bab ii masyarakat hukum adat bali 2.1 pengertian ... 2.pdf · dalam masyarakat hukum adat bali,...

24
BAB II MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI 2.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum adat yang mayoritasnya menganut Agama Hindu. Hukum adat Bali adalah hukum yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Sehingga di dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkannya antara agama dan adat di dalam masyarakat hukum adat Bali, dikarenakan hukum adat itu bersumber dari ajaran agama. Menurut Wayan Windia dan Ketut Sudantra, masyarakat Bali terikat oleh norma-norma hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka, baik berupa hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis, Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara dalam bentuk peraturan perundang- undangan Republik Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulisnya (Hukum Adat) yang berlaku dalam masyarakat bali bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bali yang disebut Dresta. 1 Unsur pembeda masyarakat pada umumnya dengan masyarakat hukum adat adalah sisi karakteristik yang dimiliki, karena kehidupan masyarakat hukum adat memiliki filosofi, fungsi, dan peran khas dalam kehidupan bersama sebagai 1 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. hal. 3. 44

Upload: trinhkhanh

Post on 06-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1  

BAB II

MASYARAKAT HUKUM ADAT BALI

2.1 Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat Bali dalam kesehariannya diatur dengan hukum

adat yang mayoritasnya menganut Agama Hindu. Hukum adat Bali adalah hukum

yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat hukum adat Bali yang berlandaskan

pada ajaran agama (agama Hindu) dan tumbuh berkembang mengikuti kebiasaan

serta rasa kepatutan dalam masyarakat hukum adat Bali itu sendiri. Sehingga di

dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan.

Tidak dapat dipisahkannya antara agama dan adat di dalam masyarakat hukum

adat Bali, dikarenakan hukum adat itu bersumber dari ajaran agama. Menurut

Wayan Windia dan Ketut Sudantra, masyarakat Bali terikat oleh norma-norma

hukum yang mengatur pergaulan hidup mereka, baik berupa hukum tertulis

maupun hukum tidak tertulis, Hukum tertulis yang berlaku berasal dari negara

dalam bentuk peraturan perundang- undangan Republik Indonesia, sedangkan

hukum tidak tertulisnya (Hukum Adat) yang berlaku dalam masyarakat bali

bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat Bali yang disebut Dresta.1

Unsur pembeda masyarakat pada umumnya dengan masyarakat hukum adat

adalah sisi karakteristik yang dimiliki, karena kehidupan masyarakat hukum adat

memiliki filosofi, fungsi, dan peran khas dalam kehidupan bersama sebagai

                                                                                                                          1 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. hal. 3.

 

44  

 

45  

 

persekutuan hukum masyarakat paguyuban. Karakteristik masyarakat hukum adat

adalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Corak kehidupan masyarakat hukum adat masyarakat paguyuban,

bernuansa komunal, dan selalu berorientasi pada suasana harmoni;

2. Alam pikir warga masyarakat hukum adat bercorak religius dan magis,

artinya masyarakat komunal selalu berorientasi pada keseimbangan dan

harmoni dalam kehidupan skala dan niskala;

3. Setiap pengambilan keputusan dilakukan musyawarah dengan melibatkan

semua krama desa dalam paruman desa;

4. Cara pandang patut (kepatutan)/tidak patut menjadi standar sosial untuk

menilai perkataan dan perilaku warga masyarakat, bukan salah atau

benar;

5. Setiap perbuatan hukum harus dilakukan secara terang (dengan

saksi/dihadapan banyak orang) dan kontan/tunai sehingga selesai pada

saat perbuatan hukum dilakukan;

6. Hakikat sanksi adat bagi pelanggar norma hukum adat bukan

dimaksudkan untuk membalas dendam, memberi nestapa, atau

menghukum dengan sanksi fisik, tetapi memberi sanksi sosial, moral,

atau sanksi melakukan ritual/magis; tujuannya adalah untuk

mengembalikan keseimbangan magis/bathin dalam wilayah desa adat,

mengembalikan seperti dalam keadaan semula (restutitio in integerum);

corak sanksi adat adalah win-win bukan win-lose solutions; sanksi adat

tidak bersifat individual, yang hanya dibebankan kepada pelanggar

 

46  

 

hukum adat, tetapi sanksi adat bersifat kolektif karena isteri dan anak

juga ikut dikenai sanksi.

Dalam ajaran agama Hindu sebagaimana yang dianut oleh masyarakat

hukum adat Bali, pelaksanaan agama dapat dijalankan melalui etika, susila, dan

upacara. Ketiga hal inilah digunakan sebagai norma yang mengatur kehidupan

bersama di dalam masyarakat. Etika, susila, dan upacara yang tercermin di dalam

kehidupan sehari-harinya mencerminkan rasa kepatutan dan keseimbangan

(harmoni) dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu azas hukum yang

melingkupi hukum adat Bali adalah kepatutan dan keseimbangan.

