bab iii analisis pembahasan 3.1. pemikiran politik ... · pdf filebab iii analisis pembahasan...
TRANSCRIPT
BAB III
ANALISIS PEMBAHASAN
3.1. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Nasionalisme yang
Berdasarkan Islam
Menurut Tjokroaminoto makna istilah nasional merupakan suatu usaha
untuk meningkatkan seseorang pada tingkat natie (bangsa). Selanjutnya,
ditambahkan pengertian nasional sebagai usaha untuk memperjuangkan tuntutan
Pemerintahan Sendiri atau sekurang-kurangnya agar orang-orang Indonesia diberi
hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah-masalah politik.92
Disini dapat dilihat bagaimana Tjokroaminoto terinspirasi dan bersimpati
terhadap gerakan Pan-Islamisme. Ia dan rekan-rekannya di SI memang mencita-
citakan politik Pan-Islamisme. Ia berharap dapat mempersatukan kekuatan Islam
di Hindia (Indonesia) dalam rangka mewujudkan gagasan besarnya, Pan-
Islamisme. Pan-Islamisme melihat perjuangan umat Islam di Hindia sebagai
Hal ini
menunjukkan adanya beberapa fase, dimana ketika seorang individu yang berbeda
karakteristiknya seperti suku, agama, atau kultur disatukan dengan individu lain
yang juga memiliki karakteristik berbeda sehingga membentuk suatu identitas
baru yang mempersatukan diantara mereka menjadi suatu bangsa. Kemudian
bangsa tersebut memperjuangkan hak-hak politiknya untuk dapat membentuk
pemerintahan sendiri, mengatur bangsa dan wilayahnya sendiri, sehingga pada
akhirnya dapat menentukan nasib bangsanya sendiri.
92 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta, 2009, hal. 391
Universitas Sumatera Utara
bagian dari perjuangan umat Islam di Asia dan Afrika untuk menyingkirkan
penjajah Eropa. Ia menjadikan referensi kemenangan Turki atas Yunani dan
Armenia sebagai teladan bagi gerakan pembebasan Islam atas dominasi kolonial
barat. Namun demikian penekanan utamanya tetap pada ’masalah-masalah
nasional dan problem-problem umat Islam di Hindia.’93
Tjokroaminoto pernah merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam
dalam segala aspek kehidupan, ”bangsa Hindia (Indonesia) harus bersandar
kepada sijasah (politik) yang berkenaan dengan bangsa dan Negeri tumpah darah
sendiri, dan politik menuju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan
dengan ummat Islam di lain-lain negeri (Pan Islamisme) agar dapat mencapai
kemuliaan dan keluhuran derajat.” Atau dengan kata lain Tjokroaminoto
menganggap bahwa ”pergerakan sijasah (politik) itu suatu kewajiban yang penting
bagi orang Islam” karena dua kepentingan, yaitu untuk mencapai kemerdekaan
umat dan agar kita dapat melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah
S.W.T. Upaya untuk mencapai kemerdekaan dipertegas lagi bahwa ”tak boleh
tidak kita kaum muslimin mempunyai kemerdekaan umat atau kemerdekaan
kebangsaan (nationale urijbeid) dan mesti berkuasa atas Negeri tumpah darah kita
sendiri.”
94
Tjokroaminoto melihat kebangkitan kembali Pan Islamisme di negara-
negara Islam yang pergerakannya semakin baik, kuat, dan terorganisir.
Tjokroaminoto dengan demikian meyakini bahwa sejarah akan berulang dimana
umat Islam di seluruh dunia akan bersatu menjadi suatu bangsa yang kuat dan
93 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta:
Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008, hal.179 94 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya,
Yogyakarta : Cokroaminoto Universty Press, 1995, hal.39
Universitas Sumatera Utara
kemudian akan mengambil alih kepemimpinannya yang dahulu untuk
menginternalisasi kembali nilai-nilai Islam kepada golongan lain sehingga dapat
menundukkan negeri Barat dan Timur.95
Mengenai kentalnya ikatan primordial ini juga dinyatakan Tjokroaminoto
dalam suatu pidato di tahun 1915 yang menyatakan bahwa di kalangan rakyat
Indonesia masih terlalu sedikit perasaan persatuan kebangsaan. Orang Madura
tidak merasa satu dengan orang Jawa, orang Jawa pun demikian dengan orang
Sunda, dan orang Sunda demikian pula dengan orang Palembang. Namun, demi
kemajuan dan kebangkitannya, di atas segala-galanya rakyat Indonesia harus
berhati-hati. Sarana untuk mencapainya adalah agama Islam. Islam menghimpun
semua orang karena tidak seorang pun di Hindia yang mau disebut bukan orang
Arti dari gerakan Pan Islamisme ini,
menyiratkan bahwa setidaknya yang dibayangkan oleh Tjokroaminoto persatuan
nasib. Islam maupun sekuler diakui sebagai unsur yang sedang berjuang demi
nasionalisme.
Tjokroaminoto sendiri amat menyadari adanya perbedaan karakteristik
tersebut hingga menciptakan pluralisme dan kemajemukan dalam diri bangsa
Indonesia. Kemajemukan ini terutama terletak pada beragamnya suku-suku yang
ada di Indonesia. Dan kemajemukan ini pula-lah yang menjadi ’senjata’ bagi
pemerintah Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Dengan jitu mereka
menerapkan politik devide et impera lewat pembentukan kelas-kelas sosial yang
berbeda di dalam kemajemukan suku tadi. Sehingga masing-masing suku
membentuk eksklusifitasnya masing-masing dan mengedepankan ikatan
primordialnya saja.
95 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985, hal.111
Universitas Sumatera Utara
Islam, walaupun sedikit sekali pengetahuannya tentang agama Islam ini. Dalam
istilah ’Oetoesan Hindia’, Islam adalah semen pengikat puluhan juta orang
Indonesia. Islam juga sebagai alat untuk meningkatkan nasionalisme dan cinta
tanah air.96
Maka seandainya umat muslim hanya diam saja dalam menghadapi
perselisihan antar kultur tersebut, Tjokroaminoto mengkhawatirkan ikatan yang
ada di antara umat muslim akan rusak dan menyebabkan mereka akan mudah
terpecah belah satu sama lainnya ke dalam beberapa kelompok Islam dan satu
sama lainnya saling membesarkan cita-cita kesukuannya masing-masing seperti
ke-Maduraan, ke-Sundaan, ke-Jawaan, ke-Lampungan, ke-Minagkabauan, ke-
Bugisan, ke-Ambonan, dan lainnya. Tentu hal ini merupakan bahaya laten karena
amat rentan untuk disusupi politik devide et impera Belanda. Jadi akan semakin
sulitlah untuk mencapai persatuan. Untuk mengantisipasi hal tersebut kaum
Yang kemudian dipertegas lagi oleh beliau dalam pendapat yang
disampaikannya di depan Kongres PSII XIX yang diadakan di Jakarta pada tahun
1933 yang judul pre-advisenya adalah Cultuur dan Adat Islam. Pada pidatonya
tersebut Tjokroaminoto mengingatkan agar kaum muslimin jangan sampai
meninggalkan kultur dan adat Islam atau bahkan sampai menukarnya dengan
kultur segelintir golongan rakyat Indonesia. Walaupun perselisihan ini belum
tampak terlalu besar namun kaum muslimin tidak boleh hanya bersikap netral atau
diam dalam menghadapi perselisihan antara kultur Islam dengan kultur lainnya itu
karena hanya akan merugikan kultur Islam saja.
