ta’lim (pengajaran) walaupun telah mencakup di dalamnya. Makna ta’lim
dan tarbiyah telah tercakup di dalam makna ta’dib. Mungkin disebabkan
perbedaan makna yang halus sebagian pihak cenderung membedakan ‘ilm dan
ta’lim atau sinonimnya dari pada adab dan ta’lim.
Ibn al-Mubarak sebagaimana telah dikutip mengatakan, “kita lebih
memerlukan adab dari pada ilmu yang banyak”. Pemakaian istilah ta’dib dan
addaba dalam konteks yang lain, seperti yang terkandung dalam istilah-istilah
fiqih dan ‘ilm tidak menafikan relevansi pendidikan di dalamnya, tetapi
memberikan penekanan lebih mendalam lagi.
Sejauh yang diketahui, sebagian besar intelektual dan pemimpin muslim
membahas masalah pendidikan sejak akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ini
menggunakan istilah tarbiyah dan ta’lim. Kementrian pendidikan di negara Arab
seperti Mesir dan Kuwait disebut dengan wizarah al-tarbiyah wa al ta’lim.
Sementara kata padanannya dalam bahasa Persia, amzysi wa parwasysi atau (al-
ta’lim wa al-tarbiyah) dipakai di negara Iran. Di dunia Melayu khususnya di
Malaysia dan Indonesia, terminologi pengajaran dan pelajaran setelah masa
kemerdekaan dipakai secara berkelanjutan untuk menerjemahkan istilah modern
17 Ibid, hlm. 180-181 18 Nama lengkapnya Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Miskawaih adalah pengarang kitab ‘Tahdzib al-
Akhlak’.
30
dalam pendidikan.19 Karena itu, dalam konstitusi Indonesia UUD ‘45 menetapkan
setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah
bertanggungjawab untuk mendirikan dan memelihara sistem pendidikan
nasional.20 Di Malaysia : “The Education Act of 1961 of The Federation of
Malaysia”, telah diterjemahkan sebagai akta pengajaran dan Ministry of
Education diterjemahkan sebagai menteri pelajaran. Hal ini merupakan bukti
bahwa Al-Attas sejak awal karier akademisnya benar-benar memahami bahwa
pengertian pendidikan yang benar tidak bisa menggunakan istilah di atas yang
merupakan terjemahan konsep Barat mengenai pendidikan.21 Dalam pidatonya
mengenai “The Teaching Profession and Politics”, yang disampaikan pada
Congress on The Theaching Profession, tahun 1966 Al-Attas membuat perbedaan
penting bahwa dalam bahasa Melayu mendidik (to educate) menggunakan
perkataan “didik”, yang berlawanan dengan istilah populer dipakai “ajar”. Istilah
yang pertama lebih komprehenship dari pada istilah kedua. Lebih jauh lagi beliau
menegaskan bahwa terminologi “didik” dalam budaya Melayu tidak pernah
dipakai untuk binatang tetapi hanya dipakai untuk manusia.
Ulama terdahulu tidak pernah memakai istilah tarbiyah sebagai judul
tulisan mengenai pendidikan, kecuali karya yang ditulis oleh Burhan al-Din al-
‘Ugsura’i (W. 1502 M) dengan judul Risalah fi al-Tarbiyah wa al-Tasli.
Sebagaimana dikutip dalam buku “Praktik dan Filsafat Pendidikan Islam”, yang
ditulis oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud sebagian besar ulama terdahulu memakai
terminologi ta’lim atau adab di dalam karya mereka mengenai pendidikan.
Pemakaian pertama dengan terminologi adab terdapat dalam risalah pendidikan
yang dikarang oleh Abu al-Najib ‘Abd al-Qodir al-Suhrawardi (W. 1169 M)
dengan judul Adab al-Muridin. Beberapa ulama yang memakai terminologi
19 Ibid, hlm. 182 20 UUD 45, bab 8, pasal 31. dalam Eko Susilo. M dan R. B. Kasihadi, Dasar-dasar
Pendidikan, ed. Revisi, (Semarang : Effar Publishing, 1993), Apendiks 2, hlm. 121 21 Wan Mohd Nor Wan Daud, op. cit, hlm. 183
31
ta’lim, seperti Burhanuddin al-Zarnuji (W 1203 M), tampaknya menafsirkan
makna pendidikan seperti makna yang dikandung oleh istilah adab atau ta’dib,
sebab istilah itu tidak terbatas hanya pada aspek kognitif, tetapi juga meliputi
pendidikan spiritual, moral, dan sosial.22 Terminologi ta’dib sebagai istilah
pendidikan pada awalnya telah dipakai secara tepat oleh para tokoh sufi yang
secara tipikal menonjol dalam pengembangan pribadi Islam melalui
pengembangan indra, akal dan moral. Bagaimanapun adab seorang pelajar
muslim dan kelompok profesional seperti hakim, jaksa, politisi, perwira militer,
musikus, guru dan pelajar telah ditekankan sebagai bagian dari proses pendidikan.
