bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teoritis mengenai

33
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan 1. Pengertian Narapidana Setiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sama, walaupun ia telah melakukan suatu kesalahan-kesalahan. Dengan demikian, meskipun seseorang itu berstatus sebagai narapidana tetapi tetap mempunyai hak-hak yang sama seperti warga masyarakat lainnya. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana semuanya dapat dijatuhi pidana penjara, namun perlu dipertimbangkan tentang berat ringannya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana tersebut. Sebab penjatuhan pidana bertujuan untuk perbaikan perilaku terpidana agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya apabila kelak kembali lagi hidup di dalam masyarakat. Dalam kajian yuridis khususnya Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa “Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS”, sedangkan “Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. 7 Hilang kemerdekaan dalam pengertian bahwa ia kehilangan kebebasan untuk bergerak layaknya warga pada umumnya. Kebebasan bergerak sebagaimana warga pada umunya yang mempunyai kebebasan untuk mendapatkan hak-haknya 7 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Upload: others

Post on 19-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis Mengenai Narapidana dan Lembaga Pemasyarakatan

1. Pengertian Narapidana

Setiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sama, walaupun ia

telah melakukan suatu kesalahan-kesalahan. Dengan demikian, meskipun

seseorang itu berstatus sebagai narapidana tetapi tetap mempunyai hak-hak yang

sama seperti warga masyarakat lainnya.

Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana semuanya dapat dijatuhi

pidana penjara, namun perlu dipertimbangkan tentang berat ringannya perbuatan

yang dilakukan oleh terpidana tersebut. Sebab penjatuhan pidana bertujuan untuk

perbaikan perilaku terpidana agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya apabila

kelak kembali lagi hidup di dalam masyarakat.

Dalam kajian yuridis khususnya Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor

12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa “Narapidana adalah

terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di LAPAS”, sedangkan

“Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. 7

Hilang kemerdekaan dalam pengertian bahwa ia kehilangan kebebasan

untuk bergerak layaknya warga pada umumnya. Kebebasan bergerak sebagaimana

warga pada umunya yang mempunyai kebebasan untuk mendapatkan hak-haknya

7 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

23

dan melakukan kewajibannya sebagai manusia dan hal tersebut merupakan

konsekuensi yuridis akan tindakan melanggar hukum yang telah ia lakukan.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bambang Poernomo dalam

bukunya yang berjudul Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem

Pemasyarakatan “Seseorang (si pelanggar) yang dijatuhi putusan pidana penjara

berkedudukan sebagai Narapidana”.8 Menurut Bambang Poernomo Narapidana

adalah :

Seseorang manusia anggota masyarakat yang dipisahkan dari induknya

dan selama waktu tertentu itu diproses dalam lingkungan tempat tertentu

dengan tujuan, metode, dan sistem pemasyarakatan. Pada suatu saat

narapidana itu akan kembali menjadi manusia anggota masyarakat yang

lebih baik dan taat terhadap hukum.9

Dari pendapat Bambang Poernomo ini dapat disimpulkan bahwasanya

yang dimaksud dengan Narapidana adalah seseorang yang melakukan perbuatan

pidana dan sebagai anggota masyarakat biasa, hanya karena kesalahannya maka

harus dipisahkan dan ditempatkan dalam suatu tempat khusus, agar sekembalinya

dari pengasingan tersebut akan menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat

terhadap hukum.

Pendapat lain mengatakan, “Narapidana hanya meliputi orang-orang yang

dijatuhi pidana penjara atau kurungan menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana”.10

8 Bambang Poernomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.

Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 92.

9Ibid.

10 Soedjono Dirjosisworo. 1984. Sejarah dan Asas-Asas Penologi (Pemasyarakatan). Bandung:

Armico. Hal. 152.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

24

Seperti yang diungkapkan di atas, bahwa Narapidana adalah orang-orang

yang dijatuhi pidana, baik itu pidana penjara maupun pidana kurungan yang tetap

berpegang pada Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isi lengkap

dari Pasal 10 KUHP tersebut adalah :

a. Pidana Pokok, terdiri dari :

1) Pidana mati.

2) Pidana penjara.

3) Pidana kurungan.

b. Pidana Tambahan, terdiri dari :

1) Pencabutan hak-hak tertentu.

2) Perampasan barang-barang tertentu.

3) Pengumuman putusan hakim.11

Dalam pengertian sehari-hari narapidana adalah orang-orang yang telah

melakukan kesalahan menurut hukum dan harus dimasukkan ke dalam penjara.

Dalam Ensiklopedia Indonesia, Heru Susetyo mengatakan bahwa :

Status narapidana dimulai ketika terdakwa tidak lagi dapat mengajukan

banding, pemeriksaan kembali perkara atau ditolak permohonan grasinya

kepada presiden atau menerima keputusan pengadilan. Status terdakwa

menjadi status terhukum dengan sebutan narapidana sampai terhukum

selesai menjalani hukuman (penjara) atau dibebaskan.12

Dengan demikian dari beberapa pendapat tersebut di atas, maka penulis

dapat menyimpukan pengertian Narapidana yaitu seseorang yang melakukan

kesalahan-kesalahan atau pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang berlaku,

dimana orang tersebut dijatuhi hukuman pidana oleh hakim dengan kekuatan

hukum yang tetap. Dengan demikian orang tersebut berstatus Narapidana.

11 Lihat Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

12 Heru Susetyo. 2013. Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative

Justice. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 9.

