bab iii analisis pembahasan 3.1. pemikiran politik ... · pdf filebab iii analisis pembahasan...

31
BAB III ANALISIS PEMBAHASAN 3.1. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang Berdasarkan Islam Menurut Tjokroaminoto makna istilah nasional merupakan suatu usaha untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya, ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik. 92 Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita- citakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam di Hindia (Indonesia) dalam rangka mewujudkan gagasan besarnya, Pan- Islamisme. Pan-Islamisme melihat perjuangan umat Islam di Hindia sebagai Hal ini menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain yang juga memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri. 92 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal. 391 Universitas Sumatera Utara

Upload: lamtu

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB III

ANALISIS PEMBAHASAN

3.1. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang

Berdasarkan Islam

Menurut Tjokroaminoto makna istilah nasional merupakan suatu usaha

untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya,

ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan

Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi

hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik.92

Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati

terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita-

citakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam

di Hindia (Indonesia) dalam rangka mewujudkan gagasan besarnya, Pan-

Islamisme. Pan-Islamisme melihat perjuangan umat Islam di Hindia sebagai

Hal ini

menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda

karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain

yang juga memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas

baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian

bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk

pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada

akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri.

92 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal. 391

Universitas Sumatera Utara

bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan Afrika untuk menyingkirkan

penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas Yunani dan

Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial

barat. Namun demikian penekanan utamanya tetap pada ’masalah-masalah

nasional dan problem-problem umat Islam di Hindia.’93

Tjokroaminoto pernah merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam

dalam segala aspek kehidupan, ”bangsa Hindia (Indonesia) harus bersandar

kepada sijasah (politik) yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah

sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan

dengan ummat Islam di lain-lain negeri (Pan Islamisme) agar dapat mencapai

kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain Tjokroaminoto

menganggap bahwa ”pergerakan sijasah (politik) itu suatu kewajiban yang penting

bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan

umat dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah

S.W.T. Upaya untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh

tidak kita kaum muslimin mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan

kebangsaan (nationale urijbeid) dan mesti berkuasa atas Negeri tumpah darah kita

sendiri.”

94

Tjokroaminoto melihat kebangkitan kembali Pan Islamisme di negara-

negara Islam yang pergerakannya semakin baik, kuat, dan terorganisir.

Tjokroaminoto dengan demikian meyakini bahwa sejarah akan berulang dimana

umat Islam di seluruh dunia akan bersatu menjadi suatu bangsa yang kuat dan

93 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta:

Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.179 94 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya,

Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995, hal.39

Universitas Sumatera Utara

kemudian akan mengambil alih kepemimpinannya yang dahulu untuk

menginternalisasi kembali nilai-nilai Islam kepada golongan lain sehingga dapat

menundukkan negeri Barat dan Timur.95

Mengenai kentalnya ikatan primordial ini juga dinyatakan Tjokroaminoto

dalam suatu pidato di tahun 1915 yang menyatakan bahwa di kalangan rakyat

Indonesia masih terlalu sedikit perasaan persatuan kebangsaan. Orang Madura

tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa pun demikian dengan orang

Sunda, dan orang Sunda demikian pula dengan orang Palembang. Namun, demi

kemajuan dan kebangkitannya, di atas segala-galanya rakyat Indonesia harus

berhati-hati. Sarana untuk mencapainya adalah agama Islam. Islam menghimpun

semua orang karena tidak seorang pun di Hindia yang mau disebut bukan orang

Arti dari gerakan Pan Islamisme ini,

menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan oleh Tjokroaminoto persatuan

nasib. Islam maupun sekuler diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi

nasionalisme.

Tjokroaminoto sendiri amat menyadari adanya perbedaan karakteristik

tersebut hingga menciptakan pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa

Indonesia. Kemajemukan ini terutama terletak pada beragamnya suku-suku yang

ada di Indonesia. Dan kemajemukan ini pula-lah yang menjadi ’senjata’ bagi

pemerintah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dengan jitu mereka

menerapkan politik devide et impera lewat pembentukan kelas-kelas sosial yang

berbeda di dalam kemajemukan suku tadi. Sehingga masing-masing suku

membentuk eksklusifitasnya masing-masing dan mengedepankan ikatan

primordialnya saja.

95 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal.111

Universitas Sumatera Utara

Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama Islam ini. Dalam

istilah ’Oetoesan Hindia’, Islam adalah semen pengikat puluhan juta orang

Indonesia. Islam juga sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta

tanah air.96

Maka seandainya umat muslim hanya diam saja dalam menghadapi

perselisihan antar kultur tersebut, Tjokroaminoto mengkhawatirkan ikatan yang

ada di antara umat muslim akan rusak dan menyebabkan mereka akan mudah

terpecah belah satu sama lainnya ke dalam beberapa kelompok Islam dan satu

sama lainnya saling membesarkan cita-cita kesukuannya masing-masing seperti

ke-Maduraan, ke-Sundaan, ke-Jawaan, ke-Lampungan, ke-Minagkabauan, ke-

Bugisan, ke-Ambonan, dan lainnya. Tentu hal ini merupakan bahaya laten karena

amat rentan untuk disusupi politik devide et impera Belanda. Jadi akan semakin

sulitlah untuk mencapai persatuan. Untuk mengantisipasi hal tersebut kaum

Yang kemudian dipertegas lagi oleh beliau dalam pendapat yang

disampaikannya di depan Kongres PSII XIX yang diadakan di Jakarta pada tahun

1933 yang judul pre-advisenya adalah Cultuur dan Adat Islam. Pada pidatonya

tersebut Tjokroaminoto mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai

meninggalkan kultur dan adat Islam atau bahkan sampai menukarnya dengan

kultur segelintir golongan rakyat Indonesia. Walaupun perselisihan ini belum

tampak terlalu besar namun kaum muslimin tidak boleh hanya bersikap netral atau

diam dalam menghadapi perselisihan antara kultur Islam dengan kultur lainnya itu

karena hanya akan merugikan kultur Islam saja.

96 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Gratifipers, 1985, hal.56

Universitas Sumatera Utara

muslimin wajib menciptakan kultur Islam dengan dasar-dasar yang sebenarnya

dan berusaha meng-sinkronkannya dengan pemikiran dan cita-cita modern.97

”Kita cinta bangsa sendiri dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan, dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.”

