bab iii pelayanan pastoral rumah sakit kristen...

33
39 BAB III PELAYANAN PASTORAL RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA WAIKABUBAK 3. Gambaran Lokasi Penelitian 3.1. Kota Waikabubak Penelitian ini penulis lakukan khususnya di daerah Kota Waikabubak. Kota Waikabubak adalah ibukota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia yang merupakan kota terbesar kedua di Pulau Sumba setelah Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan data BPS tahun 2015, kota ini memiliki jumlah penduduk 121.921.00 jiwa dengan luas daratannya 4.051,9 kilometer persegi. Di Waikabubak terdapat bebrapa kampung adat Sumba, diantaranya kampung adat Tarung. Kampung ini berisi tiga puluh tujuh rumah adat khas Sumba yang beratap ilalang. Rumah adat terbagi tiga bagian yaitu: bagian bawah untuk kandang ternak, bagian tengah sebagai tempat tinggal penghuni, dan bagian atas tempat menyimpan bahan pangan. 1 Penduduk Pulau Sumba menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba, artinya Tanah Sumba. Menurut tradisi Sumba, nama ini berasal dari nama istri nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yaitu Humba. 2 1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat dalam Angka, BPS Kabupaten Sumba Barat, 2016, 56. 2 F. D. Wellem, Injil........, 15.

Upload: voliem

Post on 06-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

39

BAB III

PELAYANAN PASTORAL RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA

WAIKABUBAK

3. Gambaran Lokasi Penelitian

3.1. Kota Waikabubak

Penelitian ini penulis lakukan khususnya di daerah Kota Waikabubak. Kota

Waikabubak adalah ibukota Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara

Timur, Indonesia yang merupakan kota terbesar kedua di Pulau

Sumba setelah Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan data BPS tahun

2015, kota ini memiliki jumlah penduduk 121.921.00 jiwa dengan luas daratannya

4.051,9 kilometer persegi. Di Waikabubak terdapat bebrapa kampung adat

Sumba, diantaranya kampung adat Tarung. Kampung ini berisi tiga puluh tujuh

rumah adat khas Sumba yang beratap ilalang. Rumah adat terbagi tiga bagian

yaitu: bagian bawah untuk kandang ternak, bagian tengah sebagai tempat tinggal

penghuni, dan bagian atas tempat menyimpan bahan pangan.1

Penduduk Pulau Sumba menyebut pulau mereka dengan nama Tana Humba,

artinya Tanah Sumba. Menurut tradisi Sumba, nama ini berasal dari nama istri

nenek moyang pertama orang Sumba yang datang dan mendiami Sumba, yaitu

Humba. 2

1 Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat dalam Angka, BPS

Kabupaten Sumba Barat, 2016, 56. 2 F. D. Wellem, Injil........, 15.

40

Pada umumnya budaya masyarakat Waikabubak adalah budaya heterogen

yang terdiri dari berbagai suku yaitu budaya suku Sumba Barat maupun suku-

suku pendatang seperti : Sabu, Rote, Jawa, Batak, Ambon maupun suku-suku lain.

Keberadaan suku pendatang ini dikarenakan oleh kawin mawin (kawin campur)

maupun karena tuntutan kerja dan harus menetap dalam waktu yang cukup lama

di Waikabubak. Bukan hanya budaya saja tetapi juga dalam agama. Masyarakat

Waikabubak memiliki kepercayaan yang berbeda-beda. Ada yang beragama

Kristen Protestan, Kristen Katholik, Islam, Hindu, Budha, Yehova dan masih

banyak yang menganut agama suku yaitu Marapu.

Orang Sumba pada mulanya tidak menganut agama resmi di Indonesia dan

suku bangsa Sumba mengidentifikasi dirinya sebagai orang Marapu. Seluruh

bidang kehidupan orang Sumba terikat dengan pemahaman tentang Marapu. Para

ahli memberikan beberapa pengertian atau defenisi tentang Marapu. L. Onvlee

berpendapat bahwa kata Marapu terdiri dari dua kata yaitu ma artinya yang dan

rapu artinya dihormati. Berdasarkan data diatas penulis melihat bahwa ketika

istilah Konseling Lintas Agama dan Budaya ini hadir maka akan menunjukkan

pengaruh dalam kelompok yang Kristiani dan non-Kristiani juga adanya

kesadaran bahwa budaya masing-masing memiliki corak yang berbeda.

3.2. Rumah Sakit Kristen Lende Moripa

Di tengah kehidupan masayarakat Sumba Barat yang masih sangat kental

dengan budaya dan adat istiadat terhadap kepercayaan Marapu, hadirlah injil

dalam kehidupan masyarakat di Sumba. Dalam pekabaran Injil dibagi dua tugas

41

pelayanan yang utama adalah pemberitaan firman sakramen-sakramen sedangkan

pelayanan yang kedua adalah kegiatan dalam bidang pendidikan, kesehatan,

hukum dan pembangunan masyarakat.

Kegiatan pelayanan penunjang dipandang bukan sebagai kegiatan pekabaran

injil, melainkan sebagai kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan

pelaksanaan kegiatan pelayanan utama dapat berhasil dengan baik. Hal ini

merupakan kegiatan penunjang bagi usaha pekabaran Injil dan bukan usaha

pekabaran Injil itu sendiri.3

Berdasarkan dengan temuan ini maka penulis melihat bahwa ungkapan

seperti diatas sama dengan ungkapan menurut Ketua Umum Majelis Sinode gereja

Kristen Sumba bahwa,

Terkait dengan maka pelayanan umum pastoral di lingkungan sinode

khususnya untuk dua Rumah sakit Lindimara dan Lende Moripa kita

punya tenaga pendeta yang ada disana. Artinya gereja menyadari

pelayanan-pelayanan pastoral di Rumah sakit sangat penting. Oleh

karena itu dalam kebijakan umum Gereja Kristen Sumba, karena

Rumah sakit ini adalah milik dari Gereja maka dilakukanlah proses

penempatan pendeta yang ada di Rumah sakit Lende Moripa ada dua

pendeta dan di Lindimara satu pendeta. Setelah ini nanti baru kita utus

satu vikaris untuk di Tahbiskan di Rumah Sakit Lindimara. Dalam

kebijakan kita sebagai gereja GKS, kita memandang bahwa pastoral

terhadap orang-orang sakit itu penting tanpa kita melihat pasien-

pasien ini mereka dari mana. 4

Injil diberitakan ke seluruh Sumba, bukan saja dengan kata-kata (verbal)

tetapi juga dengan tindakan-tindakan konkret, yaitu usaha di bidang pendidikan,

kesehatan, bahasa dan pembangunan ekonomi masyarakat. Khususnya dalam

bidang kesehatan. Di Sumba Barat upaya pengobatan dimulai oleh L.P. Krijger di

3 F. D. Wellem, Injil........, 113.

4 Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17.

42

Karuni. Pada tahun 1916 pemerintah mendirikan sebuah rumah sakit di Karuni,

sementara penyelengaraannya diserahkan pada zending. Zending mengutus

seorang perawat ke Karuni pada tahun 1920 yaitu G. Zigterman (1920-1941). Di

samping perawat, Zigterman juga bertugas sebagai kepala asrama sekolah standar

disini. Pada tahun 1922, pemerintah juga membangun sebuah poliklinik di

Waikabubak, sementara penyelengaraanya diserahkan kepada zending.5

Seiring dengan perkembangan politik dan pemerintahan di Sumba yaitu

Waikabubak menjadi ibukota Sumba Barat dan Waingapu sebagai ibukota Sumba

Timur, zending hendak membangun rumah sakit poliklinik saja. Selain tenaga-

tenaga pribumi yang bekerja sebagai perawat, tenaga pribumi juga bekerja sebagai

perawat rohani bagi para pasien di rumah-rumah sakit. Penempatan seorang

perawat rohani sangat berkaitan dengan tujuan usaha zending dalam bidang

kesehatan yaitu sebagai tempat dan sarana bagi pemberitaan Injil dan kasih

kekristenan. Seorang F. Supusepa, pensiunan kepala sekolah diangkat sebagai

perawat rohani pada Rumah Sakit di Waikabubak sedangkan pendeta utusan di

Payeti bertanggung jawab atas perawatan rohani pada Rumah sakit di Payeti.6

Setelah Jepang menyerah, rumah-rumah sakit Zending berada di tangan

pemerintah, namun kemudian rumah-rumah sakit ini diserahkan kembali kepada

zending. Zending tetap mengutus tenaga dokter ke Sumba hingga tahun 1970 dan

tenaga medis hingga tahun 1972. Untuk menyelenggarakan rumah-rumah sakit

yang dimiliki GKS pada tahun 1950 dibentuk sebuah yayasan yang diberi nama

Yayasan untuk Menyelenggarakan Rumah-rumah Sakit Kristen di Sumba

5 F. D. Wellem, Injil........, 179.

6 F. D. Wellem, Injil........, 180-181.

43

(Yumerkris). Yayasan inilah yang menyelenggarakan kedua rumah sakit yang

dimiliki GKS, Rumah Sakit Lindimara di Waingapu, Sumba Timur dan Rumah

Sakit Lende Moripa di Waikabubak, Sumba Barat serta membuka sejumlah balai

pengobatan di seluruh Sumba. Lindi mara (bahasa kambera) dan Lende Moripa

(bahasa Waijewa) artinya Jalan kehidupan.

