bab ii perkawinan dalam hukum munakahat...

27
12 BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Dalam hukum perkawinan Islam (munakahat) kata-kata “perkawinan” merupakan alih bahasa dari istilah : Nikah ) ح ﻧﻜﺎ( atau zawaj ) زواج( ; isim dari tazawuj ) وج ﺗﺰ( . 1 Namun menurut pendapat yang shahih; nikah arti hakekatnya adalah akad ) اﻟﻌﻘﺪ( dan wati / bersenggama ) اﻟﻮطء( sebagai arti kiasan atau majasnya. Adapun nikah menurut istilah fuqaha adalah sebagai berikut : a. Suatu akad yang menyebabkan halalnya bermesraan antara suami istri dengan cara yang sudah ditentukan oleh Allah SWT b. Nikah menurut Syara’ ialah lafal akad yang sudah terkenal itu yang mengandung beberapa rukun dan syarat 1 Luis Ma’luf, Munjid, Beirut : Daar El-Mashreq, 1975, hlm. 310 dan 836

Upload: phungthien

Post on 01-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

12

BAB II

PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT (FIQH) DAN

PERWALIAN DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh)

Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Dalam hukum perkawinan Islam (munakahat) kata-kata

“perkawinan” merupakan alih bahasa dari istilah : Nikah )نكا ح( atau zawaj

)زواج( ; isim dari tazawuj )تز وج( .1

Namun menurut pendapat yang shahih; nikah arti hakekatnya

adalah akad )العقد( dan wati / bersenggama )الوطء( sebagai arti kiasan atau

majasnya.

Adapun nikah menurut istilah fuqaha adalah sebagai berikut :

a. Suatu akad yang menyebabkan halalnya bermesraan

antara suami istri dengan cara yang sudah ditentukan

oleh Allah SWT

b. Nikah menurut Syara’ ialah lafal akad yang sudah

terkenal itu yang mengandung beberapa rukun dan

syarat

1 Luis Ma’luf, Munjid, Beirut : Daar El-Mashreq, 1975, hlm. 310 dan 836

Page 2: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

13

c. Nikah menurut syara’ ialah suatu akad yang

mengandung jaminan di perbolehkannya persetubuhan

dengan (menggunakan) lafal (yang mutlak dari) nikah,

tazwij atau terjemahannya.

Dari beberapa ta’rif yang dikemukakan oleh para fuqaha tersebut

diatas dapat ditarik kesimpulan adanya unsur-unsur pokok dalam ta’rif-

ta’rif tersebut yaitu :

1. Nikah adalah suatu akad (perjanjian antara pria dan

wanita)

2. Menghalalkan wati (bersetubuh) yang semula dilarang

(haram)

3. Akad memenuhi syarat dan rukunnya seperti dengan

sighat nikah, tazwij atau terjemahannya.2

Secara istilah arti nikah adalah akad yang telah terkenal yang

mengandung rukun-rukun serta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk

berkumpul.3 Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan nikah sebagai akad

yang menghalalkan untuk bersenang-senang diantara masing-masing

pihak atas dasar syari’at.4

2 Drs. A. Ghozali, Diktat Fiqh Munakahat, hlm. 6 3 Taqiyuddin Ibn Muhammad Abu Bakar, Kifayah al-Akhyar, hlm. 268. 4 Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal Asy-Syahsiyah, Cet. 3. (t.th, Dar Al-

Fikr Al-Arabi : 1957), hlm. 18.

Page 3: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

14

Dari beberapa pengertian tersebut, maka dapatlah kita simpulkan

bahwa yang menjadi inti pokok dari perkawinan adalah akad (perjanjian),

yaitu serah terima antara wali calon mempelai perempuan dengan calon

mempelai laki-laki. Penyerahan dan penerimaan tanggungjawab dalam

arti yang luas untuk mencapai satu tujuan perkawinan telah terjadi pada

saat akad nikah itu, disamping penghalalan bercmpur antara keduanya

sebagai suami isteri. Pengertian perkawinan dapat juga kita temukan

dalam perudangan negara kita UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

pada pasal 1 ialah :

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.5

Melihat begitu mulia tujuan perkawinan tidak saja bagi pasangan

mempelai yang bersangkutan, tetapi lebih lagi untuk menyambung dari

satu generasi ke generasi berikutnya demi kemaslahatan masyarakat dan

bangsa, maka ikatan tersebut haruslah dilangsungkan sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan maupun agama. Salah satu ketentuannya

adalah adanya wali nikah di pihak wanita sebagai salah satu rukun nikah

yang harus dipenuhi.

