bab ii tinjauan pustaka a. 1.digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl... ·...
TRANSCRIPT
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecemasan
1. Pengertian kecemasan
Banyak pengertian kecemasan yang dikemukakan oleh berbagai
ahli kesehatan antara lain : Kecemasan dapat didefininisikan suatu
keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut
dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui
atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Sedangkan Suliswati, (2005) mengatakan bahwa kecemasan
sebagai respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif
dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah
kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan
penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak
menentu dan tidak berdaya.
2. Teori Kecemasan
Menurut Stuart, (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan
mengenai kecemasan. Teori tersebut antara lain :
a. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi
anatra dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id meewakili
dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego
mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya
seseorang. Ego atau aku berfungsi mengahi tuntutan dari dua elemen
yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap
ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga
berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan
kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan
harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.
10
c. Teori perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi, yaitu segala
sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap
kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan
keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan.
d. Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya
terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih
antara gangguan kecemasan dan depresi.
e. Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus
untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator
inhibisi asam gama-aminobitirat (GABA), yang berperan penting
dalam biologis yang berhubungan dengan kecemasan.
3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan.
Menurut Suliswati, (2005) ada 2 faktor yang mempengaruhi
kecemasan yaitu :
a. Faktor predisposisi yang meliputi :
1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan
berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis
perkembangan atau situasional.
2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan
dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan
dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.
3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan
individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan
kecemasan.
4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil
keputusan yang berdampak terhadap ego.
5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan
ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri
individu.
11
6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani
kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap
konflik yang dialami karena mekanisme koping individu banyak
dipelajari dalam keluarga.
7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi
respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi
kecemasannya.
8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah
pengobatan yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine
dapat menekan neurotransmitter gamma amino butyric acid
(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang
bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.
b. Faktor presipitasi meliputi :
1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam
integritas fisik meliputi :
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi
system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal.
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan
bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi,
tidak adekuatnya tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan
eksternal.
a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan
interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian
terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik
juga dapat mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai,
perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok,
sosial budaya.
12
4. Rentang Respon Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan ada 4
aspek yaitu:
a. Respon fisiologis
1) Kardiovaskuler, meliputi: palpitasi, jantung berdebar, tekanan
darah meningkat, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah
menurun, denyut nadi menurun.
2) Pernafasan, meliputi: nafas sangat pendek, nafas sangat cepat,
tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada
tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.
3) Neuromuskuler, meliputi: refleks meningkat, reaksi kejutan,
mata berkedip-kedip, insomnia, tremor frigiditas, wajah tegang,
kelemahan umum kaki goyah, gerakan yang janggal.
4) Gastrointestinal, meliputi: kehilangan nafsu makan, menolak
makanan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar
pada jantung, diare.
5) Traktus urinarius, meliputi: tidak dapat menahan kencing,
sering berkemih.
6) Kulit, meliputi: wajah kemerahan sampai telapak tangan, gatal,
rasa panas, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.
b. Respon perilaku
Respon perilaku yang sering terjadi yaitu: gelisah,
ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi,
cenderung mendapat cidera, menarik dari masalah, menhindar,
hiperventilasi.
c. Respon kognitif
Perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, preokupsi, hambatan berfikir bidang
persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun,
bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan
13
objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambar visual,
takut pada cedera dan kematian.
d. Respon afektif
Mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, nervus,
katakutan, alarm, terror, gugup, gelisah.
Suliswati (2005) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :
a. Kecemasan Ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan
peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi
melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu
terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas.
1) Respon Fisiologis
Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala
ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.
2) Respon Kognitif
Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan
kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah
secara efektif.
3) Respon perilaku
Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan
suara kadang-kadang meninggi.
b. Kecemasan sedang
Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun,
sindividu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan
mengesampingkan hal lain.
1) Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik,
mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.
14
2) Respon Kognitif
Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu
diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.
