bab ii tinjauan pustaka a. tinjauan teoritis 1. talasemia

15
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia Kata talasemia berasal dari kombinasi kata Yunani thalassa (laut) dan haima (darah).Talasemia adalah kelainan kuantitatif hemoglobin yang ditandai oleh pembuatan hemoglobin yang tidak mencukupi akibat kurang atau tidak ada pembentukan satu atau lebih rantai polipeptida globin. Ragaman hemoglobin adalah kelainan terkait mutu akibat urutan asam amino yang abnormal terdapat di salah satu atau lebih rantai polipeptida globin (Soehita, 2015). Sindrom-sindrom talasemia ditandai dengan penurunan kecepatan produksi rantai globin. Sindrom ini diklasifikasikan berdasarkan rantai globin yang terkena: talasemia-alfa, yang produksi rantai alfanya menurun, dan talasemia-beta, yang produksi rantai betanya menurun. Keduanya adalah sindrom talasemia yang paling sering dijumpai dan juga terjadi dalam distribusi geografik yang sangat mirip dengan distribusi geografik malaria (Sacher, 2004). Sumber : https://fokusjabar.co.id/2016 Gambar 2.1 Penderita Talasemia Talasemia merupakan anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh defek genetik pada pembentukan rantai globin. Pada talasemia, hemoglobin mengalami penghancuran (hemolisis) karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh hemoglobinya.HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada

Upload: others

Post on 30-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teoritis

1. Talasemia

Kata talasemia berasal dari kombinasi kata Yunani thalassa (laut) dan haima

(darah).Talasemia adalah kelainan kuantitatif hemoglobin yang ditandai oleh

pembuatan hemoglobin yang tidak mencukupi akibat kurang atau tidak ada

pembentukan satu atau lebih rantai polipeptida globin. Ragaman hemoglobin

adalah kelainan terkait mutu akibat urutan asam amino yang abnormal terdapat di

salah satu atau lebih rantai polipeptida globin (Soehita, 2015). Sindrom-sindrom

talasemia ditandai dengan penurunan kecepatan produksi rantai globin. Sindrom

ini diklasifikasikan berdasarkan rantai globin yang terkena: talasemia-alfa, yang

produksi rantai alfanya menurun, dan talasemia-beta, yang produksi rantai betanya

menurun. Keduanya adalah sindrom talasemia yang paling sering dijumpai dan

juga terjadi dalam distribusi geografik yang sangat mirip dengan distribusi

geografik malaria (Sacher, 2004).

Sumber : https://fokusjabar.co.id/2016

Gambar 2.1 Penderita Talasemia

Talasemia merupakan anemia hemolitik herediter yang disebabkan oleh defek

genetik pada pembentukan rantai globin. Pada talasemia, hemoglobin mengalami

penghancuran (hemolisis) karena adanya gangguan sintesis rantai hemoglobin

atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa terdiri dari HbA yang merupakan

98% dari seluruh hemoglobinya.HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

7

bayi baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%). Pada

talasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin yang salah

sehingga eritrosit lebih cepat lisis. Hal ini menyebabkan penderita harus menjalani

tranfusi darah seumur hidup (Ridho dkk, 2019)

Talasemia ditandai dengan kelainan kuantitatif sintesis rantai globin.

Talasemia klasik ditandai oleh kurangnya sintesis rantai globin atau penurunan

jumlah rantai globin, namun beberapa hemoglobinopati juga mengalami penuruan

sintesis rantai globin dan dengan demikian tampak sebagai talasemia. Mutasi

genetik pada talasemia berupa ketiadaan produksi mRNA dan gen yang terlibat,

produksi mRNA nonfungsional, atau produksi mRNA yang tidak stabil yang

terdegradasi prematur, menyebabkan penurunan sintesis rantai globin yang terlibat

(Kiswari, 2014).