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

25

2. Hak dan Kewajiban Narapidana

Prof. Dr. Notonagoro menegaskan bahwa “Hak adalah kuasa untuk

menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh

pihak tertentu dan tidak dapat diperoleh oleh pihak lain manapun juga yang pada

prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya”.13 Sedangkan hak asasi manusia

adalah :

Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia

sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya

yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum

dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan

harkat dan martabat manusia.14

Hak-hak narapidana perlu diperhatikan, diakui, dan dilindungi oleh hukum

dan penegak hukum, khususnya staf di Lembaga Pemasyarakatan, merupakan

suatu hal yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi

narapidana sebagai masyarakat yang harus diayomi, walaupun telah melanggar

hukum. Disamping itu banyak juga ketidakadilan perlakuan bagi narapidana.

Misalnya, penyiksaan, dan tidak mendapatkan fasilitas yang wajar, dan lain-lain.

Hal itu menggambarkan perlakuan yang tidak adil. Padahal konsep

pemasyarakatan yang dikemukakan Sahardjo menyatakan bahwa :15 “Narapidana

adalah orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan mempunyai kesempatan

13 Elisa UGM. Hak dan Kewajiban Warga Negara. http://elisa.ugm.ac.id. Diakses tanggal 5

Desember 2016.

14 Lihat Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

15 Petrus Irwan Panjaitan dan Pendapotan Simorangkir. 1995. Lembaga Pemasyarakatan

Dalam Perspektif Sistem Peradian Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal. 72.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

26

untuk bertobat. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan

bimbingan”.

Memahami hal ini, jelas pembinaan tidak dengan kekerasan, melainkan

dengan cara-cara manusiawi yang menghargai hak-hak narapidana. Berdasarkan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana

sebagai warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan mempunyai hak-hak yang

harus dilaksanakan, yang antara lain :

Narapidana berhak : 16

a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya.

b. Mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani.

c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.

e. Menyampaikan keluhan.

f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya

yang tidak dilarang.

g. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.

h. Menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu

lainnya.

i. Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).

j. Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cut mengunjungi

keluarga.

k. Mendapatkan pembebasan bersayarat.

l. Mendapatkan cuti menjelang bebas.

m. Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Hak tersebut merupakan bentuk realisasi adanya pemahaman bahwa

narapidana adalah manusia. Hak dari narapidana sebagai manusia yang harus

dihormati dan dijunjung tinggi oleh manusia lain yang sedang berada dalam

proses pertobatan. Keberadaan penjaminan hak bagi narapidana merupakan

bagian dari pengimplementasian dari prinsip pemasyarakatan. Pemasyarakatan

yang sesuai pandangan pancasila yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang

16 Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

27

adil dan beradab. Adil dalam pandangan bahwa narapidana harus diperlakukan

sama yaitu sebagai manusia beradab. Beradab berarti bahwa narapidana harus

diperlakukan secara manusiawi bukan malah disiksa atau diperlakukan seperti

binatang, karena pertobatan tidak mungkin bisa dicapai dengan cara penyiksaan.

Menurut hemat penulis, adanya pengakuan Undang-Undang terhadap hak-

hak narapidana, belum ada manfaatnya bagi pembinaan apabila tidak diwujudkan

dan dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga pemasyarakatan

yang mengacu pada pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan,

pendidikan dan pembimbingan, pemghormatan harkat dan martabat manusia,

kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya

hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Perlunya mempersoalkan hak-hak narapidana agar di akui dan di lindungi

oleh hukum dan penegak hukum serta staf LAPAS pada khususnya, merupakan

sesuatu yang perlu bagi negara hukum yang menghargai hak-hak asasi manusia,

karena sesungguhnya narapidana harus diayomi dengan cara dibina agar nantinya

ia bisa menjadi seorang manusia susila atau manusia seutuhnya.

Disamping hak-hak narapidana juga ada kewajiban yang harus dipenuhi

oleh narapidana sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 15 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menentukan bahwa : 17

a. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan kegiatan

tertentu.

b. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

17 Dwidja Priyatno. Op.cit. Hal. 167.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

28

3. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Selain kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan terdapat komponen

lain yang pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari satu kesatuan dalam sistem

peradilan pidana, komponen tersebut adalah lembaga pemasyarakatan. Lembaga

ini memiliki fungsi yang penting dalam sistem peradilan pidana, karena

keberadaannya menentukan tujuan yang harus dibangun oleh sistem peradilan

pidana, khususnya proses pembinaan bagi narapidana, agar nantinya narapidana

tersebut setelah keluar dari masa tahanan dapat diterima kembali oleh masyarakat.

Sidik Sunaryo dalam bukunya yang berjudul Sistem Peradilan Pidana

mengutarakan bahwa : 18“Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian yang

paling akhir dari sistem pemidanaan dalam tata atau sistem peradilan pidana”.

Lembaga pemasyarakatan yang berfungsi untuk menjalankan putusan

pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak

narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana, dan

mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat.

Tolib Effendi berpendapat dalam bukunya yang berjudul Sistem Peradilan

Pidana mendefinisikan bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan :

Komponen terakhir dalam sistem peradilan pidana maupun dalam proses

peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan pemidanaan yang terakhir, sudah

semestinya dapat memenuhi harapan dan tujuan dari sistem pemidanaan

yang terpadu yang ditopang oleh pilar-pilar proses pemidanaan mulai dari

kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut bisa

berupa aspek pembinaan terhadap penghuni Lembaga Pemasyarakatan.19

18 Sidik Sunaryo. 2005. Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press. Hal. 236.

19 Tolib Effendi. 2013. Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hal. 163.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

29

“Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan asas

pengayoman merupakan tempat mencapai suatu tujuan untuk mengembalikan

warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik melalui pendidikan,

rehabilitasi, dan reintegrasi”. 20

Menurut penulis dengan melihat kutipan di atas bahwa sebuah Lembaga

Pemasyarakatan adalah wadah yang mana mempunyai fungsi paling akhir dari

sistem pemidanaan dari proses tata peradilan pidana. Dimana Lembaga

Pemasyarakatan tersebut mempunyai peran sebagai tempat untuk memenjarakan

seseorang karena melanggar telah hukum, melindungi hak-hak narapidana selama

menjadi warga binaan dan menjadikan warga binaan menjadi lebih bak dan

berguna bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara setelah keluar menjalani

masa pidananya dengan berbagai macam pembinaan.