Pada tahun 1962, yayasan ini mengelola dua rumah sakit yang berfungsi

pula sebagai rumah sakit umum dan 12 balai pengobatan. Pada tahun 1978

yayasan ini memiliki 2 rumah sakit, 4 puskesmas dan 10 balai pengobatan. 7

Penulis menemukan dalam hasil penelitian bahwa hal inilah yang menjadi

jembatan dimana relasi antara Rumah Sakit dan Sinode. Sehingga terciptalah

kerja sama anatara Rumah Sakit Kristen Lende Moripa di Waikabubak dengan

sinode Gereja Kristen Sumba. Kerja sama ini lebih spesifik pada pelayanan

pendeta konselor yang di tempatkan dalam Rumah Sakit.

Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh direktur Rumah sakit Kristen

Lende Moripa bahwa dalam perjalananya rumah sakit ini, ada perhatian khusus

yang diberikan oleh sinode untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat

Sumba bukan hanya dalam tindakan medis tetapi juga bagi spiritualitas yang

membutuhkan sentuhan kerohanian.

Memang kebijakan pendeta Rumah sakit disini bukan sebagai

tambahan tetapi sebagai sesuatu yang pokok sehingga kalau kita lihat

bahwa di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa pendeta rumah sakitnya

ada dua itu terjadi karena memang Rumah Sakit bersama Yurmekris

melihat bahwa pelayanan patoral ini sesuatu yang sangat penting.

Memang secara garis besar kita berpengharapan bahwa pasien yang

pernah di rawat di Rumah Sakit ini bisa mengalami dan bertemu

dengan pendeta. Setidaknya opname tiga hari nah dalam sehari itu

7 F. D. Wellem, Injil........, 263.

44

bisa bertemu dengan pendeta. Hanya memang keterbatasan kita

dengan ketenagaan. Memang dengan dua orang pendeta yang

walaupun masih susah dalam membagi waktu berkunjung tetapi ya

50% kita melihat pelayanan pastoral ini penting karena sejak dulu,

sejak Rumah Sakit didirikan oleh sending Belanda, walaupun dulu

belum ada secara khusus pendeta tetap melakukan pelayanan pastoral

dalam bentuk perkunjungan dan doa itu sudah di anggap sesuatu yang

penting. Rupa-rupanya pendahulu-pendahulu kita menyadari dan

menganggap bahwa sakit itu bukan hanya karena faktor fisik, tetapi

banyak juga sakit yang berkaitan dengan sakit secara psikologis.8

Berdasarkan ungkapan ini maka penulis melihat bahwa konseling pastoral

yang dijalankan bukanlah hal baru tetapi memang sudah berlangsung sejak dahulu

kala saat Rumah Sakit ini dibangun, namun perlu bagi pihak rumah sakit dan

pendeta konselor untuk mengembangkan dan memperkenalkan makna dari

konseling tersebut karena kebanyakan orang seperti di Sumba belum terlalu

mengetahui peran dan fungsi dari konseling pastoral, mereka hanya mengetahui

bahwa konseling itu adalah perkunjungan dan doa. Melihat juga adanya

perbedaan budaya dan kepercayaan maka teknik dan pendekatan perlu untuk lebih

menjadi perhatian para konselor.

3.3. Marapu di Kota Waikabubak

Eksistensi orang Marapu yang masih kental di Waikabubak merupakan

suatu anugerah bagi kemajemukan bangsa Indonesia. Tercatat menurut data

Badan Pusat Statistik (BPS) sampai tahun 2005, jumlah orang Marapu di

mencapai 20 % (78.901 jiwa dari 393.475 jiwa) dan merupakan pemeluk agama

terbanyak ketiga setelah Kristen Protestan dan Katolik di Kabupaten Sumba

Barat.9 Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak sekali penduduk di Kota

Waikabubak dan sekitarnya yang memegang teguh kepercayaan dan adat istiadat

8 Wawancara dr. Loeta Lapoe Moekoe selaku Direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa, tanggal

15/01/17 9 Yendri A.H.Y. Leyloh. 2007. Identitas Marapu berhadapan dengan Gereja dan Program Pariwista

di Sumba Barat-NTT, hal. 127

45

asli mereka, namun pencarian data jumlah penduduk beragama Marapu terkini

menemui kesulitan karena data BPS terbaru sudah tidak mencantumkan lagi

penganut agama lokal atau jumlah penganut agama Marapu tercatat sebanyak 0.00

jiwa.10

Dari temuan hasil penelitian di lapangan, ternyata penduduk yang masih

menganut agama Marapu di dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) tercatat sebagai

penganut agama resmi negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Pdt. Marina

dan Pdt. Ranna :

Tidak dapat dihitung tetapi banyak (orang Marapu). Mereka masuk di

Rumah Sakit mengakunya masih Marapu tetapi KTPnya Kristen atau

Khatolik. Kita akan mendapati hal seperti ini ketika kita melakukan

percakapan “sudah masuk gereja? Mereka menjawab “Belum”,

jawabannya pasien-pasien marapu. Jadi kami melakukan kunjungan,

menyapa para pasien lalu kami berdoa. Setelah doa iseng saja untuk

tanya bapa, mama sudah masuk gereja? Nah itu baru kami tau mereka

marapu. Hampir setiap hari ada. Dalam sebulan pasien dari 3-6 atau

lebih yang masuk.11

Para pasien sebagai narasumber dalam penelitian pada kenyataannya adalah

orang Marapu yang masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan mereka.

Mereka berasal dari beberapa kampung adat di sekitar kota Waikabubak, yaitu

kampung adat Bondomaroto Kalimbukuni, kampung adat Waitabar, kampung

adat Bondo Kabani Wejewa, kampung adat Pasunga, dan kampung adat Tarung.

Bapak Soli seorang pasien dari Kampung adat Bondomaroto mengungkapkan

bahwa:

Saya, istri dan anak saya juga kami semua di dalam kampung jujur

saja kami dalam kampung adat ini semua tidak ada yang masuk

gereja. Kami tidak masuk gereja karena adat kami sangat keras setiap

tahun kita acara adat dan setiap bulan kita pukul gong menyanyi dan

10 Badan Pusat Statistik. Sumba Barat dalam Angka 2016 11

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17

46

tarian dan kita tikam ayam. Ayam kita gunakan untuk nyembah sudah

ini marapu.12

Pendapat ini senada dengan temuan dari hasil kajian yang dilakukan oleh

Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan Diklat Kementrian Agama RI.

Dalam kajian tersebut ditemukan bahwa scara faktual (sensus tertulis di tingkat

kecamatan), mayoritas orang Sumba masih Marapuisme, meskipun secara

administratif kependudukan, mereka beragama Kristen13

.

3.3.1. Konsep Sakit Menurut Pasien Marapu

Pasien-pasien yang menganut kepercayaan Marapu memiliki pandangan

tersendiri bahwa sakit yang mereka alami bisa dalam dua sudut pandang yang

memberikan mereka pemahaman bahwa memang sakit yang dialami dikarena oleh

sakit secara fisik maupun sakit karena berurusan dengan kehidupan mereka yang

masih erat dengan adat istiadat yang mereka percayai, mereka mengatakan bahwa,

kalau ada yang sakit, kayak anaknya kita sakit ini sebelum bawa

kerumah sakit, kita pakai cara tradisional dengan menggunakan daun

paria (pare) dan kita sebelumnya tikam ayam liat tali perutnya dulu

apa ini anak sakit berat atau tidak. Kalau sakit berat atau ringan dan

masih bisa di tolong kami bawa ke rumah sakit. Sekalipun sudah

pengobatan tradisonal, kita tidak apa-apa kalau datang lagi di rumah

sakit. Tapi kalau bisa sembuh di kampung kita tidak ke rumah sakit

lagi. Tapi ini anak saya sudah lumayan baik. Ini sudah ke empat kali

anak saya masuk rumah sakit. Kalau sakit anak saya ini bukan karena

adat. Kita bisa membedakan mana sakit yang karena adat dan bukan

karena adat. Caranya kita lihat tandanya hati atau tali perut ayam

mana yang kondisi masih baik dan tidak baik.14

12 Hasil wawancara dengan Bpk. Soli dari kampung adat Bondomaroto Kalimbukuni, 09/01/17 13 Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI. 2014. Dinamika Agama Lokal di Indonesia.