2. Etiologi (Mekanisme Penurunan Talasemia)

Talasemia dapat diturunkan pada anak dengan Talasemia mayor dapat lahir

dari perkawinan antara kedua orang tua yang dua-duanya pembawa sifat. Seorang

pembawa sifat Talasemia secara kasat mata tampak sehat (tidak bergejala),

hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan darah dan analisis hemoglobin.

Berdasarkan Hukum Mendel mekanisme penurunan Talasemia ke generasi

berikutnya dapat kita lihat pada gambar. Penyakit Talasemia Mayor yang berat

mulai terlihat ketika anak pada usia dini, dengan gejala pucat karena anemia,

lemas, tidak nafsu makan, sukar tidur. Kelahiran pasien Talasemia mayor dapat

dihindari dengan mencegah perkawinan antara dua orang pembawa sifat

Talasemia. Pada pasangan orang tua yang salah satunya pembawa gen Talasemia

Minor, berisiko mempunyai anak pasien Talasemia Minor 50%. Pasangan tersebut

tidak akan mempunyai anak dengan Talasemia Mayor, tetapi jika kedua orang

tuanya membawa gen Talasemia Minor (pembawa sifat) maka mereka dapat

kemungkinan 50% anaknya Talasemia Minor, 25% sehat, dan 25% sisanya

dengan Talasemia Mayor (Kemenkes, 2017).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

8

3. Epidemiologi Talasemia

a. Distribusi Frekuensi berdasarkan usia

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi

(2009) yaitu, pada kelompok usia 6-15 tahun sebesar 65,8%. Pada hasil penelitian

karakteristik penderita talasemia mayor oleh Harvina Sawitri (2018)

menunjukkan rata-rata usia penderita 9,82 tahun (SD ± 3,44), dan pada penelitian

Tisha Lazuana (2014) didapatkan hasil karakteristik pasien talasemia mayor rata-

rata usia 9,82 tahun (SD ± 3,44),

b. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis kelamin

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi

(2009) yaitu, pada jenis kelamin laki-laki sebesar 63,3% dan perempuan 36,7%.

Penelitian oleh Tisha Lazuana (2014) didapatkan hasil karakteristik pasien

talasemia mayor sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (50,5%) dan perempuan

(49,5%), dan hasil penelitian oleh Harvina Sawitri (2018) menunjukkan penderita

dengan jenis kelamin laki-laki (54%) lebih banyak dibandingkan dengan

penderita talasemia dengan jenis kelamin perempuan (46%).

c. Distribusi Frekuensi berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi (2009) bahwa

distribusi frekuensi penderita pendidikan antara penderita talasemia yang belum

sekolah dan SD/Sederajat tidak jauh berbeda masing-masing sebesar 45% dan

43,2%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jane Ruby (2015) distribusi

frekuensi penderita talasemia berdasarkan pendidikan adalah SD sebanyak 27

orang (38,0%) dan terendah adalah akademi/perguruan tinggi sebanyak 4 orang

(5,6%).

d. Distribusi Frekuensi berdasarkan Suku

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syarifurnama Dewi (2009)

distribusi frekuensi penderita talasemia berdasarkan suku terbesar adalah suku

Jawa (59%), Aceh (18,3%), Melayu (7,5%), Batak (5%), Minang (4,2%), lainnya

(4,2%), dan Tionghoa (1,7%). Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan

oleh Jane Ruby (2015) distribusi frekuensi penderita talasemia berdasarkan suku

adalah suku Jawa sebanyak 45 orang (64,8%), diikuti dengan suku Batak

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

9

sebanyak 10 orang (14,1%), suku Aceh sebanyak 6 orang (8,5%), suku Melayu

sebanyak 5 orang (7%), dan terendah adalah lainnya sebanyak 4 orang (5,6%).

e. Distribusi Frekuensi berdasarkan Jenis Talasemia

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tisha Lazuana (2014) jenis

talasemia paling banyak yaitu talasemia-beta dibandingkan dengan talasemia-alfa

f. Distribusi Frekuensi berdasarkan Agama

Berdasarkan penelitian Syarifurnama Dewi (2009) berdasarkan agama

tertinggi adalah agama islam sebesar (89.2%), sama halnya dengan penelitan yang

dilakukan oleh Tisha Lazuana (2014) distribusi frekuensi tertinggi berdasarkan

agama sebesar islam sebesar 88,5%.