96 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Gratifipers, 1985, hal.56
Universitas Sumatera Utara
muslimin wajib menciptakan kultur Islam dengan dasar-dasar yang sebenarnya
dan berusaha meng-sinkronkannya dengan pemikiran dan cita-cita modern.97
”Kita cinta bangsa sendiri dengan kekuatan ajaran agama kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan seluruh bangsa kita, atau sebagian besar dari bangsa kita. Kita cinta tanah air, dimana kita dilahirkan, dan kita cinta Pemerintah yang melindungi kita. Karena itu, kita tidak takut untuk meminta perhatian atas segala sesuatu, yang kita anggap baik, dan menuntut apa saja, yang dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita dan pemerintah kita.”
Namun bukan berarti hanya umat Islam saja yang dapat mempersatukan
dirinya ke dalam suatu bangsa (natie). Dalam Kongres Central Sarekat Islam
(CSI) di Bandung (1916), Tjokroaminoto mengatakan bahwa:
98
Bahkan dengan kesadaran yang tinggi tentang pluralitas bangsanya
sebagai realitas sosial, budaya, dan politik yang memang nyata ada di tengah-
tengah masyarakat, Tjokroaminoto lebih banyak bicara tentang nasionalisme,
sosialisme, dan demokrasi yang berasaskan Islam namun bukan mengarah pada
berdirinya sebuah Negara Teokrasi (Negara Agama). Dengan perjuangan yang
Ucapan ini tentu yang dimaksudkan agar umat Islam dengan kekuatan
agamanya dapat berperan mempersatukan bangsanya yang pluralis. Bukan dalam
arti menjadikan seluruh bangsanya menjadi Islam. Karena ketika itu, bangsa
Indonesia, termasuk di dalamnya umat agama lain, berada pada posisi
termarjinalkan oleh penjajah Belanda, selalu diperintah tetapi tak pernah
mendapatkan hak untuk ikut memerintah. Hal ini semakin menguatkan perspektif
beliau bahwa untuk membangun nasionalisme dalam arti yang luas, tidak dapat
dibangun dari sesuatu yang general. Nasionalisme harus dibangun atas dasar
kesamaan dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari
unsur lain. Tjokroaminoto percaya unsur pembeda itu adalah Islam.
97 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.103 98 Ibid, hal.43
Universitas Sumatera Utara
berlandaskan semangat nasionalisme dan demokrasi, berarti mengajak seluruh
komponen bangsa yang beragam ini untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah, tak mengenal istilah mayoritas-minoritas yang cenderung bermakna
diskriminatif, untuk bersama-sama melepaskan diri dari cengkeraman penjajah.
Jadi yang berusaha dijelaskan oleh beliau adalah bahwa Nasionalisme
Islam bukanlah suatu nasionalisme yang buta, fanatis, atau cenderung
fundamental. Melainkan nasionalisme yang menuju kepada sosialisme yang
berdasarkan Islam.
”Islam sepertujuh bagian rambut pun tidak menghalangi dan merintangi kemajuan nasionalisme yang sejati, tetapi memajukan dia. Nasionalisme yang dimajukan oleh Islam bukannya ’eng’ nasionalisme (yang sempit) dan berbahaya, tetapi yang menuntun kepada sosialisme berdasar Islam. Yakni sosialisme yang menghendaki mono-humanisme (persatuan manusia) dikuasai oleh satu Yang Maha Kuasa, Allah SWT, dengan lantaran (melalui) hukum-hukum yang sudah dipermaklumkan kepada Utusan-Nya Nabi penutup Muhammad SAW.”99
“Yang kita inginkan adalah sama rasa, terlepas dari perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian hingga mencapai tahap berpemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme berdosa, CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia atas manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja untuk kepentingan ini.”
3.2. Pemikiran Politik Tjokroaminoto Mengenai Sosialisme yang
Berdasarkan Islam
Tjokroaminoto mulai mengangkat tentang sosialisme ini pada Kongres SI
di Batavia pada Oktober 1917. Di Kongres tersebut Tjokroaminoto mulai
mengecam kapitalisme Belanda. Ia berkata:
100
99 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1996, hal.268 100 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, op.cit, hal.125
Universitas Sumatera Utara
Tjokroaminoto sendiri ketika harapan akan datangnya Ratu Adil merebak
di tengah-tengah masyarakat, ia menyebut Ratu Adil bukan dalam pengertian fisik
sebagai manusia, namun sistem yang melawan ketidakadilan yaitu sosialisme. Ide
yang berlandaskan demokrasi dan nasionalisme yang diilhami oleh ajaran Islam.
Ia kemudian memperkenalkan konsep ’kapitalisme berdosa’ yaitu setiap modal
asing yang berusaha melipatgandakan modalnya melalui penghisapan atas bangsa
Hindia dan ini pasti diikuti kolonialisme. Kapitalisme bertemu dengan
kolonialisme tentu akan menghasilkan exploitation del’home par l’home serta
explatation de nation par nation.
Ia menyebutnya sebagai ’kapitalisme yang berdosa’, sesuatu yang
mendasari pemikiran teoritiknya ’Sosialisme Islam’. Tak dapat disangkal
pertarungannya dengan kelompok komunis selam beberapa tahun telah
membuatnya semakin sungguh untuk membuktikan Islam juga sebagai ajaran
yang mengadakan keberpihakan terhadap kaum tertindas (Musthadh’afin),
Tjokroaminoto mengatakan ’de Islam is de godsdient van de armen en de
verdrukten’ (Islam adalah agamanya kaum miskin dan yang tertindas).101
Pada bulan Desember 1924, Tjokroaminoto menuangkan pemikirannya
mengenai Sosialisme Islam tersebut ke dalam sebuah buku yang berjudul Islam
dan Sosialisme. Menurut beliau di bukunya itu ’Sosialisme’ asalnya dari
perkataan bahasa Latin socius, yang artinya dalam bahasa Belanda: Makker;
dalam bahasa Indonesia: teman-sahabat; dalam bahasa Jawa: kanca; dan dalam
bahasa Arab: asyrat atau sahabat. Sosialisme mengutamakan paham ’pertemanan’
atau ’persahabatan’ sebagai unsur pengikat di dalam pergaulan masyarakat. Jadi
101 Ibid, hal.129-130
Universitas Sumatera Utara
paham Sosialisme itu bertentangan sama sekali dengan paham individualisme,
yang hanya mengutamakan kepentingan ’individu’ (kepentingan diri sendiri).
Sosialisme menghendaki cara hidup satu buat semua dan semua buat satu,
yaitu cara hidup yang memperlihatkan kepada kita, bahwa kita semua memikul
pertanggung jawaban atas perbuatan kita bersama, satu sama lain. Sedang
individualisme mengutamakan paham tiap-tiap orang buat dirinya sendiri.
Dalam menuangkan pemikirannya tersebut, Tjokroaminoto banyak
membaca tulisan-tulisan pengarang dari Barat terutama karangan Prof.Quack
(bangsa Belanda). Dari dalam kitab itu beliau bisa mengenal kaum sosialis dari
berbagai abad dengan aturan masing-masing yang dibuat. Ternyata berdasarkan
penelaahan beliau terdapat begitu besar perbedaan pengertian sosialisme antara
satu dengan yang lainnya. Satu hal yang disepakati di antara mereka adalah
sosialisme itu hendak melindungi kepentingan, hak-hak dan kewajiban bersama di
atas hawa nafsunya orang perorang atau segolongan manusia saja.
