bab iii pembahasan a. pertimbangan hakim dalam … · a. pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hak...

24
51 BAB III PEMBAHASAN A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hak Asuh Anak Pada Putusan Nomor: 0774/Pdt.G/2012/PA.Pas Pasal 105 KHI berbunyi sebagai berikut : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. 68 Pasal 149 KHI huruf (d) sebagai berikut: Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun. Pasal 156 KHI sebagai berikut : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu; 68 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia Presindo,2007), h 293.

Upload: vodat

Post on 18-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

51

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hak Asuh Anak Pada

Putusan Nomor: 0774/Pdt.G/2012/PA.Pas

Pasal 105 KHI berbunyi sebagai berikut :

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 (dua

belas) tahun adalah hak ibunya.

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk

memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak

pemeliharaannya.

c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya.68

Pasal 149 KHI huruf (d) sebagai berikut:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:

Memberikan biaya hadlanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun.

Pasal 156 KHI sebagai berikut :

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadlanah dari ibunya,

kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan

oleh:

1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu;

68 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia

Presindo,2007), h 293.

52

2. Ayah;

3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4. Saudara perempuan dari anak bersangkutan;

5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari bapak;

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah

dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan

jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah

tercukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan

Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang

mempunyai hak hadhanah pula;

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21) tahun.

e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c),

dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak

yang tidak turut padanya.

Dalam pembahasan ini hanya di batasi mengenai Pasal 105 Kompilasi

Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Sebagaimana telah

53

dikemukakan pada pendahuluan bahwa di dalam pasal 105 huruf (a)

Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Pemeliharaan anak yang belum

mumayyiz atau belum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya”.

Penulis berasumsi pasal ini masih multi tafsir terutama pada kata

“Mumayyiz”, karena baik didalam alquran maupun hadits dan literatur-

literatur fiqh tidak menyebutkan secara tegas berapa usia sebenarnya

seseorang bisa dikatakan telah “Mumayyiz”.

Disamping itu pasal tersebut memakai kata “atau”, hal ini bisa

ditafsirkan adanya pilihan hukum mengenai batas usia seseorang dikatakan

telah “Mumayyiz”. Kalaupun kata “Mumayyiz” dan “atau” dihilangkan dalam

pasal tersebut sehingga menjadi “Pemeliharaan anak yang belum berumur 12

(dua belas) tahun adalah hak ibunya”, apakah yang menjadi dasar hukumnya

sehingga batas usia 12 (dua belas) tahun tersebut dikatakan seorang

anak telah mumayyiz.

Selanjutnya Pasal 105 KHI huruf (b) dinyatakan bahwa “Pemeliharaan

anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara

ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya”. Pasal ini

mempunyai korelasi dan tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 105 huruf (a)

KHI, artinya seorang anak yang telah berusia minimal 12 tahun mempunyai

hak khiyar (memilih) hadhanah apakah ingin diasuh dan/atau dipelihara oleh

ayahnya atau ibunya. Begitu juga dalam Pasal 105 huruf (c) KHI disebutkan

bahwa “biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya”, maksud dalam

pasal ini kurang lebih adalah tidak menjadi persoalan apakah anak tersebut

54

dalam huruf (a) dan (b) pasal 105 KHI tersebut dipelihara oleh ayah atau

ibunya biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya sampai anak

tersebut berumur 21 tahun atau telah menikah sebagaimana pasal 45 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta pasal 149

huruf (d) dan pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.

Sedangkan jika kita melihat pada kasus dalam Putusan Nomor:

0774/Pdr.G/2012/PA.Pas hakim mempertimbangkan Berdasarkan hasil rapat

keluarga pemohon dan termohon telah sepakat untuk membagi hak asuh anak

beserta kesanggupan untuk menyanggupi nafkah anak-anak tersebut. Yang

pada pembagian hak asuh tersebut adalah sebagai berikut: Anak pertama hak

asuhnya diberikan kepada orang tua pemohon, anak keempat hak asuhnya

diberikan kepada kakak termohon, anak kedua dan ketiga hak asuhnya

diberikan kepada termohon . Dan pemohon memberikan nafkah kepada kedua

anak yang diasuh oleh termohon sebesar Rp 600.000, (enam ratus ribu rupiah)

setiap bulan dan tidak menutup kemungkinan memberikan bantuan kepada

kedua anak pemohon dan termohon yang diasuh oleh keluarga jika pemohon

mempunyai rejeki lebih.

