bab iii pemikiran syed muhammad naquib al-attas...

29
BAB III PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS TENTANG MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Pandangan yang Memprioritaskan Individu Dalam bukunya Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas mengatakan bahwa makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkitan yang telah menarik perhatian pada filsuf sejak dulu kala. Adanya perubahan konseptualisasi dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami hakikat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu pengetahuan dan realitas mutlak oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menjumpai perbedaan pendapat di kalangan filosof dan pendidik. 1 Secara umum ada dua pendangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragaman tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintah demokratis, oligarki, maupun monarkis. Pandangan teoritis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar. Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaiknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Dalam bukunya “Islam and Secularism” Al-Attas menerangkan secara lebih detail tentang tujuan pendidikan sebagai berikut: 1 Ibid, hlm. 163 22

Upload: doanxuyen

Post on 02-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB III

PEMIKIRAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

TENTANG MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Pandangan yang Memprioritaskan Individu

Dalam bukunya Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas mengatakan bahwa

makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkitan yang telah

menarik perhatian pada filsuf sejak dulu kala. Adanya perubahan konseptualisasi

dan penjelasan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam

memahami hakikat, peranan dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata

sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu

pengetahuan dan realitas mutlak oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita

menjumpai perbedaan pendapat di kalangan filosof dan pendidik. 1

Secara umum ada dua pendangan teoritis mengenai tujuan pendidikan,

masing-masing dengan tingkat keragaman tersendiri. Pandangan teoritis yang

pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap

pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk

sistem pemerintah demokratis, oligarki, maupun monarkis. Pandangan teoritis

yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada

kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.

Al-Attas menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut

Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik.

Sebaiknya tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Dalam

bukunya “Islam and Secularism” Al-Attas menerangkan secara lebih detail

tentang tujuan pendidikan sebagai berikut:

1 Ibid, hlm. 163

22

23

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk menghasilkan manusia-

manusia yang baik.2 Baik di sini meliputi kehidupan spiritual dan material,

manusia yang memberikan sifat kebaikan yang dicarinya.3

Penekanan pada individu bukan hanya sesuatu yang prinsipil, melainkan

juga merupakan strategi yang jitu untuk mengatasi perbagai problema sekarang

ini. Penekanan terhadap individu mengimplikasikan pengetahuan mengenai akal,

nilai, jiwa, tujaun dan maksud yang sebenarnya (arti kehidupan ini) : sebab akal,

nilai, dan jiwa adalah unsur-unsur inheren setiap individu (sedangkan) penekanan

terhadap masyarakat dan negara…membuka pintu menuju sekularisme, termasuk

di dalamnya ideologi dan pendidikan sekuler. 4

B. Manusia Beradab

Al-Attas mengatakan bahwa orang terpelajar adalah orang baik. “Baik” di

sini maksudnya adalah adab dalam pengertian yang menyeluruh, “yang meliputi

kehidupan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas

kebaikan yang diterimanya”. 5

Pendidikan menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab

dalam diri seseorang-ini disebut dengan ta’dib”.6 Al-Qur’an menegaskan bahwa

contoh ideal bagi orang yang beradab adalah nabi Muhammad saw, yang oleh

kebanyakan sarjana muslim disebut manusia sempurna (al-insan al-kamil) atau

manusia universal (al-insan al-kulliyy). “Contoh teladan yang paling baik”, QS.

Al-Ahzab (33) : 217 dan QS. Al-Qalam (68) : 48 : rasul untuk semua manusia”,

2 Syed Naquib al-Attas, Islam Sekularisme, Terjemahan Karsidjo Djojosuwarno, (Bandung :

Pustaka, 1981), Cet. I , hlm. 221 3 Ibid, hlm. 222 4 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 173 5 Ibid, hlm. 1 6 Ibid, hlm. 37 7 Depag RI, Op, Cit, hlm. 670 8 Ibid, hlm. 960

24

QS. Saba’ (34) : 28).9 Oleh karena itu, pengaturan administrasi pendidikan dan

ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan manusia

yang sempurna yang secara simbolik dilakukan Al-Attas dengan mencantumkan

nama “Muhammad” di tengah-tengah institusi pendidikan yang didirikan dan

dipimpinnya yaitu ISTAC (International Institute of Islamic Thought and

Civilitation), Kuala Lumpur. 10

Dalam upaya merefleksikan manusia sempurna dalam dunia pendidikan

Islam, pada konferensi dunia pertama mengenai pendidikan Islam yang

diselenggarakan di Makkah, pada April 1971, ketika tampil sebagai salah seorang

pembicara utama dan mengetahui komite yang membahas cita-cita dan tujuan

pendidikan, secara sistematis Al-Attas mengajukan agar definisi pendidikan Islam

diganti dengan menjadi penanaman adab dan istilah pendidikan dalam Islam

menjadi ta’dib. Alasan yang dikemukakan Al-Attas sangat konsisten dengan

perhatiannya terhadap akurasi dan autentisitas dalam memahami ide-ide dan

konsep-konsep Islam. Komite menerima usulannya dengan kompromis, dengan

alasan arti pendidikan secara keseluruhan terdapat dalam konotasi istilah

tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang dipakai secara bersamaan.

Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini,

kemudian menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education

in Islam yang disampaikannya pada konferensi dunia kedua mengenai pendidikan

Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas jika

benar-benar dipahamai dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep

yang paling tepat untuk pendidikan Islam bukannya tarbiyah ataupun ta’lim.

Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim)

dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu bagi dikatakan bahwa

9 Ibid, hlm. 688 10 Wan. Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 174

25

konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai

konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib.

Perkataan adab memiliki arti yang sangat luas dan mendalam, sebab pada

awalnya perkataan adab berarti undangan ke sebuah jamuan makan, maksudnya

perjamuan spiritual di bumi dan kita dinasehati untuk ikut mengambil bagiannya

dengan cara memperoleh pengetahuan sejati dari padanya,11 yang di dalamnya

terkandung ide mengenai hubungan sosial yang baik dan mulia. Namun adab

sebagaimana dipakai pada abad ke-1 H memiliki makna-makna intelektual, etika

dan sosial. Kemudian perkataan ini menjadi istilah yang berarti sejumlah ilmu

pengetahuan yang dijadikan seseorang manusia berperadaban dan “tercerahkan”

(urbane). Pada masa al-Hariri abad ke-10 M, makna adab dikhususkan pada

disiplin ilmu pengetahuan tertentu yaitu adabuyyat atau kesusastraan. Kemudian

digunakan dalam konteks yang terbatas, seperti untuk sesuatu yang merujuk pada

kajian kesusastraan dan etika profesional dan kemasyarakatan. Berangkat dari

sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ibn Mas’ud, sebagaimana disebutkan oleh

ibn Manzhur dalam karyanya yang terkenal, Lisan al-‘Arab, diislamisasikan dari

konteks yang dikenal pada masa sebelum Islam dengan cara menambah elemen-

elemen spiritual dan intelektual pada dataran semantiknya. Secara hati-hati Al-

Attas menerjemahkan kata kerja addabani yang terdapat dalam hadits di atas

dengan ‘telah mendidikku’ kemudian mengartikan perkataan ta’dib dengan

pendidikan. Dari sini terjemahan hadits tersebut adalah “Tuhan telah mendidikku

dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan”. Al-Attas mengutip ibn

Manzhur yang menyamakan addaba dengan ‘allama, pengertian yang

memperkuat posisinya dalam menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam yang

betul adalah ta’dib.

