bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · 16 bab ii tinjauan pustaka pada tinjauan...

24
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang remaja awal, konsep diri, keharmonisan keluarga dan penerimaan teman sebaya. A. Remaja Awal 1. Pengertian Remaja Awal Istilah adolescence atau remaja berasal dari adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, fisik dan sosial. Secara psikologis, pada usia remaja individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980). Menurut Papalia, dkk (2009) masa remaja merupakanmasa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 11 tahun, atau bahkan lebih awal hingga usia dua puluhan awal yang disebut dengan remaja akhir yang ditandai dengan adanya perubahan fisik dan psikologis pada diri individu. Remaja sendiri merupakan individu yang sedang menjalani masa transisi tersebut. Chaplin (2011) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa periode antara pubertas dan kedewasaan dengan rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun untuk anak perempuan dan 13 sampai 22 tahun pada anak laki-laki. Monks, dkk (2004) membagi masa remaja

Upload: trinhnhu

Post on 04-Aug-2019

277 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang

menjelaskan tentang remaja awal, konsep diri, keharmonisan keluarga dan penerimaan teman

sebaya.

A. Remaja Awal

1. Pengertian Remaja Awal

Istilah adolescence atau remaja berasal dari adolescere yang berarti tumbuh

menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti

yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, fisik dan sosial. Secara

psikologis, pada usia remaja individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, anak tidak

lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada

tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980).

Menurut Papalia, dkk (2009) masa remaja merupakanmasa transisi dari masa

anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 11 tahun, atau bahkan lebih

awal hingga usia dua puluhan awal yang disebut dengan remaja akhir yang ditandai

dengan adanya perubahan fisik dan psikologis pada diri individu. Remaja sendiri

merupakan individu yang sedang menjalani masa transisi tersebut. Chaplin (2011)

menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa periode antara pubertas dan

kedewasaan dengan rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun untuk anak perempuan dan

13 sampai 22 tahun pada anak laki-laki. Monks, dkk (2004) membagi masa remaja

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

17

menjadi empat, yaitu masa pra-remaja atau pra-pubertas dari usia 10 tahun sampai 12

tahun, masa remaja awal atau pubertas dari usia 12 tahun sampai 15 tahun, masa remaja

pertengahan dari usia 15 tahun sampai 18 tahun dan masa remaja akhir 18 tahun sampai

21 tahun.

Usia remaja awal dianggap sebagai periode perkembangan mulai dari 12 tahun

sampai 15 tahun (Monks, dkk, 2004). Selama periode ini, fungsi tubuh mulai

berkembang, terutama perkembangan organ reproduksi dan pertumbuhan fisik seperti

tumbuh payudara pada perempuan dan tumbuhnya jakun pada laki-laki serta kognitif dan

emosionalnya (Papalia, dkk, 2009). Masa remaja ini juga merupakan masa storm and

stress dimana remaja cenderung mengalami ketidakstabilan emosi dan perasaan. Pada

masa ini, status remaja awal tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan.

Perlakuan orang tua terhadap remaja sering berganti-ganti. Orang tua ragu memberikan

tanggungjawab dengan alasan remaja masih kanak-kanak. Tetapi saat remaja

bertingkah kekanak-kanakan, remaja mendapat teguran sebagai orang dewasa sehingga,

remaja bingung akan statusnya (Mappiare, 1982). Remaja awal juga mulai berusaha

untuk tidak bergantung kepada orangtuanya, mereka mencoba untuk lebih mandiri,

meskipun sebenarnya mereka masih membutuhkan orangtua (Ahmadi dan Sholeh,

2005).

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja awal merupakan

individu yang baru memasuki masa remaja dengan rentang usia dari 12 tahun sampai 15

tahun, ditandai dengan adanya perkembangan organ reproduksi dan pertumbuhan fisik,

ketidakstabilan emosi dan perasaan, mulai memiliki minat terhadap teman sebaya dan

berusaha untuk tidak bergantung kepada orang tua.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

18

2. Ciri-ciri remaja awal(12-15 tahun) menurut Monks, dkk (2004), antara lain:

a. Lebih dekat dengan teman sebaya: teman sebaya merupakan individu yang sangat

penting bagi remaja sehingga remaja berusaha untuk lebih dekat dengan teman

sebaya

b. Ingin bebas: remaja memiliki emosi yang kurang stabil yang membuatnya tidak

menyukai aturan baik dari keluarga maupun orang dewasa lainnya.

c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak: pada

masa remaja awal tubuh mulai berkembang seperti organ reproduksi dan fisik

lainnya. Hal tersebut membuat remaja lebih memperhatikan keadaan tubuhnya serta

mulai mampu berfikir penyebab dari suatu kejadian.