3) Respon Perilaku
Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara
banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman.
c. Kecemasan Berat
Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu
cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal
yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan
banyak pengarahan/tuntuan.
1) Respon Fisiologis
Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,
berkeringant dan sakit kepala, penglihatan kabur.
2) Respon Kognitif
Lapang persepsi sangat menyempit dan tidak mampu
menyelesaikan masalah.
3) Respon Prilaku
Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.
d. Panik
Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu
sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan
apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.
1) Respon Fisiologis
Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi,
pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik.
2) Respon Kognitif
Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi,
tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi.
15
3) Respon Prilaku
Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak,
bocking, presepsi kacau, kecemasan yang timbul dapat
diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik,
emosional dan kognitif atau intelektual.
5. Gejala-gejala kecemasan.
Kecemasan pada usia lanjut merupakan perasaan yang tidak
menyenangkan yang dialami oleh usia lanjut atau berupa ketakutan yang
tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang
dialami oleh seseorang (Nugroho, 2008). Gejala-gejalanya adalah:
a. Perubahan tingkah laku
b. Bicara cepat
c. Meremas-remas tangan
d. Berulang-ulang bertanya
e. Tidak mampu berkonsentrasi atau tidak memahami penjelasan
f. Tidak mampu menyimpan informasi yang diberikan
g. Gelisah
h. Keluhan badan
i. Kedinginan dan telapak tangan lembab
6. Proses Adaptasi Kecemasan.
a. Mekanisme koping
1) Strategi pemecahan masalah.
Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau
menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan
kemampuan realistis. Strategi pemecahan masalah ini secara
ringkas dapat digunakan dengan metode STOP yaitu Source, Trial
and Error, Others, serta Pray and Patient. Source berarti mencari
dan mengidentifikasi apa yang menjadi sumber masalah. Trial and
error mencoba berbagi rencana pemecahan masalah yang disusun.
Bila satu tidak berhasil maka mencoba lagi dengan metode yang
16
lain. Begitu selanjutnya, others berarti meminta bantuan orang lain
bila diri sendiri tidak mampu. Sedangkan pray and patient yaitu
berdoa kepada Tuhan. Hal yang perlu dihindari adalah adanya rasa
keputusasaan yang terhadap kegagalan yang dialami (Suliswati,
2005).
2) Task oriented (berorentasi pada tugas)
a. Dipikirkan untuk memecahkan masalah, konflik, memenuhi
kebutuhan dengan motivasi yang tinggi.
b. Realistis memenuhi tuntunan situasi stress.
c. Disadari dan berorentasi pada tindakan.
d. Berupa reaksi melawan (mengatasi rintangan untuk
memuaskan kebutuhan), menarik diri (menghindari sumber
ancaman fisik atau psikologis), kompromi (mengubah cara,
tujuan untuk memuaskan kebutuhan) (Suliswati, 2005).
3) Ego oriented
Dalam teori ini, ego oriented berguna untuk melindungi diri
dengan perasaan yang tidak adekuat seperti inadequacy dan
perasaan buruk berupa pengguanan mekanismme pertahanan diri
(defens mechanism). Jenis mekanisme pertahanan diri yaitu
(Suliswati, 2005):
a) Denial
Menghindar atau menolak untuk melihat kenyataan yang
tidak diinginkan dengan cara mengabaikan dan menolak
kenyataan tersebut.
b) Proyeksi
Menyalakan orang lain mengenai ketidakmampuan
pribadinya atas kesalahan yang diperbuatnya. Mekanisme ini
diguakan untuk mengindari celaan atau hukuman yang
mungkin akan ditimpakan pada dirinya.
