bab ii tinjauan pustaka a. 1.digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl... ·...

24
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Pengertian kecemasan Banyak pengertian kecemasan yang dikemukakan oleh berbagai ahli kesehatan antara lain : Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998). Sedangkan Suliswati, (2005) mengatakan bahwa kecemasan sebagai respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. 2. Teori Kecemasan Menurut Stuart, (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan mengenai kecemasan. Teori tersebut antara lain : a. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi anatra dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id meewakili dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi mengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah mengingatkan ego bahwa ada bahaya. b. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.

Upload: doancong

Post on 07-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengertian kecemasan

Banyak pengertian kecemasan yang dikemukakan oleh berbagai

ahli kesehatan antara lain : Kecemasan dapat didefininisikan suatu

keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, ketidak tentuan, atau takut

dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak diketahui

atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).

Sedangkan Suliswati, (2005) mengatakan bahwa kecemasan

sebagai respon emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif

dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kecemasan adalah

kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan

penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak

menentu dan tidak berdaya.

2. Teori Kecemasan

Menurut Stuart, (2006) ada beberapa teori yang menjelaskan

mengenai kecemasan. Teori tersebut antara lain :

a. Teori psikoanalitik, kecemasan adalah konflik emosional yang terjadi

anatra dua elemen kepribadian yaitu id dan superego. Id meewakili

dorongan insting dan impuls primitive, sedangkan superego

mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan norma budaya

seseorang. Ego atau aku berfungsi mengahi tuntutan dari dua elemen

yang bertentangan tersebut, dan fungsi kecemasan adalah

mengingatkan ego bahwa ada bahaya.

b. Teori interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut terhadap

ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan

kehilangan, yang menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan

harga diri rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.

10

c. Teori perilaku, kecemasan merupakan hasil dari frustasi, yaitu segala

sesuatu yang mengganggu kemampuan individu untuk mencapai

tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku lain menganggap

kecemasan sebagai suatu dorongan yang dipelajari berdasarkan

keinginan dari dalam diri untuk menghindari kepedihan.

d. Teori keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya

terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih

antara gangguan kecemasan dan depresi.

e. Teori biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus

untuk benzodiazepin, obat-obatan yang meningkatkan neuroregulator

inhibisi asam gama-aminobitirat (GABA), yang berperan penting

dalam biologis yang berhubungan dengan kecemasan.

3. Faktor yang mempengaruhi kecemasan.

Menurut Suliswati, (2005) ada 2 faktor yang mempengaruhi

kecemasan yaitu :

a. Faktor predisposisi yang meliputi :

1) Peristiwa traumatik yang dapat memicu terjadinya kecemasan

berkaitan dengan krisis yang dialami individu baik krisis

perkembangan atau situasional.

2) Konflik emosional yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan

dan kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

3) Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan

individu berpikir secara realitas sehingga akan menimbulkan

kecemasan.

4) Frustasi akan menimbulkan ketidakberdayaan untuk mengambil

keputusan yang berdampak terhadap ego.

5) Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri

individu.

11

6) Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani

kecemasan akan mempengaruhi individu dalam berespons terhadap

konflik yang dialami karena mekanisme koping individu banyak

dipelajari dalam keluarga.

7) Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respon individu dalam berespon terhadap konflik dan mengatasi

kecemasannya.

8) Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah

pengobatan yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiapine

dapat menekan neurotransmitter gamma amino butyric acid

(GABA) yang mengontrol aktivitas neuron di otak yang

bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

b. Faktor presipitasi meliputi :

1) Ancaman terhadap integritas fisik, ketegangan yang mengancam

integritas fisik meliputi :

a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologi

system imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal.

b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi,

tidak adekuatnya tempat tinggal.

2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan

eksternal.

a) Sumber internal, meliputi kesulitan dalam berhubungan

interpersonal di rumah dan di tempat kerja, penyesuaian

terhadap peran baru. Berbagai ancaman terhadap integritas fisik

juga dapat mengancam harga diri.

b) Sumber eksternal, meliputi kehilangan orang yang dicintai,

perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok,

sosial budaya.

12

4. Rentang Respon Kecemasan

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon terhadap kecemasan ada 4

aspek yaitu:

a. Respon fisiologis

1) Kardiovaskuler, meliputi: palpitasi, jantung berdebar, tekanan

darah meningkat, rasa mau pingsan, pingsan, tekanan darah

menurun, denyut nadi menurun.

2) Pernafasan, meliputi: nafas sangat pendek, nafas sangat cepat,

tekanan pada dada, napas dangkal, pembengkakan pada

tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah.

3) Neuromuskuler, meliputi: refleks meningkat, reaksi kejutan,

mata berkedip-kedip, insomnia, tremor frigiditas, wajah tegang,

kelemahan umum kaki goyah, gerakan yang janggal.

4) Gastrointestinal, meliputi: kehilangan nafsu makan, menolak

makanan, rasa tidak nyaman pada abdomen, mual, rasa terbakar

pada jantung, diare.

5) Traktus urinarius, meliputi: tidak dapat menahan kencing,

sering berkemih.

6) Kulit, meliputi: wajah kemerahan sampai telapak tangan, gatal,

rasa panas, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.

b. Respon perilaku

Respon perilaku yang sering terjadi yaitu: gelisah,

ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang kordinasi,

cenderung mendapat cidera, menarik dari masalah, menhindar,

hiperventilasi.

c. Respon kognitif

Perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam

memberikan penilaian, preokupsi, hambatan berfikir bidang

persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun,

bingung, sangat waspada, kesadaran diri meningkat, kehilangan

13

objektivitas, takut kehilangan kontrol, takut pada gambar visual,

takut pada cedera dan kematian.

d. Respon afektif

Mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang, nervus,

katakutan, alarm, terror, gugup, gelisah.

Suliswati (2005) membagi kecemasan menjadi 4 tingkatan yaitu :

a. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan akan

peristiwa kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini lahan persepsi

melebar dan individu akan berhati-hati dan waspada. Individu

terdorong untuk belajar yang akan menghasilkan pertumbuhan dan

kreativitas.

1) Respon Fisiologis

Sesekali nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, gejala

ringan pada lambung, muka berkerut dan bibir bergetar.

2) Respon Kognitif

Lapang persegi meluas, mampu menerima rangsangan

kompleks, konsentrasi pada masalah dan menyelesaikan masalah

secara efektif.

3) Respon perilaku

Tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada tangan dan

suara kadang-kadang meninggi.

b. Kecemasan sedang

Pada tingkat ini lahan persepsi terhadap lingkungan menurun,

sindividu lebih memfokuskan pada hal penting saat itu dan

mengesampingkan hal lain.

1) Respon Fisiologis

Sering nafas pendek, nadi ekstra sistolik dan tekanan darah naik,

mulut kering, anoreksia, diare atau konstipasi, gelisah.

14

2) Respon Kognitif

Lapang persepsi menyempit, rangsang luar tidak mampu

diterima, dan berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya.

3) Respon Perilaku

Gerakan tersentak-sentak (meremas tangan), berbicara

banyak dan lebih cepat, dan perasaan tidak nyaman.

c. Kecemasan Berat

Pada kecemasan berat lahan persepsi menjadi sempit. Individu

cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal

yang lain. Individu tidak mampu berfikir berat lagi dan membutuhkan

banyak pengarahan/tuntuan.

1) Respon Fisiologis

Sering nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik,

berkeringant dan sakit kepala, penglihatan kabur.

2) Respon Kognitif

Lapang persepsi sangat menyempit dan tidak mampu

menyelesaikan masalah.

3) Respon Prilaku

Perasaan ancaman meningkat, verbalisasi cepat dan blocking.

d. Panik

Pada tingkat ini persepsi sudah terganggu sehingga individu

sudah tidak dapat mengendalikan diri lagi dan tidak dapat melakukan

apa-apa walaupun sudah diberi pengarahan/tuntunan.

1) Respon Fisiologis

Nafas pendek, rasa tercekik, sakit dada, pucat, hipotensi,

pucat sakit dada dan rendahnya koordanasi motorik.

2) Respon Kognitif

Lapang persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi,

tidak dapat berfikir logis, dan ketidakmampuan mengalami distorsi.

15

3) Respon Prilaku

Agitasi, mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak-teriak,

bocking, presepsi kacau, kecemasan yang timbul dapat

diidentifikasi melalui respon yang dapat berupa respon fisik,

emosional dan kognitif atau intelektual.

5. Gejala-gejala kecemasan.

Kecemasan pada usia lanjut merupakan perasaan yang tidak

menyenangkan yang dialami oleh usia lanjut atau berupa ketakutan yang

tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang

dialami oleh seseorang (Nugroho, 2008). Gejala-gejalanya adalah:

a. Perubahan tingkah laku

b. Bicara cepat

c. Meremas-remas tangan

d. Berulang-ulang bertanya

e. Tidak mampu berkonsentrasi atau tidak memahami penjelasan

f. Tidak mampu menyimpan informasi yang diberikan

g. Gelisah

h. Keluhan badan

i. Kedinginan dan telapak tangan lembab

6. Proses Adaptasi Kecemasan.

a. Mekanisme koping

1) Strategi pemecahan masalah.

Strategi pemecahan masalah bertujuan untuk mengatasi atau

menanggulangi masalah atau ancaman yang ada dengan

kemampuan realistis. Strategi pemecahan masalah ini secara

ringkas dapat digunakan dengan metode STOP yaitu Source, Trial

and Error, Others, serta Pray and Patient. Source berarti mencari

dan mengidentifikasi apa yang menjadi sumber masalah. Trial and

error mencoba berbagi rencana pemecahan masalah yang disusun.

Bila satu tidak berhasil maka mencoba lagi dengan metode yang

16

lain. Begitu selanjutnya, others berarti meminta bantuan orang lain

bila diri sendiri tidak mampu. Sedangkan pray and patient yaitu

berdoa kepada Tuhan. Hal yang perlu dihindari adalah adanya rasa

keputusasaan yang terhadap kegagalan yang dialami (Suliswati,

2005).

2) Task oriented (berorentasi pada tugas)

a. Dipikirkan untuk memecahkan masalah, konflik, memenuhi

kebutuhan dengan motivasi yang tinggi.

b. Realistis memenuhi tuntunan situasi stress.

c. Disadari dan berorentasi pada tindakan.

d. Berupa reaksi melawan (mengatasi rintangan untuk

memuaskan kebutuhan), menarik diri (menghindari sumber

ancaman fisik atau psikologis), kompromi (mengubah cara,

tujuan untuk memuaskan kebutuhan) (Suliswati, 2005).

3) Ego oriented

Dalam teori ini, ego oriented berguna untuk melindungi diri

dengan perasaan yang tidak adekuat seperti inadequacy dan

perasaan buruk berupa pengguanan mekanismme pertahanan diri

(defens mechanism). Jenis mekanisme pertahanan diri yaitu

(Suliswati, 2005):

a) Denial

Menghindar atau menolak untuk melihat kenyataan yang

tidak diinginkan dengan cara mengabaikan dan menolak

kenyataan tersebut.

b) Proyeksi

Menyalakan orang lain mengenai ketidakmampuan

pribadinya atas kesalahan yang diperbuatnya. Mekanisme ini

diguakan untuk mengindari celaan atau hukuman yang

mungkin akan ditimpakan pada dirinya.

17

c) Represi

Menekan kedalam tidak sadar dan sengaja melupakan

terhadap pikiran, perasaan, dan pengalaman yang

menyakitkan.

d) Regresi

Kemunduran dalam hal tingkah laku yang dilakukan

individu dalam menghadapi stress.

e) Rasionalisasi

Berusahah memberikan memberikan alasan yang masuk

akal terhadap perbuatan yang dilakukanya.

f) Fantasi

Keinginan yang tidak tercapai dipuaskan dengan

imajinasi yang diciptakan sendiri dan merupakan situasi yang

berkhyal.

g) Displacement

Memindahkan perasaan yang tidak menyenangkan diri

atau objek ke orang atau objek lain yang biasannya lebih

kurang berbahaya dari pada semula.

h) Undoing

Tindakan atau komunikasi tertentu yang bertujuan

menghapuskan atau meniadakan tindakan sebelumnya.

i) Kompensasi

Menutupi kekurangan dengan meningkatkan kelebihan

yang ada pada dirinya (Suliswati, 2005).

7. Cara pengukuran kecemasan

Alat ukur tingkat kecemasan telah dikembangkan oleh beberapa

peneliti sebelumnya diantaranya adalah kecemasan berdasarkan HARS,

Demikian halnya dengan penelitian ini, karena kecemasan berdasarkan

HARS telah terbukti dan banyak digunakan sebagai referensi untuk

penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kecemasan maka dalam

penelitian ini untuk mengukur kecemasan ibu terhadap sindrom

18

klimakterium juga menggunakan standar HARS yang berisi tentang

perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan

kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatic, Gejala kardiovaskuler, gejala

resperatori, gejala gastrointestinal, gejala urogenital, gejala autonom,

tingkah laku (Nursalam, 2008).

Gejala kecemasan berdasarkan HARS diukur berdasarkan skala

yang bergerak 0 hingga 4. Skor 0 berarti tidak ada gejala atau keluhan,

skor 1 berarti ringan (1 gejala dari pilihan yang ada), sokr 2 berarti sedang

(separuh dari gejala yang ada), skor berat (lebih dari separuh yang ada)

dan skor 4 berarti Sangat Berat (semua gejala ada).

B. Kematian

1. Pengertian kematian

Kematian adalah apabila seseorang tidak lagi teraba denyut

nadinya, tidak bernapas selama beberapa menit, dan tidak menunjukkan

segala reflek serta tidak ada kegiatan otak (Nugroho, 2008).

Pemberian perawatan pada lanjut usia yang sedang menghadapi

kematian tidak selamanya mudah. Seorang lanjut usia akan memberi

reaksi yang berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan cara lanjut

usia menghadapi hidup. Hal ini mengandung maksud bahwa konsep diri

yang dimiliki lansia ikut berpengaruh dalam penerimaan diri lanjut usia

terhadap keadaan dirinya. Konsep diri yang baik akan membentuk

kesadaran diri bahwa setiap manusia akan mengalami tahap penuaan

dengan kemunduran semua kemampuan baik fisik maupun mental

sehingga menerima diri dan berpasrah diri adalah hal terbaik yang dapat

dilakukan oleh seorang lanjut usia (Nugroho, 2008).

2. Tahapan kematian pada lanjut usia meliputi :

a. Tahap pertama (penolakan)

Tahap ini adalah tahap kejutan dan penolakan. Selama tahap ini,

lankut usia sebenarnya mengatakan maut menimpa semua orang,

kecuali dirinya. Lanjut usia biasanya terpengaruh oleh sikap

19

penolakannya sehingga ia tidak memperhatikan fakta yang mungkin

sedang dijelaskan kepadanya oleh perawat. Dirinya bahkan menekan

apa yang telah didengar atau mungkin akan meminta pertolongan dari

berbagai macam sumber profesional dan nonprofesional dalam upaya

melarikan diri dari kenyataan bahwa maut sudah berada di ambang

pintu.

b. Tahap kedua (marah)

Tahap ini ditandai oleh rasa marah dan emosi yang tidak terkendali.

Seirngkali seorang lanjut usia mencela setiap orang dalam segala hal.

Ia mudah marah terhadap para petugas kesehatan tentang apa yang

dilakukan. Pada tahap ini, lanjut usia lebih menganggap hal ini

merupakan hikmah daripada kutukan. Kemarahan di sini merupakan

mekanisme pertahanan diri lanjut usia. Kemarahan sesungguhnya

lebih tertuju kepada kesehatan dan kehidupannya.

c. Tahap ketiga (tawar menawar)

Pada tahap ini biasanya kemarahan sudah mereda dan lanjut usia

dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang sedang

terjadi dengan dirinya. Namun pada tahap tawar menawar ini banyak

orang cenderung akan menyelesaikan urusan rumah tangga mereka

sebelum maut tiba, dan akan menyiapkan beberapa hal seperti

membuat surat dan mempersiapkan jaminan hidup bagi orang tercinta

yang ditinggalkan. Selama tahap tawar menawar ini sebaiknya

permohonan yang dikemukakan dapat dipenuhi.

d. Tahap keempat (sedih atau depresi)

Tahap ini biasanya merupakan tahap yang menyedihkan karena lanjut

usia dalam suasana sedang berkabung. Bersamaan dengan itu, lanjut

usia berusaha merelakan untuk meninggalkan semua kesenangan

yang telah dinikmatinya.

e. Tahap kelima (menerima)

Tahap ini ditandai dengan sikap menerima kematian. Menjelang saat

ini, lanjut usia telah membereskan segala urusan yang belum selesai

20

dan mungkin tidak ingin berbicara lagi karena sudah menyatakan

segala sesuatunya. Tawar menawar sudah lewat dan saat kedamaian

dan ketenangan (Ruben dalam Nugroho, 2008).

C. Usia lanjut

1. Pengertian

Usia lanjut menurut Undang-undang No. 13 tahun 1998 dinyatakan

bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai lanjut usia (Noorkasiani,

2009). Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis

yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan

berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan

dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian

terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani, 2009).

Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai dari suatu waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan

kehidupan. Menjadi tua merupakan suatu proses alamiah, yang berarti

seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan

tua. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya

kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut

memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan

semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak

proporsional (Nugroho, 2008).

Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai kelompok penduduk

yang berusia 60 tahun keatas proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya.

2. Batasan Lanjut Usia

Menurut WHO Lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 sampai

74 tahun, Lanjut usia tua (old) ialah kelompok usia 75 sampai 90 tahun,

Usia sangat tua (very old) ialah usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut

21

pendapat Sumiati (2000) Membagi periodisasi biologis perkembangan

manusia sebagai berikut: Umur 40 – 65 tahun : masa setengah umur

(prasenium), 65 tahun ke atas : masa lanjut usia (senium). Lain halnya

dengan pendapat Masdani (dalam Nugroho, 2008) Mengatakan bahwa

lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat

dibagi menjadi fase prasenium, antara 55 dan 65 tahun dan fase senium,

antara 65 tahun hingga tutup usia. Sedangkan menurut Setyonegoro

(dalam Nugroho, 2008) Pengelompokan lanjut usia sebagai berikut :

Lanjut usia (geriatric age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Untuk umur 70-75

tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80 tahun (very old).

3. Masalah yang sering dihadapi oleh usia lanjut

Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya

sebagai a series of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability

(instabilitas dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual

impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi), impairment of

vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation

(depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga

immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Kemalasari, 2010).

Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi usia lanjut adalah sebagai

berikut (Kemalasari, 2010):

a. Demensia

Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang

umumnya progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada

orang yang berusia > 65 tahun (Kemalasari, 2010).

b. Depresi

Gangguan depresi merupakan hal yang terpenting dalam problem

usia lanjut. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi

tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah

yang dihadapi usia lanjut yang membuat mereka depresi. Gejala

depresi pada usia lanjut dengan orang dewasa muda berbeda dimana

pada usia lanjut terdapat keluhan somatik (Kemalasari, 2010).

22

c. Skizofrenia

Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda

dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita

skizofrenia lambat dibanding pria. Perbedaan onset lambat dengan

awal adalah adanya skizofrenia paranoid pada tipe onset lambat

(Kemalasari, 2010).

d. Gangguan Delusi

Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapat

terjadi kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham yang

tersering yaitu : waham kejar dan waham somatik (Kemalasari,

2010).

e. Gangguan Kecemasan

Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia,

gangguan obsesif konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan

stres akut, gangguan stres pasca traumatik. Onset awal gangguan

panik pada usia lanjut adalah jarang, tetapi dapat terjadi. Tanda dan

gejala fobia pada usia lanjut kurang serius daripada dewasa muda,

tetapi efeknya sama, jika tidak lebih, menimbulkan debilitasi pada

pasien lanjut usia. Teori eksistensial menjelaskan kecemasan tidak

terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi secara spesifik bagi

perasaan yang cemas secara kronis (Kemalasari, 2010).

Kecemasan yang tersering pada usia lanjut adalah tentang

kematiannya. Orang mungkin menghadapi pikiran kematian dengan

rasa putus asa dan kecemasan, bukan dengan ketenangan hati dan

rasa integritas. Kerapuhan sistem saraf anotomik yang berperan

dalam perkembangan kecemasan setelah suatu stressor yang berat.

Usia lanjut dipandang sebagai masa degenerasi biologis yang disertai

oleh penderitaan berbagai dengan masa penyakit dan keudzuran serta

kesadaran bahwa setiap orang akan mati, maka kecemasan akan

kematian menjadi masalah psikologis yang penting pada lansia,

khususnya lansia yang mengalami penyakit kronis. Pada orang lanjut

23

usia biasanya memiliki kecenderungan penyakit kronis

(menahun/berlangsung beberapa tahun) dan progresif (makin berat)

sampai penderitanya mengalami kematian (Affandi, 2008).

f. Gangguan Somatiform

Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan

apada pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis

adalah berhati-hati. Untuk mententramkan pasien perlu dilakukan

pemeriksaan fisik ulang sehingga ia yakin bahwa mereka tidak

memliki penyakit yang mematikan. Terapi pada gangguan ini adalah

dengan pendekatan psikologis dan farmakologis (Kemalasari, 2010).

g. Gangguan konsep diri

Konsep diri yang negatif setiap individu tidak terlepas dari berbagai

stressor, dengan adanya stressor akan menyebabkan

ketidakseimbangan dalam diri sendiri. Sehingga koping akan bersifat

merusak (destruktif). Koping destruktif akan menimbulkan rasa

bermusuhan yang dilanjutkan dengan individu menilai dirinya

rendah, tidak berguna, tidak berdaya, tidak berarti takut dan

mengakibatkan perasaan bersalah. Proses ini akan menimbulkan

respon yang maladaptive berupa kekacauan identitas, harga diri

rendah dan depersonalisasi (Suliswati, 2005).

h. Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain

Riwayat minum / ketergantungan alkohol biasanya memberikan

riwayat minum berlebihan yang dimulai pada masa remaja / dewasa.

Mereka biasanya memiliki penyakit hati. Sejumlah besar usia lanjut

dengan riwayat penggunaan alkohol terdapat penyakit demensia

yang kronis seperti ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff.

Presentasi klinis pada usia lanjut termasuk terjatuh, konfusi, higienis

pribadi yang buruk, malnutrisi dan efek pemaparan. Zat yang dijual

bebas seperti kafein dan nikotin sering disalahgunakan. Di sini harus

diperhatikan adanya gangguan gastrointestiral kronis pada usia lanjut

24

pengguna alkohol maupun tidak obat-obat sehingga tidak terjadi

suatu penyakit medik (Kemalasari, 2010).

i. Gangguan Tidur

Usia lanjut adalah faktor tunggal yang paling sering berhubungan

dengan peningkatan prevalensi gangguan tidur. Fenomena yang

sering dikeluhkan usia lanjut daripada usia dewasa muda adalah

gangguan tidur, ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari

Secara klinis, usia lanjut memiliki gangguan pernafasan yang

berhubungan dengan tidur dan gangguan pergerakan akibat medikasi

yang lebih tinggi dibanding dewasa muda. Disamping perubahan

sistem regulasi dan fisiologis, penyebab gangguan tidur primer pada

usia lanjut adalah insomnia. Selain itu gangguan mental lain, kondisi

medis umum, faktor sosial dan lingkungan. Ganguan tersering pada

usia lanjut pria adalah gangguan rapid eye movement (REM). Hal

yang menyebabkan gangguan tidur juga termasuk adanya gejala

nyeri, nokturia, sesak napas, nyeri perut.

Keluhan utama pada usia lanjut sebenarnya adalah lebih banyak

terbangun pada dini hari dibandingkan dengan gangguan dalam

tidur. Perburukan yang terjadi adalah perubahan waktu dan

konsolidasi yang menyebabkan gangguan pada kualitas tidur pada

usia lanjut (Kemalasari, 2010).

D. Konsep diri

1. Pengertian

Konsep diri adalah pengetahuan individu tentang diri, citra subjektif

dari diri dan percampuran yang komplek dari perasaan, sikap dan persepsi

(Perry & Potter, 2005).

Konsep diri merupakan semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan

dan pendirian yang diketahui individu dalam berhubungan dengan orang

lain. Ide-ide, pikiran, perasaan dan keyakinan ini merupakan persepsi

yang bersangkutan tentang karakteristik dan kemampuan interaksi dengan

25

orang lain dan lingkungan, nilai yang dikaitkan dengan pengalaman dan

objek sekitarnya serta tujuan dan idealismenya (Suliswati, dkk, 2005).

Konsep diri berkembang secara bertahap dimulai dari bayi yang

dapat mengenali dan membedakan orang lain. Proses yang

berkesinambungan dari perkembangan konsep diri dipengaruhi oleh

pengalaman interpersonal dan kultural yang memberikan perasaan positif,

memahami kompetensi pada area yang bernilai bagi individu dan

dipelajari melalui akumulasi kotak-kontak sosial dan pengalaman dengan

orang lain.

Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan

pengalamannya dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri ini dipelajari

melalui pengalaman pribadi setiap individu, hubungan dengan orang lain

dan interaksi dengan dunia luar dirinya (Suliswati, dkk, 2005).

2. Komponen konsep diri

a. Citra tubuh

Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik

disadari atau tidak disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang

mengenai ukuran dan bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh.

Citra tubuh sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring

dengan persepsi da pengalaman-pengalaman baru. Citra tubuh harus

realistis karena semakin dapat menerima dan menyukai tubuhnya

individu akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan.

(Suliswati, dkk, 2005).

Citra tubuh adalah persepsi seseorang tentang tubuh, baik

secara internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup perasaan

dan sikap yang ditujukan pada tubuh. Citra tubuh dipengaruhi oleh

pandangan pribadi tentang karakteristik dan kemampuan fisik serta

persepsi dari pandangan orang lain (Perry & Potter, 2005). Konsep

diri yang baik tentang citra tubuh adalah kemampuan seseorang

menerima bentuk tubuh yang dimiliki dengan senang hati dan penuh

rasa syukur serta selalu berusaha untuk merawat tubuh dengan baik.

26

Faktor predisposisi gangguan citra tubuh meliputi kehilangan

atau kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi), perubahan

ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan dan

perkembangan serta penyakit), proses patologik penyakit dan

dampaknya terhadap struktur maupun fungsinya, prosedur

pengobatan seperti radiasi, kemoterapi dan transplantasi (Suliswati,

dkk, 2005).

b. Ideal diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia

seharusnya bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar

dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan atau sejumlah

inspirasi, tujuan, nilai yang diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-

cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-norma sosial di

masyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri.

Seseorang yang memiliki konsep diri yang baik tentang ideal diri

apabila dirinya mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan

kemampuan yang ada pada dirinya dan sesuai dengan apa yang

diinginkannya.

Pembentukan ideal diri dimulai pada masa kanak-kanak

dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan

harapan atau tuntutan tertentu. Seiring dengan berjalannya waktu

individu menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk

dasar dari ideal diri (Suliswati, dkk, 2005).

c. Harga diri

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai

dengan menganalisis seberapa banyak kesesuaian tingkah laku

dengan ideal dirinya. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang

lain yaitu dicintai, dihormati dan dihargai. Individu akan merasa

harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan, sebaliknya

individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami

kegagalan, tidak dicintai atau diterima lingkungan. Pada masa

27

dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya tantangan

baru sehubungan dengan pensiun, ketidakmampuan fisik, brepisah

dari anak, kehilangan pasangan dan sebagainya (Suliswati, dkk,

2005). Seseorang memiliki konsep diri yang baik berkaitan dengan

harga diri apabila mampu menunjukkan keberadaannya dibutuhkan

oleh banyak orang, dan menjadi bagian yang dihormati oleh

lingkungan sekitar.

Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Manusia

cenderung bersikap negatif, walaupun ia cinta dan mengenali

kemampuan orang lain namun ia jarang mengekspresikannya. Harga

diri akan rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan dari

orang lain serta mengalami ketidakmampuan pada dirinya dan juga

sebaliknya (Perry & Potter, 2005).

Faktor predisposisi gangguan harga diri meliputi penolakan

dari orang lain, kurang penghargaan, pola asuh yang salah, terlalu

dilarang, terlalu dikontrol, terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak

konsisten, persaingan antar saudara, kesalahan dan kegagalan yang

berulang, dan tidak mampu mencapai standar yang ditentukan

(Suliswati, dkk, 2005).

d. Peran

Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan

yang diharapkan oleh masyarakat dihubungkan dengan fungsi

individu didalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana

untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara

untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti

(Suliswati, dkk, 2005). Individu dikatakan mempunyai konsep diri

yang baik berkaitan dengan peran adalah adanya kemampuan untuk

berperan aktif dalam lingkungan, sekaligus menunjukkan bahwa

keberadaannya sangat diperlukan oleh lingkungan.

Faktor predisposisi gangguan peran meliputi tiga kategori

transisi peran yaitu perkembangan. Setiap perkembangan dapat

28

menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap tahap perkembangan

harus dilalui individu dengan menyelesaikan tugas perkembangan

yang berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stressor bagi peran diri.

Kedua adalah transisi situasi, yaitu transisi situasi terjadi sepanjang

daur kehidupan bertambah / berkurang orang yang berarti melalui

kematian / kelahiran. Misalnya status sendiri menjadi berdua /

menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran

yang dapat menimbulkan ketegangan peran. Ketiga adalah transisi

sehat sakit, yaitu stressor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan

konsep diri, termasuk didalamnya gambaran diri, identitas diri, harga

diri dan peran diri (Perry & Potter, 2005).

e. Identitas diri

Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat

diperoleh dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, menyadari

individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Identitas diri

merupakan sintesis dari semua aspek konsep diri sebagai suatu

kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan,

atribut atau jabatan serta peran. Seseorang yang memiliki perasaan

identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan

orang lain, dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan

berharga, kemampuan dan penguasaan diri. Dalam identitas diri ada

otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, respek terhadap diri,

mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri (Suliswati,

dkk, 2005).

Pencapaian identitas diperlukan untuk hubungan yang intim

karena identitas seseorang diekspresikan dalam berhubungan dengan

orang lain. Seksualits adalah bagian dari identitas seseorang.

Identitas seksual adalah gambaran seseorang tentang diri sebagai pria

atau wanita dan makna dari citra tubuh (Perry & Potter, 2005).

29

Faktor predisposisi gangguan identitas diri meliputi

ketidakpercayaan, tekanan dari teman dan perubahan struktur sosial.

Masalah spesifik sehubungan dengan konsep diri adalah situasi yang

membuat individu sulit menyesuaikan diri atau tidak dapat menerima

khususnya trauma emosi seperti penganiayaan fisik, seksual dan

psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya

atau menyaksikan kejadian berupa tindakan kejahatan (Suliswati,

dkk, 2005).

E. Hubungan konsep diri dengan kecemasan

Konsep diri merupakan hasil eksplorasi diri seseorang berdasarkan

pengalamannya. Konsep diri berkembang dari bayi hingga usia lanjut sehingga

setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi dan meniru

perilaku dari orang lain yang diinginkannya (Suliswati, dkk, 2005).

Seseorang dengan konsep diri yang positif dapat mengeksplorasi

dunianya secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya

sukses. Konsep diri yang positif berasal dari pengalaman positif yang

mengarah pada kemampuan pemahaman.

Konsep diri berkaitan erat dengan cara pandang seorang mengenai

siapa dirinya, bagaimana memberi identitas pada diri sendiri, menilai, dan

melihat faktor-faktor lain di luar diri yang dapat dijadikan sebagai komponen

konsep diri. Hurlock menjelaskan bahwa konsep diri berkaitan dengan

komponen fisik, komponen psikologis, dan komponen mengenai harga diri

berupa sikap terhadap statusnya (Hurlock, 1999). Masing-masing komponen

konsep diri inilah yang akan berkontribusi dan menentukan apakah seseorang

memiliki konsep diri yang positif mengenai dirinya ataukah konsep diri yang

negatif mengenai dirinya orang-orang yang mempunyai konsep diri yang stabil

dan berdiferensiasi dengan baik akan lebih baik dalam mengatasi stres

dibandingkan dengan orang yang memiliki konsep diri yang labil.

Sedangkan seiring berjalannya waktu, seseorang akan mengalami

masa dari muda hingga tua. Banyak penyesuaian yang harus dilakukan saat

30

orang telah memasuki usia lanjut. Usia lanjut merupakan usia yang rentan

terhadap terjadinya masalah, salah satunya adalah masalah penyakit dan

menghadapi kematian. Ketidakmampuan usia lanjut untuk menerima keadaan

diirnya dengan baik menunjukkan adanya konsep diri yang negatif. Konsep

diri yang terganggu ini akan menimbulkan ketidakmampuan individu berfikir

secara realitas sehingga akan menimbulkan kecemasan (Suliswati, dkk, 2003).

F. Kerangka teori

Gambar 2.1 Kerangka teori

Sumber : Stuart dan Sundeen (1998), Suliswati, dkk (2005)

Kecemasan usia lanjut menghadapi kematian

Faktor presdisposisi kecemasan : • Peristiwa traumatik • Konflik emosional • Konsep diri • Frustasi • Gangguan fisik • Pola mekanisme

koping • Riwayat gangguan

kecemasan • Medikasi

Faktor presipitasi Kecemasan : Ancaman terhadap integritas fisik Ancaman terhadap Harga diri, Citra tubuh, Ideal diri, Peran dan identitas diri

Tahapan kematian: - Penyangkalan (Denial) - Marah (Anger) - Menawar (Bargaining) - Depresi (Depression) - Penerimaan (Acceptanc)

31

G. Kerangka konsep

Gambar 2.2 Kerangka konsep

H. Variabel penelitian

1. Variabel bebas (independent) dalam penelitian ini adalah konsep diri usia

lanjut yang terdiri dari citra tubuh, ideal diri, harga diri, peran dan identitas

diri.

2. Variabel terikat (dependent) dalam penelitian ini adalah kecemasan usia

lanjut dalam menghadapi kematian.

I. Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian adalah :

1. Ada hubungan antara citra tubuh dengan kecemasan usia lanjut dalam

menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten

Pati.

2. Ada hubungan antara ideal diri dengan kecemasan usia lanjut dalam

menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten

Pati.

Variabel bebas Variabel terikat

Citra tubuh

Kecemasan usia lanjut

Ideal diri

Peran

Identitas diri

Harga diri

32

3. Ada hubungan antara harga diri dengan kecemasan usia lanjut dalam

menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten

Pati.

4. Ada hubungan antara peran dengan kecemasan usia lanjut dalam

menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten

Pati.

5. Ada hubungan antara identitas diri dengan kecemasan usia lanjut dalam

menghadapi kematian di Desa Gembong Kecamatan Gembong Kabupaten

Pati.