Kenyataan bahwa adab telah dikaitkan dengan pendidikan profesional dan moral
di sepanjang sejarah Islam sudah cukup untuk menolak pendapat bahwa ta’dib itu
sebenarnya terbatas pada pendidikan tingkat rendah atau pelajar yang lebih muda
dan dilaksanakan pertama-tama oeh keluarga di rumah dan dilanjutkan oleh tutor
atau guru23 (dikemukakan oleh Mahmud Qambar dalam Dirasat Turatshiyyah).
Al-Attas menyatakan bahwa tarbiyah dalam konotasi sekarang adalah
suatu terminologi yang komparatif, sesuatu yang tampaknya diciptakan oleh
mereka yang memiliki aliansi dengan pemikiran kalangan modernis, yang telah
terpengaruh oleh konsep Barat tentang pendidikan.24 Pengenalan kembali Al-
Attas terhadap ta’dib secara kreatif sebagai konsep pendidikan Islam yang
komprehensip dalam bentuk yang integral dan sistematis adalah sangat signifikan.
Sebab gagasan tersebut tidak saja yang pertama kali di dunia muslim
kontemporer, tetapi yang lebih signifikan ia memberikan konsep yang orisinil,
integral, komprehensip dan menjadi kerangka kerja yang kukuh bagi teori dan
praktik pendidikan kita.25
22 Ibid, hlm. 183 23 Dikemukakan oleh Mahmud Qambar dalam Dirasat Turatsiyyah sebagaimana dikutip Wan
Mohd. Nor Wan Daud, hlm. 183 24 Ibid, hlm. 184 25 Ibid, hlm. 185
32
C. Pengembangan Masyarakat
Fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dari sejak zamannya
Aristoteles bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Filsafat pendidikan Al-
Attas sangat jelas menekankan pengembangan individu, tetapi hal ini tidak dapat
dipisahkan pada sesuatu yang tidak dapat dipisahkan antara individu dan
masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan, bukan hanya dari tinjauan kontrak
sosial secara historis yang telah terjadi, melainkan juga dari tinjauan ikatan
primodial yang telah terjadi, antara seluruh manusia yang diciptakan Tuhan,
sebagaimana dinyatakan dalam Q.S al-A’raf : 172.26 Pada kesempatan yang lain
Al-Attas menyatakan :
“Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan
manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang
baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang yang baik
maka akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Pendidikan adalah (pembuat)
struktur sosial”. 27
Seseorang individu tetaplah individu ketika ia menyadari secara simultan
ia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya, karena individualitasnya yang unik.
Seorang individu tidak dapat berbuat apa-apa ketika berada dalam keadaan
terisolasi, sebab ketika dalam keadaan tersebut individu itu bukan lagi menjadi
individu tetapi segala sesuatu. Dari penjelasan di atas mengenai makna adab, yang
dipahami Al-Attas manusia beradab (insan adabi) adalah individu yang sadar
sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri,
Tuhan, masyarakat dan alam tampak maupun yang ghaib. Itulah sebabnya dalam
pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus
26 Manusia pertama kali menyatakan dirinya dengan kata-kata jama’, yaitu “bala syahidna”,
Ya kami menyaksikan, maksudnya setiap ruh menyatakan dirinya secara individual dalam hubungannya dengan yang lain dan Tuhan mereka
27 Ibid, hlm. 189
33
menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya,
suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang
baik dan warga negara yang baik bagi negaranya atau dengan kata lain, ia harus
mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang
harus dipahami sebagai suatu yang telah disusun secara hierarki dan logis ke
dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria al-Qur’an
mengenai kecerdasan, keilmuan dan kebaikan (ihsan) dan harus berbuat selaras
dengan ilmu pengetahuan secara positif, terpercaya dan terpuji. 28
Meskipun dalam bermasyarakat terdiri dari individu-individu, namun roda
kehidupan tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama yang valid dari para
individu-individu tersebut. Satu dengan yang lainnya harus saling menguatkan,
layaknya sebuah onderdil yang lainnya. Seorang muslim yang baik harus dapat
melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga dan masyarakat. Lebih jauh
lagi taqwa, terangkatnya kondisi spiritualitas ke tingkat yang tinggi dalam Islam,
harus dapat dicapai dengan penuh kesadaran dan keinginan dalam menjalankan
tugas dan kewajibannya kepada diri sediri, Tuhan dan alam. Tak diragukan lagi,
integrasi antara individu dan akhlak yang mulia adalah tujuan akhir dari
kewarganegaraan dan ketrampilan.