Talasemia ditemukan secara terbatas didaerah Mediterania, tetapi sekarang ini

sudah ditemukan diseluruh dunia. Saat ini talasemia diidentifikasi sudah

ditemukan didaerah Eropa Selatan dari Portugal ke Spanyol, Italia, dan Yunani,

serta beberapa kasus di negara-negara Eropa Tengah dan sebagian di negara bekas

Uni Soviet. Talasemia juga ditemukan di daerah Asia Tengah seperti Iran,

Pakistan, India, Bangladesh, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Cina Selatan,

sama halnya juga dinegara-negara Pantai Utara Afrika dan Amerika Selatan.

Migrasi populasi dan perkawinan antar suku bangsa menjadikan talasemia

ditemukan dibelahan dunia, termasuk Eropa Utara, dimana talasemia sebelumnya

tidak ditemukan hingga menjadi masalah kesehatan utama bagi penduduknya

(Dewi, 2009).

Carrier talasemia ditemukan diseluruh dunia, tetapi talasemia pada umumnya

terdapat pada penduduk di Asia Tenggara (Vietnam, Laos, Thailand, Singapapura,

Filiphina, Kamboja, Malaysia, Burma, dan Indonesia), China, India bagian

selatan, Afrika, Mediterania, Yunani, dan Italia.Thalasemia alpha ditemukan

dalam jumlah besar di Asia Tenggara (Thailand, Semenanjung Melayu, dan

Indonesia), Mediterania, dan Afrika Barat.Talasemia beta mempunyai distribusi

yang luas didunia ini. Sering ditemukan didaerah sekitar Mediterania dan

beberapa bagian dari Timur Tengah, India, Pakistan, dan Asia Tenggara didaerah-

daerah ini frekuensi pembawa gen thalasemia bervariasi antara 2 dan 30% (Dewi,

2009).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

10

Sumber :https://id.m.wikipedia.org/wiki/talasemia

Gambar 2.2 Mekanisme Pewarisan Penyakit Talasemia.

4. Patofisiologi

Penyebab anemia bisa bersifat primer dan sekunder.Penyebab primer adalah

berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai

penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena

defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang

mengakibatkan hemodilusi dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial

dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekuler menunjukan adanya mutasi DNA

pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.

Terjadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfuse berulang,

peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,

anemia kronis serta proses hemolisis. Pada keadaan normal disintesis hemoglobin

A (adult : A1) yang tediri dari 2 rantai alfa dan dua rantai beta. Kadarnya

mencapai lebih kurang 95% dari seluruh hemoglobin. Sisanya terdiri dari

hemoglobin A2 yang mempunyai 2 rantai alfa dari 2 rantai delta sedangkan

kadarnya tidak lebih dari 2% pada keadaan normal. Hemoglobin F (foetal) setelah

lahir senantiasa menurun dan pada usia 6 bulan mencapai kadar seperti orang

dewasa, yaitu tidak lebih dari 4%, pada keadaan normal. Hemoglobin F terdiri

dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma. Pada talasemia, satu atau lebih dari satu

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

11

rantai globin kurang diproduksi sehingga terdapat kelebihan rantai globin karena

tidak ada pasangan dalam proses pembentukan hemoglobin normal orang dewasa

(HbA). Kelebihan rantai globin yang tidak terpakai akan mengendap pada dinding

eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoesis tidak efektif dan eritrosit

memberikan gambaran anemia hipokrom, mikrositer. Pada talasemia beta

produksi rantai beta terganggu, mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan

produksi HbA2 dan atau HbF tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai

beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadan normal, mungkin

sebagai usaha kompensasi. Eritropoesis didalam susunan tulang bekerja sangat

giat, dapat mencapai 5 kali lipat dari nilai normal, begitu juga apabila ada

eritropoesis ekstra medular hati dan limfa. Destruksi eritrosit dan prekusornya

dalam sumsum tulang adalah luas (eritropoesis tidak efektif) dan masa hidup

eritrosit memendek dan terjadi hemolisis (Desmawati, 2013).