3. Tugas Pada Masa Remaja

Havighurst (dalam Rice, 2001) menguraikan delapan tugas utama selama masa

remaja, yaitu menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif, menerima

hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya dari lawan jenis, menerima peran

maskulin atau feminin dalam peran sosial, membangun kebebasan emosional dari orang

tua dan teman sebaya lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, berkeinginan dan

mencapai perilaku bertanggung jawab secara sosial, mendapatkan satu set nilai dan

sistem etik sebagai panduan untuk perilaku (mengembangkan ideologi). Hal itu

menjadikan individu perlu mengembangkan sikap positif, keterampilan sosial,

kematangan emosional, dan pemahaman yang diperlukan untuk mempersiapkan

pernikahan.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

19

Erikson (dalam Papalia, dkk, 2009) menyatakan tugas individu adalah untuk

mendapatkan identitas ego positif yang berubah pada setiap tahapannya. Masa remaja

merupakan masa pencarian identitas diri. Pada masa ini tugas utama individu adalah

memecahkan krisis identitas versus kebingungan peran. Hal itu berguna untuk dapat

menjadi orang dewasa dengan pemahaman diri yang utuh dan memahami nilai dalam

masyarakat. Ketika pada masa remaja individu tidak dapat menemukan identitas dirinya,

maka ia akan mengalamai kekacauan peran yang dimana akan berakibat pada perilaku

remaja yang kacau atau rasa rendah diri pada remaja.

B. Konsep Diri

1. Pengertian Konsep Diri

Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek

penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan

(frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Burn (1982),

konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri individu.

Hurlock (1980) mengatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang

mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial,

emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Dariyo (2007) mengungkapkan

konsep diri merupakan cara pandang seseorang mengenai diri sendiri untuk memahami

pemahaman keberadaan diri sendiri maupun memahami orang lain. Pemahaman

keberadaan diri sendiri berhubungan erat dengan pemahaman terhadap karakteristik

pribadi secara objektif terhadap diri sendiri, atau yang disebut sebagai kategori diri.

Menurut Atwater (1983), konsep diri adalah seluruh gambaran diri yang meliputi

persepsi seseorang tentang dirinya sendiri yang meliputi penilaian, perasaan serta

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

20

keyakinan terhadap diri. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan

“saya” dengan semua perasaan, nilai-nilai dan kepercayaan menyatu dengan semua

bagian tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri

adalah gambaran dan penilaian individu tentang keadaan diri secara keseluruhan,

meliputi fisik dan psikologis saat sekarang dan keinginan dimasa mendatang.

2. Jenis-Jenis Konsep Diri

Konsep diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep diri yang positif dan negatif.

Accocela (dalam Ghufron, 2010) menjelaskan sebagai berikut:

a. Konsep diri yang positif

Dasar dari konsep diri yang positif bukanlah kebanggaan yang besar mengenai

diri, namun berupa penerimaan diri. Kualitas ini lebih mengarah pada kerendahan

hati dan kedermawanan daripada keangkuhan dan keegoisan. Konsep diri positif

bersifat stabil dan bervariasi. Konsep diri berisi berbagai “kotak kepribadian”

sehingga orang dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik informasi

negatif maupun positif. Individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan

menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri,

karena secara mental dapat menyerap semua informasi meskipun informasi tersebut

merupakan fakta yang negatif mengenai dirinya.

b. Konsep diri yang negatif, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak

memiliki kestabilan perasaan dan keutuhan diri. Individu tidak mengetahui

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

21

siapa dirinya, apa kekurangan dan kelemahannya, atau apa yang ia hargai

dalam hidupnya.

2) Konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, atau disebut kaku. Salah satu

penyebabnya karena pola asuh yang sangat keras, sehingga individu tersebut

menciptakan citra diri yang tidak menghendaki adanya perubahan, karena

individu tersebut telah merasa bahwa cara hidupnya selama ini adalah tepat.

