bab ii tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi...

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Liberalisasi Perdagangan Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra dagang. Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi, kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar. Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi. Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negara- negara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah. Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar. 2.2. Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat

Upload: hoanghuong

Post on 11-Mar-2019

249 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Liberalisasi Perdagangan

Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan

oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi

perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya

penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra

dagang.

Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena

menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi,

kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini

didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan

menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar.

Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi.

Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negara-

negara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin

menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau

menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah.

Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi

dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri

untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses

produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun

demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi

perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar.

2.2. Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional

Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk

membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari

kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama

untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum

pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat

14

bagi Negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain

European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA).

Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak

langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global.

Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk

meningkatkan integrasi ekonomi global.

Organisasi ini terdiri dari berbagai bentuk, tergantung tingkat

kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara negara

peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok

regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market,

Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001).

Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih

negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota.

Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif

individu dengan negara yang bukan anggota.

FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi

yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam

kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non

tarif (non-tariff barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk

kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal

negara-negara anggotanya yang tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.

Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen,

sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” sendiri-sendiri.

Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common

Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari

1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1

Januari 2010.

Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh

ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh

perekonomian dunia secara keseluruhan. Dampak diliberalisasikannya

perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan dunia

menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan internasional

15

seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan

perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan

efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain

(Stephenson, 1994).

Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia

yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume

perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus

perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan

peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan

dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian

kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat

kesejahteraan dunia.

Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi

atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif

eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini

mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang

mempunyai tarif eksternal rendah.

Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom

Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan

semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi

seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan

menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara

anggota.

Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat

dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota

European Union menggunakan mata uang. Tingkat integrasi ini juga disebut

Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara

anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Wild, Wild dan

Han, 2000).

Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi.

Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union secara

sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-negara yang

16

berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena alasan sejarah, seperti

British Commonwealth yang terdiri dari negara-negara yang pernah menjadi

bagian oleh British Empire. Namun ketika British bergabung dengan European

Union, perlakuan istimewa ini hilang. Sekarang kelompok ini hanya sebagai

forum untuk diskusi dan ikatan sejarah yang sama.

Integrasi ekonomi regional (termasuk FTA) akan memberikan dampak

positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa dinegara-negara anggota

FTA. Dampak positif dari integrasi ekonomi adalah (Wild, Wild dan Han, 2000):

2.2.1. Trade Creation

Dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian

dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional

melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota

lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan

melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing

negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan

masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.

Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1. Trade Creation

Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara

anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya

peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara

2

1

3

4

G J

A

C M

V U

H

N

Z W

B

10 20 50 70

S1

S1+T

Dx

Sx Px

Qx

17

lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan pada

Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). Dx dan Sx masing-masing merupakan kurva

permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan

kurva S1 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free

trade untuk barang X dari negara I ($1). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100

persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I, sehingga

harga impornya menjadi $2 atau kurva S1 + T. Produksi domestik negara II

sebanyak 20 unit barang X atau AM, sedangkan total konsumsi dalam negara II

sebanyak 50 unit barang X atau GH. Kemudian negara I dan negara II membentuk

integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, negara

II mengimpor 60 unit barang X atau CB dari negara tanpa bea masuk pada harga

$1 (kurva S1). Produk domestik negara I turun menjadi 10 unit barang X atau CM

dan total konsumsi naik menjadi 70 unit barang X atau AB. Dengan pembentukan

FTA, maka : Penerimaan bea masuk untuk negara II akan hilang, Konsumen

domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area AGJC

yang merupakan kenaikan konsumen surplus, Manfaat lain yang diperoleh negara

II setara dengan area CJM + area BHN, atau setara dengan $15.

2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar

Keuntungan untuk mengelimainasi hambatan perdagangan lebih mudah

dilakukan pada kelompok negara-negara yang lebih kecil. Contohnya seperti

ASEAN dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar seperti WTO.

2.2.3. Kerjasama Politik

Secara politik terdapat keuntungan dari negara-negara yang berintegrasi.

