bab ii tijauan pustaka 2.1 sistem refrigerasi 2.1.1...

51
BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 Pendahuluan Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih rendah dari temperatur lingkungannya. Kinerja mesin refrigerasi kompresi uap ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas pendinginan kapasitas pemanasan,daya kompresi, koefisien kinerja dan faktor kinerja.Sesuai dengan konsep kekekalan energi, panas tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat dipindahkan.Sehingga refrigerasi selalu berhubungan dengan proses-proses aliran panas dan perpindahan panas. Pada dasarnya sistem refrigerasi dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Sistem refrigerasi mekanik Sistem refrigerasi ini menggunakan mesin-mesin penggerak atau dan alat mekanik lain dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem refrigerasi mekanik di antaranya adalah: a. Siklus Kompresi Uap (SKU) b. Refrigerasi siklus udara c. Kriogenik/refrigerasi temperatur ultra rendah d. Siklus sterling Universitas Sumatera Utara

Upload: hoangtuyen

Post on 01-Feb-2018

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Refrigerasi

2.1.1 Pendahuluan

Refrigerasi merupakan suatu proses penarikan kalor dari suatu

benda/ruangan ke lingkungan sehingga temperatur benda/ruangan tersebut lebih

rendah dari temperatur lingkungannya. Kinerja mesin refrigerasi kompresi uap

ditentukan oleh beberapa parameter, diantaranya adalah kapasitas pendinginan

kapasitas pemanasan,daya kompresi, koefisien kinerja dan faktor kinerja.Sesuai

dengan konsep kekekalan energi, panas tidak dapat dimusnahkan tetapi dapat

dipindahkan.Sehingga refrigerasi selalu berhubungan dengan proses-proses aliran

panas dan perpindahan panas.

Pada dasarnya sistem refrigerasi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Sistem refrigerasi mekanik

Sistem refrigerasi ini menggunakan mesin-mesin penggerak atau dan alat

mekanik lain dalam menjalankan siklusnya. Yang termasuk dalam sistem

refrigerasi mekanik di antaranya adalah:

a. Siklus Kompresi Uap (SKU)

b. Refrigerasi siklus udara

c. Kriogenik/refrigerasi temperatur ultra rendah

d. Siklus sterling

Universitas Sumatera Utara

Page 2: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2. Sistem refrigerasi non mekanik

Berbeda dengan sistem refrigerasi mekanik, sistem ini tidak memerlukan

mesin-mesin penggerak seperti kompresor dalam menjalankan siklusnya. Yang

termasuk dalam sistem refrigerasi non mekanik di antaranya:

a. Refrigerasi termoelektrik

b. Refrigerasi siklus absorbsi

c. Refrigerasi steam jet

d. Refrigerasi magnetic dan Heat pipe

Dewasa ini, penerapan siklus-siklus refrigerasi hampir meliputi seluruh

aspek kehidupan kita sehari-hari.Industri refrigerasi dan tata udara telah

berkembang sangat pesat dan sangat variatif, demi memenuhi kebutuhan pasar

yang sangat bervariasi.

2.1.2 Siklus Kompresi Uap

Dari sekian banyak jenis-jenis sistem refigerasi, namun yang paling umum

digunakan adalah refrigerasi dengan sistem kompresi uap.Komponen utama dari

sebuah siklus kompresi uap adalah kompresor, evaporator, kondensor dan katup

expansi.

Kondensor

Kompresor

Evaporator

Katup expansi

1

23

4

Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 3: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Pada siklus kompresi uap, di evaporator refrigeran akan ‘menghisap’

panas dari lingkungan sehingga panas tersebut akan menguapkan refrigeran.

Kemudian uap refrigeran akan dikompres oleh kompresor hingga mencapai

tekanan kondensor, dalam kondensor uap refrigeran dikondensasikan dengan cara

membuang panas dari uap refrigeran ke lingkungannya. Kemudian refrigeran akan

kembali di teruskan ke dalam evaporator. Dalam diagram P-h siklus kompresi uap

ideal dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

Gambar 2.2 Diagram P – h siklus kompresi uap ideal (Himsar Ambarita, 2010)

Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap seperti pada gambar

2.2 diatas adalah sebagai berikut:

a. Proses kompresi (1-2)

Proses ini dilakukan oleh kompresor dan berlangsung secara isentropik

adiabatik. Kondisi awal refrigeranpada saat masuk ke dalam kompresor adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 4: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami kompresi refrigeranakan menjadi

uap bertekanan tinggi. Karena proses ini berlangsung secara isentropik, maka

temperatur ke luar kompresor pun meningkat. Besarnya kerja kompresi per satuan

massa refrigeran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan:

qw= h1– h2 (1)

dimana : qw = besarnya kerja kompresor (kJ/kg)

h1 = entalpi refrigeran saat masuk kompresor (kJ/kg)

h2= entalpi refrigeran saat keluar kompresor (kJ/kg)

b. Proses kondensasi (2-3)

Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan

tinggi dan bertemperatur tinggi yang berasal dari kompresor akan membuang

kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti bahwa di dalam

kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran dengan lingkungannya

(udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran ke udara pendingin yang

menyebabkan uap refrigeran mengembun menjadi cair. Besar panas per satuan

massa refrigeran yang dilepaskan di kondensor dinyatakan sebagai:

qc = h2 – h3 (2)

dimana : qc = besarnya panas dilepas di kondensor (kJ/kg)

h1 = entalpi refrigeran saat masuk kondensor (kJ/kg)

h2= entalpi refrigeran saat keluar kondensor (kJ/kg)

c. Proses expansi (3-4)

Universitas Sumatera Utara

Page 5: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini berarti tidak terjadi

perubahan entalpi tetapi terjadi drop tekanan dan penurunan temperatur, atau

dapat dituliskan dengan:

h3 = h4 (3)

Proses penurunan tekanan terjadi pada katup expansi yang berbentuk pipa

kapiler atau orifice yang berfungsi untuk mengatur laju aliran refrigeran dan

menurunkan tekanan.

d. Proses evaporasi (4-1)

Proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur

konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh cairan

refrigeran yang bertekanan rendah sehingga refrigeran berubah fasa menjadi uap

bertekanan rendah. Kondisi refrigeran saat masuk evaporator sebenarnya adalah

campuran cair dan uap, seperti pada titik 4 dari gambar 2.2 diatas.

Besarnya kalor yang diserap oleh evaporator adalah:

Qe = h1 – h4 (4)

dimana : qe= besarnya panas yang diserap di evaporator (kJ/kg)

h1 = entalpi refrigeran saat keluar evaporator (kJ/kg)

h2= entalpi refrigeran saat masuk evaporator (kJ/kg)

Selanjutnya, refrigeran kembali masuk ke dalam kompresor dan

bersirkulasi lagi. Begitu seterusnya sampai kondisi yang diinginkan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

tercapai.Untuk menentukan harga entalpi pada masing-masing titik dapat dilihat

dari tabel sifat-sifat refrigeran.

Setelah melakukan perhitungan untuk beberapa jenis refrigerant yang

sering dipakai di Indonesia, didapat nilai COP (Coefficient of Performance)

sebagai fungsi temperatur kondensasi ditampilkan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Nilai COP dari beberapa jenis refrigerant

T(oC)

Refrgt

40 45 50 55 60 65 70

R12 5,58 4,75 4,21 3,65 3,22 2,84 2,48

R600 5,08 4,34 3,69 3,18 2,77 2,44 2,14

R134a 4,92 5,05 3,92 3,34 2,90 2,54 2,18

R22 5,47 4,75 4,98 3,97 3,26 2,78 2,44

2.2 Refrigerant

Refrigerant adalah fluida kerja utama pada suatu siklus refrigerasi yang

bertugas menyerap panas pada temperatur dan tekanan rendah dan membuang

panas pada temperatur dan tekanan tinggi. Umumnya refrigerant mengalami

perubahan fasa dalam satu siklus. Media pendingin (cooling media) adalah media

yang digunakan untuk mengantarkan efek refrigerasi ke tempat yang

membutuhkan. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Sistem pendingin udara

pada unit yang besar, seperti bangunan komersial, menempatkan siklus pendingin

Universitas Sumatera Utara

Page 7: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

terpusat pada suatu tempat. Dan ruangan yang menggunakan efek refrigerasi

relatif jauh dari unit ini, untuk keperluan ini adalah lebih baik menggunakan

medium lain daripada harus mensirkulasikan refrigerant ke tiap ruangan. Medium

yang lain inilah yang disebut medium pendingin atau sering juga diistilahkan

refrigerant sekunder. Medium yang umum digunakan adalah air, glycol, dan

larutan garam. Cairan absorbent (liquid absorbent) adalah cairan yang digunakan

untuk menyerap uap refrigerant. Istilah ini hanya dijumpai pada siklus absorpsi.

Contoh yang umum dijumpai adalah lithium bromida dan ammonia.

2.2.1 Tatanama Refrigerant

Umumnya refrigerant mempunyai nama kimia yang cukup panjang dan

kompleks, misalnya CCl2FCClF2. DuPont mengusulkan sistem penamaan dengan

menyingkat dengan huruf depan “R” atau kadang ditulis “Freon” dan diikuti

beberapa angka. Sistem ini diusulkan untuk umum sejak tahun 1956 dan masih

digunakan sampai saat ini.

1. Angka pertama dari kanan adalah jumlah atom Fluorin dalam ikatan

2. Angka kedua dari kanan adalah jumlah atom Hidrogen ditambah 1

3. Angka ketiga dari kanan adalah jumlah atom Karbon dikurangi 1 (Jika nol tidak

dipakai)

4. Angka keempat dari kanan adalah jumlah ikatan unsaturated karbonkarbon

senyawa (Jika nol tidak digunakan)

tambahan:

Universitas Sumatera Utara

Page 8: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

a. Jika atom Bromin ada pada tempat Klorin, rumus yang sama dapat digunakan

dengan menambahkan huruf B setelah nama induknya. Huruf B diikuti dengan

angka yang mengatakan jumlah atom Bromin yang ada.

b. Huruf kecil yang mengikuti nama suatu refrigerant (Misalnyahuruf ”a” pada R

134a) adalah menyatakan kecenderungan isomer simetri yang terbentuk.

Urutannya dimulai dari a, b, dan c. Huruf c menyatakan ketidak simetrian.

Contoh:

1. CHClF2 (Atom F =2, Atom H+1 = 2, Atom C – 1 = 0) Ditulis R-22.

2. CCl3F (Atom F = 1, Atom H+1 = 1, Atom C-1 = 0) Ditulis R-11.

3. CF3CH2F (Atom F=4, Atom H+1=3, Atom C-1=1) Ditulis R-134a, karena

kehadiran polimer yang cenderung simetri.

2.2.2 Keamanan Refrigerant

Refrigerant dirancang untuk ditempatkan didalam siklus tertutup atau tidak

bercampur dengan udara luar. Tetapi, jika ada kebocoran karena sesuatu hal yang

tidak diinginkan, maka refrigerant akan keluar dari system dan bisa saja terhirup

manusia. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka refrigerant harus

dikategorikan aman atau tidak aman. Ada dua faktor yang digunakan untuk

mengklassifikasikan refrigerant berdasarkan keamanan, yaitu bersifat racun

(toxicity) dan bersifat mudah terbakar (flammability). Berdasarkan toxicity,

refrigerants dapat dibagi dua kelas, yaitu kelas A bersifat tidak beracun pada

Universitas Sumatera Utara

Page 9: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

konsentrasi yang ditetapkan dan kelas B jika bersifat racun. Batas yang digunakan

untuk mendefinisikan sifat racun atau tidak adalah sebagai berikut.

Refrigerant dikategorikan tipe A jika pekerja tidak mengalami gejala

keracunan meskipun bekerja lebih dari 8 jam/hari (40 jam/minggu) di lingkungan

yang mengandung konsentrasi refrigerant sama atau kurang dari 400 ppm (part

per million by mass). Sementara kategori B adalah sebaliknya. Berdasarkan

flammability, refrigerant dibagi atas 3 kelas, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Yang

disebut kelas 1 jika tidak terbakar jika diuji pada tekanan 1 atm (101 kPa)

temperature 18,30C. Kelas 2 jika menunjukkan keterbakaran yang rendah saat

konsentrasinya lebih dari 0,1 kg/m3 pada 1 atm 21.10C atau kalor pembakarannya

kurang dari 19 MJ/kg. Kelas 3 sangat mudah terbakar. Refrigerant ini akan

terbakar jika konsentrasinya kurang dari 0,1 kg kg/m3 atau kalor pembakarannya

lebih dari 19 MJ/kg. Berdasarkan defenisi ini, sesuai standard 34-1997,

refrigerants diklassifikasikan menjadi 6 kategori, yaitu:

1. A1: Sifat racun rendah dan tidak terbakar

2. A2: Sifat racun rendah dan sifat terbakar rendah

3. A3: Sifat racun rendah dan mudah terbakar

4. B1: Sifat racun lebih tinggi dan tidak terbakar

5. B2: Sifat racun lebih tinggi dan sifat terbakar rendah

6. B3: Sifat racun lebih tinggi dan mudah terbakar

Universitas Sumatera Utara

Page 10: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2.3 Siklus Kompresi Uap dengan Water Heater

Water heater di letakan di antara setelah bagian kompresor dan sebelum

kondensor karena proses pemanasan air pada water heater tersebut menggunakan

panas buangan dari kondensor dimana pada umumnya suhu Freon yang keluar

dari kompresor AC dibuang pada kondensor.

Dengan adanya water heater, aliran panas itu dibelokkan dulu kedalam

tangki air dingin sebelum masuk ke kondensor sehingga terjadi kontak

perpindahan panas dari pipa AC dan air di dalam tangki. Pipa AC yang keluar dari

kompresor langsung di alirkan dahulu ke dalam heat exchanger berupa pipa spiral

dalam tangki dan air yang semula dingin pun memanas, begitupula sebaliknya

suhu Freon yang panas menurun, setelah melewati pipa spiral dalam tangki

barulah kemudian pipa AC kembali diarahkan ke kondensor. Untuk memperoleh

air panas AC harus menyala dulu, bila ingin mendapat air panas pagi hari, AC

dinyalakan malam sebelumnya minimal 3 jam.

Adapun manfaat dari siklus kompresi uap dengan water heater adalah:

Hemat Biaya

Daya Tahan lebih lama

Aman

Air panas yang diperoleh stabil.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.3.Mesin Pendingin siklus kompresi uap hybrid (Himsar Ambarita,

2010)

Gambar 2.4.Instalasi Siklus kompresi uap dan water heater (Himsar Ambarita,

2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 12: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.5. Diagrm P-h siklus kompresi uap hibrid (Himsar Ambarita, 2010)

Proses-proses yang terjadi pada siklus kompresi uap hybrid seperti pada

gambar 2.5 diatas adalah sebagai berikut:

1-1’= proses berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan, temperatur

konstan) di dalam evaporator. Panas dari lingkungan akan diserap oleh

cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga refrigerant berubah

fasa menjadi uap bertekanan rendah. Kondisi refrigerant saat masuk

evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap.

1’-2= proses berlangsung di antara evaporator dan compressor, dimana tekanan

konstan (isobar).

2-3= proses berlangsung dilakukan oleh compressor dan berlangsung secara

isentropik adibatik. Kondisi awal refrigerant pada saat masuk ke dalam

compressor adalah uap jenuh bertekanan rendah, setelah mengalami

kompresi refrigerant akan menjadi uap bertekanan tinggi. Karena proses

ini berlangsung secara isentropic, maka temperature ke luar kompresor pun

meningkat.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

3-4= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat.

Dimana uap refrigerant dari kompressor akan di kompres hingga mencapai

tekanan kondensor.

4-.5= proses ini berlangsung di dalam water heater dalam kondisi superheat.

dimana panas refrigerant yang telah di kompres oleh compressor

dibelokkan ke dalam koil pemanas di dalam tangki sebelum masuk ke

dalam kondensor.

5-6= proses berlangsung di antara water heater dan kondensor dengan tekanan

konstan (isobar). Dimana panas refrigerant sudah menurun, karena sudah

diserap oleh air di dalam tangki water heater.

6-.7=Proses ini berlangsung didalam kondensor. Refrigeran yang bertekanan

tinggi dalam kondisi superheat yang berasal dari water heater akan

membuang kalor sehingga fasanya berubah menjadi cair. Hal ini berarti

bahwa di dalam kondensor terjadi pertukaran kalor antara refrigeran

dengan lingkungannya (udara), sehingga panas berpindah dari refrigeran

ke udara pendingin yang menyebabkan uap refrigeran mengembun

menjadi cair.

7-8= proses berlangsung di antara kondensor ke katup expansi, dimana tekanan

dan temperature sudah menurun.

8-9= proses expansi ini berlangsung secara isoentalpi. Hal ini tidak terjadi

perubahan entalpi tetapi tejadi drop tekanan dan penurunan temperatur.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

9-1= proses ini berlangsung secara isobar isothermal (tekanan konstan,

temperature konstan) di dalam evaporator. Dimana panas dari lingkungan

akan di serap oleh cairan refrigerant yang bertekanan rendah sehingga

refrigerant berubah fasa menjadi uap bertekan rendah. Kondisi refrigerant

saat masuk evaporator sebenarnya adalah campuran cair dan uap.

2.4. Perpindahan Panas Konveksi Alamiah / Natural

Konveksi Alamiah (natural convection),atau konveksi bebas (free

convection), terjadi karena fluida yang, karena proses pemanasan, berubah

densitasnya (kerapatannya), dan bergerak naik. Syarat terjadinya perpindahan

panas konveksi adalah terdapat aliran fluida, jika tidak ada fluida maka bukan

konveksi namanya. Perpindahan panas dan aliran fluida adalah dua hal yang

berbeda. Pada bagian ini perpindahan panas yang menginisiasi aliran fluida.

Karena perbedaan temperatur, massa jenis fluida akan berbeda, dimana fluida

yang suhunya lebih tinggi menjadi lebih ringan. Sebagai akibatnya, fluida akan

mengalir dengan sendirinya atau tanpa adanya gaya luar. Aliran fluida yang

timbul juga akan mengakibatkan perpindahan panas dan sebaliknya perpindahan

panas akan mengakibatkan aliran fluida. Keduanya, perpindahan panas dan aliran

fluida, saling mempengaruhi, inilah yang disebut konveksi natural. Aplikasi dari

fenomena ini di bidang engineering sangat luas. Aliran udara di atmosfer dan

aliran arus air di biosfer dapat dijelaskan dengan konveksi natural, demikian juga

proses pengkondisian udara (Air conditioning), kondensor, pengeringan, solar

collector, dll. Akhir-akhir ini topik konveksi natural mendapat tempat yang

khusus dan makin populer bagi para peneliti yang fokus pada sustainable energi.

Perpindahan panas konveksi paksa adalah perpindahan panas dimana dimana

Universitas Sumatera Utara

Page 15: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

fluidanya dipaksa mengalir, misalnya dengan menggunakan pompa atau blower.

Dengan kata lain, aliran fluida tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diakibatkan

oleh oleh gaya luar. Pada bagian ini akan dibahas fenomena konveksi yang lain,

dimana aliran fluida terjadi secara alami, sebagai akibat perpindahan panas yang

terjadi. Konveksi inilah yang disebut konveksi natural atau kadang disebut

konveksi bebas dalam bahasa Inggris disebut natural convection atau free

convection.

Contoh sederhana dari fenomena ini banyak dijumpai di sekitar kita.

Misalnya naiknya asap rokok secara natural. Temperatur pembakaran yang terjadi

pada tembakau rokok adalah lebih kurang 10000C, temperatur ini akan

memanaskan udara disekitar ujung rokok yang terbakar. Udara panas ini akan

lebih ringan dari udara sekililingnya karena udara dengan temperatur lebih tinggi

akan mempunyai kerapatan lebih rendah. Akibatnya udara akan terapung dan naik

ke atas dan meninggalkan ruang kosong. Udara yang lebih dingin disekitarnya

akan mengalir, untuk mengganti udara pada daerah yang ditinggalkan oleh udara

yang naik. Maka terjadilah aliran udara secara natural.

2.4.1 Gaya apung (Buoyancy force)

Misalnya sebuah plat yang panas diletakkan pada posisi vertikal di udara

terbuka yang awalnya diam. Setelah beberapa saat akan terlihat aliran udara di

sekitar plat vertikal tersebut. Aliran udara di sekitar plat tersebut akan berada di

dalam lapisan batas, yang biasa disebut boundary layer. Di luar lapisan batas ini

fluida akan dianggap diam karena bergerak dengan kecepatan relatif kecil, seperti

ditunjukkan pada Gambar 2.6 Perbedaan temperatur fluida di dalam dan di luar

Universitas Sumatera Utara

Page 16: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

lapisan batas akan menyebabkan perbedaan rapat massa fluida. Oleh karena itu

gaya gravitasi pada tiap-tiap partikel fluida akan berbeda.

Asumsi yang umum digunakan untuk dapat menurunkan persamaan

pembentuk aliran pada udara di sekitar plat vertikal ini adalah: aliran 2D,

incompressibel, sifat fisik konstan. Untuk memunculkan efek dari perbedaan

kerapatan sebagai gaya pendorong aliran fluida, maka pada persamaan momentum

arah vertikal, gaya gravitasi harus diperhitungkan.

Gambar 2.6 Konveksi natural pada plat vertikal yang panas (Himsar Ambarita,

2010)

Dengan menggunakan asumsi-asumsi yang telah disebutkan, maka persamaan

pembentuk aliran menjadi:

Kontinuitas: (5)

Momentum arah-x:

Universitas Sumatera Utara

Page 17: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

∂∂

+∂∂

+∂∂

−=∂

∂+

∂∂

2

2

2

2

yu

xu

xp

yuv

xuu µ

ρρ (6)

Momentum arah-y

gyv

xv

yp

yvv

xvu ρµ

ρρ−

∂∂

+∂∂

+∂∂

−=∂

∂+

∂∂

2

2

2

2

(7)

Energi

∂∂

+∂∂

=∂∂

+∂∂

2

2

2

2

yT

xT

ck

yTv

xTu

pρ (8)

Persamaan-persamaan ini, masih dapat disederhanakan lagi dengan

menggunakan asumsi-asumsi tambahan. Asumsi tambahan yang digunakan antara

lain: distribusi tekanan searah sumbu-x dapat dianggap konstan, sehingga

0=∂∂ xp . Selanjutnya turunan tekanan searah sumbu-y dapat dianggap sama

dengan turunan tekanan hidrostatis fluida diam diluar lapisan batas. Atau dalam

bentuk persamaan menjadi:

dydp

yp h=

∂∂ (9)

Dengan menggunakan defenisi tekanan hidrostatis gyp rh ρ−= ,dimana rρ

adalah massa jenis fluida yang diam diluar lapisan batas. Sebagai catatan fluida

yang ada di luar lapisan batas, biasa disebut fluida referensi. Hasil differensiasi

persamaan (9) adalah:

gdydp

rh ρ−= (10)

Universitas Sumatera Utara

Page 18: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Jika persamaan (10) dan (9) disubstitusi ke persamaan (7), maka akan di dapat:

( )gyv

xv

yvv

xvu r ρρµ

ρρ−+

∂∂

+∂∂

=∂

∂+

∂∂

2

2

2

2

(11)

Perbedaan massa jenis pada persamaan (11) biasa dikenal sebagai

perbedaan massa jenis semu, pseudo-density difference. Pendekatan Boussinesq

dapat digunakan untuk mengubah perubahan rapat massa ini menjadi perbedaan

temperatur. Dengan menganggap udara bertindak sebagai gas ideal, maka massa

jenis udara dapat dinyatakan dengan persamaan:

[ ])(1 rr TT −−= βρρ (12)

Dimana rT1=β adalah koefisien ekspansi volume gas. rT adalah

temperatur fluida pada suhu referensi, yaitu suhu diluar lapisan batas. Jika

persamaan ini disubstitusi ke persamaan (11), dan massa jenis dapat dianggap

konstan, maka persamaan menjadi:

( )rTTgyv

xv

yvv

xvu −+

∂∂

+∂∂

=∂∂

+∂∂

βρµ

2

2

2

2

(13)

Persamaan (13) ini untuk selanjutnya akan digunakan sebagai pengganti

persamaan (7). Sebagai catatan ada dua perbedaan utama antara persamaan (13)

dan persamaan (7). Pertama, rapat massa dapat dianggap konstan (tidak perlu

dihitung lagi). Kedua, gaya yang bekerja pada partikel udara, sekarang sudah

bukan lagi fungsi rapat massa tetapi telah berubah menjadi fungsi temperatur.

Dengan kata lain, seandainya distribusi temperatur diketahui, maka distribusi

kecepatan akan dapat dihitung. Model inilah, persamaan (13), yang telah diikuti

selama puluhan tahun untuk menyelesaikan permasalah konveksi natural. Dan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

model ini juga yang akan digunakan buku ini untuk menjelaskan timbulnya gaya

apung yang menyebabkan fluida bergerak sendiri.

Pada persamaan (13) khususnya bagian paling kanan dari persamaan itu.

Jika temperatur plat lebih tinggi dari temperatur fluida, maka temperatur fluida di

sekitar plat vertikal akan lebih besar dari temperatur fluida referensi, atau .

Maka suku yang paling kanan akan berharga positif, artinya gaya yang timbul

mengarah ke atas. Inilah yang menjelaskan kenapa partikel fluida akan naik dan

sesuai dengan yang ditampilkan di Gambar 2.5. Sekarang jika yang terjadi

sebaliknya, temperatur plat lebih dingin dari fluida di sekitarnya. Maka temperatur

fluida di dekat plat vertikal akan lebih kecil dari temperatur fluida referensi, atau

. Maka suku paling kanan dari persamaan (13) akan negatif atau gaya yang

timbul mengarah ke bawah. Jika ini yang terjadi, maka aliran fluidanya akan

seperti Gambar 2.6 harus mengarah ke bawah. Pada prinsipnya kedua masalah ini

adalah sama, yang membedakannya hanya arah gaya apungnya.

Gambar 2.7 Konveksi natural pada plat vertikal yang dingin (Himsar Ambarita, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 20: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah, parameter yang selalu dihitung

hanya ada satu yaitu bilangan Nu yang menyatakan koefisien perpindahan panas.

Karena fluida mengalir sendiri maka koefisien gesekan atau faktor gesekan tidak

perlu dihitung. Bedakan pada konveksi paksa permasalahan selalu ada dua, yaitu

Nu dan CRfR atau f. Pada konveksi natural ini hanya satu yaitu Nu.

2.4.2 Bilangan tanpa dimensi

Pada kasus-kasus konveksi paksa persamaan empirik yang digunakan

untuk mencari bilangan Nusselt dinyatakan dengan bilangan tanpa dimensi yaitu

bilangan Reynolds. Sementara pada konveksi natural akan digunakan bilangan

tanpa dimensi yang lain. Untuk mengetahui bilangan tanpa dimensi yang akan

digunakan, maka persamaan pembentuk aliran harus diubah ke dalam bentuk

tanpa dimensi. Parameter-parameter tanpa dimensi yang digunakan adalah:

LxX = ,

LyY = ,

VuU = ,

VvV = dan

rs

r

TTTT

−−

=θ (14)

Pada persamaan (14) huruf besar menyatakan bilangan tanpa dimensi. L adalah

panjang plat vertikal dan V adalah kecepatan rata-rata fluida. Jika persaman (14)

didifferensialkan, akan didapat:

xL

X ∂=∂1 , y

LY ∂=∂

1 , uV

U ∂=∂1 , v

VV ∂=∂

1 , dan TTT rs

∂−

=∂)(

1θ (15)

Substitusi persamaan (15) ke dalam persamaan (13) dan dilakukan sedikit

manipulasi akan didapat persamaan:

Universitas Sumatera Utara

Page 21: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

∂∂

+∂∂

+

×

=∂∂

+∂∂

2

2

2

2

222

2

2

32 )(

XV

YV

LVLV

LTrTsgYVV

XVU

ρµθ

ρµ

µβρ

(16)

Bagian yang di dalam kurung kurawal adalah bilangan-bilangan tanpa dimensi.

Dengan mengelompokkan semua bilangan tanpa dimensi menjadi satu group,

maka persamaan (16) dapat ditulis menjadi:

∂∂

+∂∂

+=∂∂

+∂∂

2

2

2

2

2 Re1

Re XV

YVGr

YVV

XVU L θ (17)

Dimana LGr adalah Bilangan Grashof yang dirumuskan dengan:

2

32 )(µ

βρ LTTgGr rsL

−= (18)

Dan bilangan Reynolds, sama dengan defenisi pada konveksi paksa, yaitu:

µρ LV

=Re (19)

Sebagai catatan, bilangan tanpa dimensi yang lebih sering digunakan

untuk menuliskan rumus empirik pada kasus-kasus konveksi natural adalah

bilangan Rayleigh biasa disebut sebagai Rayleigh number yang didefenisikan

sebagai:

ναβ 3)( LTTgRa rs

L−

= (20)

Dimana ρµν = adalah viskositas kinematik, dan pck ρα = adalah difusivitas

termal. Hubungan antara bilangan Rayleigh dan bilangan Grashof didapat dengan

membandingkan persamaan (18) dan persamaan (20).

Universitas Sumatera Utara

Page 22: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

PrLL GrRa = (21)

Dengan cara yang sama, persamaan energi pada persamaan (8), dapat

diubah dengan menggunakan parameter-parameter tanpa dimensi pada persamaan

(14) dan turunannya pada persamaan (15). Persamaan energi pada persamaan (8),

dalam bentuk tanpa dimensi menjadi:

∂∂

+∂∂

=∂∂

+∂∂

2

2

2

2

PrRe1

YXYV

XU θθθθ (22)

2.4.3. Penyelesaian Analitik Konveksi Natural

Seperti yang telah dijelaskan, tujuannya sekarang adalah mencari koefisien

perpindahan panas konveksi. Persamaan ini dapat dihitung dengan menyelesaikan

dulu persamaan pembentuk aliran untuk mendapatkan distribusi temperatur.

Dengan distribusi temperatur yang diketahui akan dapat dicari koefisien konveksi

natural. Dengan kata lain, untuk mendapatkan persamaan koefisien perpindahan

panas pada lapisan batas, maka persamaan differensial pembentuk aliran harus

diselesaikan, yaitu persamaan (8) dan persamaan (13). Menyelesaikan persamaan

ini secara teori ada dua metode yang bisa dilakukan yaitu cara analitik dan cara

numerik. Pada bagian ini akan dibahas cara analitik. Meskipun konveksi alamiah

bisa terjadi pada berbagai bentuk permukaan, tetapi yang akan dibahas secara

analitik adalah hanya pada plat vertikal. Telah disebutkan pada bagian

sebelumnya bahwa ada dua kemungkian kasus konveksi natural pada plat vertikal.

Pertama temperatur permukaan plat lebih tinggi daripada fluida disekitarnya dan

kedua temperatur permukaan plat lebih rendah dari fluida di sekitarnya. Kedua

Universitas Sumatera Utara

Page 23: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

kasus ini adalah sama dan hanya arahnya yang berbeda. Oleh karena itu

penyelesaian analilitik hanya akan fokus pada satu kasus yang pertama seperti

yang ditampilkan pada Gambar 2.8

Kasus yang dianalisis di sini adalah sebuah plat vertikal yang panjangnya L

dan temperatur permukaannya sT berada pada fluida diam yang mempunyai

temperatur ∞T . Tetapi untuk memmudahkan pembahasan temperatur fluida ini

akan disebut temperatur referensi, rT . Yang harus dicari pada kasus ini adalah

profil kecepatan, profil temperatur, tebal lapisan batas, dan koefisien konveksi

pada permukaan plat vertikal. Pada lapisan batas, setelah mengalami

penyederhanaan persamaan yang akan diselesaikan akan dituliskan kembali.

0=∂∂

+∂∂

yv

xu (23)

( )rTTgxv

yvv

xvu −+

∂∂

=∂∂

+∂∂ β

ρµ

2

2

(24)

2

2

xT

ck

yTv

xTu

p ∂∂

=∂∂

+∂∂

ρ (25)

Persamaan (24) dan persaman (25) masing-masing diperoleh dari persamaan (13)

dan persamaan (8). Penyederhanaan ini didapat dengan menggunakan fakta bahwa

di dalam lapisan batas 02222 ≈∂∂=∂∂ yTyv . Kondisi batas untuk ketiga persamaan

ini adalah:

0=x , 0== vu , dan sTT = (26)

δ=x , 0=v , 0=∂∂xv , dan rTT = , 0=

∂∂

xT (27)

Universitas Sumatera Utara

Page 24: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Dan sebagai kondisi batas tambahan dari persaman (26) jika dimasukkan ke

persamaan (24), akan diperoleh:

µβρ )(

02

2rs

y

TTgxv −

−=∂∂

=

(28)

Setelah mereview beberapa text book heat transfer, ada dua jenis

penyelesaian yang umum digunakan untuk menyelesaikan persamaan yang

ditampilkan di atas beserta dengan kondisi batasnya. Pertama menggunakan

metode similaritas seperti yang digunakan oleh Ostrach (1953) dan kedua

menggunakan metode integral yang diajukan secara terpisah oleh Squire dan

Goldstein, selanjutnya akan disatukan dan disebut persamaan Squire-Goldstein.

Pembahasan masing-masing dipublikasikan oleh Eckert dan Drake (1987) dan

Goldstein (1930).

Penyelesaian dengan menggunakan metode similaritas dapat dilihat pada

buku Incropera (2006). Pada buku ini, penyelesaian analitik untuk konveksi

natural di sekitar plat vertikal yang akan digunakan adalah formulasi Eckert-

Goldstein. Tetapi, langka-langkah penyelesaiannya tidak akan ditampilkan

seluruhnya, bagi yang ingin lebih mendalami cara penyelesaiannya pembaca bisa

membacanya pada buku yang ditulis oleh Lienhart (2003).

Hasil pengintegralan dari persamaan energi, persamaan (25), adalah profil

temperatur yang merupakan fungsi jarak horizontal dari permukaan (x) diusulkan

berbentuk parabola dengan persaman:

2

+

+=

−−

δδxcxba

TTTT

rs

r (29)

Universitas Sumatera Utara

Page 25: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Dengan syarat batas untuk temperatur dari persamaan (26) dan persamaan

(27), koefisien a, b, dan c dapat dihitung. Jika diselesaikan akan didapat nilai

masing-masing a=1, b=-2, dan c=1. Substitusi nilai-nilai ini ke persamaan (29)

akan menghasilkan persamaan profil temperatur di dalam lapisan batas.

2

1)(

−×−+=

δxTTTT rsr (30)

Persamaan ini membuktikan bahwa temperatur suatu titik di lapisan batas

tergantung pada posisi titik itu dari permukaan dan tebal lapisan batasnya δ .

Meskipun belum diturunkan rumus untuk tebal lapisan batas ini tetapi,

berdasarkan visualisasi pada Gambar 2.7 tebal lapisan batas ini merupakan fungsi

y.

Berikutnya adalah untuk profil kecepatan. Untuk membuat profil

kecepatan tanpa dimensi, di sini diusulkan suatu kecepatan karakteristik yang

merupakan fungsi jarak vertikal )( ycV . Pada posisi y yang sama, kecepatan ini

adalah konstan sepanjang x. Persamaan kecepatan karakterstik ini akan

dirumuskan kemudian. Hasil pengintegralan persamaan (25) disusulkan profil

kecepatan tanpa dimensi berupa persamaan jarak pangkat tiga, atau dituliskan:

32

)(

+

+

=

δδδydycy

Vv

yc

(31)

Koefisien c dan d didapat dengan menggunakan syarat batas pada persamaan (26)

dan persamaan (27), dan hasilnya c = -2 dan d=1. Dengan menggunakan angka ini

profil kecepatan di dalam lapisan batas adalah:

Universitas Sumatera Utara

Page 26: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2

)( 1

−×=

δδxxVv yc (32)

Sekarang dengan menggunakan profil kecepatan dan profil temperatur yang sudah

dihitung ini kecepatan karakteristik dapat dihitung dan dan tebal lapisan batas

dapat dihitung. Caranya substitusi persamaan (30) dan persamaan (32) ke dalam

persamaan (25) dan integralkan. Caranya memang sangat panjang dan berliku,

bagi yang serius silahkan merujuk pada Lienhart (2003). Pada bagian ini hanya

hasilnya yang akan ditampilkan. Persamaan mencarai kecepatan karakteristiknya

adalah:

( )2

Pr21203Pr)( δ

µρβ rs

c

TTgyV

−×

+= (33)

Dan tebal lapisan batas

25,025,0

2PrPr952,0936,3 −×

+

= yGryδ (34)

Koefisien perpindahan panas konveksi akan dirumuskan dengan defenisi yang

telah dijelaskan diatas dan persamannya adalah:

rs

x

TTxTkh

−∂∂−

= =0)( (35)

Dengan menggunakan persaman distribusi temperatur pada persamaan (30) akan

diperoleh persaman koefisien konveksi lokal:

δkhy

2= (36)

Dan akhirnya bilangan Nusselt lokal sebagai fungsi jarak y dari sisi masuk adalah:

Universitas Sumatera Utara

Page 27: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

25,025,0

Pr952,0Pr508,0Nu

+

= yy Ra (37)

Bilangan Nusselt rata-rata didapat dengan mengintegralkan persamaan (37)

sepanjang L dan hasilnya:

25,025,0

Pr952,0Pr678,0Nu

+

= LRa (38)

Persamaan-persamaan ini digunakan dengan sifat fisik dievaluasi pada temperatur

film )(21

rsf TTT += , kecuali β harus dievaluasi pada temperatur referensi rT .

2.4.4 Persamaan Empirik Konveksi Natural permukaan Luar

Persamaan mencari bilangan Nu yang diturunkan secara analitik dan

menghasilkan persamaan (38) didapat dengan asumsi bahwa aliran adalah

laminar. Validasi yang dilakukan dengan cara eksperimen membuktikan adanya

penyimpangan dari persaman tersebut dengan hasil eksperimen. Hal ini, salah

satunya diakibatkan adanya efek turbulensi. Penentuan kondisi aliran pada kasus

konveksi natural adalah menggunakan bilangan Ra yang telah didefenisikan pada

persamaan (20). Pada penyelesaian analitik yang telah telah ditampilkan di atas,

karena diturunkan dengan asumsi untuk aliran laminar maka hanya pada bilangan

Ra yang rendah sebaiknya persamaan itu dipakai. Sementara untuk bilangan Ra

yang lebih besar persamaan tersebut tidak disarankan. Meskipun demikian, bentuk

dasar persamaan tersebut memberikan informasi bahwa bilangan Nu dari suatu

masalah konveksi natural dapat dirumuskan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 28: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

mLCRa=Nu (39)

Dimana C dan m adalah konstanta yang tergantung pada permukaan, jenis fluida

dan besar bilangan Rayleigh.

Permasalahannya sekarang adalah mencari konstanta C dan m yang sesuai untuk

suatu kasus konveksi natural. Kedua konstanta ini dihitung dengan menggunakan

data-data eksperimen. Dengan menggunakan data-data eksperimen yang baik

maka seorang peneliti dapat mengajukan konstanta yang sesuai, cara inilah yang

dikenal dengan cara membangun persamaan empirik. Beberapa peneliti telah

mengajukan persamaan untuk beberapa kasus yang akan ditampilkan pada bagian

berikut. Persamaan akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan kondisi

permukaan apakah untuk temperatur konstan atau untuk flux konstan.

2.4.5 Bidang vertikal

Arah aliran fluida akibat konveksi natural pada bidang vertikal mempunyai

dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida

sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih

rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif

persamaan mencari nilai bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang

berbeda. Kedua kemungkinan ini sudah ditampilkan pada Gambar 2.6 dan

Gambar 2.7

a. Untuk bidang vertikal dengan sT konstan

Universitas Sumatera Utara

Page 29: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang

bidang L dan dinyatakan dengan LRa . Untuk kasus ini ada beberala alternatif

yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat dijumpai pada

McAdams (1954), Warner dan Arpaci (1968), dan Bayley (1955), yaitu:

25,059,0Nu LRa= untuk 94 1010 ≤≤ LRa (40)

311,0Nu LRa= untuk 139 1010 ≤< LRa (41)

Kedua persamaan benar-benar sangat mirip dengan persamaan (39). Keunggulan

dari persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana sehingga mudah

untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti. Untuk meningkatkan

ketelitiannya persamaan yang direkomendasikan Churchill dan Chu (1975) dapat

digunakan.

2

278169

61

])Pr492,0(1[387,0825,0Nu

++= LRa (42)

Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaRLR. Dan jika

ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah 910≤LRa ,

Churchill dan Chu (1975) menyarankan persamaan berikut:

94169

41

])Pr492,0(1[67,068,0Nu

++= LRa (43)

Meskipun kedua persamaan ini mempunyai bentuk yang sangat berbeda

dengan hasil analitik pada persamaan (38), tetapi pada kasus tertentu dapat

memberikan hasil yang sama. Telah disebutkan bahwa penyelesaiaan analitik

didapatkan dengan asumsi bahwa aliran yang terjadi adalah laminar dimana

Universitas Sumatera Utara

Page 30: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

bilangan RaRLR kecil. Jika bilangan ini kecil, bagian kanan dari persamaan (42)

dan persamaan (43) akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu untuk

kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,825P2P ≈ 0,68. Demikian juga hasil

analitik pada persamaan (38) akan mendekati 0,678. Kesimpulannya memberikan

angka yang sama. Tetapi sebaliknya jika bilangan RaRLR besar masing-masing

persamaan ini akan menyimpang dan disarankan menggunakan yang sesuai

rekomendasi.

b. Bidang vertikal dengan flux q ′′ konstan

Plat vertikal yang dipanasi dengan flux panas q ′′ [W/mP2P] sangat cocok

memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat

seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur tidak

diketahui, maka temperatur yang digunakan pada persamaan adalah temperatur

rata-rata, dan dirumuskan dengan persamaan:

( )hqTT rs

′′=− (44)

Dengan menggunakan persaman ini bilangan RaRLR dapat dihitung.

Kemudian, bilangan Nu dapat dihitung dengan menggunakan persaman yang

diajukan oleh Churchill dan Chu (1975).

2

278169

61

])Pr437,0(1[387,0825,0Nu

++= LRa (45)

Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak

sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan (44) untuk menghitung beda

temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h. Sementara ini masih

Universitas Sumatera Utara

Page 31: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

harus dihitung pada persamaan (45). Oleh karena itu masalah ini harus

diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h, kemudian

dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda temperatur ini akan

digunakan menghitung RaRLR, dan akhirnya Nu dapat dihitung. Nilai h hasil

tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai Nu yang baru didapat. Jika

tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima, maka perhitungan bisa

dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus diulang lagi sampai hasilnya

sama atau perbedaannya dapat diterima.

2.4.6 Bidang miring

Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan

90PoP. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut

kemiringannya kurang dari 90PoP. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi

natural, maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan

kemiringannya harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas

dimiringkan dengan sudut kemiringan 090<θ terhadap vertikal ditampilkan pada

Gambar 2.8.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.8 Konveksi natural pada bidang miring (Himsar Ambarita, 2010)

Pada gambar dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut

kemiringan terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi

yang sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap

sebagai plat vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi . Maka untuk

bidang miring semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan dan

konstan dapat digunakan. Tetapi gravitasi harus diganti menjadi saat

menghitung bilangan Ra.

(46)

Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat

vertikal, persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan. Kita

tinggal memilih persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.

2.4.7 Bidang Horizontal

Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi

natural pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang

horizontal tidak terjadi konveksi natural. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah

Universitas Sumatera Utara

Page 33: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

bagaimana mendefenisikan panjang perpindahan panas. Hal ini perlu dijelaskan

karena percepatan gravitasi adalah tegak lurus terhadap bidang horizontal. Pada

kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan

menghitung bilangan RaRLR adalah panjang karakteristik yang didefenisikan

dengan persamaan: KAL = (47)

Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingya.

Dengan menggunakan panjang karakteristik ini bilngan RaRLR dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan (20). Pola konveksi natural pada permukaan

horizontal dapat dibagi dua. Masing-masing dijelaskan pada bagian berikut.

a. Permukaan atas yang panas atau permukan bawah yang dingin.

Pola ini ditunjukkan pada Gambar 2.9 Pada bagian kiri gambar tersebut

bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai

akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan karena

lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kiri digambarkan sebaliknya

bidang horizontal yang dingin berada pada fluida yang lebih panas. Fluida yang

bersentuhan dengan bidang akan lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi

lebih berat dan akan mengalir turun.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.9 Konveksi natural pada bidang horizontal (type a) (Himsar Ambarita,

2010)

Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya arah

alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu dapat digunakan

persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran (1974):

Untuk :

(48)

Untuk

(49)

b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas

Pola ditunjukkan pada Gambar 2.10 Pada bagian kiri gambar ditunjukkan

bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir

ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida

dibawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan arah yang

berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.10 Konveksi natural pada bidang horizontal (type b) (Himsar Ambarita,

2010)

Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan

yang dituliskan pada buku Incropera (2006).

(50)

Persamaan ini berlaku untuk .

2.4.8 Konveksi natural pada permukaan silinder

Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpai di bidang engineering

adalah silider. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi

horizontal seperti heat exchanger jenis shell and tube. Pada bagian akan

ditampilkan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural

dari bidang silinder.

a. Silinder vertical

Universitas Sumatera Utara

Page 36: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

D

L

Ts

Tr

Gambar 2.11 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 2010)

Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan sT ditampilkan pada

Gambar 2.11 Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L berada pada

fluida fluida yang mempuyai temperatur rT . Jika temperature permukaan silinder

lebih panas daripada fluida. Maka fluida di sekitar silinder akan mengalir naik.

Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih lebih dingin daripada fluida, maka

fluida di sekitar silinder akan turun. Kedua kasus ini akan memberikan bialngan

Nu yang sama.

Jika diameter silinder cukup besar maka, dapat dianggap sama dengan

bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk bidang

vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang dikategorikan besar

adalah:

25,0

35

LGrLD ≥ (51)

Persamaan (40) sampai dengan persamaan (45) dapat digunakan asal semua syarat

memenuhi.Tetapi jika persamaan (40) tidak dipenuhi lagi, silinder vertikal akan

Universitas Sumatera Utara

Page 37: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

dikategorikan tipis dan persamaan menghitung bilangan Nu nya akan khusu. Le

Fevre dan Ede (1956) merekomendasikan persamaan berikut:

DLRaL

Pr)6364(35Pr)315272(4

Pr)2120(5Pr7

34Nu

25,0

++

+

+

= (52)

Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali β saat

menghitung RaRLR menggunakan temperatur fluida.

b. Silinder Horizontal

Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai termperatur lebih

panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada Gamabr 2.12.

DL

Ts

Tr

Gambar 2.12 Konveksi natural pada silinder vertikal (Himsar Ambarita, 2010)

Untuk kasus ini, jika bilangan 1210≤DRa , persamaan berikut dapat digunakan,

Churchill dan Chu (1975):

2

278169

61

])Pr559,0(1[387,06,0Nu

++= DRa (53)

Universitas Sumatera Utara

Page 38: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2.4.9 Konveksi natural pada Bola

Bentuk permukaan terakhir yang akan ditampilkan adalah konveksi

natural pada permukaan bola. Jika permukaan bola lebih panas daripada fluida di

sekitarnya, maka fluida yang berada di dekat permukaan bola akan naik. Pada

permukaan akan terjadi perpindahan panas konveksi natural seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.13

Gambar 2.13 Konveksi natural pada bola (Himsar Ambarita, 2010)

Jika permukaan yang mengalami konveksi natural berbentuk bola dengan diamter

D maka persamaan berikut, Churchill (1983), dapat digunakan:

9416/9

25,0

]Pr)/469,0(1[589,02Nu

++= DRa (54)

Syarat menggunakan persamaan ini adalah 1110≤DRa dan 7,0Pr ≥ .

Universitas Sumatera Utara

Page 39: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Sebagai catatan, semua persamaan yang ditampilkan pada bagian ini

menggunakan sifat-sifat fisik fluida yang dievaluasi pada temperatur film,

2)( rsf TTT += , kecuali untuk gas nilai koefisien ekspansi dihitung pada temperatur

fluidu referensi rT1=β .

Pada water heater pemanasannya berlangsung secara konveksi natural

dari koil ke air.Pada water heater bentuk koilnya terdiri dari beberapa gabungan

elbow, vertikal, dan horizontal.Sementara untuk persamaan-persamaan dari

bentuk koil elbow, vertikal, dan horizontal tidak ada tersedia secara teori.Oleh

karena itu, maka diperlukan penyelesaian dengan simulasi menggunakan

perangkat lunak Computational Fluid Dinamycs (CFD).

2.5. Computational Fluid Dinamycs (CFD)

Dalam aplikasinya, aliran fluida baik cair maupun gas adalah suatu zat

yang sangat kentara dengan kehidupan sehari – hari. Misalnya pengondisian udara

bagi bangunan dan mobil, pembakaran di motor bakar dan sistem propulsi,

interaksi berbagai objek dengan udara atau air, aliran kompleks pada penukar

panas dan reactor kimia, dan lain sebagainya, yang mana cukup menarik untuk

diteliti, diselidiki dan dianalisis. Untuk kebutuhan penelitian tersebut bahkan

sampai dengan tingkat desain, perlu dibutuhkan suatu alat yang mampu

menganalisis atau memprediksi dengan cepat dan akurat. Maka berkembanglah

suatu ilmu yang dinamakan Computational Fluid Dynamics (CFD) yang dalam

bahasa Indonesia dikenal dengan Komputasi Aliran Fluida Dinamik.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2.5.1. Penggunaan CFD

Dalam aplikasinya CFD dapat dipergunakan bagi :

- Insinyur, khususnya dalam hal teknik refrigerasi dan Water heater untuk

mendesain tempat atau ruangan sesuai kebutuhan seperti refrigerator, Air-

Conditioner, Cold Storage, dll

- Arsitek untuk mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman.

- Desainer kendaraan untuk meningkatkan karakter aerodinamiknya.

- Analisis kimia untuk memaksimalkan hasil dari reaksi kimia dalam peralatan.

- Bidang petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery.

- Bidang kedokteran untuk mengobati penyakit arterial (computational

hemodynamics)

- Metereologis untuk meramalkan cuaca dan memperingatkan akan terjadinya

bencana alam.

- Analis failure untuk mencari sumber – sumber kegagalan misalnya pada suatu

sistem pembakaran atau aliran uap panas.

- Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimasi seberapa

besar kerusakan yang diakibatkannya.

Penggunaan CFD umumnya berhubungan dengan keempat hal berikut :

1. Studi konsep dari desain baru

2. Pengembangan produk secara detail

3. Analisis kegagalan atau troubleshooting dan Desain ulang (re – design)

Universitas Sumatera Utara

Page 41: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2.5.2. Proses Simulasi CFD

Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan ketika

melakukan simulasi pada solver CFD, yaitu sebagai berikut :

1) Preprocessing

Hal ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis

sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat membuat model dalam

paket CAD (Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai,

kemudian menerapkan kondisi batas dan sifat – sifat fluidanya.

2) Solving

Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang

diterapkan pada saat preprocessing.

3) Postprocessing

Hal ini adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan pada

langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi data hasil simulasi CFD

yang biasa berupa gambar, kurva , dan animasi.

Beberapa prosedur yang digunakan pada semua pendekatan program CFD, yaitu

sebagai berikut :

1) Pembuatan geometri dari model/problem

2) Bidang atau volume yang diisi fluida dibagi menjadi sel – sel kecil (meshing)

3) Pendefinisian model fisiknya, misalnya : persamaan – persamaan gerak +

entalpi + konversi species (zat – zat yang kita definisikan, biasanya berupa

komponen dari suatu reaktan)

Universitas Sumatera Utara

Page 42: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

4) Pendefinisian kondisi – kondisi batas, termasuk didalamnya sifat – sifat dan

perilaku dari batas – batas model/problem. Untuk kasus transient, kondisi

awal juga didefinisikan.

5) Persamaan – persamaan matematika yang membangun CFD diselesaikan

secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak (steady state) atau transient.

6) Analisis dan visualisasi dari solusi CFD.

2.5.3. Metode Diskritisasi CFD

Secara matematis CFD mengganti persamaan – persamaan diferensial

parsial dari kontinuitas, momentum dan energy dengan persamaan – persamaan

aljabar linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum

(memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel

terhingga).

Perhitungan/komputasi aljabar untuk memecahkan persamaan – persamaan

diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi), diantaranya

adalah :

- Metode beda hingga (finite difference method)

- Metode elemen hingga (finite elements method)

- Metode volume hingga (finite volume method)

- Metode elemen batas (boundary element method)

- Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)

Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menentukan kestabilan dari

program numerik/CFD yang dibuat atau program software yang ada. Oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 43: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

karenanya diperlukan kehati – hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya

cara mengatasi bagian yang kosong atau diskontinyu.

2.5.4. Langkah Penyelesain Masalah dan Perencanaan Analisis CFD

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika akan meyelesaikan suatu

kasus dengan menggunakan solver CFD, yaitu :

1) Menentukan tujuan pemodelan

2) Pembuatan model geometri dan gridnya

3) Pengaturan solver dan model fisik

4) Komputasi dan monitoring hasil

5) Pengujian dan penyimpanan hasil

6) Peninjauan ulang model fisik, jika dirasa perlu

Universitas Sumatera Utara

Page 44: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Secara umum diagram alir penyelesaian masalah dalam software CFD

dapat dilihat pada gambar 2.14 berikut.

Gambar 2.14 Alur Penyelesaian Masalah (Problem Solving)

Fluids Engineering

Preliminary Decision

what to model?

Build the model

Input to CFD SOLVER

Decided governing

Chose Discreatization Methods

Impose boundary conditions

Chose the coupling algorithm

Run

Analyze and present the results

Universitas Sumatera Utara

Page 45: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2.6. Pendekatan Numerik pada CFD

Pemodelan dengan metode komputasi pada dasarnya menggunakan

persamaan dasar dinamika fluida, momentum, dan energi. Persamaan-persamaan

ini merupakan pernyataan matematis untuk tiga prinsip dasar fisika :

1. Hukum Kekekalan Massa (The Conservation of Mass)

Konsep utama hukum ini adalah laju kenaikan massa dalam volume kontrol

adalah sama dengan laju net aliran massa fluida ke dalam elemen batas. Secara

sederhana dapat ditulis.

..mm

tM

outin∑−∑=

∂∂ (2.55)

Secara umum hukum kekekalan massa (The Conservation of Mass) 3

dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut.

0=

∂∂

+∂∂

+∂∂

+∂∂

+∂∂

+∂∂

+∂∂

zyxzw

yv

xu

tρρρρρρρρ (2.56)

Gambar 2.15 Hukum Kekekalan Massa pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi

(Himsar Ambarita, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 46: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

2. Hukum Kekekalan Momentum (The Conservation of Momentum)

Hukum kekekalan momentum ini merupakan interpretasi dari hukum ke-2

Newton (arah sumbu-x) yaitu :

xx maF =∑ (2.57)

Gambar 2.16 Hukum Kekekalan Momentum Arah Sumbu-x pada Sebuah Elemen

Fluida 3 Dimensi (Himsar Ambarita, 2010)

Secara umum hukum kekekalan momentum (The Conservation of

Momentum) arah sumbu-x 3 dimensi dapat ditulis dengan persamaan sebagai

berikut.

xzxyxxx fzyxxDt

Du ρττσρρ +∂

∂+

∂+

∂∂

+∂∂

−= (2.58)

Dengan cara dan bentuk yang sama persamaan kekekalan momentum 3

dimensi arah sumbu-y dan arah sumbu-z dapat ditulis dengan persamaan sebagai

berikut.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

xzxyxxx fzyxxDt

Du ρττσρρ +∂

∂+

∂+

∂∂

+∂∂

−=

yzyyyxy fzyxxDt

Dv ρτστρρ +∂

∂+

∂∂

+∂

∂+

∂∂

−= (2.59)

dan

zzzyzxz f

zyxyDtDw ρσττρρ +

∂∂

+∂

∂+

∂∂

+∂∂

−= (2.60)

3. Hukum kekekalan Energi (The Conservation of Energy)

Hukum ini merupakan aplikasi dari hukum ketiga fisika (termodinamika)

yaitu laju perubahan energi dalam suatu elemen adalah sama dengan jumlah net

fluks panas yang masuk ke dalam elemen dan kerja yang dikenakan pada elemen

tersebut. Pernyataan ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan :

...WQE += (2.61)

Gambar 2.17 Kerja yang Dikenakan pada Sebuah Elemen Arah Sumbu-x (Himsar Ambarita, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 48: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.18 Fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen (Himsar

Ambarita, 2010)

Secara umum kerja yang dikenakan arah sumbu-x, sumbu-y dan sumbu-z

dapat ditulis dengan persamaan sebagai berikut.

( ) ( ) ( ) ( ) Vfuz

uy

ux

ux

uW xzxyxxx

x δρστσρ

+

∂∂

+∂

∂+

∂∂

+∂

∂−=

. (2.62a)

( ) ( ) ( ) ( )Vfu

zv

yv

xv

yvW y

zyzxxyy δρ

τστρ

+

∂∂

+∂

∂+

∂∂

+∂

∂−=

. (2.62b)

( ) ( ) ( ) ( )Vfu

zw

yv

xw

zwW z

zyyzxzz δρ

σττρ

+

∂∂

+∂

∂+

∂∂

+∂

∂−=

. (2.62c)

Universitas Sumatera Utara

Page 49: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Sedangkan persamaan fluks Panas yang melintasi permukaan sebuah elemen

dapat ditulis dengan persamaan.

VzTk

zyTk

yxTk

xqQ δρ

∂∂

∂∂

+

∂∂

∂∂

+

∂∂

∂∂

+=..

(2.63)

Dengan mensubstitusi persamaan (2.62) dan (2.63) ke dalam persamaan

(2.61) di atas akan diperoleh sebuah persamaan (2.64) untuk hukum kekekalan

energi di mana i, j, k = 1, 2, 3 yang menunjukkan arah sumbu-x, -y, dan –z.

( ) ( ) φρρρρ++

∂∂

∂∂

∂∂

=∂

∂+

∂∂ .

qxu

xTk

xxcT

tcT

i

i

iii

(2.64)

Di mana Φ adalah fungsi dissipasi dengan bentuk sebagai berikut.

∂∂

+∂∂

+

∂∂

+∂∂

+

∂∂

+∂∂

+

∂∂

+

∂∂

+

∂∂

+

∂∂

+∂∂

+∂∂

=222

222

2'

222

yw

zv

xw

zu

xv

yu

zw

yv

xu

zw

yv

xu µµφ (2.65)

2.6.1.Metode Diskritisasi pada

Pada dasarnya, hanya menghitung pada titik-titik simpul mesh geometri,

sehingga pada bagian di antara titik simpul tersebut harus dilakukan interpolasi

untuk mendapatkan nilai kontinyu pada sluruh domain. Terdapat beberapa skema

interpolasi yang sering digunakan yaitu :

- First-order upwind scheme

Universitas Sumatera Utara

Page 50: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Skema interpolasi yang paing ringan dan cepat mencapai konvergen, tetapi

ketelitiannya hanya orde satu. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang fφ dalah

sama dengan nilai pusat sell φ dalam sell upstream.

Skema ini memungkinkan digunakan pada penyelesaian berbasis tekanan dan

rapatan (density).

- Second-order upwind scheme

Menggunakan persamaan yang lebih teliti sampai orde 2, sangat baik digunaan

pada mesh tri/tet dimana arah aliran tidak sejajar dengan mesh. Karena metode

interpolasi yang digunakan lebih rumit, maka lebih lambat mencapai

konvergen.

Ketika skema ini dipilih, nilai bidang fφ dikomputasi mengikuti bentuk :

∇+= γφφφ .,SOUf (2.66)

Dimana, φ dan φ∇ adalah nilai pusat sell dan gradient dalam sell upstream,

dan →

γ adalah vektor perpindahan dari pusat luasan sell upstream ke bidang

pusat luasan.

- Quadratic Upwind Interpolation (QUICK) scheme

Diaplikasikan untuk mesh quad/hex dan hybrid, tetapi jangan digunakan untuk

elemen mesh tri, dengan alian fluida yang berputar/swirl. Ketelitiannya

mencapai orde 3 pada ukuran mesh yang seragam. Untuk bidang e pada

gambar, jika aliran dari kiri ke kanan, seperti itu nilai dapat ditulis seperti itu

nilai dapt ditulis sebagai berikut;

( )

+

−+

+−+

+

++

= wss

sPssssE

sssP

sss

cu

c

cu

cu

dc

d

dc

d φφφφθφ2014 (2.67)

Universitas Sumatera Utara

Page 51: BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Refrigerasi 2.1.1 ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30916/4/Chapter II.pdf · Gambar 2.1 Skema siklus kompresi uap (Himsar Ambarita, 2010)

Gambar 2.19 volume kontrol satu dimensi

Universitas Sumatera Utara