Namun bukan berarti hanya umat Islam saja yang dapat mempersatukan

dirinya ke dalam suatu bangsa (natie). Dalam Kongres Central Sarekat Islam

(CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto mengatakan bahwa:

98

Bahkan dengan kesadaran yang tinggi tentang pluralitas bangsanya

sebagai realitas sosial, budaya, dan politik yang memang nyata ada di tengah-

tengah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme,

sosialisme, dan demokrasi yang berasaskan Islam namun bukan mengarah pada

berdirinya sebuah Negara Teokrasi (Negara Agama). Dengan perjuangan yang

Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan

agamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam

arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa

Indonesia, termasuk di dalamnya umat agama lain, berada pada posisi

termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah

mendapatkan hak untuk ikut memerintah. Hal ini semakin menguatkan perspektif

beliau bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat

dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar

kesamaan dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari

unsur lain. Tjokroaminoto percaya unsur pembeda itu adalah Islam.

97 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.103 98 Ibid, hal.43

Universitas Sumatera Utara

berlandaskan semangat nasionalisme dan demokrasi, berarti mengajak seluruh

komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama

rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna

diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari cengkeraman penjajah.

Jadi yang berusaha dijelaskan oleh beliau adalah bahwa Nasionalisme

Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung

fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang

berdasarkan Islam.

”Islam sepertujuh bagian rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya ’eng’ nasionalisme (yang sempit) dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam. Yakni sosialisme yang menghendaki mono-humanisme (persatuan manusia) dikuasai oleh satu Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dengan lantaran (melalui) hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada Utusan-Nya Nabi penutup Muhammad SAW.”99

“Yang kita inginkan adalah sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian hingga mencapai tahap berpemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme berdosa, CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia atas manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.”

3.2. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Sosialisme yang

Berdasarkan Islam

Tjokroaminoto mulai mengangkat tentang sosialisme ini pada Kongres SI

di Batavia pada Oktober 1917. Di Kongres tersebut Tjokroaminoto mulai

mengecam kapitalisme Belanda. Ia berkata:

100

99 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hal.268 100 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, op.cit, hal.125

Universitas Sumatera Utara

Tjokroaminoto sendiri ketika harapan akan datangnya Ratu Adil merebak

di tengah-tengah masyarakat, ia menyebut Ratu Adil bukan dalam pengertian fisik

sebagai manusia, namun sistem yang melawan ketidakadilan yaitu sosialisme. Ide

yang berlandaskan demokrasi dan nasionalisme yang diilhami oleh ajaran Islam.

Ia kemudian memperkenalkan konsep ’kapitalisme berdosa’ yaitu setiap modal

asing yang berusaha melipatgandakan modalnya melalui penghisapan atas bangsa

Hindia dan ini pasti diikuti kolonialisme. Kapitalisme bertemu dengan

kolonialisme tentu akan menghasilkan exploitation del’home par l’home serta

explatation de nation par nation.

Ia menyebutnya sebagai ’kapitalisme yang berdosa’, sesuatu yang

mendasari pemikiran teoritiknya ’Sosialisme Islam’. Tak dapat disangkal

pertarungannya dengan kelompok komunis selam beberapa tahun telah

membuatnya semakin sungguh untuk membuktikan Islam juga sebagai ajaran

yang mengadakan keberpihakan terhadap kaum tertindas (Musthadh’afin),

Tjokroaminoto mengatakan ’de Islam is de godsdient van de armen en de

verdrukten’ (Islam adalah agamanya kaum miskin dan yang tertindas).101

Pada bulan Desember 1924, Tjokroaminoto menuangkan pemikirannya

mengenai Sosialisme Islam tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Islam

dan Sosialisme. Menurut beliau di bukunya itu ’Sosialisme’ asalnya dari

perkataan bahasa Latin socius, yang artinya dalam bahasa Belanda: Makker;

dalam bahasa Indonesia: teman-sahabat; dalam bahasa Jawa: kanca; dan dalam

bahasa Arab: asyrat atau sahabat. Sosialisme mengutamakan paham ’pertemanan’

atau ’persahabatan’ sebagai unsur pengikat di dalam pergaulan masyarakat. Jadi

101 Ibid, hal.129-130

Universitas Sumatera Utara

paham Sosialisme itu bertentangan sama sekali dengan paham individualisme,

yang hanya mengutamakan kepentingan ’individu’ (kepentingan diri sendiri).

Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua dan semua buat satu,

yaitu cara hidup yang memperlihatkan kepada kita, bahwa kita semua memikul

pertanggung jawaban atas perbuatan kita bersama, satu sama lain. Sedang

individualisme mengutamakan paham tiap-tiap orang buat dirinya sendiri.

Dalam menuangkan pemikirannya tersebut, Tjokroaminoto banyak

membaca tulisan-tulisan pengarang dari Barat terutama karangan Prof.Quack

(bangsa Belanda). Dari dalam kitab itu beliau bisa mengenal kaum sosialis dari

berbagai abad dengan aturan masing-masing yang dibuat. Ternyata berdasarkan

penelaahan beliau terdapat begitu besar perbedaan pengertian sosialisme antara

satu dengan yang lainnya. Satu hal yang disepakati di antara mereka adalah

sosialisme itu hendak melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban bersama di

atas hawa nafsunya orang perorang atau segolongan manusia saja.

Beliau menguraikan bahwa pergerakan-pergerakan sosialistis zaman

dahulu tersebut pertama kali timbul tidak hanya karena disebabkan kerusakan

masyarakat pada masing-masing zaman yang bersangkutan, tetapi juga terutama

sekali mendapat impuls dari perasaan keagamaan yang mendalam. Namun secara

perlahan-lahan unsur kebaikan dan Agama yang banyak terdapat pada kalangan

rakyat tersebut semakin lemah dan perlahan-lahan pergerakan rakyat yang bersifat

sosialistis itu semakin lama semakin bertambah kuat berkiblat pada unsur

kebendaan belaka (stoffelijke dingen), terutama sekali di negeri-negeri Barat. 102