Hal tersebut diatas yang menjadi pertimbangan hakim sehingga hakim

memutuskan :

1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya

2. Memberi ijin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’I terhadap

termohon di hadapan sidang Pengadilan Agama Pasuruan

55

3. Menetapkan pemeliharaan anak pertama bernama Jono lahir di Kota

Pasuruan umur 6 tahun di asuh oleh pemohon dan anak kedua, ketiga dan

keempat masing- masing bernama Joni umur 4 tahun, anak ketiga bernama

Jeni umur 3 tahun, dan anak keempat bernama Juna umur 1 tahun diasuh

oleh termohon.

4. Menghukum pemohon untuk membayar nafkah ketiga anaknya tersebut

minimal sebesar Rp. 600.000 setiap bulan sampai anak-anak tersebut

dewasa dan dapat berdiri sendiri.

Dari putusan tersebut di atas ada perbedaan antara Kompilasi Hukum

Islam yang seharusnya apabila anak yang masih belum mumayyiz hak

asuhnya jatuh kepada ibu akan tetapi hakim memutuskan anak yang masih

belum mumayyiz hak asuhnya jatuh kepada ayah. Sedangkan dalam kasus di

atas antara pemohon dan termohon di karuniai empat orang anak. Yang

masing-masing keempat anak tersebut belum mumayyiz . Yang menarik dan

perlu penulis kritisi terhadap putusan diatas kenapa hakim memutus anak

pertama hak asuhnya jatuh kepada ayahnya sedangkan anak kedua, ketiga, dan

keempat jatuh kepada ibu atau termohon. Jika melihat dari umur anak-anak

antara pemohon dan termohon kesemuanya ada di bawah umur atau belum

mumayyiz.

Analisis Penulis

Dalam kaitannya dengan putusan tersebut diatas ada hal yang menarik

perhatian penulis dari sudut pandang fiqih dan peraturan yang berlaku di

Indonesia yaitu siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan pemeliharaan

56

anak terhadap anak yang belum cukup umur akibat perceraian, apakah hal

yang menyebabkan hadhanah seorang anak ada di tangan bapak, apa yang

menjadi pertimbangan hakim memutuskan hak tersebut ada di tangan bapak.

Seperti yang diuraikan sebelumnya dalam permasalahan hadhanah ibu

lebih berhak mendapatkan hdhanah ketika seorang anak masih di bawah umur

dan selama ibu belum menikah. Rasulullah bersabda dalam hadistnya:69

! إنه ابن هما; أنه امرأة قالت: ) ي رسول الله عن ىذا عن عبد الله بن عمرو رضي اللهري لو حواء, وإنه أبه طلهقن, وأراد أن كان بطن لو وعاء, وثديي لو سقاء, وحج

تزعو من ف قال لا رسول الله ملسو هيلع هللا ىلص أنت أحق بو, ما ل ت نكحي ( رواه أح د, وأبو ي ن حو الاكم داود, وصحه

Artinya : Dari Abdullah bin Amar bahwa ada seorang perempuan berkata:

Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang

mengandungnya, susuku yang memberinya minum, dan pangkuanku yang

melindunginya. Namun ayahnya yang menceraikanku ingin merebutnya

dariku. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadanya:

"Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah." Riwayat

Ahmad dan Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim (HR. Abu Dawud).

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa hak asuh anak yang

belum mumayyiz adalah hak ibunya liat Pada Pasal 105 yang berbunyi: Dalam

hal terjadi perceraian: a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau

belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemelihaaan anak yang sudah

mumayyiz diserahkan untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai

pemegang hak emeliharaannya, c) biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.70

Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap kasih sayang serta kesabaran yang

69

Abu Daud Sulaiman bin Al-As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Dasar

Fikr,2003),h 525. 70

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:Akademia Presindo,2007),

h 293.

57

lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika menjaga dan mendidik

anak-anaknya yang masih dalam usia menyusui dan kurang umur ibu memiliki

sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.

Dalam hal terjadi perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi

korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian mereka persoalan akan

segera dapat di selesaikan. Padahal tidak demikian adanya dan tidak sederhana

itu untuk menyeleaikan masalah dengan perceraian. Bahwa penyelesaian

terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun

harus tetap di ingat bahwa anakk adalah individu yang mempunyai hak-hak

dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Oleh karena itu, dalam

kasus perceraian diatas anak merpakan salah satu subjek. Dan kepentingan

anak tetap harus di prioritaskan.