Adanya azas kepatutan dan keseimbangan ini, merupakan pedoman untuk

dapat mengukur dan menilai tindakan dan perbuatan yang sesuai dengan norma

dan peraturan yang berlaku ataukah telah terjadi pelanggaran. Dalam hal seperti

ini maka harus dapat dibedakan antara mana yang disebut ‘patut’ dan apa yang

disebut dengan ‘boleh’. Segala sesuatu yang boleh dilakukan, belum tentu

merupakan perbuatan yang patut dilakukan. Sebagai misal, setiap perempuan pada

prinsipnya boleh hamil, namun perempuan yang patut hamil hanyalah perempuan

yang memiliki suami. Demikian pula selanjutnya dengan perbuatan-perbuatan

yang lainnya. Sedang pada azas keseimbangan (harmoni), pada dasarnya seluruh

perbuatan manusia diharapkan tidak mengganggu keseimbangan didalam

kehidupan masyarakan. Pada perbuatan ataupun keadaan yang mengganggu

keseimbangan, maka perlu dilakukan pemulihan keseimbangan yang berupa

tindakan-tindakan yang mencerminkan pengembalian keseimbangan yang terjadi

karena perbuatan atau keadaan tersebut.

 

47  

 

Pada gangguan keseimbangan yang tidak diketahui atau tidak dapat

ditimpakan pertanggungjawabannya atas kejadian tersebut, maka adalah menjadi

tanggung jawab persekutuan (kesatuan masyarakat hukum adat) untuk

bertanggung jawab atas pengembalian keseimbangan yang harus dilakukan.

Walaupun tadi dikatakan bahwa antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan,

namun antara adat dan agama msih dapat dibedakan. Agama (dalam hal ini agama

Hindu yang dianut oleh masyarakat hukum adat Bali) adalah berasal dari

ketentuan-ketentuan ajaran dari para maharesi dan kitab suci yang diturunkannya.

Sedangkan adat adalah berasal dari kebiasaan dalam masyarakat yang dapat

mengikuti situasi, kondisi, dan tempat pada saat itu.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat. Ada empat faktor

penting yang mempengaruhi perkembangan hukum Adat. Faktor-faktor tersebut

adalah:

1. Faktor magi dan animisme: Pada masyarakat hukum adat, faktor magi dan animisme ini pengaruhnya begitu besar dan tidak atau belum dapat terdesak oleh agama-agama yang kemudian datang. Hal ini terlihat dalam wujud pelaksanaan-pelaksanaan upacara adat yang bersumber pada kepercayaan kepada kekuasaan atau kekuatan gaib yang dapat dimohon bantuannya.

2. Faktor Agama: Adanya pengaruh dari agama-agama yang masuk kemudian ke Indonesia dan dianut oleh masyarakat hukum adat bersangkutan, seperti agama Budha, agama Hindu, agama Islam, dan agama Kristen.

3. Faktor kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat: Kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan adat ini adalah kekuasaan yang mempunyai wilayah yang lebih luas dari persekutuan hukum adat seperti Kerajaan dan Negara.

4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing: Faktor ini sangat besar pengaruhnya. Bahkan kekuasaan asing ini yang menyebabkan hukum adat terdesak dari beberapa bidang kehidupan hukum. Selain itu, alam pikiran Barat yang dibawa oleh orang-orang asing (Barat) ke Indonesia dan kekuasaan asing dalam pergaulan hukumnya, sangat mempengaruhi perkembangan cara berpikir orang Indonesia. Sebagai

 

48  

 

contoh dapat dikemukakan proses individualisering di kota-kota yang berjalan lebih cepat dari pada masyarakat di pedesaan. 2

Suatu adat-istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat

berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (Hukum Adat). Tentang bagaimana

perubahan itu sehingga menimbulkan hukum Adat, dapat dikemukakan beberapa

pendapat sarjana, antara lain:

1. Van Vollehoven: dikatakan olehnya bahwa suatu peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang oleh masyarakat hukum adat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para Kepala Adat dan petugas hukum lainnya, maka peraturan-peraturan adat itu bersifat hukum.