5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, Semarang : Aneka Ilmu, 1990, hlm. 1

Page 4: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

15

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan

manusia. Perkawinan merupakan awal kehidupan baru bagi dua insan

yang semula hidup sendiri-sendiri kemudian hidup bersama. Dengan

adanya perkawinan akan lahirlah generasi baru dari satu kehidupan

tersebut yang nantinya diharapkan akan melanjutkan sistem keluarga yang

telah ada sebelumnya.

Menurut hukum Islam, perkawinan termasuk ke dalam bidang

muamalat atau pergaulan hidup antara hubungan manusia dengan

manusia. Dengan demikian karena diatur dengan tegas dalam Al Qur’an

dan Sunnah Rasul, melaksanakan perkainan termasuk dalam mentaati

agama (syari’at).

Di dalam Undang-Undang No.1tahun 1974 pengertian perkawinan

terdapat pada pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut : “Perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagi suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”6

Ikatan lahir batin yang dimaksud pada pasal 1 tersebut adalah

bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir atau batin saja,

akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Ikatan batin ini merupakan

dasar dari ikatan lahir, ikatan batin inilah yang dapat dijadikan dasar

6 Undang-undang No. 1 Th. 1974, Ibid, hlm. 1

Page 5: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

16

fundasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.

Terlihatlah bahwa perkawinan bukan hanya menyangkut usaha lahir akan

tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur.

2. Tujuan Melakukan Perkawinan

Tujuan dari perkawinan termuat dalam pasal 1 Undang-Undang

No.1 tahun 1974 yang berbunyi :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan adala membentuk keluarga / rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ikatan lahir dan ikatan batin tersebut merupakan fondasi dalam

membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan

yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat

diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan

tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan karena sebab lain dari

kematian, diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu

pemutusan yang berbentuk perceraian hidup akan merupakan jalan

terakhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi. Selanjutnya

dinyatakan dengan tegas didalam UU No.1 1974 bahwa membentuk

keluarga yang bahagiadan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.

Tujuan perkawinan secara umum adalah untuk menjauhkan diri

dari perbuatan zina dan mendampingi kaum putrid. Oleh sebab itu nikah

Page 6: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

17

dilaksanakan dihadapan para saksi, tidak boleh sembunyi-sembunyi tanpa

saksi karena perkawinan juga untuk meneruskan keturunan untuk menjaga

nasab.7

Menurut Ny. Soemijati, SH., tujuan perkawinan dalam Islam

adalah untuk memenuhi tuntutan hajad tabiat kemanusiaan, berhubungan

antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga

yang bahagia dengan dasar cinta kasih sayang, untuk memperoleh

keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-

ketentuan yang telah diatur oleh syari’ah.8

Berdasarkan pendapat Ny. Soemijati, SH., tersebut dapat diperinci

bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menghalalkan hubungan kelamin

untuk memenuhi tuntutan hajad kemanusiaan, mewujudkan suatu keluarga

dengan dasar cinta kasih dan untuk memperoleh keturunan yang sah

berdasarkan peraturan yang tidak bertentangan dengan hukum dan agama.

3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

Agar perkawinan menjadi sah harus dipenuhi syarat-syarat

tertentu. Sahnya perkawinan menurut Hukum Islam harus memenuhi

rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut :

7 Drs. A. Ghozali, Op. Cit., hlm. 6 8 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,

1999, hlm. 27.