Tujuan pendidikan dalam Islam itu bersifat religius.29 Tetapi (din) yang
dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara
inheren bersifat sosial dan kultural.30 Mengenai sifat agama yang secara sosial
integral, Al-Attas secara cermat telah menganalisis dan menafsirkan makna dasar
dari kata dal-ya’-nun kemudian menyarikannya bahwa makna utama istilah din (
dapat disimpulkan dalam empat unsur yaitu: keberutangan manusia secara (دين
28 Ibid, hlm. 190 29 Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka
Dasar Operasionalnya), (Bandung : Triganda Karya, 1993), Cet. I, hlm. 160
34
eksistensial kepada Tuhan, penyerahan diri manusia kepada Tuhan, pelaksanaan
kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan alami manusia
(fitrah) yang kembali pada hari perjanjian pertama. Dengan menganalisis kebih
lanjut, pelbagai derivasi kata-kata din, seperti daina (berutang), da’in (pemberi
utang), dain (kewajiban), dainunah (hukuman/pengadilan) dan idanah
(keyakinan), Al-Attas menghubungkan semua makna tersebut dalam organisasi
masyarakat kosmopolitan dan beradab yang ditunjukkan oleh istilah madinah
(kota), maddna (berbudaya) dan tamaddun (peradaban dan kebudayaan sosial). 31
Lebih lanjut lagi Al-Attas membagi ilmu pengetahuan dalam 2 kategori :
fardhu ‘ain dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat). Al-Attas
mengingatkan kepada kita bahwa pemilihan pelajaran dan bidang yang harus
ditawarkan dan diajarkan di dalam fardhu kifayah hendaknya jangan dijadikan
pilihan pribadi, tetapi lebih merupakan pertimbangan keperluan sosial dan negara.
Menurut pendapat al-Tibawi,32 yang dikutip Al-Attas, beliau mengatakan tujuan
personal pendidikan Islam tradisional secara ringkas, yaitu untuk mencapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, hal ini lebih konkret dan bermanfaat bagi
individu warga negara dibandingkan tujuan umum masyarakat yang kabur, yang
diformulasikan oleh pemerintah nasional modern.
Pendapat dua tokoh berikut ini pada intinya sama dengan pemikiran al-
Attas seperti yang diungkapkan oleh Abudin Nata.33
Menurut Al-Ghozali ada 2 tujuan dari pendidikan : Pertama, tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT.34
30 S.M.N Al-Attas, op. Cit, hlm. 191 31 Ibid, hlm. 192 32 At-Tibawi adalah pengarang buku “Islamic Education it Tradition and Modernitation in to
The Arab National System”. 33 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 2, hlm. 64 34 Ibid, hlm. 86
35
Dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat.35
Senada dengan tujuan al-Ghazali yang kedua Az-Zarnuji sebagaimana
dikutip Abuddin Nata mengungkapkan tujuan dan niat belajar yang benar adalah
yang ditujukan untuk memberi keridaan Allah, memperoleh kebahagiaan di
akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain,
mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam serta mensyukuri nikmat Allah. 36
Sudah selayaknya jika pelbagai bentuk sistem Islam, baik dalam bentuk
kuttab, madaris, masajid, khaniqah maupun rumah-rumah pribadi yang tujuan
utamanya adalah pembentukan individu-individu yang baik dan mencapai
kebahagiaan tertinggi di dunia dan di akhirat, dapat menghasilkan banyak
pemimpin politik, cendekiawan, administrator, teknisi dan perajin serta anggota
masyarakat biasa yang tak terhitung jumlahnya. Individu-individu ini semuanya
telah memberikan konstribusi dalam pengembangan Islam, kegiatan keagamaan,
intelektual dan secara universal hasil dihormati dan dikagumi secara jujur
dimanapun mereka berada. Hal yang sama tidak dapat dilihat dari produk
pendidikan bangsa-bangsa muslim modern walaupun memiliki kelengkapan
material dan teknologi yang terus berkembang. 37
Kebingungan yang melanda seluruh jenjang pendidikan dimana saja,
disebabkan oleh kesalahan konsep mengenai kemajuan, yang dipahami dan
disebarkan oleh kelompok pemikir dan pemimpin masyarakat. Konsep tersebut
berpegang bahwa kemajuan manusia itu bersifat evolusioner, masa lalu adalah
irelevent, dan manusia masa depan mewarisi lebih banyak fakta dan pengalaman
atau menjadi lebih baik. 38
35 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), Cet. I, hlm. 87 36 Abuddin Nata, Op. Cit hlm. 109 37 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 193 38 Ibid, hlm. 194
36
Kesadaran Al-Attas akan sifat sosial yang inheren dalam pendidikan
dimanifestasikan secara nyata dan praktis dalam pemikirannya mengenai materi
dan tujuan lembaga pemdidikan yang beliau dirikan dan pimpin. Pada 1966 saat
beliau pidato pada Congress on The Teaching Profession and Politics di Kuala
Lumpur, pada tanggal 28 Desember, beliau telah menyampaikan dan memikirkan
fakta bahwa problem kepemimpinan di negara yang sedang berkembang berkaitan
dengan kurangnya pendidikan yang tepat untuk kalangan pemimpin dan
masyarakat awam. Pendidikan yang salah mengakibatkan disorientasi aksiologis
dan moral yang korup pada para pemimpin politik yang bercokol di puncak
gelombang kebodohan, tetapi didukung oleh popularitas di bawah naungan
demokrasi.39 Beliau menekankan agar pendidik tidak dilibatkan dalam partai
politik, tetapi dalam pembuatan kebijakan pendidikan bagi para pemimpin dan
masyarakat awam.