2. Ter Haar: dikatakan olehnya bahwa hukum Adat yang berlaku hanya dapat diketahui dari penetapan-penetapan petugas hukum seperti Kepala Adat, hakim, rapat adat, perangkat desa dan lain sebagainya yang dinyatakan di dalam atau di luar persengketaan. Saat penetapan itu adalah existential moment (saat lahirnya) hukum adat itu. (dibaca tentang: teori beslissingenleer yang dikemukakan oleh Ter Haar)

3. Soepomo: mengatakan bahwa suatu peraturan mengenai tingkah-laku manusia (rule of behaviour) pada suatu waktu mendapat sifat hukum, pada ketika petugas hukum yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau pada ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran peraturan-peraturan itu. Selanjutnya dikatakan oleh Soepomo bahwa tiap peraturan adat adalah timbul, berkembang dan selanjutnya lenyap dengan lahirnya peraturan baru. Demikian pula dengan peraturan baru ini yang juga akan berkembang dan selanjutnya lenyap karena tergantikan oleh peraturan baru yang sesuai dengan perubahan perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani masyarakat hukum adat pendukungnya. Begitu seterusnya, keadaan ini digambarkan sebagaimana halnya jalannya ombak dipesisir samudra. 3

Dari beberapa pendapat sarjana di atas dapat dikatakan bahwa hukum adat

tersebut merupakan peraturan yang ada dalam masyarakat adat yang mengikat

masyarakatnya yang merasa peraturan tersebut perlu dipertahankan turun temurun

yang bertujuan untuk mencegah seseorang melanggar peraturan tersebut.

                                                                                                                          2 Soerojo Wignjodipoero, op.cit., hal. 9. 3 Soerojo Wignjodipoero, loc.cit., hal. 15.

 

49  

 

Menurut Wayan Windia, desa Pekraman yang merupakan organisasi

masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal

bersama dan spritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan

pola interaksi sosial masyarakat Bali. Desa Pekraman merupakan Lembaga Adat

yang memiliki ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak dijumpai dalam Lembaga

Adat lainnya.4 Sejak dikeluarkannya Perda Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001,

tentang Desa Pakraman, sebutan “desa adat” diganti menjadi “desa pakraman”.

“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang

mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata kraamaa pergaulan hidup masyarakat

umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan

Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta

berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. (pasal 1 nomor urut 4). Selain

desa pakramaan, dalam Perda ini juga dijelaskan mengenai banjar pakraman.

“Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa

pakraman”. (pasal 1 nomor urut 4).

Dengan memperhatikan definisi desa pakraman seperti dikemukakan diatas,

secara sederhana dapat dikatakan bahwa desa pakraman, merupakan organisasi

masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal

bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan

pola interaksi sosial masyarakat Bali. Sebuah desa pakraman, terdiri dari tiga

unsur, yaitu: (1) Unsur parahyangan (hal-hal yang berkaitan dengan Ketuhanan

                                                                                                                          4 Wayan P Windia, 2008, Menyoal Awig-Awig Exsistensi Hukum Adat dan Desa di Bali, Denpasar Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. hal. 40.

 

50  

 

menurut agama Hindu). (2) Unsur pawongan (hal-hal yang berkaitan dengan

warga desa menurut agama Hindu). (3) Unsur palemahan (hal-hal yang berkaitan

dengan lingkungan alam desa, menurut agama Hindu).

Berbeda dengan desa dan kelurahan yang mempunyai kantor dan

kelengkapan administrasi, desa pakraman pada umumnya tidak mempunyai

kantor sebagai tempat untuk mengendalikan roda administrasi pemerintahan desa

pakraman. Walaupun demikian, desa pakraman dan banjar pakraman biasanya

mempunyai balai pertemuan (wantilan desa dan balai banjar) yang sering juga

dimanfaatkan oleh desa dan kelurahan.

Sebuah desa pakraman, ada yang hanya terdiri dari satu banjar pakraman

dan ada juga yang terdiri dari beberapa banjar. Dimaksud dengan banjar

pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakraman.

Jika warga dalam satu banjar lumayan banyak dan wilayahnya

(wewidangan/wewengkon) relatif luas, maka untuk kepentingan praktis, banjar itu

akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang dinamakan tempekan. Pemberian

nama tempekan biasanya disesuaikan dengan keadaan tempekan yang dimaksud.

Contohnya, yang berada diwilayah bagian utara, akan disebut Tempekan Kaja,

yang di selatan disebut Tempekan Kelod, dst. Adakalanya juga tempekan ini

diberi nama yang sesuai dengan keadaan warganya, seperti Tempekan Gusti,

Tempekan Pande, dll.