102 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega Arsy, 2008, hal.1-2

Universitas Sumatera Utara

Seperti yang juga diungkapkan oleh Marx dalam Materialism Dialectic

dan Historis Materialism. Materialism Dialectic adalah pandangan hidup yang

menekankan pada aspek perkembangan kebendaan. Sedangkan Historis

Materialism adalah ilmu sejarah yang disandarkan pada sejarah perubahan sistem

produksi yang berasal pada benda yang nyata.103 Marx juga mengatakan bahwa

dunia itu terdiri atas benda yang dapat ditangkap oleh panca indera, dan dunia

yang seperti itulah yang ada. Sedangkan pikiran, perasaan walaupun tampaknya

berada di atas panca indera namun hanya merupakan hasil dari pemikiran otak

tentang adanya benda. Kenyataan ini membuktikan Historis Materialism nyata-

nyata menentang akan eksistensi Tuhan, malaikat, roh dan perkara gaib lainnya

yang diajarkan oleh semua agama terutama sekali oleh Islam. Menurut Hegel

sebagaimana yang ditirukan juga oleh Marx bahwa: ‘agama itu adalah

kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan hidup yang

sulit ini sehingga agama itu merupakan candunya rakyat.’104

103 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.131 104 Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.115

Meskipun begitu banyak pendefinisian yang berbeda dari masa ke masa

tersebut, namun bisa digeneralisir bahwa sosialisme itu bermaksud

mengimplementasikan suatu teori cita-cita kemasyarakatan yang bertentangan

dengan sistem masyarakat yang berlaku di negeri yang disebut sopan (Barat),

yaitu sistem yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada orang yang merdeka,

untuk bersaing sebebas-bebasnya dalam bidang politik, bidang produksi dan

pembagian hasilnya, dan bebas pula untuk mempunayi hak milik atas alat-alat

produksi.

Universitas Sumatera Utara

Sekalipun teori-teori sosialisme tersebut juga mempunyai maksud dan

tujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan dominan

jumlahnya agar mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat

mereka yaitu dengan jalan memerangi penyebab yang menimbulkan kemiskinan

mereka. Namun teori-teori tadi juga bermaksud menentang kehidupan sosial

masyarakat yang ada sekarang ini, baik yang berkaitan dengan soal ekonomi,

pengadilan, bahkan soal kehidupan beragama.105

Cita-cita sosialisme dalam Islam itu, tidak kurang berumur tiga belas abad,

dan tidak dapat dikatakan bahwa berasal dari pengaruh orang Eropa. Walaupun

tidak dapat dikatakan saat itu sudah ada propaganda sosialisme yang tersistematis

seperti sekarang, namun sesungguhnya azas-azas sosialisme itu telah dikenal

dalam masyarakat Islam pada zaman nabi Muhammad SAW dan azas-azas

tersebut lebih banyak lebih mudah dilakanakan pada masa itu jika dibandingkan

dengan pelaksanaannya di Eropa pada masa kapan pun juga.

Ia kemudian menentang konsep-konsep sosialismenya Marx dan

kapitalisme itu, karena konsep Marx menjauhkan manusia dari agama sedangkan

kapitalisme memperlihatkan watak individualisme yang berlebihan untuk

menimbun harta yang pada akhirnya digunakan sebagai alat penindas rakyat.

Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan

benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai objek. Sedangkan yang dilihat dari

sudut pandang Islam, manusia itu khalifah, subjek yang merupakan muara atas

semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.

106

105 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.3 106 Ibid, hal.8

Universitas Sumatera Utara

Kemudian ia mencontohkan tentang dasar-dasar sosialisme dalam

pengertian Nabi Muhammad adalah kemajuan akhlak dan budi pekerti rakyat.

Diyakininya tiap-tiap sosialisme yang sejati tidak akan tercapai selamanya kalau

tidak dengan kemajuan akhlak budi pekerti rakyat itu. Akhlak dan budi pekerti

yang baik itu umumnya ada pada bangsa Timur terutama bagi yang beragama

Islam. Meski umat Islam seperti juga bangsa-bangsa Timur telah turun derajatnya

di mata dunia, tapi mereka itu masih memiliki sifat dan tabiat yang sangat

diperlukan untuk menjadi dasar kemajuan sosialisme.107

Hanya agamalah yang mampu membawa manusia kepada cita-cita yang

mulia dan membekali manusia tidak hanya di dunia ini melainkan juga terutama

untuk hidup di dunia yang baqa dan kekal. Hanya agamalah yang mampu

Tabiat dan nafsu manusia itu pada dasarnya tergantung keadaan

tempatnya, yang masing-masing akan berusaha membesar-besarkan dan

menjunjung setinggi-tingginya diri sendiri, pribadi dan egonya. Maka obat untuk

mengatasi atau mencegah datangnya penyakit tersebut adalah agama. Sosialisme

haruslah berdasar atau sesuai dengan kepercayaan agama. Kalau tidak maka

sosialisme akan menyimpang dan membawa kerusakan pada manusia. Terutama

dalam dunia yang dikuasai oleh nafsu kebendaan, dimana tujuan hidup manusia

hanya untuk memenuhi nafsunya kebendaannya semata, maka dalam dunia yang

seperti itu akan sulit diharapkan seorang manusia mengorbankan kepentingan

pribadinya demi kepentingan masyarakat. Dan dalam dunia yang hanya dikuasai

oleh akal dan materialisme saja, segala keahlian itu pasti hanya untuk kepentingan

‘si kuat’ guna menindas ‘si lemah’.

107 Ibid, hal.15

Universitas Sumatera Utara

menggerakkan manusia untuk megusahakan segala kekuatan rohani dan kekuatan

budi pekerti yang terkandung di dalamnya.108

Tjokroaminoto juga menegaskan kalau Nabi Muhammad ialah seorang

nabi sejati dalam arti yang sebenarnya, tidak pernah melakukan paksaan atau

pengerdilan dalam sosialisme. Nabi Muhammad pun tidak pernah melakukan

suatu perjuangan kelas (klassen stijd) dan tidak pernah pula beliau melakukan atau

memerintah orang untuk melakukan diktatur van het proletariat (kekuasaan hanya

dimonopoli oleh kaum miskin). Segala sesuatu yang beliau lakukan untuk

memajukan masyarakat, merupakan pelajaran yang hak dan petunjuk jalan yang

benar. Beliau melakukan interaksi dengan semua manusia, tanpa membedakan

kepandaiannya, derajatnya, atau tempat tinggal mereka. Yang pertama sekali

dilakukan beliau adalah memperbaiki dan mempertinggi akhlak masing-masing

orang dan dengan demikian berarti beliau telah membersihkan masyarakat dari

segala kekurangan, celaan, dan keburukan.