Beliau menguraikan bahwa pergerakan-pergerakan sosialistis zaman
dahulu tersebut pertama kali timbul tidak hanya karena disebabkan kerusakan
masyarakat pada masing-masing zaman yang bersangkutan, tetapi juga terutama
sekali mendapat impuls dari perasaan keagamaan yang mendalam. Namun secara
perlahan-lahan unsur kebaikan dan Agama yang banyak terdapat pada kalangan
rakyat tersebut semakin lemah dan perlahan-lahan pergerakan rakyat yang bersifat
sosialistis itu semakin lama semakin bertambah kuat berkiblat pada unsur
kebendaan belaka (stoffelijke dingen), terutama sekali di negeri-negeri Barat. 102
102 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, Bandung: Sega Arsy, 2008, hal.1-2
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang juga diungkapkan oleh Marx dalam Materialism Dialectic
dan Historis Materialism. Materialism Dialectic adalah pandangan hidup yang
menekankan pada aspek perkembangan kebendaan. Sedangkan Historis
Materialism adalah ilmu sejarah yang disandarkan pada sejarah perubahan sistem
produksi yang berasal pada benda yang nyata.103 Marx juga mengatakan bahwa
dunia itu terdiri atas benda yang dapat ditangkap oleh panca indera, dan dunia
yang seperti itulah yang ada. Sedangkan pikiran, perasaan walaupun tampaknya
berada di atas panca indera namun hanya merupakan hasil dari pemikiran otak
tentang adanya benda. Kenyataan ini membuktikan Historis Materialism nyata-
nyata menentang akan eksistensi Tuhan, malaikat, roh dan perkara gaib lainnya
yang diajarkan oleh semua agama terutama sekali oleh Islam. Menurut Hegel
sebagaimana yang ditirukan juga oleh Marx bahwa: ‘agama itu adalah
kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan hidup yang
sulit ini sehingga agama itu merupakan candunya rakyat.’104
103 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.131 104 Tashadi dkk, Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta: Depdikbud, 1993, hal.115
Meskipun begitu banyak pendefinisian yang berbeda dari masa ke masa
tersebut, namun bisa digeneralisir bahwa sosialisme itu bermaksud
mengimplementasikan suatu teori cita-cita kemasyarakatan yang bertentangan
dengan sistem masyarakat yang berlaku di negeri yang disebut sopan (Barat),
yaitu sistem yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada orang yang merdeka,
untuk bersaing sebebas-bebasnya dalam bidang politik, bidang produksi dan
pembagian hasilnya, dan bebas pula untuk mempunayi hak milik atas alat-alat
produksi.
Universitas Sumatera Utara
Sekalipun teori-teori sosialisme tersebut juga mempunyai maksud dan
tujuan untuk memperbaiki nasib golongan manusia yang termiskin dan dominan
jumlahnya agar mereka bisa mendapatkan nasib yang sesuai dengan derajat
mereka yaitu dengan jalan memerangi penyebab yang menimbulkan kemiskinan
mereka. Namun teori-teori tadi juga bermaksud menentang kehidupan sosial
masyarakat yang ada sekarang ini, baik yang berkaitan dengan soal ekonomi,
pengadilan, bahkan soal kehidupan beragama.105
Cita-cita sosialisme dalam Islam itu, tidak kurang berumur tiga belas abad,
dan tidak dapat dikatakan bahwa berasal dari pengaruh orang Eropa. Walaupun
tidak dapat dikatakan saat itu sudah ada propaganda sosialisme yang tersistematis
seperti sekarang, namun sesungguhnya azas-azas sosialisme itu telah dikenal
dalam masyarakat Islam pada zaman nabi Muhammad SAW dan azas-azas
tersebut lebih banyak lebih mudah dilakanakan pada masa itu jika dibandingkan
dengan pelaksanaannya di Eropa pada masa kapan pun juga.
Ia kemudian menentang konsep-konsep sosialismenya Marx dan
kapitalisme itu, karena konsep Marx menjauhkan manusia dari agama sedangkan
kapitalisme memperlihatkan watak individualisme yang berlebihan untuk
menimbun harta yang pada akhirnya digunakan sebagai alat penindas rakyat.
Dalam pandangan Tjokroaminoto, sosialisme Marx dan kapitalisme menjadikan
benda sebagai segalanya, dan manusia sebagai objek. Sedangkan yang dilihat dari
sudut pandang Islam, manusia itu khalifah, subjek yang merupakan muara atas
semua sistem sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya.
106
105 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.3 106 Ibid, hal.8
Universitas Sumatera Utara
Kemudian ia mencontohkan tentang dasar-dasar sosialisme dalam
pengertian Nabi Muhammad adalah kemajuan akhlak dan budi pekerti rakyat.
Diyakininya tiap-tiap sosialisme yang sejati tidak akan tercapai selamanya kalau
tidak dengan kemajuan akhlak budi pekerti rakyat itu. Akhlak dan budi pekerti
yang baik itu umumnya ada pada bangsa Timur terutama bagi yang beragama
Islam. Meski umat Islam seperti juga bangsa-bangsa Timur telah turun derajatnya
di mata dunia, tapi mereka itu masih memiliki sifat dan tabiat yang sangat
diperlukan untuk menjadi dasar kemajuan sosialisme.107
Hanya agamalah yang mampu membawa manusia kepada cita-cita yang
mulia dan membekali manusia tidak hanya di dunia ini melainkan juga terutama
untuk hidup di dunia yang baqa dan kekal. Hanya agamalah yang mampu
Tabiat dan nafsu manusia itu pada dasarnya tergantung keadaan
tempatnya, yang masing-masing akan berusaha membesar-besarkan dan
menjunjung setinggi-tingginya diri sendiri, pribadi dan egonya. Maka obat untuk
mengatasi atau mencegah datangnya penyakit tersebut adalah agama. Sosialisme
haruslah berdasar atau sesuai dengan kepercayaan agama. Kalau tidak maka
sosialisme akan menyimpang dan membawa kerusakan pada manusia. Terutama
dalam dunia yang dikuasai oleh nafsu kebendaan, dimana tujuan hidup manusia
hanya untuk memenuhi nafsunya kebendaannya semata, maka dalam dunia yang
seperti itu akan sulit diharapkan seorang manusia mengorbankan kepentingan
pribadinya demi kepentingan masyarakat. Dan dalam dunia yang hanya dikuasai
oleh akal dan materialisme saja, segala keahlian itu pasti hanya untuk kepentingan
‘si kuat’ guna menindas ‘si lemah’.
107 Ibid, hal.15
Universitas Sumatera Utara
menggerakkan manusia untuk megusahakan segala kekuatan rohani dan kekuatan
budi pekerti yang terkandung di dalamnya.108
Tjokroaminoto juga menegaskan kalau Nabi Muhammad ialah seorang
nabi sejati dalam arti yang sebenarnya, tidak pernah melakukan paksaan atau
pengerdilan dalam sosialisme. Nabi Muhammad pun tidak pernah melakukan
suatu perjuangan kelas (klassen stijd) dan tidak pernah pula beliau melakukan atau
memerintah orang untuk melakukan diktatur van het proletariat (kekuasaan hanya
dimonopoli oleh kaum miskin). Segala sesuatu yang beliau lakukan untuk
memajukan masyarakat, merupakan pelajaran yang hak dan petunjuk jalan yang
benar. Beliau melakukan interaksi dengan semua manusia, tanpa membedakan
kepandaiannya, derajatnya, atau tempat tinggal mereka. Yang pertama sekali
dilakukan beliau adalah memperbaiki dan mempertinggi akhlak masing-masing
orang dan dengan demikian berarti beliau telah membersihkan masyarakat dari
segala kekurangan, celaan, dan keburukan.