Page 7: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

18

1. Mempelai laki-laki

Syarat-syaratnya adalah :

a. Beragama Islam (apabila kamu dengan

perempuan Islam)

b. Terang laki-lakinya (bukan banci atau

belum jelas bahwa ia laki-laki

c. Terang orangnya )معين(

d. Tidak dipaksa; tetapi harus ikhtiar

(kemauannya) sendiri

e. Tidak sedang berikhram haji atau umrah

f. Bukan mahramnya (baik mahram nasab,

radlo’ah atau susuan, musaharoh)

g. Tidak dalam keadaan masih beristri 4 (juga

istri yang dalam iddah raj’i masih terhitung

istrinya)

h. Tidak mempunyai istri yang haram di madu

dengan bakal istrinya

2. Mempelai perempuan

Syarat-syaratnya adalah :

a. Beragama Islam / ahli kitab

b. Terang perempuannya (bukan banci atau

belum jelas jenisnya)

Page 8: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

19

c. Terang orangnya )معين(

d. Sepersetujuan dirinya (kecuali yang

walinya mujbir dengan syarat-syaratnya)

e. Tidak sedang berihram haji atau umrah

f. Bukan mahramnya, baik mahram nasab,

radla’ah (susuan) atau musaharoh

(perkawinan)

g. Tidak bersuami / dalam iddah orang lain

h. Belum pernah di li’an (dituduh berbuat

zina) oleh calon suaminya

3. Wali mempelai perempuan

Syarat-syaratnya adalah :

a. Beragama Islam

b. Baligh (dewasa)

c. Berakal sehat

d. Merdeka

e. Laki-laki (bukan banci / wanita)

f. Adil

g. Tidak dalam perjalanan ihram (ihram

haji / umrah)

h. Tidak dipaksa

4. Dua orang saksi

Page 9: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

20

Syarat-syaratnya adalah :

a. Beragama Islam

b. Baligh (dewasa)

c. Berakal sehat

d. Merdeka

e. Laki-laki (dua orang laki-laki)

f. Adil

g. Tidal dalam perjalanan haji atau umrah

h. Tidak dipaksa

i. Dapat melihat, bicara dan mendengar

serta paham maksud akad tersebut

5. Akad Nikah

Akad nikah itu tidak dapat dibenarkan dan tidak mempunyai

akibat hukum yang sah apabila belum memenuhi syarat-syaratnya

sebagai berikut :

a. Kedua orang yang melakukan akad harus sudah

baligh

b. Antara ijab dan qabul tak dapat dipisah dengan

perkataan atau perbuatan yang memalingkan

dari ijab dan qabul yakni pada tempat dan waktu

yang sama )فى مجلس واحد(

Page 10: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

21

c. Antara ijab dan qabul harus satu tujuan, tidak

boleh bertolak belakang, melainkan harus sesuai

dalam jenis kata-katanya, sama obyek

hukumnya dan sama materi akadnya

d. Masing-masing yang melakukan akad dapat

mendengarkan sebagian apa yang diucapkan

oleh orang lain

e. Calon mempelai wanita harus disebut dalam

ijab dan qabul baik dengan nama terangnya

maupun dengan ha’ dlomir )بهاء الضمير( .9

a. Syarat Umum

Syarat umum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam

pasal-pasalnya, yaitu :

a. Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau

dekat (pasal 39).

b. Larangan perkawinan karena hubungan susuan (pasal 39).

c. Larangan perkawinan karena hubungan semenda (pasal 39).

d. Larangan kawin bagi pria yang telh beristri empat (pasal 42).

9 Drs. A. Ghozali, Loc. Cit., hlm. 61

Page 11: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

22

e. Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita (bekas istri

yang ditalak tiga, diatur dalam pasal 43 ayat (1) huruf a).

f. Larangan perkawinan terhadap wanita yang dili’an (pasal 43 ayat

(1) huruf b).

g. Larangan perkawinan kerena berlainan agama (pasal 44).

b. Syarat Khusus

Syarat khusus disebut juga dengan rukun nikah diatur dalam

pasal 14 Kompilasi Hukum Islam.

1) Adanya calon suami dan calon istri.

2) Kedua calon mempelai harus Islam, dewasa dan berakal.

3) Harus ada wali nikah.

4) Harus ada dua orang saksi, Islam, dewasa dan adil.

5) Pernyataan Ijab dan Qobul. Ijab adalah suatu pernyataan kehendak

dari calon pengganti wanita yang lazimnya diwakili oleh wali.

Qobul artinya adalah suatu pernyataan penerimaan dari pihak laki-

laki atas pihak perempuan.