Hal. 74 14 Wawancara Kel. Bpk. Soli = kampung adat Bondomaroto Kalimbukuni. 09/01/17 – 10.00 WITA

47

Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan perkembangan ilmu

pengetahuan, sekalipun masyarakat Sumba yang menganut kepercayaan suku

mempercayai bahwa keadaan sakit yang mereka alami karena ada hubungannya

dengan kepercayaan suku mereka dan masih memakai cara tradisional dari

tumbuh-tumbuhan yang diyakini dapat menolong proses kesembuhan tetapi

mereka juga mau terbuka untuk melakukan dan menjalani tindakan secara medis.

Kepercayaan-kepercayaan ini masih melekat karena kebudayaan yang terjadi

secara turun temurun masih mempengaruhi cara pandang mereka.

Adapula tradisi yang masyarakat penganut kepercayaan Marapu ini jalankan

dimana ketika mereka sakit ada sebuah tradisi yang mereka jalankan. Seperti

ungkapan mereka bahwa,

Saya sakit sesak nafas. Jadi saya baru dibawa ke rumah sakit karena

kita masih noba dulu. Noba itu adalah sembayang untuk minta ijin

pada leluhur. Jadi dalam acara adat itu kita mau amankan ini orangtua.

Prosesi ini kami keluarga lakukan dengan cara bakar ayam dan kami

lihat hati ayamnya dan saat sembayang kami sebut itu nama-nama

leluhur yang turunannya. Ayam dibakar dan kami lihat hati dan tali

perutnya itu. Jadi di tali perut kita lihat tandanya baik dan tidak baik

kami lihat semua. Jadi kalau baik dan tidak baik kami bawa kerumah

sakit dilihat dari ritual yang kami buat ini. jadi kalau bagus berarti

masih bisa di tolong dan kita berpasrah semua untuk kita bawa ke

rumah sakit. Jadi ritual ini sebagai simbol meminta ijin ke marapu

untuk di bawa ke rumah sakit. Jadi ijinnya ini ke leluhurnya mereka,

orangtuanya mereka supaya leluhur tidak tambah marah dan mereka

tetap terberkati dalam rumah dan bisa cepat sembuh. Memang

sebelum di bawa ke rumah sakit kita juga pakai obat kampung dan

pakai dukun juga pergi ke puskesmas tapi tetap juga tidak mempan

jadi kami bawa ke rumah sakit.15

Penulis memahami bahwa apa yang di percayai oleh penganut Marapu ini bahwa

sakit yang dialami adalah karena kemarahan Marapu terhadap mereka.

15

Wawancara Kel. Ina Pige = kampung adat di Tarung 30/01/17

48

Adapun alasan-alasan mengapa pasien-pasien ini juga merasa bahwa

mereka sakit karena ada urusan secara adat yang belum selesai sehingga anggapan

mereka bahwa marapu marah, salah satunya dalam ungkapan salah satu pasien

yang mengatakan,

Memang jujur ini nona saya punya rumah terbakar dari tahun 1988

semuanya isi rumah ini habis dan sampai sekarang saya berpikir mau

bangun kembali kalau kayu dan bahan sudah ada. Ini rumah keramat

jadi ini rumah adat karena belum selesai jadi makanya saya sakit.

Awal sakit saya pakai obat kampung itu kulit kayu. Kulit kayu untuk

dimasak dan di pakai untuk minum dan mandi supaya tambah darah.

Karena saya sudah pakai obat kampung dan pergi ke dukun berobat

tapi tidak tau sembuh-sembuh jadi saya minta supaya anak-anak bawa

saya ke rumah sakit. Saya minta di bawa ke rumah sakit karena di

rumah sakit bisa tahu semua ini penyakit apa saja.16

Penulis memahami bahwa budaya dan tradisi sangat berpengaruh pada

kehidupan masyarakat penganut kepercayaan Marapu. Obat tradisional yang

digunakan baik untuk diminum dan dipakai untuk mandi sudah dilakukan hanya

saja secara medis sakit yang di derita memang adalah sakit fisik yang perlu di

tangani oleh dokter dan mendapat obat dari pihak rumah sakit.

Berdasarkan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat Sumba yang masih

menganut kepercayaan Marapu ini bahwa, secara keseluruhan orang marapu

ketika sakit melakukan ritual secara tradisi yang telah turun temurun mereka

jalankan. Ketika mereka atau ada keluarganya yang sakit maka mereka

menyampaikan kepada “Rato” (pendeta atau tua adat Marapu) bahwa salah

seorang dalam keluarga dalam keadaan sakit agar Rato dapat melakukan doa dan

penyembahan dalam rangka menemukan penyebab sakit.

16 Wawancara Kel. Bpk. Leda Gadi = kampung adat di Tanggaba Wejewa. 21/01/17

49

Prosesi yang di lakukan Rato membacakan doa dalam syair adat dan

meminta “Moori” (Tuhan atau Dewa Marapu) untuk mendapat petunjuk adanya

penyebab penyakit dari yang bersangkutan. Rato memotong ayam (tidak di

persyaratkan ayam kecil atau besar, jantan atau betina) lalu dibakar dan dibelah

untuk diketahui petunjuk melalui usus kemudian Rato mendapatkan petunjuk

atau tanda bercak merah atau hitam merupakan tanda bahaya penyakitnya yang

disebabkan oleh karena orang sakit itu melakukan perbuatan yang melanggar

perintah kepercayaan Marapu. Melalui Rato semua keluarga dipanggil untuk

mempertanggungjawabkan perihal ini.

Adanya sebuah pengakuan keluarga akan apa yang sesungguhnya telah

melanggar aturan kepercayaan tersebut maka Rato akan melakukan ritual lanjutan

untuk penyucian diri (membuat miniatur rumah lalu dibakar sebagai tanda

pengakuan dosa dari orang yang mengalami sakit. adapun cara menyembuhkan

orang tersebut yaitu Rato menyembur, menggosok atau meminumkan ramuan

obat tradisional dari daun atau kulit kayu. Daun dan kulit kayu digunakan karena

masyarakat Marapu mengakui adanya kekuatan supranatural dari tumbuhan

tersebut dan hewan yang digunakan tidak hanya ayam tetapi juga anjing dan babi.

Jika memakai ayam maka yang dilihat Rato adalah ususnya sedangkan babi dan

anjing yang dilihat oleh rato adalah hatinya.

Tumbuhan yang digunakan untuk alternatif penyembuhan hanya diketahui

oleh Rato dan juga masyarakat. Sedangkan dalam menggunakan media hewani

lebih banyak digunakan ayam. Alasan menggunakan hewan ayam karena dalam

50

kepercayaan Marapu, mereka mempercayai bahwa ayam adalah lambang

kepemimpinan artinya kepemimpinan dalam perspektif Marapu yaitu dapat

memberi arahan, petunjuk, pengayom. Ayam juga unggas peliharaan yang wajib

dimiliki kaum Marapu dan setiap hari ada dalam lingkaran kehidupan marapu,

ayam selain praktis juga mudah didapatkan kapan saja dan dimana saja.

Doa yang dinaikkan oleh penganut Marapu memiliki istilah “Nobba” yang

artinya ritual menaikkan permohonan kepada “Morri” (Tuhan), dipimpin Rato

agar diberikan berkat yang melimpah dan kesembuhan. Namun tidak hanya

sebatas berdoa, ketika mendapatkan petunjuk tentang apa yang terjadi dalam diri

orang sakit ini, jika orang sakit ini mengalami sakit karena melanggar ajaran

Marapu maka Rato memanggil orang tersebut, menanyakan kebenaran,

mendengarkan seluruh pengakuan orang tersebut kemudian Rato membimbingnya

(ngiana ole mu appowoda adessa apanangu dage) agar orang tersebut di bimbing

dalam pengambilan keputusan untuk dapat memilih arah dan tujuan hidup yang

lebih baik untuk dijalani, setelah itu jika orang tersebut mengakui kesalahannya,

Rato memanggil seluruh keluarganya dan meminta agar turut menopangnya

(ngiana pakadawu dulaloko) sehingga ia kembali memiliki hubungan baik dengan

Tuhan dan sesama. Ketika orang itu mau untuk berdamai dengan dirinya sendiri

dan Tuhan atau sesama maka Rato melakukan doa kembali untuk membantunya

dalam proses pendamaian (ngiana ole mu apa Molida) dalam rangka

mengutuhkan kembali relasinya. Setelah itu akan dilakukan pengobatan pribumi

atau tradisional untuk menyembuhkan (ngiana apodasa auwada) dalam artian

bahwa penyembuhan ini mengembalikan keadaan orang tersebut seperti semula

51

sehingga penyembuhan ini membantu kelangsungan hidup pasien di masa

depannya yang lebih baik. 17

3.4. Kegiatan Pelayanan Pastoral Pendeta

3.4.1. Tanggung Jawab Pelayanan Pendeta di Rumah Sakit Rumah Sakit

Kristen Lende Moripa.