5. Klasifikasi Talasemia

Berdasarkan sintesis rantai globinnya talasemia dikelompokkan menjadi 2

yaitu talasemia alfa dan talasemia beta (Tarwoto, 2008). Secara klinis talasemia

dibagi dalam 2 golongan yaitu, talasemia mayor dan talasemia minor (Desmawati,

2013).

a. Talasemia Mayor

Umumnya diketahui sejak bayi, dengan gejala antara lain : tampak pucat,

lemah, lesu, sering sakit, kadang disertai perut yang membuncit. Pasien ini

membutuhkan transfusi darah terus menerus seumur hidupnya, setiap 2-4 minggu

sekali.

b. Talasemia Intermedia

Biasanya baru terdiagnosis pada anak yang lebih besar, dan biasanya tidak

membutuhkan transfusi darah rutin.

c. Talasemia minor/trait/pembawa sifat

Biasanya tidak bergejala, tampak normal, namun pada pemeriksaan darah

dapat ditemukan kadar Hb yang sedikit dibawah normal (Kemenkes, 2018).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

12

1. Talasemia-

Sindrom talasemia biasanya disebabkan oleh delesi gen. secara normal

terdapat empat buah gen globin- , oleh sebab itu beratnya penyakit secara klinis

dapat digolongkan menurut jumlah gen yang tidak ada atau tidak aktif. Tidak

adanya keempat gen akan menekan sintesis rantai- seluruhnya dan karena rantai

esensial dalam hemoglobin fetus dan dewasa, keadaan ini tidak sesuai untuk

hidup sehingga menyebabkan kematian in utero (hidrops fetalis). Delesi tiga gen

menyebabkan anemia mikrositik hipokrom yang cukup berat (hemoglobin 7-11

g/dl) disertai spelenomegali. Keadaan ini dikenal sebagai penyakit Hb H karena

hemoglobin H ( ) dapat dideteksi dalam eritrosit.

a. Carrier Talasemia Alfa Silent (gangguan pada 1 rantai globin alfa)

Bentuknya heterozigot karier talasemia (- / ). Memiliki gambaran darah

yang abnormal, tetapi dengan Hb elektroforese normal. Saat lahir 50% kasus

memilki Hb Bart’s 1-3%, tapi tidak adanya Hb Bart’s tidak menyingkirkan

diagnosa ini.

b. Carrier Talasemia Alfa (trait/gangguan pada 2 rantai globin alfa)

Karier talasemia alfa bisa berasal dari talasemia o(- ) atau talasemi (- /-

). Biasanya asimtomatis, didapatkan anemia hipokromik ringan dengan

penurunan MCH dan MCV yang bermakna.Hb elektroforesis normal dan pasien

hanya bisa didiagnosis dengan analisis DNA. Pada masa neonates didapatkan Hb

Bart’s 5-10%, tapi tidak didapatkan HbH pada masa dewasa. Kadang bisa

didapatkan inklusi pada eritrosit karier talasemia .

c. HbH Disease (gangguan pada 3 rantai globin alfa)

Ditandai dengan anemia dan splenomegali sedang. Memiliki variasi klinis,

beberapa tergantung transfusi, sedangkan sebagian besar bisa tumbuh normal

tanpa transfusi. Gambaran darah tepi khas talasemia dengan perubahan eritrosit,

dengan HbH bervariaasi, sedikit Hb Bart’s dan HbA2 rendah sampai sedang. HbH

bisa diketahui dengan bantuan brilian cresil blue yang akan menyebabkan

pengendapan dan pembentukan badan inklusi, setelah splenektomi bentukan ini

makin banyak pada eritrosit (Permono dkk, 2012).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

