bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi...
TRANSCRIPT
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Liberalisasi Perdagangan
Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan
oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi
perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya
penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra
dagang.
Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena
menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi,
kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini
didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan
menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar.
Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi.
Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negara-
negara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin
menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau
menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah.
Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi
dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri
untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses
produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun
demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi
perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar.
2.2. Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional
Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk
membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari
kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama
untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum
pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat
14
bagi Negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain
European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA).
Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak
langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global.
Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk
meningkatkan integrasi ekonomi global.
Organisasi ini terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat
kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara negara
peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok
regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market,
Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001).
Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih
negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota.
Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif
individu dengan negara yang bukan anggota.
FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi
yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam
kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non
tarif (non-tariff barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk
kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal
negara-negara anggotanya yang tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.
Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen,
sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” sendiri-sendiri.
Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common
Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari
1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1
Januari 2010.
Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh
ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh
perekonomian dunia secara keseluruhan. Dampak diliberalisasikannya
perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan dunia
menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan internasional
15
seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan
perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan
efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain
(Stephenson, 1994).
Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia
yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume
perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus
perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan
peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan
dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian
kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat
kesejahteraan dunia.
Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi
atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif
eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini
mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang
mempunyai tarif eksternal rendah.
Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom
Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan
semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi
seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan
menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara
anggota.
Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat
dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota
European Union menggunakan mata uang. Tingkat integrasi ini juga disebut
Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara
anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Wild, Wild dan
Han, 2000).
Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi.
Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union secara
sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-negara yang
16
berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena alasan sejarah, seperti
British Commonwealth yang terdiri dari negara-negara yang pernah menjadi
bagian oleh British Empire. Namun ketika British bergabung dengan European
Union, perlakuan istimewa ini hilang. Sekarang kelompok ini hanya sebagai
forum untuk diskusi dan ikatan sejarah yang sama.
Integrasi ekonomi regional (termasuk FTA) akan memberikan dampak
positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa dinegara-negara anggota
FTA. Dampak positif dari integrasi ekonomi adalah (Wild, Wild dan Han, 2000):
2.2.1. Trade Creation
Dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian
dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional
melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota
lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan
melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing
negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan
masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1. Trade Creation
Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara
anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya
peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara
2
1
3
4
G J
A
C M
V U
H
N
Z W
B
10 20 50 70
S1
S1+T
Dx
Sx Px
Qx
17
lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan pada
Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). Dx dan Sx masing-masing merupakan kurva
permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan
kurva S1 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free
trade untuk barang X dari negara I ($1). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100
persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I, sehingga
harga impornya menjadi $2 atau kurva S1 + T. Produksi domestik negara II
sebanyak 20 unit barang X atau AM, sedangkan total konsumsi dalam negara II
sebanyak 50 unit barang X atau GH. Kemudian negara I dan negara II membentuk
integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, negara
II mengimpor 60 unit barang X atau CB dari negara tanpa bea masuk pada harga
$1 (kurva S1). Produk domestik negara I turun menjadi 10 unit barang X atau CM
dan total konsumsi naik menjadi 70 unit barang X atau AB. Dengan pembentukan
FTA, maka : Penerimaan bea masuk untuk negara II akan hilang, Konsumen
domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area AGJC
yang merupakan kenaikan konsumen surplus, Manfaat lain yang diperoleh negara
II setara dengan area CJM + area BHN, atau setara dengan $15.
2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar
Keuntungan untuk mengelimainasi hambatan perdagangan lebih mudah
dilakukan pada kelompok negara-negara yang lebih kecil. Contohnya seperti
ASEAN dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar seperti WTO.
2.2.3. Kerjasama Politik
Secara politik terdapat keuntungan dari negara-negara yang berintegrasi.
Salah satu keuntungan yang juga diutamakan adalah dapat memperjuangkan
kepentingan bersama di forum perundingan yang lebih besar seperti WTO.
