bab ii tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdf · 16 bab ii tinjauan pustaka pada tinjauan...
TRANSCRIPT
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka ini akan diuraikan lebih mendalam mengenai teori-teori yang
menjelaskan tentang remaja awal, konsep diri, keharmonisan keluarga dan penerimaan teman
sebaya.
A. Remaja Awal
1. Pengertian Remaja Awal
Istilah adolescence atau remaja berasal dari adolescere yang berarti tumbuh
menjadi dewasa. Istilah adolescence seperti yang digunakan saat ini, mempunyai arti
yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, fisik dan sosial. Secara
psikologis, pada usia remaja individu berinteraksi dengan masyarakat dewasa, anak tidak
lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada pada
tingkatan yang sama sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1980).
Menurut Papalia, dkk (2009) masa remaja merupakanmasa transisi dari masa
anak-anak menuju masa dewasa yang berlangsung sejak usia 11 tahun, atau bahkan lebih
awal hingga usia dua puluhan awal yang disebut dengan remaja akhir yang ditandai
dengan adanya perubahan fisik dan psikologis pada diri individu. Remaja sendiri
merupakan individu yang sedang menjalani masa transisi tersebut. Chaplin (2011)
menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa periode antara pubertas dan
kedewasaan dengan rentang usia 12 tahun sampai 21 tahun untuk anak perempuan dan
13 sampai 22 tahun pada anak laki-laki. Monks, dkk (2004) membagi masa remaja
17
menjadi empat, yaitu masa pra-remaja atau pra-pubertas dari usia 10 tahun sampai 12
tahun, masa remaja awal atau pubertas dari usia 12 tahun sampai 15 tahun, masa remaja
pertengahan dari usia 15 tahun sampai 18 tahun dan masa remaja akhir 18 tahun sampai
21 tahun.
Usia remaja awal dianggap sebagai periode perkembangan mulai dari 12 tahun
sampai 15 tahun (Monks, dkk, 2004). Selama periode ini, fungsi tubuh mulai
berkembang, terutama perkembangan organ reproduksi dan pertumbuhan fisik seperti
tumbuh payudara pada perempuan dan tumbuhnya jakun pada laki-laki serta kognitif dan
emosionalnya (Papalia, dkk, 2009). Masa remaja ini juga merupakan masa storm and
stress dimana remaja cenderung mengalami ketidakstabilan emosi dan perasaan. Pada
masa ini, status remaja awal tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan.
Perlakuan orang tua terhadap remaja sering berganti-ganti. Orang tua ragu memberikan
tanggungjawab dengan alasan remaja masih kanak-kanak. Tetapi saat remaja
bertingkah kekanak-kanakan, remaja mendapat teguran sebagai orang dewasa sehingga,
remaja bingung akan statusnya (Mappiare, 1982). Remaja awal juga mulai berusaha
untuk tidak bergantung kepada orangtuanya, mereka mencoba untuk lebih mandiri,
meskipun sebenarnya mereka masih membutuhkan orangtua (Ahmadi dan Sholeh,
2005).
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa remaja awal merupakan
individu yang baru memasuki masa remaja dengan rentang usia dari 12 tahun sampai 15
tahun, ditandai dengan adanya perkembangan organ reproduksi dan pertumbuhan fisik,
ketidakstabilan emosi dan perasaan, mulai memiliki minat terhadap teman sebaya dan
berusaha untuk tidak bergantung kepada orang tua.
18
2. Ciri-ciri remaja awal(12-15 tahun) menurut Monks, dkk (2004), antara lain:
a. Lebih dekat dengan teman sebaya: teman sebaya merupakan individu yang sangat
penting bagi remaja sehingga remaja berusaha untuk lebih dekat dengan teman
sebaya
b. Ingin bebas: remaja memiliki emosi yang kurang stabil yang membuatnya tidak
menyukai aturan baik dari keluarga maupun orang dewasa lainnya.
c. Lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak: pada
masa remaja awal tubuh mulai berkembang seperti organ reproduksi dan fisik
lainnya. Hal tersebut membuat remaja lebih memperhatikan keadaan tubuhnya serta
mulai mampu berfikir penyebab dari suatu kejadian.
3. Tugas Pada Masa Remaja
Havighurst (dalam Rice, 2001) menguraikan delapan tugas utama selama masa
remaja, yaitu menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif, menerima
hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya dari lawan jenis, menerima peran
maskulin atau feminin dalam peran sosial, membangun kebebasan emosional dari orang
tua dan teman sebaya lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, berkeinginan dan
mencapai perilaku bertanggung jawab secara sosial, mendapatkan satu set nilai dan
sistem etik sebagai panduan untuk perilaku (mengembangkan ideologi). Hal itu
menjadikan individu perlu mengembangkan sikap positif, keterampilan sosial,
kematangan emosional, dan pemahaman yang diperlukan untuk mempersiapkan
pernikahan.