Terkait tentang pelayanan umum pastoral di lingkungan sinode khususnya

untuk Rumah sakit Kristen Lindimara dan Rumah Sakit Kristen Lende Moripa,

sinode Gereja Kristen Sumba memberikan tiga orang tenaga pendeta. Artinya

gereja menyadari pelayanan-pelayanan pastoral di Rumah sakit sangat penting.

Menurut direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa bahwa,

Semakin kesini Gereja dan Rumah Sakit melihat pelayanan pastoral

juga semakin kompleks jadi kami pihak Rumah Sakit Kristen punya

tiga tenaga yaitu dua pendeta dan satu tenaga umum yang membantu

di Pastoral Rumah Sakit dengan selain perkunjungan juga di doakan

baik sakit berat atau karena mengalami masalah itu kami meminta

kunjungan khusus pendeta untuk mendoakan dan memberikan

penguatan.18

Kebijakan umum Gereja Kristen Sumba, karena Rumah sakit ini adalah

milik dari Gereja, maka dilakukanlah proses penempatan dua orang pendeta

berada di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa dan di Rumah Sakit Kristen

Lindimara memiliki satu pendeta. Setelah Sinode memilih, sinode pun mengutus

satu vikaris untuk di tahbiskan di Rumah Sakit Lindimara di waktu mendatang.

Dalam kebijakan sebagai Gereja Kristen Sumba, sinode memandang bahwa

17

Wawancara Rato (Pendeta/Tua Adat) Lado Regi Tera= kampung adat di Tarung 10/08/17 18 Wawancara dr. Loeta Lapoe Moekoe selaku Direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa,

tanggal 15/01/17

52

pastoral terhadap orang-orang sakit itu penting dengan memahami dan melihat

latar belakang pasien-pasien. Rumah sakit ini milik gereja maka tentu kebijakan-

kebijakan terkait dengan Rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan antara

sinode dan kedua rumah sakit ini.

Sinode Gereja Kristen Sumba memiliki yayasan Rumah sakit sehingga

sinode menempatkan pembina yang menunjukkan bahwa Rumah sakit ini milik

Gereja Kristen Sumba dengan menempatkan ketua sinode sebagai pembina di

Rumah sakit. Dahulu antara sinode dan Rumah sakit dalam sejarahnya terpisah

tapi kemudian sinode mengaturnya kembali dan sekarang sudah jelas bahwa

antara Rumah Sakit dan Sinode Gereja Kristen Sumba dan Rumah sakit Kristen di

Sumba tidak terpisahkan.

Adapun relasi antara Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dan

Sinode Gereja Kristen Sumba seperti yang di ungkapkan bahwa,

Rumah sakit ini milik Gereja Kristen Sumba, ada dua yaitu Lindimara

Waingapu dan Lende Moripa Waikabubak. GKS secara keseluruhan

Sumba. Untuk perwakilan atau yang menggorganisirnya ada sinode di

Waingapu. Selain kesehatan ada juga di pendidikan, ada juga ekonomi

dan lain-lain. Sinode membentuk yayasan-yayasan untuk mengelola

kesehatan ya berarti di Rumah Sakit jadi kegiatan termasuk di Rumah

Sakit. Sehingga sinode punya representasi dalam bentuk Yumerkris

(Yayasan untuk menyelenggarakan Rumah Sakit Kristen) di Sumba.

Jadi inilah relasi sinode dan Rumah Sakit.19

Pelayanan pastoral di RS Kristen Lende Moripa Waikabubak merupakan

salah satu pokok kebijakan Gereja Kristen Sumba karena sinode memiliki dua

Rumah sakit yaitu Rumah Sakit Kristen Lindimara dan Rumah Sakit Kristen

19 Wawancara dr. Loeta Lapoe Moekoe selaku Direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa,

tanggal 15/01/17

53

Lendemoripa. Kedua Rumah Sakit ini berada dalam yayasan dan kemudian

seluruh kebijkan itu dibicarakan dalam ikatan yayasan kemudian di eksekusi oleh

eksekutif. Di eksekutif oleh pihak rumah sakit.

Sinode GKS menganggap penting untuk diadakannya pelayanan

pastoral karena dari awal injil masuk di Pulau Sumba yang

diperhatikan ada dua hal yaitu pendidikan dan kesehatan. Kedua hal

pokok pelayanan yang tidak bisa di pisahkan dan Gereja Kristen

Sumba ada di pulau ini dengan menekankan aspek pendidikan dan

kesehatan sehingga Sinode memiliki dua Rumah sakit yang sampai

saat ini tetap ada atau eksis melayani masyarakat yang ada di pulau

Sumba baik yang ada di Sumba Timur maupun di Sumba Barat. Sejak

Sinode berdiri sendiri tahun 1947 kebijakan-kebijakan ini dibicarakan

agar eksistensi gereja tetap ada dan menjadi bagian dari masyarakat

Sumba dalam pelayanan di Rumah sakit.20

Penulis memahami bahwa prinsipnya pelayanan pastoral di rumah sakit

menjadi domain dari rumah sakit dan pendeta rumah sakit, yang mengatur seluruh

mekanisme, kebijakan terkait dengan pelayanan-pelayanan pastoral. Ketika

Rumah Sakit mengembangkan pelayanan dengan meminta pihak lain misalnya

untuk ada bersama dalam pelayanan pastoral. Hal ini menjadi domain dari pihak

Rumah Sakit dan tentunya kebijakan dari pastoral ini ada dalam kebijakan

pendeta di Rumah sakit.

Menurut ketua umum sinode terkait dengan pelayana pastoral di Rumah

Sakit Kristen Waikabubak ialah,

Para pendeta tidak keluar dari frame yang ada bahwa kemudian

mereka mengembangkan pelayanan pastoral yang lebih holistik tentu

itu menjadi domain dari pendeta tetap intinya pendeta di Rumah sakit

yang bertanggungjawab dalam pelayanan pastoral di Rumah sakit baik

terhadap pasien maupun karyawan yang ada di dalamnya Dalam

pelayanan ini karena saya juga sempat melayani disana, konseling

20

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17.

54

pastoral dalam bentuk kunjungan dan doa bukan hanya sebatas pasien

tetapi juga keluarga pasien dan seluruh karyawan yang membutuhkan

pelayanan pastoral kami.21

Hubungan antara kepala RS Kristen Lende Moripa Waikabubak dengan

pendeta (dan tim konseling) yang melakukan pelayanan sebagai kepala

memberikan support atau dukungan bagi para pendeta untuk melakukan

pelayanan pastoral dengan baik. Contohnya dengan perlengkapan, tim pastoral

menginginkan sound sistem untuk ibadah, dari satu ruangan ke ruangan lain

dimana ibadah dapat di dengar oleh pasien-pasien di ruangannya masing-masing.

Kemudian juga usulan untuk ibadah memberikan dukungan yang baik bagi

pengerja-pengerja maka sebagai direktur mendukung adanya ibadah setiap pagi

bersama karyawan-karyawan. Kemudian juga selain fasilitas dan tenaga, kadang-

kadang juga ada keluhan dari pasien dan keluarganya, baik yang di dengar oleh

direktur atau yang di dengar oleh tim pastoral, pihak Rumah Sakit membicarakan

secara bersama dan berunding bersama agar pelayanan lebih baik lagi.

Dalam penelitian ini, yang melatarbelakangi pendeta melakukan pelayanan

di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak, kedua pendeta yaitu Ibu Pdt.

Marina C. Joice Kanni, S.Th dan Ibu Pdt. Rana D. Hamakonda, S.Si-Teol

ditempatkan oleh sinode sehingga Rumah Sakit dalam kaitannya dengan sinode

kami yang berpelayanan di Rumah Sakit adalah pendeta umum. Jadi di tempatkan

di Rumah Sakit dan fokus pelayanan hanya di Rumah Sakit. Namun sewaktu-

waktu kalau hari minggu bisa juga berpelayanan di Jemaat kalau kami di

21

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17.

55

butuhkan untuk berpelayanan di Gereja jemaat tertentu sehingga kami juga tidak

terikat dengan satu jemaat karena diutus khusus untuk pelayanan di Rumah Sakit.

Jadi kami melihat ini sebagai ladang pelayanan untuk kami

memberikan pelayanan bagi pasien melalui bidang kerohanian.