17
c) Represi
Menekan kedalam tidak sadar dan sengaja melupakan
terhadap pikiran, perasaan, dan pengalaman yang
menyakitkan.
d) Regresi
Kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan
individu dalam menghadapi stress.
e) Rasionalisasi
Berusahah memberikan memberikan alasan yang masuk
akal terhadap perbuatan yang dilakukanya.
f) Fantasi
Keinginan yang tidak tercapai dipuaskan dengan
imajinasi yang diciptakan sendiri dan merupakan situasi yang
berkhyal.
g) Displacement
Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan diri
atau objek ke orang atau objek lain yang biasannya lebih
kurang berbahaya dari pada semula.
h) Undoing
Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan
menghapuskan atau meniadakan tindakan sebelumnya.
i) Kompensasi
Menutupi kekurangan dengan meningkatkan kelebihan
yang ada pada dirinya (Suliswati, 2005).
7. Cara pengukuran kecemasan
Alat ukur tingkat kecemasan telah dikembangkan oleh beberapa
peneliti sebelumnya diantaranya adalah kecemasan berdasarkan HARS,
Demikian halnya dengan penelitian ini, karena kecemasan berdasarkan
HARS telah terbukti dan banyak digunakan sebagai referensi untuk
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kecemasan maka dalam
penelitian ini untuk mengukur kecemasan ibu terhadap sindrom
18
klimakterium juga menggunakan standar HARS yang berisi tentang
perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan
kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatic, Gejala kardiovaskuler, gejala
resperatori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom,
tingkah laku (Nursalam, 2008).
Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala
yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,
skor 1 berarti ringan (1 gejala dari pilihan yang ada), sokr 2 berarti sedang
(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)
dan skor 4 berarti Sangat Berat (semua gejala ada).
B. Kematian
1. Pengertian kematian
Kematian adalah apabila seseorang tidak lagi teraba denyut
nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan
segala reflek serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho, 2008).
Pemberian perawatan pada lanjut usia yang sedang menghadapi
kematian tidak selamanya mudah. Seorang lanjut usia akan memberi
reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan cara lanjut
usia menghadapi hidup. Hal ini mengandung maksud bahwa konsep diri
yang dimiliki lansia ikut berpengaruh dalam penerimaan diri lanjut usia
terhadap keadaan dirinya. Konsep diri yang baik akan membentuk
kesadaran diri bahwa setiap manusia akan mengalami tahap penuaan
dengan kemunduran semua kemampuan baik fisik maupun mental
sehingga menerima diri dan berpasrah diri adalah hal terbaik yang dapat
dilakukan oleh seorang lanjut usia (Nugroho, 2008).
2. Tahapan kematian pada lanjut usia meliputi :
a. Tahap pertama (penolakan)
Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Selama tahap ini,
lankut usia sebenarnya mengatakan maut menimpa semua orang,
kecuali dirinya. Lanjut usia biasanya terpengaruh oleh sikap
19
penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang mungkin
sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Dirinya bahkan menekan
apa yang telah didengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari
berbagai macam sumber profesional dan nonprofesional dalam upaya
melarikan diri dari kenyataan bahwa maut sudah berada di ambang
pintu.
b. Tahap kedua (marah)
Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali.
Seirngkali seorang lanjut usia mencela setiap orang dalam segala hal.
Ia mudah marah terhadap para petugas kesehatan tentang apa yang
dilakukan. Pada tahap ini, lanjut usia lebih menganggap hal ini
merupakan hikmah daripada kutukan. Kemarahan di sini merupakan
mekanisme pertahanan diri lanjut usia. Kemarahan sesungguhnya
lebih tertuju kepada kesehatan dan kehidupannya.
c. Tahap ketiga (tawar menawar)
Pada tahap ini biasanya kemarahan sudah mereda dan lanjut usia
dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang sedang
terjadi dengan dirinya. Namun pada tahap tawar menawar ini banyak
orang cenderung akan menyelesaikan urusan rumah tangga mereka
sebelum maut tiba, dan akan menyiapkan beberapa hal seperti
membuat surat dan mempersiapkan jaminan hidup bagi orang tercinta
yang ditinggalkan. Selama tahap tawar menawar ini sebaiknya
permohonan yang dikemukakan dapat dipenuhi.