19
Erikson (dalam Papalia, dkk, 2009) menyatakan tugas individu adalah untuk
mendapatkan identitas ego positif yang berubah pada setiap tahapannya. Masa remaja
merupakan masa pencarian identitas diri. Pada masa ini tugas utama individu adalah
memecahkan krisis identitas versus kebingungan peran. Hal itu berguna untuk dapat
menjadi orang dewasa dengan pemahaman diri yang utuh dan memahami nilai dalam
masyarakat. Ketika pada masa remaja individu tidak dapat menemukan identitas dirinya,
maka ia akan mengalamai kekacauan peran yang dimana akan berakibat pada perilaku
remaja yang kacau atau rasa rendah diri pada remaja.
B. Konsep Diri
1. Pengertian Konsep Diri
Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek
penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan
(frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Burn (1982),
konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri individu.
Hurlock (1980) mengatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang
mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial,
emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Dariyo (2007) mengungkapkan
konsep diri merupakan cara pandang seseorang mengenai diri sendiri untuk memahami
pemahaman keberadaan diri sendiri maupun memahami orang lain. Pemahaman
keberadaan diri sendiri berhubungan erat dengan pemahaman terhadap karakteristik
pribadi secara objektif terhadap diri sendiri, atau yang disebut sebagai kategori diri.
Menurut Atwater (1983), konsep diri adalah seluruh gambaran diri yang meliputi
persepsi seseorang tentang dirinya sendiri yang meliputi penilaian, perasaan serta
20
keyakinan terhadap diri. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan
“saya” dengan semua perasaan, nilai-nilai dan kepercayaan menyatu dengan semua
bagian tersebut.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep diri
adalah gambaran dan penilaian individu tentang keadaan diri secara keseluruhan,
meliputi fisik dan psikologis saat sekarang dan keinginan dimasa mendatang.
2. Jenis-Jenis Konsep Diri
Konsep diri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konsep diri yang positif dan negatif.
Accocela (dalam Ghufron, 2010) menjelaskan sebagai berikut:
a. Konsep diri yang positif
Dasar dari konsep diri yang positif bukanlah kebanggaan yang besar mengenai
diri, namun berupa penerimaan diri. Kualitas ini lebih mengarah pada kerendahan
hati dan kedermawanan daripada keangkuhan dan keegoisan. Konsep diri positif
bersifat stabil dan bervariasi. Konsep diri berisi berbagai “kotak kepribadian”
sehingga orang dapat menyimpan informasi tentang dirinya sendiri, baik informasi
negatif maupun positif. Individu dengan konsep diri positif dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri,
karena secara mental dapat menyerap semua informasi meskipun informasi tersebut
merupakan fakta yang negatif mengenai dirinya.
b. Konsep diri yang negatif, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur, tidak
memiliki kestabilan perasaan dan keutuhan diri. Individu tidak mengetahui
21
siapa dirinya, apa kekurangan dan kelemahannya, atau apa yang ia hargai
dalam hidupnya.
2) Konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, atau disebut kaku. Salah satu
penyebabnya karena pola asuh yang sangat keras, sehingga individu tersebut
menciptakan citra diri yang tidak menghendaki adanya perubahan, karena
individu tersebut telah merasa bahwa cara hidupnya selama ini adalah tepat.
Menurut Burn (dalam Hutagalung, 2007) ciri-ciri dari konsep diri negatif dan positif
adalah:
a. Individu dengan konsep diri negatif, sangat peka dan sulit menerima kritik dari
orang lain, sulit berinteraksi dengan orang lain, sulit mengakui kesalahan, kurang
mampu mengungkapkan perasaan dengan cara yang wajar, menunjukkan sikap
mengasingkan diri, merasa tidak berdaya, tidak menyukai persaingan dan malu-
malu. Individu dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan
sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan, mudah menyerah sebelum
menghadapi sesuatu dan ketika gagal akan cenderung menyalahkan diri sendiri
atau menyalahkan orang lain.
b. Individu yang memiliki konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, termasuk juga
terhadap kegagalan yang dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai
kematian, tapi sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke
depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan
22
melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan
datang.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri
Hurlock (1980) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri
remaja seperti:
a. Usia kematangan: Remaja yang matang lebih awal yang diperlakukan seperti orang
yang hampir dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik.
b. Penampilan diri: Penampilan diri yang berbeda membuat remaja merasa rendah diri.
c. Kepatutan seks: Kepatutan seks dalam penampilan, minat, dan perilaku membantu
remaja mencapai konsep diri yang baik.
d. Nama dan julukan: Remaja peka dan merasa malu apabila teman-temannya
memberikan nama julukan yang buruk.
e. Hubungan keluarga: Remaja yang memiliki hubungan yang erat dengan anggota
keluarganya akan mengidentifikasi diri seperti keluarganya yang selanjutnya akan
membantu remaja dalam mengembangkan konsep dirinya.
f. Teman sebaya: Teman sebaya mampu mempengaruhi pola kepribadian remaja.
Konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan teman-temannya terhadap
remaja.
g. Kreatifitas: Remaja yang dimasa kanak-kanak di dorong untuk kreatif dalam bermain
dan dalam tugas-tugas akademis akan mengembangkan perasaan individualitas dan
identitasvyang memberi pengaruh yang baik pada konsep diri.
23
h. Cita-cita: Remaja yang mempunyai cita-cita yang realistik akan mengalami
keberhasilan dan mengembangkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih
besar yang mampu mempengaruhi konsep diri.
4. Dimensi-dimensi konsep diri
Menurut Fitts (dalam Burn, 1993) ada tujuh aspek dalam konsep diri, yaitu:
a. Identitas adalah aspek yang menjelaskan tentang siapa saya.
b. Kepuasan adalah perasaan individu terhadap diri yang ia persepsikan
c. Tingkahlaku adalah persepsi individu terhadap perilaku yang ia tunjukkan
d. Diri Fisik merupakan persepsi individu terhadap keadaan fisiknya, baik tubuh
maupun kesehatannya.
e. Diri pribadi merupakan bagaimana individu menilai diri pribadinya
f. Diri Keluarga merupakan persepsi individu terhadap dirinya ditengah-tengah orang-
orang yang dekat dengannya
g. Diri Sosial merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.
Fitts (dalam Agustiani, 2009) membagi konsep diri menjadi dua dimensi yaitu:
a. Dimensi Internal yang terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu:
a. Komponen identitas diri (Self Identity) adalah aspek paling mendasar dari
konsep diri. Aspek ini adalah ciri mempertanyakan "siapa aku?". Di dalam diri
identitas terkumpul seluruh label dan simbol yang digunakan seseorang untuk
menggambarkan diri. Dengan bertambah pengalaman, label seseorang akan
bertambah. Semua ini menambah pengenalan diri dan menolong
menggambarkan diri dalam menjawab pertanyaan identitasnya. Sumber utama
24
diri identitas adalah diri sebagai pelaku. Diri identitas dapat mempengaruhi
cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan juga dengan diri sendiri.
Dengan demikian diri identitas mempunyai hubungan dengan diri pelaku dan
hubungan ini secara umum berlaku timbal balik.
b. Diri sebagai pelaku (behavioral Self). Diri sebagai pelaku merupakan persepsi
seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak. Dalam melakukan
sesuatu seseorang didorong oleh stimulus eksternal dan internal. Konsekuensi
dari tingkah laku mempengaruhi dipertahankan atau tidak suatu tingkah laku.
Di samping itu juga menentukan apakah suatu tingkah laku baru
diabstraksikan, disimbolisasikan atau dimasukkan dalam diri identitas.
c. Diri sebagai Penilai (judging self). Manusia cenderung menilai sejauh mana
hal-hal yang dipersepsikan memuaskan bagi dirinya. Interaksi antara diri
identitas, diri pelaku dan integrasi dalam keseluruhan konsep diri meliputi
bagian diri yang ketiga yaitu diri sebagai penilai. Diri penilai berfungsi sebagai
pengamat dan pemberi nilai standar, pembanding dan terutama sebagai penilai
diri. Juga mediator antara dua diri berbeda. Penilaian diberikan pada label-label
di dalam diri identitas atau diri pelaku secara terpisah, misalnya Saya pintar"
atau "Saya tidak suka melakukan itu". Penilaian belajar dan "saya pintar"
berarti orang tersebut memberi label pada keseluruhan diri dan bukan pada
tingkah laku tertentu. Namun orang tersebut bisa juga mengatakan "Saya
melakukan itu tapi saya bukan orang yang terbiasa melakukan hal demikian",
hal ini berarti, orang tersebut tidak setuju dengan tingkah laku tersebut (Fitts
dalam Agustiani, 2009).
25
b. Dimensi eksternal: Pengamatan diri dimensi eksternal muncul ketika adanya
interaksi dengan lingkungan luar, secara khusus merupakan hubungan interpersonal.
Ada lima bagian diri yang tercakup dalam dimensi eksternal yaitu diri fisik, diri etika
moral, diri personal, diri keluarga dan diri sosial.
1) Diri Fisik (physical self) merupakan persepsi dan perasaan seseorang terhadap
keadaan fisik, kesehatan, keterampilan, penampilan diri, seksualitas dan gerak
motorik.