Orang-orang sosialis Barat terlebih orang Bolsyevik atau komunis pada

masa sekarang ini menjalankan sosialisme itu dari puncak dan tidak dimulai dari

dasar. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan sosialisme itu

berbeda dengan orang-orang sosialis Barat, yaitu dimulainya dari bawah. Mula-

mula beliau mengubah sifat dan tabiat masing-masing orang sehingga mampu

untuk membangun masyarakat yang sosialistis dengan terlebih dahulu

membangun sifat dan tabiat yang menjadi dasar dan sandaran dari suatu negara

yang tinggi tingkat sosialisnya.

109

108 Ibid, hal.100-102 109 Ibid, hal.122-123

Universitas Sumatera Utara

Tjokroaminoto kemudian menerangkan berbagai contoh dari pemerintahan

Islam yang pada dasarnya mengenal dua macam sosialisme, masing-masing ialah:

1. Staats-socialisme, baik bekerja dengan kekuatan satu pusat

(gecentraliseers) maupun bekerja dengan kekuasaan gemeente-gemeente

(gedecentraliseerd)

2. Industrie-socialisme

Menurut beliau sosialisme yang pertama itulah yang penting karena inilah

yang dijalankan Islam. Jika suatu negara bersifat sosialistis, maka hendaknya

pekerjaan kerajinan (industri) diaturnya secara sosialistis dengan seluas-luasnya.

Maka dalam negara yang seperti itu, tanahlah yang menjadi sumber penghasil dan

sumber pekerjaan industri besar, itupun jika dijalankan sebaik-baik

Landsocialisme dan Staats-socialisme. Dengan begitu tanah menjadi milik negara,

kemudian alat-alat produksi yang dapat menghasilkan barang diberikan negara

kepada rakyat. Maka sosialisme seperti inilah yang terutama sekali dijalankan

oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka

secepatnya diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikan milik negara.110

Terakhir beliau mengatakan bahwa keistimewaan sosialisme Islam ialah

tidak merusak semangat berkarya dan kegiatan seseorang serta tidak menjadi

penghambat cita-cita seseorang untuk maju sebaliknya dipantangkan bagi

seseorang menindas dan merusak orang lain, atau menjadi kaya dengan cara

merugikan atau memakai hasil usaha orang lain. Sosialisme Islam tentu saja dapat

mencapai tujuannya karena setiap orang baik pria maupun wanita telah mampu

untuk menerima azas sosialistis karena akhlak, sifat, serta tabiatnya telah

110 Ibid, hal.8-9

Universitas Sumatera Utara

diperbaiki terlebih dahulu. Dasarnya sosialisme Islam adalah agama. Orang Islam

baik pria maupun wanita semuanya berusaha untuk melakukan perbuatan yang

baik dan benar.111

Dengan Sosialisme Islam, hak individu masyarakat tetap terjamin. Yang

penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa belaka, tetapi membangun

semangat berkompetisi dengan skill masing-masing, karena setiap orang memang

dilahirkan tidak untuk sama rata sama rasa, apalagi kalau kemudian disama

ratakan melalui proses yang dipaksakan secara diktator. Setiap orang bebas

mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu

namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan beliau menambahkan,

dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan

atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam persentase

tertentu harus diberikan kepada orang yang tidak mampu yang disebut sedekah

Tjokroaminoto disini berusaha memperlihatkan keunggulan Sosialisme

Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya,

termasuk sosialisme Marx, komunisme, dan kapitalisme. Tjokroaminoto hanya

memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme

yang manusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosialisme yang

dibangun atas dasar diktator proletariat. Dengan sistem pasar tunggal yang

dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat-alat produksi,

ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi.

Sementara itu Sosialisme Islam justru memperbolehkan setiap orang untuk

berusaha dan berkompetisi secara jujur dan adil.

111 Ibid, hal.122

Universitas Sumatera Utara

atau zakat. Sosialisme model ini tidak melahirkan kondisi sama rata, tetapi

menimbulkan kondisi sama rasa seperti yang ditekankannya dalam pidato di

Kongres SI di batavia sebelumnya, yang mana maksudnya sama-sama merasakan

kebahagiaan satu sama lainnya.

Maka Tjokroaminoto telah tiba pada pada suatu kesimpulan akhir bahwa

sosialisme itu mudah dijalankan oleh mereka yang beragama Islam karena

landasan nasionaliteit mereka adalah agama.112

”Sosialisme Islam mudah ditanam dan dilakukannya, oleh karena Nasionaliteit (kebangsaannya) orang Islam itu tidak terbatas oleh batas-batas kenegaraan, oleh perbedaan warna kulit, oleh perlainan bahasa, oleh perbedaan tanah air dan benua, tetapi kebangsaannya orang Islam adalah berdasarkan kepada agama, yang batas-batasnya sangat luas, melampaui batas-batas yang sempit.. Di tempat mana saja orang Islam tinggal, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bagian dari masyarakat Islam, di tempat manapun orang Islam itu berdiam, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Nasionalisme yang semacam itulah Nasionalisme Islam, yang menjadi dasar sosialisme yang tersiar di seluruh muka bumi.”

Terhadap hal ini Tjokroaminoto

tiba pada uraian kaitan sosialisme dengan kebangsaan dan berpendapat :

113

Bagi Tjokroaminoto pondasi dari sistem demokrasi harus didasarkan pada

tauhid yaitu segala sesuatu berasal dari Allah, untuk Allah, dan kembali pada

Allah. Bukan pondasi yang dianut oleh paham Kapitalisme dan Komunisme yang

berakar pada pandangan hidup materialisme.

3.3. Pandangan Tjokroaminoto tentang Demokrasi dan Sistem Parlemen

114

Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh

melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya dia akan menjadi

112 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.88 113 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.125 114 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal. 54

Universitas Sumatera Utara

seorang demokrat, dan demikian juga sosialis. Tetapi tidak berarti dalam

pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Sebab jika

seseorang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah Allah maka ia

tidak akan lagi dipenuhi nafsu egoisme, individualisme, despotisme, maupun

kapitalisme. Jika tidak maka ia belum dapat dikatakan seorang muslim yang

baik.”115

“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”(Asy-Syura: 38)

Demokrasi yang dimaksudkannya disini jelas adalah demokrasi yang

Islami sebab menekankan pada musyawarah yang didukung oleh pendapat rakyat.