Menurut Burn (dalam Hutagalung, 2007) ciri-ciri dari konsep diri negatif dan positif

adalah:

a. Individu dengan konsep diri negatif, sangat peka dan sulit menerima kritik dari

orang lain, sulit berinteraksi dengan orang lain, sulit mengakui kesalahan, kurang

mampu mengungkapkan perasaan dengan cara yang wajar, menunjukkan sikap

mengasingkan diri, merasa tidak berdaya, tidak menyukai persaingan dan malu-

malu. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik

terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan

sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan, mudah menyerah sebelum

menghadapi sesuatu dan ketika gagal akan cenderung menyalahkan diri sendiri

atau menyalahkan orang lain.

b. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh

percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk juga

terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai

kematian, tapi sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke

depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

22

melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan

datang.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri

Hurlock (1980) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri

remaja seperti:

a. Usia kematangan: Remaja yang matang lebih awal yang diperlakukan seperti orang

yang hampir dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan

sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.

b. Penampilan diri: Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri.

c. Kepatutan seks: Kepatutan seks dalam penampilan, minat, dan perilaku membantu

remaja mencapai konsep diri yang baik.

d. Nama dan julukan: Remaja peka dan merasa malu apabila teman-temannya

memberikan nama julukan yang buruk.

e. Hubungan keluarga: Remaja yang memiliki hubungan yang erat dengan anggota

keluarganya akan mengidentifikasi diri seperti keluarganya yang selanjutnya akan

membantu remaja dalam mengembangkan konsep dirinya.

f. Teman sebaya: Teman sebaya mampu mempengaruhi pola kepribadian remaja.

Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan teman-temannya terhadap

remaja.

g. Kreatifitas: Remaja yang dimasa kanak-kanak di dorong untuk kreatif dalam bermain

dan dalam tugas-tugas akademis akan mengembangkan perasaan individualitas dan

identitasvyang memberi pengaruh yang baik pada konsep diri.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

23

h. Cita-cita: Remaja yang mempunyai cita-cita yang realistik akan mengalami

keberhasilan dan mengembangkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih

besar yang mampu mempengaruhi konsep diri.

4. Dimensi-dimensi konsep diri

Menurut Fitts (dalam Burn, 1993) ada tujuh aspek dalam konsep diri, yaitu:

a. Identitas adalah aspek yang menjelaskan tentang siapa saya.

b. Kepuasan adalah perasaan individu terhadap diri yang ia persepsikan

c. Tingkahlaku adalah persepsi individu terhadap perilaku yang ia tunjukkan

d. Diri Fisik merupakan persepsi individu terhadap keadaan fisiknya, baik tubuh

maupun kesehatannya.

e. Diri pribadi merupakan bagaimana individu menilai diri pribadinya

f. Diri Keluarga merupakan persepsi individu terhadap dirinya ditengah-tengah orang-

orang yang dekat dengannya

g. Diri Sosial merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam berinteraksi

dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.

Fitts (dalam Agustiani, 2009) membagi konsep diri menjadi dua dimensi yaitu:

a. Dimensi Internal yang terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu:

a. Komponen identitas diri (Self Identity) adalah aspek paling mendasar dari

konsep diri. Aspek ini adalah ciri mempertanyakan "siapa aku?". Di dalam diri

identitas terkumpul seluruh label dan simbol yang digunakan seseorang untuk

menggambarkan diri. Dengan bertambah pengalaman, label seseorang akan

bertambah. Semua ini menambah pengenalan diri dan menolong

menggambarkan diri dalam menjawab pertanyaan identitasnya. Sumber utama

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

24

diri identitas adalah diri sebagai pelaku. Diri identitas dapat mempengaruhi

cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan juga dengan diri sendiri.

Dengan demikian diri identitas mempunyai hubungan dengan diri pelaku dan

hubungan ini secara umum berlaku timbal balik.

b. Diri sebagai pelaku (behavioral Self). Diri sebagai pelaku merupakan persepsi

seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak. Dalam melakukan

sesuatu seseorang didorong oleh stimulus eksternal dan internal. Konsekuensi

dari tingkah laku mempengaruhi dipertahankan atau tidak suatu tingkah laku.

Di samping itu juga menentukan apakah suatu tingkah laku baru

diabstraksikan, disimbolisasikan atau dimasukkan dalam diri identitas.

c. Diri sebagai Penilai (judging self). Manusia cenderung menilai sejauh mana

hal-hal yang dipersepsikan memuaskan bagi dirinya. Interaksi antara diri

identitas, diri pelaku dan integrasi dalam keseluruhan konsep diri meliputi

bagian diri yang ketiga yaitu diri sebagai penilai. Diri penilai berfungsi sebagai

pengamat dan pemberi nilai standar, pembanding dan terutama sebagai penilai

diri. Juga mediator antara dua diri berbeda. Penilaian diberikan pada label-label

di dalam diri identitas atau diri pelaku secara terpisah, misalnya Saya pintar"

atau "Saya tidak suka melakukan itu". Penilaian belajar dan "saya pintar"

berarti orang tersebut memberi label pada keseluruhan diri dan bukan pada

tingkah laku tertentu. Namun orang tersebut bisa juga mengatakan "Saya

melakukan itu tapi saya bukan orang yang terbiasa melakukan hal demikian",

hal ini berarti, orang tersebut tidak setuju dengan tingkah laku tersebut (Fitts

dalam Agustiani, 2009).