2) Diri Personal (personal self) merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai
pribadi terlepas dari keadaan fisik dan hubungan dengan orang lain dan sejauh
mana ia merasa kuat sebagai pribadi. Misalnya perasaan diri sebagai orang
gembira, orang tenang dan santai atau seorang pembenci.
3) Diri Keluarga (family self) merupakan perasaan dan harga diri seseorang
sebagai anggota keluarga dan di tengah-tengah teman-teman dekat. Bagian ini
menunjukkan seberapa jauh perasaan seseorang terhadap dirinya sebagai
anggota keluarga dan terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya selaku
anggota keluarga.
4) Diri Sosial (Social self) Merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam
berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan lebih luas.
5) Diri Etika Moral (Moral Ethical self) merupakan persepsi seseorang tentang
dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai etis dan moral. Selain itu
juga berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhannya, rasa puas
seseorang pada kehidupan keagamaannya, nilai-nilai moral yang dianut
berkenaan dengan apa yang baik dan yang jahat dan rasa puas seseorang dalam
kehidupan agamanya (Fitts dalam Agustiani, 2009).
26
Berdasarkan beberapa aspek konsep diri yang dipaparkan diatas, maka digunakan
aspek-aspek konsep diri dari teori Fitts yang terbagi menjadi dua dimensi yaitu dimensi
internal dan eksternal.
5. Proses Pembentukan Konsep Diri
Menurut Murmanto (dalam Sarwono, 2012), proses pembentukan konsep diri
dimulai sejak masa kanak-kanak. Masa kritis pembentukan konsep diri adalah saat anak
masuk sekolah dasar. Pada masa ini, kehidupan sosial anak semakin meluas, anak juga
lebih banyak berinteraksi dengan teman sebayanya, sehingga membuat anak mulai
membandingkan diri dengan teman sebayanya. Adanya perbandingan tersebut membuat
anak memahami bagaimana dirinya dan apa kelebihan yang dimiliki dibandingkan
teman-teman yang lain. Proses perbandingan sosial tersebut juga akan tetap berlanjut
dalam masa perkembangan individu sampai dengan dewasa. Konsep diri terbentuk
melalui proses belajar sejak masa perkembangan seorang manusia dari kecil hingga
dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orangtua turut memberikan pengaruh
yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orangtua dan
lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh
sebab itu, seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru
dan negatif ataupun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep
diri negatif. Jadi, anak menilai dirinya berdasarkan apa yang dialami dan apa yang
diperoleh dari lingkungan. Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif,
maka anak akan merasa dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang
positif. Berdasarkan pemaparan tersebut maka dapat dikatakan bahwa lingkungan sangat
27
mempengaruhi pembentukan kepribadian seorang anak, baik lingkungan keluarga
maupun lingkungan teman sebaya.
C. Keharmonisan Keluarga
1. Pengertian Keharmonisan Keluarga
Kartono mendefinisikan keluarga sebagai satu kelompok individu yang terkait oleh
ikatan perkawinan atau darah; secara khusus mencakup seorang ayah, ibu dan anak.
Keluarga juga merupakan satu kelompok pribadi yang hidup bersama-sama dalam satu
rumah tangga. Keluarga merupakan satu organisasi sosial yang paling penting dalam
kelompok sosial dan keluarga merupakan lembaga di dalam masyarakat yang paling
utama bertanggung jawab untuk menjamin kesejahteraan sosial dan kelestarian biologis
anak manusia (Kartono, 2004). Hurlock (1993) mendefinisikan keluarga sebagai bagian
yang paling penting dari “jaringan sosial” anak, karena anggota keluarga merupakan
lingkungan pertama anak dan orang yang paling penting selama masa awal kehidupan.
Menurut Gunarsa (1983) keharmonisan keluarga merupakan keadaan keluarga
yang utuh dan bahagia, yang di dalamnya terdapat suatu ikatan kekeluargaan dan
memberikan rasa aman, tentram bagi setiap anggotanya. Gunarsa (1999) juga
menyatakan bahwa keluarga harmonis adalah ketika seluruh anggota keluarga merasa
bahagia yang ditandai oleh minimnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh
keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik,
mental dan sosial. Lestari (2012) mengemukakan bahwa keluarga harmonis adalah
keluarga dimana setiap anggotanya menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing,
28
terjalin kasih sayang, saling pengertian, komunikasi dan kerjasama yang baik antara
anggota keluarga.
Berdasarkan beberapa pemaparan teori diatas, dapat disimpulkan bahwa
keharmonisan keluarga ialah suatu keadaan keluarga yang kukuh dan bahagia, yang
ditandai oleh minimnya ketegangan, kekecewaan, mampu menjalankan hak dan
kewajibannya masing-masing, terjalinnya kasih sayang, pengertian, komunikasi, dan
kerjasama yang baik antar anggota keluarga.