Orang-orang sosialis Barat terlebih orang Bolsyevik atau komunis pada
masa sekarang ini menjalankan sosialisme itu dari puncak dan tidak dimulai dari
dasar. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW dalam menjalankan sosialisme itu
berbeda dengan orang-orang sosialis Barat, yaitu dimulainya dari bawah. Mula-
mula beliau mengubah sifat dan tabiat masing-masing orang sehingga mampu
untuk membangun masyarakat yang sosialistis dengan terlebih dahulu
membangun sifat dan tabiat yang menjadi dasar dan sandaran dari suatu negara
yang tinggi tingkat sosialisnya.
109
108 Ibid, hal.100-102 109 Ibid, hal.122-123
Universitas Sumatera Utara
Tjokroaminoto kemudian menerangkan berbagai contoh dari pemerintahan
Islam yang pada dasarnya mengenal dua macam sosialisme, masing-masing ialah:
1. Staats-socialisme, baik bekerja dengan kekuatan satu pusat
(gecentraliseers) maupun bekerja dengan kekuasaan gemeente-gemeente
(gedecentraliseerd)
2. Industrie-socialisme
Menurut beliau sosialisme yang pertama itulah yang penting karena inilah
yang dijalankan Islam. Jika suatu negara bersifat sosialistis, maka hendaknya
pekerjaan kerajinan (industri) diaturnya secara sosialistis dengan seluas-luasnya.
Maka dalam negara yang seperti itu, tanahlah yang menjadi sumber penghasil dan
sumber pekerjaan industri besar, itupun jika dijalankan sebaik-baik
Landsocialisme dan Staats-socialisme. Dengan begitu tanah menjadi milik negara,
kemudian alat-alat produksi yang dapat menghasilkan barang diberikan negara
kepada rakyat. Maka sosialisme seperti inilah yang terutama sekali dijalankan
oleh Islam. Sejak Nabi Muhammad SAW memegang kekuasaan negara, maka
secepatnya diaturnya secara sosialistis dan semua tanah dijadikan milik negara.110
Terakhir beliau mengatakan bahwa keistimewaan sosialisme Islam ialah
tidak merusak semangat berkarya dan kegiatan seseorang serta tidak menjadi
penghambat cita-cita seseorang untuk maju sebaliknya dipantangkan bagi
seseorang menindas dan merusak orang lain, atau menjadi kaya dengan cara
merugikan atau memakai hasil usaha orang lain. Sosialisme Islam tentu saja dapat
mencapai tujuannya karena setiap orang baik pria maupun wanita telah mampu
untuk menerima azas sosialistis karena akhlak, sifat, serta tabiatnya telah
110 Ibid, hal.8-9
Universitas Sumatera Utara
diperbaiki terlebih dahulu. Dasarnya sosialisme Islam adalah agama. Orang Islam
baik pria maupun wanita semuanya berusaha untuk melakukan perbuatan yang
baik dan benar.111
Dengan Sosialisme Islam, hak individu masyarakat tetap terjamin. Yang
penting bukan membangun kondisi sama rata sama rasa belaka, tetapi membangun
semangat berkompetisi dengan skill masing-masing, karena setiap orang memang
dilahirkan tidak untuk sama rata sama rasa, apalagi kalau kemudian disama
ratakan melalui proses yang dipaksakan secara diktator. Setiap orang bebas
mengembangkan keahliannya, memperoleh kekayaan dengan keahliannya itu
namun tidak dengan jalan menindas orang lain. Bahkan beliau menambahkan,
dengan berusaha untuk menjadi kaya raya melalui cara yang halal, maka kekayaan
atau harta benda yang menurut Islam hanya titipan Tuhan itu dalam persentase
tertentu harus diberikan kepada orang yang tidak mampu yang disebut sedekah
Tjokroaminoto disini berusaha memperlihatkan keunggulan Sosialisme
Islam dalam konsep pembangunan masyarakat dibanding konsep-konsep lainnya,
termasuk sosialisme Marx, komunisme, dan kapitalisme. Tjokroaminoto hanya
memperkenalkan kandungan ajaran Islam tentang nasionalisme dan sosialisme
yang manusiawi, tanpa harus melahirkan tirani jiwa seperti sosialisme yang
dibangun atas dasar diktator proletariat. Dengan sistem pasar tunggal yang
dikuasai negara, dan mencabut hak-hak rakyat atas kepemilikan alat-alat produksi,
ternyata yang lahir adalah pemerataan kemiskinan dan kondisi anti demokrasi.
Sementara itu Sosialisme Islam justru memperbolehkan setiap orang untuk
berusaha dan berkompetisi secara jujur dan adil.
111 Ibid, hal.122
Universitas Sumatera Utara
atau zakat. Sosialisme model ini tidak melahirkan kondisi sama rata, tetapi
menimbulkan kondisi sama rasa seperti yang ditekankannya dalam pidato di
Kongres SI di batavia sebelumnya, yang mana maksudnya sama-sama merasakan
kebahagiaan satu sama lainnya.
Maka Tjokroaminoto telah tiba pada pada suatu kesimpulan akhir bahwa
sosialisme itu mudah dijalankan oleh mereka yang beragama Islam karena
landasan nasionaliteit mereka adalah agama.112
”Sosialisme Islam mudah ditanam dan dilakukannya, oleh karena Nasionaliteit (kebangsaannya) orang Islam itu tidak terbatas oleh batas-batas kenegaraan, oleh perbedaan warna kulit, oleh perlainan bahasa, oleh perbedaan tanah air dan benua, tetapi kebangsaannya orang Islam adalah berdasarkan kepada agama, yang batas-batasnya sangat luas, melampaui batas-batas yang sempit.. Di tempat mana saja orang Islam tinggal, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negeri yang baru itu, ia masih menjadi satu bagian dari masyarakat Islam, di tempat manapun orang Islam itu berdiam, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya. Nasionalisme yang semacam itulah Nasionalisme Islam, yang menjadi dasar sosialisme yang tersiar di seluruh muka bumi.”
Terhadap hal ini Tjokroaminoto
tiba pada uraian kaitan sosialisme dengan kebangsaan dan berpendapat :
113
Bagi Tjokroaminoto pondasi dari sistem demokrasi harus didasarkan pada
tauhid yaitu segala sesuatu berasal dari Allah, untuk Allah, dan kembali pada
Allah. Bukan pondasi yang dianut oleh paham Kapitalisme dan Komunisme yang
berakar pada pandangan hidup materialisme.