Kegiatan yang ada yaitu berdoa, menguatkan dan ada juga konseling

dalam bentuk perkunjungan. Tetapi sejujurnya kami memang tidak

memiliki kemampuan khusus untuk konseling. Konseling hanya kami

pelajari dari bahan matakuliah. Hanya Ibu Pdt. Rana yang pernah

belajar khusus bagian pastoral bersama Assosiasi Pastoral Counseling.

Jadi kami tidak secara pribadi tetapi melalui sinode dibawah yayasan

Yumenkris.22

Pendeta yang melayani di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa berjumlah

dua orang. Tetapi sebelum kedua pendeta ini, Rumah Sakit Kristen Lende Moripa

juga sudah memiliki pendeta-pendeta yang membantu melayani.

Jadi pelayanan kerohanian di Rumah Sakit ini bukan hanya kami

berdua. Jadi saat itu sebelum kami yang sempat pelayanan di Rumah

Sakit ini ada Pdt. Kandi, Pdt. Kabba. Jadi sudah ada empat pendeta

yang sah ditempatkan oleh sinode di Rumah Sakit Kristen Lende

Moripa sebelum kami berdua. Pelayan pertama Pdt. Kori, Almh. Pdt.

Salomi dan setelah itu kami berdua.23

Awalnya kedua pendeta melakukan kegiatan pastoral hanya berdua,

kalaupun ada teman-teman yang membantu pelayanan, para perawat yang insiatif

untuk hadir menguatkan dan mendoakan. Hanya beberapa waktu terakhir ini ada

karyawan yang di tempatkan di bidang kerohanian Ibu Lunga Ragawino untuk

membantu kedua pendeta mengunjungi dan mendoakan orang sakit. Tetapi dalam

pelaksanaanya ada banyak hal yang karyawan lakukan seperti yang kedua lakukan

karena latar belakang pendidikan yang berbeda jadi karyawan hanya

mengunjungi, mendoakan dan melakukan percakapan. Dan kalau tim pastoral

22

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni selaku Pendeta Rumah Sakit 1, tanggal 09/01/17 23

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17

56

yang dibentuk secara khusus, Rumah Sakit tidak memilikinya seperti Rumah

Sakit lainnya. Sempat kedua pendeta mengikuti kegiatan Pelkesi di Rumah Sakit

William Booth di Semarang, kedua pendeta memikirkan untuk membentuk tim

tetapi karena ada beberapa pertimbangan sehingga tidak jadi membentuk tim

pastoral. Jadi dalam pelayanan ini jika ada jemaat yang sakit dan pendeta jemaat

dari gereja tertentu melakukan pelayanan pihak Rumah Sakit membuka ruang

pelayanan untuk itu.

Kedua Pendeta tidak membatasi pelayanan di Rumah Sakit bagi Pasien,

karena ada beberapa dari jemaat-jemaat lain membentuk tim sendiri untuk

melayani dari komperjem gereja dan hal bukan bentuk kerja sama Rumah sakit

dengan gereja tertentu. Selama pelayanan mereka mendukung Rumah Sakit

memperbolehkan untuk berpelayanan. Tetapi kalau ada tim-tim doa lain yang

bertentangan dengan pelayanan pendeta Rumah Sakit maka yang dilakukan adalah

memanggil dan melarang tim doa yang bersangkutan untuk melakukan

kunjungan, hal ini karena sudah pernah terjadi pelayanan yang tidak sesuai

dengan pelayanan pendeta di Rumah Sakit.

Seperti ada yang pernah melakukan kunjungan dan mendoakan pasien

yang sedang sakit malah mereka meminta imbalan dalam bentuk uang.

Jadi pelayanan di Rumah Sakit ini fleksibel, siapa saja boleh melayani

tetapi tetap dalam pengawasan kami berdua sebagai pendeta di Rumah

Sakit ini. Semua pasien sedapatnya akan dilayani kami berdua

sehingga tidak ada syarat khusus dalam pelayanan di Rumah Sakit

ini.24

Pendeta Rumah Sakit masuk dalam kategori pendeta umum, pendeta umum

ini adalah pendeta di Rumah sakit atau pendeta di Kampus. Awalnya memang

24

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni selaku Pendeta Rumah Sakit 1, tanggal 09/01/17

57

diutus khusus tetapi kemudian ketika sudah di Rumah sakit menjadi pelayanan

integral yang tidak bisa terlepas dengan pelayanan lainnya.

Posisi pendeta Rumah Sakit dengan direktur itu dalam satu struktur

organisasi terputus-putus dalam artian tidak menjadi karyawan atau tidak menjadi

atasan tetapi pendeta membaur dalam semua pelayanan. Pendeta Rumah Sakit

tidak hanya melayani pasien tetapi juga melayani seluruh karyawan. Sejujurnya

sebagai pendeta Rumah Sakit kedua pendeta memiliki peran dimana saja karena

semua urusan dalam rumah sakit kedua pendeta di ikut sertakan.

Tugas dan fungsi pelayanan pendeta sebagaimana ada dalam buku tata

gereja GKS secara umum dan tugas, fungsi pelayanan pendeta di Rumah sakit

tidak memiliki perbedaan khusus. Tugas dan fungsi pendeta ada dua hal yaitu:25

a) Pertama, tugas dan fungsi pelayanan pendeta rumah sakit tetap mengikuti

tata gereja sebagaimana pelayanan pendeta di GKS. Jadi misalnya rumah

sakit membutuhkan pendeta, maka akan di sampaikan melalui yayasan

dalam hal ini pengurus dan saat persidangan gerejawi akan di sampaikan

dan dibahas tentang permintaan rumah sakit terhadap pendeta rumah sakit.

Prosedurnya ada.

b) Kedua, mencari dan mendapatkan vikaris, kita meminta salah satu jemaat

terdekat untuk memproses yang bersangkutan di tahbisakan menjadi

pendeta. Setelah di tahbisa dalam satu jemaat dan dia di utus oleh jemaat

untuk melayani di rumah sakit. Sehingga hubungan itu membuat proses ini

25

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17.

58

melalui jemaat karena mereka bukan pendeta di sinode. Jemaat yang

memberikan surat panggilan pada calon pendeta setelah itu baru di proses.

Lalu kemudian di lakukan percakapan oleh klasis dalam jemaat itu.

Setelah dinyatakan lulus maka jemaat itu sendiri juga yang akan

memprosesnya setelah itu di utuslah ia menjadi pendeta rumah sakit.

Standar yang ada di GKS itu yang harus diikuti tetapi ketika sudah berada

di rumah sakit maka standart yang di pakai di bawah management rumah

sakit. Setelah itu baru mereka di kirim ke Duta Wacana untuk di latih

pastoralnya.

3.4.2. Tantangan dalam Pelayanan terhadap Pasien Marapu

Sebagai rumah Sakit Kristen, tantangan yang dihadapi dalam melayani

pasien non-Kristen, terkhusus pasien yang berlatar belakang Marapu, kebijakan

umum Sinode Gereja Kristen Sumba dalam menjembatani perbedaan keyakinan

dari sisi pelayanan di RS Kristen Lende Moripa ialah sinode berharap bahwa

dengan pendeta yang diutus ada di rumah sakit dan dengan adanya pelayanan

yang diberikan pihak rumah sakit,

Kita berharap injil ini kita beritakan dan disampaikan dan kemudian

bahwa pasien ini menerima Kristus bukan menjadi tanggung jawab

sinode tetapi menjadi tanggung jawab pendeta Rumah Sakit dan akan

diteruskan dalam pelayanan di jemaat terdekat dan jika hal itu tidak

diterima maka tidak menjadi masalah untuk sinode ataupun para

pendeta Rumah Sakit. Tapi yang pasti bahwa kasih kristus itu yang di

nyatakan bagi pasien-pasien yang berada di Rumah Sakit. Bagaimana

menyatakan kasih Kristus itu tentu dengan pelayanan-pelayanan yang

maksimal. Perhatian itu yang lebih dilakukan. Jadi untuk

menjembatani itu tidak secara indoktrinasi bahwa pasien harus masuk

Kristen tetapi dengan cara pelayanan orang bisa melihat dan

59

mengambil keputusan karena dalam pengambilan keputusan itu bukan

menjadi keinginan dari para pendeta yang ada di rumah sakit, tetapi

itu menjadi keinginan dari mereka sendiri setelah keluar dari Rumah

Sakit, mereka merenung dan bergumul untuk mengambil keputusan.26

Ada hal yang terjadi bahwa setelah mereka ada di rumah sakit dan mereka

membutuhkan pelayanan dan memanggil pendeta layan lalu kemudian mereka di

beri diri untuk di baptis menjadi orang kristen. Jadi ada dua hal penting Menurut

saya dimana kasih kristus di sampaikan dan pelayanan yang baik dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan holistik mereka. Yang berikut adalah keputusan pribadi

dimana mereka sendiri yang menyatakan dan mengambil bagian dalam pelayanan

mengikut Kristus.27

Sinode berharap “jantung dari sebuah pelayanan gereja bagi mereka

yang sakit itu adalah pelayanan dan pendampingan pastoralnya bagi

pasien. Jadi bukan hanya bagi mereka yang sakit. Mungkin fisik

mereka sakit, tetapi mungkin dalam saat yang bersamaan mereka

memiliki jiwa yang sakit. Jadi kami berharap para pendeta yang

berada di dua rumah sakit ini betul-betul berjalan dengan

maksimal.28

Penulis memahami bahwa, artinya kasih kristus itu dinyatakan lewat

pendampingan, lewat pendekatan-pendekatan dan lain sebagainya sehingga ketika

mereka masuk di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa atau Rumah Sakit Kristen

Lindimara, ada keunggulan dalam pastoral.