Seorang anak yang belum mumayyiz masih berhak atas pengasuhan

kedua orang tuanya , walaupun orang tuanya sudah bercerai seperti dalam

kasus di atas. Dan pengasuha tersebut semata- mata hanya untuk kepentingan

anak –anak tersebut. Bila nantinya terjadi perselisihan dan penguasaan anak

maka pengadilan memberikan putusan yang seadil-adilnya tanpa sedikitpun

mengurangi hak-hak anak tersebut.

Sesuai dengan rumusan dan makna undang-undang, bahwa dalam

menentukan hak asuh anak yang harus di perhatikan adalah demi kepentingan

hukum anak-anaknya. Jadi hakim harus benar-benar memperhatikan apabila

anak-anak tersebut di pelihara pemohon atau termohon mempunyai jaminan

soasial dan kesejahteraan yang lebih baik atau tidak. Meskipun sebelum di

58

proses ke pengadilan telah terjadi kesepakatan antara keluarga pemohon dan

keluarga termohon untuk membagi hak asuh anak-anak tersebut seperti yang

telah tertera di atas.

Akan tetapi penulis kurang sependapat dengan putusan hakim yang

memberikan hak asuh anak pertama yang masih belum mumayyiz jatuh

kepada ayahnya dan anak kedua, ketiga, dan keempat jatuh kepada ibunya

seharusnya apabila hakim beranggapan ayah lebih layak untuk mengasuh

maka keempat anak tersebut hak asuhnya dijatuhkan kepada ayahnya saja

dengan alasan ibu kurang perhatian terhadap anak-anaknya dan sering keluar

dengan alasan yang tidak jelas. Akan tetapi kalau pendapat penulis

pribadikarena keempat anak anatara pemohon dan termohon masih belum

mumayyiz maka sebaiknya hak asuh anak diserhakan kepada ibu dengan

pemantauan dari kedua pihak keluarga pemohon dan termohon. Sehingga

masa depan dan kehidupan anak-anaknya akan terjamin baik nafkah,

pendidikan dan kebutuhannya lainnya.

B. Upaya Pengadilan Agama Pasuruan Untuk Terlaksananya Eksekusi

Hadhanah

Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah dapat di

pastikan akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak

tanpa terkecuali.

Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum akan membawa

konsekuensi hukum, berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara

59

orang tua dengan anaknya.71

artinya anak mempunyai hak tertentu yang harus

di penuhi oleh orang tuanya sebangai kewajibannya,dan sebaliknya orang tua

juga mempunyai hak yang harus di penuhi oleh anaknya sebagai

kewajibannya.

Dalam hal terjadinya perceraian, biasanya anaklah yang menjadi

korban. Orang tua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan

anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan.

Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya. Seperti

telah diketahui bersama bahwa permasalahan pengasuhan anak sering timbul

dalam kehidupan manusia, sebagai akibat dari perceraian yang di lakukan oleh

orang tuanya.

Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada

didekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua

orangtua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam

penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya

berdasarkan putusan hakim yang memutuskan perceraian mereka.

Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan

Agama yang diterima oleh kedua belapihak yang berperkara, putusan

perdamaian, putusan vrestek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau

banding, putusan pengadilan tinggi Agama yang diterima oleh kedua

belapihak dan tidak dimohonkan kasasi dan putusan Mahkama Agung dalam

hal kasasi.

71

L.J Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum,( Jakarta: Pradnya Paramita, 1980),h.53.

60

Menurut sifatnya ada tiga macam putusan, yaitu:72

1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau

menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu di eksekusi.

2. Putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu

keadaan,tidak perlu dilaksanakan.

3. Putusan condemnatoir, merupakan putusan yang biasa dilaksanakan, yaitu

putusan yang berisi penghukuman,dimana pihak yang kalah dihukum

untuk melakukan sesuatu.

Eksekusi putusan hadhanah tidak diatur secara tegas dalam HIR –

R.Bg., atau peraturan perundang lain yang berlaku khusus bagi Pengadilan

Agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi

putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hadhanah itu tidak dijalankan

melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku

secara umum.