Perlu ditegaskan bahwa banjar bukan saja menjadi bagian dari desa

pakraman, melainkan juga merupakan bagian dari suatu keperbekelan. Seperti

halnya desa pakraman yang umumnya terdiri dari beberapa banjar, demikian pula

 

51  

 

halnya dengan keperbekelan. Satu keperbekelan biasanya terdiri dari beberapa

banjar. Semua anggota banjar, dengan sendirinya menjadi warga keperbekelan

tersebut. Tetapi tidak semua warga keperbekelan dengan sendirinya dapat disebut

anggota atau krama banjar. Sebagai bagian dari desa pakraman, ada syarat khusus

yang harus dimiliki oleh seseorang, kalau ingin mipil (tercatat) sebagai krama

banjar, yaitu orang yang bersangkutan haruslah beragama Hindu. Mereka yang

tidak beragama Hindu, tetapi bertempat tinggal tetap di wilayah banjar tertentu

dan tercatat sebagai warga keperbekelan, disebut krama tamiu atau tamiu

(pendatang) atau warga banjar dinas.

2.2 Desa Adat Canggu Sebagai Masyarakat Hukum Adat di Bali

Desa Adat Canggu merupakan salah satu desa adat yang berada di

kecamatan Kuta Utara. Kecamatan kuta utara memiliki 8 desa adat, yaitu

Kerobokan, Padonan, Tandeg, Canggu, Berawa, Tuka, Dalung, dan Padang

Luwih.5 Hal ini terbukti dengan terpenuhinya kriteria masyarakat adat oleh Desa

Adat Canggu. Sesuai dengan yang telah diutarakan di atas maka Desa Adat

Canggu juga memiliki aturan-aturan adatnya tersendiri sebagaimana diatur dengan

awig-awig Desa Adat Canggu. Pada tanggal 15 Januari 2014 Pemerintah

mengundangkan dan memberlakukan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dengan

tujuan mengatur tentang desa, kejelasan status dan kepastian hukum, pengakuan

dan penghormatan, memberdayakan desa, dalam pembangunan nasional. Tujuan

mulia seperti ini patut disambut baik, secara positif, dan pikiran jernih sepanjang

                                                                                                                          5 BPS Kabupaten Badung, 2014, Badung Dalam Angka 2014, BPS Kabupaten Badung. hal. 39

 

52  

 

dimaksudkan untuk mewujudkan amanat Pembukaan Alinea IV UUD NRI Tahun

1945 yaitu “... melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial”.

Pasal 6 ayat (1) secara eksplisit menyatakan “Desa terdiri dari Desa dan

Desa Adat. Ini adalah wujud pengakuan de yure yang menegaskan adanya 2

(jenis) desa dalam sistem pemerintahan NKRI, memberi ruang hidup secara

berdampingan (co-existence) dalam memainkan fungsi dan peran masing-masing

dalam sistem pemerintahan di tingkat desa. Tetapi, norma Pasal 6 ayat (1) ini

menjadi ambigu ketika membaca Penjelasan Pasal 6 yang menyatakan:

“Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya tumpang tindih wilayah, kewenangan,

duplikasi kelembagaan antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah maka

dalam 1 (satu) wilayah hanya terdapat Desa atau Desa Adat. Untuk yang sudah

terjadi tumpang tindih antara Desa dan Desa Adat dalam 1 (satu) wilayah, harus

dipilih salah satu jenis Desa sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini”. Desa

mempunyai dua pengertian di Bali yaitu desa dalam fungsi sebagai desa dinas dan

desa dalam fungsi sebagai desa adat.

1. Desa Dinas atau Desa Administrasi, yaitu desa dalam pengertian hukum

nasional, sesuai dengan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Yang dimaksud desa dalam undang-undang

ini adalah: kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

 

53  

 

asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem

Pemerintahan Nasional. Desa dalam pengertian ini melakukan berbagai

kegiatan yang menyangkut administrasi pemerintahan atau kedinasan,

sehingga disebut desa dinas.

2. Desa Adat atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Desa Pakraman,

pengertian desa ini mengacu kepada kelompok tradisional dengan dasar

adat istiadat dan terikat dengan Pura Kahyangan Desa. Penerapan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah di Bali tidak

menimbulkan perubahan yang fundamental terhadap pemerintahan desa

adat/pakraman yang selama ini berperan sebagai organisasi otonomi asli

yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Jadi selain

desa menurut undang-undang, maka di Bali kita mengenal pula desa

adat/pakraman yang telah ada, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan

adat masyarakat Bali. Hingga saat ini desa pakraman ternyata telah

membuktikan dirinya memegang peranan yang sangat penting tidak hanya

dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa pakraman tetapi

juga telah memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam

pembangunan nasional.

Berdasarkan penelitian yang di peroleh di desa canggu, sebagai

desa dinas canggu termasuk di dalam kawasan Kelurahan Tibubeneng,

sedangkan untuk Desa Adat Canggu masuk ke dalam kawasan kelurahan

Canggu.