d. Tahap keempat (sedih atau depresi)
Tahap ini biasanya merupakan tahap yang menyedihkan karena lanjut
usia dalam suasana sedang berkabung. Bersamaan dengan itu, lanjut
usia berusaha merelakan untuk meninggalkan semua kesenangan
yang telah dinikmatinya.
e. Tahap kelima (menerima)
Tahap ini ditandai dengan sikap menerima kematian. Menjelang saat
ini, lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai
20
dan mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah menyatakan
segala sesuatunya. Tawar menawar sudah lewat dan saat kedamaian
dan ketenangan (Ruben dalam Nugroho, 2008).
C. Usia lanjut
1. Pengertian
Usia lanjut menurut Undang-undang No. 13 tahun 1998 dinyatakan
bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai lanjut usia (Noorkasiani,
2009). Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis
yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan
berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan
dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian
terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009).
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya
dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan
kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan
tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak
proporsional (Nugroho, 2008).
Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk
yang berusia 60 tahun keatas proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
mempertahankan fungsi normalnya.
2. Batasan Lanjut Usia
Menurut WHO Lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 sampai
74 tahun, Lanjut usia tua (old) ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun,
Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut
21
pendapat Sumiati (2000) Membagi periodisasi biologis perkembangan
manusia sebagai berikut: Umur 40 – 65 tahun : masa setengah umur
(prasenium), 65 tahun ke atas : masa lanjut usia (senium). Lain halnya
dengan pendapat Masdani (dalam Nugroho, 2008) Mengatakan bahwa
lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat
dibagi menjadi fase prasenium, antara 55 dan 65 tahun dan fase senium,
antara 65 tahun hingga tutup usia. Sedangkan menurut Setyonegoro
(dalam Nugroho, 2008) Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut :
Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Untuk umur 70-75
tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).
3. Masalah yang sering dihadapi oleh usia lanjut
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya
sebagai a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability
(instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual
impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of
vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation
(depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga
immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Kemalasari, 2010).
Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi usia lanjut adalah sebagai
berikut (Kemalasari, 2010):
a. Demensia
Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang
umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada
orang yang berusia > 65 tahun (Kemalasari, 2010).
b. Depresi
Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam problem
usia lanjut. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi
tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah
yang dihadapi usia lanjut yang membuat mereka depresi. Gejala
depresi pada usia lanjut dengan orang dewasa muda berbeda dimana
pada usia lanjut terdapat keluhan somatik (Kemalasari, 2010).
22
c. Skizofrenia
Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda
dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita
skizofrenia lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan
awal adalah adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat
(Kemalasari, 2010).
d. Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapat
terjadi kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham yang
tersering yaitu : waham kejar dan waham somatik (Kemalasari,
2010).
e. Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia,
gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan
stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan
panik pada usia lanjut adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan
gejala fobia pada usia lanjut kurang serius daripada dewasa muda,
tetapi efeknya sama, jika tidak lebih, menimbulkan debilitasi pada
pasien lanjut usia. Teori eksistensial menjelaskan kecemasan tidak
terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi secara spesifik bagi
perasaan yang cemas secara kronis (Kemalasari, 2010).
Kecemasan yang tersering pada usia lanjut adalah tentang
kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan
rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan
rasa integritas. Kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan
dalam perkembangan kecemasan setelah suatu stressor yang berat.
Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai
oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta
kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan
kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia,
khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut
23
usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis
(menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif (makin berat)
sampai penderitanya mengalami kematian (Affandi, 2008).
f. Gangguan Somatiform
Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan
apada pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis
adalah berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan
pemeriksaan fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak
memliki penyakit yang mematikan. Terapi pada gangguan ini adalah
dengan pendekatan psikologis dan farmakologis (Kemalasari, 2010).
g. Gangguan konsep diri
Konsep diri yang negatif setiap individu tidak terlepas dari berbagai
stressor, dengan adanya stressor akan menyebabkan
ketidakseimbangan dalam diri sendiri. Sehingga koping akan bersifat
merusak (destruktif). Koping destruktif akan menimbulkan rasa
bermusuhan yang dilanjutkan dengan individu menilai dirinya
rendah, tidak berguna, tidak berdaya, tidak berarti takut dan
mengakibatkan perasaan bersalah. Proses ini akan menimbulkan
respon yang maladaptive berupa kekacauan identitas, harga diri
rendah dan depersonalisasi (Suliswati, 2005).
h. Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain
Riwayat minum / ketergantungan alkohol biasanya memberikan
riwayat minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa.
Mereka biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar usia lanjut
dengan riwayat penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia
yang kronis seperti ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff.
Presentasi klinis pada usia lanjut termasuk terjatuh, konfusi, higienis
pribadi yang buruk, malnutrisi dan efek pemaparan. Zat yang dijual
bebas seperti kafein dan nikotin sering disalahgunakan. Di sini harus
diperhatikan adanya gangguan gastrointestiral kronis pada usia lanjut
24
pengguna alkohol maupun tidak obat-obat sehingga tidak terjadi
suatu penyakit medik (Kemalasari, 2010).
i. Gangguan Tidur
Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan
dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur. Fenomena yang
sering dikeluhkan usia lanjut daripada usia dewasa muda adalah
gangguan tidur, ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari
Secara klinis, usia lanjut memiliki gangguan pernafasan yang
berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi
yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan
sistem regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada
usia lanjut adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi
medis umum, faktor sosial dan lingkungan. Ganguan tersering pada
usia lanjut pria adalah gangguan rapid eye movement (REM). Hal
yang menyebabkan gangguan tidur juga termasuk adanya gejala
nyeri, nokturia, sesak napas, nyeri perut.
Keluhan utama pada usia lanjut sebenarnya adalah lebih banyak
terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam
tidur. Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan
konsolidasi yang menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada
usia lanjut (Kemalasari, 2010).
D. Konsep diri
1. Pengertian
Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang diri, citra subjektif
dari diri dan percampuran yang komplek dari perasaan, sikap dan persepsi
(Perry & Potter, 2005).
Konsep diri merupakan semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan
dan pendirian yang diketahui individu dalam berhubungan dengan orang
lain. Ide-ide, pikiran, perasaan dan keyakinan ini merupakan persepsi
yang bersangkutan tentang karakteristik dan kemampuan interaksi dengan
25
orang lain dan lingkungan, nilai yang dikaitkan dengan pengalaman dan
objek sekitarnya serta tujuan dan idealismenya (Suliswati, dkk, 2005).
Konsep diri berkembang secara bertahap dimulai dari bayi yang
dapat mengenali dan membedakan orang lain. Proses yang
berkesinambungan dari perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh
pengalaman interpersonal dan kultural yang memberikan perasaan positif,
memahami kompetensi pada area yang bernilai bagi individu dan
dipelajari melalui akumulasi kotak-kontak sosial dan pengalaman dengan
orang lain.
Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan
pengalamannya dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri ini dipelajari
melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain
dan interaksi dengan dunia luar dirinya (Suliswati, dkk, 2005).
2. Komponen konsep diri
a. Citra tubuh
Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik
disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang
mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.
Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring
dengan persepsi da pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus
realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya
individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan.
(Suliswati, dkk, 2005).
Citra tubuh adalah persepsi seseorang tentang tubuh, baik
secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan
dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh
pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik serta
persepsi dari pandangan orang lain (Perry & Potter, 2005). Konsep
diri yang baik tentang citra tubuh adalah kemampuan seseorang
menerima bentuk tubuh yang dimiliki dengan senang hati dan penuh
rasa syukur serta selalu berusaha untuk merawat tubuh dengan baik.