Sebagaimana pendapat bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH., M.H.

Bahwa putusan itu harus dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta atau pihak

yang menang mengajukan permohonan eksekusi atau putusan hakim yang

sudah berkekuatan hukum tetap.73

Artinya seseorang dapat mengajukan

permohonan eksekusi hadhanah terhadap putusan yang sudah berkekuatan

hukum tetap, guna mendapatkan hak pemeliharaan anaknya.

72

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama,Buku II,(Jakarta:

Mahkamah Agung RI,2007),h.433. 73

Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10

November 2016.

61

Hakim hanya bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan

tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan,

artinya apakah aka nada proses perkara atau tidaknya hakim tidak akan

mencari, tetap hanya menunggu.

Sepedapat dengan beliau, menurut penulis berdasarkan data putusan

Pengadilan Agama Pasuruan pada tahun 2012 tentang hadhanah, hakim telah

memutuskan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak

(hadhanah). Maka apabila pihak tersebut belum mendapatkan haknya, maka

dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah kepada ketua Pengadilan

Agama Pasuruan dengan dalil tidak dilaksanakannya putusan tersebut.

Setelah putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dan telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut harus di jalankan.

Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat sekarang ini pihak yang

dikalahkan tidak mau menyerahkan anak tersebut kepada pihak yang berhak.

Apabila terjadi hal yang demikian itu, ibu atau ayah dapat memohon eksekusi

kepada ketua Pengadilan Agama.

Tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang

dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini

dapat tercapai apabila putusan Hakim dapat dilaksanakan.74

Suatu putusan Hakim tidak akan ada artinya apabila tidak di eksekusi.

Oleh karena itu putusan Hakim itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu

74

Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama,h.313.

62

kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan ini secara

paksa oleh alat-alat Negara.

Analisis Penulis

Sampai saat ini, eksekusi hak asuh anak (hadhanah) masih

diperselisihkan. Sebagaimana para ahli hukum mengatakan bahwa anak tidak

dapat dieksekusi, sedangkan sebagian lain lagi yang lain mengatakan bahwa

putusan mengenai hak asuh anak dapat di ekskusikan.

Para ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh

dilaksanakan beralasan bahwa selama ini dalam praktik pengadilan yang ada

tentang eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap

orang. Oleh karena itu, eksekusi terhadap hak asuh anak sesuai dengan

kelaziman yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi eksekusinya bersifat

deklatoir (menetapkan). Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi

hak asuh anak hanya bersifat sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya

paksa.

Sedangkan ahli hukum yang memperolehkan eksekusi terhadap hak

asuh anak dapat di jalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum yang di

anut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang

putusannya bersifat menghukum (condemnatoir), jika sudah berkekuatan

hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai

upaya paksa dalam melaksanakan putusan ini.

Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya yang

tidak berhak sebagai akibat putusan perceraian, maka Pengadilan Agama

63

dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan kepada

salah satu orangtua yang berhak untuk mengasuhnya.

Dalam pembahasan ilmu hukum, suatu putusan Hakim itu dapat

dilakukan dengan dua cara, yaitu:75

1. Secara sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah

dengan sukarela mentaati putusan tanpa pihak yang menang harus

meminta bantuan pengadilan atau mengeksekusi putusan tersebut.

2. Secara paksa, dalah putusan yang mana pihak yang menang dengan

meminta bantuan alat negara atau pengadilan untuk melaksanakan

putusan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara

sukarela.

Ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh pengadilan, lalu pihak yang

dikalahkan tidak mau menyerahkan anak sebagai objek sengketa secara

sukarela, maka akan ditempuh prosedur eksekusi hak asuh anak (hadhanah).76

Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi

putusan di Pengadilan Agama tidak hanya terbatas dalam bidang hukum

benda, dalam prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan telah mencakup

dalam eksekusi putusan hak asuh anak (hadhanah). Eksekusi hak asuh anak

merupakan sejumlah permasalahan yang begitu penting karena objek

perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup

rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan.77

75

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan

Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.436. 76

Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada PengadilanAgama,h.313. 77

Abdul Manan, Penerapan HukumAcara Perdata,h.435.

64

Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang memenuhi syarat

untuk dilaksanakan eksekusi, yaitu:

1) Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal :

pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih

dahulu, pelaksanaan putusan provisi, pelaksanaan akta perdamaian,

pelaksanaan (eksekusi) Grosse akta.

2) Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun

telah diberikan peringatan oleh ketua Pengadilan Agama.

3) Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir, yaitu putusan yang amar putusan

bersifata menghukum atau memerintahkan pihak yang kalah untuk

memenuhi suatu prestasi tertentu.

4) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua Pengadilan

Agama.

Dalam hal ini Pengadilan Agama yang dimaksut adalah Pengadilan

Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang

diberikan delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya.

Pengadilan Agama yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah

Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang

melakukan eksekusi.78

Mengenai pelaksanaan putusan yang tidak dilaksanakan pasal 196 HIR

menyebutkan bahwa:

78

Mukti Arto,Praktek Perkara Perdata pada PengadilanAgama,h.313.

65

“Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi

keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan

permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat kepada ketua pengadilan

negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195 HIR, buat menjalankan

keputusan itu ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta

memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu didalam tempo yang

ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.79

Sebagaimana bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH., M.H.

Mengatakan, bahwa dasar hukum yang dipakai dalam melaksanakan eksekusi

hadhanah, tetap menggunakan HIR (untuk wilayah jawa) dan RBG (untuk luar

jawa), eksekusi secara umum menggunakan aturan itu, terkait nafkah iddah,

hadhanah, putusan pengadilan harus dilaksanakan menggunakan aturan-aturan

umum. Dulu sebelum undang-undang nomor 7 tahun 1989 ada, eksekusi

keputusan Pengadilan Agama harus minta bantuan Pengadilan Negeri akan

tetapi sekarang Pengadilan Agama bisa melaksanakan eksekusi sendiri namun

tetap aturannya menggunakan HIR atau RBG.80

Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadhanah harus melalui

prosedur hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai

dengan prosedur hukum yang ditetapkan maka eksekusi tidak sah dan harus

79

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB). 80

Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10

November 2016.

66

diulang.81

Adapun prosedur eksekusi putusan hadhanah secara kronologis

dapat dirinci sebagai berikut:

1. Putusan hadhanah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap

2. Pihak yang kalah tidak mau melaksankan putusan hadhanah secara

sukarela

3. Pihak yang menang (Pemohon) mengajukan permohonan eksekusi kepada

Pengadilan Agama yang memutus perkara hadhanah

4. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang Aanmaning

5. Telah melewati tenggang waktu atau teguran sesuai dengan pasal 207

R.Bg

6. Ketua Pengadilan Agama mengeluarkan surat perintah eksekusi

7. Pelaksanaan eksekusi ditempat termohon eksekusi yang dihukum untuk

menyerahkan anak

8. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsur

sebagaimana tersebut dalam 210 ayat 2 R.Bg

9. Juru sita mengambil anak secara baik-baik sopan dan dengan tetap

berpegang kepada adat istiadat yang berlaku, kalau tidak di serahkan

secara sukarela maka dilaksanakan secara paksa

10. Juru sita membuat berita acara eksekusi yang ditanda tangani oleh jurusita

beserta dua orang saksi sebanyak lima rangkap.

Lebih lanjut pasal 180 HIR menyebutkan bahwa, ketua pengadilan

dapat memrintahkan supaya suatu putusan dilaksakan terlebih dahulu

81

Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata,h.437.

67

walaupun ada upaya banding82

. Dalam pasal 64 undang-undang Peradilan

Agama, putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau karasi

pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila apabila dalam amannya

menyatakan putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada

perlawanan banding atau kasasi.83

Jadi, terkait dengan eksekusi putusan mengenai hak asuh anak

(hadhanah) harus melihat kembali pada amar putusan tersebut apakah dalam

amar putusan tersebut telah ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat

dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi atau tidak

apabila amar putusan menyatakan dapat dieksekusi walaupun ada upaya

hukum banding maupun kasasi, maka putusan tersebut dapat langsung

dieksekusi.

Namun, dalam pelaksanaannya eksekusi mengenai hadhanah ini

menimbulkan banyak kesulitan, karena hal ini berbeda dengan eksekusi

perdata lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh bapak Drs.H. Chafidz

Syafiuddin. SH., M.H, beliu mengatakan ada beberapa faktor yang

menyebabkan sulitnya eksekusi putusan hadhanah.84

Pertama, memang indonesia itu apabila merasa dikalahkan dalam

persidangan, mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak

adil atau hukum tidak adil, artinya kesadaran atau ketaatannya kepada hukum

itu masih rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap “diperlakukan

82

Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB). 83

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah

dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 84

Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10

November 2016.