Lembaga pemasyarakatan juga dapat diidentikkan dengan suatu badan

hukum yang menjadi wadah untuk menampung kegiatan pembinaan bagi

narapidana, baik pembinaan secara fisik maupun pembinaan secara rohaniah agar

selepas menjalani masa pidananya narapidana tersebut dapat hidup normal dan

diterima kembali di masyarakat.

Dalam sistem pemasyarakatan terdapat beberapa istilah yang perlu

diperhatikan yaitu : 21

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan

pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan

yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

pidana.

20 Dwidja Priyatno. Op.cit. Hal. 103.

21 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

30

2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas

serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan

Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina,

dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan

Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh

lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab.

3. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan.

4. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata

untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan.

5. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik

Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.

6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

7. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan

di LAPAS.

Lembaga pemasyarakatan bukan saja sebagai tempat semata-mata untuk

memidana orang, melainkan juga sebagai tempat untuk membina atau mendidik

orang-orang terpidana, agar mereka menjalankan masa pidananya mempunyai

kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar Lembaga

Pemasyarakatan sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum yang

berlaku.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

pengertian Lembaga Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yaitu : 22

Lembaga pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan.

Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat bagi orang yang dihukum

untuk dibina selama menjalankan masa hukumannya.

22 Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Thaun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

31

Demikianlah jika warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan kelak bebas

dari hukuman, mereka dapat diterima kembali oleh masyarakat dan

lingkungannya dan dapat hidup secara wajar seperti sedia kala. Fungsi

pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu proses

rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan.

B. Tinjauan Teoritis Mengenai Kedudukan dan Fungsi Lembaga

Pemasyarakatan

1. Teori Tujuan Pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan

Tujuan pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan harus ada perbaikan

perlakuan terhadap narapidana yang hidup dibalik tembok penjara. Menurut

sistem kepenjaraan yang pernah dianut oleh bangsa Indonesia dulu adalah pada

waktu narapidana menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan

pengasingan diri dari masyarakat. Tetapi sekarang bangsa Indonesia tidak

menganut sistem kepenjaraan melainkan sistem pemasyarakatan, yaitu narapidana

tersebut tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara kultural tetapi

secara bertahap narapidana akan dibimbing dan diperkenalkan kembali kepada

masyarakat melalu tahap pembinaan.

Memperhatikan beberapa prinsip-prinsip pokok yang ditekankan oleh Dr.

Sahardjo yang sedikitnya memuat tiga belas prinsip yaitu : 23

1. Struktur bangunan penjara harus lebih luas agar tidak memadati penghuni

penjara yang melebihi kapasitas rumah penjara.

2. Pakaian orang-orang hukuman hendaknya harus diseragamkan dan bersih

serta tidak ada pembedaan-pembedaan satu sama lain.

3. Perawatan makanan harus lebih ditingkatkan.

4. Perlu ada suatu tempat bagi perawatan fisik atau suatu tempat rekreasi

aatau gerak badan bagi orang hukuman.

23 Petrus Irwan Panjaitan dan Pendapotan Simorangkir. Op.cit. Hal. 36.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

32

5. Perlu ada fasilitas untuk latihan keterampilan kerja bagi orang hukuman.

6. Latihan dan wajib kerja tersebut di atas, harus sesuai dengan kebutuhan

dan kemampuan orang-orang hukuman.

7. Adanya sekolah kesusteraan.

8. Adanya fasilitas perpustakaan.

9. Adanya fasilitas rekreasi.

10. Adanya kesempatan untuk menjalankan kewajiban agamanya.

11. Adanya kegiatan persurat kabaran diantara penjara satu dengan yang lain.

12. Perlu didirikan Lembaga Pemasyarakatan yang baru.

13. Narapidana hanya dijatuhi pidana hiang kemerdekannya.

Menurut hemat penulis, tiga belas prinsip yang di hasilkan oleh Dr.

Sahardjo sangat baik sebagai pedoman untuk pembinaan narapidana. Oleh karena

itu sebaiknya para petugas Lembaga Pemasyarakatan harus berusaha semaksimal

mungkin, dengan demikian perlakuan terhadap narapidana tiada lain ialah

melakukan pembinaan agar narapidana menjadi manusia berguna di masa yang

akan datang, atara lain yaitu : 24

1. Ayomi dan berikan bekal hidup serta memberikan bekal hidup sebagai

warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.

2. Merencanakan, menyusun, dan merumuskan program pembinaan mental

dan jasmani serta pendidikan dan latihan terhadap narapidana.

3. Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan

kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan,

dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untukmenumbuhkan

rasa hidup kemasyarakatannya.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat

dari pada sebelumnya dijatuhi pidana, misalnya dengan mencampur

baurkan narapidana dan anak didik yang melakukan tindak pidana berat

dan yang melakukan tindak pidana yang ringan, dan sebagainya.

5. Mengadakan penelitian dan evauasi terhadap para narapidana.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar

pengisi waktu. juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk emmenuhi

kebutuhan jawatan atau kepentingan negara pada waktu-waktu tertentu

saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat

di masyarakat, dan yang menunjang pembangunan seperti menunjang

usaha produksi pangan.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus

berdasarkan pancasila, antara lain berarti bahwa kepadamereka harus

24 Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat, Tanggal 27 April 1964.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

33

ditanamkan jiwa kegotong royongan, jiwa tleransi, jiwa kekeluargaan,

disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan

ibadah agar memperoleh kekuatan spritiual.