Syarat sahnya perkawinan didalam Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974, terdapat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) yang

menetapkan sebagai berikut :

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap

Page 12: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

23

perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan

yang berlaku.

Syarat sahnya perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974

adalah sebagai berikut :

1. Didasarkan kepada persetujuan bebas antara calon suami dan calon

istri, berarti tidak ada paksaan di dalam perkawinan.

2. Pada asasnya perkawinan itu adalah satu istri bagi satu suami dan

sebaliknya hanya satu suami bagi satu istri, kecuali mendapat

dispensasi oleh Pengadilan Agama dengan syarat-syaratnya yang

berat untuk boleh beristri lebih dari satu dan harus ada izin dari

istri pertama, adanya kepastian dari pihak suami bahwa mampu

menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak serta

jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak mereka.

3. Pria harus telah berumur 19 (sembilan belas) tahun dan wanita 16

(enam belas) tahun.

4. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua mereka,

kecuali dalam hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21

(dua puluh satu) tahun atau lebih, atau mendapatkan dispensasi

dari Pengadilan Agama apabila umur pada calon kurang lebih dari

19 dan 16 tahun.

Page 13: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

24

5. Tidak termasuk larangan-larangan perkawinan antara dua orang

yang :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah

maupun ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan kesamping yaitu

antara saudara, antara saudara dengan saudara orang tua dan

antara seseorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dengan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan dan bibi/paman

susuan.

e. Berhubungan saudara dengan istri (ipar) atau sebagai bibi atau

keponakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih

dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.

6. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain,

kecuali dispensasi oleh pengadilan.

7. Seorang yang telah cerai untuk kedua kalinya, maka diantara

mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

Page 14: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

25

8. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi

telah lampau tenggang waktu tunggu.

9. Perkawinan harus dilangsungkan menurut tata cara perkawinan

yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo

Peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 tentang Pencatatan

Nikah, Talak Dan Rujuk.

4. Pencatatan Perkawinan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku dengan tidak menjelaskan menjelaskan tentang maksud diadakan

pencatatan itu. Dalam penjelasan umum hanya dikatakan bahwa tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa

penting dalam kehidupan seseorang.

Peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang tersebut

yaitu seperti kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam surat-surat

keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa

perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bgi orang

lain dan masyarakat karena dapat dibaca dalam suatu daftar yang khusus

yang disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan,

terutama alat bukti tertulis yang otentik.

Page 15: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

26

Perbuatan pencatatan itu tidak menentukan sahnya suatu

perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang

ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Sedangkan soal

sahnya perkawinan undang-undang perkawinan dengan tegas menyatakan

dalam pasal 2 ayat (1), yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Pencatatan perkawinan dalam pelaksanannya diatur dalam Bab II

pasal 2 PP No. 9 tahun 1975, yaitu pencatatan perkawinan dari mereka

melangsungkannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai

Pencatat, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 32 tahun

1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi mereka

yang beragama selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

perundang-undangan mengenai pencatatan.

Cara melakukan pencatatan diatur dalam pasal 3 sampai pasal 9

dan pasal 11 Peraturan Pelaksanaan, yaitu PP No. 9 tahun 1975. Wantjik

Saleh dalam hukumnya Hukum Perkawinan Indonesia membagi mengenai

pencatatan menjadi empat tahapan. Empat tahapan tersebut yaitu :

1) Tahap pemberitahuan.

2) Tahap penelitian.

3) Tahap pengumuman.

4) Tahap saat pencatatan.

Page 16: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

27

Sebelum terjadinya pencatatan kedua calon mempelai atau salah

satu calon mempelai terlebih dahulu melakukan pemberitahuan.

Pemberitahuan tersebut diatur dalam Peraturan Pelaksana yaitu dalam PP

No. 9 tahun 1975, dalam pasal 3 sampai pasal 5. Pengertian

pemberitahuan adalah pemberitahuan seseorang yang akan

melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.

Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara lisan oleh salah

seorang atau kedua calon mempelai, dapat juga oleh orang tua mereka,

wali atau diwakilkan kepada orang lain. Pemberitahuan secara tertulis

dapat juga dilakukan karena pemberitahuan secara lisan tidak dapat

dilakukan. Pemberitahuan dapat juga dilakukan oleh orang lain dengan

suatu surat kuasa. Pemberitahuan harus sudah disampaikan selambat-

lambatnya sepuluh hari kerja sebelum perkawinan itu akan dilangsungkan,

kecuali dikarenakan suatu alasan yang penting seperti salah seorang calon

akan segera keluar negeri untuk menjalankan sutau tugas negara, maka

pemberitahuan itu dapat kurang lebih sepuluh hari dengan cara pengajuan

permohonan dispensasi.

Langkah yang dilakukan setelah Pegawai Pencatat menerima

pemberitahuan dari calon mempelai adalah dilakukan penelitian terutama

tentang syarat-syarat dan halangan-halangan untuk melangsungkan

perkawinan seperti diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Sesudah

Page 17: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

28

diadakan penelitian, kemudian Pegawai Pencatat Nikah mencatat dalam

buku daftar yang telah disediakan.

Pegawai Pencatat Perkawinan setelah melakukan penelitian

kemudian mengadakan pengumuman tentang pemberitahuan untuk

melangsungkan perkawinan. Pengumuman tersebut berbentuk surat

pengumuman yang ditempel pada papan pengumuman. Surat

pengumuman tersebut dalam bentuk yang ditetapkan oleh Kantor

Pencatatan Perkawinan yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat

perkawinan akan dilangsungkan dan tempat kediaman masing-masing

calon mempelai disuatu tempat yang sudah ditentukan sehingga mudah

dibaca oleh umum.

Pencatatan baru dilakukan setelah tahap pemberitahuan, penelitian

dan pengumuman telah selesai dilaksanakan. Berdasarkan pasal 11 bahwa

perkawinan dianggap telah tercatat secara resmi apabila akta perkawinan

telah ditandatangani oleh kedua mempelai, dua orang saksi, Pegawai

Pencatat Nikah atau yang mewakilinya. Penandatanganan itu dilakukan

sesaat sesudah dilangsungkannya upacara perkawinan, yakni sesudah

pengucapan akad nikah bagi yang beragama Islam.

5. Penolakan Kehendak Nikah

Penolakan kehendak nikah dilakukan apabila setelah diadakan

pemeriksaan dan ternyata tidak memenuhi syarat-syarat yang telah

Page 18: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

29

ditentukan. Penolakan tersebut harus diberitahukan kepada yang

bersangkutan disertai dengan alasan penolakannya.

Atas penolakan tersebut yang bersangkutan berhak mengajukan

keberatan atas penolakan tersebut kepada Pengadilan Agama pada wilayah

tempat tinggalnya.

Dalam pasal 21 PMA Nomor 3 tahun 1975 mengatur bahwa

Pegawai Pencatat Nikah dilarang melangsungkan pernikahan apabila ia

mengetahui adanya pelarangan dari ketentuan syarat-syarat pernikahan,

meskipun tidak ada pencegahan pernikahan.

6. Pencegahan Perkawinan

Pernikahan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi

syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan perkawinan

itu diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan

akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai

Pencatat Perkawinan.

Perkawinan dapat dicegah apabila ada pikak-pihak yang tidak

memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan mereka yang dapat

mencegah perkawinan adalah para keluarga dari garis keturunan lurus

keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah satu

calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Perkawinan juga

dapat dicegah oleh orang-orang yang tersebut diatas apabila salah seorang

dari calon mempelai berada di dalam pengampunan, sehingga dengan

Page 19: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

30

adanya perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan

bagi calon mempelai lainnya yang mempunyai hubungan dengan orang-

orang.

Pencegahan perkawinan harus diajukan kepada Pejabat Pencatat

Nikah Talak dan Rujuk yang diangkat oleh Menteri Agama berdasarkan

Peraturan Menteri Agama Nomor 3 tahun 1975 Bab VII pasal 20.

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan

Agama atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada

Pengadilan Agama oleh yang mencegahnya. Selama pencegahan belum

dicabut pernikahan tidak dapat dilangsungkan.

7. Pembatalan Perkawinan

Undang-undang Perkawinan mengatur tentang pencegahan dan

pembatalan perkawinan seperti yang tercantum dalam pasal 13 sampai

dengan pasal 20 dan pasal 22 sampai dengan pasal 28.