13

d. Talasemia Alfa Mayor ( ) (gangguan pada 4 rantai globin alfa)

Sindrom hidrops Hb Bart’s ini biasanya terjadi dalam rahim. Bila hidup

hanya dalam waktu pendek. Gambaran klinisnya adalah hidrops fetalis dengan

edem permagna dan hepatosplegnomegali. Kadar Hb 6-8 g/dl dengan erirosit

hipokromik dan beberapa berinti. Kadar Hb Bart’s 80%, sisanya Hb Portland.

Kelainan ini sering disertai toksemia gravidarum, perdarahan postpartum dan

masalah karena karena hipertrofi plasenta. Pemeriksaan otopsi memperlihatkan

peningkatan kelainan bawaaan. Beberapa bayi, berhasil diselamatkan dengan

transfusi tukar dan transfusi berulang. Pertumbuhan dan perkembangan bisa

mencapai normal (Permono dkk, 2012).

2. Talasemia Beta (β)

Sel normal memiliki dua gen globin β. Thalasemia β merupakan kondisi yang

disebabkan mutasi pada satu atau kedua gen globin β, yang menyebabkan

penurunan kecepatan, atau bahkan ketiadaan total, sintesis globin β (Bain, 2018).

a. Talasemia Beta Trait (Minor)

Pada jenis ini, penderita memiliki satu gen normal dan satu gen yang

bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel

darah merah yang mengecil (mikrositer) (Kiswari, 2014).

b. Talasemia Beta Intermedia

Istilah” talasemia β intermedia” mengacu pada kelompok genetik heterogen

yang kondisi gejalanya bervariasi dari ringan sampai berat. Secara definisi,

ketahanan tanpa transfuse darah masih memungkinkan meskipun, pada kondisi

lebih berat, kualitas hidup akan buruk jika tidak ditransfusi. Talasemia β

intermedia disebabkan talasemia β heterozigot dengan faktor yang memperburuk

atau warisan dua gen talasemia β tapi dengan faktor yang memperbaiki. Di Asia

Tenggara, pewarisan bersamaan talasemia β dan hemoglobin E merupakan

penyebab utama talasemia β intermedia (Bain, 2018).

c. Talasemia Beta Mayor (Cooley’s Anemia)

Keadaan ini ditemukan pada rata-rata satu dari empat anak jika kedua orang

tua adalah pembawa talasemia β (β

) yang disintesis. Rantai berlebih

berpresipitasi dalam eritroblas dan eritrosit matang, menyebabkan erritropoiesis

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

14

inefektif dan hemolisis yang berat, yang khas untuk penyakit ini. Tidak seperti

talasemia , sebagian besar lesi genetik adalah mutasi titik dan bukan delesi gen.

mutasi ini dapat terjadi didalam kompleks gen tersebut atau di regio promoter atau

penguat. Talasemia mayor sering kali merupakan akibat pewarisan dua mutasi

yang berbeda, masing-masing mempengaruhi sintesis globin β (heterozigot ganda)

(Hoffbrand, 2013).

Sumber :https://labcito.co.id/mengenal-penyakit-talasemia/

Gambar 2.3 Sel Darah Thalasemia

e. Gambaran Klinis dan Diagnosis

1). Gambaran Klinis

Gejala klinis talasemia telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1

tahun, yaitu lemah, terlihat pucat, perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur,

berat badan kurang, tidak dapat hidup tanpa transfusi. Gejala khasnya adalah

bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak antara

kedua mata lebar, tulang dahi juga lebar, keadaan kuning pucat pada kulit, jika

sering ditransfusi, kulitnya menjadi kelabu karena penimbunan besi (Desmawati,

2013).