68

tidak adil” keputusan tata usaha Negara saja kalau perintah disalahkan, apakah

pemerintah itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di indonesia.

Artinya pemerintah itu adalah orang yang mengerti hukum tetapi ketika

putusan tata usaha Negara merugikan pihak pemerintah terjadi juga perasaan

berat untuk melaksakan putusan tersebut.

Kedua, karena si anak ada di salah satu orang tuanya ( ibu/bapak )

ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk

mencarinya akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaian bukan lewat

pengadilan lagi melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak,

akibat tidak patuhnya terhadap hukum dan putusan pengadilan eksekusi

terhadap hadhanah ini termasuk perkara yang berat untuk diadili yang bapak

ibunya itu benar-benar tidak mau mengalah dan tetap mempertahankan

anaknya.

Jadi, dapat diketahui bahwa penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi

mengenai hadhanah dimaulai dari pihak yang tidak patuh dan hormat kepada

hukum dan pengadilan sehingga mereka tidak mau menjalankan isi putusan,

kemudian ditambah masalah berpindah-pindahnya wilayah tempat tinggal

yang dimana anak tersebut ada para pihak yang dikalahkan dan tidak diketahui

keberadaannya lagi. Apabila sudah seperti itu maka sulit untuk dilaksanakan

eksekusi, karena sudah bukan ranah Pengadilan lagi akan tetapi sudah

dikembalikan pada masing-masing pihak karena Pengadilan tidak mengurusi

sampai sejauh itu.

69

Berikut beberapa langkah untuk mencegah kemungkinan-

kemungkinan akan hampanya putusan hadhanah, yaitu sebagai berikut:

1. Mediasi sebagai penyelesaian Alternatif

Mediasi adalah sebuah lembaga perdamaian dalam rangka

meyelesaikan sengketa dengan perantaraan seorang atau lebih mediator

melalui prosedur non litigasi. Di samping itu mediasi merupakan salah

satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat

memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan

penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan islam

menyuruh untuk menyelesaikan setip perselisihan dengan melalui

pendekatan “islah” karena itu, tepat bagi para Hakim Pengadilan Agama

untuk menjalankan fungsi “mendamaikan” sebab bagaimanapun adilnya

suatu putusan, pasti lebih indah dan lebih adil hasil putusan itu berupa

perdamaian.85

Hukum acara yang berlaku, pasal 130 HIR / pasal 154 R Bg

mendorong pengadilan untuk menempuh proses perdamaian yang dapat

diintensifikan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam

prosedur perkara dipengadilan sejalan dengan hal tersebut Mahkamah

Agung telah menerbitkan peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di pengadilan.

Dalam pasal 2 ayat (3) peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

Tahun 2008 tersebut ditegaskan bahwa apabila tidak menempuh mediasi

85

Ahmad Mujahidin,Pembahruan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama

danMahkamah Syariah di Idonesia, (Jakarta: IKAHI,2008),h.13.

70

berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan

pasal 130 HIR / pasal 154 R Bg yang mengakibatkan putusan batal demi

hukum ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur mediasi dalam proses

peradilan merupakan ketentuan imperatif.

Terkait dengan mediasi perkara sengketa hak asuh anak

(hadhanah), prosedur mediasi ini menjadi sangat penting bukan saja

karena ketentuan imperatif hukum acara atau karena kepentingan

penggugat dan tergugat, melainkan yang lebih penting justru karena

menyangkut pertimbangan semata-mata untuk kepentingan terbaik bagi

anak agar dapat menekan seminimal mungkin dampak buruk baik secara

psokologis, emosional, sosial, intelektual maupun spiritual bagi si anak

tersebut akibat dari persengketaan antara kedua orang tua anak itu.

2. Menerapkan lembaga Dwangsom dalam putusan hadhanah

Dwangsom atau lengkapnya dwangsom of astreinte (Belanda):

uang paksa, sejumlah uang yang harus di bayar oleh seseorang sebagai

hukuman berdasarkan putusan pengadilan, sepanjang atau sesering ia tidak

memenuhi kewajiban pokok yang dibebankan kepadanya oleh keputusan

pengadilan itu.86

Bahwa yang dimaksut dwangsom adalah uang paksa, sebegitu jauh

pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk

membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa

jika, selama atau manakala si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan

86

Andi Hamzah, Kamus Hukum, ( Jakarta:Ghalia Indonesia,1986), Cet.I,h.163.