2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga
Menurut Defrain dan Stinnett (dalam Lestari, 2012), ada enam karakteristik keluarga
yang harmonis dan kukuh, yaitu:
a. Memiliki Komitmen
Dalam hal ini, keberadaan anggota keluarga diakui dan dihargai. Setiap anggota
keluarga memiliki komitmen untuk saling membantu meraih keberhasilan,
sehingga semangatnya adalah “ satu untuk semua, semua untuk satu”. Intinya
adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap keluarga dan kehidupan keluarga menjadi
prioritas.
b. Terdapat Kesediaan Untuk Mengungkapkan Apresiasi
Dalam hal ini, setiap anggota keluarga senantiasa mengungkapkan penghargaan
dan rasa terima kasih terhadap sesama anggota keluarga. Setiap ada keberhasilan
yang diperoleh salah satu anggota keluarga, maka perlu untuk dirayakan, sehingga
dengan demikian komunikasi dalam keluarga akan bersifat positif, cenderung
bernada memuji, dan menjadi kebiasaan.
29
c. Terdapat Waktu Untuk Berkumpul Bersama
Sebagian orang beranggapan bahwa dalam hubungan orangtua-anak yang penting
terdapat waktu yang berkualitas, walaupun tidak sering. Namun, kuantitas interaksi
orangtua-anak dimasa kanak-kanak menjadi pondasi penting untuk membentuk
hubungan yang berkualitas dimasa perkembangan anak selanjutnya. Melalui
interaksi orangtua-anak dengan frekuensi yang sering akan mendukung
terbentuknya kelekatan anak dengan orangtua. Oleh karena itu, keluarga yang
harmonis atau kukuh memiliki waktu untuk melakukan kegiatan bersama dan
sering melakukannya.
d. Mengembangkan Spiritualitas
Bagi sebagian keluarga, komunitas keagamaan menjadi keluarga kedua yang
menjadi sumber dukungan selain keluarganya. Ikatan spiritual memberikan arahan,
tujuan, dan perspektif. Sehingga keluarga yang sering berdoa bersama akan
memiliki rasa kebersamaan yang kuat.
e. Menyelesaikan Konflik dan Menghadapi Tekanan dan Krisis Dengan Efektif
Setiap keluarga pasti mengalami konflik, namun yang harmonis atau kukuh akan
bersama-sama menghadapi permasalahan yang muncul dan bersama-sama mencari
cara untuk menyelesaikannya. Konflik yang muncul diselesaikan dengan cara
menghargai sudut pandang masing-masing terhadap permasalahan. Ketika terjadi
krisis dalam keluarga, keluarga yang harmonis akan bersatu dan menghadapinya
bersama-sama dengan saling memberi kekuatan dan dukungan (Stinnett & Defrain
dalam Lestari, 2012).
30
f. Memiliki Ritme
Keluarga harmonis atau kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan, dan tradisi yang
memberikan arahan, makna, dan struktur dalam kehidupan sehari-hari. Mereka
memiliki aturan, prinsip yang dijadikan pedoman. Ritme atau pola-pola dalam
keluarga ini akan memantapkan dan memperjelas peran keluarga dan harapan-
harapan yang dibangun. Selain itu, keluarga yang sehat terbuka terhadap
perubahan, dengan belajar untuk menyesuaikan kebutuhan-kebutuhan di dalam
keluarga (Stinnett & Defrain dalam Lestari, 2012).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga
Gunarsa& Gunarsa (1999) menyatakan bahwa suasana rumah dapat mempengaruhi
keharmonisan keluarga. Suasana rumah adalah kesatuan yang serasi antara pribadi-
pribadi, kesatuan yang serasi antara orangtua dan anak. Jadi suasana rumah yang
menyenangkan akan tercipta bagi anak bila terdapat kondisi :
a. Anak dapat merasakan bahwa ayah dan ibunya terdapat saling pengertian dan
kerjasama yang serasi serta saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya.
b. Anak dapat merasakan bahwa orangtuanya mau mengerti dan dapat menghayati
pola perilakunya, dapat mengerti apa yang diinginkannya, dan memberi kasih
sayang secara bijaksana.
c. Anak dapat merasakan bahwa saudara-saudaranya mau memahami dan menghargai
dirinya menurut kemauan, kesenangan dan cita-citanya, dan anak dapat merasakan
kasih sayang yang diberikan saudara-saudaranya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut Gunarsa&
Gunarsa (1999) adalah kondisi ekonomi keluarga. Tingkat sosial ekonomi yang rendah
31
seringkali menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam keluarga. Akibat banyaknya
masalah yang ditemui karena kondisi keuangan yang memprihatinkan ini menyebabkan
kondisi keluarga menjadi tidak harmonis. Banyaknya masalah yang dihadapi keluarga
akan berpengaruh kepada perkembangan psikologis anak, karena pengalaman-
pengalaman kurang menyenangkan yang diperoleh anak di rumah, akan terbawa ketika
anak bergaul dengan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi
keharmonisan keluarga adalah suasana rumah yang menyenangkan sehingga anak mampu
merasakan bahwa orangtuanya saling pengertian, anggota keluarga saling menghargai dan
kondisi ekonomi keluarga cukup baik.