D. Ketiadaan Adab
Secara integral bagian dari hikmah dan keadilan adalah ketiadaan adab
yang akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.
Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, kebodohan (humq)
menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud adalah
melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kegilaan
(junun) adalah perjuangan untuk mencapai tujuan dan maksud yang salah.40
Secara esensial ketiadaan adab akan memicu munculnya sofisme
(kebingungan), berlakunya ketidakadilan disebabkan oleh ketiadaan adab dan
kebingungan dalam bidang ilmu pengetahuan tentu akan merusak tatanan moral
dan pendidikan suatu masyarakat. Adab sebagaimana dijelaskan dalam pikiran
39 Ibid 40 Ibid, hlm. 199
37
yang secara alami akan tercermin dalam fenomena yang berkaitan dengan pribadi
sosial dalam kebudayaan. 41
Kebingungan yang akut karena atau disintegrasi adab, tidak hanya berarti
rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga ketidakmampuan mengakui
pemimpin yang benar dalam segala bidang, bahkan memberi jalan dan
mendukung munculnya pemimpin gadungan.
Menurut Al-Attas pengaruh negatif dari ketiadaan adab adalah: “Definisi
yang autentik menjadi hancur dan sebagai gantiya, kita mewarisi slogan yang
kabur berkedok konsep, ketidakmampuan untuk mendefinisikan dan mengangkat
masalah, kemudian memberikan solusi yang benar : pemunculan pseudo-problem
; reduksi masalah menjadi sebatas faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan
hukum sudah menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika situasi seperti ini
dapat menyuburkan tumbuhnya pelbagai bentuk ekstrimisme yang modal
utamanya adalah kebodohan. 42
E. Makna Pendidikan Islam di Indonesia
1. Tinjauan Kebahasaan
Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah. Oleh
karena itu sumber pendidikan Islam yang utama juga al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah. Dalam dua sumber tersebut dapat dikemukakan kata-kata atau
istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan. Yaitu rabba kata
kerja dari tarbiyyah, ‘alama, kata kerja dari ta’lim dan addaba kata kerja dari
ta’dib.
Misalnya : [
با رمهمحا اراني كميبا رغري24:سرأاإل( ص(
41 Ibid, hlm. 200 42 Ibid, hlm. 201
38
Ya Tuhan, sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil. 43 (Q.S. al-Isra’ : 24)
لقان خسالإن ل من5: العلق (قع(
Dia yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.44 (Q.S. al-Alaq : 5).
)ممسل رواه( 45 مه أ ادبتك وانت مه أ دبتها
Ibunya telah mendidiknya dan kamu telah dididik oleh ibumu (Sahih Muslim, Kitab Masajid, Hadits no. 66).
Dari pengertian di atas dapat dirinci sebagai berikut :46
a. Kata kerja rabba )ى )رب memiliki beberapa arti, antara lain: mengasuh,
mendidik dan memelihara. Kata-kata yang serumpun adalah kata rabb
)رب( yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah dan,
kata rabba )ربا( juga berarti tumbuh atau berkembang.
Adapun kata at-tarbiyyah ) ربية )الت yang merupakan bentuk masdar
dari rabba ) ى )رب menurut Imam Badawi dalam kitab tafsirnya “Anwarul
Tanzil wa Astarut Ta’wil, diartikan sebagai penyampaian sesuatu pada
kesempurnaan, secara bertahap atau sesuatu pada kesempurnaan, secara
bertahap atau sedikit demi sedikit. Menurut al-Ashfahani, dalam bukunya
“Mufradatur Raqib”, bahwa kata asal tarbiyah berarti menjadikan atau
mengembangkan sesuatu melalui proses tahap demi tahap sampai batas
kesempurnaannya.47
Selanjutnya Abdur Rahman al-Bani menerangkan lebih lengkap
bahwa, ditinjau dari bahasanya, istilah at-tarbiyah mencakup 4 unsur :
43 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: tp, t.th), hlm. 482 44Ibid, hlm. 1079 45Al-Naisaburi Imam Abi al-Husaini Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Juz 1,
(Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1992), hlm. 393 46Achmadi, op. cit., hlm. 14 47Ibid, hlm. 14
39
1) Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.
2) Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka
ragam terutama akal dan budinya.
3) Mengarahkan fitrah dan potensi menuju kesempurnaannya.
4) Melaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan
anak.48
Kata tarbiyah yang sering digunakan di negara-negara Arab pada
umumnya banyak diperdebatkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini karena
artinya yang sangat luas, yaitu kata tarbiyah digunakan pula untuk
binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau
membela atau menternak.49 Sementara pendidikan yang diambil dari
istilah education itu hanya untuk manusia saja.50
b. Kata kerja ‘allama ) م )عل berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian
atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.
Al-Qur’an sering menggunakan kata ‘allama, misalnya dalam
firman Allah sebagai berikut :
)31: البقرة( كلها األمساء دمآ وعلم
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya.51
(al-Baqarah : 31)
الطري منطق علمنا الناس ياأيها وقال
Berkatalah Sulaiman : wahai manusia telah diajarkan kepada kami pengertian bunyi burung.52 (Q. S. an-Naml : 16)
48Abdurrrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Madrasati wa
Mujtama', (Darul Fikr: Damsyiq, 1979), hlm. 13 -14, dikutip oleh Achmadi, Paradigma Ilmu-ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 13
49Muhaimin, dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlul Rahman (Studi Kritis Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Islam), (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), Cet. 1,hlm. 9
50Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. 1, hlm. 60 51 Depag RI, op. cit., hlm. 14 52 Ibid, hlm. 595
40
)4- 3: الرمحن( البيان علمه )3( نآالقر علم
Yang telah mengajarkan al-Qur’an mengajarinya pandai pandai berbicara.53
(Q.S. ar-Rahman : 3 dan 4)
Kata ta’lim sebenarnya memiliki arti yang sempit yaitu
“pengajaran”.54
c. Kata kerja addaba ( ةدب ) dapat diartikan mendidik yang lebih tertuju pada
penyempurnaan akhlak budi pekerti. Muhammad Naquib al-Attas dalam
bukunya “The Concept of Education in Islam ” dengan gigih
mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan
Islam, bukan tarbiyah dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib yang
berasal dari kata kerja addaba, mencakup wawasan ilmu dan amal yang
merupakan esensi pendidikan Islam.55
Dari ungkapan beberapa toko di atas kata tarbiyah memiliki makna
yang sangat luas, yaitu merupakan proses penyampaian sesuatu
pengetahuan pada manusia, atau makhluk lainnya. Sedangkan ta’lim
begitu sempit yang hanya mencakup pada ranah psikomotorik dan kognitif
saja. Untukkata ta’dib di dalamnya telah tercakup tiga ranah: kognitif,
afektif dan psikomotorik, dan ini hanya berlaku pada manusia saja.
2. Makna Pendidikan Islam
Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu
masyarakat di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.
Oleh karena itu, sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang
53 Ibid, hlm. 885 54 Muhaimin, op. cit., hlm. 9 55Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1989),
Cet. 1, hlm. 60
41
peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha
manusia melestarikan hidupnya.56
Sebagaimana yang dikutip Zuhairini dari John S Brubacher dalam
bukunya yang berjudul “Philosophies of Education (Fourth Edition)”, John S.
Brubacher mengemukakan bahwa pendidikan diartikan sebagai proses timbal
balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam,
dengan teman dan dengan alam semesta.57 Demikian pula pendidikan
merupakan pula perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua
potensi-potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik),58 dari segi
fisik dan biologinya manusia hampir sama dengan binatang dalam arti
pertumbuhan dan perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh proses
alami. Tetapi dari segi rohani, spiritual dan moralnya manusia dapat melawan
arus proses alami dan mampu menilai serta mengontrol alam sekitarnya
sehingga ia mampu mengadakan adaptasi dan mengubahnya. Hal ini berbeda
dengan binatang yang keberadaannya secara utuh lebih banyak ditentukan
oleh proses alami dan tidak memerlukan perkembangan moral.59 Dan semua
potensi yang ada pada manusia itu sebagai aktivitas untuk mencapai tujuan
hidup yang akhir.
Sebagaimana tim dosen FIP IKIP Malang menyimpulkan pengertian
pendidikan sebagai berikut :
a. Aktivitas manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan
membina potensi-potensi pribadinya, rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan
hati nurani) dengan jasmani (panca indera serta keterampilan-
keterampilan).
56Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita Selekta Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, IKIP
Malang, 1981, hlm. 2, dikutip oleh Zuhairini, dkk, FPI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. 2, hlm. 150 57Ibid. 58Ibid. 59Achmadi, op. cit., hlm. 50
42
b. Lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan)
pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini
meliputi : keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).60 Hal ini sejalan
dengan apa yang diuraikan oleh Achmadi dalam bukunya yang berjudul
“Islam sebagai Paradigma Pendidikan” sebagai berikut :
1) Menanamkan iman dan tauhid.
2) Menumbuhkan sikap hormat dan bakti kepada orang tua.
3) Menumbuhkan semangat bekerja dengan penuh dengan kejujuran.
4) Mendorong anak untuk taat beribadah (terutama shalat).
5) Menanamkan contoh kebenaran (ma’ruf) dan menjauhi yang buruk
(munkar).
6) Menanamkan jiwa sabar dalam menghadapi cobaan.
7) Menumbuhkan sikap rendah hati, tidak angkuh, dan sombong dalam
pergaulan.
8) Menanamkan sikap hidup sederhana.61
Apabila sikap hidup dan perilaku seperti tersebut di atas
ditumbuh kembangkan sejak dini akan sangat membekas pada diri
anak dan merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju
terbentuknya pribadi muslim, yaitu kepribadian manusia seutuhnya.62
Sedangkan dalam masyarakat (negara) anak memperoleh
kesempatan berinteraksi sosial yang lebih luas. Menurut Attaumy al-
Syaibani, masyarakat itu sendiri merupakan suatu faktor yang pokok
mempengaruhi pendidikan, di samping ia merupakan arena tempat
berkisarnya pendidikan.63
Ada juga kebutuhan pokok yang sangat diharapkan oleh
60Zuhairini, op. cit., hlm. 151 61Achmadi, op. cit., hlm. 93 - 94 62Ibid. 63Attaumy, Filsafat Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm.
164
43
pendidikan dari masyarakat :
Pertama, pendidikan dalam arti proses internalisasi nilai dalam
masyarakat ini bersifat informal, tetapi cukup intens karena terjadi
melalui interaksi sosial yang cukup panjang, terus menerus dan
bersifat alami.
Kedua, wahana perluasan wawasan hidup, penguasaan ilmu
pengetahuan dan berbagai keterampilan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia.
c. Hasil atau prestasi yang dicapai perkembangan manusia dan usaha
lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam
arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai
satu kesatuan.
Dari rumusan di atas masih terlihat keumuman-keumuman makna
atau pengertian pendidikan. Pembentukan pribadi misalnya belum
memberi gambaran konsep kepribadian model yang mana. Demikian juga
perkembangan manusia yang dikehendaki keterpaduannya dengan
masyarakat dan hasil budaya, belum menunjukkan adanya kualifikasi
tertentu.
Untuk itu kualifikasi Islam untuk pendidikan memberikan
kejelasan bentuk konseptualnya. Pembentukan kepribadian yang
dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian muslim dan
kemajuan masyarakat dan budaya adalah tidak menyimpang dari ajaran
Islam.64
Islam memandang pendidikan adalah pemberi corak hitam
putihnya perjalanan hidup seseorang dan oleh karenanya Islam
menetapkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan hidup yang wajib
hukumnya bagi laki-laki dan wanita :
64Zuhairini, dkk, op. cit., hlm. 151
44
ار حدثنا حفص بن ساميان البزاز حدثنا كثري بن شنظري هشام بن عمحدثنا طلب العلم ρقال رسول اهللا : "عن حممد بن سريين عن أنس بن مالك قال
)رواه ابن ماجة (65 ...."فريضة على كل مسلم Cerita dari Hisyam bin Umar kepada Hafs bin Sulaiman al Bizaazi kepada Katsir bin Syundzir dari Muhammad bin Siiriin dari Anas bin Malik berkata: “Bersabda Rasulullah saw: mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”
Tiada batasan untuk memperolehnya sampai kemanapun, dan
berlangsung seumur hidup semenjak buaian hingga ajal datang .
Kedudukan itu secara tidak langsung telah menempatkan
pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan
manusia.66 Sebagaimana dikutip oleh Zuhairini John Dewey
mengemukakan bahwa pendidikan sebagai satu kebutuhan hidup (a
necessity of life), salah satu fungsi social (a social function), sebagai
bimbingan (as direftion), sebagai sarana pertumbuhan (as growth), yang
mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.67
Transmisi baik dalam bentuk informasi formal maupun non formal.