Integrasi ekonomi juga memberikan dampak negatif terhadap anggotanya.
Wild, Wild dan Han (2000) mengidentifikasi terdapat tiga dampak negatif yaitu
trade diversion, pergeseran tenaga kerja, hilangnya kedaulatan nasional.
2.2.4. Trade Diversion
Terjadinya pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta
dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien ke negara yang ikut serta dalam
18
perjanjian walaupun kurang efisien. Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya trade
diversion pada negara yang melakukan integrasi ekonomi. Sebagai contoh, Dx
dan Sx merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X
dari negara II, sedangkan kurva S1 dan S3 merupakan kurva penawaran yang
elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1) dan
negara III ($1,5). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II
mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I sehingga harga impornya
menjadi $2 atau kurva S1+T. Kemudian negara II membentuk integrasi ekonomi
regional dalam bentuk FTA dengan negara III.
Setelah pembentukan FTA, negara II mengimpor 45 unit barang X atau
C’B’ dari negara III yang bebas bea masuk pada harga $ 1,5 (kurva S3).Dengan
pembentukan FTA maka : kesejahteraan / manfaat yang diperoleh negara II
adalah sebesar segitiga C’JJ’ + segitiga H’HB’, atau senilai $1,25 + $2,5 = $3,75 ;
kesejahteraan / manfaat yang hilang dari negara II sebesar segiempat MNH’J’
atau senilai $15 ; kesejahteraan / manfaat neto yang hilang adalah sebesar $15 -
$3,75 = $11,25 (Lihat Gambar 2.2.).
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.2. Trade Diversion 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja
Karena adanya kerjasama perdagangan maka produsen akan berproduksi
ke negara yang lebih efisien. Sebagai contoh, untuk industri yang memerlukan
S1
C’ 1,5
1
2
3 E
B’ J’ H’
10
H J
H
G’
Z N M
G
20 50 60
S3
S1+T
Dx
Sx Px
Qx
19
tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah akan mengalihkan tempat
produksinya ke negara anggota yang memiliki tingkat upah yang rendah.
2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Politik
Jika integrasi ekonomi sudah mencapai political union, maka suatu negara
akan kehilangan kebebasan dalam menentukan politik luar negerinya sendiri.
Sejauh ini, bentuk integrasi pada tingkat yang paling tinggi (political union) sulit
untuk dicapai.
2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Haryadi (2008) manganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian
terhadap perekonomian negara maju dan berkembang (analisis GTAP). Dari hasil
penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia belum
siap sepenuhnya untuk meliberalisasi perdagangan dengan tarif nol persen.
Negara maju paling diuntungkan oleh kebijakan penghapusan tarif.
Penelitian Oktaviani et al (2008) berjudul ”Consultancy and Training
Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing
Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Ekspor
Produk Dinamik, CMSA dan CGE menunjukkan selama periode tahun 2000-2006
nilai ekspor Indonesia tumbuh sebesar 10.76 persen pertahun, nilai ini lebih
rendah secara relatif dibandingkan Cina (23.61 persen). Terdapat 194 komoditas
Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor
yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas
ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri.
Berdasarkan market destinatination Indonesia, Malaysia, Thailand dan
Cina memiliki kesamaan dalam penetrasi pasar, dimana seluruh negara tersebut
berorientasi pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa,
dan Cina. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek
pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas.
Rendahnya dayasaing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur
seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi
internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti
share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh
terhadap dayasaing investasi di Indonesia.
20
Hasil model CGE menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan
dunia akan memberikan dampak negatif bagi kondisi makroekonomi Indonesia.
Pendapatan Nasional akan menurun disertai dengan peningkatan inflasi karena
sebagian besar komoditas yang mengalami kenaikan adalah komoditas impor
misalnya vegetable oils, fats dan palm oils.
Penelitian Oktaviani, et al (2007) menganalisis FTA dalam skema ASEAN
Plus One yakni ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Alat analisis yang
digunakan adalah IIT dan GTAP, menunjukkan hasil terjadi integrasi yang tinggi
pada komoditi manufaktur antara ASEAN dengan negara Cina dan Rep. Korea.