 

54  

 

 

SUMBER: BPS KAB. BADUNG

 

55  

 

SUMBER:  AWIG-­‐AWIG  DESA  ADAT  CANGGU  Tahun  2012  

 

56  

 

2.2.1 Letak Geografis

Canggu merupakan sebuah desa persisiran pantai dengan jarak 12,9

km dari kota Denpasar, Bali. Ia yang terletak dalam (daerah) kecamatan Kuta

Utara, Kabupaten Badung, Wilayah Provinsi Bali, Indonesia. Batas wilayah

Desa Adat Canggu adalah:

PRATHAMAS SARGAH ARAN LAN WAWIDANGAN DESA Pawos 1.

(1) Desa adat puniki mawasta : Desa Adat Canggu. (2) Jimbar wewidangannya mawates nyatur ring:

1. Sisi wetan : Desa Adat Padoman, Desa Adat Tandeg, Desa Adat Berawa. 2. Sisi kidul : sagara Canggu. 3. Sisi kulon : Desa Adat Tumbak bayuh Ian Pererenan. 4. Sisi lor : Desa Adat Tuka.

(3) Wewidangan Desa Adat Canggu kepah dados 8 (kutus) banjar adat luwire: 1. Banjar Padang Tawang. 2. Banjar Babakan. 3. Banjar Umabuluh. 4. Banjar Kayutulang. 5. Banjar Pipitan. 6. Banjar Padang Linjong. 7. Banjar Canggu. 8. Banjar Tegal Gundul.

Batas wilayah Desa Adat Canggu adalah:

Sebelah Utara : Desa Adat Padoman, Desa Adat Tandeg, Desa

Adat Berawa.

Sebelah Selatan : Pantai Canggu

Sebelah Timur : Desa adat Tumbak bayuh dan Pererenan.

Sebelah Barat : Desa adat Tuka

Secara geografis Desa Adat Canggu berada di Kabupaten Badung

yang terletak antara 8014’20” – 8050’52” Lintang Selatan dan 115005’03” –

 

57  

 

115026’51” Bujur Timur dengan luas wilayah 418,52 Km2 atau sekitar

7,43% dari daratan Pulau Bali. Desa Adat Canggu dibagi menjadi 8 banjar

adat yaitu:

1. Banjar Padang Tawang.

2. Banjar Babakan.

3. Banjar Umabuluh.

4. Banjar Kayutulang.

5. Banjar Pipitan.

6. Banjar Padang Linjong.

7. Banjar Canggu.

8. Banjar Tegal Gundul

2.2.2 Susunan Organisasi

Desa Adat Canggu adalah desa adat yang menggunakan sistem

pemerintahan tunggal dimana hanya ada satu kepala desa yang disebut dengan

bendesa dan memiliki susunan yang bertingkat karena Desa Adat Canggu

memiliki 8 banjar adat. Desa Adat Canggu menggunakan sistem keanggotaan

ngemong karang ayahan yang berarti, “memegang/menguasai tanah milik desa

(tanah ayahan desa atau tanah karang desa)”. Berdasarkan sistem ini maka status

keanggotaan desa pakraman (krama desa) dapat dibedakan menjadi dua

kelompok, yaitu:

1. kelompok kerama yang menguasai tanah milik desa sehingga dikenakan kewajiban (ayahan) penuh kepada desa. Kelompok kerama ini disebut kerama ngarep atau istilah lainnya sesuai dengan adat (dresta) setempat.

2. kelompok kerama yang tidak menguasai tanah milik desa sehingga tidak dikenakan kewajiban penuh kepada desa. Kewajiban-kewajiban yang

 

58  

 

dikenakan terhadap jenis ini bervariasi antara desa pakraman yang satu dengan desa pakraman lainnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa tersebut. Kelompok kerama ini disebut kerama pengele, kerama roban, kerama sibakan, dan sebagainya.6

Sistem keanggotaan desa ini dapat menyebabkan adanya suatu tanah desa

dimana tanah tersebut terkandung hak ulayat di dalamnya. Oleh karena itu apabila

ingin melakukan suatu perbuatan hukum terhadap tanah tersebut maka harus ada

persetujuan dari desa sebagai pemegang hak ulayat tersebut.

Berdasarkan awig-awig Desa Adat Canggu susunan organisasi Desa Adat

Canggu terdiri dari:

Palet 2 Indik Prajuru Pawos 14 (1) Desa Adat Canggu kaenter antuk Bendesa Desa Adat. (2) Banjar adat kaenter antuk Klien adat, kasanggra antuk juru arah

(sinoman). (3) Sahanan Bendesa Adat mawiwit saking krama ngarep, sakidiknia uning

tata cara adat/agama, tur uning panglokika, miwah kaadegang malarapan antuk pamilihan olih krama desa, nyabran 5 warsa, nemoning Ngembak Geni. Sajawaning pari indik tios,kengin kapilih malih, tur maduluran matur piuning nunas panugrahan ring pura Kahyangan Tiga.