71

tersebut, iapun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam

putusan itu, uang mana disebut uang paksa. Dengan demikian maka uang

paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tak langsung.87

Persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan lembaga

dwengsom dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para

praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwengsom ini tidak boleh

diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagai

praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat

juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan

dwengsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi outusan hakim jika ia

mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak

melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya maka dapat

disimpulkan atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir

menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah

apabila penerapan itu untuk tujuan kemaslahatan.88

Sebagaimana pendapat bapak Drs.H. Chafidz Syafiuddin. SH.,

M.H bahwa, bisa saja dengan putusan dwangsom (denda keterlambatan)

denda perhari. Pengadilan mungkin kalau ada permintaan itu bisa saja

memberikan pertimbangan, misalnya 500 ribu perhari apabila tidak

melaksanakan isi putusan.89

Artinya bisa saja dwangsom ini diterapkan

87

Soebekti, Kamus Hukum,(Jakarta: Pradnya Paramita,2005),Cet. XVI,h.37. 88

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan

Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.438. 89

Wawancara Pribadi dengan Drs. H. Chafidz Syafiuddin,SH.,M.H. Pasuruan, 10

November 2016.

72

melalui pertimbangan hakim, akan tetapi permohonannya tersebut harus

diletakkan dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama

dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum atau juga

dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak

bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh

hakim.

Dasar pemberlakuan/penerapan lembaga dwangsom (uang paksa)

dalam paraktek peradilan di indonesia adalah mengacu pada pasal 606 (a)

dan (b) Rechtsvordering pasal 606 a: “spanjang suatu putusan hakim

mengandung hukuman untuk suatu yang lain dari pada membayar

sejumlah uang, dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali

terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan

sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang

tersebut dinamakan uangpaksa”. Pasal 606 (b) : “bila putusan tersebut

tidak di penuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk

melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah

ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh atas hak baru menurut

hukum”

Sedangkan dalam R Bg dan HIR lembaga dwengsom tidak

disebutkan secara rinci lembaga dwangsom melalui dipergunakan oleh

raad van justice dan Hoegerechtteschof sejak tahun 1938 meletakkan

lembaga dwangsom merupakan tindakan logis yuridis dengan tujuan untuk

73

memaksa orang yang dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak main-

main dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim.

Dengan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dwangsom

adalah suatu hukum tambahan pada orang yang dihukum untuk membayar

sejumlah uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan

maksut agar ia bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana

mestinya.

Dengan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom

adalah sebagai berikut:90

1. Merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman

pokok, apabila hukuman pokok sudah dilaksanakan maka dwangsom

yang ditetapkan bersama hukuman pokok tidak mempunyai kekuatan

lagi.

2. Merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang

ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat (yang dihukum)

maka dwangsom itu dapat dieksekusi),

3. Merupakan hukuman psychis, dengan adanya dwangsom yang

ditetapkan oleh hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum

itu ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela melaksanakan

hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim.

Agar lembaga dwangsom ini dapat di cantumkan dalam putusan

hakim, maka penggugat harus meminta diletakkan dwangsom ini dalam

90

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan

Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.439.

74

surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama dengan

menyabutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Alasan ini dapat

berupa hal yang dijanjikan sebelumnya antara penggugat dan tergugat,

atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat

yang tidak bersedia melaksanakan hukuman sebagaimana yang ditetapkan

oleh hakim.91

Dwangsom berbeda dengan ganti rudi sebagaimana diatur dlam

pasal 225 HIR, dan berbeda pula dengan kompensasi yang dikenal dalm

hukum perdata, sebab dalam dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam

putusan hakim tetap ada dan tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan

demikian lembaga dwangsom ini sangat tepat apabila deletakkan pada

putusan hadhanah karena dwangsom tersebut merupakan salah satu

strategis yang diyakini dapat mencegah putusan hadhanah menjadi ilusoir (

hampa ) yang memang selama ini disinyalir banyak putusan hadhanah

yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

91

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan

Agama,(Jakarta:Kencana,2005),h.440.