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

25

b. Dimensi eksternal: Pengamatan diri dimensi eksternal muncul ketika adanya

interaksi dengan lingkungan luar, secara khusus merupakan hubungan interpersonal.

Ada lima bagian diri yang tercakup dalam dimensi eksternal yaitu diri fisik, diri etika

moral, diri personal, diri keluarga dan diri sosial.

1) Diri Fisik (physical self) merupakan persepsi dan perasaan seseorang terhadap

keadaan fisik, kesehatan, keterampilan, penampilan diri, seksualitas dan gerak

motorik.

2) Diri Personal (personal self) merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai

pribadi terlepas dari keadaan fisik dan hubungan dengan orang lain dan sejauh

mana ia merasa kuat sebagai pribadi. Misalnya perasaan diri sebagai orang

gembira, orang tenang dan santai atau seorang pembenci.

3) Diri Keluarga (family self) merupakan perasaan dan harga diri seseorang

sebagai anggota keluarga dan di tengah-tengah teman-teman dekat. Bagian ini

menunjukkan seberapa jauh perasaan seseorang terhadap dirinya sebagai

anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku

anggota keluarga.

4) Diri Sosial (Social self) Merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam

berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.

5) Diri Etika Moral (Moral Ethical self) merupakan persepsi seseorang tentang

dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai etis dan moral. Selain itu

juga berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, rasa puas

seseorang pada kehidupan keagamaannya, nilai-nilai moral yang dianut

berkenaan dengan apa yang baik dan yang jahat dan rasa puas seseorang dalam

kehidupan agamanya (Fitts dalam Agustiani, 2009).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

26

Berdasarkan beberapa aspek konsep diri yang dipaparkan diatas, maka digunakan

aspek-aspek konsep diri dari teori Fitts yang terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi

internal dan eksternal.

5. Proses Pembentukan Konsep Diri

Menurut Murmanto (dalam Sarwono, 2012), proses pembentukan konsep diri

dimulai sejak masa kanak-kanak. Masa kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak

masuk sekolah dasar. Pada masa ini, kehidupan sosial anak semakin meluas, anak juga

lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya, sehingga membuat anak mulai

membandingkan diri dengan teman sebayanya. Adanya perbandingan tersebut membuat

anak memahami bagaimana dirinya dan apa kelebihan yang dimiliki dibandingkan

teman-teman yang lain. Proses perbandingan sosial tersebut juga akan tetap berlanjut

dalam masa perkembangan individu sampai dengan dewasa. Konsep diri terbentuk

melalui proses belajar sejak masa perkembangan seorang manusia dari kecil hingga

dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orangtua dan

lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh

sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru

dan negatif ataupun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep

diri negatif. Jadi, anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan apa yang

diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif,

maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang

positif. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat dikatakan bahwa lingkungan sangat

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

27

mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang anak, baik lingkungan keluarga

maupun lingkungan teman sebaya.

C. Keharmonisan Keluarga

1. Pengertian Keharmonisan Keluarga

Kartono mendefinisikan keluarga sebagai satu kelompok individu yang terkait oleh

ikatan perkawinan atau darah; secara khusus mencakup seorang ayah, ibu dan anak.

Keluarga juga merupakan satu kelompok pribadi yang hidup bersama-sama dalam satu

rumah tangga. Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam

kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling

utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis

anak manusia (Kartono, 2004). Hurlock (1993) mendefinisikan keluarga sebagai bagian

yang paling penting dari “jaringan sosial” anak, karena anggota keluarga merupakan

lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting selama masa awal kehidupan.

Menurut Gunarsa (1983) keharmonisan keluarga merupakan keadaan keluarga

yang utuh dan bahagia, yang di dalamnya terdapat suatu ikatan kekeluargaan dan

memberikan rasa aman, tentram bagi setiap anggotanya. Gunarsa (1999) juga

menyatakan bahwa keluarga harmonis adalah ketika seluruh anggota keluarga merasa

bahagia yang ditandai oleh minimnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh

keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik,

mental dan sosial. Lestari (2012) mengemukakan bahwa keluarga harmonis adalah

keluarga dimana setiap anggotanya menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing,

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

28

terjalin kasih sayang, saling pengertian, komunikasi dan kerjasama yang baik antara

anggota keluarga.