11 S. M. N. Al-Attas, Op. Cit., hlm. 221

26

Sedangkan menurut Mahmud Qambar yang dikutip oleh Wan Moh. Nor

Wan Daud mengatakan : “menurut saya Al-Attas adalah orang pertama yang

memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”,

menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta’dib adalah akhlak. 12

Berdasarkan arti perkataan adab yang telah diislamisasikan itu dan

berangkat dari analisis semantisnya, Al-Attas mengajukan definisinya mengenai

adab : 13

“Adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realitas bahwasanya

ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hierarki yang sesuai dengan dengan

kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki

tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitasnya, potensi

fisik, intelektual dan spiritualnya”.

Yang dimaksud “pengenalan” dalam definisi di atas adalah mengetahui

kembali (recognize) perjanjian pertama (primordial covenant) antara manusia dan

Tuhan. Hal ini bahwa semua materi sudah berada pada tempatnya masing-masing

dalam pelbagai hierarki wujud, tetapi karena disebabkan oleh kebodohan dan

kesombongannya, manusia kemudian mengubah tempat-tempat tersebut sehingga

terjadilah ketidakadilan. Sedangkan “pengakuan” yang dimaksudkan Al-Attas

adalah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang telah dikenal di atas. Ini

semacam “afirmasi”, “konfirmasi” dan “aktualisasi” di dalam diri seseorang

mengenai apa yang sudah dikenalnya itu, yang tanpanya pendidikan menjadi

sesuatu yang tidak lebih dari sekedar proses belajar (ta’allum).

Pentingnya makna adab dan keterkaitannya dengan pendidikan manusia

yang baik akan semakin terasa ketika disadari bahwasanya pengenalan yang

meliputi ilmu, pengakuan, tindakan dan tentang tempat yang pantas sebagaimana

12 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 176 13 S. M. M Al-Attas, Op. Cit, hlm. 177

27

penjelasan di atas sangat berhubungan dengan kata-kata kunci lainnya dalam

pandangan hidup Islam, seperti kebijaksanaan (hikmah) dan keadilan (‘adl),

realitas dan kebenaran (haqq).

Al-Attas memberikan beberapa contoh bagaimana adab hadir dalam

pelbagai tingkat pengalaman hidup manusia :

1. Adab terhadap diri sendiri ketika seseorang mengakui bahwa dirinya adalah

terdiri dari 2 unsur yaitu akal dan sifat-sifat kebinatangan, dan ketika akalnya

bisa menguasai dan mengontrol sifat-sifat kebinatangannya maka ia sudah

menjadi orang yang adil, karena bisa menempatkan keduanya (akal dan sifat

binatang) pada tempatnya masing-masing.

2. Adab dalam konteks hubungan antara sesama manusia, yang berarti bahwa

manusia itu bisa mematuhi norma-norma yang ada dan berada pada posisinya

yang benar sesuai dengan kedudukannya, baik dalam keluarga maupun

masyarakat.

3. Dalam konteks ilmu, adab berarti disiplin intelektual yang mengenal dan

mengakui adanya hierarki ilmu berdasarkan kriteria tingkat-tingkat keluhuran

dan kemuliaan. Adab terhadap ilmu pengetahuan akan menghasilkan cara-cara

yang tepat dan benar dalam belajar dan penerapan pelbagai bidang sains yang

berbeda. Dengan demikian tujuan yang sebenarnya bisa mencapai

kebahagiaan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

4. Dalam kaitannya dengan alam semesta adab berarti memanfaatkan dan

meletakkan segala sesuatu yang menjadi isinya pada tempatnya yang benar,

baik itu sebagai ilmu maupun sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan

manusia.

5. Adab terhadap bahasa berarti pengenalan dan pengakuan adanya tempat yang

benar dan tepat untuk setiap kata, baik dalam tulisan maupun ucapan sehingga

tidak menimbulkan kerancuan dalam makna, bunyi dan konsep. Dalam Islam

28

kesusastraan, disebut dengan adabiyah, semata-mata karena ia dianggap

sebagai pujangga peradaban dan penghimpunan ajaran dan pernyataan yang

bisa mendidik jiwa manusia dan masyarakat dengan adab sehingga keduanya

menduduki tempat yang tinggi sebagai manusia dan masyarakat yang beradab.

6. Untuk alam spiritual adab berarti pengenalan dan pengakuan terhadap tingkat-

tingkat keluhuran yang menjadi sifat alam spiritual. Pengakuan dan

pengakuan terhadap pelbagai maqam spiritual berdasarkan ibadah;

pengenalan dan pengakuan terhadap disiplin spiritual yang dengan benar telah

menyerahkan fisik atau jiwa kebinatangan pada spiritual atau akal. Sedang

menurut Jurjani,14 adab merupakan sesuatu yang setara dengan ma’rifah yaitu

sejenis ilmu khusus dalam konteks ilmu pengetahuan yang mencegah si

empunya ilmu dari terjerumus ke dalam pelbagai bentuk kesalahan. Oleh

karena itu tidaklah mengherankan sekiranya adab juga diangap sebagai

representasi keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah, kebijaksanaan.

Dengan menyintesiskan arti ilmu pengetahuan, makna dan arti adab, bisa

dikatakan bahwa definisi pendidikan Islam yang lengkap adalah sebagaimana

yang terkandung dalam konteks ta’dib, yang di dalamnya terkandung tujuan,

kandungan dan metode pendidikan yang sebenarnya”.15

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya Al-Attas menolak peristilahan

tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap

mengenai pendidikan dalam Islam. Alasan beliau yaitu keduanya menunjukkan

ketidaksesuaian makna, istilah tersebut hanya menyinggung aspek fisikal dalam

mengembangkan tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional

dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.16 Hal senada

14 Al-Jurjani adalah penulis kitab “Al-Ta’rifat”. 15 Wan Mohd Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 178-180 16 Ibid, hlm. 180

29

diungkapkan oleh tokoh-tokoh berikut sebagaimana dikutip oleh Wan Mohd. Nor

Wan Daud.17 Adalah sebagai berikut :

Ibnu Miskawaih18 misalnya memakai istilah ta’dib untuk menunjukkan

pendidikan intelektual, spiritual dan sosial, baik bagi anak muda maupun orang

dewasa, sedangkan tarbiyah dipakai untuk mengajari binatang, baik yang

dilakukan oleh manusia maupun sesama binatang.