3.3. Pandangan Tjokroaminoto tentang Demokrasi dan Sistem Parlemen
114
Dalam pandangan Tjokroaminoto, bila umat Islam bersungguh-sungguh
melaksanakan ajaran agamanya, maka dengan sendirinya dia akan menjadi
112 Anhar Gonggong, H.O.S Tjokroaminoto, op.cit, hal.88 113 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.125 114 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal. 54
Universitas Sumatera Utara
seorang demokrat, dan demikian juga sosialis. Tetapi tidak berarti dalam
pengertian demokrat dan sosialis yang mengesampingkan agama. Sebab jika
seseorang dengan sungguh-sungguh menjalankan perintah-perintah Allah maka ia
tidak akan lagi dipenuhi nafsu egoisme, individualisme, despotisme, maupun
kapitalisme. Jika tidak maka ia belum dapat dikatakan seorang muslim yang
baik.”115
“Dan bagi orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.”(Asy-Syura: 38)
Demokrasi yang dimaksudkannya disini jelas adalah demokrasi yang
Islami sebab menekankan pada musyawarah yang didukung oleh pendapat rakyat.
Tjokroaminoto menyatakan hal tersebut dalam Program Asas PSII yaitu “Negeri
merdeka (Indonesia) yang kaum Partai SI Indonesia wajib mencapainya,
pemerintahannya haruslah bersifat demokratis, sebagaimana yang dicantumkan di
dalam Al-Qur’an:
116
“Menurut faham kaum partai SI Indonesia dan juga mengingat contoh-contoh pada zaman Khulafaur Rasyidin, pemerintahan yang dimaksudkan didalam ayat-ayat tersebut, terlebih-lebih buat zaman kita yang sekarang ialah harus suatu pemerintahan yang kekuasaannya bersandar kepada kemauan Rakyat (Ummat), yang menyatakan sepenuh-penuh suaranya di dalam suatu Majelis Usy-Syura, yaitu berupa Majelis Perwakilan Rakyat, susunan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya harus berdasar kepada asas-asas demokrasi yang seluas-luasnya.”
Selanjutnya, Tjokroaminoto menjelaskan bahwa:
117
Dengan mengambil sampel tentang kehidupan politik di desa-desa, ia
berharap demokrasi juga dapat diterapkan di Hindia secara menyeluruh. Ia
mengatakan di desa-desa demokrasi telah ada dalam bentuk Dewan Kampung,
115 H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, op.cit, hal.135 116 Q.S. Asy-Syura: 38 117 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, Jakarta: Lajnah
Tanfidiyah PSII, 1965, hal.29-30
Universitas Sumatera Utara
tempat semua warga desa dapat saling berdiskusi untuk memecahkan masalahnya
sehari-hari. Belum lagi pemilihan kepala kampung telah menjadi model
demokrasi di Hindia.118
Perintah mengadakan pemerintahan yang bersifat musyawarah menurut
beliau turun di Makkah ketika kaum muslimin masih berjumlah sedikit dan hidup
dalam penindasan dan ketidakadilan. Perintah tersebut ternyata bermaksud agar
kaum muslimin, walaupun dalam keadaan tertindas, perlu menyiapkan organisasi
untuk membicarakan dan memutuskan perkara-perkara mengenai umat.
Organisasi ini adalah majelis yang disebut sebagai Majelis Usy Syura dan waktu
itu modelnya dapat disamakan dengan parlemen masa sekarang. Musyawarah
itulah yang menjadi dasar corak pemerintahan Islam era Khulafaur Rasyidin.
119
Di dalam Islam, pemerintahan baik yang berbentuk republik atau kerajaan
dengan parlemen harus berlandaskan ‘sosialisme yang sejati’ sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW. Didalam sistem ini, baik rakyat
maupun penguasanya akan dapat terbebas dari sikap saling membenci dan
bermusuhan disebabkan perbedaan golongan, perbedaan bangsa atau warna kulit;
tidak ada perbedaan kebutuhan dan keperluan antar yang diperintah dan yang
memerintah; atau penduduk tidak perlu lagi memakai kekuasaan dan polisi untuk
menjaga ketertiban. Pemerintahan mendapat kontrol dari seluruh rakyat yang
berpegang pada hukum Tuhan yaitu Al-Quran.
120
118 Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942 op.cit, hal.83 119 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, op.cit, hal. 31-32 120 Ibid, hal.34-35
Kedaulatan Negara dipegang
oleh rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Islami inilah yang menjadi perhatian
Tjokroaminoto.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mendukung pemerintahan yang sosialistis yang kedaulatan Negara
ada di tangan rakyat ini, mula-mula tabiat tiap rakyat harus diubah sehingga
mampu untuk membangun masyarakat yang sosialistis. Pendidikan politik harus
ditanamkan pada rakyat agar mengerti hak dan kewajibannya. Tjokroaminoto
menandaskan “tiap-tiap kali terasa perlunya ada usaha untuk memperbaiki soal
pemerintahan dan Negara, maka tiap-tiap kali pula tambah perlunya diadakan
usaha untuk memperbaiki tabiat dan perangai dari tiap-tiap rakyat dalam Negara
tersebut.”121
“Untuk mencapai tujuan kita, dan untuk memudahkan cara kerja kita agar rencana raksasa itu dapat dilaksanakan, maka perlulah, dan kita harapkan dengan sangat agar diadakan peraturan, yang memberi kita penduduk bumiputera hak untuk ikut serta dalam mengadakan bermacam-macam peraturan yang sekarang sedang kita pikirkan. Tidak boleh terjadi lagi, bahwa dibuat perundang-undangan untuk kita, bahwa kita diperintah tanpa kita, dan tanpa keikutsertaan kita”. Dilanjutkan lagi “Kita terus mengharapkan dengan ikhlas dan jujur datangnya status berdiri sendiri bagi Hindia Belanda, atau paling sedikit Dewan Jajahan (Dewan Rakyat), agar kita dapat berbicara dalam urusan pemerintahan.”
Kemudian mengenai parlemen yang dimaksudkan oleh beliau adalah
Dewan Rakyat. Dalam kongres SI di Bandung pada tahun 1916 ia
mengemukakan:
122
Dewan Rakyat yang akan dibentuk pada tahun 1917 itu, walaupun tidak
dapat disebut ideal, menurut Tjokroaminoto tetap harus disambut dengan gembira
sebagai langkah pertama untuk mencapai tujuan akhir, ialah pemerintahan sendiri
untuk Indonesia. Karena memang pada saat itu, komposisi dari para anggota
Volksraad amat tidak seimbang dan tidak menguntungkan rakyat. Apalagi
wewenang Volksraad hanya sebagai penasihat pemerintah kolonial Belanda.
121 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit, hal.46 122 A.P.E. Korver, Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil, op.cit, hal.59
Universitas Sumatera Utara
Volksraad bukan badan legislatif sebagaimana tuntutan Kongres SI yakni badan
legislatif sebagai badan pembuat undang-undang yang akan dikenakan kepada
rakyat.123
Jadi menurut pandangan Tjokroaminoto, apa yang dimaksud referendum
tidak lain ialah hak rakyat atau ummat untuk menyatakan pendapatnya terhadap
rancangan Undang-Undang baik yang disampaikan oleh pemerintah ke forum
parlemen atau yang berasal dari usul inisiatif anggota Dewan Rakyat (parlemen)
sendiri. Sedang yang dimaksud dengan volksinitiatief disini ialah hak rakyat untuk
mengajukan. Rancangan Undang-Undang sendiri langsung kepada parlemen
tentang apa yang menjadi keinginan rakyat. Adanya referendum dan volksinitiatief
oleh beliau bukan untuk meniadakan parlemen, tetapi justru untuk memperkuat
dan memperluas pengaruh parlemen dan juga sebagai bukti bahwa parlemen itu
adalah hasil penjelmaan dan kemauan rakyat dan karena itu parlemen harus
Namun apabila Dewan Rakyat maupun partai-partai politik tidak mampu
untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka rakyat harus memberikan
kesempatan untuk menyatakan sikapnya dalam bentuk referendum agar
pemerintah dan parlemen dapat mengetahui secara pasti tentang suatu Undang-
Undang yang akan disahkan itu apakah dapat diterima oleh rakyat atau tidak.