Antara pencegahan dan pembatalan terdapat kesamaan yaitu dalam

hal para pihak tidak dapat memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan

perkawinan.

Perbedaan antara pencegahan dan pembatalan adalah apabila

pencegahan perkawinan dilaksanakan sebelum dilangsungkan

perkawinan, sedangkan pembatalan dilaksanakan sesudah

dilangsungkannya perkawinan.

Page 20: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

31

Tidak setiap orang dapat mengajukan pembatalan perkawinan itu

ke pengadilan. Pembatalan perkawinan itu diatur dalam pasal 23 Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu sebagai berikut :

1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami

atau isteri.

2) Suami atau isteri.

3) Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum

diputuskan.

4) Pejabat yang ditunjuk oleh pasal 16 ayat 2 UU No. 1 tahun

1974.

8. Tata Cara Perkawinan

Undang-Undang No.1 tahun 1974 tidak mengatur tentang tata cara

melaksanakan perkawinan, tetapi hanya menyebutkan bahwa tata cara

pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Ketentuan tata cara perkawinan terdapat dalam peraturan pelaksana yaitu

PP No.9 tahun 1975, pasal 10 dan pasal 11.

Pasal 10 PP No.9 tahun 1975 :

1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman

kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud

dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya.

Page 21: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

32

3. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing

hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di

hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11 PP No. 9 tahun 1975 :

a) Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua

mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh

Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.

b) Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu,

selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai

Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan

perkawinan menurut agama Islam ditandatangani pula oleh wali nikah

atau yang mewakilinya.

c) Dengan ditandatangani akta perkawinan, maka perkawinan telah

tercatat secara resmi.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 10 dan 11 PP No. 9 tahun 1975

tersebut jelas bahwa undang-undang memandang penting sekali adanya

akad nikah. Menurut pasal 11 ayat (1) tersebut adalah bahwa Pegawai

Pencatat Nikah tidak boleh meluluskan akad nikah sebelum lewat 10 hari

kerja sejak pengumuman nikah. Apabila dengan sesuatu alasan yang

penting dan perkawinan akan dilangsungkan sebelum 10 hari kerja, maka

harus meminta dispensasi kepada Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Page 22: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

33

Dalam waktu 10 hari sebelum Pegawai Pencatat Nikah meluluskan akad

nikah, calon suami istri sebaiknya mendapatkan nasehat perkawinan dari

Badan Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perkawinan (BP4)

setempat. Tenggang waktu 10 hari kerja sejak pengumuman tersebut

dimaksudkan untuk memberi kesepakatan kepada petugas dan masyarakat

agar mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan jika menurut

pendapat mereka ada hal-hal yang bertentangan dengan hukum agama

atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan.

Tempat dilangsungkannya akad nikah diatur dalam pasal 22

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia, Undan-Undang No. 2

tahun 1990 tentang Keajiban Pegawai Pencatat Nikah yaitu :

a. Di Balai Nikah / Kantor Urusan Agama Kecamatan, yaitu pada

ruang khusus yang disediakan.

b. Di Luar Balai Nikah atau dirumah calon tempat tinggal pembantu

PPN seperti di rumah calon istri atau di masjid yang pengaturannya

diserahkan kepada yang berkepentingan.

Nikah dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah, wali nikah atau

wakilnya, calon suami, calon istri, dua orang saksi yang memenuhi syarat,

para pengantar atau undangan.

Pada waktu nikah calon suami dan wali nikah wajib datang sendiri

menghadap Pegawai Pencatat Nikah. Namun apabila calon suami atau

Page 23: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

34

wali nikah tidak dapat hadir pada waktu pelaksanaan akad nikah

dikarenakan keadaan memaksa, maka dapat diwakilkan oleh orang lain.

Wakil tersebut harus dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan oleh

Pegawai Pencatat Nikah.

Setelah akad nikah dilangsungkan, maka segera dicatat dalam akad

nikah dan ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah atau wakilnya.

Akta nikah dibuat rangkap dua, yang pertama disimpan oleh Pegawai

Pencatat Nikah, sedang kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam

wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan berada. Kutipan akta nikah

diberikan kepada suami istri.