Tjokroaminoto menyatakan hal tersebut dalam Program Asas PSII yaitu “Negeri

merdeka (Indonesia) yang kaum Partai SI Indonesia wajib mencapainya,

pemerintahannya haruslah bersifat demokratis, sebagaimana yang dicantumkan di

dalam Al-Qur’an:

116

“Menurut faham kaum partai SI Indonesia dan juga mengingat contoh-contoh pada zaman Khulafaur Rasyidin, pemerintahan yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tersebut, terlebih-lebih buat zaman kita yang sekarang ialah harus suatu pemerintahan yang kekuasaannya bersandar kepada kemauan Rakyat (Ummat), yang menyatakan sepenuh-penuh suaranya di dalam suatu Majelis Usy-Syura, yaitu berupa Majelis Perwakilan Rakyat, susunan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya harus berdasar kepada asas-asas demokrasi yang seluas-luasnya.”

Selanjutnya, Tjokroaminoto menjelaskan bahwa:

117

Dengan mengambil sampel tentang kehidupan politik di desa-desa, ia

berharap demokrasi juga dapat diterapkan di Hindia secara menyeluruh. Ia

mengatakan di desa-desa demokrasi telah ada dalam bentuk Dewan Kampung,

115 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.135 116 Q.S. Asy-Syura: 38 117 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, Jakarta: Lajnah

Tanfidiyah PSII, 1965, hal.29-30

Universitas Sumatera Utara

tempat semua warga desa dapat saling berdiskusi untuk memecahkan masalahnya

sehari-hari. Belum lagi pemilihan kepala kampung telah menjadi model

demokrasi di Hindia.118

Perintah mengadakan pemerintahan yang bersifat musyawarah menurut

beliau turun di Makkah ketika kaum muslimin masih berjumlah sedikit dan hidup

dalam penindasan dan ketidakadilan. Perintah tersebut ternyata bermaksud agar

kaum muslimin, walaupun dalam keadaan tertindas, perlu menyiapkan organisasi

untuk membicarakan dan memutuskan perkara-perkara mengenai umat.

Organisasi ini adalah majelis yang disebut sebagai Majelis Usy Syura dan waktu

itu modelnya dapat disamakan dengan parlemen masa sekarang. Musyawarah

itulah yang menjadi dasar corak pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin.

119

Di dalam Islam, pemerintahan baik yang berbentuk republik atau kerajaan

dengan parlemen harus berlandaskan ‘sosialisme yang sejati’ sebagaimana yang

dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Didalam sistem ini, baik rakyat

maupun penguasanya akan dapat terbebas dari sikap saling membenci dan

bermusuhan disebabkan perbedaan golongan, perbedaan bangsa atau warna kulit;

tidak ada perbedaan kebutuhan dan keperluan antar yang diperintah dan yang

memerintah; atau penduduk tidak perlu lagi memakai kekuasaan dan polisi untuk

menjaga ketertiban. Pemerintahan mendapat kontrol dari seluruh rakyat yang

berpegang pada hukum Tuhan yaitu Al-Quran.

120

118 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.83 119 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, op.cit, hal. 31-32 120 Ibid, hal.34-35

Kedaulatan Negara dipegang

oleh rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Islami inilah yang menjadi perhatian

Tjokroaminoto.

Universitas Sumatera Utara

Untuk mendukung pemerintahan yang sosialistis yang kedaulatan Negara

ada di tangan rakyat ini, mula-mula tabiat tiap rakyat harus diubah sehingga

mampu untuk membangun masyarakat yang sosialistis. Pendidikan politik harus

ditanamkan pada rakyat agar mengerti hak dan kewajibannya. Tjokroaminoto

menandaskan “tiap-tiap kali terasa perlunya ada usaha untuk memperbaiki soal

pemerintahan dan Negara, maka tiap-tiap kali pula tambah perlunya diadakan

usaha untuk memperbaiki tabiat dan perangai dari tiap-tiap rakyat dalam Negara

tersebut.”121

“Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harapkan dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk bumiputera hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa keikutsertaan kita”. Dilanjutkan lagi “Kita terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda, atau paling sedikit Dewan Jajahan (Dewan Rakyat), agar kita dapat berbicara dalam urusan pemerintahan.”

Kemudian mengenai parlemen yang dimaksudkan oleh beliau adalah

Dewan Rakyat. Dalam kongres SI di Bandung pada tahun 1916 ia

mengemukakan:

122

Dewan Rakyat yang akan dibentuk pada tahun 1917 itu, walaupun tidak

dapat disebut ideal, menurut Tjokroaminoto tetap harus disambut dengan gembira

sebagai langkah pertama untuk mencapai tujuan akhir, ialah pemerintahan sendiri

untuk Indonesia. Karena memang pada saat itu, komposisi dari para anggota

Volksraad amat tidak seimbang dan tidak menguntungkan rakyat. Apalagi

wewenang Volksraad hanya sebagai penasihat pemerintah kolonial Belanda.

121 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal.46 122 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, op.cit, hal.59

Universitas Sumatera Utara

Volksraad bukan badan legislatif sebagaimana tuntutan Kongres SI yakni badan

legislatif sebagai badan pembuat undang-undang yang akan dikenakan kepada

rakyat.123

Jadi menurut pandangan Tjokroaminoto, apa yang dimaksud referendum

tidak lain ialah hak rakyat atau ummat untuk menyatakan pendapatnya terhadap

rancangan Undang-Undang baik yang disampaikan oleh pemerintah ke forum

parlemen atau yang berasal dari usul inisiatif anggota Dewan Rakyat (parlemen)

sendiri. Sedang yang dimaksud dengan volksinitiatief disini ialah hak rakyat untuk

mengajukan. Rancangan Undang-Undang sendiri langsung kepada parlemen

tentang apa yang menjadi keinginan rakyat. Adanya referendum dan volksinitiatief

oleh beliau bukan untuk meniadakan parlemen, tetapi justru untuk memperkuat

dan memperluas pengaruh parlemen dan juga sebagai bukti bahwa parlemen itu

adalah hasil penjelmaan dan kemauan rakyat dan karena itu parlemen harus

Namun apabila Dewan Rakyat maupun partai-partai politik tidak mampu

untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka rakyat harus memberikan

kesempatan untuk menyatakan sikapnya dalam bentuk referendum agar

pemerintah dan parlemen dapat mengetahui secara pasti tentang suatu Undang-

Undang yang akan disahkan itu apakah dapat diterima oleh rakyat atau tidak.

Bahkan dalam rangka kepentingan secara menyeluruh, rakyat pun harus diberi

kesempatan untuk menyampaikan inisiatif rakyat sendiri secara langsung yang

disebut dengan istilah Belanda Volksinitiatief. Perihal ini seperti yang sudah

berlaku di Swiss kira-kira sejak pertengahan dan penghabisan abad ke-19.