Bahkan dalam rangka kepentingan secara menyeluruh, rakyat pun harus diberi
kesempatan untuk menyampaikan inisiatif rakyat sendiri secara langsung yang
disebut dengan istilah Belanda Volksinitiatief. Perihal ini seperti yang sudah
berlaku di Swiss kira-kira sejak pertengahan dan penghabisan abad ke-19.
123 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, op.cit, hal.397
Universitas Sumatera Utara
bergantung kepada dan senantiasa mengumandangkan suara dan kepentingan
rakyat. 124
Selanjutnya Tjokroaminoto menyatakan bahwa dalam sistem
pemerintahan Islam, sudah sejak lama terdapat peraturan atau undang-undang
mengenai orang-orang yang mempunyai hak memilih yang disebut ahlul ikhtiyar
atau ahlul aqd wal hall yaitu orang-orang yang membuat dan membatalkan
undang-undang, dan mengenai orang-orang yang mempunyai hak untuk dipilih
atau ahlul imamat yaitu orang-orang yang bertugas memegang dan menjalankan
kekuasaan.
125
Tjokroaminoto sendiri semasa masih aktif menginginkan banyak tokoh
Islam yang moderat duduk dalam pemerintahan, namun tidak berarti ingin
pemerintahan menjadi Negara Islam karena ini akan mengingkari sendiri
ajarannya tentang perlunya menghargai semua agama yang ada di Indonesia tanpa
diskriminasi, tanpa ada yang menjadi kelompok penguasa atas nama agama.
Dengan konstitusi nasional berdasarkan suatu agama, maka pemeluk agama lain
langsung atau tidak akan terdiskriminasi bahkan termarjinalkan.
Karena itu pulalah dia lebih banyak mengedepankan pemahaman bahwa
muslim itu demokrat dan sosialis. Dengan pengertian dari prinsip-prinsip ini,
berarti setiap umat Islam wajib menjalankan ajaran agamanya dengan
menegakkan demokrasi dan menjalankan fungsi sosialnya di masyarakat.
Tjokroaminoto tidak mengedepankan kekuasaan Islam melainkan pengabdian
Islam di tengah masyarakat yang pluralistik.
124 M. Masyhur Amin, H.O.S Tjokroaminoto, Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya, op.cit. hal.43 125 H.O.S Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Tandhim PSII, loc.cit, hal.32
Universitas Sumatera Utara
3.4. Pemikiran Tjokroaminoto dalam Konfigurasi Politik Kontemporer
Tjokroaminoto pada akhirnya berusaha menunjukkan nasionalisme,
sosialisme, bahkan demokrasi dapat berjalan beriringan, bukan ditempatkan dalam
posisi terkotak-kotak yang saling berkonfrontasi, juga tidak sebagai ideologi yang
dikotomis melainkan semua merupakan sistem untuk membangun sebuah
komposisi masyarakat yang ideal.
Dalam hal ini dapat terlihat keunggulan pemikiran Tjokroaminoto, dimana
meskipun ajaran-ajarannya dapat dikatakan ‘tertinggal’ lebih dari satu abad,
namun tampak tetap lebih maju daripada pemikiran kelompok radikal Islam atau
kelompok ‘yang menganggap dirinya paling tahu tentang Islam’ di masa kini,
yang terus sempit dalam melihat konsep nasionalisme, demokrasi, dan sosialisme
sebagai sesuatu yang ‘anti Islam’ bahkan dianggap sebagai barang impor dari
dunia Barat yang non-Islami, dan lebih parah lagi sampai ada anggapan sebagai
pemikiran kaum kafir. Misalkan saja ada tudingan yang menyatakan demokrasi
bekan saja bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan bisa merusak tatanan Islam
karena demokrasi merupakan produk kapitalis. Sebutan sosialis juga selalu
diidentikkan dengan komunisme dan atheisme dan oleh sebab itu harus diperangi.
Hal ini tidak terlepas dari adanya pengalaman sejarah yang terjadi di
negara-negara Islam atau yang mayoritasnya penduduk Islam dalam hubungannya
dengan kolonialisme Barat yang mendera mereka di masa lalu, sehingga apa saja
yang dianggap ‘produk Barat’ termasuk pemikiran dan ide yang dihasilkan dari
sana secara apriori dimusuhi dan dikategorikan sebagai ‘bertentangan dengan
Islam’. Padahal sosialisme disini adalah yang diangkat dari konsep-konsep untuk
Universitas Sumatera Utara
membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diajarkan secara
langsung oleh Rasul dan Islam, yang menghindari kediktatoran dan otoritarian.
Bagi mereka yang melihat konsep sosialisme dari sisi ini, bahkan
kemudian menjadikannya sebagai salah satu bentuk solidaritas perlawanan
terhadap Barat. Dan ini kemudian ditandai dengan munculnya rasa nasionalisme.
Sebagai pihak yang pernah merasakan pahitnya kolonialisme, Islam tak lagi hanya
bertahan sebagai identitas kultural. Nasionalisme juga menjadi ide politik yang
terbuka untuk memerdekakan bangsanya. Oleh karena itu, hubungan Islam dengan
nasionalisme menjadi kesadaran yang paling kuat dan membekas dalam
perlawanan panjang terhadap kolonialisme Barat. Beberapa negara yang merdeka
dan memilih sebagai negara Islam juga memilih jalan sosialisme Islam sebagai
bentuk perlawanan kepada Barat yang kapitalistik. Sosialisme menjadi dekat
dengan masyarakat mayoritas muslim. Hanya saja, tidak berbeda dengan
sosialisme Marx yang telah dijungkirbalikkan oleh pengikutnya sendiri di negara-
negara yang mengaku sosialis sejati tetapi rakyatnya malah menderita dipasung
sistem tirani, demikian juga halnya sosialisme Islam telah dijungkirbalikkan
sehingga tak lagi menjadi kekuatan rakyat, malah menjadi ideologi rezim politik,
rezim yang korup di mata kepentingan rakyat. Di negara-negara Islam yang
berkuasa adalah rezim kekuasaan yang satu sama lainnya saling bermusuhan.
Dan hingga kini, memang belum pernah terdengar ada negara dengan
sebutan ‘Republik Sosialis Islam’ atau ‘Kerajaan Sosialis Islam’ dengan rakyatnya
yang makmur sejahtera, tidak tertindas oleh rezim, tidak mengalami tirani jiwa
karena hak-hak asasinya terbelenggu. Tak beda dengan negara-negara yang
memasang label ‘Republik Sosialis’ yang memilih jalan sosialisme Marx, dimana
Universitas Sumatera Utara
bukan hanya kemiskinan dan tirani jiwa yang diderita rakyatnya negara-negara
berlabel sosialis itu bahkan malah mengalami keruntuhan karena dimana-mana
dibenci oleh rakyatnya sendiri sebelum mencapai tahap sebagai negara komunis.