8. Narapidana sebagai orang-orang tersesat adalah manusia, dan mereka

harus diperlkaukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya

sebagai manusia harus dihormati.

9. Narapidana hanya dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan sebagai

satu-satunya derita yang dapat dialaminya.

10. Disediakan dan dipupuk sarana-saranan yang dapat mendukung fungsi,

rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

Upaya pembinaan atau bimbingan yang menjadi inti dari kegiatan sistem

pemasyarakatan, merupakan suatu sarana perlakuan cara baru terhadap

narapidana untuk mendukung pola upaya baru pelaksanaan pidana penjara

agar mencapai keberhasilan peranan negara mengeluarkan narapidana untuk

kembali menjadi anggota masyarakat.

2. Sistem Lembaga Pemasyarakatan Di Dalam Perundang-Undangan

Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir di dalam sistem

peradilan pidana dan pelaksanaan putusan pengadilan, di dalam kenyataannya

tidak mempersoalkan apakah seseorang yang hendak direhabilitasi itu adalah

seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak.25 Bagi lembaga

pemasyarakatan, tujuan pembinaan pelanggar hukum tidak semata-mata

membalas tetapi juga perbaikan dimana falsafah pemidanaan di Indonesia

pada intinya mengalami perubahan seperti apa yang terkandung dalam sistem

pemasyarakatan yang memandang narapidana adalah orang tersesat dan

mempunyai waktu untuk segera bertaubat.

25 Petrus Irwan Panjaitan dan Pendapotan Simorangkir. Op.cit. Hal. 63.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

34

Istilah-istilah yang berhubungan dengan lembaga pemasyarakatan, bisa

dilihat pada Pasal 1, yang antara lain : 26

1. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara

pembinaan yang merupakan bagian kahir dari sistem pemidanaan dalam

tata peradilan pidana.

2. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta

cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat

untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan untuk

menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak

pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif

berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai

warga yang baik dan bertanggung jawab.

3. Lembaga pemasyarakatn yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat

untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik

pemasyarakatan.

4. Balai pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata

untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan.

5. Warga binaan pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik

pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan.

6. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan

yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap.

7. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di

LAPAS

Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Jombang merupakan lembaga

pemasyarakatan yang dapat menampung, membina, merawat serta mendidik

para pelanggar hukum atau para narapidana. Hal ini bertujuan agar para

pelanggar hukum atau para narapidana tersebut dapat menjadi warga

masyarakat dan manusia yang baik, sehingga mempunyai ciri-ciri sebagai

berikut:

1. Tidak melanggar hukum.

26 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

35

2. Menjadi anggota masyarakat yang berguna, aktif dan produktif dalam

pembangunan.

3. Berbahagia hidup di dunia dan di akherat kelak.

Yang berlandaskan pada dasar-dasar hukum, yang antara lain : Pancasila,

Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, serta

Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara

Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Sistem perlakuan atau pembinaan terhadap pelaku narapidana di

Indonesia, terdiri atas tiga bagian, yaitu: 27

1. Sistem kepenjaraan yang bertujuan untuk penjeraan.

2. Sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk pembinaan dan

pembimbingan.

3. Sistem pemasyarakatan baru, diperoleh sebagai pembanding yang akurat

dan dapat dipertanggungjawabkan dari dua sistem sebelumnya, yang

bertujuan untuk meningkatkan kesadaran.

Untuk menjalankan sistem pemasyarakatan ini, harus memperhatikan

prinsip-prinsip pokok yang menyangkut perlakuan terhadap narapidana, yang

didasarkan pada Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Jawa

Barat, tanggal 27 April 1964, yang antara lain : 28

27 Lendriyono, Fauzik. 2005. Problematika Pembinaan Narapidana Kasus Penyalahgunaan

Narkoba. Malang. Hal. 10 Dikutip Dari Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana.

Jakarta. Djambatan. Hal. 5.

28 Djisman Samosir. 2002. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia.

Bandung: Putra Abardin. Hal. 70.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

36

1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranan

sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam oleh negara. Hal ini

berrati tidak boleh ada penyiksaan terhadap narapidana, baik yang berupa

tindakan, perlakuan ucapan, cara perawatan atau penempatan. Satu-

satunya derita yang dialami oleh narapidana hendaknya hanyalah

dihiankannya kemerdekaannya untuk bergerak dalam masyarakat bebas.

3. Berikan bimbingan, bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Berikan

kepada mereka pengertian mengenai norma-norma hidup dan kehidupan,

dan sertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan

rasa hidup kemasyarakatannya.

4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih jahat

dari pada sebelumnya dijatuhi pidana, misalnya dengan

mencampurbaurkan narapidana dan anak didik, yang melakukan tindak

pidana berat dan yang melakukan tindak pidana ringan, dan sebagainya.

5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana harus

dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari

masyarakat. Antara lain kontak dengan masyarakat dapat terjelma dalam

bentuk kunjungan, hiburan ke dalam lembaga pemasyarakatan dari

anggota-anggota masyarakat bebas, dan kesempatan yang lebih banyak

untuk berkumpul bersama sahabat dan keluarga.

6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat sekedar

pengisi waktu. juga tidak boleh diberikan pekerjaan untuk memenuhi

kebutuhan jawatan atau kepentingan negara ada waktu-waktu tertentu saja

pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan yang terdapat di

masyarakat, dan yang menunjang pembangunan seperti menunhang usaha

produksi pangan.