Komoditi pertambangan terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one
way trade atau nilai IIT bernilai 0. Pada kelompok lainnya, yaitu kelompok
komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi
pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang
menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah menunjukkan
ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa
sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang
cukup, seperti komoditi pertanian lainnya yang mencapai nilai IIT lebih dari 60.
Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negara-
negara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian,
maka komoditi minyak nabati terutama produk CPO (Crude Palm Oil) serta
turunannya merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia
menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk eskpor CPO dan turunannya.
Secara keseluruhan dampak makro ekonomi FTA dalam Skema ASEAN-
Cina maupun ASEAN-Rep. Korea meningkatkan total GDP negara-negara
ASEAN walaupun relatif kecil. Peningkatan GDP lebih banyak didorong oleh
pengeluaran/konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Peningkatan GDP yang
disebabkan oleh peningkatan investasi relatif kecil. Hal ini tentunya kurang baik
apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang.
Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996
dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul
sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan
21
vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang
berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya
menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor
manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita,
perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan
economies of scale.
Austria (2004) yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis
karakteristik perdagangan pada 11 sektor prioritas ASEAN periode 1997-2001
dan mengukur integrasi pada 11 sektor tersebut melalui IIT menunjukkan bahwa
IIT relatif tinggi hanya pada sektor ICT dan elektronik.
Penelitian Menon (1996) bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi
pertumbuhan perdagangan intra industri dan pertumbuhan perdagangan neto
terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN periode 1981-1986 dan 1986-
1991 khususnya manufaktur. Dengan metode Grubel-Lloyd Index untuk
mengukur IIT hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan
perdagangan intra industri terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN
adalah lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh perdagangan neto
di sebagian besar negara ASEAN.
Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan
untuk mengetahui dampak ASEAN Plus Three FTA cukup relevan untuk
dilakukan. Dengan posisi dayasaing seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat
dampak secara luas dari adanya FTA dalam skema ASEAN Plus Three dan
bagaimana jika dibandingkan dengan skema ASEAN Plus One seperti yang telah
dilakukan pda penelitiannya sebelumnya.
2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4.1. Teori Perdagangan Internasional
Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang
dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.
Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara
saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu
negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).
22
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk
memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian
halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan
perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain
motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama
terjadinya perdagangan internasional:
1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai
skala ekonomi (economic of scale)
Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi
perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari
teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa
perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam
negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.
Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu
komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga
domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih
rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur
harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih
besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess
supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai
kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara
B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada
produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B
lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari
negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara
negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah
harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
23
O QA O Q* O QB
SB
Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor)
Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional Keterangan: PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa
perdagangan internasional X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional. OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)
tanpa perdagangan internasional. B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa
perdagangan internasional. M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah
yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Gambar 2.3 memperlihatkan sebelum terjadinya perdangangan
internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB.
Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi
dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional
lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka
negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional
sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari
A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di
pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka
PA
X
DA A SA
ES
P*
ED B
M
PB
DB
24
negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B
akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional
sebesar X sama dengan M yaitu Q*.
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo
(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative
Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada
biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan
harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.
Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh
negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang
diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya
lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum
Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan
komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan
production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan
(Salvator, 1997):
a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi
b) Perdagangan bersifat bebas
c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak
ada mobilitas antara dua negara.
d) Biaya produksi konstan
e) Tidak terdapat biaya transportasi
f) Tidak ada perubahan teknologi
Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu
negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.
Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
25
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang di mana negara tersebut berproduski lebih produktif serta mengimpor
barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif.
Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif
akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan
sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi
efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan
komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat
memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga
tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan
perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang
memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan
mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor
barang yang keunggulan komparatifnya rendah.