2). Diagnosis

Diagnosis dari talasemia diketahui dengan melakukan beberapa pemeriksaan

darah, seperti:

a). FBC (Full Blood Count)

Pemeriksaan ini akan memberikan informasi mengenai berapa jumlah sel darah

merah yang ada, berapa jumlah hemoglobin yang ada di sel darah merah, dan

ukuran serta bentuk dari sel darah merah.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

15

b). Sediaan Darah Apus

Pada pemeriksaan ini, darah akan diperiksa dengan mikroskop untuk melihat

jumlah dan bentuk dari sel darah merah, sel darah putih, dan platelet. Selain itu,

dapat juga dievaluasi bentuk darah, kepucatan darah, maturasi darah.

c). Iron Study

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui segala aspek penggunaan dan

penyimpanan zat besi dalam tubuh.Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk

membedakan apakah penyakit disebabkan oleh anemia defisiensi besi biasa atau

talasemia.

d). Haemoglobinopathy evaluation

Pemeriksaan ini untuk mengetahui tipe dan jumlah relatif hemoglobin yang ada

dalam darah.

e). Analisis DNA

Analisis DNA ini untuk mengetahui adanya mutasi pada gen yang memproduksi

rantai alpha dan beta. Pemeriksaan ini merupakan tes yang paling efektif untuk

mendiagnosis keadaan karier pada talasemia (Kiswari, 2014).

6. Pengobatan Talasemia

1). Transfusi Sel Darah Merah

Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur, mengurangi komplikasi

anemia dan eritropoiesis yang tidak efektif, membantu pertumbuhan dan

perkembangan selama masa anak-anak dan memperpanjang ketahanan hidup pada

talasemia mayor. Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada

kadar hemoglobin < 6g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut,

yang berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa dan

atau ekspansi sumsum tulang. Penentuan berbasis molekuler dari talasemia β yang

berat jarang dapat memperkirakan kebutuhan transfusi yang teratur.Sebelum

dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus diukur, vaksin

hepatitis B dan diberikan fenotif sel darah merah secara lengkap ditentukan

,sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi (Permono, 2012). Pemberian

transfusi darah bagi penyandang talasemia seumur hidup, rata-rata sebulan

sekali, kemudian untuk mengeluarkan kelebihan besi dalam tubuh akibat

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

16

transfusi darah rutin dan anemia kronik maka diberikan obat kelasi besi.

Berdasarkan rekomendasi PHTDI Indonesia transfusi darah rutin untuk pasien

anak diberikan pada kadar Hb pretranfusi 9-10 gr %, dengan target Hb pasca

transfusi antara 12-13 gr%. Hal ini bertujuan agar anak Talasemia mayor dapat

tumbuh dan berkembang sesuai anak normal lainnya (Kemenkes, 2017).

2). Terapi Pengikat Besi dengan Deferoksamin

Absorpsi deferoksamin secara oral buruk. Ekskresi besi setelah pemberian

jangka pendek deferoksamin secara intramuscular, intravena, dan subkutan

pertama kali dilaporkan awal tahun1960. Setelah lebih dari dua dekade,

pemberian jangka panjang intramusskular dilaporkan menimbulkan akumulasi

besi secara perlahan dan penghambatan fibrosis hati pada pasien yang mendapat

transfusi, bila deferoksamin diberikan efektif melalui infus 24 jam dan selanjutnya

12 jam. Bersamaan dengan studi ini diijinkan pemberian infus deferoksamin

subkutan selama satu malam menggunakan pompa portable yang dapat dibawa

kerumah sebagai metode standar pemberian deferoksamin saat ini (Permono dkk,

2012).

Saat ini di Indonesia tersedia 3 jenis obat obat pengikat besi (iron cehlators).

Ketiga obat tersebut adalah:

a). Desferrioxamine (DFO) yang diberikan secara subkutan

b). Deferriprone (DFP),

c). Deferasirox (DFX) yang dapat diberikan secara oral.