26
Faktor predisposisi gangguan citra tubuh meliputi kehilangan
atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi), perubahan
ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan
perkembangan serta penyakit), proses patologik penyakit dan
dampaknya terhadap struktur maupun fungsinya, prosedur
pengobatan seperti radiasi, kemoterapi dan transplantasi (Suliswati,
dkk, 2005).
b. Ideal diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia
seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar
dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah
inspirasi, tujuan, nilai yang diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-
cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-norma sosial di
masyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri.
Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik tentang ideal diri
apabila dirinya mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan
kemampuan yang ada pada dirinya dan sesuai dengan apa yang
diinginkannya.
Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-kanak
dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan
harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu
individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk
dasar dari ideal diri (Suliswati, dkk, 2005).
c. Harga diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai
dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku
dengan ideal dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang
lain yaitu dicintai, dihormati dan dihargai. Individu akan merasa
harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya
individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami
kegagalan, tidak dicintai atau diterima lingkungan. Pada masa
27
dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan
baru sehubungan dengan pensiun, ketidakmampuan fisik, brepisah
dari anak, kehilangan pasangan dan sebagainya (Suliswati, dkk,
2005). Seseorang memiliki konsep diri yang baik berkaitan dengan
harga diri apabila mampu menunjukkan keberadaannya dibutuhkan
oleh banyak orang, dan menjadi bagian yang dihormati oleh
lingkungan sekitar.
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia
cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali
kemampuan orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga
diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari
orang lain serta mengalami ketidakmampuan pada dirinya dan juga
sebaliknya (Perry & Potter, 2005).
Faktor predisposisi gangguan harga diri meliputi penolakan
dari orang lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah, terlalu
dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak
konsisten, persaingan antar saudara, kesalahan dan kegagalan yang
berulang, dan tidak mampu mencapai standar yang ditentukan
(Suliswati, dkk, 2005).
d. Peran
Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan
yang diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi
individu didalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana
untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara
untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti
(Suliswati, dkk, 2005). Individu dikatakan mempunyai konsep diri
yang baik berkaitan dengan peran adalah adanya kemampuan untuk
berperan aktif dalam lingkungan, sekaligus menunjukkan bahwa
keberadaannya sangat diperlukan oleh lingkungan.
Faktor predisposisi gangguan peran meliputi tiga kategori
transisi peran yaitu perkembangan. Setiap perkembangan dapat
28
menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap tahap perkembangan
harus dilalui individu dengan menyelesaikan tugas perkembangan
yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stressor bagi peran diri.
Kedua adalah transisi situasi, yaitu transisi situasi terjadi sepanjang
daur kehidupan bertambah / berkurang orang yang berarti melalui
kematian / kelahiran. Misalnya status sendiri menjadi berdua /
menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran
yang dapat menimbulkan ketegangan peran. Ketiga adalah transisi
sehat sakit, yaitu stressor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan
konsep diri, termasuk didalamnya gambaran diri, identitas diri, harga
diri dan peran diri (Perry & Potter, 2005).
e. Identitas diri
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat
diperoleh dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari
individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri
merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu
kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan,
atribut atau jabatan serta peran. Seseorang yang memiliki perasaan
identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan
orang lain, dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan
berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Dalam identitas diri ada
otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri,
mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri (Suliswati,
dkk, 2005).
Pencapaian identitas diperlukan untuk hubungan yang intim
karena identitas seseorang diekspresikan dalam berhubungan dengan
orang lain. Seksualits adalah bagian dari identitas seseorang.
Identitas seksual adalah gambaran seseorang tentang diri sebagai pria
atau wanita dan makna dari citra tubuh (Perry & Potter, 2005).
29
Faktor predisposisi gangguan identitas diri meliputi
ketidakpercayaan, tekanan dari teman dan perubahan struktur sosial.
Masalah spesifik sehubungan dengan konsep diri adalah situasi yang
membuat individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dapat menerima
khususnya trauma emosi seperti penganiayaan fisik, seksual dan
psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya
atau menyaksikan kejadian berupa tindakan kejahatan (Suliswati,
dkk, 2005).