Apa yang dikemukakan oleh Tjokroaminoto tersebut sesungguhnya bukanlah
Tjokroisme melainkan murni ajaran Islam. Tjokroaminoto hanya berperan dalam
mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan.
Pemikiran Tjokroaminoto diatas yang mengemukakan Islam sebagai dasar
dan pedoman dalam nasionalisme dan sosialisme menjadikan suatu pertanyan
kembali bagi kita umat Islam di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang sampai
saat ini tetap dominan menganut agama Islam masih sering terjebak dengan
segala multi tafsir mereka masing-masing terhadap Islam dan Al-Quran sebagai
kitab sucinya. Diantara mereka ada yang dinamakan sebagai golongan konservatif
yang menganggap masih mempertahankan kemurnian nilai-nilai Islam, golongan
fundamentalis atau ekstrimis yang beraliran radikal, atau golongan liberal dengan
hermeneutiknya yang mayoritas berasal dari kaum intelektual. Sesama mereka
saling mengklaim bahwa Islam-nya lah yang paling benar dan baik. Bahkan tidak
jarang diantara mereka sampai terlibat konflik untuk mempertahankan keyakinan
semunya tersebut. Mereka lupa bahwa seluruh kaum muslimin bahkan seluruh
umat manusia itu bersaudara seperti yang tertulis dalam Al-Quran dan kemudian
diingatkan kembali oleh Tjokroaminoto. Dari pemaparan mengenai
Tjokroaminoto sebelumnya dapat diambil kesimpulan:
Pertama, Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang memiliki multi
talenta. Bakat-bakatnya tersebut diasahnya secara otodidak. Ia pernah merasakan
menjadi seorang pegawai pamong praja yakni sebagai juru tulis di Ngawi,
merasakan pahitnya menjadi seorang kuli pelabuhan di Semarang, kemudian di
Surabaya ia sempat bekerja di sebuah perusahaan dagang, dilanjutkan menjadi
Universitas Sumatera Utara
seorang teknisi dan bekerja sebagai leerling machinist di jawatan kereta api,
bahkan setelah itu ia sempat bekerja sebagai seorang ahli kimia di sebuah pabrik
gula yaitu Rogojampi Surabaya, dan terakhir menjadi seorang kolumnis di salah
satu surat kabar di Surabaya. Dengan semua bakat dan pengalamannya selama
bekerja di berbagai tempat dan macam pekerjaan tersebut ditambah dengan
kepribadiannya yang unik, yaitu kombinasi antara keturunan bangsawan priyayi
dan ulama yang merakyat, menjadikannya sebagai pemimpin dengan
kemampuan yang komplet.
Kedua, Tjokroaminoto berusaha menunjukkan bahwa Islam bukanlah
agama yang kaku dan rumit dalam memandang perubahan zaman. Islam
diyakininya adalah sebuah agama yang toleran dan fleksibel dalam menghadapi
pergolakan pemikiran dan ideologi. Hal ini dibuktikan ketika ia berusaha
melakukan rekonsiliasi dengan pihak komunis atau di SI disebut sebagai SI
Merah. Dalam brosur yang nantinya menjadi buku ’Sosialisme Islam’, ia berusaha
memperlihatkan kalau Islam juga menganut prinsip-prinsip hidup dalam
sosialisme dan mempunyai ’musuh’ yang sama dengan kaum sosialis yaitu
kapitalisme. Namun, menurut beliau yang membedakan antara Islam dan
sosialisme terletak pada keyakinan akan adanya eksistensi Tuhan.
Ketiga, Tjokroaminoto bukanlah seseorang yang taqlid atau memiliki
fanatisme agama yang berlebihan sehingga menganggap agama lain tidak layak
memperoleh kemerdekaan seperti yang diasumsikan oleh kelompok nasionalis
sekuler. Beliau adalah orang yang amat jeli membaca situasi. Ia melihat potensi
Islam yang dapat menyatukan masyarakat Hindia sebagai suatu bangsa yang utuh
dan merdeka. Islam waktu itu dianut 90% masyarakat Hindia (Indonesia) mulai
Universitas Sumatera Utara
dari golongan paling bawah seperti petani hingga golongan paling atas seperti
kaum bangsawan. Selain itu, ia melihat adanya faktor kedekatan antara pedagang
pribumi dengan para saudagar yang berasal dari Arab. Waktu itu para pedagang
pribumi dan saudagar Arab sama-sama merasakan tekanan dari pedagang Cina
yang mendapat perlakuan khusus dari pemerintah kolonial. Tak dapat disangkal,
para pedagang inilah yang menciptakan cikal bakal dari Sarekat Islam, yaitu
Sarekat dagang Islam.
Keempat, Tjokroaminoto bukan hendak mendirikan sebuah Negara
Teokrasi (negara Islam) atau ingin meng-Islamkan seluruh rakyat Indonesia
sehingga dapat menjadi sebuah bangsa yang utuh. Beliau amat menyadari
pluralitas yang ada terutama pluralitas primordial (kesukuan) sehingga menyadari
betul potensi perpecahan yang dapat timbul apalagi dengan adanya politik devide
et impera yang dilakukan oleh Belanda. Maka yang ia harapkan adalah persatuan
yang utuh dan Islam-lah yang ia lihat dapat menjadi simbol pemersatu tersebut.
Karena beliau juga sadar betul bahwa sebenarnya umat agama lain selain Islam
juga sebenarnya ditindas dan termarjinalkan oleh sistem ’kapitalisme berdosa’
Belanda. Tujuan utama kaum kolonial jelas bukan untuk menyebarkan agama
melainkan mengeksploitasi dan mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari
negeri jajahannya. Dengan bersatunya seluruh kaum muslimin ditambah
sokongan dan dukungan dari umat agama lain di Indonesia maka bisa
dibayangkan begitu besar kekuatan yang bisa digalang untuk mengusir kaum
penjajah.
Kelima, Tjokroaminoto adalah figur yang mempelopori metode
perjuangan baru dalam menghadapi pemerintah kolonial Belanda. Ia menyadari
Universitas Sumatera Utara
kalau perjuangan bersenjata yang hanya bersifat lokal atau kedaerahan
sebelumnya tidak efektif menghadapi pemerintah kolonial yang menerapkan
politik devide et impera atau politik pecah belah. Untuk itu Tjokroaminoto
menggunakan metode yang lebih kooperatif dan sistemik yaitu lewat organisasi
pergerakan nasional yang berorientasi pada sosial keagamaan dan politik yaitu
Sarekat Islam (SI). Lewat SI ini Tjokroaminoto lebih leluasa mengonsolidasikan
kembali ’kekuatan’ yang sebelumnya terpecah belah di daerah-daerah. Sementara
itu, beliau juga mendapat ruang gerak lebih besar sembari memberikan tekanan
pada pemerintah kolonial dalam memperjuangkan kepentingan bangsanya.