Obat kelasi besi ini baru diberikan jika;

a). Kadar feritiin serum ≥ 1000 ng/dL

b). Kadar saturasi transferin (serum iron/total iron binding capacity = SI/TIBC) ≥

75%

c). Adanya tumpukan besi di jantung yang diukur dengan menggunakan pemeriksaan

MRI T2< 20 ms

d). Telah menerima transfuse darah > 10x

e). Telah menerima darah sebanyak ± 3 liter (Kemenkes, 2017).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

17

3). Transplantasi Sumsum Tulang (TST)

Pengobatan talasemia β yang berat dengan transplantasi sumsum tulang

pertama kali dilaporkan lebih dari satu dekade yang lain, sebagai alternatif dari

pelaksanaan klinis standar dan saat ini diterima dalam pengobatan talasemia β.

Meskipun penyembuhan pasien talasemia β adalah dengan TST, prosedur yang

optimal untuk seleksi pasien, waktu yang tepat untuk transplantasi dan regimen

yang harus dipersiapkan masih belum ditentukan dengan jelas hingga saat ini.

4). Splenektomi

Sebagian besar pasien β talasemia yang berat akan mengalami pembesaran

limpa yang bermakna dan peningkatan kebutuhan sel darah merah setiap tahunnya

pada decade pertama kehidupan. Meskipun hipersplenissme kadang-kadang dapat

dihindari dengan transfuse lebih awal dan teratur, namun banyak pasien yang

memerlukan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah

merah sampai 30% pada pasien indeks transfusinya (dihitung dari penambahan

PRC yang diberikan selama setaun dibagi berat badan dalam kg pada pertengahan

tahun) melebihi 200 ml/kg/tahun. Karena adanya risiko infeksi, splenoktomi

sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum dilakukan

splenoktomi, pasien sebaiknya di vaksinasi pneumococcal dan haemophlus

influenzae type B sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.Bila anak alergi

dapat diganti dengan eritromisin (Permono dkk, 2012).

5). Obat-obat suportif dan makanan

Di samping transfusi darah, kepada pasien diberikan obat-obat seperti asam

folat, vitamin E sebagai antioksidan,serta micro dan makroelental lainnya seperti

kalsium,zinc dan pengobatan khusus lainnya untuk mencegah atau sebagai terapi

dari komplikasi yang timbul.Makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang

banyak mengandung zat besi seperti daging merah dan hati. Sangat dianjurkan

untuk banyak mengkonsumsi makanan dairy products seperti susu, keju, gandum

(Kemenkes, 2017).

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

18

g. Pencegahan Talasemia ada 3 jenis yaitu:

1). Pencegahan Primer Talasemia

a). Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE)

Pengetahuan mengenai penyakit talasemia memegang peranan yang sangat

penting dalam program pencegahan talasemia di masyarakat. Edukasi tentang

penyakit talasemia yang bersifat genetik dan diturunkan, serta kasus ”carier” nya

di masyarakat. Pendidikan genetika sebaiknya mulai dini diajarkan di sekolah-

sekolah, demikian pula pengetahuan tentang gejala awal talasemia. Pengetahuan

ini juga sangat penting bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan

(calon pengantin) perlu mendapatkan pengetahuan tentang penyakit-penyakit

yang dapat diturunkan sehingga timbul awarenes (mawas diri) pada calon

pasangan tersebut. Jika pernikahan tetap dilanjutkan, mereka diinformasikan

kemungkinan mendapat anak dengan talasemia dan pilihan yang dapat

dilakukan untuk menghindarinya.

2). Pencegahan sekunder talasemia meliputi:

a). Skrining

Skrining atau penjaringan talasemia ditujukan untuk menjaring individu

dengan “carier” atau penyandang talasemia pada suatu populasi, idealnya

dilakukan sebelum memiliki anak. Target utama skrining adalah penemuan

talasemia minor/trait/pembawa sifat Talasemia β dan Hb- E.

Skrining dapat dilakukan di sekolah, klinik dokter keluarga, klinik keluarga

berencana, klinik antenatal, saat pranikah, terutama di daerah yang berisiko

tinggi (thalassemia belt/sabuk talasemia).