Al-Farabi mendefinisikan ta’dib sebagai aktifitas yang bertujuan

memproduksi suatu karakter yang bersumber dari sikap moral. Ta’dib berbeda

dengan ta’lim (pengajaran) walaupun telah mencakup di dalamnya. Makna ta’lim

dan tarbiyah telah tercakup di dalam makna ta’dib. Mungkin disebabkan

perbedaan makna yang halus sebagian pihak cenderung membedakan ‘ilm dan

ta’lim atau sinonimnya dari pada adab dan ta’lim.

Ibn al-Mubarak sebagaimana telah dikutip mengatakan, “kita lebih

memerlukan adab dari pada ilmu yang banyak”. Pemakaian istilah ta’dib dan

addaba dalam konteks yang lain, seperti yang terkandung dalam istilah-istilah

fiqih dan ‘ilm tidak menafikan relevansi pendidikan di dalamnya, tetapi

memberikan penekanan lebih mendalam lagi.

Sejauh yang diketahui, sebagian besar intelektual dan pemimpin muslim

membahas masalah pendidikan sejak akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ini

menggunakan istilah tarbiyah dan ta’lim. Kementrian pendidikan di negara Arab

seperti Mesir dan Kuwait disebut dengan wizarah al-tarbiyah wa al ta’lim.

Sementara kata padanannya dalam bahasa Persia, amzysi wa parwasysi atau (al-

ta’lim wa al-tarbiyah) dipakai di negara Iran. Di dunia Melayu khususnya di

Malaysia dan Indonesia, terminologi pengajaran dan pelajaran setelah masa

kemerdekaan dipakai secara berkelanjutan untuk menerjemahkan istilah modern

17 Ibid, hlm. 180-181 18 Nama lengkapnya Abu ‘Ali Ahmad Ibnu Miskawaih adalah pengarang kitab ‘Tahdzib al-

Akhlak’.

30

dalam pendidikan.19 Karena itu, dalam konstitusi Indonesia UUD ‘45 menetapkan

setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran dan pemerintah

bertanggungjawab untuk mendirikan dan memelihara sistem pendidikan

nasional.20 Di Malaysia : “The Education Act of 1961 of The Federation of

Malaysia”, telah diterjemahkan sebagai akta pengajaran dan Ministry of

Education diterjemahkan sebagai menteri pelajaran. Hal ini merupakan bukti

bahwa Al-Attas sejak awal karier akademisnya benar-benar memahami bahwa

pengertian pendidikan yang benar tidak bisa menggunakan istilah di atas yang

merupakan terjemahan konsep Barat mengenai pendidikan.21 Dalam pidatonya

mengenai “The Teaching Profession and Politics”, yang disampaikan pada

Congress on The Theaching Profession, tahun 1966 Al-Attas membuat perbedaan

penting bahwa dalam bahasa Melayu mendidik (to educate) menggunakan

perkataan “didik”, yang berlawanan dengan istilah populer dipakai “ajar”. Istilah

yang pertama lebih komprehenship dari pada istilah kedua. Lebih jauh lagi beliau

menegaskan bahwa terminologi “didik” dalam budaya Melayu tidak pernah

dipakai untuk binatang tetapi hanya dipakai untuk manusia.

Ulama terdahulu tidak pernah memakai istilah tarbiyah sebagai judul

tulisan mengenai pendidikan, kecuali karya yang ditulis oleh Burhan al-Din al-

‘Ugsura’i (W. 1502 M) dengan judul Risalah fi al-Tarbiyah wa al-Tasli.

Sebagaimana dikutip dalam buku “Praktik dan Filsafat Pendidikan Islam”, yang

ditulis oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud sebagian besar ulama terdahulu memakai

terminologi ta’lim atau adab di dalam karya mereka mengenai pendidikan.

Pemakaian pertama dengan terminologi adab terdapat dalam risalah pendidikan

yang dikarang oleh Abu al-Najib ‘Abd al-Qodir al-Suhrawardi (W. 1169 M)

dengan judul Adab al-Muridin. Beberapa ulama yang memakai terminologi

19 Ibid, hlm. 182 20 UUD 45, bab 8, pasal 31. dalam Eko Susilo. M dan R. B. Kasihadi, Dasar-dasar

Pendidikan, ed. Revisi, (Semarang : Effar Publishing, 1993), Apendiks 2, hlm. 121 21 Wan Mohd Nor Wan Daud, op. cit, hlm. 183

31

ta’lim, seperti Burhanuddin al-Zarnuji (W 1203 M), tampaknya menafsirkan

makna pendidikan seperti makna yang dikandung oleh istilah adab atau ta’dib,

sebab istilah itu tidak terbatas hanya pada aspek kognitif, tetapi juga meliputi

pendidikan spiritual, moral, dan sosial.22 Terminologi ta’dib sebagai istilah

pendidikan pada awalnya telah dipakai secara tepat oleh para tokoh sufi yang

secara tipikal menonjol dalam pengembangan pribadi Islam melalui

pengembangan indra, akal dan moral. Bagaimanapun adab seorang pelajar

muslim dan kelompok profesional seperti hakim, jaksa, politisi, perwira militer,

musikus, guru dan pelajar telah ditekankan sebagai bagian dari proses pendidikan.

Kenyataan bahwa adab telah dikaitkan dengan pendidikan profesional dan moral

di sepanjang sejarah Islam sudah cukup untuk menolak pendapat bahwa ta’dib itu

sebenarnya terbatas pada pendidikan tingkat rendah atau pelajar yang lebih muda

dan dilaksanakan pertama-tama oeh keluarga di rumah dan dilanjutkan oleh tutor

atau guru23 (dikemukakan oleh Mahmud Qambar dalam Dirasat Turatshiyyah).

Al-Attas menyatakan bahwa tarbiyah dalam konotasi sekarang adalah

suatu terminologi yang komparatif, sesuatu yang tampaknya diciptakan oleh

mereka yang memiliki aliansi dengan pemikiran kalangan modernis, yang telah

terpengaruh oleh konsep Barat tentang pendidikan.24 Pengenalan kembali Al-

Attas terhadap ta’dib secara kreatif sebagai konsep pendidikan Islam yang

komprehensip dalam bentuk yang integral dan sistematis adalah sangat signifikan.