Mungkin di rumah sakit umum tidak ada tetapi bagi rumah sakit yang berlabelkan

kristen, orang sudah mengetahui kristen itu sama dengan kristus disitu nilai

26

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17. 27

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17. 28

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17.

60

kelebihan itu ada. Begitu masuk dan merasa nyaman mereka tahu ada pelayanan

pendeta dan ketika mereka keluar ada kesan tersendiri dan kemudian membawa

kesan bagi mungkin keluarganya juga yang suatu saat akan di rawat di rumah

sakit ini.29

Sebagai rumah Sakit Kristen, tantangan yang dihadapi dalam melayani

pasien non-Kristen, terkhusus pasien yang berlatar belakang Marapu dan

kebijakan Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dalam menjembatani

perbedaan keyakinan dari sisi pelayanan ialah sampai saat ini bagi pihak rumah

sakit belum ada masalah yang terlalu berat karena masyarakat sudah tahu bahwa

ini rumah sakit kristen artinya aturan dalam rumah sakit ini harus mereka ikuti

dan jalani. Artinya juga yang menolak atau protes sampai sekarang belum ada.

Beberapa ada yang melihat ini Rumah Sakit Kristen tapi ada karyawan yang

agama muslim atau katholik.

Jadi saya sering menjawab tenaga yang ada ini yang Tuhan kirim jadi

kita pakai. Kalau kita terlalu membatasi dan tidak mau terbuka,

pelayanan kami tidak bagus nanti dan kurang maksimal. Salah satu

yang menjadi kendala ketika dia muslim dan pakai jilbab di satu sisi

kita mau disini tidak pakai jilbab tetapi kita benturan sama hak asasi

manusia untuk berpakaian. Tetapi kami juga tidak bisa mempublish di

Rumah sakit ini orang di larang menggunakan jilbab, itu tidak boleh,

jadi caranya kami atur di depan.30

Bagi pasien marapu tantangannya adalah pemahaman antara pihak Rumah

Sakit dan para pasien yang masih menganut kepercayaan Marapu melihat tentang

sakit yang dialami pasien. Misalnya pasien mengatakan bahwa sakit ini karena

29

Wawancara Pdt. Alfred Samani selaku Ketua Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS), tanggal

29/01/17. 30 Wawancara dr. Loeta Lapoe Moekoe selaku Direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa,

tanggal 15/01/17

61

urusan adat yang belum selesai, pihak Rumah Sakit memberi pengertian untuk

para pasien yang di rawat nginap karena biasanya pasien meminta pulang untuk

mengurus secara adat dahulu.

Sering kali pasien tetap ngotot untuk pulang dan terkadang kami

nasihatin mereka kalau kalian bawa pulang urus adat trus kalau ada

apa yang tidak berkenan terjadi disana nanti bagaimana? Kamu berani

tanggung. Berani mereka bilang nah ini yang merupakan tantangan

kami. Kadang juga kami berikan pengertian. Ini kalian kembali ke

kampung dan masuk lagi otomatis kalian harus urus lagi

administrasinya dan baik kalau kamar masih ada yang kosong. Kalian

siap masuk rumah sakit lain? Mereka tetap kekeh jawab siap pak

dokter. Yang lucunya terkadang kalau di kunjungi sama tim pastoral

ternyata keluarganya yang memaksa untuk memulangkan pasien.

Apalagi disini budayanya masih patriakal sehingga apa yang kepala

keluarga mau itu yang mereka harus ikuti.31

Tantangan yang juga dialami para pendeta sebagai Konselor, hubungan

para pendeta dan pihak direktur tidak satu tetapi terputus dalam satu organisasi.

Artinya, pendeta bukan karyawan namun satu dalam koordinasi manajemen yang

sama. Sehingga dalam praktiknya hampir semua melibatkan pendeta Rumah

Sakit, hubungan para pendeta dan pasien, biasanya dalam pendeta melakukan

kunjungan banyak pasien yang belum dikenal,

apalagi pasien yang masih menganut kepercayaan marapu bisa saja

pasien tersebut tidak mengenal pendeta. Selain itu juga rata-rata

pasien yang masuk hanya tiga hari. Selama tiga hari mungkin pendeta

lagi mengunjungi di kelas lain maka pasien yang lain tidak sempat

kami kunjungi lagi. Hal inilah yang membuat kadang pasien merasa

tidak pernah di kunjungi pendeta.32

31 Wawancara dr. Loeta Lapoe Moekoe selaku Direktur Rumah Sakit Kristen Lende Moripa,

tanggal 15/01/17 32

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17

62

Tantangan berikutnya yang dialami saat melakukan proses konseling di RS

Kristen Lende Moripa Waikabubak dengan pasien, salah satunya pasien marapu.

Pasien marapu kendalanya adalah mereka tidak semua bisa bahasa

Indonesia. Jadi kita mau bicara apa juga dia tidak mengerti jadi yang

di mengerti oleh mereka adalah ketika diajak berdoa. Syukurnya kalau

ada pasien yang keluarganya bisa bahasa Indonesia. Yang berikut

adalah keterbatasan hari, misalnya tiga hari tidak sampai seminggu

rawat nginap, adanya kunjungan keluarga yang menghambat mau

konseling, ada juga konseling bagi keluarganya mungkin tidak

langsung ke pasien, pasien yang berbeda agama kadang merasa bahwa

mereka non Kristen sehingga tidak dilayani padahal sebenarnya

pendeta masih berkunjung ke ruangan lainnya. Pelayanan yang kami

lakukan juga terpaksa di acak karena kami sebagai pendeta di Rumah

sakit hanya berdua saja dengan pasien yang harus kami layani

sebanyak kurang lebih 100 orang. Ketika kami berdua sebagai pendeta

memiliki tugas lain seperti yang satunya tugas luar mengikuti

pentahbisan dan yang satunya sakit maka sulit untuk bertemu pasien

secara intens sehingga terkadang perawat yang kunjungi dan berdoa

bagi pasien. Pasien yang mau intens juga untuk melakukan konseling

hanya sedikit. Kendala secara teknis juga ada dimana pasien tidak

memiliki ruangan khusus untuk bisa melakukan konseling dan sedikit

kesusahan jika harus membawa infus ke ruangan konseling.33

Dalam pengalaman pendeta berinterkasi dengan penganut kepercayaan

Marapu baik di masyarakat maupun rumah sakit, konsep orang Marapu tentang

sakit, pasien-pasien ini menganggap sakit yang dialami karena guna-guna, ada

yang sebelum ke Rumah sakit sudah sempat di tangani dukun tetapi karena dukun

juga tidak mempan akhirnya mereka di bawa juga ke Rumah Sakit. Karena

pemahaman mereka juga terbatas.

Menurut dokter ginjalnya bermasalah kalau di tangani dari awal pasti

bisa sembuh hanya karena selama ini mungkin pasien hanya periksa

sakit malaria akhirnya tidak lagi mau diperiksa dan merasa bahwa

mereka hanya sakit malaria atau typus padahal sebenarnya pasien

menderita sakit ginjal atau TBC dan sakit berat lainnya. Sehingga

mereka kebanyakan menyepelekan masalah kesehatan dan mereka

33

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni selaku Pendeta Rumah Sakit 1, tanggal 09/01/17

63

lebih memilih membunuh hewan untuk acara adat sehingga mereka

beroleh kesembuhan.34

3.4.3. Strategi Pelayanan Konseling Pastoral di Rumah Sakit Kristen Lende

Moripa.