Salah satu keuntungan yang juga diutamakan adalah dapat memperjuangkan

kepentingan bersama di forum perundingan yang lebih besar seperti WTO.

Integrasi ekonomi juga memberikan dampak negatif terhadap anggotanya.

Wild, Wild dan Han (2000) mengidentifikasi terdapat tiga dampak negatif yaitu

trade diversion, pergeseran tenaga kerja, hilangnya kedaulatan nasional.

2.2.4. Trade Diversion

Terjadinya pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta

dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien ke negara yang ikut serta dalam

18

perjanjian walaupun kurang efisien. Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya trade

diversion pada negara yang melakukan integrasi ekonomi. Sebagai contoh, Dx

dan Sx merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X

dari negara II, sedangkan kurva S1 dan S3 merupakan kurva penawaran yang

elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1) dan

negara III ($1,5). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II

mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I sehingga harga impornya

menjadi $2 atau kurva S1+T. Kemudian negara II membentuk integrasi ekonomi

regional dalam bentuk FTA dengan negara III.

Setelah pembentukan FTA, negara II mengimpor 45 unit barang X atau

C’B’ dari negara III yang bebas bea masuk pada harga $ 1,5 (kurva S3).Dengan

pembentukan FTA maka : kesejahteraan / manfaat yang diperoleh negara II

adalah sebesar segitiga C’JJ’ + segitiga H’HB’, atau senilai $1,25 + $2,5 = $3,75 ;

kesejahteraan / manfaat yang hilang dari negara II sebesar segiempat MNH’J’

atau senilai $15 ; kesejahteraan / manfaat neto yang hilang adalah sebesar $15 -

$3,75 = $11,25 (Lihat Gambar 2.2.).

Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.2. Trade Diversion 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja

Karena adanya kerjasama perdagangan maka produsen akan berproduksi

ke negara yang lebih efisien. Sebagai contoh, untuk industri yang memerlukan

S1

C’ 1,5

1

2

3 E

B’ J’ H’

10

H J

H

G’

Z N M

G

20 50 60

S3

S1+T

Dx

Sx Px

Qx

19

tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah akan mengalihkan tempat

produksinya ke negara anggota yang memiliki tingkat upah yang rendah.

2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Politik

Jika integrasi ekonomi sudah mencapai political union, maka suatu negara

akan kehilangan kebebasan dalam menentukan politik luar negerinya sendiri.

Sejauh ini, bentuk integrasi pada tingkat yang paling tinggi (political union) sulit

untuk dicapai.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Haryadi (2008) manganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian

terhadap perekonomian negara maju dan berkembang (analisis GTAP). Dari hasil

penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia belum

siap sepenuhnya untuk meliberalisasi perdagangan dengan tarif nol persen.

Negara maju paling diuntungkan oleh kebijakan penghapusan tarif.

Penelitian Oktaviani et al (2008) berjudul ”Consultancy and Training

Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing

Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Ekspor

Produk Dinamik, CMSA dan CGE menunjukkan selama periode tahun 2000-2006

nilai ekspor Indonesia tumbuh sebesar 10.76 persen pertahun, nilai ini lebih

rendah secara relatif dibandingkan Cina (23.61 persen). Terdapat 194 komoditas

Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor

yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas

ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri.

Berdasarkan market destinatination Indonesia, Malaysia, Thailand dan

Cina memiliki kesamaan dalam penetrasi pasar, dimana seluruh negara tersebut

berorientasi pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa,

dan Cina. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek

pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas.

Rendahnya dayasaing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur

seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi

internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti

share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh

terhadap dayasaing investasi di Indonesia.

20

Hasil model CGE menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan

dunia akan memberikan dampak negatif bagi kondisi makroekonomi Indonesia.

Pendapatan Nasional akan menurun disertai dengan peningkatan inflasi karena

sebagian besar komoditas yang mengalami kenaikan adalah komoditas impor

misalnya vegetable oils, fats dan palm oils.

Penelitian Oktaviani, et al (2007) menganalisis FTA dalam skema ASEAN

Plus One yakni ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Alat analisis yang

digunakan adalah IIT dan GTAP, menunjukkan hasil terjadi integrasi yang tinggi

pada komoditi manufaktur antara ASEAN dengan negara Cina dan Rep. Korea.