D. Penerimaan Teman Sebaya
1. Pengertian Teman Sebaya
Menurut Santrock (2003), teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat
usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Pergaulan remaja akan semakin luas dengan
terbentuknya kelompok-kelompok teman sebaya yang merupakan wadah penyesuaian
(Mappiare, 1982). Menurut Hartup (dalam Santrock, 2003), teman sebaya adalah
individu yang memiliki tingkat kematangan dan usia yang kurang lebih sama. Menurut
Mappiare, kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama tempat remaja
belajar untuk hidup bersama dengan orang lain selain keluarganya. Lingkungan teman
sebaya juga merupakan suatu kelompok yang baru, yang memiliki ciri, norma dan
kebiasaan yang sama, serta sangat jauh berbeda dari ciri, norma maupun kebiasaan yang
terdapat di dalam lingkungan keluarga (Mappiare, 1982).
32
Menurut Horrock dan Benimoff (dalam Hurlock, 1980), teman sebaya merupakan
dunia nyata remaja untuk menguji diri sendiri dan orang lain, tempat remaja untuk
merumuskan dan memperbaiki konsep dirinya, mendapatkan penilaian dari orang-orang
yang sejajar dengan dirinya, serta memberikan sebuah tempat untuk melakukan
sosialisasi dalam suasana nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan oleh teman-teman
seusianya. Orang yang sejajar yang dimaksudkan adalah orang yang mempunyai tingkat
perkembangan dan kematangan yang sama dengan individu. Dengan kata lain teman
sebaya adalah teman yang seusia. Teman sebaya merupakan suatu wadah bagi remaja
untuk belajar mengenal dan berinteraksi dengan orang lain. Disini remaja juga belajar
untuk menghormati dan melaksanakan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Bersama teman sebaya ini pula remaja akan belajar tentang berbagai perilaku yang
diterima dan ditolak oleh teman sebayanya dan masyarakat.
Menurut Chaplin (2011), peer group adalah satu kelompok tempat anak
mengasosiasikan dirinya. Sedangkan menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991), teman
sebaya merupakan remaja yang biasa bermain bersama dan melakukan aktivitas secara
bersama.
Kolb (1984) menyatakan bahwa penerimaan mencerminkan perasaan senang
sehubungan dengan kenyataan yang ada pada diri individu. Menurut Johnson dan
Medinus (1976), penerimaan memiliki arti pemberian cinta tanpa syarat. Menurut
Hurlock (1980) penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk satu aktivitas
dalam kelompok dimana seseorang menjadi anggota. Sedangkan pengertian penerimaan
teman sebaya menurut Hurlock (1980) adalah diterimanya atau dipilihnya seorang
remaja yang sejajar dengan dirinya menjadi anggota kelompok untuk melakukan
sosialisasi dalam suasana nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan oleh teman-
33
temannya. Penerimaan biasanya ditandai dengan sifat-sifat positif yaitu pengakuan atau
penghargaan terhadap seseorang. Setiap remaja diterima oleh kelompok sebayanya
karena remaja tersebut memiliki suatu kesamaan pada kelompok tersebut. Kesamaan
tersebut dapat berupa kesamaan minat, kepribadian dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan teman
sebaya merupakan cerminan perasaan senang dan pemberian cinta tanpa syarat dari
seorang individu terhadap individu lainnya yang memiliki usia sama dalam melakukan
suatu aktivitas kelompok dengan mematuhi nilai-nilai yang berlaku dan telah ditetapkan
oleh kelompok.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Teman Sebaya
Menurut Mappiare (1982), hal-hal yang membuat individu diterima dalam
kelompok teman sebaya ialah:
a. Penampilan dan perbuatan yang meliputi penampilan baik atau rapi serta aktif
dalam urusan kelompok.
b. Kemampuan pikir antara lain : mempunyai inisiatif, banyak memikirkan
kepentingan kelompok dan mengemukakan pendapatnya
c. Sikap, sifat dan perasaan antara lain bersikap sopan, memperhatikan orang lain,
penyabar atau dapat menahan marah jika berada dalam keadaan yang tidak
menyenangkan dirinya, suka menyumbang pengetahuan pada orang lain terutama
anggota kelompok yang bersangkutan.