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-
Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-
O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan
faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara
dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor
komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan
kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi
padat tenaga kerja (labor-intensive goods).
Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami
manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan
menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan
keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum.
2.4.2. Teori Keseimbangan Umum
Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras
pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada
sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat
kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen
26
sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki
konsumen. Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar
akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Pendekatan ini memperlakukan
pasar sebagai suatu sistem.
2.4.2.1. Landasan Teori
Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan
menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ketika
pemerintah negara A mengenakan pemberlakukan kebijakan tarif pada produk X1,
maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga
relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan
mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga
kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan
parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan
perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka
produksi X2 akan menurun.
Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan
tarif. Negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut
akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan
turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif
impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Untuk melakukan cara-cara
yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan
menggunakan analisis keseimbangan umum.
Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan
menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya
perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.4. Model
ini merangkum informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan
antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu
diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan
pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar
antara kedua negara saling berpotongan.
27
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara
Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan
dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu
negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world
atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar
berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada
dalam kondisi full employment.
Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X
dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan
mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun
ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan
diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X
dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2
mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama
Y
X
120
100
80
60 40 20 20 40 60 80 100 120 140
60
40
20
0
20
40
60
80
Y
X
E
E’
E’
Negara 1
Negara 2
PB=PB’=1
1 2 III
III’
28
namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan
diperdagangkan dengan negara 1.
Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila
kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif
PB=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar
negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi
keseimbangan tersebut adalah PB=1. Harga relatif itu pulalah yang berlaku
dalam transaksi domestik di masing-masing negara. Dengan demikian
produsen, konsumen, dan pedagang di kedua negara akan melakukan
transaksi atas dasar harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva
indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat
sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1
mengukur besar kecilnya produksi dari titik E’.
Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-
klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan
manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu
berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat
campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi
pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah
berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai
bentuk domestik support lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya
distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi
yang mendistorsi pasar tersebut.
2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif
Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang
masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang
diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk
ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif
memberikan pemasukan bagi pemerintah. Banyak negara yang mengandalkan
tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negara-
negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya
29
akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami
perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu
mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak
pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar.
Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil
Negara kecil didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu
mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan
sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya.
Di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua
komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan
kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost
(MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan
melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang
paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh
Gambar 2.5, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada
pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva
indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan.
Jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak
pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan
divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya
rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT,
yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif
tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Secara
geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga. Harga makanan
yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan
dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis
harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi.
Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan
internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan
baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga
domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan
tangen terhadap suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2,
30
memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga
domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 2.3.
Kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio
harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan
bahwa rasio harga domestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan
baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam
jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi
makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor.
Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan
mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva
indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan
pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif
pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional.
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus
Negara Kecil
T
C1T
i2 i1
P2
P1
C2 D
D
E
E
F
G
T
Mak
anan
Pakaian 0
Rasio harga dunia
Rasio nilai tukar domestik
Harga domestik
31
Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar
Negara besar diasumsikan sebagai negara yang mampu mempengaruhi
harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu
komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan
rasio harga dunia oleh karena itu TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak
kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan
yang diterapkan pada kasus negara kecil. Anggap bahwa negara A mengenakan
pajak pada makanan impor. Dampak dari dikenakannya tarif adalah harga
makanan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Pada kondisi ini,
untuk suatu tingkat tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan
meningkat setinggi sebelumnya. Jadi pergeseran dalam produksi akan
menjadikannya lebih kecil. Kita ilustrasikan hasil ini pada Gambar 2.6. dimana
kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan kecuali bahwa tarif
sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke
kemiringan garis P3C3. Produksi terjadi pada P3.
Garis tersebut memeliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena
diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi
pada rasio harga (sepanjang garis P3C3). Keseimbangan baru konsumsi dicapai
pada titik C, yaitu saat tarif-garis yang mendistorsi harga domestik yang
merupakan tangen dari suatu kurva indiferen, dan garis harga dunia juga
bersinggungan dengan titik singgung ini.
Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.6, negara A mencapai suatu
kurva indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif. Kondisi ini tidak dapat
dihindari. Responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia.
Dapat diartikan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika
keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan
sumberdaya domestik yang kurang efisien. Berapa besar perbaikan dari TOT,
tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik dan luar negeri.
32
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus
Negara Besar
Keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW
(negara lainnya). Jika negara-negara lain melakukan secara bersama-sama,
mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga
menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio
perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi perdagangan dunia
berkurang dan demikian juga kesejahteraan dunia. Persetujuan perdagangan
secara bersama, membalikkan pengurangan tarif timbal balik akan
menguntungkan kedua negara.
2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA)
Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang
terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur
keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang
T
C1
i1
P2
P1
C23
F
G T
Mak
anan
Pakaian 0
i2
Rasio harga dunia setelah tarif
Rasio harga domestik setelah tarif
Rasio harga dunia sebelum tarif
33
cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada
tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara
direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito,
2004).
Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar
wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap
total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
produk dalam perdagangan dunia.
2.4.4. Teori Perdagangan Intra Industri
Perdagangan internasional yang dikenal luas adalah perdagangan
komoditas dari sektor/industri yang berbeda, atau disebut juga dengan Inter
Industry Trade. Inter Industry Trade terjadi berdasarkan teori keunggulan
komparatif dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas
tertentu akan mengekspor komoditas tersebut dan mengimpor komoditas yang
negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif,
menurut Hecksher dan Ohlin dapat disebabkan oleh perbedaan endowment yang
dimiliki suatu negara dimana negara yang memiliki keberlimpahan tenaga kerja
akan mengekspor komoditas yang intensif menggunakan tenaga kerja sedangkan
negara yang memiliki keberlimpahan barang modal akan mengespor komoditas
yang intensif menggunakan barang modal. Misalkan Cina yang memiliki
kelimpahan barang modal mengekspor barang-barang padat modal seperti
pesawat terbang, sedangkan Indonesia yang keberlimpahan sumber daya alam
mengekspor komoditas yang padat sumber daya alam seperti migas dan mineral.
Sehingga perdagangan antara dua negara ditandai dengan perdagangan komoditas
yang berbeda.
Pada masa kini, perdagangan internasional antara dua negara tidak hanya
diakibatkan oleh perbedaan antara kedua negara tersebut. Perdagangan dua negara
tidak lagi sebatas perdagangan komoditas yang berbeda. Suatu negara dapat
mengekspor barang tertentu dan sekaligus mengimpor barang yang sama. Misal
Cina mengekspor mobil ke Indonesia dan Indonesia mengekspor mobil ke Cina..
34
Dengan demikian, antara Indonesia dan Cina terjadi perdagangan dalam industri
yang sama (Intra Industry Trade).
Pengertian perdagangan intra industri adalah perdagangan di dalam
industri yang sama. Teori perdagangan intra industri masuk kategori teori
perdagangan baru (new trade theory). Paul Krugman adalah salah satu tokoh
ekonomi yang mendalami teori ini (Koo dalam Aprilianda, 2007).
Apabila teori perdagangan neoklasik menyatakan penyebab timbulnya
perdagangan karena adanya spesialisasi yang didasarkan perbedaan ketersediaan
faktor produksi dan teknologi (keunggulan komparatif), maka dalam teori
perdagangan intra industri perdagangan tetap terjadi antarnegara yang memiliki
keunggulan komparatif yang relatif sama. Perdagangan intra industri lebih
didasarkan pada differensiasi produk dan economies of scale serta mencakup
perdagangan dua arah dalam industri yang sama.
Perdagangan intra industri menjadi penting ketika tarif dan non tarif
barrier dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Disamping itu
perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar,
sebagai contoh konsumen mempunyai lebih banyak pilihan karena differensiasi
produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale.