Komoditi pertambangan terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one

way trade atau nilai IIT bernilai 0. Pada kelompok lainnya, yaitu kelompok

komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi

pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang

menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah menunjukkan

ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa

sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang

cukup, seperti komoditi pertanian lainnya yang mencapai nilai IIT lebih dari 60.

Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negara-

negara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian,

maka komoditi minyak nabati terutama produk CPO (Crude Palm Oil) serta

turunannya merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia

menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk eskpor CPO dan turunannya.

Secara keseluruhan dampak makro ekonomi FTA dalam Skema ASEAN-

Cina maupun ASEAN-Rep. Korea meningkatkan total GDP negara-negara

ASEAN walaupun relatif kecil. Peningkatan GDP lebih banyak didorong oleh

pengeluaran/konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Peningkatan GDP yang

disebabkan oleh peningkatan investasi relatif kecil. Hal ini tentunya kurang baik

apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang.

Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor

yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996

dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul

sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan

21

vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang

berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya

menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor

manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita,

perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan

economies of scale.

Austria (2004) yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis

karakteristik perdagangan pada 11 sektor prioritas ASEAN periode 1997-2001

dan mengukur integrasi pada 11 sektor tersebut melalui IIT menunjukkan bahwa

IIT relatif tinggi hanya pada sektor ICT dan elektronik.

Penelitian Menon (1996) bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi

pertumbuhan perdagangan intra industri dan pertumbuhan perdagangan neto

terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN periode 1981-1986 dan 1986-

1991 khususnya manufaktur. Dengan metode Grubel-Lloyd Index untuk

mengukur IIT hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan

perdagangan intra industri terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN

adalah lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh perdagangan neto

di sebagian besar negara ASEAN.

Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan

untuk mengetahui dampak ASEAN Plus Three FTA cukup relevan untuk

dilakukan. Dengan posisi dayasaing seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat

dampak secara luas dari adanya FTA dalam skema ASEAN Plus Three dan

bagaimana jika dibandingkan dengan skema ASEAN Plus One seperti yang telah

dilakukan pda penelitiannya sebelumnya.

2.4 Kerangka Pemikiran Teoritis

2.4.1. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang

dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan.

Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara

saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu

negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).

22

Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk

memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian

halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan

perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain

motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama

terjadinya perdagangan internasional:

1. Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.

2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai

skala ekonomi (economic of scale)

Menurut Tambunan (2001), faktor-faktor yang mempengaruhi

perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari

teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa

perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam

negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain.

Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu

komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga

domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih

rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur

harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih

besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess

supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai

kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara

B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada

produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B

lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari

negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara

negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah

harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.

23

O QA O Q* O QB

SB

Negara A (ekspor) Perdagangan Internasional Negara B (impor)

Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional Keterangan: PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa

perdagangan internasional X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional. OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor)

tanpa perdagangan internasional. B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa

perdagangan internasional. M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah

yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).

Gambar 2.3 memperlihatkan sebelum terjadinya perdangangan

internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB.

Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi

dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional

lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka

negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional

sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari

A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di

pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka

PA

X

DA A SA

ES

P*

ED B

M

PB

DB

24

negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B

akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional

sebesar X sama dengan M yaitu Q*.

Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam

Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute

comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo

(1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative

Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada

biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan

harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan.

Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh

negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang

diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya

lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum

Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan

komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan

production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan

(Salvator, 1997):

a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi

b) Perdagangan bersifat bebas

c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak

ada mobilitas antara dua negara.

d) Biaya produksi konstan

e) Tidak terdapat biaya transportasi

f) Tidak ada perubahan teknologi

Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu

negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan

spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat

berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut

berproduksi relatif kurang atau tidak efisien.

Berdasarkan analisis production comparative advatage (labor

productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari

25

perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor

barang di mana negara tersebut berproduski lebih produktif serta mengimpor

barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif.

Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif

akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan

sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi

efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan

komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat

memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga

tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan

perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang

memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan

mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor

barang yang keunggulan komparatifnya rendah.

Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Heckscher-

Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model H-

O mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,

perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan

faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara

dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor

komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan

kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi

padat tenaga kerja (labor-intensive goods).

Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami

manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan

menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan

keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum.

2.4.2. Teori Keseimbangan Umum

Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras

pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada

sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat

kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen

26

sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki

konsumen. Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar

akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Pendekatan ini memperlakukan

pasar sebagai suatu sistem.

2.4.2.1. Landasan Teori

Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan

menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ketika

pemerintah negara A mengenakan pemberlakukan kebijakan tarif pada produk X1,

maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga

relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan

mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga

kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan

parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan

perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka

produksi X2 akan menurun.

Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan

tarif. Negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut

akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan

turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif

impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Untuk melakukan cara-cara

yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan

menggunakan analisis keseimbangan umum.

Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan

menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya

perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.4. Model

ini merangkum informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan

antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu

diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan

pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar

antara kedua negara saling berpotongan.

27

Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara

Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan

dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu

negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world

atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar

berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada

dalam kondisi full employment.

Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X

dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan

mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun

ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan

diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X

dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2

mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama

Y

X

120

100

80

60 40 20 20 40 60 80 100 120 140

60

40

20

0

20

40

60

80

Y

X

E

E’

E’

Negara 1

Negara 2

PB=PB’=1

1 2 III

III’

28

namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan

diperdagangkan dengan negara 1.

Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila

kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif

PB=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar

negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi

keseimbangan tersebut adalah PB=1. Harga relatif itu pulalah yang berlaku

dalam transaksi domestik di masing-masing negara. Dengan demikian

produsen, konsumen, dan pedagang di kedua negara akan melakukan

transaksi atas dasar harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva

indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat

sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1

mengukur besar kecilnya produksi dari titik E’.

Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neo-

klasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan

manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu

berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat

campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi

pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah

berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai

bentuk domestik support lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya

distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi

yang mendistorsi pasar tersebut.

2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif

Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang

masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang

diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk

ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif

memberikan pemasukan bagi pemerintah. Banyak negara yang mengandalkan

tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara.

Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negara-

negara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya

29

akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami

perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu

mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak

pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar.

Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil

Negara kecil didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu

mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan

sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya.

Di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua

komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan

kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost

(MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan

melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang

paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh

Gambar 2.5, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada

pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva

indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan.

Jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak

pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan

divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya

rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT,

yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif

tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Secara

geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga. Harga makanan

yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan

dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis

harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi.

Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan

internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan

baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga

domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan

tangen terhadap suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2,

30

memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga

domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 2.3.

Kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio

harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan

bahwa rasio harga domestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan

baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam

jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi

makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor.

Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan

mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva

indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan

pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif

pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional.

Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus

Negara Kecil

T

C1T

i2 i1

P2

P1

C2 D

D

E

E

F

G

T

Mak

anan

Pakaian 0

Rasio harga dunia

Rasio nilai tukar domestik

Harga domestik

31

Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar

Negara besar diasumsikan sebagai negara yang mampu mempengaruhi

harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu

komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan

rasio harga dunia oleh karena itu TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak

kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan

yang diterapkan pada kasus negara kecil. Anggap bahwa negara A mengenakan

pajak pada makanan impor. Dampak dari dikenakannya tarif adalah harga

makanan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Pada kondisi ini,

untuk suatu tingkat tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan

meningkat setinggi sebelumnya. Jadi pergeseran dalam produksi akan

menjadikannya lebih kecil. Kita ilustrasikan hasil ini pada Gambar 2.6. dimana

kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan kecuali bahwa tarif

sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke

kemiringan garis P3C3. Produksi terjadi pada P3.