(4) Tata cara ngadegang prajuru: 1. Bendesa Adat, panyarikan, Ssedahan Ian Kasinoman kapilih adiri

saking banjar soang–soang, sane kadulurin antuk pamilihan sinalih tunggil wakil inucap karejegang (kadegang) kelian Desa manut (3) ring ajeng.

2. Kelian Banjar adat kapilih antuk krama banjar adat. Tan kengin nyudi krama-krama sane tan rawuh ring paruman.

                                                                                                                          6 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, op.cit., hal. 4.

 

59  

 

Pawos 15. (1) Bendesa Adat kasanggra antuk :

1. Penyarikan pinaka juru surat (ilikita). 2. Sedahan (petengen) pinaka pangemong druen desa. 3. Petajuh 4. Klian adat pinaka kasinoman lan rencang (wakil) Bendesa Adat ring

soang – soang banjar. (2) wawilangan pakaryan kasanggra madudoran manut wibuh kancit: karya

(agung-alit) miwah gagambelan. (3) Sajeroning ngetangang kasukertan niskala, Bendesa Adat mingsinggihang

mangku Kahyangan Tiga.

2.2.3 Keadaan Penduduk

Berdasarkan proyeksi penduduk hasil Sensus Penduduk 2010,

jumlah penduduk Kabupaten Badung pada tahun 2013 sebanyak 589 ribu

jiwa yang terdiri dari 300,4 ribu jiwa penduduk laki-laki dan 288,6 ribu

jiwa penduduk perempuan, meningkat 2,51 persen dibandingkan dengan

proyeksi penduduk tahun 2012 yang hanya sebanyak 575 ribu jiwa.

Penduduk tersebar secara tidak merata di seluruh wilayah kecamatan di

Kabupaten Badung. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di

Kecamatan Kuta Selatan yaitu sebanyak 134,5 ribu jiwa atau sekitar 22,84

persen dari total penduduk di Kabupaten Badung. Sementara itu

Kecamatan Petang merupakan wilayah dengan jumlah penduduk paling

sedikit yaitu hanya sekitar 26,2 ribu jiwa atau sekitar 4,44 persen dari total

penduduk Kabupaten Badung. Sedangkan jumlah penduduk Desa Canggu

yang berada di Kecamatan Kuta Utara berjumlah 6.164 jiwa yang terdiri

dari 3000 orang laki-laki dan 3164 orang perempuan. Sebagai salah satu

daerah tujuan migran di Provinsi Bali, rata-rata kepadatan penduduk di

Kabupaten Badung cukup tinggi yaitu mencapai 1.407 jiwa/km2 dengan

 

60  

 

tingkat kepadatan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Kuta yang

mencapai 5.426 jiwa/km2. Sementara kepadatan penduduk terendah terjadi

di Kecamatan Petang yang hanya sebesar 227 jiwa/km2. Kepadatan

penduduk sangat mempengaruhi kondisi sosial dan keamanan di masing-

masing wilayah.

AGAMA

LAKI-LAKI

PEREMPUAN

Islam

51 Orang

56 Orang

Kristen

297 Orang

331 Orang

Katolik

148 Orang

186 Orang

Hindu

2396 Orang

2399 Orang

Budha

5 Orang

7 Orang

Jumlah

2897 Orang

2979 Orang

  Tabel. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Desa Adat Canggu.

     

  2.2.4 Keadaan Tanah Berdasarkan Kepemilikannya

Tanah adat Bali sesuai dengan ketentuan konvensi dari UUPA tercantum

dalam pasal II dengan sebutan “tanah hak atas Druwe” atau “tanah hak atas

Druwe desa”. Namun di Bali tanah-tanah adat lebih dikenal dengan nama “tanah

druwe desa” yang artinya tanah-tanah kepunyaan desa adat.

Tanah Druwe Desa terdiri dari:

 

61  

 

1. Tanah Desa yaitu tanah yang dipunyai atau dikuasi oleh Desa Adat yang

bisa didapat melalui usaha-usaha pembelian ataupun usaha lainnya.

Kalau tanah desa ini berupa tanah pertanian (sawah, ladang) akan digarap

oleh krama desa (anggota desa) dan penggarapannya diatur dengan

membagi-bagikan secara perorangan maupun secara kelompok yang

kemudian hasilnya diserahkan oleh penggarap kepada desa adat. Selain

itu yang termasuk tanah adalah: Tanah pasar, tanah lapang, tanah

kuburan, tanah bukti (tanah-tanah yang diberikan kepada

pejabat/pengurus Desa Adat selama memegang jabatan).