Berdasarkan penelitian terhadap pelayanan pendeta sebagai konselor, di

temukan bahwa proses konseling yang terjadi di Rumah Sakit Kristen Lende

Moripa Waikabubak ialah

Kami lebih banyak berdoa dalam melakukan kunjungan karena

memang sejujurnya kami tidak memiliki kemampuan khusus dalam

konseling. Kami tidak memiliki teknik khusus dalam memberikan

konseling hanya kami kunjungi dan berdoa bersama pasien karena kita

sesuaikan dengan kondisi. Yang utama dalam proses konseling dalam

pasien adalah mendengarkan dengan penuh perhatian, kita sebagai

pendeta berusaha ada untuk pasien, walaupun kadang waktu kita

hanya lima menit saja bersama pasien. Biasanya kita memberikan

nasihat sedikit dan ada juga kita hanya mendengarkan karena ada

pasien yang lebih banyak berbicara sehingga kami memilih untuk

mendengarkan saja apa yang di utarakan dan setelah itu kita doakan.

Hanya sebatas itu. Tidak semua pasien kami konseling dan kami

hanya sebatas mengunjungi.35

Kebanyakan pasien hanya butuh didoakan sehingga mereka tidak terlalu

mempedulikan konseling itu seperti apa. Pasien-pasien lebih mengenal kunjungan

dan doa karena itu banyak pasien yang hanya meminta untuk didoakan dan di

kunjungi.

Kedua pendeta mengakui bahwa sejujurnya dalam mempersiapkan diri ikut

dalam pelayanan pastoral khususnya di Rumah Sakit, mereka tidak memiliki

kemampuan khusus dan belum mempunyai pengalaman yang banyak. Seperti

yang diungkapkan oleh kedua pendeta bahwa,

34

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17 35

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17

64

Sama sekali tidak ada pelatihan dan langsung di utus melayani di

Rumah sakit karena diutus, awalnya tidak memiliki bekal sama skali

hanya dalam perjalanannya ketika kita mau memberi diri ada cara

Tuhan yang memperlengkapi untuk menerima pelayanan dan

memaksimalkan diri sendiri dengan cara ada yang mengirim buku,

belajar mandiri membaca buku-buku pastoral yang ada teorinya

kemudian di cermati dan ada cara dalam buku yang didapat untuk

menangani sebuah masalah pasien atau karyawan, ada kegiatan

sharing bersama teman-teman pelkesi. Tapi memang secara khusus

belom ada pihak rumah sakit disini yang memberikan pelatihan

khusus bagi kami pendeta-pendeta Rumah Sakit.36

Dalam penelitian yang dilakukan, banyaknya pasien Marapu yang di rawat

nginap tetapi identitas mereka sesuai dengan KTP maka agama dalam identitas

mereka bukanlah Marapu tetapi ada yang Kristen Protestan dan Khatolik. Para

pendeta akan menemui pasien-pasien tersebut ketika percakapan dan mereka

mengakui bahwa mereka masih menganut kepercayaan Marapu.

Kita akan menemui mereka ketika kita melakukan percakapan “sudah

masuk gereja?” “Belum” jawabannya pasien-pasien marapu. Jadi kami

melakukan kunjungan, menyapa para pasien lalu kami berdoa. Setelah

doa iseng saja untuk tanya bapa, mama sudah masuk gereja? Nah itu

baru kami tau mereka marapu. Hampir setiap hari ada. Dalam

seminggu pasien dari 3-6 atau lebih yang masuk.37

Pendekatan yang dibangun oleh pendeta dalam pelayanan pastoral kepada

klien berkepercayaan Marapu di RS Kristen Lende Moripa Waikabubak yaitu

kalau di pasien marapu,

Biasanya kami menyapa bagaimana keadaan lalu kami tanyakan

kenapa belum masuk gereja? Jawabnnya ada yang karena belum

selesai membuat rumah adat sehingga mereka tidak bisa masuk gereja.

Jadi bukan kami tidak mau ke gereja tapi karena memang kita tidak

bisa masuk gereja. Jadi seolah-olah mereka mau mengatakan bahwa

36

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17 37

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni selaku Pendeta Rumah Sakit 1, tanggal 09/01/17

65

kami harus tinggal di rumah adat dan kami harus melanjutkan. Ada

juga beberapa orangtua yang menjadi pasien mengatakan bahwa

mereka adalah Rato adat. Dan pasien marapu ini dalam percakapannya

mengatakan memakai bahasa adatnya bahwa mereka tau Tuhan itu

ada dan itu juga yang mereka terapkan dalam kepercayaan mereka.

Ada juga kita memberikan ke mereka pengertian bahwa kesembuhan

ini dari Tuhan bukan dari dokter atau siapapun. Bapa, mama harus

percaya Tuhan yang menyembuhkan baru kita bisa berdoa.38

Inilah pendekatan-pendekatan yang selama ini diberikan para pendeta untuk

mereka pahami.

Jadi biar mama dan bapa belum gereja kita angkat hati supaya Tuhan

tolong, jadi kalau su sembuh kita harus bersyukur karena Tuhan su

tolong masuk sudah gereja. Tidak ada syarat apa-apa hanya perlu hati

terarah ke Tuhan saja, tidak perlu selesaikan urusan adat. Tidak perlu

kita anggap marapu marah. Kita langsung di Tuhan saja untuk mau

masuk gereja.39

Ketika melakukan penelitian hal ini juga yang secara langsung dialami

penulis bahwa pendekatan ini selalu dipakai saat melakukan kunjungan, dan pada

umumnya mereka mau di doakan. Hampir tidak ada yang menolak. Bagi mereka

doa umat Kristen sama dengan doa yang mereka panjatkan pada Tuhan hanya

bagi mereka cara menyampaikan doa itulah yang berbeda. Mereka penganut

kepercayaan Marapu melalui Marapu jika ingin menyampaikan sesuatu dan umat

Kristen langsung ke Tuhan, sedangkan mereka harus meminta ijin dulu pada

Marapu atau nenek moyang mereka.

Latar belakang budaya pendeta mempengaruhi pola pendekatan dalam

pelayanan konseling di Rumah Sakit seperti yang dikemukakan,

38

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni selaku Pendeta Rumah Sakit 1, tanggal 09/01/17 39

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17

66

Saya pikir ya mempengaruhi proses konseling karena saya orang

Sumba dan tahu bagaimana orang Sumba tetapi tetap ada yang

berbeda. Saya dan pasien sama-sama orang Sumba tetapi dalam hal ini

kami bisa saja berbeda pemahaman. Jadi memahami budaya memang

sangat mempengaruhi dalam proses konseling. Nah sedangkan saya

pendeta satunya lagi di Rumah sakit ini, saya bukan orang sumba asli

sehingga dalam proses konseling terhadap pasien yang berasal dari

Sumba dan tidak tahu bahasa Indonesia maka proses terganggu dan

saya harus memakai perantara untuk membantu dalam proses

percakapan ini. Ada juga faktor lain yang mempengaruhi pola

pendekatan karena beda pemahaman. Kita memberikan pemahaman

mengenai medis tetapi mereka punya konsep sendiri tentang sakit

yang diderita sehingga saling berselisih. Misalnya menurut dokter

memang pasien memiliki sakit yang serius tapi pasien ini memiliki

konsep sendiri bahwa sakit ini karena kemarahan sang Marapu.40

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis memahami bahwa hal seperti

inilah yang terjadi dalam proses penelitian karena belum adanya pelatihan khusus

bagi para pendeta sehingga dalam menjalankan konseling di Rumah Sakit ini

menjadi tantangan bagi para pendeta dalam menjalankan konseling bagi pasien

yang Non Kristen.

Cara pendeta mengatasi gap budaya dan kepercayaan dengan pasien Selama

ini karena berangkat dari pemahaman pendeta bahwa para pendeta Rumah Sakit

harus ada bagi semua pasien sehingga agama atau kepercayaan apapun itu harus

dilayani, sehingga para pendeta berusaha untuk membuka diri.

Jadi sejauh ini gap itu tidak terlihat dengan pasien yang Kristen

maupun non Kristen. Jadi ketika dengan yang non Kristen kami

tanyakan kami mau doakan kalau mereka jawab “Ya”, maka kita

lanjutkan dan kalau “Tidak” kami tidak lanjutkan. Dan dalam

pengalaman kami, pasien yang Jehovah selalu tidak mau untuk kami

layani oleh orang lain selain orang-orang mereka. Kadang kami peka

kalau pasien yang tidak ingin didoakan kami hanya mendengar dan

bercerita dengan pasien tersebut. Dan kadang-kadang itu dipoles

dengan kata kita Satu Tuhan jadi silahkan dengan iman sendiri kami

40

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni dan Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit,

tanggal 09/01/17

67

berdoa dengan orang Kristen dan hal ini bagi kami yang

menjembatani. Jadi kami berusaha membawa mereka dalam startegi

pelayanan yang kami lakukan.41

Konsep yang ideal menurut pendeta mengenai konseling pastoral yang akan

di kembangkan dalam konseling lintas agama dan budaya di Rumah Sakit Kristen

Lende Moripa, adanya keinginan dibentuk tim konseling Rumah Sakit dengan tim

konseling dari pemuka-pemuka agama yang ada namun belum terlalu nampak

kalau Rumah sakit memiliki kerja sama dengan agama lainnya. Jadi daftar nama-

nama pemuka agama dari kantor Agama siapa saja kami carikan untuk membantu

pasien yang memerlukan konseling lanjutan. Hal ini berlaku bagi pasien agama

non Kristen kecuali Marapu.