B. Perwalian Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia

Tinjauan Tentang Wali Nikah

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

Menurut Hukum Islam terdapat dua pendapat tentang wali nikah.

Pendapat pertama ialah menurut Mazhab Syafi’i, yaitu wali merupakan syarat

sahnya nikah apabila wanita menikah tanpa wali, maka nikahnya batal.

Pendapat yang kedua adalah menurut Mazhab Hanafi, sebagai syarat tamam

atau penyempurna yaitu wali tidak merupakan syarat untuk sahnya nikah,

tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali boleh tidak ada, yang penting

Page 24: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

35

harus ada izin orang tua pada waktu menikah baik dia itu pria maupun

wanita.10

Adapun syarat-syarat wli ialah :

1. Merdeka.

2. Berakal sehat.

3. Dewasa.

4. Baragama Islam.11

Fungsi wali nikah dalam perkawinan dari Mazhab Syafi’i dan Mazhab

Hanafi yang berbeda tersebut bukanlah merupakan suatu pertentangan bagi

umat Muslim di Indonesia. Hal tersebut karena di Indonesia menganut

Mazhab Syafi’i, sehingga wali adalah merupakan syarat sah dari suatu

perkawinan. Di Indonesia wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun

yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk

menikahkannya. Mereka yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-

laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim dan akil baligh. Ada

tiga macam tentang wali nikah, yaitu wali nasab, wali hakim dan wali

muhakam. Di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang wali nikah diatur dalam

pasal 20 ayat (2), yaitu terdiri dari wali nasab dan wali hakim.

10 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum

Acara Peradilan Agama dan Zakat, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hlm. 2

11 Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqih Sunnah Jilid VII, PT. Al-Ma’arif, Bandung,

1986, hal.7

Page 25: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

36

1. Wali Nashab

Pengertian tentang wali nasab terdapat dalam Peraturan Menteri

Agama Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1987, yaitu pada pasal 1 huruf

a yang berbunyi ; “Wali nasab ialah pria beragama Islam yang

berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah

menurut hukum Islam.”

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai wali nashab

yang terdapat dalam pasal 21 dan 22, berbunyi :

Pasal 21

(1) Wali nashab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,

kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat

dan tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Kedua, kelompok kerabat saudar laki-laki kandung atau saudara laki-

laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung

ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki

seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang

sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi

wali yang lebih dekat derajad kekerabatannya dengan calon mempelai

wanita.

Page 26: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

37

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajad kekerabatannya maka

yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari

kerabat yang hanya seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajad kekerabatannya sama yakni

sama-sama derajad kandung atau sama-sama derajad kerabat seayah,

mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan

yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal 22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi

syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna

wicara, tuna rungu atau udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada

wali nikah yang lain menurut derajad berikutnya.

2. Wali Hakim

Wali hakim ialah orang yang diangkat oleh Pemerintah, yaitu

Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan.

Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila :

a. Tidak mempunyai nashab sama sekali.

b. Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.

c. Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedangkan wali yang

sederajad dengan dia tidak ada.

d. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh

perjalanan yang membolehkan solat qasar)

Page 27: BAB II PERKAWINAN DALAM HUKUM MUNAKAHAT …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/5/jtptiain-gdl-s1-2004... · A. Perkawinan Dalam Hukum Munakahat (Fiqh) Tinjauan Umum Tentang

38

e. Wali berada dalam penjara

Apabila dikarenakan oleh salah satu sebab tersebut, maka yang

berhak menjadi wali nikah adalah wali hakim, kecuali apabila wali

nashabnya telah mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai

wali. Dalam hal demikian, orang lain yang diwakilkan itulah yang berhak

menjadi wali. Hal tersebut kemudian diperjelas lagi didalam pasal 23

Kompilasi Hukum Islam yaitu :

(1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nashab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak

diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wal adlal atau enggan, maka wali hakim dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan Penagadilan Agama tentang

wali tersebut.

3. Wali Muhakam

Wali Muhakam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon

suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka.

Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali

hakim, padahal ditempat itu tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan

dilangsungkan dengan wali muhakam. Caranya ialah kedua calon suami

istri mengangkat seorang yang mempunyai pengertian tentang hukum-

hukum menjadi wali dalam pernikahan mereka.