Berdasarkan beberapa pemaparan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa

keharmonisan keluarga ialah suatu keadaan keluarga yang kukuh dan bahagia, yang

ditandai oleh minimnya ketegangan, kekecewaan, mampu menjalankan hak dan

kewajibannya masing-masing, terjalinnya kasih sayang, pengertian, komunikasi, dan

kerjasama yang baik antar anggota keluarga.

2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga

Menurut Defrain dan Stinnett (dalam Lestari, 2012), ada enam karakteristik keluarga

yang harmonis dan kukuh, yaitu:

a. Memiliki Komitmen

Dalam hal ini, keberadaan anggota keluarga diakui dan dihargai. Setiap anggota

keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan,

sehingga semangatnya adalah “ satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya

adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi

prioritas.

b. Terdapat Kesediaan Untuk Mengungkapkan Apresiasi

Dalam hal ini, setiap anggota keluarga senantiasa mengungkapkan penghargaan

dan rasa terima kasih terhadap sesama anggota keluarga. Setiap ada keberhasilan

yang diperoleh salah satu anggota keluarga, maka perlu untuk dirayakan, sehingga

dengan demikian komunikasi dalam keluarga akan bersifat positif, cenderung

bernada memuji, dan menjadi kebiasaan.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

29

c. Terdapat Waktu Untuk Berkumpul Bersama

Sebagian orang beranggapan bahwa dalam hubungan orangtua-anak yang penting

terdapat waktu yang berkualitas, walaupun tidak sering. Namun, kuantitas interaksi

orangtua-anak dimasa kanak-kanak menjadi pondasi penting untuk membentuk

hubungan yang berkualitas dimasa perkembangan anak selanjutnya. Melalui

interaksi orangtua-anak dengan frekuensi yang sering akan mendukung

terbentuknya kelekatan anak dengan orangtua. Oleh karena itu, keluarga yang

harmonis atau kukuh memiliki waktu untuk melakukan kegiatan bersama dan

sering melakukannya.

d. Mengembangkan Spiritualitas

Bagi sebagian keluarga, komunitas keagamaan menjadi keluarga kedua yang

menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan,

tujuan, dan perspektif. Sehingga keluarga yang sering berdoa bersama akan

memiliki rasa kebersamaan yang kuat.

e. Menyelesaikan Konflik dan Menghadapi Tekanan dan Krisis Dengan Efektif

Setiap keluarga pasti mengalami konflik, namun yang harmonis atau kukuh akan

bersama-sama menghadapi permasalahan yang muncul dan bersama-sama mencari

cara untuk menyelesaikannya. Konflik yang muncul diselesaikan dengan cara

menghargai sudut pandang masing-masing terhadap permasalahan. Ketika terjadi

krisis dalam keluarga, keluarga yang harmonis akan bersatu dan menghadapinya

bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan (Stinnett & Defrain

dalam Lestari, 2012).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

30

f. Memiliki Ritme

Keluarga harmonis atau kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang

memberikan arahan, makna, dan struktur dalam kehidupan sehari-hari. Mereka

memiliki aturan, prinsip yang dijadikan pedoman. Ritme atau pola-pola dalam

keluarga ini akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-

harapan yang dibangun. Selain itu, keluarga yang sehat terbuka terhadap

perubahan, dengan belajar untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan di dalam

keluarga (Stinnett & Defrain dalam Lestari, 2012).

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga

Gunarsa& Gunarsa (1999) menyatakan bahwa suasana rumah dapat mempengaruhi

keharmonisan keluarga. Suasana rumah adalah kesatuan yang serasi antara pribadi-

pribadi, kesatuan yang serasi antara orangtua dan anak. Jadi suasana rumah yang

menyenangkan akan tercipta bagi anak bila terdapat kondisi :

a. Anak dapat merasakan bahwa ayah dan ibunya terdapat saling pengertian dan

kerjasama yang serasi serta saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya.

b. Anak dapat merasakan bahwa orangtuanya mau mengerti dan dapat menghayati

pola perilakunya, dapat mengerti apa yang diinginkannya, dan memberi kasih

sayang secara bijaksana.

c. Anak dapat merasakan bahwa saudara-saudaranya mau memahami dan menghargai

dirinya menurut kemauan, kesenangan dan cita-citanya, dan anak dapat merasakan

kasih sayang yang diberikan saudara-saudaranya.