34
d. Kepribadian, meliputi jujur dan dapat dipercaya, bertanggung jawab dan suka
menjalankan pekerjaannya, mentaati peraturan-peraturan kelompok, mampu
menyesuaikan diri dalam berbagai situasi dan pergaulan sosial.
e. Pemurah, suka bekerja sama dan membantu anggota kelompok.
Hurlock (1980) juga menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan remaja diterima oleh
kelompok teman sebaya antara lain:
a. Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menarik
perhatian, sikap tenang dan gembira.
b. Reputasi sebagai seorang yang sportif dan menyenangkan.
c. Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan kelompok.
d. Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggung jawab, senang bersama
orang lain, bijaksana dan sopan.
e. Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti
peraturan-peraturan.
f. Sifat pribadi yang menimbulkan penyesuaian sosial baik seperti jujur, tidak
mementingkan diri sendiri dan ekstraversi.
g. Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lain dalam
kelompoknya dan hubungan yang baik dengan anggota -anggota keluarga.
h. Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan
dan partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok.
3. Aspek-Aspek Penerimaan Teman Sebaya
Parker& Asher (1993) mengemukakan ada 6 aspek penerimaan teman sebaya, yaitu:
35
a. Validation and Caring: suatu hubungan yang dikarakteristikan sebagai bentuk
dukungan, kepedulian dan memberi perhatian
b. Companionshipand Recreation: Suatu hubungan dimana remaja menghabiskan
waktu mereka bersama teman-temannya baik di dalam maupun di luar sekolah.
c. Help and Guidance: usaha seseorang untuk membantu dan mengarahkan satu sama
lain dalam segala rutinitas maupun tugas.
d. Intimate Exchange: suatu hubungan yang dikarakteristikan oleh keterbukaan
informasi dan perasaan pribadi.
e. Conflict and Betrayal: suatu hubungan yang ditandai dengan adanya argumentasi,
ketidaksetujuan, kekesalan, dan ketidakpercayaan.
f. Conflict Resolution: usaha individu dalam menyelesaikan perbedaan pendapat
dalam hubungan secara efisien dan adil.
E. Peran Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Terhadap Konsep
Diri Remaja SMP di Denpasar
Pada awal masa remaja, individu belum dapat mengontrol emosi negatif yang
muncul dari dirinya, perasaan remaja sangat peka, mudah tersinggung, dan sering muncul
perasaan takut, cemas, dan malu karena cara berfikirnya yang cenderung dikuasai oleh
emosionalitas (Mappiare, 1982). Hurlock (1980) menyatakan pada masa remaja, individu
memiliki tugas-tugas yang harus diselesaikannya, salah satunya adalah individu dituntut untuk
mampu menemukan identitas dirinya yang nantinya akan menuntun individu untuk mencapai
pemahaman diri yang seutuhnya atau konsep diri yang utuh. Menurut Atwater konsep diri
36
adalah sebagai gambaran mental diri seseorang. Gambaran tersebut muncul dari suatu persepsi
individu terhadap diri yang disebut dengan self perception. Konsep diri individu terdiri dari
dua macam yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif ( Burn, 1993).
Pola terbentuknya konsep diri pada seorang individu bukan merupakan bawaan dari
lahir, tetapi konsep diri terbentuk melalui proses, dan proses pembentukan konsep diri tidak
dapat terlepas dari peran keluarga. Keluarga memiliki peranan penting dalam pembentukan
konsep diri pada remaja, dimana kasih sayang, perhatian, kehangatan dan keutuhan keluarga
sangat dibutuhkan remaja untuk membantu membentuk konsep diri yang ideal. Remaja dapat
mempersepsikan diri mereka melalui interaksi yang mereka lakukan, pertama kali adalah
dengan lingkungan keluarga. Calhoun dan Accocella (dalam Ghufron, 2010) berpendapat
bahwa orang tua merupakan figur untuk berinteraksi yang paling awal dan paling kuat dalam
pembentukan kerangka dasar konsep diri. Hurlock (1980) berpendapat bahwa adanya
dukungan keluarga akan mempengaruhi kepribadian anak melalui konsep diri yang terbentuk.