Garis tersebut memeliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena

diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi

pada rasio harga (sepanjang garis P3C3). Keseimbangan baru konsumsi dicapai

pada titik C, yaitu saat tarif-garis yang mendistorsi harga domestik yang

merupakan tangen dari suatu kurva indiferen, dan garis harga dunia juga

bersinggungan dengan titik singgung ini.

Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.6, negara A mencapai suatu

kurva indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif. Kondisi ini tidak dapat

dihindari. Responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia.

Dapat diartikan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika

keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan

sumberdaya domestik yang kurang efisien. Berapa besar perbaikan dari TOT,

tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik dan luar negeri.

32

Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus

Negara Besar

Keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW

(negara lainnya). Jika negara-negara lain melakukan secara bersama-sama,

mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga

menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio

perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi perdagangan dunia

berkurang dan demikian juga kesejahteraan dunia. Persetujuan perdagangan

secara bersama, membalikkan pengurangan tarif timbal balik akan

menguntungkan kedua negara.

2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA)

Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang

terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur

keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang

T

C1

i1

P2

P1

C23

F

G T

Mak

anan

Pakaian 0

i2

Rasio harga dunia setelah tarif

Rasio harga domestik setelah tarif

Rasio harga dunia sebelum tarif

33

cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada

tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara

direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito,

2004).

Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar

wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh

suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap

total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai

produk dalam perdagangan dunia.

2.4.4. Teori Perdagangan Intra Industri

Perdagangan internasional yang dikenal luas adalah perdagangan

komoditas dari sektor/industri yang berbeda, atau disebut juga dengan Inter

Industry Trade. Inter Industry Trade terjadi berdasarkan teori keunggulan

komparatif dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas

tertentu akan mengekspor komoditas tersebut dan mengimpor komoditas yang

negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif,

menurut Hecksher dan Ohlin dapat disebabkan oleh perbedaan endowment yang

dimiliki suatu negara dimana negara yang memiliki keberlimpahan tenaga kerja

akan mengekspor komoditas yang intensif menggunakan tenaga kerja sedangkan

negara yang memiliki keberlimpahan barang modal akan mengespor komoditas

yang intensif menggunakan barang modal. Misalkan Cina yang memiliki

kelimpahan barang modal mengekspor barang-barang padat modal seperti

pesawat terbang, sedangkan Indonesia yang keberlimpahan sumber daya alam

mengekspor komoditas yang padat sumber daya alam seperti migas dan mineral.

Sehingga perdagangan antara dua negara ditandai dengan perdagangan komoditas

yang berbeda.

Pada masa kini, perdagangan internasional antara dua negara tidak hanya

diakibatkan oleh perbedaan antara kedua negara tersebut. Perdagangan dua negara

tidak lagi sebatas perdagangan komoditas yang berbeda. Suatu negara dapat

mengekspor barang tertentu dan sekaligus mengimpor barang yang sama. Misal

Cina mengekspor mobil ke Indonesia dan Indonesia mengekspor mobil ke Cina..

34

Dengan demikian, antara Indonesia dan Cina terjadi perdagangan dalam industri

yang sama (Intra Industry Trade).

Pengertian perdagangan intra industri adalah perdagangan di dalam

industri yang sama. Teori perdagangan intra industri masuk kategori teori

perdagangan baru (new trade theory). Paul Krugman adalah salah satu tokoh

ekonomi yang mendalami teori ini (Koo dalam Aprilianda, 2007).

Apabila teori perdagangan neoklasik menyatakan penyebab timbulnya

perdagangan karena adanya spesialisasi yang didasarkan perbedaan ketersediaan

faktor produksi dan teknologi (keunggulan komparatif), maka dalam teori

perdagangan intra industri perdagangan tetap terjadi antarnegara yang memiliki

keunggulan komparatif yang relatif sama. Perdagangan intra industri lebih

didasarkan pada differensiasi produk dan economies of scale serta mencakup

perdagangan dua arah dalam industri yang sama.

Perdagangan intra industri menjadi penting ketika tarif dan non tarif

barrier dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Disamping itu

perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar,

sebagai contoh konsumen mempunyai lebih banyak pilihan karena differensiasi

produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale.