7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus

berdasarkan pancasila. Antara lain ini berarti kepada mereka harus

ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, jiwa kekeluargaan,

disamping pendidikan kerohanian dan kesempatan untuk menunaikan

ibadah agar memperoleh kekuatan spiritual.

8. Narapidana sebagai orang-orang tersesat adalah manusia, dan mereka

harus diperlakukan sebagai manusia. Martabatnya dan perasaannya

sebagai manusia, hharus dihormati.

9. Narapidama hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan sebagai satu-

satunya derita yang dialaminya.

10. Disediakan dan dipupuk saran-sarana yang dapat mendukung fungsi,

rehabilitatif, korektif dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

37

Sistem pemasyarakatan harus dilaksanakan dengan memperhatikan

prinsip-prinsip, dan juga harus berdasarkan asas-asas. Seperti asas-asas yang

tercantum pada Pasal 5, yang antara lain: 29

1. Pengayoman.

2. Persamaan perlakuan dan pelayanan.

3. Pendidikan dan pembimbingan.

4. Penghormatan harkat dan martabat manusia.

5. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.

6. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-

orang tertentu.

Pola pembinaan narapidana juga diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan

Pemasyarakatan, yang pelaksanannya melalui beberapa tahap pembinaan. Tahap

pembinaan sebagaimana dimaksud terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu :

1. Tahap awal

Pembinaan tahap awal bagi narapidana dimulai sejak yang

bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (satu per

tiga) dar masa pidana. Pembinaan tahap awal meliputi : 30

a. Masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama

1 (satu) bulan.

b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.

c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian.

d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.

2. Tahap lanjutan

Pembinaan tahap lanjutan terdapat 2 (dua), yaitu tahap lanjutan

pertama dan tahap lanjutan kedua yang meliputi :

29 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

30 Lihat Pasal 10 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

38

a. Tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal

sampai ½ (satu per dua) dari masa pidana.

b. Tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan

pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. 31

Pembinaan tahap lanjutan juga diatur pada Pasal 10, dimana hal-hal

yang dilaksanakan dalam pembinaan ini meliputi : 32

a. Perencanaan program pembinaan lanjutan.

b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan.

c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan.

d. Perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.

3. Tahap akhir

Pembinaan tahap akhir dilaksanaan sejak berakhirnya tahap lanjutan

sampai dengan berakhirnya masa pidana dari narapidana yang

bersangkutan.

Pembinaan tahap akhir meliputi : 33

a. Perencanaan program integrasi.

b. Pelaksanaan program integrasi.

c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.

C. Tinjauan Umum Mengenai Pembinaan Narapidana

1. Pengertian Pembinaan Narapidana

Pemasyarakatan adalah suatu proses normal, tujuannya adalah : 34

a. Berusaha agar narapidana atau anak didik tidak melanggar hukum lagi

di masyarakat kelak.

31 Lihat Pasal 9 ayat ( 2 b), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

32 Lihat Pasal 10 ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

33 Lihat Pasal 10 ayat (3), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan

dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

34 R. Achmad S. Soemadi Pradja. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Bandung: Bina

Cipta. Hal. 24.

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

39

b. Menjadi narapidana atau anak didik sebagai peserta yang aktif dan

kreatif dalam pembangunan.

c. Membantu narapidana atau anak didik kelak berbahagia di dunia dan

di akhirat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)

menyebutkan bahwa : 35

Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan

kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,

professional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik

Pemasyarakatan. Sedangkan Pembimbingan adalah adalah pemberian

tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani

dan rohani klien Pemasyarakatan.

Selain itu, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan menyebutkan

bahwa pembinaan dan pembimbingan kepribadian dan kemandirian meliputi hal-

hal : 36

a. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Kesadaran berbangsa dan bernegara.

c. Intelektual.

d. Sikap dan perilaku.

e. Kesehatan jasmani dan rohani.

f. Kesadaran hukum.

g. Reintegrasi sehat dengan masyarakat.

h. Keterampilan kerja.

i. Latihan kerja dan produksi.

Dalam prinsip-prinsip pokok pemasyarakatan sebagai dasar pembinaan

narapidana, menyebutkan bimbingan dan didikan harus berdasarkan Pancasila.

35 Lihat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

36 Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

40

kepada narapidana harus diberikan kesempatan dan bimbingan untuk

melaksanakan ibadahnya, jiwa musyawarah untuk mufakat. Narapidana harus

diikutsertakan dalam kegiatan demi kepentingan-kepentingan umum.

2. Pembinaan Narapidana Menurut Undang-Undang Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan pada hakikatnya sesuai dengan falsafah

pemidanaan modern yaitu “treatment” yang lebih menekankan pada

penyembuhan narapidana, sehingga tujuan dari sanksi bukanlah untuk

menghukum, melainkan memperlakukan atau membina pelaku kejahatan.37

Perlakuan tersebut dimaksudkan untuk menempatkan narapidana sebagai subjek

di dalam pembinaan, dengan sasaran menjadikan narapidana pada akhirnya

berguna bagi masyarakat. Ini merupakan salah satu tujuan dari ide individualisasi

pemidanaan yang lahir dari madzhab modern.

Dalam hal penyelenggaraan pembinaan dan pembimbingan narapidana

merupakan kewenangan menteri, melalui pertugas pemasyarakatan sebagai

pelaksana. Hal tersebut seseuai dengan undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995

tentang Pemasyarakatan, Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa : 38

Pembinaan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan

diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh petugas LAPAS.

Selanjutnya dalam Pasal 8 ditentukan bahwa “Petugas LAPAS

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) merupakan pejabat fungsional

penegak hukum yang melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengawasan, dan

37 Romli Atmasasmita. 2005. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum Dalam Konteks

Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. Hal. 11.