Sebab gagasan tersebut tidak saja yang pertama kali di dunia muslim

kontemporer, tetapi yang lebih signifikan ia memberikan konsep yang orisinil,

integral, komprehensip dan menjadi kerangka kerja yang kukuh bagi teori dan

praktik pendidikan kita.25

22 Ibid, hlm. 183 23 Dikemukakan oleh Mahmud Qambar dalam Dirasat Turatsiyyah sebagaimana dikutip Wan

Mohd. Nor Wan Daud, hlm. 183 24 Ibid, hlm. 184 25 Ibid, hlm. 185

32

C. Pengembangan Masyarakat

Fakta yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dari sejak zamannya

Aristoteles bahwa manusia merupakan makhluk sosial. Filsafat pendidikan Al-

Attas sangat jelas menekankan pengembangan individu, tetapi hal ini tidak dapat

dipisahkan pada sesuatu yang tidak dapat dipisahkan antara individu dan

masyarakat dalam persaudaraan kemanusiaan, bukan hanya dari tinjauan kontrak

sosial secara historis yang telah terjadi, melainkan juga dari tinjauan ikatan

primodial yang telah terjadi, antara seluruh manusia yang diciptakan Tuhan,

sebagaimana dinyatakan dalam Q.S al-A’raf : 172.26 Pada kesempatan yang lain

Al-Attas menyatakan :

“Ketika menyatakan bahwa tujuan ilmu pengetahuan adalah melahirkan

manusia yang baik, kami tidak bermaksud untuk melahirkan masyarakat yang

baik. Karena masyarakat terdiri dari individu, melahirkan seseorang yang baik

maka akan melahirkan masyarakat yang baik pula. Pendidikan adalah (pembuat)

struktur sosial”. 27

Seseorang individu tetaplah individu ketika ia menyadari secara simultan

ia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya, karena individualitasnya yang unik.

Seorang individu tidak dapat berbuat apa-apa ketika berada dalam keadaan

terisolasi, sebab ketika dalam keadaan tersebut individu itu bukan lagi menjadi

individu tetapi segala sesuatu. Dari penjelasan di atas mengenai makna adab, yang

dipahami Al-Attas manusia beradab (insan adabi) adalah individu yang sadar

sepenuhnya akan individualitasnya dan hubungannya yang tepat dengan diri,

Tuhan, masyarakat dan alam tampak maupun yang ghaib. Itulah sebabnya dalam

pandangan Islam, manusia yang baik atau individu yang baik secara alami harus

26 Manusia pertama kali menyatakan dirinya dengan kata-kata jama’, yaitu “bala syahidna”,

Ya kami menyaksikan, maksudnya setiap ruh menyatakan dirinya secara individual dalam hubungannya dengan yang lain dan Tuhan mereka

27 Ibid, hlm. 189

33

menjadi hamba yang baik bagi Tuhannya, ayah yang baik bagi anak-anaknya,

suami yang baik bagi istrinya, anak yang baik bagi orang tuanya, tetangga yang

baik dan warga negara yang baik bagi negaranya atau dengan kata lain, ia harus

mengetahui kedudukan dirinya di tengah-tengah pelbagai tingkatan manusia, yang

harus dipahami sebagai suatu yang telah disusun secara hierarki dan logis ke

dalam tingkatan-tingkatan (derajat) kebaikan yang berdasarkan kriteria al-Qur’an

mengenai kecerdasan, keilmuan dan kebaikan (ihsan) dan harus berbuat selaras

dengan ilmu pengetahuan secara positif, terpercaya dan terpuji. 28

Meskipun dalam bermasyarakat terdiri dari individu-individu, namun roda

kehidupan tidak akan berjalan tanpa adanya kerjasama yang valid dari para

individu-individu tersebut. Satu dengan yang lainnya harus saling menguatkan,

layaknya sebuah onderdil yang lainnya. Seorang muslim yang baik harus dapat

melaksanakan tanggung jawabnya kepada keluarga dan masyarakat. Lebih jauh

lagi taqwa, terangkatnya kondisi spiritualitas ke tingkat yang tinggi dalam Islam,

harus dapat dicapai dengan penuh kesadaran dan keinginan dalam menjalankan

tugas dan kewajibannya kepada diri sediri, Tuhan dan alam. Tak diragukan lagi,

integrasi antara individu dan akhlak yang mulia adalah tujuan akhir dari

kewarganegaraan dan ketrampilan.

Tujuan pendidikan dalam Islam itu bersifat religius.29 Tetapi (din) yang

dimaksudkan oleh Islam bukan hanya bersifat personal, melainkan juga secara

inheren bersifat sosial dan kultural.30 Mengenai sifat agama yang secara sosial

integral, Al-Attas secara cermat telah menganalisis dan menafsirkan makna dasar

dari kata dal-ya’-nun kemudian menyarikannya bahwa makna utama istilah din (

dapat disimpulkan dalam empat unsur yaitu: keberutangan manusia secara (دين

28 Ibid, hlm. 190 29 Muhaimin dan Abd. Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Kajian Filosofis dan Kerangka

Dasar Operasionalnya), (Bandung : Triganda Karya, 1993), Cet. I, hlm. 160

34

eksistensial kepada Tuhan, penyerahan diri manusia kepada Tuhan, pelaksanaan

kekuasaan pengadilan, dan suatu cerminan dari kecenderungan alami manusia

(fitrah) yang kembali pada hari perjanjian pertama. Dengan menganalisis kebih

lanjut, pelbagai derivasi kata-kata din, seperti daina (berutang), da’in (pemberi

utang), dain (kewajiban), dainunah (hukuman/pengadilan) dan idanah

(keyakinan), Al-Attas menghubungkan semua makna tersebut dalam organisasi

masyarakat kosmopolitan dan beradab yang ditunjukkan oleh istilah madinah

(kota), maddna (berbudaya) dan tamaddun (peradaban dan kebudayaan sosial). 31

Lebih lanjut lagi Al-Attas membagi ilmu pengetahuan dalam 2 kategori :

fardhu ‘ain dan fardhu kifayah (kewajiban bagi masyarakat). Al-Attas

mengingatkan kepada kita bahwa pemilihan pelajaran dan bidang yang harus

ditawarkan dan diajarkan di dalam fardhu kifayah hendaknya jangan dijadikan

pilihan pribadi, tetapi lebih merupakan pertimbangan keperluan sosial dan negara.

Menurut pendapat al-Tibawi,32 yang dikutip Al-Attas, beliau mengatakan tujuan

personal pendidikan Islam tradisional secara ringkas, yaitu untuk mencapai

kebahagiaan di dunia dan di akhirat, hal ini lebih konkret dan bermanfaat bagi

individu warga negara dibandingkan tujuan umum masyarakat yang kabur, yang

diformulasikan oleh pemerintah nasional modern.