Intra Industry Trade dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti

biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat

lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada Intra-Industry-Trade. Skala ekonomis

dan spesialisasi dalam suatu indstri tertentu akan mendorong inovasi dalam

perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah.

Terdapat 2 (dua) alasan terjadi perdagangan intra industri yaitu pertama,

differensiasi produk. Pada perekonomian modern sebagian besar produk yang

dihasilkan adalah produk yang terdifferensiasi. Produk yang terdifferensiasi

adalah produk yang jenisnya sama atau dihasilkan dalam industri yang sama tetapi

berbeda secara kualitas dan atau preferensi. Dalam perdagangan internasional

terjadi perdagangan produk-produk yang terdifferensiasi. Atau dapat dinyatakan

bahwa sebagian besar perdagangan internasional merupakan perdagangan intra

industri. Kedua, economies of scale. Motif perdagangan intra industri adalah

memperoleh keuntungan dari adanya economies of scale. Dalam hal ini

35

persaingan internasional memaksa setiap perusahaan untuk membatasi model atau

tipe produknya agar dapat berkonsentrasi memanfaatkan sumberdayanya untuk

menekan biaya produksi per unit sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis

produk saja tentunya dengan kualitas terbaik dan harga dapat bersaing dari produk

lainnya. Disisi lain kebutuhan konsumen akan produk atau tipe lain dipenuhi

melalui impor dari negara lain.

Indeks Intra Industry Trade (IIT) yang umum digunakan adalah Grubel-

Lloyd Index. Nilai Grubel Lloyd index berkisar 0-100. Jika jumlah yang diekspor

sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya akan

bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu

pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0.

Tabel 2.1. Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade

Intra Industri Trade Klasifikasi 0.00 No integration (one way trade) >0.00 – 24.99 Weak integration 25.00 – 49.99 Mild Integration 50.00 – 74.99 Moderately strong integration 75.00 – 99.99 Strong integration Sumber: Austria, 2004

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

Indikator kinerja perdagangan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari

dayasaing secara komparatif dan pertumbuhan pangsa ekspor di pasar tujuan.

Dalam mengukur dayasaing komparatif, metode RCA cukup banyak digunakan.

Sedangkan untuk melihat pertumbuhan pangsa ekspor digunakan metode EPD.

Negara yang tergabung dalam ASEAN Plus Three telah sepakat untuk

membentuk FTA. Dengan perfoma ekspor Indonesia seperti sekarang ini, dampak

yang akan terjadi dari adanya ASEAN Plus Three FTA dapat terlihat, khususnya

dampak terhadap ekonomi makro dan sektoral Indonesia. Dalam penelitian ini

sektor yang akan disimulasi adalah 10 (sepuluh) sektor yang memiliki nilai ekspor

dan impor terbesar.

Peningkatnya volume perdagangan yang diharapkan karena adanya FTA

akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan ekonomi lainnya yang

mungkin akan membawa perubahan terhadap kondisi makroekonomi dan sektoral

36

sehingga perlu ada kajian tentang dampak skema FTA, dengan kasus FTA

ASEAN Plus Three. Dengan mengkaji FTA ASEAN Plus Three mengggunakan

model GTAP, maka akan dapat diidentifikasi dampaknya terhadap perekonomian

Indonesia secara menyeluruh, baik ditingkat makro dan sektoral. Gambaran

mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian

Kinerja Perdagangan Indonesia dengan ASEAN Plus Three

Dayasaing produk Indonesia ke ASEAN

Plus Three (RCA)

Keterkaitan perdagangan antar

negara (IIT)

Dampak Ekonomi bagi Indonesia, ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea: - Makro Ekonomi (GDP, Konsumsi,

Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor Bersih)

- Sektoral Ekonomi (Ekspor, Impor, Output, Harga, Kesempatan Kerja)

Implikasi Kebijakan

Ekspor dan Impor Terbesar Indonesia

Ekspor Produk Dinamis (EPD)

Simulasi Dampak FREE TRADE AREA ASEAN Plus Three (GTAP)