Faktor lain yang juga mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut Gunarsa&

Gunarsa (1999) adalah kondisi ekonomi keluarga. Tingkat sosial ekonomi yang rendah

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

31

seringkali menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam keluarga. Akibat banyaknya

masalah yang ditemui karena kondisi keuangan yang memprihatinkan ini menyebabkan

kondisi keluarga menjadi tidak harmonis. Banyaknya masalah yang dihadapi keluarga

akan berpengaruh kepada perkembangan psikologis anak, karena pengalaman-

pengalaman kurang menyenangkan yang diperoleh anak di rumah, akan terbawa ketika

anak bergaul dengan lingkungan sosialnya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi

keharmonisan keluarga adalah suasana rumah yang menyenangkan sehingga anak mampu

merasakan bahwa orangtuanya saling pengertian, anggota keluarga saling menghargai dan

kondisi ekonomi keluarga cukup baik.

D. Penerimaan Teman Sebaya

1. Pengertian Teman Sebaya

Menurut Santrock (2003), teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat

usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Pergaulan remaja akan semakin luas dengan

terbentuknya kelompok-kelompok teman sebaya yang merupakan wadah penyesuaian

(Mappiare, 1982). Menurut Hartup (dalam Santrock, 2003), teman sebaya adalah

individu yang memiliki tingkat kematangan dan usia yang kurang lebih sama. Menurut

Mappiare, kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama tempat remaja

belajar untuk hidup bersama dengan orang lain selain keluarganya. Lingkungan teman

sebaya juga merupakan suatu kelompok yang baru, yang memiliki ciri, norma dan

kebiasaan yang sama, serta sangat jauh berbeda dari ciri, norma maupun kebiasaan yang

terdapat di dalam lingkungan keluarga (Mappiare, 1982).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

32

Menurut Horrock dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980), teman sebaya merupakan

dunia nyata remaja untuk menguji diri sendiri dan orang lain, tempat remaja untuk

merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, mendapatkan penilaian dari orang-orang

yang sejajar dengan dirinya, serta memberikan sebuah tempat untuk melakukan

sosialisasi dalam suasana nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan oleh teman-teman

seusianya. Orang yang sejajar yang dimaksudkan adalah orang yang mempunyai tingkat

perkembangan dan kematangan yang sama dengan individu. Dengan kata lain teman

sebaya adalah teman yang seusia. Teman sebaya merupakan suatu wadah bagi remaja

untuk belajar mengenal dan berinteraksi dengan orang lain. Disini remaja juga belajar

untuk menghormati dan melaksanakan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Bersama teman sebaya ini pula remaja akan belajar tentang berbagai perilaku yang

diterima dan ditolak oleh teman sebayanya dan masyarakat.

Menurut Chaplin (2011), peer group adalah satu kelompok tempat anak

mengasosiasikan dirinya. Sedangkan menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991), teman

sebaya merupakan remaja yang biasa bermain bersama dan melakukan aktivitas secara

bersama.

Kolb (1984) menyatakan bahwa penerimaan mencerminkan perasaan senang

sehubungan dengan kenyataan yang ada pada diri individu. Menurut Johnson dan

Medinus (1976), penerimaan memiliki arti pemberian cinta tanpa syarat. Menurut

Hurlock (1980) penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk satu aktivitas

dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Sedangkan pengertian penerimaan

teman sebaya menurut Hurlock (1980) adalah diterimanya atau dipilihnya seorang

remaja yang sejajar dengan dirinya menjadi anggota kelompok untuk melakukan

sosialisasi dalam suasana nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan oleh teman-

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

33

temannya. Penerimaan biasanya ditandai dengan sifat-sifat positif yaitu pengakuan atau

penghargaan terhadap seseorang. Setiap remaja diterima oleh kelompok sebayanya

karena remaja tersebut memiliki suatu kesamaan pada kelompok tersebut. Kesamaan

tersebut dapat berupa kesamaan minat, kepribadian dan sebagainya.

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan teman

sebaya merupakan cerminan perasaan senang dan pemberian cinta tanpa syarat dari

seorang individu terhadap individu lainnya yang memiliki usia sama dalam melakukan

suatu aktivitas kelompok dengan mematuhi nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan

oleh kelompok.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Teman Sebaya

Menurut Mappiare (1982), hal-hal yang membuat individu diterima dalam

kelompok teman sebaya ialah:

a. Penampilan dan perbuatan yang meliputi penampilan baik atau rapi serta aktif

dalam urusan kelompok.

b. Kemampuan pikir antara lain : mempunyai inisiatif, banyak memikirkan

kepentingan kelompok dan mengemukakan pendapatnya

c. Sikap, sifat dan perasaan antara lain bersikap sopan, memperhatikan orang lain,

penyabar atau dapat menahan marah jika berada dalam keadaan yang tidak

menyenangkan dirinya, suka menyumbang pengetahuan pada orang lain terutama

anggota kelompok yang bersangkutan.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

34

d. Kepribadian, meliputi jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab dan suka

menjalankan pekerjaannya, mentaati peraturan-peraturan kelompok, mampu

menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dan pergaulan sosial.

e. Pemurah, suka bekerja sama dan membantu anggota kelompok.