38 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

41

pembimbingan warga binaan pemasyarakatan”.39 Situasi dalam membina

narapidana harus mempunyai iklim dan identik dengan iklim keluarga dimana

ditemukan kedamaian dan keamanan.

Pemidanaan yang bertujuan membina narapidana dalam Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan diatur dalam Pasal 12 yang

berbunyi : 40

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan

penggolongan atas dasar :

a. Umur.

b. Jenis kelamin.

c. Lama pidana yang dijatuhkan.

d. Jenis kejahatan.

e. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan

pembinaan.

(2) Pembinaan narapidana wanita di LAPAS dilaksanakan di LAPAS wanita.

Bentuk pelaksanaan hak pendidikan dan pengajaran bagi warga binaan

yang harus dilaksanakan oleh LAPAS telah diatur dengan jelas dalam Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam hal pelaksanaan

tugas pembinaan kepada narapidana, LAPAS tidak bekerja sendiri, namun dibantu

oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) sebagai pembimbing, karena di BAPAS

dapat diperoleh keterangan dan informasi bagi tiap warga binaan, untuk

menentukan bentuk pembinaan.

Bentuk pembinaan yang diterapkan bagi narapidana menurut Departemen

Kehakiman meliputi : 41

39 Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

40 Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

41 Soedjono Dirjosisworo. Op.cit. Hal. 199.

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

42

a. Pembinaan berupa interaksi langsung, sifatnya kekeluargaan antara

pembina dan yang dibina.

b. Pembinaan yang bersifat persuasif, yaitu berusaha merubah tingkah laku

melalui keteladanan.

c. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis.

d. Pembinaan kepribadian, yang meliputi kesadaran beragama, berbangsa dan

bernegara, intelektual, kecerdasan, kesadaran hukum, ketrampilan, serta

mental dan spiritual.

Adapun bentuk pembinaan Narapidana tersebut dapat disebutkan sebagai

berikut : 42

a. Program pendidikan, adalah salah satu faktor yang penting dalam rangka

pembinaan narapidana. Oleh karena itu lembaga harus menyediakan

sarana bacaan yang bersifat umum, mengingat latar belakang pendidikan

yang pernah ditempuh narapidana berbeda-beda. Meskipun seseorang

telah menjadi narapidana, tidak berarti dia kehilangan kesempatan untuk

mendapatkan ilmu.

b. Program keagamaan, program ini diperlukan guna menyadarkan diri

narapidana dengan nilai-nilai keagamaan. Program ini juga dapat

memberikan pendidikan bagi narapidana dalam bidang agama. Disebutkan

juga dalam rancangan undang-undang tahun 1967 tentang ketentuan pokok

pemasyarakatan Pasal 29-41 menyebutkan “Pendidikan agama dan

peribadatan agama wajib diselenggarakan demi pembinaan jiwa

terpidana”.

c. Program keterampilan atau pekerjaan, dalam praktiknya sebagian besar

narapidana yang dipenjarakan berkedudukan sebagai kepala rumah

keluarga yang mempunyai tanggung jawab terhadap anak dan istrinya.

Dengan dipenjarakannya suami atau istri, tentu keluarga akan merasa

kehilangan tumpuan rumah tangga yang sebenarnya sulit untuk

dipisahkan.

Dengan bekal pembinaan yang dilaksanakan melalui metode pendidikan,

keagaamaan, dan keterampilan tersebut, diharapkan kelak mereka dapat

mengintegrasikan dirinya di dalam masyarakat sehingga dapat berperan

kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab serta

dapat memulihkan fitrahnya dalam menjalin hubungan antara manusia dengan

42 Muladi, dalam Muhari. 1992. Paradigma Baru Hukum Pidana. Hal. 107.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

43

tuhannya, manusia dengan pribadinya, manusia dengan sesamanya, dan

manusia dengan lingkungannya.

D. Tinjauan Teoritis Mengenai Pendidikan dan Pengajaran

1. Pengertian Pendidikan dan Pengajaran

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu

peserta didik untuk menumbuhkembangkan potensi-potensi kemanusiannya.

Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.

Manusia memiliki ciri khas yang secara prinsipiil berbeda dari hewan. Ciri khas

manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu

(integrated) dari apa yang disebut sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat

manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia, dan tidak

terdapat pada hewan.

Ihsan Fuad dalam bukunya berpendapat bahwa : .43

Pendidikan adalah aktifitas dan usaha untuk meningkatkan kepribadian

dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu melalui rohani

(pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani). pendidikan juga berarti lembaga

yang bertanggungjawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi,

sistem, dan organisasi pendidikan

Driyarkara dalam buku Abu Ahmadi, mengatakan bahwa“Pendidikan

adalah upaya memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia ke taraf

insani itulah yang disebut mendidik”. 44

Adapun mengenai istilah “Pengajaran” menurut Kamus Bahasa Indonesia

adalah :

43 Ihsan Fuad. 2005. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: PT Hasdi Mahasatya. Hal. 12.

44 Abu Ahmadi. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 21.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

44

a. Proses, cara, perbuatan mengajar atau mengajarkan.

b. Perihal mengajar, segala sesuatu mengenai mengajar.

c. Peringatan (tentang pengalaman, peristiwa yang dialami, atau

dilihatnya).45

Pendidikan dan pengajaran memiliki istilah yang berbeda tetapi saling

berhubungan erat. Dalam kamus asing, dikenal istilah education dan instructions.

Pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan dan pengembangan

kepribadian. Dengan demikian, pendidikan mengandung pengertian yang luas,

sedangkan dalam pengajaran perumusan tujuan adalah utama dan setiap proses

pengajaran senantiasa diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Pendidikan dari sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek

dan sifatnya sangat kompleks. Umar Tirtarahardja dalam bukunya Pengantar

Pendidikan memberikan batasan tentang pengertian pendidikan berdasarkan

fungsinya, yaitu : 46

a. Dari segi proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai

kegiatan pewarisan budaya dari generasi satu ke generasi lain. Seperti

bayi yang dilahirkan, yang mana berada dalam suatu lingkungan

tertentu. Di dalam lingkungan masyarakat di mana seorang bayi

dilahirkan telah terdapat kebiasaan-kebiasaan tertentu, larangan-

larangan dan anjuran, dan ajakan tertentu yang dikehendaki oleh

masyarakat.

b. Dari segi proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai

suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada

terbentuknya kepribadian peserta didik.

c. Dari segi proses penyiapan warga negara, pendidikan diartikan

sebagai suatu kegiatan terencana untuk membekali peserta didik agar

menjadi warga negara yang baik.

45 Tri Rama K. 2013. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Pengertian Pengajaran. Surabaya:

Mitra Pelajar. Hal. 20.

46 Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. Hal. 33.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

45

d. Dari segi penyiapan tenaga kerja, pendidikan diartikan sebagai

kegiatan membimbing peserta didik agar memiliki bekal dasar untuk

bekerja.

Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pendidikan suatu

upaya atau usaha manusia untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi

dalam dirinya agar memiliki kemampuan kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya dan masyarakat. Sedangkan

pengajaran lebih menitikberatkan pada cara, proses, atau metode agar tujuan dari

pendidikan dapat dicapai seoptimal mungkin. Ditinjau dari segi fungsinya

pendidikan dibedakan menjadi empat macam, pertama dari segi proses

transformasi budaya pendidikan merupakan suatu serangkaian proses pewarisan

budaya yang ditujukan pada generasi berikutnya. Kedua, dari segi proses

pembentukan pribadi pendidikan berkaitan dengan suatu kegiatan yang

dilaksanakan secara berulang-ulang dan berkesinambungan yang mengarah pada

pembentukan kepribadian peserta didik. Ketiga, dari segi proses penyiapan warga

negara pendidikan bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan wawasan agar

nantinya tiap-tiap peserta didik dapat menjadi warga negara yang baik. Keempat,

dari segi penyiapan tenaga kerja pendidikan berperan penting dalam hal

pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagai bekal dasar yang

nantinya dapat digunakan untuk bekerja.

Adapun menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi : 47

a. Pendidikan informal

Merupakan pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman

sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan

47 Arif Rohman. 2009. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Laksbang

Mediatama. Hal. 222.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

46

ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari,

dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, maupun organisasi.

b. Pendidikan formal

Merupakan pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan

mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini

berlangsung di sekolah. Adapaun jalur pendidikan formal terdiri atas

pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

c. Pendidikan nonformal

Merupakan pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar

tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan

nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan

penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional

serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Negara mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan

pengajaran bagi warga negaranya yang dilaksanakan sesuai dengan dasar-dasar

dan tujuan negara itu sendiri. Artinya, pendidikan dan pengajaran juga wajib

diberikan oleh negara kepada Warga Binaan yang sedang menjalani masa

pemidanaannya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, mengingat Warga Binaan

tersebut juga merupakan seorang warga negara Indonesia. Penyelenggaraan

pendidikan dan pengajaran yang ditujukan bagi Warga Binaan Pemasyarakatan

dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan,

keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan untuk menunaikan

ibadah.48

48 Dwidja Priyatno. Op.Cit. Hal. 107.

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

47

2. Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan Ditinjau Dari Peraturan

Perundang-Undangan

a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan : 49

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban yang bermartabat guna mencerdaskan

kehidupan bangsa serta bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik,

merupakan hak dari seluruh warga negara Indonesia seperti tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas). Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa

“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu”. Serta Pasal 5 ayat (5) menyatakan “Setiap warga negara berhak

mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”. 50

Pasal 11 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

49 Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

50 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

48

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa

diskriminasi”. 51

Menurut hemat penulis dari apa yang tercantum dalam Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut dapat ditarik

suatu kesimpulan, bahwa pendidikan merupakan hak-hak tiap warga negara tanpa

terkecuali, sebab pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis, berkeadilan,

tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai-nilai

kegamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan yang

penyelenggaraanya tidak membeda-bedakan siapapun dan dengan menjunjung

nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, maka terselenggaranya pendidikan

merupakan tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat, dan terutama oleh

pemerintah. Sehingga diharapkan dengan campur tangan pemerintah, seluruh

warga negara memperoleh hak mereka yaitu mendapatkan pendidikan yang layak

tanpa terkecuali.

b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Hak dasar yang melekat secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan Yang

Esa atau bisa disebut Hak Asasi Manusia (HAM) harus dihormati, dilindungi oleh

negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, dan tidak layak dirampas oleh

siapapu, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Salah satu hak yang melekat pada diri manusia secara kodrati dan harus

dilindungi adalah hak memperoleh pendidikan, sebagaimana yang tercantum

51 Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

49

dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, bahwa : 52

Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya,

untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan

kualitas hidupnya agar menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa,

bertanggungjawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan

Hak Asasi Manusia.

Pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia juga menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk mengembangkan

dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni budaya,

sesuai dengan martabat manusia demi kesejahteraan pribadinya, bangsa dan umat

manusia”. 53

Hak untuk memperoleh pendidikan sebagaimana yang tercantum pada

Pasal tersebut di atas adalah diperuntukkan untuk setiap orang, tak terkecuali pula

bagi orang yang berstatus narapidana yang sedang berada di LAPAS.