Prosedur skrining talasemia :

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis talasemia meliputi

pemeriksaan darah tepi lengkap (CBC), khususnya Hb, nilai eritrosit rerata seperti

MCV, MCH, MCHC, dan RDW. Selain itu perlu dievaluasi sediaan apus darah

tepi, badan inklusi HbH dan analisis hemoglobin yang meliputi pemeriksaan

elektroforesis Hb, kadar HbA2, HbF. Selain itu diperlukan pemeriksaan cadangan

besi tubuh berupa pemeriksaan feritin atau serum iron (SI) / total iron binding

capacity (TIBC).

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

19

Di beberapa daerah endemik, perlu dilakukan screening test (uji saring) untuk

mendiagnosis anemia hipokrom mikrositik sebagai gangguan talasemia minor

dengan anemia defisiensi besi. Dimana pada pemeriksaan darah lengkap yang

terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan MCHC rendah. RDW yang

lebar dan MCV yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi (NP,

2015).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sotianingsih (2018) dengan

metode Pengambilan sampel darah dilakukan di kabupaten Merangin Jambi.

Dilakukan pembuatan hapusan darah dan pengambilan sampel darah vena di vena

mediana cubiti sebanyak 3 ml. Darah ditampung dalam tabung vakum dengan

antikoagulan EDTA. Hapusan darah difiksasi dengan methanol di tempat

sedangkan pewarnaan Giemsa dilakukan di Jambi. Sampel darah vena dimasukan

dalam cool box berisi ice pack suhu 4-80 C. Pemeriksaan parameter hematologi

untuk skrining thalassemia terdiri dari perhitungan darah lengkap (Complete

Blood Count/CBC), hapusan darah (blood smear), dan analisis Hb. Perhitungan

darah lengkap diukur dengan menggunakan hematology analyzer Sysmex Xs-800i

untuk mengetahui nilai MCV, MCH, MCHC, RDW, RBC. Hapusan darah

menggunakan pewarna Wright-Giemsa. Analisis Hb menggunakan elektroforesa

dari Sebia. Analisis hasil pemeriksaan hematologi untuk menentukan pembawa

sifat talasemia α dan β pada populasi Suku Anak Dalam berdasarkan kriteria

sebagai berikut:

a. Talasemia alfa bila Hb normal/ rendah dengan MCV dan MCH rendah, HbA2 >

3.5%.

b. Talasemia beta bila Hb normal/ rendah dengan MCV dan MCH rendah, HbA2 <

3.5%.

Data yang diperoleh merupakan hasil ukur, berupa hasil hematologi, r, MCV,

MCH, MCHC, RBC SD, hasil pembacaan hapusan darah tepi, HbA dan HbA2,

Setelah dilakukan perhitungan karakteristik responden dengan SPSS 24, Masing-

masing data lain di analisis untuk mengetahui mean, minimal dan maksimal.

Masing-masing data juga dibandingkan nilai rujukan sehingga bisa dibandingkan

dengan kriteria yang ada dan ditarik kesimpulan (Sotianingsih, 2018)

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Talasemia

20

b). Deteksi dini

Deteksi dini kasus talasemia mayor dan intermedia adalah kegiatan

pemeriksaan klinis dan darah pada individu atau pasien yang dicurigai sebagai

pasien talasemia.

3). Pencegahan tersier

Bagi penyandang talasemia adalah mencegah agar tidak timbul komplikasi

yang makin memperberat kondisi kesehatannya.Misalnya dalam tatalaksana

transfusi darah diupayakan agar tidak terjadi penumpukan zat besi yang

berlebihan dan jika terjadi penumpukan zat besi maka terapi kelasi besi harus

dikuasai oleh petugas kesehatan di rumah sakit dengan baik untuk mencegah

terjadinya kerusakan hati dan ginjal (Kemenkes, 2017).

B. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah penderita talasemia.