2. Tanah Laba Pura, adalah tanah-tanah yang kebanyakan dulunya milik

desa (dikuasai oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk keperluan

Pura. Tanah Laba Pura ini ada 2 macam yaitu:

• Tanah yang khusus untuk tempat bangunan Pura

• Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura

3. Tanah Pekarangan Desa atau tanah PKD adalah merupakan tanah yang

dikuasai oleh desa yang diberikan kepada karma Desa untuk tempat

mendirikan perumahan yang lazimnya dalam ukuran luas tertentu dan

hampir sama untuk tiap keluarga. Kewajiban yang melekat (yang lebih

dikenal dengan “ayahan”) pada krama Desa yang menempati tanah ialah

adanya beban berupa tenaga atau materi yang diberikan kepada Desa

Adat.

4. Tanah Ayahan Desa atau Tanah AYDS adalah merupakan tanah-tanah

yang dikuasaai atau dimiliki oleh desa yang penggarapannya diserahkan

 

62  

 

pada masing-masing Krama Desa disertai hak untuk menikmati hasil

yang disertai kewajiban ayahannya.

Disamping tanah-tanah adat tersebut diatas, dikenal juga tanah-tanah

pribadi atau tanah-tanah bebas yang merupakan tanah-tanah milik perseorangan

yang bebas dari kewajiban “ayah”. Tanah pribadi ini adalah tanah yang dikuasai

oleh perseorangan atau milik pribadi dari seseorang yang tidak berkaitan dengan

kepentingan adat. Tanah pribadi tersebut dapat diwariskan dan dapat dijual-

belikan tanpa persetujuan dari desa adat. Demikian dalam praktek sehari-hari

tidak pernah tanah-tanah bebas ini disebut sebagai tanah adat. Untuk tanah AYDS

dan tanah PKD secara bersama-sama sering disebut “tanah ayahan” saja. Ini

artinya tanah yang diatasnya berisi beban berupa ayahan dan terdapat hak ulayat

dalam tanah tersebut. Tanah ayahan ini dapat diwariskan, dan jika ingin menjual

harus dengan persetujuan Desa Adat demikian juga kalau mau melakukan

transaksi-transaksi tanah adat lainnya, harus tetap seijin dari Desa Adat.

Tanah warisan yang dimiliki oleh ahli waris dalam kasus ini merupakan

tanah ayahan desa. Oleh karena itu tanah warisan tersebut dikuasai oleh Desa

Adat Canggu. Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan

tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial,

dan berfungsi keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan, krama desa memiliki

kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu menyediakan dirinya untuk

ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura/ Kahyanagan Desa

seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura hingga

menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya.

 

63  

 

Palet 5 Indik Druen Desa Pawos 27. Padruen Desa Adat Canggu sakadi ring sor :

(1) Kahyangan Desa, Pura Kahyangan Tiga lan Mrajapati jangkep sakaluir busanania.

(2) Pelaba pura minakadi sawah / tegalan manut ring palet 5 – (1). (3) Lelangan makadi tetabuhan tan ilen-ilen padruen bebanjaran/tempekan

sane wenten ring adat Canggu mina kadi gong, gender, angklung miwah ilen-ilen wali.

(4) Setra limang palebahan, soang-soang kapinaro kalih makadi : - setra rare genah menden waong rare sane dereng ketus untu. - Miwah setra ageng pamendeman wong tua tur soang-soang kaempon olih

kramania manut dresta. (5) Piranti-piranti desa luire :

1. wewangunan ring pura Dalem/Mrajapati, lan sapanuggilan ipun. 2. Wewangunan ring pura Desa/Bale agung, lan sapanuggilan ipun . 3. Wewangunan ring pura Puseh, lan sapanunggilan ipun. 4. Wewangunan ring Khayangan Desa, lan sapangunggilan ipun.

Pawos 28.

(1) kawigunan tanah Pelaba pura inucap ring ajeng: pamuponnia kaanggen prabea macikang wewangunan ring pura Khayangan Desa, pura Khayangan Tiga. Kakirangannia desa ngurunin manut pararem.

(2) Druwen desa ten kengin kaadol, katukar utami kagadeang, sajawaning sampun kararemin antuk krama desa utawi kawigunayang anut patitis pawos 3.