Pendapat dua tokoh berikut ini pada intinya sama dengan pemikiran al-

Attas seperti yang diungkapkan oleh Abudin Nata.33

Menurut Al-Ghozali ada 2 tujuan dari pendidikan : Pertama, tercapainya

kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah SWT.34

30 S.M.N Al-Attas, op. Cit, hlm. 191 31 Ibid, hlm. 192 32 At-Tibawi adalah pengarang buku “Islamic Education it Tradition and Modernitation in to

The Arab National System”. 33 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan

Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 2, hlm. 64 34 Ibid, hlm. 86

35

Dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara kepada kebahagiaan dunia dan

akhirat.35

Senada dengan tujuan al-Ghazali yang kedua Az-Zarnuji sebagaimana

dikutip Abuddin Nata mengungkapkan tujuan dan niat belajar yang benar adalah

yang ditujukan untuk memberi keridaan Allah, memperoleh kebahagiaan di

akhirat, berusaha memerangi kebodohan pada diri sendiri dan orang lain,

mengembangkan dan melestarikan ajaran Islam serta mensyukuri nikmat Allah. 36

Sudah selayaknya jika pelbagai bentuk sistem Islam, baik dalam bentuk

kuttab, madaris, masajid, khaniqah maupun rumah-rumah pribadi yang tujuan

utamanya adalah pembentukan individu-individu yang baik dan mencapai

kebahagiaan tertinggi di dunia dan di akhirat, dapat menghasilkan banyak

pemimpin politik, cendekiawan, administrator, teknisi dan perajin serta anggota

masyarakat biasa yang tak terhitung jumlahnya. Individu-individu ini semuanya

telah memberikan konstribusi dalam pengembangan Islam, kegiatan keagamaan,

intelektual dan secara universal hasil dihormati dan dikagumi secara jujur

dimanapun mereka berada. Hal yang sama tidak dapat dilihat dari produk

pendidikan bangsa-bangsa muslim modern walaupun memiliki kelengkapan

material dan teknologi yang terus berkembang. 37

Kebingungan yang melanda seluruh jenjang pendidikan dimana saja,

disebabkan oleh kesalahan konsep mengenai kemajuan, yang dipahami dan

disebarkan oleh kelompok pemikir dan pemimpin masyarakat. Konsep tersebut

berpegang bahwa kemajuan manusia itu bersifat evolusioner, masa lalu adalah

irelevent, dan manusia masa depan mewarisi lebih banyak fakta dan pengalaman

atau menjadi lebih baik. 38

35 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), Cet. I, hlm. 87 36 Abuddin Nata, Op. Cit hlm. 109 37 Wan Mohd. Nor Wan Daud, Op. Cit, hlm. 193 38 Ibid, hlm. 194

36

Kesadaran Al-Attas akan sifat sosial yang inheren dalam pendidikan

dimanifestasikan secara nyata dan praktis dalam pemikirannya mengenai materi

dan tujuan lembaga pemdidikan yang beliau dirikan dan pimpin. Pada 1966 saat

beliau pidato pada Congress on The Teaching Profession and Politics di Kuala

Lumpur, pada tanggal 28 Desember, beliau telah menyampaikan dan memikirkan

fakta bahwa problem kepemimpinan di negara yang sedang berkembang berkaitan

dengan kurangnya pendidikan yang tepat untuk kalangan pemimpin dan

masyarakat awam. Pendidikan yang salah mengakibatkan disorientasi aksiologis

dan moral yang korup pada para pemimpin politik yang bercokol di puncak

gelombang kebodohan, tetapi didukung oleh popularitas di bawah naungan

demokrasi.39 Beliau menekankan agar pendidik tidak dilibatkan dalam partai

politik, tetapi dalam pembuatan kebijakan pendidikan bagi para pemimpin dan

masyarakat awam.

D. Ketiadaan Adab

Secara integral bagian dari hikmah dan keadilan adalah ketiadaan adab

yang akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.

Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, kebodohan (humq)

menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Wan Mohd. Nor Wan Daud adalah

melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kegilaan

(junun) adalah perjuangan untuk mencapai tujuan dan maksud yang salah.40

Secara esensial ketiadaan adab akan memicu munculnya sofisme

(kebingungan), berlakunya ketidakadilan disebabkan oleh ketiadaan adab dan

kebingungan dalam bidang ilmu pengetahuan tentu akan merusak tatanan moral

dan pendidikan suatu masyarakat. Adab sebagaimana dijelaskan dalam pikiran

39 Ibid 40 Ibid, hlm. 199

37

yang secara alami akan tercermin dalam fenomena yang berkaitan dengan pribadi

sosial dalam kebudayaan. 41

Kebingungan yang akut karena atau disintegrasi adab, tidak hanya berarti

rusaknya ilmu (corruption of knowledge), tetapi juga ketidakmampuan mengakui

pemimpin yang benar dalam segala bidang, bahkan memberi jalan dan

mendukung munculnya pemimpin gadungan.

Menurut Al-Attas pengaruh negatif dari ketiadaan adab adalah: “Definisi

yang autentik menjadi hancur dan sebagai gantiya, kita mewarisi slogan yang

kabur berkedok konsep, ketidakmampuan untuk mendefinisikan dan mengangkat

masalah, kemudian memberikan solusi yang benar : pemunculan pseudo-problem

; reduksi masalah menjadi sebatas faktor-faktor politik, sosial, ekonomi dan

hukum sudah menjadi kenyataan. Tidaklah mengherankan jika situasi seperti ini

dapat menyuburkan tumbuhnya pelbagai bentuk ekstrimisme yang modal

utamanya adalah kebodohan. 42

E. Makna Pendidikan Islam di Indonesia

1. Tinjauan Kebahasaan

Sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah. Oleh

karena itu sumber pendidikan Islam yang utama juga al-Qur’an dan sunnah

Rasulullah. Dalam dua sumber tersebut dapat dikemukakan kata-kata atau

istilah-istilah yang pengertiannya terkait dengan pendidikan. Yaitu rabba kata

kerja dari tarbiyyah, ‘alama, kata kerja dari ta’lim dan addaba kata kerja dari

ta’dib.

Misalnya : [

با رمهمحا اراني كميبا رغري24:سرأاإل( ص(

41 Ibid, hlm. 200 42 Ibid, hlm. 201

38

Ya Tuhan, sayangilah keduanya (orang tuaku) sebagaimana telah mengasuhku (mendidikku) sejak kecil. 43 (Q.S. al-Isra’ : 24)

لقان خسالإن ل من5: العلق (قع(

Dia yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.44 (Q.S. al-Alaq : 5).

)ممسل رواه( 45 مه أ ادبتك وانت مه أ دبتها

Ibunya telah mendidiknya dan kamu telah dididik oleh ibumu (Sahih Muslim, Kitab Masajid, Hadits no. 66).

Dari pengertian di atas dapat dirinci sebagai berikut :46

a. Kata kerja rabba )ى )رب memiliki beberapa arti, antara lain: mengasuh,

mendidik dan memelihara. Kata-kata yang serumpun adalah kata rabb

)رب( yang berarti memiliki, memimpin, memperbaiki, menambah dan,

kata rabba )ربا( juga berarti tumbuh atau berkembang.

Adapun kata at-tarbiyyah ) ربية )الت yang merupakan bentuk masdar

dari rabba ) ى )رب menurut Imam Badawi dalam kitab tafsirnya “Anwarul

Tanzil wa Astarut Ta’wil, diartikan sebagai penyampaian sesuatu pada

kesempurnaan, secara bertahap atau sesuatu pada kesempurnaan, secara

bertahap atau sedikit demi sedikit. Menurut al-Ashfahani, dalam bukunya

“Mufradatur Raqib”, bahwa kata asal tarbiyah berarti menjadikan atau

mengembangkan sesuatu melalui proses tahap demi tahap sampai batas

kesempurnaannya.47

Selanjutnya Abdur Rahman al-Bani menerangkan lebih lengkap

bahwa, ditinjau dari bahasanya, istilah at-tarbiyah mencakup 4 unsur :

43 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: tp, t.th), hlm. 482 44Ibid, hlm. 1079 45Al-Naisaburi Imam Abi al-Husaini Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim, Juz 1,

(Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1992), hlm. 393 46Achmadi, op. cit., hlm. 14 47Ibid, hlm. 14

39

1) Memelihara pertumbuhan fitrah manusia.