Keenam, pada awal kemunculannya sebagai pemimpin SI, Tjokroaminoto
memandang Islam hanyalah sebagai simbol dan alat dalam memperjuangkan
persatuan nasional. Ia belum memahami Islam secara lebih substansial. Ada dua
kondisi yang memicu beliau untuk lebih memperdalam pengetahuannya mengenai
Islam. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, selama ia berada dalam
penjara. Keadaan ini dilihat beliau sebagai proses simbolik untuk melakukan
refleksi dan menginsyafi diri sendiri. Ketika itu beliau berusia 40 tahun dan
sangat mungkin beliau memaknainya sama seperti umur Nabi Muhammad ketika
diangkat menjadi utusan Allah. Kedua, sekembalinya ia keluar dari penjara, ia
melihat SI organisasi yang dibesarkannya berada diambang perpecahan akibat
adanya ’infiltrasi’ komunis yang menyusup ke dalam internal SI dan melakukan
indoktrinasi terhadap anggota-anggota SI.
Ketujuh, prinsip yang dipegang Tjokroaminoto adalah ’sebaik-baik tauhid’
dan ’tidak membesar-besarkan perselisihan masalah furu atau aliran’. Dengan
prinsip yang dipegangnya inilah beliau berusaha sekuat tenaga mempertahankan
Universitas Sumatera Utara
persatuan umat Islam di kalangan bangsa Hindia (Indonesia). Tidak masalah
baginya perbedaan aliran seperti sosialis atau nasionalis selama itu masih dalam
koridor ke-Islaman dan persaudaraan sesama kaum muslimin.
Kedelapan, sistem kenegaraan dalam pemikiran Tjokroaminoto adalah
negara demokrasi Islam, melalui perwakilan di parlemen (Ahlul-aqd wal hil),
yang disebutnya sebagai Dewan Rakyat dan kemudian lebih dikenal sebagai
Volskraad, untuk memilih orang-orang yang berhak memegang kekuasaan (Ahlul
Imamah) bebas dari penjajahan asing. Namun pada awalnya ia hanya mengambil
sampel dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu kehidupan politik di desa-desa.
Ia mencontohkan kehidupan warga desa yang memecahkan masalahnya sehari-
hari dengan cara saling berdiskusi dan adanya pemilihan kepala kampung.
4.2. SARAN
Berikut beberapa masukan yang kiranya dapat menjadi solusi dalam
menjawab berbagai problem sosial dan politik khususnya menyangkut politik
Islam:
Pertama, seperti halnya Soekarno-Hatta yang dijuluki ’Bapak Proklamasi’
karena mereka adalah duet yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia atau
Soeharto yang dikenal sebagai ’Bapak Pembangunan’ untuk mengenang jasanya
dalam bidang pembangunan Indonesia maka H.O.S Tjokroaminoto amat layak
dijuluki sebagai ’Bapak Pergerakan Kebangsaan’ karena jasa-jasanya dalam
dunia pergerakan pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan tentu saja
peranannya dalam membentuk character national building bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, para pemimpin di Indonesia yang mengaku muslimin seharusnya
lebih concern meningkatkan ukhuwah Islamiyah dengan sesamanya. Saling
menguatkan persatuan dan persaudaraan diantara mereka dan bukannya
membesarkan golongan dan kubu masing-masing. Tinggalkan perbedaan yang
hanya akan menjadi mudharat bagi kemaslahatan umat. Termasuk perbedaan
mengenai ideologi atau sistem yang paling layak bagi rakyat Indonesia. Mereka
harusnya menyadari politik devide et impera akan selalu merongrong kaum
muslimin sejak zaman Rasulullah hingga akhir zaman meski bermutasi dalam
bentuk dan formulasi yang berbeda.
Ketiga, para tokoh Islam saat ini sebaiknya memberikan karya nyata bukan
hanya sekadar karya kata belaka. Para tokoh Islam ini tidak memberikan solusi
yang riil malah memberikan komentar yang sebenarnya tidak penting. Malah
mereka sering memanfaatkan momentum di tengah-tengah penderitaan sesama
kaum muslim hanya untuk mempromosikan dirinya. Yang mereka pikirkan hanya
pencitraan dirinya sendiri. Seharusnya mereka bercermin dari tokoh-tokoh Islam
sebelumnya seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Natsir dan lainnya. Para tokoh
ini jelas memberikan karya konkrit bagi bangsa ini bukan hanya sekadar omong
kosong saja.
Keempat, umat Islam yang hingga saat ini masih menjadi penganut agama
mayoritas di Indonesia seharusnya lebih sering untuk mengoreksi dirinya masing-
masing dan bukannya membuang-buang waktu dan energinya untuk mencari-cari
kesalahan orang lain. Karena dalam Islam konsep yang benar adalah saling
mengingatkan satu sama lainnya diantara umat muslim dan bukannya saling
menjatuhkan. Jadikan kesalahan orang lain sebagai cerminan untuk memperbaiki
Universitas Sumatera Utara
diri sendiri. Karena tujuan akhir seorang muslimin adalah menyucikan dirinya
masing-masing baik zahir maupun batin. Seperti prinsip dalam Islam ‘Benahi diri
kamu lebih dulu lalu benahi orang lain, pimpin diri kamu kemudian pimpin orang
lain, dan tentu saja selamatkan diri kamu dan keluargamu kemudian
selamatkanlah orang lain.’
Kelima, segala perbedaan yang ada dalam tubuh umat Islam bukanlah
menjadi alat peruncing konflik antar sesama muslim melainkan menjadi alat
perekat persatuan sesama mereka. Segala perbedaan itu seharusnya untuk saling
melengkapi satu sama lainnya. Sebab, Allah SWT menciptakan perbedaan itu
bukan tanpa maksud melainkan ada hikmah yang terkandung di dalamnya.
Seharusnya manusia menjadi makhluk yang berpikir.
Dan terakhir, sempurnanya Islam harus dijalani secara Kaffah dalam arti
keseluruhan bagian dalam Islam yang berarti memahaminya secara Syariat,
Tariqat, Haqiqat dan Makrifat. Dan setiap pemahaman tersebut harus
diejawantahkan dalam setiap sendi kehidupan kaum muslimin baik itu dalam
berjalan, berlari, duduk diam, bahkan tidur sekalipun. Kunci Islam bukan terletak
pada salah satu bagian sebagaimana kita lihat perdebatan yang terjadi saat ini
hanya berkisar pada Syariat.
Perdebatan mengenai ideologi atau sistem pemerintahan yang paling baik
akan terus menjadi isu yang paling hangat di berbagai belahan dunia termasuk di
Indonesia. Walaupun sebenarnya tidak ada hal yang sangat prinsiipil yang
menjadi dikotomi diantara masing-masing ideologi atau sistem pemerintahan
tersebut karena tujuan akhirnya tetap sama yaitu mensejahterakan masyarakatnya.
Tidak menjadi masalah seperti apa ideologi atau sistem pemerintahan yang ingin
Universitas Sumatera Utara
diterapkan karena yang menjadi permasalahan paling substansial adalah akhlak
dan budi pekerti dari para pemimpinnya. Islam yang dibawa oleh Muhammad
Rasulullah SAW adalah agama yang hadir untuk memperbaiki akhlak dari
sekalian manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka Islam tidak pernah
secara rigid membahas mengenai ideologi apa yang paling layak diterapkan oleh
suatu bangsa. Islam diterima karena nilai-nilai universalitasnya akan terus
bertahan hingga akhir zaman seiring revolusi kebudayaan umat manusia itu
sendiri. Islam adalah sebuah agama yang merahmati sekalian alam dan semua
makhluk-Nya tanpa terkecuali tentu saja tidak dapat disamakan dengan sebuah
ideologi yang hanya merupakan hasil kreasi dari akal manusia dan hanya untuk
segelintir manusia pula.
Universitas Sumatera Utara