Narapidana yang berada dalam LAPAS yang sedang terenggut hak

kemerdekaannya untuk beraktifitas secara bebas, juga mempunyai hak asasi yang

melekat sejak mereka lahir, dan pendidikan adalah sarana bagi pengembangan

secara pribadi, maka narapidana juga berhak memperolehnya, serta mengetahui

perkembangan masyarakat di luar lingkungan sosial mereka, sebagaimana yang

tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia bahwa : 54 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi

52 Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

53 Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

54 Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

50

dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosialnya”.

c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan merupakan rangkaian penegakan hukum yang

bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima

kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan,

dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat pembinaan terhadap para

pelaku tindak kriminal, maka sudah jelas bahwa lembaga pemasyarakatan adalah

tempat berkumpulnya para pelaku tindak kejahatan dari berbagai kasus. Oleh

karenanya, diperlukan sistem pendidikan yang berguna bagi berkembangnya

kesadaran para narapidana untuk menjalani hidup yang lebih baik, sera

berwawasan luas dan berpendidikan seperti masyarakat pada umumnya.

Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran bagi narapidana di

dalam LAPAS juga termasuk salah satu hak mengembangkan diri bagi

narapidana. Sehubungan dengan hal itu, Sri Widayati Wiratmo Soekito

menegaskan : 55

Hak asasi tidak tanpa batas, karena jika dilanggar hak-hak yang sama

dengan orang lain, karena itu kewajiban negara adalah memberikan batas-

batas sampai seberapa jauh hak-hak asasi kemerdekaan dapat dijalankan

dan dilindungi pelaksanaannya dengan mengutamakan kepentingan

umum”.

55 Sri Widyati Wiratmo Soekito. 1983. Anak dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES. Hal. 135.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

51

Mulyana W. Kusumah dalam bukunya yang berjudul Hukum dan HAM

berpendapat bahwa : 56

Bagi Indonesia semua (Hak-Hak Asasi Manusia) menuju pada penciptaan

kondisi-kondisi sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila, melalui

jalan selaras dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, oleh karena

proses kemerdekaan adalah pelaksanaan sila kemanusiaan yang adil dan

beradab itu sendiri.

Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan

dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari padanya seperti yang

tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c dan f Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Pemasyarakatan bahwa : 57

Narapidana berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran, serta

mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnnya

yang tidak dilarang.

Hak pendidikan dan pengajaran untuk narapidana meliputi pendidikan

kepribadian dan kemandirian. Pendidikan kepribadian meliputi pembinaan

kesadaran hukum, pembinaan kesadaran berbangsa, dan pembinaan kemampuan

intelektual. Pendidikan kemandirian meliputi pembinaan kemandirian yang terdiri

dari program pendidikan keterampilan, keterampilan keterampilan untuk

mendukung usaha industri, dan keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan

bakat masing-masing.

Bagi tahanan dapat diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan

pengajaran. Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan berupa

56 Kusuma Mulyana W. 1981. Hukum dan HAM. Bandung: Alumni. Hal. 51.

57 Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

52

penyuluhan hukum, kesadaran berbagsa dan bernegara, dan lainnya sesuai dengan

program perawatan tahanan.58

E. Teori Efektivitas Hukum

Teori efektivitas hukum di sini merupakan landasan untuk mengetahui

seberapa efektif pelaksanaan hak narapidana dalam bidang pendidikan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Jombang.

Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi

syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Faktor yang dapat

mempengaruhi hukum yang berfungsi di dalam masyarakat yaitu : 59

1. Kaidah hukum

Di dalam teori hukum dibedakan antara tiga hal mengenai berlakunya

hukum sebagai kaidah, yakni : 60

a. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya

didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau terbentuk

atas dasar yang telah ditetapkan.

b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut

efektif. Artinya kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa

walaupun tidak diterima oleh masyarakat, atau kaidah itu berlaku

karena adanya pengakuan dari masyarakat.

c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita

hukum.

2. Penegak hukum

Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup

ruang lingkup yang sangat luas. Petugas hukum di sini menyangkut

58 Lihat Pasal 20 angka (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun

1999 Tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab

Perawatan Tahanan.

59 Zainudin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 94.

60Ibid.

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

53

petugas pada strata atas, menengah, dan bawah. Artinya dalam

melaksanakan tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya harus

memiliki suatu pedoman salah satunya peraturan tertulis tertentu yang

mencakup ruang lingkup kerjanya.

3. Sarana / fasilitas

Fasilitas atau sarana sangat penting untuk mengefektifkan suatu aturan

tertentu, ruang sarana prasarana dimaksud, terutama sarana fisik yang

berfungsi sebagai faktor pendukung.61

4. Warga masyarakat

Salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga

masyarakat. Warga masyarakat dimaksud adalah kesadarannya untuk

mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, derajat kepatuhan. Secara

sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap

hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang

bersangkutan.

Keempat faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

efektivitas penegakan hukum itu sendiri. Pada elemen pertama, yang menentukan

berfungsinya hukum tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari kaidah

atau aturan hukum itu sendiri. Pada elemen kedua, yang menentukan efektif atau

tidaknya kinerja hukum adalah aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini

dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat

61Ibid. Hal. 96.

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis Mengenai

54

melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya di sini adalah

adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik. Pada

elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana prasarana bagi aparat

pelaksana di dalam melaksanakan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud

adalah sarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai

efektifitas hukum. Elemen terakhir yaitu masyarakat, dalam hal ini derajat

kepatuhan masyarakat terhadap hukum dapat dijadikan sebagai salah satu

parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan.