bab ii sejarah dan masyarakat melayu langkat 2.1
TRANSCRIPT
BAB II
SEJARAH DAN MASYARAKAT MELAYU LANGKAT
2.1 Sejarah Singkat Langkat
Perkataan Langkat yang menjadi nama kabupaten yang ada di Sumatera
Utara berasal dari nama sebuah pohon yang dikenal oleh masyarakat Melayu pada
saat itu dengan istilah pohon langkat. Bentuk pohon langkat ini menyerupai pohon
langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan ini berada
di sekitar tepi sungai Langkat, maka kerajaan ini disebut dengan Kerajaan
Langkat.
Luckman Sinar (2011:100), Kerajaan Langkat didirikan oleh Raja Kahar
bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari 1750. Setelah
Raja Kahar wafat kepemimpina beliau diteruskan oleh putranya yang bernama
Badiulzaman yang bergelar Sultan Bendahara yang dimulai pada tahun 1750—
1823.
Sebutan raja dengan sebutan sultan, dimulai pada masa Tengku Musa yang
menjadi Sultan Langkat dengan gelar Sultan Musa Al-Muazzamsyah mulai tahun
1870—1896. Wilayah kekuasaan Tengku Musa sangat luas selain wilayah
Kabupaten Langkat dan Kota Binjai kekuasaan beliau hingga ke wilayah
Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh yang pada masa itu bernama Langkat
Tamiang.
Sultan Musa yang dikenal sebagai pembangun Kerajaan Langkat yang
cukup makmur dan kaya karena hasil alam yang sangat menguntungkan seperti
banyaknya perkebunan, hasil hutan, dan ditemukannya sumur minyak di kawasan
Universitas Sumatera Utara
15
Sungai Lepan di daerah Telaga Said pada tahun 1883. Pada tahun 1892 Sultan
Musa bekerja sama dengan perusahaan Belanda yang bernama Koninklijke
(Koninklijke Nederlandsche Maatschapij Tot Exploitatie van Petroliumbronnen in
Nederlandsche-Indie). Pada masa kepemimpinan Sultan Musa banyak kerajaan
kecil yang masih di bawah naungannya yaitu Stabat, Binjai, Selesai, Bahorok,
Besitang termasuk Kerajaan Tamiang dan Seruai.
Menurut Arifin (2008:33—34), Kesultanan Langkat mencapai
kejayaannya pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Aziz dan dianggap Kerajaan
Melayu terkaya yang ada di Sumatera Timur bahkan satu-satunya Kerajaan
Melayu di Sumatera Timur yang memiliki kursi dan tahta kerajaan serta kereta
kencana yang terbuat dari emas.
Sultan Abdul Aziz turun tahta pada usia 53 tahun dan digantikan oleh
putranya Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah antara tahun 1926–
1946. Sultan Abdul Aziz wafat pada tanggal 1 Juli 1927 dalam usia 54 tahun,
setahun setelah menyerahkan tahtanya kepada putranya. Pada masa kesultanan
Sultan Mahmud Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah keadaan Kerajaan Langkat
tidak semakmur masa kepemimpinan ayahandanya Sultan Abdul Aziz yang
banyak membangun sarana ibadah dan sarana pendidikan. Sultan Mahmud Abdul
Aziz Abdul Jalil Rahmadsyah hanya membangun sarana kesehatan yaitu Rumah
Sakit Tanjung Pura (dulu namanya Rumah Sakit T. Musa) pada tahun 1930 dan
memindahkan serta membangun istana barunya di Binjai.
2.1.1 Langkat Pada Masa Kependudukan Belanda
Kerajaan Langkat pada masa Kolonial Belanda dibagi dalam dua bentuk
yaitu, (1) Pemerintahan tradisional kesultanan yang dipimpin oleh Sultan Musa
Universitas Sumatera Utara
16
dan (2) Pemerintahan ala Belanda yang dipimpin dengan sebutan residen yang
bernama Morrey yang berkedudukan di Binjai (Arifin, 2008:40—43).
Tugas dan kekuasan dari asisten residen Belanda hanyalah mendampingi
sultan bagi orang-orang asing, sedangkan Sultan Musa tetap berkuasa penuh
kepada rakyat pribumi, dengan pusat kerajaannya di Tanjung Pura. Agar
terlaksananya roda pemerintahan maka, pada tahun 1881 Langkat dibagi dua yaitu
(1) Langkat Hulu dan (2) Langkat Hilir. Sultan Musa berkedudukan di Langkat
Hilir, sedangkan untuk Langkat Hulu Sultan Musa menunjuk putra tertuanya
untuk menjadi wakil sultan di Langkat Hulu. Ketika Sultan Abdul Aziz berkuasa,
asisten residen Belanda dipindahkan dari Binjai ke Tanjung Pura.
2.1.2 Langkat Pada Masa Kependudukan Jepang
Rezim Jepang mulai berkuasa di Medan dan sekitarnya pada tanggal 13
Maret 1942 yang sekaligus mengambil alih kekuasaan atau jajahan Belanda
menjadi jajahan Jepang. Otomatis Kerajaan atau Kesultanan Langkat jatuh ke
tangan Jepang. Semua istilah-istilah Belanda ditukar menjadi istilah Jepang.
Istilah keresidenan ditukar menjadi ―Syu‖ yang dikepalai oleh Syu-tyokan yang
setarap dengan residen tetapi kekuasaan Syu-tyokan setaraf dengan gubernur yang
mempunyai wewenang penuh untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri.
Dengan sistem kerja paksa (Romusha), bangsa Jepang membawa pemuda
Langkat untuk bekerja tanpa upah dalam menyelesaikan proyek mereka seperti
pembangunan lapangan terbang di Baguldah Padang Cermin Kecamatan Selesai
dan pembangunan lapangan terbang di Tanjung Beringin Hinai. Kekejaman
Jepang mengakibatkan terjadinya pemberontakan rakyat yang dikoordinir oleh
Aron. Para rakyat melawan tentara Jepang terutama pada ―Kempetai‖ di kampung
Universitas Sumatera Utara
17
Belilir Kecamatan Kuala, Tanjungpura, Pangkalan Berandan, Besitang. Di
Besitang dikenal dengan perlawanan berdarah oleh H.O.K. Nurdin yang bergelar
Datuk Setia Bakti Besitang yang menghadang satu kompi pasukan Jepang dan
akhirnya beliau tewas oleh pengeroyokan puluhan serdadu Jepang. Pada masa itu
yang yang menjabat sebagai sultan di Langkat adalah Sultan Mahmud yang
memang kurang mampu dan kurang berani dalam membela rakyatnya, karena
setiap gerak dan langkahnya selalu diintai oleh pihak Jepang. Setiap keputusan
yang akan diambil oleh Sultan Mahmud harus diketahui dan disetujui oleh
pemerintahan Jepang (Arifin, 2008:43—46).
2.1.3 Langkat Era Kemerdekaan
Berita kemerdekaan Indonesia itu belum terdengar di Medan dan Langkat
karena pada masa itu belum ada televisi sedangkan radio juga masih sulit
dipunyai. Berita kemerdekaan Indonesia baru diterima melalui telegram pada
tanggal 6 September 1945 secara berantai dari Jakarta melalui Bukit Tinggi maka,
sejak itu berkibarlah Sang Merah Putih di tanah Langkat.
Negara Republik Indonesia untuk Provinsi Sumatera secara resmi
diumumkan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan gubernur dan wakilnya yaitu
Teuku Muhammad Hasan dan Dr. M. Amir. Untuk meyakinkan raja-raja di
Sumatera Timur tentang kemerdekaan Indonesia maka Dr. M. Amir melakukan
koordinasi dan pertemuan dengan Sultan Mahmud Abdul Aziz di Istana Sultan
Langkat di Tanjung Pura pada tanggal 24 Oktober 1945. Kedatangan Dr. M.
Amir disambut oleh Sultan Mahmud Abdul Aziz yang didampingi oleh T. Amir
Hamzah yang ketika itu merupakan pangeran kerajaan Langkat atau raja muda.
Pada pertemuan itu dijelaskan bahwa Kesultanan Langkat kedudukannya adalah
Universitas Sumatera Utara
18
sebagai daerah istimewa, yang pada akhirnya melahirkan kesepakatan pertemuan
sebagai berikut, (1) Kesultanan Langkat berada di bawah perlindungan dan
naungan Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Gubernur Sumatera, (2) Tengku
Amir Hamzah diangkat dan ditetapkan menjadi asisten residen Pemerintah
Kabupaten Langkat. Ibu kotanya berkedudukan di Binjai.
Kemudian pada tanggal 26 Oktober 1945 Gubernur Sumatera
mengeluarkan surat keputusan bahwa T. Amir Hamzah ditetapkan sebagai asisten
residen Republik Indonesia untuk wilayah Langkat (setingkat dengan Bupati pada
masa sekarang). Dengan adanya penetapan tersebut maka kunci utama untuk
melancarkan jalannya pemerintahan Republik Indonesia di daerah keresidenan
Sumatera Timur adalah Sultan Langkat.
Pada 3 Maret 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang
dilakukan oleh rakyat. Rakyat menuntut agar Pemerintahan Istimewa (Sistem
Kerajaan di Sumatera Timur) dibubarkan. Revolusi ditujukan kepada golongan-
golongan yang berkhianat kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Rakyat pun
mulai menyerang istana raja-raja yaitu Deli, Langkat, Asahan, Siantar, Tanah
Karo dan lain-lain. Namun Sultan Deli yang berada di Istana Maimoon terlindungi
dari amukan rakyat karena ketika itu pendudukan serdadu Inggris di mana
pasukan Sekutu menempatkan markas mereka di Istana Maimoon sehingga
gerakan revolusi sosial tidak dapat menyerang istana Maimoon.
Rakyat menculik tokoh-tokoh feodalis Kerajaan/Kesultanan Langkat di
antaranya adalah Sekretaris Sultan Langkat yaitu Datuk M. Jamil yang sangat
radikal memihak kepada Pemerintahan Kolonial Belanda dan akhirnya tewas
ketika melawan dan menghadang rombongan yang akan memasuki istana.
Universitas Sumatera Utara
19
Penyerangan yang mengatasnamakan rakyat ini dipelopori oleh tokoh Partai
Komunis PKI Langkat serta Tokoh Pesindo Langkat.
Selain keluarga besar Sultan Mahmud yang menjadi korban revolusi
sosial, Tengku Amir Hamzah juga menjadi korban fitnah. Tengku Amir Hamzah
yang semasa hidupnya dikenal sebagai raja Penyair Pujangga Baru juga dikenal
sebagai politikus. Tengku Amir Hamzah dianggap tidak mampu bertindak tegas
sebagai seorang asisiten residen (Bupati). Maka pada tanggal 3 Maret 1945 ketika
ia bersama dengan istri dan anak tunggalnya T. Tahura Alautiah yang masih kecil
menunggu mobil jemputan, beberapa orang pemuda membawa paksa Tengku
Amir Hamzah dan dibawa sebagai tawanan di sebuah gudang di Perkebunan
Tembakau Kuala Begumit arah pedalaman Binjai. Beliau dituduh sebagai kaki
tangan Belanda dan pengkhianat Bangsa Indonesia. Maka setelah beberapa hari
beliau ditangkap dan ditawan, pada tanggal 20 Maret 1946 pukul 1.15 dini hari
Tengku Amir Hamzah dibawa ke arah Stabat dan dipancung mati di sebuah
lubang bersama 18 orang lainnya (Arifin, 2008:76).
2.1.4 Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan Dibumihanguskan Pasca-
Kemerdekaan
Belanda menguasai kota Stabat pada tanggal 22 Juli 1947, untuk menjaga
agar Belanda tidak masuk ke Tanjung Pura untuk merusak atau membakar Istana
atau rumah-rumah kosong yang ditinggalkan penghuninya ketika terjadi revolusi
sosial para pejuang menjaga di pinggiran jembatan Sungai Wampu. Namun, pada
tanggal 30 Juli 1947 Istana Mahligai, Istana Kecil Mangkubumi, Gedung
Krapatan Sultan (sekarang Gedung Museum daerah Langkat) dan 17 rumah milik
para pembesar Sultan Langkat dibakar dan dibom oleh Laskar Font Tanjung Pura
Universitas Sumatera Utara
20
yang terdiri atas Kesatria Pesindo, Barisan Merah, Laskar Mujahiddin, Laskar
Hisbullah, dan Sabilillah. Hanya Gedung Krapatan Sultan (sekarang Gedung
Museum daerah Langkat) dan sebahagian Istana Mahligai Sultan Mahmud yang
tidak hancur. Belanda menguasai Tanjung Pura pada tanggal 4 Agustus 1947,
pada tanggal 11 Agustus 1947 pasukan Komando Sektor Barat Oetara (KSBO)
meledakkan jembatan Securai agar dapat menghambat masuknya tentara Belanda
ke Pangkalan Brandan, namun pada tanggal 13 Agustus 1947 tambang minyak di
Pangkalan Brandan dibumihanguskan juga agar Belanda tidak dapat menguasai
tambang minyak tersebut (Arifin, 2008:90--105).
2.2 Profil Kabupaten Langkat dan Masyarakat Melayu Langkat
Masyarakat Melayu Langkat merupakan satu kelompok etnis Melayu yang
hidup di dalam wilayah Kabupaten Langkat, yang terletak di Provinsi Sumatera
Utara, Indonesia. Ibu kotanya berada di Stabat, dan mempunyai motto ‗Bersatu
Sekata Berpadu Berjaya‘ Kabupaten Langkat terdiri atas 23 kecamatan, 240 desa
dan 37 kelurahan dengan luas 6.320 km². Berdasarkan hasil Sensus Kabupaten
Langkat Tahun 2010, Penduduknya berjumlah 966.133 jiwa, terdiri atas 486.567
laki-laki dan 479.566 perempuan. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk
Kabupaten Langkat adalah sebesar 154 jiwa per kilo meter persegi, kecamatan
yang paling tinggi tingkat kepadatannya adalah Kecamatan Binjai dengan
kepadatan 1.005 jiwa per kilo meter persegi, sedangkan yang paling rendah
tingkat kepadatannya adalah Kecamatan Bahorok yaitu sebanyak 36 jiwa per kilo
meter persegi.
Universitas Sumatera Utara
21
2.2.1 Letak Geografis
Secara Geografis Kabupaten Langkat terletak pada posisi 3o14' LU
(Lintang Utara) s.d. 4o13' LU (Lintang Utara) dan 97
o 52' BT (Bujur Timur) s.d.
98o 45' BT (Bujur Timur).
Kabupaten Langkat yang terletak di pesisir pantai Timur Provinsi
Sumatera Utara, berbatasan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
o Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Aceh (Kabupaten Aceh
Tamiang) dan Selat Malaka.
o Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo.
o Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deliserdang dan Kota Binjai.
o Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Aceh (Kabupaten Aceh
Tenggara).
Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis kelamin
No. Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1. Bahorok 19.971 19.855 39.826
2. Serapit 8.033 7.885 15.918
3. Salapian 13.043 12.934 25.977
4. Kutambaru 6.784 6.565 13.349
5. Sei Bingai 24.007 24.156 48.163
6. Kuala 19.479 19.541 39.020
7. Selesai 34.788 34.296 69.084
8. Binjai 21.493 20.777 42.270
9. Stabat 40.386 41.233 81.619
10. Wampu 20.604 19.977 40.581
11. Batang Serangan 18.069 17.296 35.365
12. Sawit Seberang 12.622 12.575 25.197
13. Padang Tualang 23.269 23.521 46.790
14. Hinai 24.086 23.770 47.856
Universitas Sumatera Utara
22
No. Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
15. Secanggang 32.718 32.508 65.226
16. Tanjung Pura 32.507 31.835 64.342
17. Gebang 21.417 20.995 42.412
18. Babalan 28.637 27.692 56.379
19. Sei Lepan 23.758 22.947 46.705
20. Brandan Barat 11.313 10.684 21.997
21. Besitang 22.139 21.676 43.815
22. Pangkalan Susu 20.746 20.500 41.246
23. Pematang Jaya 6.648 6.348 12.996
Jumlah 486.567 479.566 966.133
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Langkat 2010
Secara Geografis Kabupaten Langkat terletak pada posisi 3o14' LU
(Lintang Utara) s.d. 4o13' LU (Lintang Utara) dan 97
o 52' BT (Bujur Timur) s.d.
98o 45' BT (Bujur Timur). Topografi wilayahnya digolongkan dalam tiga
bahagian yaitu:
o Wilayah pesisir pantai dengan ketinggian 0–4 meter dari permukaan laut.
o Wilayah dataran rendah dengan kertinggian 4–30 meter dari permukaan
laut.
o Wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 30–105 meter dari permukaan
laut.
Daerah ini dialiri oleh 26 sungai besar dan kecil, melalui kecamatan dan
desa-desa. Keberadaan sungai-sungai itu menyebabkan kondisi tanah subur,
sehingga memberikan iklim kondusif untuk pertanian dan perkebunan.Menurut
cerita rakyat setempat, selain sebagai sumber air bagi para petani, sungai-sungai
tersebut sejak abad ke-14 sudah berfungsi sebagai jalur transportasi yang
menghubungkan antara Kesultanan Langkat dengan para pedagang dari negeri
Universitas Sumatera Utara
23
Cina.Ketika itu, Kesultanan Langkat menjalin hubungan dalam hal
perniagaan.Kini, sungai-sungai itu hanya difungsikan sebagai jalur pengantar
kayu dan bambu dari daerah hulu ke hilir.
Pada masa dahulu, keberadaan sungai-sungai itu juga mempengaruhi
bentuk atau corak hunian milik orang Melayu Langkat.Rumah panggung didirikan
oleh masyarakat Melayu Langkat mengikuti alur jalan dan bukit-bukit karena
dipandang dapat menghindari luapan air dari berbagai sungai yang terdapat di
dekat daerah hunian mereka.
Nama Langkat diambil dari nama Kesultanan Langkat yang dulu pernah
ada di tempat yang kini merupakan kota kecil bernama Tanjung Pura, sekitar 20
km dari Stabat. Wilayah kecamatan yang terdapat di daerah Kabupaten Langkat
terbagi ke dalam tiga wilayah, yaitu:
I. Wilayah Langkat Hulu, yang merupakan daerah berdataran tinggi
meliputi: Kecamatan Kuala, Kecamatan Sei Bingai, Kecamatan Salapian,
Kecamatan Bahorok, Kecamatan Serapit, Kecamatan Kutambaru,
Kecamatan Selesai, dan Kecamatan Binjai.
II. Wilayah Langkat Hilir, yang merupakan daerah berdataran rendah
meliputi: Kecamatan Stabat, Kecamatan Wampu, Kecamatan Secanggang,
Kecamatan Hinai, Kecamatan Padang Tualang, Kecamatan Batang
Serangan, Kecamatan Sawit Seberang, dan Kecamatan Tanjung Pura.
III. Wilayah Teluk Haru yang merupakan daerah pantai yang meliputi:
Kecamatan Babalan, Kecamatan Gebang, Kecamatan Brandan Barat,
Kecamatan Sei Lepan, Kecamatan Pangkalan Susu, Kecamatan Besitang,
dan Kecamatan Pematang Jaya.
Universitas Sumatera Utara
24
Orang Melayu Langkat menetap di ketiga wilayah tersebut.Disebabkan
wilayah domisili mereka, masyarakat Langkat dianggap sebagai bagian dari
bangsa Melayu di Pulau Sumatera.Komunitas ini terbentuk karena migrasi atau
berpindahnya orang-orang Batak Karo yang datang dari Tanah Karo yang terletak
di selatan Kabupaten Langkat. Dengan demikian, masyarakat Melayu Langkat
memiliki garis yang sama dengan nenek moyang orang Batak Karo, terutama bagi
masyarakat Melayu Langkat di daerah Langkat Hulu (Langkat bagian barat-
selatan). Hijrahnya sekelompok orang Batak Karo ke tanah Langkat tersebut
secara otomatis menyebabkan terjadinya kontak budaya secara intens dalam
waktu relatif lama dengan masyarakat Langkat yang berada di sisi utara yang
lebih dekat dengan budaya orang Aceh. Proses asimilasi ini berangsur membuat
mereka mulai meninggalkan sistem sosial dan religi Batak Karo dan beralih
memeluk Islam.
Masyarakat Langkat menjadi bagian dari bangsa Melayu karena dua hal:
(1) lokasi bermukim dan (2) agama yang dipeluk. Hal itu termaktub dalam sebuah
pantun mengenai transformasi orang Melayu Langkat ini:
Bukan kapak sembarang kapak
Kapak untuk membelah kayu
Bukan Batak sembarang Batak
Batak sudah menjadi Melayu
Sejalan dengan ditinggalkannya tradisi Batak Karo, sementara kebudayaan
Islam mempengaruhi cara pandang hidup mereka, maka hal-hal tersebut sedikit
banyak mempengaruhi bentuk-bentuk kesenian yang muncul. Sebut saja kasidah,
marhaban, gambus, kompang, dan lain sebagainya.Selain itu, mereka juga
mengenal seni oral (tradisi lisan) dalam melantunkan hikayat, dongeng, atau syair
yang juga bernapaskan Islam.Di kalangan mereka juga berkembang kesenian
Universitas Sumatera Utara
25
berbalas pantun.Tradisi ini biasanya dilakukan mulai dari alam kandungan, lahir,
besar, akil baligh, pernikahan, sampai kematian, dan lain-lainnya.
Bahasa Melayu Langkat memiliki dialek tersendiri yang berbeda dengan
ragam dialek bahasa Melayu yang ada di Sumatera maupun Semenanjung Malaka
pada umumnya.Ciri khusus yang paling nampak ialah pada pelafalannya, seperti
penekanan dan intensitas pemakaian pada huruf /e/ lebih kentara di akhir kalimat.
Selain itu, irama tutur (intonasi) yang berbeda dengan aksen Melayu dari daerah
lain. Kendati demikian, model dialek atau gaya bahasa seperti ini kini sudah
jarang ditemui, kecuali pada orang-orang tua asli Melayu Langkat.
Selanjutnya, dalam struktur sosial masyarakat Melayu Langkat, sebuah
desa (kampung) terdiri atas beberapa dusun yang letaknya mengelompok dalam
pola tertentu.Setiap dusun dipimpin oleh seorang Kepala Lorong.Pada masa
Kesultanan Langkat, berlaku stratifikasi sosial yang membedakan antara
keturunan bangsawan dan tidak. Golongan bangsawan ialah keturunan raja yang
ditandai dengan gelar-gelar kehormatan tertentu, seperti tengku, sultan, datuk, dan
lain sebagainya.Golongan ini sangat dihormati dan disegani karena, selain
memegang kendali pemerintahan, para bangsawan inilah yang berkuasa atas
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan praktik peradatan masyarakat
Langkat.Begitu pula dengan hak atas kepemilikan tanah dan modal produksi
lainnya. Sementara bagi orang yang non-gelar bangsawan, mereka hanya bisa
menjalankan apa yang telah diputuskan dan ditetapkan para pemangku adat dan
sultan (http://www.Langkatkab.go.id, di akses 8 Maret 2012).