Kondisi keluarga yang harmonis mampu menciptakan konsep diri yang positif pada individu
karena individu mendapatkan kasih sayang, perhatian, dukungan dan kehangatan dari
keluarganya. Dalam keluarga yang harmonis, anggota akan mempunyai cukup waktu untuk
bersama, baik dalam berbagi cerita, melakukan aktivitas, maupun memberikan dukungan pada
anggota lain yang sedang menghadapi tantangan sehingga kondisi tersebut akan mampu
membuat remaja yang merupakan anggota keluarga merasa puas dengan keadaan lingkungan
sekitarnya dan membantu dalam perkembangan konsep diri remaja (Defrain & Stinnett dalam
Lestari, 2012). Dalam keluarga yang kurang harmonis atau broken home, terdapat konflik
yang terlalu banyak dan tidak terselesaikan sehingga waktu yang dimiliki dihabiskan untuk
berdebat terkait konflik yang ada. Dukungan maupun waktu untuk berbagi cerita diantara
anggota keluarga hampir tidak ada, sehingga remaja yang merupakan anggota keluarga akan
37
merasa tidak aman di dalam lingkungannya serta mereka tidak menemukan kasih sayang,
perhatian, dukungan dan kehangatan yang mampu membantu remaja untuk mengembangkan
konsep diri positif. Dengan kata lain, lingkungan keluarga merupakan tempat pembentukan
kepribadian anggota-anggotanya, sehingga kualitas lingkungan keluarga akan mampu
mempengaruhi pembentukan konsep diri.
Teman sebaya juga berperan sangat penting pada diri remaja. Teman sebaya merupakan
sumber status, persahabatan dan rasa saling memiliki yang penting di sekolah. Kelompok
teman sebaya juga merupakan komunitas belajar peran-peran sosial dan standar yang
berkaitan dengan kerja dan prestasi (Santrock, 2003). Teman sebaya memiliki peranan yang
begitu penting sehingga remaja berusaha melakukan berbagai cara agar bisa diterima oleh
teman sebayanya. Diterimanya remaja dalam kelompok teman sebayanya, akan membuat ia
merasa dirinya dihargai dan dihormati oleh teman-temannya, sehingga akan menimbulkan rasa
senang, gembira, puas terhadap diri dan memberikan rasa percaya diri yang besar, rasa
percaya diri yang besar serta rasa puas terhadap diri merupakan cerminan dari konsep diri
yang positif (Mappiare, 1982). Seorang remaja diterima di sekolahnya karena beberapa faktor,
yaitu fisik yang baik, kemampuan intelektual maupun sikap yang ramah dan rendah hati. Hal
tersebut akan membuat remaja merasa bahagia dan memiliki konsep diri yang positif. Remaja
yang tidak diterima di kelompok sebayanya di sekolah cenderung memiliki konsep diri yang
negatif (Mappiare, 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Hardhiyanti dan Dewi (2013)
menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara dukungan sosial keluarga dan
penerimaan teman sebaya dengan konsep diri pada siswa kelas VIII di SMPN 2 Gresik dengan
nilai korelasi untuk dukungan sosial keluarga sebesar 0,63 dan penerimaan teman sebaya
sebesar 0,573. Nilai korelasi kedua variabel tersebut sebesar 0,695. Maka dapat dikatakan
38
bahwa dukungan sosial keluarga dan penerimaan teman sebaya dapat membantu remaja dalam
mengembangkan konsep diri yang lebih positif.
Dinamika hubungan antar variabel dalam penelitian ini akan menjadi seperti pada
gambar 1.
A. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian teoretik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai hipotesis mayor dan hipotesis minor.
1. Hipotesis Mayor:
Hipotesis alternatif (Ha) : “Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Berperan
Terhadap Konsep Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”
2. Hipotesis Minor:
a. Hipotesis alternatif (Ha1): “Keharmonisan Keluarga Berperan Terhadap Konsep
Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”
b. Hipotesis alternatif (Ha2): “Penerimaan Teman Sebaya Berperan Terhadap Konsep
Diri Pada Remaja SMP di Denpasar”
39
Gambar 1. Diagram Peran Keharmonisan Keluarga dan Penerimaan Teman Sebaya Terhadap
Konsep Diri Remaja SMP di Denpasar
Keterangan Gambar:
B. : Variabel Penelitian : Dimensi variabel penelitian
C. : Peran : Mencirikan variabel penelitian
a. Memiliki Komitmen
b. Terdapat Kesediaan Untuk
Mengungkapkan Apresiasi
c. Terdapat Waktu Untuk Berkumpul
Bersama
d. Mengembangkan Spiritualitas
e. Menyelesaikan Konflik dan Menghadapi
Tekanan dan Krisis Dengan Efektif
f. Memiliki Ritme
Keharmonisan
Keluarga
Konsep Diri
a. Dimensi Internal:
1) Identitas diri (Self Identity)
2) Diri sebagai pelaku (behavioral Self)
3) Diri sebagai Penilai (judging self)
b. Dimensi eksternal:
1) Diri Fisik (physical self)
2) Diri Etika Moral (Moral Ethical self)
3) Diri Personal (personal self)
4) Diri Keluarga (family self)
5) Diri Sosial (Social self)
Penerimaan
Teman Sebaya
a. Validation and Caring
b. Companionshipand recreation
c. Help and Guidance
d. Intimate Exchange
e. conflict and betrayal
f. conflict resolution