2.3 Hukum Kekeluargaan yang Berlaku dalam Masyarakat

Hukum Adat di Bali

Belum adanya keseragaman tentang istilah hukum kekeluargaan, sehingga

para sarjana memakai istilah yang berbeda. Hilman Hadikusuma menggunakan

istilah Hukum Kekerabatan yakni, hukum yang menunjukkan hubungan-

hubungan hukum dalam ikatan kekerabatan termasuk kedudukan orang seorang

sebagai anggota warga kerabat (warga adat kekerabatan).7 Menurut Djaren

                                                                                                                          7 Hilman Hadikusuma, 1991, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu, Islam, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.

 

64  

 

Saragih Hukum Kekeluargaan adalah, kumpulan kaedah-kaedah hukum yang

mengatur huhungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis.8

Hubungan-hubungan hukum antara orang seorang sebagai warga adat dalam

ikatan kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang tua dengan anak,

antara anak dengan anggota keluarga pihak bapak dan ibu serta tanggung jawab

mereka secara timbal balik dengan orang tua dan keluarga.

Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang

penting untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau

menyamping. Masyarakat Bali dimana laki-laki nantinya akan meneruskan Pura

keluarga untuk menyembah para leluhurnya.

Pada umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan

pada hubungan darah, antara lain antara orangtua dengan anak-anaknya. Juga ada

akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan yang bergandengan dengan

ketunggalan leluhurnya, tetapi akibat hukum tersebut tidak semuanya sama

diseluruh daerah. Meskipun akibat hukum yang berhubungan dengan ketunggalan

leluhur diseluruh daerah tidak sama, tapi dalam kenyataannya terdapat satu

pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini diseluruh daerah,

yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsure yang hakiki serta mutlak bagi

suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan agar garis keturunannya

tidak punah, sehingga ada generasi penerusnya.

Apabila dalam suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi

kepunahan klan, suku ataupun kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi

                                                                                                                          8 Djaren Saragih, 1984, Pangantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, hal. 113.

 

65  

 

(pengangkatan anak) untuk meneruskan garis keturunan, maupun pengangkatan

anak yang dilakukan dengan perkawinan atau pengangkatan anak untuk

penghormatan. Seperti dalam masyarakat Lampung dimana anak orang lain yang

diangkat menjadi tegak tegi diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan

bapak angkatnya.

Menurut Bushar Muhammad, individu sebagai keturunan (anggota

keluarga) mempunyai hak dan kewajiban tertentu yang berhubungan dengan

kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan.9 Keturunan boleh ikut

menggunakan nama keluarga (marga) dan boleh ikut menggunakan dan berhak

atas kekayaan keluarga, wajib saling membantu, dapat saling mewakili dalam

melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.

Menurut Gde Panetje, Hukum Kekeluargaan di Bali adalah, berdasarkan

patriarchaat yakni hubungan seorang anak dengan keluarga (clan) bapaknya

menjadi dasar tunggal bagi susunan keluarganya.10 Hubungan seorang anak

dengan keluarga bapaknya adalah paling penting dalam kehidupannya. Keluarga

dari pancer laki-laki ini harus mendapat perhatian lebih dahulu dari keluarga dari

pihak ibunya. Tetapi disini bukan berarti di dalam kehidupan masyarakat di

Indonesia terdapat keanekaragaman sifat sistem kekeluargaan yang dianut. Sistem

kekeluargaan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Sistem kekeluargaan patrilineal

                                                                                                                            9  Bushar Muhammad, op.cit., hal. 3. 10 Gde Panetje, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung, Denpasar, hal. 21.

 

66  

 

Anak menghubungkan diri dengan ayahnya (berdasarkan garis keturunan

lakii-laki). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat

ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam susunan

masyarakat Patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki), keturunan

dari pihak bapak (laki-laki)dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-

haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan Patrilineal

berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.

2. Sistem kekeluargaan matrilinial

Anak menghubungkan diri dengan ibunya (berdasarkan garis keturunan

perempuan). Sistem kekerabatan ini anak juga menghubungkan diri dengan kerabat

ibu berdasarkan garis keturunan perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang

susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting,

sehingga menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan

meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang

menyebabkan tumbuhnya konsekuensi yang jauh lebih banyakk dan lebih penting

daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan sistem kekerabatan Matrilinel

berlaku pada masyarakat minangkabau.

3. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral

Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga

menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem

kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku

peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan , kewajiban memberi nafkah,

penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini seorang anak hanya

memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh

 

67  

 

perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak

kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri. Susunan

sistem kekerabatan parental berlaku pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan

sulawesi.

Pada masyarakat adat Bali, menggunakan sistem kekeluargaan patrilineal

dimana anak laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih utama karena semua

kewajiban dari orang tuanya akan beralih pada anaknya, dan anak laki-laki itu

akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan pewaris. Anak laki-laki

mewarisi tanggung jawab dari orang tuanya.