2) Mengembangkan potensi dan kelengkapan manusia yang beraneka

ragam terutama akal dan budinya.

3) Mengarahkan fitrah dan potensi menuju kesempurnaannya.

4) Melaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan

anak.48

Kata tarbiyah yang sering digunakan di negara-negara Arab pada

umumnya banyak diperdebatkan oleh para ahli pendidikan. Hal ini karena

artinya yang sangat luas, yaitu kata tarbiyah digunakan pula untuk

binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau

membela atau menternak.49 Sementara pendidikan yang diambil dari

istilah education itu hanya untuk manusia saja.50

b. Kata kerja ‘allama ) م )عل berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian

atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan.

Al-Qur’an sering menggunakan kata ‘allama, misalnya dalam

firman Allah sebagai berikut :

)31: البقرة( كلها األمساء دمآ وعلم

Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya.51

(al-Baqarah : 31)

الطري منطق علمنا الناس ياأيها وقال

Berkatalah Sulaiman : wahai manusia telah diajarkan kepada kami pengertian bunyi burung.52 (Q. S. an-Naml : 16)

48Abdurrrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fi Madrasati wa

Mujtama', (Darul Fikr: Damsyiq, 1979), hlm. 13 -14, dikutip oleh Achmadi, Paradigma Ilmu-ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Aditya Media, 1997), hlm. 13

49Muhaimin, dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlul Rahman (Studi Kritis Pemikiran Pembaharuan Pendidikan Islam), (Cirebon: Pustaka Dinamika, 1999), Cet. 1,hlm. 9

50Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. 1, hlm. 60 51 Depag RI, op. cit., hlm. 14 52 Ibid, hlm. 595

40

)4- 3: الرمحن( البيان علمه )3( نآالقر علم

Yang telah mengajarkan al-Qur’an mengajarinya pandai pandai berbicara.53

(Q.S. ar-Rahman : 3 dan 4)

Kata ta’lim sebenarnya memiliki arti yang sempit yaitu

“pengajaran”.54

c. Kata kerja addaba ( ةدب ) dapat diartikan mendidik yang lebih tertuju pada

penyempurnaan akhlak budi pekerti. Muhammad Naquib al-Attas dalam

bukunya “The Concept of Education in Islam ” dengan gigih

mempertahankan penggunaan istilah ta’dib untuk konsep pendidikan

Islam, bukan tarbiyah dengan alasan bahwa dalam istilah ta’dib yang

berasal dari kata kerja addaba, mencakup wawasan ilmu dan amal yang

merupakan esensi pendidikan Islam.55

Dari ungkapan beberapa toko di atas kata tarbiyah memiliki makna

yang sangat luas, yaitu merupakan proses penyampaian sesuatu

pengetahuan pada manusia, atau makhluk lainnya. Sedangkan ta’lim

begitu sempit yang hanya mencakup pada ranah psikomotorik dan kognitif

saja. Untukkata ta’dib di dalamnya telah tercakup tiga ranah: kognitif,

afektif dan psikomotorik, dan ini hanya berlaku pada manusia saja.

2. Makna Pendidikan Islam

Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk

membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan

kebudayaan. Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu

masyarakat di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan.

Oleh karena itu, sering dinyatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang

53 Ibid, hlm. 885 54 Muhaimin, op. cit., hlm. 9 55Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, Terj. Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1989),

Cet. 1, hlm. 60

41

peradaban umat manusia. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha

manusia melestarikan hidupnya.56

Sebagaimana yang dikutip Zuhairini dari John S Brubacher dalam

bukunya yang berjudul “Philosophies of Education (Fourth Edition)”, John S.

Brubacher mengemukakan bahwa pendidikan diartikan sebagai proses timbal

balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian dirinya dengan alam,

dengan teman dan dengan alam semesta.57 Demikian pula pendidikan

merupakan pula perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua

potensi-potensi manusia, moral, intelektual dan jasmani (fisik),58 dari segi

fisik dan biologinya manusia hampir sama dengan binatang dalam arti

pertumbuhan dan perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh proses

alami. Tetapi dari segi rohani, spiritual dan moralnya manusia dapat melawan

arus proses alami dan mampu menilai serta mengontrol alam sekitarnya

sehingga ia mampu mengadakan adaptasi dan mengubahnya. Hal ini berbeda

dengan binatang yang keberadaannya secara utuh lebih banyak ditentukan

oleh proses alami dan tidak memerlukan perkembangan moral.59 Dan semua

potensi yang ada pada manusia itu sebagai aktivitas untuk mencapai tujuan

hidup yang akhir.

Sebagaimana tim dosen FIP IKIP Malang menyimpulkan pengertian

pendidikan sebagai berikut :

a. Aktivitas manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan

membina potensi-potensi pribadinya, rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan

hati nurani) dengan jasmani (panca indera serta keterampilan-

keterampilan).

56Tim Dosen FIP IKIP Malang, Kapita Selekta Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, IKIP

Malang, 1981, hlm. 2, dikutip oleh Zuhairini, dkk, FPI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet. 2, hlm. 150 57Ibid. 58Ibid. 59Achmadi, op. cit., hlm. 50

42

b. Lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan)

pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini

meliputi : keluarga, sekolah dan masyarakat (negara).60 Hal ini sejalan

dengan apa yang diuraikan oleh Achmadi dalam bukunya yang berjudul

“Islam sebagai Paradigma Pendidikan” sebagai berikut :

1) Menanamkan iman dan tauhid.

2) Menumbuhkan sikap hormat dan bakti kepada orang tua.

3) Menumbuhkan semangat bekerja dengan penuh dengan kejujuran.

4) Mendorong anak untuk taat beribadah (terutama shalat).

5) Menanamkan contoh kebenaran (ma’ruf) dan menjauhi yang buruk

(munkar).

6) Menanamkan jiwa sabar dalam menghadapi cobaan.

7) Menumbuhkan sikap rendah hati, tidak angkuh, dan sombong dalam

pergaulan.

8) Menanamkan sikap hidup sederhana.61

Apabila sikap hidup dan perilaku seperti tersebut di atas

ditumbuh kembangkan sejak dini akan sangat membekas pada diri

anak dan merupakan landasan kepribadian yang kokoh untuk menuju

terbentuknya pribadi muslim, yaitu kepribadian manusia seutuhnya.62

Sedangkan dalam masyarakat (negara) anak memperoleh

kesempatan berinteraksi sosial yang lebih luas. Menurut Attaumy al-

Syaibani, masyarakat itu sendiri merupakan suatu faktor yang pokok

mempengaruhi pendidikan, di samping ia merupakan arena tempat

berkisarnya pendidikan.63

Ada juga kebutuhan pokok yang sangat diharapkan oleh

60Zuhairini, op. cit., hlm. 151 61Achmadi, op. cit., hlm. 93 - 94 62Ibid. 63Attaumy, Filsafat Pendidikan Islam, Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm.