Intra Industry Trade dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti
biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat
lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada Intra-Industry-Trade. Skala ekonomis
dan spesialisasi dalam suatu indstri tertentu akan mendorong inovasi dalam
perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah.
Terdapat 2 (dua) alasan terjadi perdagangan intra industri yaitu pertama,
differensiasi produk. Pada perekonomian modern sebagian besar produk yang
dihasilkan adalah produk yang terdifferensiasi. Produk yang terdifferensiasi
adalah produk yang jenisnya sama atau dihasilkan dalam industri yang sama tetapi
berbeda secara kualitas dan atau preferensi. Dalam perdagangan internasional
terjadi perdagangan produk-produk yang terdifferensiasi. Atau dapat dinyatakan
bahwa sebagian besar perdagangan internasional merupakan perdagangan intra
industri. Kedua, economies of scale. Motif perdagangan intra industri adalah
memperoleh keuntungan dari adanya economies of scale. Dalam hal ini
35
persaingan internasional memaksa setiap perusahaan untuk membatasi model atau
tipe produknya agar dapat berkonsentrasi memanfaatkan sumberdayanya untuk
menekan biaya produksi per unit sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis
produk saja tentunya dengan kualitas terbaik dan harga dapat bersaing dari produk
lainnya. Disisi lain kebutuhan konsumen akan produk atau tipe lain dipenuhi
melalui impor dari negara lain.
Indeks Intra Industry Trade (IIT) yang umum digunakan adalah Grubel-
Lloyd Index. Nilai Grubel Lloyd index berkisar 0-100. Jika jumlah yang diekspor
sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya akan
bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu
pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0.
Tabel 2.1. Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade
Intra Industri Trade Klasifikasi 0.00 No integration (one way trade) >0.00 – 24.99 Weak integration 25.00 – 49.99 Mild Integration 50.00 – 74.99 Moderately strong integration 75.00 – 99.99 Strong integration Sumber: Austria, 2004
2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian
Indikator kinerja perdagangan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari
dayasaing secara komparatif dan pertumbuhan pangsa ekspor di pasar tujuan.
Dalam mengukur dayasaing komparatif, metode RCA cukup banyak digunakan.
Sedangkan untuk melihat pertumbuhan pangsa ekspor digunakan metode EPD.
Negara yang tergabung dalam ASEAN Plus Three telah sepakat untuk
membentuk FTA. Dengan perfoma ekspor Indonesia seperti sekarang ini, dampak
yang akan terjadi dari adanya ASEAN Plus Three FTA dapat terlihat, khususnya
dampak terhadap ekonomi makro dan sektoral Indonesia. Dalam penelitian ini
sektor yang akan disimulasi adalah 10 (sepuluh) sektor yang memiliki nilai ekspor
dan impor terbesar.
Peningkatnya volume perdagangan yang diharapkan karena adanya FTA
akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan ekonomi lainnya yang
mungkin akan membawa perubahan terhadap kondisi makroekonomi dan sektoral
36
sehingga perlu ada kajian tentang dampak skema FTA, dengan kasus FTA
ASEAN Plus Three. Dengan mengkaji FTA ASEAN Plus Three mengggunakan
model GTAP, maka akan dapat diidentifikasi dampaknya terhadap perekonomian
Indonesia secara menyeluruh, baik ditingkat makro dan sektoral. Gambaran
mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kinerja Perdagangan Indonesia dengan ASEAN Plus Three
Dayasaing produk Indonesia ke ASEAN
Plus Three (RCA)
Keterkaitan perdagangan antar
negara (IIT)
Dampak Ekonomi bagi Indonesia, ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea: - Makro Ekonomi (GDP, Konsumsi,
Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor Bersih)
- Sektoral Ekonomi (Ekspor, Impor, Output, Harga, Kesempatan Kerja)
Implikasi Kebijakan
Ekspor dan Impor Terbesar Indonesia
Ekspor Produk Dinamis (EPD)
Simulasi Dampak FREE TRADE AREA ASEAN Plus Three (GTAP)