E. Hubungan konsep diri dengan kecemasan
Konsep diri merupakan hasil eksplorasi diri seseorang berdasarkan
pengalamannya. Konsep diri berkembang dari bayi hingga usia lanjut sehingga
setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi dan meniru
perilaku dari orang lain yang diinginkannya (Suliswati, dkk, 2005).
Seseorang dengan konsep diri yang positif dapat mengeksplorasi
dunianya secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya
sukses. Konsep diri yang positif berasal dari pengalaman positif yang
mengarah pada kemampuan pemahaman.
Konsep diri berkaitan erat dengan cara pandang seorang mengenai
siapa dirinya, bagaimana memberi identitas pada diri sendiri, menilai, dan
melihat faktor-faktor lain di luar diri yang dapat dijadikan sebagai komponen
konsep diri. Hurlock menjelaskan bahwa konsep diri berkaitan dengan
komponen fisik, komponen psikologis, dan komponen mengenai harga diri
berupa sikap terhadap statusnya (Hurlock, 1999). Masing-masing komponen
konsep diri inilah yang akan berkontribusi dan menentukan apakah seseorang
memiliki konsep diri yang positif mengenai dirinya ataukah konsep diri yang
negatif mengenai dirinya orang-orang yang mempunyai konsep diri yang stabil
dan berdiferensiasi dengan baik akan lebih baik dalam mengatasi stres
dibandingkan dengan orang yang memiliki konsep diri yang labil.
Sedangkan seiring berjalannya waktu, seseorang akan mengalami
masa dari muda hingga tua. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan saat
30
orang telah memasuki usia lanjut. Usia lanjut merupakan usia yang rentan
terhadap terjadinya masalah, salah satunya adalah masalah penyakit dan
menghadapi kematian. Ketidakmampuan usia lanjut untuk menerima keadaan
diirnya dengan baik menunjukkan adanya konsep diri yang negatif. Konsep
diri yang terganggu ini akan menimbulkan ketidakmampuan individu berfikir
secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan (Suliswati, dkk, 2003).
F. Kerangka teori
Gambar 2.1 Kerangka teori
Sumber : Stuart dan Sundeen (1998), Suliswati, dkk (2005)
Kecemasan usia lanjut menghadapi kematian
Faktor presdisposisi kecemasan : • Peristiwa traumatik • Konflik emosional • Konsep diri • Frustasi • Gangguan fisik • Pola mekanisme
koping • Riwayat gangguan
kecemasan • Medikasi
Faktor presipitasi Kecemasan : Ancaman terhadap integritas fisik Ancaman terhadap Harga diri, Citra tubuh, Ideal diri, Peran dan identitas diri
Tahapan kematian: - Penyangkalan (Denial) - Marah (Anger) - Menawar (Bargaining) - Depresi (Depression) - Penerimaan (Acceptanc)
31
G. Kerangka konsep
Gambar 2.2 Kerangka konsep
H. Variabel penelitian
1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah konsep diri usia
lanjut yang terdiri dari citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan identitas
diri.
2. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kecemasan usia
lanjut dalam menghadapi kematian.
I. Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian adalah :
1. Ada hubungan antara citra tubuh dengan kecemasan usia lanjut dalam
menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati.
2. Ada hubungan antara ideal diri dengan kecemasan usia lanjut dalam
menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati.
Variabel bebas Variabel terikat
Citra tubuh
Kecemasan usia lanjut
Ideal diri
Peran
Identitas diri
Harga diri
32
3. Ada hubungan antara harga diri dengan kecemasan usia lanjut dalam
menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati.
4. Ada hubungan antara peran dengan kecemasan usia lanjut dalam
menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati.
5. Ada hubungan antara identitas diri dengan kecemasan usia lanjut dalam
menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten
Pati.