Universitas Sumatera Utara
26
2.2.2 Peta Kabupaten Langkat
Gambar 2.1. Peta Kabupaten Langkat
2.2.3 Lambang Kabupaten Langkat
Gambar 2.2. Lambang Kabupaten Langkat
Motto: Bersatu Sekata Berpadu Berjaya
Universitas Sumatera Utara
27
2.3 Profil Kecamatan Tanjung Pura
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat,
Sumatera Utara. Berlokasi sekitar 60 km dari Kota Medan. Luas Kecamatan
Tanjung Pura adalah 165,78 km2, dengan jumlah kelurahan sebanyak 5 kelurahan
yaitu (1) Kelurahan Lalang (2) Kelurahan Paya Perupuk (3) Kelurahan Pekan
Tanjung Pura (4) Kelurahan Pekubuan (5) Kelurahan Pematang Tengah dan
jumlah desa sebanyak 14 yaitu (1) Desa Baja Kuning (2) Desa Bubun (3) Desa
Karya Maju (4) Desa Kwala Langkat (5) Desa Kwala Serapuh (6) Desa Pantai
Cermin (7) Desa Pematang Cengal (8) Desa Pematang Cengal Barat (9) Desa
Pematang Serai (10) Desa Pulau Banyak (11) Desa Serapuh Asli (12) Desa Suka
Maju (13) DesaTapak Kuda (14) Desa Teluk Bakung. Jumlah penduduk
sebanyak 64.342 jiwa dengan jumlah laki-laki 32.507 jiwa dan jumlah penduduk
perempuan lebih sedikit yaitu 31.835 jiwa, kepadatan penduduknya 358 jiwa/km2.
Tanjung Pura merupakan salah satu titik yang dilewati oleh jalan raya
lintas Sumatera, merupakan juga kota kecil penuh kenangan bagi sebagian orang
yang pernah tinggal di sana, selain terkenal sebagai kota pendidikan, sejak zaman
dahulu Tanjungpura dikenal juga sebagai kota budaya. Kesemuanya itu terbukti
dengan adanya pahlawan nasional Tengku Hamir Hamzah penyair sederhana yang
dimakamkan di Masjid Azizi Tanjung Pura yang bertempat di depan Jalan Lintas
Sumatera atau Jalan Masjid, Tanjung Pura.
Masjid Azizi Tanjung Puraadalah salah satu masjid bersejarah dengan
arsitektur yang begitu indah dan megah di Sumatera Utara.Masjid yang dibangun
oleh Sultan Abdul Aziz, Sultan langkat pada masa itu, berdiri pada tahun 1902
Universitas Sumatera Utara
28
dengan luas areal ± 24.000 m2. Masjid dengan arsitektur yang indah dan anggun
ini dipercantik dengan hiasan-hiasan mozaik-mozaik Persia. Masjid yang berada
di pinggir jalan jurusan Medan–Banda Aceh ini setiap harinya banyak disinggahi
orang untuk shalat, bahkan tak jarang mereka mengambil kesempatan untuk
berziarah ke makam Tengku Amir Hamzah yang dikenal sebagai Raja Pujangga
Baru dunia Sastra Indonesia. Makamnya terletak persis di sisi kiri masjid
ini.Untuk mengembalikan kemegahan dan kemasyuran masjid ini, Pemerintah
Kabupaten Langkat melaksanakan Festival Azizi setiap tahunnya. Kegiatan ini
sudah merupakan kalender/event Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Langkat. Berbagai kegiatan seperti Bazaar/Pameran dan Perlombaan Seni Budaya
Islami digelar diseputar lokasi masjid. Kegiatan ini setiap tahunnya dilakukan
bersamaan waktunya dengan acara Haul Tuan Guru Besilam. Beberapa
Pemerintah Kabupaten/Kota juga turut berpartisipasi pada festival ini.
Tanjung Pura adalah pusat kerajaan lama, selain berdiri Masjid Azizidi
arealnya fasilitas penunjang kelangsungan kota terdapat pula, Lembaga
Permasyarakatan, Rumah Sakit Umum dan Kantor Pos serta bersemanyam pula
Makam Syeikh Rokan, mahaguru dari Tariqah Nasbandiah di desa Besilam
(diambli dari kata Babussalam). Hingga di zaman pembangunan silih berganti
orang-orang yang terkenal berzirah ke makam Syeih Rokan di Desa Besilam
tersebut untuk mencari ―Tuah‖.Penduduk Tanjung Pura mayoritas bersuku
Melayu 80% selebihnya pendatang terdiri atas Tionghoa, Aceh, Minang. dan
Banten.
Universitas Sumatera Utara
29
Gambar 2.3. Masjid Azizi
(Dibangun 13 Rabiul Awal 1320H, 1902 M)
Universitas Sumatera Utara