Pemenuhan kebutuhan jasmani saja belumlah cukup, melainkan
kebutuhan rohani juga harus terpenuhi, terpenuhinya kebutuhan rohani
bagi manusia menjadi sangat penting kalau hal ini tidak terpenuhi akan
menimbulkan kegelisahan batin dan salah satu usaha untuk memenuhi
kebutuhan batin atau rohani adalah agama.68 Dengan agama akan dapat
mengimbangi gejolak manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
condong untuk selalu menuntut untuk dipenuhi. Agama merupakan dasar
65Syekh Muhammad Mukhtar Khusain, Zawaid Ibnu Majah, (Beirut: Darul Kutub, t.th), hlm.
58 66Zuhairini, dkk, op. cit., hlm. 152 67John Dewey, Democrazy and Education, (New York: The Free Press, 1996), hlm. 1 – 54,
dikutip oleh Zuhairini, Ibid, hlm. 52 68Ibid
45
utama dalam mendidik anak-anak melalui sarana-sarana pendidikan.
Karena dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat membantu
terbentuknya sikap dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa.
Dengan kata lain, bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan
kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam
atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan
nilai-nilai Islam.69
Dalam UUD No. 20 Th. 2003 menyebutkan pengertian pendidikan
adalah usaha sadar dan terancana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara.70
Dari garis besar pengertian pendidikan di atas Marimba
menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak
didik menuju terbentuknya kepribadian yang mulia.71
Pendidikan Islam secara konseptual menurut ajaran Islam adalah
merupakan “usaha sadar dalam rangka membimbing dan mempersiapkan
anak atau generasi muda agar mampu melaksanakan tugas-tugas
hidupnya dengan penuh tanggung jawab”.
F. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan
diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin
69Ibid 70UUD RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasannya,
(Bandung: Citra Lembara, 2003) hlm. 3 71AD. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maa'rif, 1989), hlm. 19
46
yang rentangannya tidak terbatas menurut jangkauan manusia.72 Selain itu juga
untuk menyiapkan anak-anak supaya diwaktu dewasa kelak mereka cakap dalam
melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan
bersama di dunia dan akhirat. Tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam
Islam ialah untuk menjadikan seluruh umat manusia sebagai abdi atau hamba
Allah SWT.73 Tujuan tersebut kemudian oleh para ahli dijadikan sebagai tujuan
umum pendidikan Islam.74
Tujuan khusus pendidikan Islam adalah merupakan perubahan-perubahan
yang diingini yang merupakan bagian yang termasuk di bawah tiap tujuan umum
pendidikan. Dengan kata lain gabungan pengetahuan, ketrampilan, pola-pola
tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir
atau tujuan umum pendidikan.75
Pengetahuan kita tentang asal kejadian manusia amat penting artinya
dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi menusia. Asal kejadian tersebut harus
dijadikan pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam.76
Menurut A. D. Marimba, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah
terbentuknya kepribadian muslim.77 Sedangkan menurut M. Athiyah al-Abrasy
yang dikutip oleh Omar Muhammad al Touny al-Syaibany bahwa tujuan
pendidikan Islam secara asasi ada 4 :78
1. Untuk membantu membentuk akhlak yang mulia
2. Untuk persiapan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat
72Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya, Agung,
1978), hlm. 10 73N.M. Dahlan dan M.I. Soelaeman, Azaz-azaz Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro,
1988), Cet. 1, hlm. 119 74Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), hlm. 54 75Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan
Pendidikan), (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 63 76Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 34 77AD. Marimba, op. cit., hlm. 49 78Omar Mohammad al Thoum al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 416 -417
47
3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan batin
untuk mengetahui dan memungkinan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu
dan menyiapkan pelajar dari segi profesional supaya dapat hidup dengan
mulia, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.79
4. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.
5. Menyiapkan pelajar untuk dapat memiliki profesi tertentu.
Dalam bukunya “Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan” Achmadi
menyebutkan bahwa tujuan pendidikan terbagi menjadi 2 :80
Pertama : untuk lebih memahami dan menghayati kebijaksanaan Allah
SWT sebagai rabbul ‘alamin dalam membimbing hamba-Nya.
Kedua : untuk merefleksikan pertautan nilai-nilai transendental Illahi
dengan realitas kependidikan.
Prinsip-prinsip dan metode diberikan kepada Muhammad SAW dalam
bentuknya yang lengkap dan final melalui pesan-pesan firman yang diturunkan
dan diabadikan dalam Qur’an melalui watak, sabda dan perbuatan Nabi sendiri.