Hurlock (1980) juga menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan remaja diterima oleh

kelompok teman sebaya antara lain:

a. Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik

perhatian, sikap tenang dan gembira.

b. Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.

c. Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan kelompok.

d. Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggung jawab, senang bersama

orang lain, bijaksana dan sopan.

e. Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti

peraturan-peraturan.

f. Sifat pribadi yang menimbulkan penyesuaian sosial baik seperti jujur, tidak

mementingkan diri sendiri dan ekstraversi.

g. Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam

kelompoknya dan hubungan yang baik dengan anggota -anggota keluarga.

h. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan

dan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok.

3. Aspek-Aspek Penerimaan Teman Sebaya

Parker& Asher (1993) mengemukakan ada 6 aspek penerimaan teman sebaya, yaitu:

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

35

a. Validation and Caring: suatu hubungan yang dikarakteristikan sebagai bentuk

dukungan, kepedulian dan memberi perhatian

b. Companionshipand Recreation: Suatu hubungan dimana remaja menghabiskan

waktu mereka bersama teman-temannya baik di dalam maupun di luar sekolah.

c. Help and Guidance: usaha seseorang untuk membantu dan mengarahkan satu sama

lain dalam segala rutinitas maupun tugas.

d. Intimate Exchange: suatu hubungan yang dikarakteristikan oleh keterbukaan

informasi dan perasaan pribadi.

e. Conflict and Betrayal: suatu hubungan yang ditandai dengan adanya argumentasi,

ketidaksetujuan, kekesalan, dan ketidakpercayaan.

f. Conflict Resolution: usaha individu dalam menyelesaikan perbedaan pendapat

dalam hubungan secara efisien dan adil.

E. Peran Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Terhadap Konsep

Diri Remaja SMP di Denpasar

Pada awal masa remaja, individu belum dapat mengontrol emosi negatif yang

muncul dari dirinya, perasaan remaja sangat peka, mudah tersinggung, dan sering muncul

perasaan takut, cemas, dan malu karena cara berfikirnya yang cenderung dikuasai oleh

emosionalitas (Mappiare, 1982). Hurlock (1980) menyatakan pada masa remaja, individu

memiliki tugas-tugas yang harus diselesaikannya, salah satunya adalah individu dituntut untuk

mampu menemukan identitas dirinya yang nantinya akan menuntun individu untuk mencapai

pemahaman diri yang seutuhnya atau konsep diri yang utuh. Menurut Atwater konsep diri

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

36

adalah sebagai gambaran mental diri seseorang. Gambaran tersebut muncul dari suatu persepsi

individu terhadap diri yang disebut dengan self perception. Konsep diri individu terdiri dari

dua macam yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif ( Burn, 1993).

Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari

lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak

dapat terlepas dari peran keluarga. Keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan

konsep diri pada remaja, dimana kasih sayang, perhatian, kehangatan dan keutuhan keluarga

sangat dibutuhkan remaja untuk membantu membentuk konsep diri yang ideal. Remaja dapat

mempersepsikan diri mereka melalui interaksi yang mereka lakukan, pertama kali adalah

dengan lingkungan keluarga. Calhoun dan Accocella (dalam Ghufron, 2010) berpendapat

bahwa orang tua merupakan figur untuk berinteraksi yang paling awal dan paling kuat dalam

pembentukan kerangka dasar konsep diri. Hurlock (1980) berpendapat bahwa adanya

dukungan keluarga akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk.