164

43

pendidikan dari masyarakat :

Pertama, pendidikan dalam arti proses internalisasi nilai dalam

masyarakat ini bersifat informal, tetapi cukup intens karena terjadi

melalui interaksi sosial yang cukup panjang, terus menerus dan

bersifat alami.

Kedua, wahana perluasan wawasan hidup, penguasaan ilmu

pengetahuan dan berbagai keterampilan untuk meningkatkan kualitas

hidup manusia.

c. Hasil atau prestasi yang dicapai perkembangan manusia dan usaha

lembaga-lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Pendidikan dalam

arti ini merupakan tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan sebagai

satu kesatuan.

Dari rumusan di atas masih terlihat keumuman-keumuman makna

atau pengertian pendidikan. Pembentukan pribadi misalnya belum

memberi gambaran konsep kepribadian model yang mana. Demikian juga

perkembangan manusia yang dikehendaki keterpaduannya dengan

masyarakat dan hasil budaya, belum menunjukkan adanya kualifikasi

tertentu.

Untuk itu kualifikasi Islam untuk pendidikan memberikan

kejelasan bentuk konseptualnya. Pembentukan kepribadian yang

dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian muslim dan

kemajuan masyarakat dan budaya adalah tidak menyimpang dari ajaran

Islam.64

Islam memandang pendidikan adalah pemberi corak hitam

putihnya perjalanan hidup seseorang dan oleh karenanya Islam

menetapkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan hidup yang wajib

hukumnya bagi laki-laki dan wanita :

64Zuhairini, dkk, op. cit., hlm. 151

44

ار حدثنا حفص بن ساميان البزاز حدثنا كثري بن شنظري هشام بن عمحدثنا طلب العلم ρقال رسول اهللا : "عن حممد بن سريين عن أنس بن مالك قال

)رواه ابن ماجة (65 ...."فريضة على كل مسلم Cerita dari Hisyam bin Umar kepada Hafs bin Sulaiman al Bizaazi kepada Katsir bin Syundzir dari Muhammad bin Siiriin dari Anas bin Malik berkata: “Bersabda Rasulullah saw: mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim.”

Tiada batasan untuk memperolehnya sampai kemanapun, dan

berlangsung seumur hidup semenjak buaian hingga ajal datang .

Kedudukan itu secara tidak langsung telah menempatkan

pendidikan sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan

manusia.66 Sebagaimana dikutip oleh Zuhairini John Dewey

mengemukakan bahwa pendidikan sebagai satu kebutuhan hidup (a

necessity of life), salah satu fungsi social (a social function), sebagai

bimbingan (as direftion), sebagai sarana pertumbuhan (as growth), yang

mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup.67

Transmisi baik dalam bentuk informasi formal maupun non formal.

Pemenuhan kebutuhan jasmani saja belumlah cukup, melainkan

kebutuhan rohani juga harus terpenuhi, terpenuhinya kebutuhan rohani

bagi manusia menjadi sangat penting kalau hal ini tidak terpenuhi akan

menimbulkan kegelisahan batin dan salah satu usaha untuk memenuhi

kebutuhan batin atau rohani adalah agama.68 Dengan agama akan dapat

mengimbangi gejolak manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan

condong untuk selalu menuntut untuk dipenuhi. Agama merupakan dasar

65Syekh Muhammad Mukhtar Khusain, Zawaid Ibnu Majah, (Beirut: Darul Kutub, t.th), hlm.

58 66Zuhairini, dkk, op. cit., hlm. 152 67John Dewey, Democrazy and Education, (New York: The Free Press, 1996), hlm. 1 – 54,

dikutip oleh Zuhairini, Ibid, hlm. 52 68Ibid

45

utama dalam mendidik anak-anak melalui sarana-sarana pendidikan.

Karena dengan menanamkan nilai-nilai agama akan sangat membantu

terbentuknya sikap dan kepribadian anak kelak pada masa dewasa.

Dengan kata lain, bahwa pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan

kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam

atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat

berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan

nilai-nilai Islam.69

Dalam UUD No. 20 Th. 2003 menyebutkan pengertian pendidikan

adalah usaha sadar dan terancana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran. Agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, masyarakat, bangsa dan negara.70

Dari garis besar pengertian pendidikan di atas Marimba

menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara

sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak

didik menuju terbentuknya kepribadian yang mulia.71

Pendidikan Islam secara konseptual menurut ajaran Islam adalah

merupakan “usaha sadar dalam rangka membimbing dan mempersiapkan

anak atau generasi muda agar mampu melaksanakan tugas-tugas

hidupnya dengan penuh tanggung jawab”.

F. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan

diturunkannya agama Islam itu sendiri, yaitu untuk membentuk manusia muttaqin

69Ibid 70UUD RI No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta Penjelasannya,

(Bandung: Citra Lembara, 2003) hlm. 3 71AD. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Al-Maa'rif, 1989), hlm. 19

46

yang rentangannya tidak terbatas menurut jangkauan manusia.72 Selain itu juga

untuk menyiapkan anak-anak supaya diwaktu dewasa kelak mereka cakap dalam

melakukan pekerjaan dunia dan amalan akhirat, sehingga tercipta kebahagiaan

bersama di dunia dan akhirat. Tujuan umum pendidikan dan pengajaran dalam

Islam ialah untuk menjadikan seluruh umat manusia sebagai abdi atau hamba

Allah SWT.73 Tujuan tersebut kemudian oleh para ahli dijadikan sebagai tujuan

umum pendidikan Islam.74

Tujuan khusus pendidikan Islam adalah merupakan perubahan-perubahan

yang diingini yang merupakan bagian yang termasuk di bawah tiap tujuan umum

pendidikan. Dengan kata lain gabungan pengetahuan, ketrampilan, pola-pola

tingkah laku, sikap, nilai-nilai dan kebiasaan yang terkandung dalam tujuan akhir

atau tujuan umum pendidikan.75

Pengetahuan kita tentang asal kejadian manusia amat penting artinya

dalam merumuskan tujuan pendidikan bagi menusia. Asal kejadian tersebut harus

dijadikan pangkal tolak dalam menetapkan pandangan hidup bagi orang Islam.76

Menurut A. D. Marimba, tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah

terbentuknya kepribadian muslim.77 Sedangkan menurut M. Athiyah al-Abrasy

yang dikutip oleh Omar Muhammad al Touny al-Syaibany bahwa tujuan

pendidikan Islam secara asasi ada 4 :78

1. Untuk membantu membentuk akhlak yang mulia

2. Untuk persiapan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat

72Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: Hidakarya, Agung,

1978), hlm. 10 73N.M. Dahlan dan M.I. Soelaeman, Azaz-azaz Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro,