123 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.397

Universitas Sumatera Utara

bergantung kepada dan senantiasa mengumandangkan suara dan kepentingan

rakyat. 124

Selanjutnya Tjokroaminoto menyatakan bahwa dalam sistem

pemerintahan Islam, sudah sejak lama terdapat peraturan atau undang-undang

mengenai orang-orang yang mempunyai hak memilih yang disebut ahlul ikhtiyar

atau ahlul aqd wal hall yaitu orang-orang yang membuat dan membatalkan

undang-undang, dan mengenai orang-orang yang mempunyai hak untuk dipilih

atau ahlul imamat yaitu orang-orang yang bertugas memegang dan menjalankan

kekuasaan.

125

Tjokroaminoto sendiri semasa masih aktif menginginkan banyak tokoh

Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin

pemerintahan menjadi Negara Islam karena ini akan mengingkari sendiri

ajarannya tentang perlunya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa

diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atas nama agama.

Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain

langsung atau tidak akan terdiskriminasi bahkan termarjinalkan.

Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa

muslim itu demokrat dan sosialis. Dengan pengertian dari prinsip-prinsip ini,

berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan

menegakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat.

Tjokroaminoto tidak mengedepankan kekuasaan Islam melainkan pengabdian

Islam di tengah masyarakat yang pluralistik.

124 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit. hal.43 125 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, loc.cit, hal.32

Universitas Sumatera Utara

3.4. Pemikiran Tjokroaminoto dalam Konfigurasi Politik Kontemporer

Tjokroaminoto pada akhirnya berusaha menunjukkan nasionalisme,

sosialisme, bahkan demokrasi dapat berjalan beriringan, bukan ditempatkan dalam

posisi terkotak-kotak yang saling berkonfrontasi, juga tidak sebagai ideologi yang

dikotomis melainkan semua merupakan sistem untuk membangun sebuah

komposisi masyarakat yang ideal.

Dalam hal ini dapat terlihat keunggulan pemikiran Tjokroaminoto, dimana

meskipun ajaran-ajarannya dapat dikatakan ‘tertinggal’ lebih dari satu abad,

namun tampak tetap lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau

kelompok ‘yang menganggap dirinya paling tahu tentang Islam’ di masa kini,

yang terus sempit dalam melihat konsep nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme

sebagai sesuatu yang ‘anti Islam’ bahkan dianggap sebagai barang impor dari

dunia Barat yang non-Islami, dan lebih parah lagi sampai ada anggapan sebagai

pemikiran kaum kafir. Misalkan saja ada tudingan yang menyatakan demokrasi

bekan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam

karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga selalu

diidentikkan dengan komunisme dan atheisme dan oleh sebab itu harus diperangi.

Hal ini tidak terlepas dari adanya pengalaman sejarah yang terjadi di

negara-negara Islam atau yang mayoritasnya penduduk Islam dalam hubungannya

dengan kolonialisme Barat yang mendera mereka di masa lalu, sehingga apa saja

yang dianggap ‘produk Barat’ termasuk pemikiran dan ide yang dihasilkan dari

sana secara apriori dimusuhi dan dikategorikan sebagai ‘bertentangan dengan

Islam’. Padahal sosialisme disini adalah yang diangkat dari konsep-konsep untuk

Universitas Sumatera Utara

membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan secara

langsung oleh Rasul dan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoritarian.

Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan

kemudian menjadikannya sebagai salah satu bentuk solidaritas perlawanan

terhadap Barat. Dan ini kemudian ditandai dengan munculnya rasa nasionalisme.

Sebagai pihak yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Islam tak lagi hanya

bertahan sebagai identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang

terbuka untuk memerdekakan bangsanya. Oleh karena itu, hubungan Islam dengan

nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam

perlawanan panjang terhadap kolonialisme Barat. Beberapa negara yang merdeka

dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan sosialisme Islam sebagai

bentuk perlawanan kepada Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat

dengan masyarakat mayoritas muslim. Hanya saja, tidak berbeda dengan

sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negara-

negara yang mengaku sosialis sejati tetapi rakyatnya malah menderita dipasung

sistem tirani, demikian juga halnya sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan

sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik,

rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang

berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lainnya saling bermusuhan.

Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan

sebutan ‘Republik Sosialis Islam’ atau ‘Kerajaan Sosialis Islam’ dengan rakyatnya

yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa

karena hak-hak asasinya terbelenggu. Tak beda dengan negara-negara yang

memasang label ‘Republik Sosialis’ yang memilih jalan sosialisme Marx, dimana

Universitas Sumatera Utara

bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya negara-negara

berlabel sosialis itu bahkan malah mengalami keruntuhan karena dimana-mana

dibenci oleh rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis.

Apa yang dikemukakan oleh Tjokroaminoto tersebut sesungguhnya bukanlah

Tjokroisme melainkan murni ajaran Islam. Tjokroaminoto hanya berperan dalam

mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan.

Pemikiran Tjokroaminoto diatas yang mengemukakan Islam sebagai dasar

dan pedoman dalam nasionalisme dan sosialisme menjadikan suatu pertanyan

kembali bagi kita umat Islam di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang sampai

saat ini tetap dominan menganut agama Islam masih sering terjebak dengan

segala multi tafsir mereka masing-masing terhadap Islam dan Al-Quran sebagai

kitab sucinya. Diantara mereka ada yang dinamakan sebagai golongan konservatif

yang menganggap masih mempertahankan kemurnian nilai-nilai Islam, golongan

fundamentalis atau ekstrimis yang beraliran radikal, atau golongan liberal dengan

hermeneutiknya yang mayoritas berasal dari kaum intelektual. Sesama mereka

saling mengklaim bahwa Islam-nya lah yang paling benar dan baik. Bahkan tidak

jarang diantara mereka sampai terlibat konflik untuk mempertahankan keyakinan

semunya tersebut. Mereka lupa bahwa seluruh kaum muslimin bahkan seluruh

umat manusia itu bersaudara seperti yang tertulis dalam Al-Quran dan kemudian

diingatkan kembali oleh Tjokroaminoto. Dari pemaparan mengenai

Tjokroaminoto sebelumnya dapat diambil kesimpulan:

Pertama, Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang memiliki multi

talenta. Bakat-bakatnya tersebut diasahnya secara otodidak. Ia pernah merasakan

menjadi seorang pegawai pamong praja yakni sebagai juru tulis di Ngawi,

merasakan pahitnya menjadi seorang kuli pelabuhan di Semarang, kemudian di

Surabaya ia sempat bekerja di sebuah perusahaan dagang, dilanjutkan menjadi

Universitas Sumatera Utara

seorang teknisi dan bekerja sebagai leerling machinist di jawatan kereta api,

bahkan setelah itu ia sempat bekerja sebagai seorang ahli kimia di sebuah pabrik

gula yaitu Rogojampi Surabaya, dan terakhir menjadi seorang kolumnis di salah

satu surat kabar di Surabaya. Dengan semua bakat dan pengalamannya selama

bekerja di berbagai tempat dan macam pekerjaan tersebut ditambah dengan

kepribadiannya yang unik, yaitu kombinasi antara keturunan bangsawan priyayi

dan ulama yang merakyat, menjadikannya sebagai pemimpin dengan

kemampuan yang komplet.

Kedua, Tjokroaminoto berusaha menunjukkan bahwa Islam bukanlah

agama yang kaku dan rumit dalam memandang perubahan zaman. Islam

diyakininya adalah sebuah agama yang toleran dan fleksibel dalam menghadapi

pergolakan pemikiran dan ideologi. Hal ini dibuktikan ketika ia berusaha

melakukan rekonsiliasi dengan pihak komunis atau di SI disebut sebagai SI

Merah. Dalam brosur yang nantinya menjadi buku ’Sosialisme Islam’, ia berusaha

memperlihatkan kalau Islam juga menganut prinsip-prinsip hidup dalam

sosialisme dan mempunyai ’musuh’ yang sama dengan kaum sosialis yaitu

kapitalisme. Namun, menurut beliau yang membedakan antara Islam dan

sosialisme terletak pada keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan.

Ketiga, Tjokroaminoto bukanlah seseorang yang taqlid atau memiliki

fanatisme agama yang berlebihan sehingga menganggap agama lain tidak layak

memperoleh kemerdekaan seperti yang diasumsikan oleh kelompok nasionalis

sekuler. Beliau adalah orang yang amat jeli membaca situasi. Ia melihat potensi

Islam yang dapat menyatukan masyarakat Hindia sebagai suatu bangsa yang utuh

dan merdeka. Islam waktu itu dianut 90% masyarakat Hindia (Indonesia) mulai

Universitas Sumatera Utara

dari golongan paling bawah seperti petani hingga golongan paling atas seperti

kaum bangsawan. Selain itu, ia melihat adanya faktor kedekatan antara pedagang

pribumi dengan para saudagar yang berasal dari Arab. Waktu itu para pedagang

pribumi dan saudagar Arab sama-sama merasakan tekanan dari pedagang Cina

yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah kolonial. Tak dapat disangkal,

para pedagang inilah yang menciptakan cikal bakal dari Sarekat Islam, yaitu

Sarekat dagang Islam.

Keempat, Tjokroaminoto bukan hendak mendirikan sebuah Negara

Teokrasi (negara Islam) atau ingin meng-Islamkan seluruh rakyat Indonesia

sehingga dapat menjadi sebuah bangsa yang utuh. Beliau amat menyadari

pluralitas yang ada terutama pluralitas primordial (kesukuan) sehingga menyadari

betul potensi perpecahan yang dapat timbul apalagi dengan adanya politik devide

et impera yang dilakukan oleh Belanda. Maka yang ia harapkan adalah persatuan

yang utuh dan Islam-lah yang ia lihat dapat menjadi simbol pemersatu tersebut.

Karena beliau juga sadar betul bahwa sebenarnya umat agama lain selain Islam

juga sebenarnya ditindas dan termarjinalkan oleh sistem ’kapitalisme berdosa’

Belanda. Tujuan utama kaum kolonial jelas bukan untuk menyebarkan agama

melainkan mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari

negeri jajahannya. Dengan bersatunya seluruh kaum muslimin ditambah

sokongan dan dukungan dari umat agama lain di Indonesia maka bisa

dibayangkan begitu besar kekuatan yang bisa digalang untuk mengusir kaum

penjajah.

Kelima, Tjokroaminoto adalah figur yang mempelopori metode

perjuangan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Ia menyadari

Universitas Sumatera Utara

kalau perjuangan bersenjata yang hanya bersifat lokal atau kedaerahan

sebelumnya tidak efektif menghadapi pemerintah kolonial yang menerapkan

politik devide et impera atau politik pecah belah. Untuk itu Tjokroaminoto

menggunakan metode yang lebih kooperatif dan sistemik yaitu lewat organisasi

pergerakan nasional yang berorientasi pada sosial keagamaan dan politik yaitu

Sarekat Islam (SI). Lewat SI ini Tjokroaminoto lebih leluasa mengonsolidasikan

kembali ’kekuatan’ yang sebelumnya terpecah belah di daerah-daerah. Sementara

itu, beliau juga mendapat ruang gerak lebih besar sembari memberikan tekanan

pada pemerintah kolonial dalam memperjuangkan kepentingan bangsanya.

Keenam, pada awal kemunculannya sebagai pemimpin SI, Tjokroaminoto

memandang Islam hanyalah sebagai simbol dan alat dalam memperjuangkan

persatuan nasional. Ia belum memahami Islam secara lebih substansial. Ada dua

kondisi yang memicu beliau untuk lebih memperdalam pengetahuannya mengenai

Islam. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, selama ia berada dalam

penjara. Keadaan ini dilihat beliau sebagai proses simbolik untuk melakukan

refleksi dan menginsyafi diri sendiri. Ketika itu beliau berusia 40 tahun dan

sangat mungkin beliau memaknainya sama seperti umur Nabi Muhammad ketika

diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, sekembalinya ia keluar dari penjara, ia

melihat SI organisasi yang dibesarkannya berada diambang perpecahan akibat

adanya ’infiltrasi’ komunis yang menyusup ke dalam internal SI dan melakukan

indoktrinasi terhadap anggota-anggota SI.

Ketujuh, prinsip yang dipegang Tjokroaminoto adalah ’sebaik-baik tauhid’

dan ’tidak membesar-besarkan perselisihan masalah furu atau aliran’. Dengan

prinsip yang dipegangnya inilah beliau berusaha sekuat tenaga mempertahankan

Universitas Sumatera Utara

persatuan umat Islam di kalangan bangsa Hindia (Indonesia). Tidak masalah

baginya perbedaan aliran seperti sosialis atau nasionalis selama itu masih dalam

koridor ke-Islaman dan persaudaraan sesama kaum muslimin.