Kondisi keluarga yang harmonis mampu menciptakan konsep diri yang positif pada individu

karena individu mendapatkan kasih sayang, perhatian, dukungan dan kehangatan dari

keluarganya. Dalam keluarga yang harmonis, anggota akan mempunyai cukup waktu untuk

bersama, baik dalam berbagi cerita, melakukan aktivitas, maupun memberikan dukungan pada

anggota lain yang sedang menghadapi tantangan sehingga kondisi tersebut akan mampu

membuat remaja yang merupakan anggota keluarga merasa puas dengan keadaan lingkungan

sekitarnya dan membantu dalam perkembangan konsep diri remaja (Defrain & Stinnett dalam

Lestari, 2012). Dalam keluarga yang kurang harmonis atau broken home, terdapat konflik

yang terlalu banyak dan tidak terselesaikan sehingga waktu yang dimiliki dihabiskan untuk

berdebat terkait konflik yang ada. Dukungan maupun waktu untuk berbagi cerita diantara

anggota keluarga hampir tidak ada, sehingga remaja yang merupakan anggota keluarga akan

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

37

merasa tidak aman di dalam lingkungannya serta mereka tidak menemukan kasih sayang,

perhatian, dukungan dan kehangatan yang mampu membantu remaja untuk mengembangkan

konsep diri positif. Dengan kata lain, lingkungan keluarga merupakan tempat pembentukan

kepribadian anggota-anggotanya, sehingga kualitas lingkungan keluarga akan mampu

mempengaruhi pembentukan konsep diri.

Teman sebaya juga berperan sangat penting pada diri remaja. Teman sebaya merupakan

sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting di sekolah. Kelompok

teman sebaya juga merupakan komunitas belajar peran-peran sosial dan standar yang

berkaitan dengan kerja dan prestasi (Santrock, 2003). Teman sebaya memiliki peranan yang

begitu penting sehingga remaja berusaha melakukan berbagai cara agar bisa diterima oleh

teman sebayanya. Diterimanya remaja dalam kelompok teman sebayanya, akan membuat ia

merasa dirinya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya, sehingga akan menimbulkan rasa

senang, gembira, puas terhadap diri dan memberikan rasa percaya diri yang besar, rasa

percaya diri yang besar serta rasa puas terhadap diri merupakan cerminan dari konsep diri

yang positif (Mappiare, 1982). Seorang remaja diterima di sekolahnya karena beberapa faktor,

yaitu fisik yang baik, kemampuan intelektual maupun sikap yang ramah dan rendah hati. Hal

tersebut akan membuat remaja merasa bahagia dan memiliki konsep diri yang positif. Remaja

yang tidak diterima di kelompok sebayanya di sekolah cenderung memiliki konsep diri yang

negatif (Mappiare, 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Hardhiyanti dan Dewi (2013)

menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara dukungan sosial keluarga dan

penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada siswa kelas VIII di SMPN 2 Gresik dengan

nilai korelasi untuk dukungan sosial keluarga sebesar 0,63 dan penerimaan teman sebaya

sebesar 0,573. Nilai korelasi kedua variabel tersebut sebesar 0,695. Maka dapat dikatakan

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

38

bahwa dukungan sosial keluarga dan penerimaan teman sebaya dapat membantu remaja dalam

mengembangkan konsep diri yang lebih positif.

Dinamika hubungan antar variabel dalam penelitian ini akan menjadi seperti pada

gambar 1.

A. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian teoretik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan

sebagai hipotesis mayor dan hipotesis minor.

1. Hipotesis Mayor:

Hipotesis alternatif (Ha) : “Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Berperan

Terhadap Konsep Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”

2. Hipotesis Minor:

a. Hipotesis alternatif (Ha1): “Keharmonisan Keluarga Berperan Terhadap Konsep

Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”

b. Hipotesis alternatif (Ha2): “Penerimaan Teman Sebaya Berperan Terhadap Konsep

Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang menjelaskan tentang

39

Gambar 1. Diagram Peran Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Terhadap

Konsep Diri Remaja SMP di Denpasar

Keterangan Gambar:

B. : Variabel Penelitian : Dimensi variabel penelitian

C. : Peran : Mencirikan variabel penelitian

a. Memiliki Komitmen

b. Terdapat Kesediaan Untuk

Mengungkapkan Apresiasi

c. Terdapat Waktu Untuk Berkumpul

Bersama

d. Mengembangkan Spiritualitas

e. Menyelesaikan Konflik dan Menghadapi

Tekanan dan Krisis Dengan Efektif

f. Memiliki Ritme

Keharmonisan

Keluarga

Konsep Diri

a. Dimensi Internal:

1) Identitas diri (Self Identity)

2) Diri sebagai pelaku (behavioral Self)

3) Diri sebagai Penilai (judging self)

b. Dimensi eksternal:

1) Diri Fisik (physical self)

2) Diri Etika Moral (Moral Ethical self)

3) Diri Personal (personal self)

4) Diri Keluarga (family self)

5) Diri Sosial (Social self)

Penerimaan

Teman Sebaya

a. Validation and Caring

b. Companionshipand recreation

c. Help and Guidance

d. Intimate Exchange

e. conflict and betrayal

f. conflict resolution