1988), Cet. 1, hlm. 119 74Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), hlm. 54 75Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan (Suatu Analisa Psikologi, Filsafat, dan

Pendidikan), (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986), hlm. 63 76Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1994), hlm. 34 77AD. Marimba, op. cit., hlm. 49 78Omar Mohammad al Thoum al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan

Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 416 -417

47

3. Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan keinginan batin

untuk mengetahui dan memungkinan ia mengkaji ilmu sekedar sebagai ilmu

dan menyiapkan pelajar dari segi profesional supaya dapat hidup dengan

mulia, di samping memelihara segi kerohanian dan keagamaan.79

4. Persiapan untuk mencari rizki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan.

5. Menyiapkan pelajar untuk dapat memiliki profesi tertentu.

Dalam bukunya “Islam sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan” Achmadi

menyebutkan bahwa tujuan pendidikan terbagi menjadi 2 :80

Pertama : untuk lebih memahami dan menghayati kebijaksanaan Allah

SWT sebagai rabbul ‘alamin dalam membimbing hamba-Nya.

Kedua : untuk merefleksikan pertautan nilai-nilai transendental Illahi

dengan realitas kependidikan.

Prinsip-prinsip dan metode diberikan kepada Muhammad SAW dalam

bentuknya yang lengkap dan final melalui pesan-pesan firman yang diturunkan

dan diabadikan dalam Qur’an melalui watak, sabda dan perbuatan Nabi sendiri.

Firman-firman itu memberikan kepada manusia sebuah hukum yang lengkap

tentang kehidupan. Menurut ajaran Islam kalau seseorang mematuhi hukum itu

dengan jujur dan ikhlas, ia akan tumbuh menjadi manusia yang seimbang dan atas

kehendak Tuhan, ia mungkin akan dapat mencapai tujuannya dan menjadi

khalifatullah, wakil Tuhan di bumi. Karena prinsip pengembangan inilah para

sarjana muslim yang bertemu di konferensi dunia pertama tentang pendidikan

Islam merumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut : 81

Tujuan pendidikan adalah untuk menimbulkan pertumbuhan yang

seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelek, rasional

diri perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya

79Abuddin Nata, FPI, hlm. 54. 80Achmadi, op. cit., hlm. 6 81Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, Terj. Sori Siregar, (Yogyakarta: Pustaka

Firdaus, 1996), Cet. 3, hlm. 2

48

menyediakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya : spiritual,

intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik baik secara individu dan secara

kolektif dan memotivasi semua aspek-aspek untuk mencapai kebaikan dan

kesempurnaan.

Tujuan akhir pendidikan muslim adalah perwujudan penyerahan mutlak

kepada Allah, pada tingkat individual, masyarakat dan kemanusiaan pada

umumnya.

Sejauhmana definisi ini dapat diterima oleh masyarakat modern

tergantung pada penilaian kita terhadap masyarakat itu, bagaimana masyarakat itu

menilai manusia dan takdirnya dan karena itu bagaimana masyarakat

menghendaki kepribadiannya berkembang. Persetujuan masyarakat tersebut juga

tergantung pada pertimbangan-pertimbangan praktis dan historis pada dasar-dasar

kebenaran yang diberikan dalam ajaran Islam.82

Berbicara tentang tujuan pendidikan tidak bisa tidak (harus) mengajak kita

berbicara tentang tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah satu alat

yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival),

baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Manusia dalam usahanya

memelihara kelanjutan hidupnya, berusaha untuk mewariskan berbagai nilai

budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.83 Tidak terbatas pada uraian di

atas bahwa pendidikan itu bertujuan untuk mengembangkan potensi-potensi atau

pembaharuan (fitrah) manusia sejak lahir sehingga potensi tersebut dapat

memenuhi segala kebutuhan manusia itu sendiri atau masyarakat pada umumnya,

untuk menghadapi tantangan-tantangan lingkungan pada zaman yang selalu

berubah.84 Misal pengembangan pada anak sehingga tercipta generasi yang

pandai dan dapat menciptakan alat-alat modern (teknologi canggih) sehingga

82Ibid, hlm. 3 83Tadjab, Perbandingan Pendidikan tentang Beberapa Aspek Pendidikan Barat Modern,

Islam dan Nasional, (Surabaya: Karya Afitama, 1994), Cet. 1, hlm. 58. 84Ibid., hlm. 60

49

dapat menghadapi berbagai masalah-masalah yang muncul seperti gejala alam,

banjir, gempa bumi dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya yang bisa kita

temukan.

Tujuan hidup manusia menurut al-Qur’an adalah untuk mengabdi,

berbakti atau beribadah hanya kepada Allah :

)56: الذاريات. (ليعبدون إلا والإنس الجن خلقت وما

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku.85 (Q.S ad-Dzariyat ayat 56)

Tujuan hidup muslim inilah yang menjadi tujuan pendidikan menurut

ajaran Islam (tujuan pendidikan Islam) sepanjang zaman. Tujuan-tujuan atau

objek pendidikan di atas dapatlah diterjemahkan secara operasional ke dalam

silabus dan mata pelajaran yang diajarkan ke berbagai tingkat pendidikan, mulai

dari tingkat rendah, menengah dan perguruan tinggi, malah juga pada lembaga-

lembaga pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah.86

Struktur perumusan tujuan pendidikan Islam terdiri dari :

a. Tujuan umum yang dikenal pula dengan tujuan akhir.

b. Tujuan khusus sebagai penjabaran dari pada tujuan umum.

c. Tujuan perbidang pembinaan misalnya : tujuan dari pembinaan aspek akal.

d. Tujuan setiap bidang studi sesuai dengan bidang-bidang pembinaan tersebut.

e. Tujuan setiap pokok bahasan yang terdapat dalam setiap bidang studi.

f. Tujuan dari setiap sub pokok bahasan yang terdapat dalam setiap pokok

bahasan.87

Menetapkan tujuan merupakan sesuatu yang penting dalam melaksanakan

sebuah kegiatan, agar cita-cita yang diinginkan dapat tercapai secara maksimal.

Demikian pula pada dunia pendidikan. Banyak para ahli merumuskan tujuan

85Depag RI, op. cit., hlm. 862 86Ibid, hlm. 63 87Abuddin Nata, op. cit., hlm. 57 - 58

50

pendidikan Islam dari yang umum sampai pada yang khusus, tetapi pada

hakikatnya sama, hanya harus kita akui bahwa setiap orang berhak mengeluarkan

ide atau pendapat yang sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing sehingga

terciptalah berbagai rumusan tujuan pendidikan. Tetapi pada hakikatnya tujuan

pendidikan Islam adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dengan

jalan menjadi hamba Allah yang tunduk, patuh dan bertakwa hanya kepadanya,

jika tugas tersebut telah dilaksanakan tentunya manusia akan merasakan

kebahagiaan yang luar biasa.