Hal yang terjadi kalau mereka merasa menerima kehadiran kami

sebagai pendeta Rumah Sakit ya berarti cukup kami yang melayani

karena memang tidak bisa di pungkiri Rumah Sakit juga harus

membiayai pemuka agama yang di panggil untuk membantu. Jadi

kalau misalnya apa yang kami lakukan di terima oleh pasien non

Kristen maka akan kami berdua lanjutkan. Tetapi kalau untuk orang

Marapu beberapa kali kami menulis surat dari direktur ke gereja yang

paling dekat dengan tempat tinggal pasien untuk di lanjutkan

pembinaan ke mereka. Ada juga menurut kami kalau bisa ada tim

konseling yang dapat memberikan para pasien marapu ini pemahaman

bahwa mereka ketika menganut agama apa saja, mereka tidak perlu

meninggalkan marapu. Tidak berarti mereka meninggalkan budaya

atau adat istiadatnya.42

Sejujurnya para pendeta Rumah Sakit juga masih kebingungan dengan

konsep idealnya dalam proses konseling karena ada pertentangan juga antara

ajaran Kristen maupun agama lain dengan mereka yang marapu. Seperti

contohnya sebelum dibawa ke Rumah Sakit mereka harus dulu melihat hati ayam.

41

Wawancara Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit 2, tanggal 09/01/17 42

Wawancara Pdt. Marina J. Kanni dan Pdt. Rana Hamakonda selaku Pendeta Rumah Sakit,

tanggal 09/01/17

68

Bagi para pendeta, dapatkah para pendeta Rumah Sakit memberikan pemahaman

baru bahwa jika memang sakit, ya harus diperiksa ke dokter bukan dilihat dari hati

atau tali perut hewan untuk dijadikan korban.

Ketika ingin memisahkan juga agak susah dengan tradisi konten budaya

kami yang sudah Kristen dan yang masih menganut kepercayaan lokal yaitu

Marapu. Konsep yang dilakukan selama ini menurut para pendeta perlu di

perhatikan secara hati-hati agar bisa di gunakan dalam Marapu dengan tidak

menghilangkan budaya dan kepercayaan mereka, hanya sampai saat ini para

pendeta masih kebingungan akan hal itu. Bagi para pendeta, jika ada tim khusus

konseling pastoral maka sangat baik dan mudah terfokus bagi pasien-pasien yang

memang membutuhkan konseling dan para pendeta Rumah Sakit bisa mengambil

di bagian pastoralnya. Kekurangan dalam konseling di Rumah Sakit Kristen

Lende Moripa Waikabubak, para pendeta kurang mudah memahami teorinya

karena para pendeta hanya belajar secara umum di perkuliahan dan secara

otodidak dan tidak melalui pelatihan khusus.

Rangkuman Bab III :

Agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat Sumba sangat bersifat

heterogen. Baik dilihat dalam lintas agama dan budaya, adanya banyak

suku-suku Sumba di Sumba Barat dan suku-suku pendatang, ada konsep

pemikiran akan pemahaman yang berbeda dalam diri setiap manusia

tentang kehidupannya khususnya dalam menghadapi sakit yang dialami

oleh tubuhnya, adanya perbedaan latar belakang budaya kehidupan yang

dianut baik sebagai konselor (Pendeta Rumah Sakit) maupun sebagai

69

konseli (pasien). Masyarakat di Sumba Barat-Waikabubak memiliki

beragam agama dan bahkan sampai sekarang masih ada penganut agama

suku yaitu Marapu.

Kehidupan masayarakat Sumba Barat yang masih sangat kental dengan

budaya dan adat istiadat terhadap kepercayaan Marapu, hadirlah injil

dalam kehidupan masyarakat di Sumba. Dalam pekabaran Injil dibagi dua

tugas pelayanan yang utama adalah pemberitaan firman sakramen-

sakramen dan hadir juga kegiatan dalam bidang pendidikan, kesehatan,

hukum dan pembangunan masyarakat. ada perhatian khusus yang

diberikan oleh sinode untuk meningkatkan pelayanan bagi masyarakat

Sumba bukan hanya dalam tindakan medis tetapi juga bagi spiritualitas

yang membutuhkan sentuhan kerohanian. Sehingga hadirlah Rumah Sakit

Kristen Lende Moripa di Waikabubak.

Pasien-pasien Marapu khususnya yang dirawat di Rumah Sakit ini

mengalami kurangnya pengakuan akan eksistensi mereka sebagai

penganut Marapu karena pasien-pasien ini dirawat dengan mengikuti

status KTP yang menulis bahwa mereka adalah pemeluk agama Kristen

atau Khatolik sedangkan mereka masih sangat kental menjaga

kepercayaan lokal yaitu Marapu.

Terdapat dua konsep sakit menurut orang Marapu, dalam hal ini mereka

bahwa sakit yang dialami memang karena sakit fisik maupun karena sakit

itu adalah bagian yang harus diterima karena melanggar kepercayaan

Marapu.

70

Ketika masyarakat penganut Marapu sakit maka Rato atau pendeta dalam

kepercayaan Marapu yang akan membantu mereka dalam ritual khusus

bagi para penganut kepercayaan Marapu. Melalui ritual ini maka

masyarakat penganut kepercayaan Marapu dapat mengetahui penyebab

dari sakit yang mereka alami.

Ada pendekatan-pendekatan yang dilakukan Rato dalam ritual yang

dijalankan agar masyarakat yang mengalami sakit dapat di tolong yaitu

Rato membimbingnya (ngiana ole mu appowoda adessa apanangu dage)

agar orang tersebut di bimbing dalam pengambilan keputusan, Rato

memanggil seluruh keluarganya dan meminta agar turut menopangnya

(ngiana pakadawu dulaloko) sehingga ia kembali memiliki hubungan baik

dengan Tuhan dan sesama. Rato melakukan doa kembali untuk

membantunya dalam proses pendamaian (ngiana ole mu apa Molida)

dalam rangka mengutuhkan kembali relasinya. Setelah itu akan dilakukan

pengobatan pribumi atau tradisional untuk menyembuhkan (ngiana

apodasa auwada) dalam artian bahwa penyembuhan ini mengembalikan

keadaan orang tersebut seperti semula.

Pelayanan pastoral di RS Kristen Lende Moripa Waikabubak merupakan

salah satu pokok kebijakan Gereja Kristen Sumba karena sinode memiliki

dua Rumah sakit yaitu Rumah Sakit Kristen Lindimara dan Rumah Sakit

Kristen Lendemoripa. Jadi pelayanan di maknai sebagai ladang pelayanan

untuk para pendeta sebagai konselor memberikan pelayanan bagi pasien

71

melalui bidang kerohanian. Kegiatan yang ada yaitu berdoa untuk

menguatkan dan ada juga konseling dalam bentuk perkunjungan.

Sinode berharap injil di beritakan dan disampaikan dan kemudian bahwa

pasien ini menerima Kristus bukan menjadi tanggung jawab sinode tetapi

menjadi tanggung jawab pendeta Rumah Sakit dan akan diteruskan dalam

pelayanan di jemaat terdekat dan jika hal itu tidak diterima maka tidak

menjadi masalah untuk sinode ataupun para pendeta Rumah Sakit. Tapi

yang pasti bahwa kasih kristus itu yang di nyatakan bagi pasien-pasien

yang berada di Rumah Sakit. Bagaimana menyatakan kasih Kristus itu

tentu dengan pelayanan-pelayanan yang maksimal. Perhatian itu yang

lebih dilakukan. Jadi untuk menjembatani itu tidak secara indoktrinasi

bahwa pasien harus masuk Kristen tetapi dengan cara pelayanan orang

bisa melihat dan mengambil keputusan karena dalam pengambilan

keputusan.

Tantangan yang dihadapi pendeta sebagai konselor yaitu para pendeta

memiliki waktu yang terbatas, pasien Marapu yang di kunjungi tidak bisa

berbahasa Indonesia, jumlah ketenagaan pelayan pastoral yang terbatas

karena tidak ada tim khusus pastoral di Rumah Sakit, pasien memiliki

konsep sakit yang berbeda dengan medis.

Strategi pelayanan pastoral pendeta sebagai konselor lebih banyak pada

perkunjungan dan berdoa dalam konseling karena adanya pengakuan

bahwa mereka tidak memiliki teknik khusus dalam memberikan konseling

dan pelatihan khusus bagi para pendeta Rumah Sakit.