Firman-firman itu memberikan kepada manusia sebuah hukum yang lengkap
tentang kehidupan. Menurut ajaran Islam kalau seseorang mematuhi hukum itu
dengan jujur dan ikhlas, ia akan tumbuh menjadi manusia yang seimbang dan atas
kehendak Tuhan, ia mungkin akan dapat mencapai tujuannya dan menjadi
khalifatullah, wakil Tuhan di bumi. Karena prinsip pengembangan inilah para
sarjana muslim yang bertemu di konferensi dunia pertama tentang pendidikan
Islam merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : 81
Tujuan pendidikan adalah untuk menimbulkan pertumbuhan yang
seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional
diri perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya
79Abuddin Nata, FPI, hlm. 54. 80Achmadi, op. cit., hlm. 6 81Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Terj. Sori Siregar, (Yogyakarta: Pustaka
Firdaus, 1996), Cet. 3, hlm. 2
48
menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,
intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik baik secara individu dan secara
kolektif dan memotivasi semua aspek-aspek untuk mencapai kebaikan dan
kesempurnaan.
Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak
kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada
umumnya.
Sejauhmana definisi ini dapat diterima oleh masyarakat modern
tergantung pada penilaian kita terhadap masyarakat itu, bagaimana masyarakat itu
menilai manusia dan takdirnya dan karena itu bagaimana masyarakat
menghendaki kepribadiannya berkembang. Persetujuan masyarakat tersebut juga
tergantung pada pertimbangan-pertimbangan praktis dan historis pada dasar-dasar
kebenaran yang diberikan dalam ajaran Islam.82
Berbicara tentang tujuan pendidikan tidak bisa tidak (harus) mengajak kita
berbicara tentang tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah satu alat
yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival),
baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia dalam usahanya
memelihara kelanjutan hidupnya, berusaha untuk mewariskan berbagai nilai
budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.83 Tidak terbatas pada uraian di
atas bahwa pendidikan itu bertujuan untuk mengembangkan potensi-potensi atau
pembaharuan (fitrah) manusia sejak lahir sehingga potensi tersebut dapat
memenuhi segala kebutuhan manusia itu sendiri atau masyarakat pada umumnya,
untuk menghadapi tantangan-tantangan lingkungan pada zaman yang selalu
berubah.84 Misal pengembangan pada anak sehingga tercipta generasi yang
pandai dan dapat menciptakan alat-alat modern (teknologi canggih) sehingga
82Ibid, hlm. 3 83Tadjab, Perbandingan Pendidikan tentang Beberapa Aspek Pendidikan Barat Modern,
Islam dan Nasional, (Surabaya: Karya Afitama, 1994), Cet. 1, hlm. 58. 84Ibid., hlm. 60
49
dapat menghadapi berbagai masalah-masalah yang muncul seperti gejala alam,
banjir, gempa bumi dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang bisa kita
temukan.
Tujuan hidup manusia menurut al-Qur’an adalah untuk mengabdi,
berbakti atau beribadah hanya kepada Allah :
)56: الذاريات. (ليعبدون إلا والإنس الجن خلقت وما
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.85 (Q.S ad-Dzariyat ayat 56)
Tujuan hidup muslim inilah yang menjadi tujuan pendidikan menurut
ajaran Islam (tujuan pendidikan Islam) sepanjang zaman. Tujuan-tujuan atau
objek pendidikan di atas dapatlah diterjemahkan secara operasional ke dalam
silabus dan mata pelajaran yang diajarkan ke berbagai tingkat pendidikan, mulai
dari tingkat rendah, menengah dan perguruan tinggi, malah juga pada lembaga-
lembaga pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah.86
Struktur perumusan tujuan pendidikan Islam terdiri dari :
a. Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir.
b. Tujuan khusus sebagai penjabaran dari pada tujuan umum.
c. Tujuan perbidang pembinaan misalnya : tujuan dari pembinaan aspek akal.
d. Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang pembinaan tersebut.
e. Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi.
f. Tujuan dari setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok
bahasan.87
Menetapkan tujuan merupakan sesuatu yang penting dalam melaksanakan
sebuah kegiatan, agar cita-cita yang diinginkan dapat tercapai secara maksimal.
Demikian pula pada dunia pendidikan. Banyak para ahli merumuskan tujuan
85Depag RI, op. cit., hlm. 862 86Ibid, hlm. 63 87Abuddin Nata, op. cit., hlm. 57 - 58
50
pendidikan Islam dari yang umum sampai pada yang khusus, tetapi pada
hakikatnya sama, hanya harus kita akui bahwa setiap orang berhak mengeluarkan
ide atau pendapat yang sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing sehingga
terciptalah berbagai rumusan tujuan pendidikan. Tetapi pada hakikatnya tujuan
pendidikan Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan
jalan menjadi hamba Allah yang tunduk, patuh dan bertakwa hanya kepadanya,
jika tugas tersebut telah dilaksanakan tentunya manusia akan merasakan
kebahagiaan yang luar biasa.