Kedelapan, sistem kenegaraan dalam pemikiran Tjokroaminoto adalah

negara demokrasi Islam, melalui perwakilan di parlemen (Ahlul-aqd wal hil),

yang disebutnya sebagai Dewan Rakyat dan kemudian lebih dikenal sebagai

Volskraad, untuk memilih orang-orang yang berhak memegang kekuasaan (Ahlul

Imamah) bebas dari penjajahan asing. Namun pada awalnya ia hanya mengambil

sampel dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu kehidupan politik di desa-desa.

Ia mencontohkan kehidupan warga desa yang memecahkan masalahnya sehari-

hari dengan cara saling berdiskusi dan adanya pemilihan kepala kampung.

4.2. SARAN

Berikut beberapa masukan yang kiranya dapat menjadi solusi dalam

menjawab berbagai problem sosial dan politik khususnya menyangkut politik

Islam:

Pertama, seperti halnya Soekarno-Hatta yang dijuluki ’Bapak Proklamasi’

karena mereka adalah duet yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atau

Soeharto yang dikenal sebagai ’Bapak Pembangunan’ untuk mengenang jasanya

dalam bidang pembangunan Indonesia maka H.O.S Tjokroaminoto amat layak

dijuluki sebagai ’Bapak Pergerakan Kebangsaan’ karena jasa-jasanya dalam

dunia pergerakan pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan tentu saja

peranannya dalam membentuk character national building bangsa Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Kedua, para pemimpin di Indonesia yang mengaku muslimin seharusnya

lebih concern meningkatkan ukhuwah Islamiyah dengan sesamanya. Saling

menguatkan persatuan dan persaudaraan diantara mereka dan bukannya

membesarkan golongan dan kubu masing-masing. Tinggalkan perbedaan yang

hanya akan menjadi mudharat bagi kemaslahatan umat. Termasuk perbedaan

mengenai ideologi atau sistem yang paling layak bagi rakyat Indonesia. Mereka

harusnya menyadari politik devide et impera akan selalu merongrong kaum

muslimin sejak zaman Rasulullah hingga akhir zaman meski bermutasi dalam

bentuk dan formulasi yang berbeda.

Ketiga, para tokoh Islam saat ini sebaiknya memberikan karya nyata bukan

hanya sekadar karya kata belaka. Para tokoh Islam ini tidak memberikan solusi

yang riil malah memberikan komentar yang sebenarnya tidak penting. Malah

mereka sering memanfaatkan momentum di tengah-tengah penderitaan sesama

kaum muslim hanya untuk mempromosikan dirinya. Yang mereka pikirkan hanya

pencitraan dirinya sendiri. Seharusnya mereka bercermin dari tokoh-tokoh Islam

sebelumnya seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Para tokoh

ini jelas memberikan karya konkrit bagi bangsa ini bukan hanya sekadar omong

kosong saja.

Keempat, umat Islam yang hingga saat ini masih menjadi penganut agama

mayoritas di Indonesia seharusnya lebih sering untuk mengoreksi dirinya masing-

masing dan bukannya membuang-buang waktu dan energinya untuk mencari-cari

kesalahan orang lain. Karena dalam Islam konsep yang benar adalah saling

mengingatkan satu sama lainnya diantara umat muslim dan bukannya saling

menjatuhkan. Jadikan kesalahan orang lain sebagai cerminan untuk memperbaiki

Universitas Sumatera Utara

diri sendiri. Karena tujuan akhir seorang muslimin adalah menyucikan dirinya

masing-masing baik zahir maupun batin. Seperti prinsip dalam Islam ‘Benahi diri

kamu lebih dulu lalu benahi orang lain, pimpin diri kamu kemudian pimpin orang

lain, dan tentu saja selamatkan diri kamu dan keluargamu kemudian

selamatkanlah orang lain.’

Kelima, segala perbedaan yang ada dalam tubuh umat Islam bukanlah

menjadi alat peruncing konflik antar sesama muslim melainkan menjadi alat

perekat persatuan sesama mereka. Segala perbedaan itu seharusnya untuk saling

melengkapi satu sama lainnya. Sebab, Allah SWT menciptakan perbedaan itu

bukan tanpa maksud melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.

Seharusnya manusia menjadi makhluk yang berpikir.

Dan terakhir, sempurnanya Islam harus dijalani secara Kaffah dalam arti

keseluruhan bagian dalam Islam yang berarti memahaminya secara Syariat,

Tariqat, Haqiqat dan Makrifat. Dan setiap pemahaman tersebut harus

diejawantahkan dalam setiap sendi kehidupan kaum muslimin baik itu dalam

berjalan, berlari, duduk diam, bahkan tidur sekalipun. Kunci Islam bukan terletak

pada salah satu bagian sebagaimana kita lihat perdebatan yang terjadi saat ini

hanya berkisar pada Syariat.

Perdebatan mengenai ideologi atau sistem pemerintahan yang paling baik

akan terus menjadi isu yang paling hangat di berbagai belahan dunia termasuk di

Indonesia. Walaupun sebenarnya tidak ada hal yang sangat prinsiipil yang

menjadi dikotomi diantara masing-masing ideologi atau sistem pemerintahan

tersebut karena tujuan akhirnya tetap sama yaitu mensejahterakan masyarakatnya.

Tidak menjadi masalah seperti apa ideologi atau sistem pemerintahan yang ingin

Universitas Sumatera Utara

diterapkan karena yang menjadi permasalahan paling substansial adalah akhlak

dan budi pekerti dari para pemimpinnya. Islam yang dibawa oleh Muhammad

Rasulullah SAW adalah agama yang hadir untuk memperbaiki akhlak dari

sekalian manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka Islam tidak pernah

secara rigid membahas mengenai ideologi apa yang paling layak diterapkan oleh

suatu bangsa. Islam diterima karena nilai-nilai universalitasnya akan terus

bertahan hingga akhir zaman seiring revolusi kebudayaan umat manusia itu

sendiri. Islam adalah sebuah agama yang merahmati sekalian alam dan semua

makhluk-Nya tanpa terkecuali tentu saja tidak dapat disamakan dengan sebuah

ideologi yang hanya merupakan hasil kreasi dari akal manusia dan hanya untuk

segelintir manusia pula.

Universitas Sumatera Utara