bab ii masuknya islam dan berkembangnya …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0510049_bab2.pdf ·...
TRANSCRIPT
20
BAB II
MASUKNYA ISLAM DAN BERKEMBANGNYA KEBUDAYAAN
MELAYU DI KERAJAAN TANJUNGPURA
A. Masuknya Agama Islam
Sebelum masuk kepada perkembangan Islam di Kalimantan Barat. Ada
insightment yang harus dipahami tentang mengapa suku dan kebudayaan Melayu
cenderung menguat dan hidup di beberapa daerah Kalimantan dibandingkan
kebudayaan Jawa. Menurut beberapa buku sejarah sebgian diantaranya tiga buku
karya Prof. Slamet Muljana, dalam mengungkap sejarah upaya yang dilakukan
diantaranya adalah melihat ciri-ciri nama tempat diantaranya nama teluk rantai,
nama sungai, nama bukit9. Di Ketapang nama-nama geografis yang muncul adalah
Kumpai Melayu, Sungai Melayu, dan Gunung Melayu, menandakan adanya
pengaruh melayu dalam penamaan tempat-tempat secara geografis.
Meskipun pada abad-abad selanjutnya. Dalam abad ke-11 hingga 14,
pengaruh Jawa sangat kuat hidup di Kalimantan. Ada pengaruh kerajaan Jawa
seperti Singasari (1284 Masehi), Majapahit (1345-1346 hingga tahun 1468), Jepara-
Demak (1468-1546)10. Bahkan, adanya kosa kata bahasa loskal yang mirip dengan
bahasa Jawa seperti lawang yang berarti pintu, bator yang berarti teman, dulur yang
berarti sausdara, kali yang berarti sungai, dan lawangan yang berarti sungai.
9 M.Salim bin Achmad Atik, Serial Sejarah Sekuntum Mawar tentang Sejarah & Hari
Jadi Ketapang, (Jakarta : 1998), hlm. 119. 10 Ibid.
21
Dengan begitu besarnya pengaruh Jawa hingga kepada elemen budaya
dalam hal ini, kemiripan bahasa, masyarakat Kalimantan tetap dinisbatkan kepada
suku Melayu karena jauh sebelum pengaruh jawa datang, telah ada kerajaan di
Tanah Kayung bernama Kerajaan Melayu. Kerajaan ini menggunakan lambang
“BUNGA TERATAI”. Bunga teratai tersebut adalah sebuah lambang yang identik
dengan kerajaan-kerajaan Melayu di Muara Jambi dan Kerajaan Malayapura di
Batanghari11. Diketahui, kerajaan Melayu ini memiliki hubungan dengan kerajaan-
kerajaan lainnya yang berbudaya Melayu.
Masuk kepada Islamisasi yang terjadi di Kalimantan Barat, ada dua elemen
dan sudut pandang tentang bagaimana Islam menyebar di Pulau ini yaitu
perdagangan dan pengaruh Kerajaan Tanjungpura. Merujuk kepada sejarah
kekerajaan di Kalimantan Barat, Tanjungpura sudah cukup merepresentasikan
dinamika islam dari berbagai sudut pandang politik serta sosial yang terbentang dari
awal abad ke-15 hingga akhir abad ke-19. Sedangkan perdagangan dalam konteks
sebagai elemen lainnya yang membantu masuknya Islam, cenderung memiliki porsi
yang sedikit jika dibandingkan dengan sumber-sumber sejarah kerajaan.
Kedatangan pedagang muslim di Kalimantan Barat terjadi kira-kira tahun
1550 kebanyakan dari mereka datang dari Palembang12. Panembahan Baruh, raja
yang bertahta di Tanjungpura pada masa itu sendiri dengan adanya agama Islam
11Ibid. 12 Poltak Johansen, Jurnal Sejarah dan Budaya Kalimantan Barat No.7/2005 (Pontianak :
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2005), hlm. 161.
22
yang berkembang di daerah Sukadana tidak ikut memeluknya sampai pada
wafatnya tahun 1590 dan agama Islam pada mulanya hanya berpengaruh di
kalangan rakyat.
Sumber yang lain seperti M. Salim bin Achmad Atik, mengamini islamisasi
yang terjadi di lingkungan masyarakat luar kerajaan tersebut. Dalam jurnalnya,
M.Salim mengatakan bahwa masuknya agama islam di negeri Kayung bermula dari
masyarakat yang tinggal di Benua Lama13. Sejak tahun 1468, pada saat orang-orang
Jepara Demak Panarukan belummenjadi kekuatan politk baru di Jawa, leluhur dari
Adipati Unus telah menjadi buruh di pesisir Kalimantan Barat dan menetap di
perkampungan Benua Lama antara 1447-1451. Di perkampungan tersebut telah ada
orang Muslim yang berasal dari suku Turki Seljuk, Arab, dan orang Cina.
Masuknya agama Islam di Kalimantan Barat adalah perjalanan sejarah yang
muncul dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dari Sudut pandang sejarah
kerajaan Tanjungpura, pada tahun 1590 : Penguasa Kerajaan Tanjungpura memeluk
Islam dengan memakai gelar Panembahan dan Giri14. Catatan lain menyebutkan
bawha Panembahan Giri tersebut menyebarkan Islam mulai pada tahun 1550, dan
periode tersebut Sukadana, pusat kerajaan telah kedatangan agama islam. Proses
islamisasi berlangsung selama empat-puluh tahun, dan pada tahun 1590, Kerajaan
Sukadana, Tanjungpura, telah menjadi kerajaan Islam. Tetapi Yudo menambahkan,
ada dugaan bahwa jauh sebelum periode itu masyarakat di Sukadana telah memeluk
13 M.Salim., op.cit. 14 Yudo Sudarto, Catatan Warisan Budaya (Cultural Heritage) di Kerajaan Tanjungpura,
(Ketapang, Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga, 2010), hlm. 41.
23
agama Islam. Adapun yang mengislamkan daerah Sukadana adalah orang Arab
Islam yang datang dari Sriwijaya15.
Hidupnya masyarakat pedagang asing tersebut tidak lepas dari hubungan
negeri Kayung dengan masyarakat di Timur Tengah. Nama Ketapang memang
terkenal dalam masyarakat di Timur Tengah. Kedatangan Al Habib Husein dari
Arab dan makam Syeikh Maghribi yang dimakamkan di hulu Sungai Pawan,
Ketapang.
Selain itu, adanya makam tujuh di Kampung Mulia Kerta, Ketapang, yang
letaknya satu lokasi dengan Keraton Mulia Kerta. Jika penelitian ini benar, maka
alur Sungai yang membentang dari muara sekitar Pulau Tempoyak, ujungnya
berada di sekitar keraton Mulia Kerta dan Kampung Arab. Dengan demikian,
pemukiman dengan nama Kampung Arab adalah salah satu fakta tentang adanya
hubungan serta pengaruh masyarakat Timur Tengah dengan Ketapang.
Catatan mengenai sejarah perkembangan Islam menghilang. Baik Achmad
Atik maupun M.Salim tidak mencatatkan periode Islam dalam jurnalnya. Namun
sampai tahun akhir abad ke-13, telah hidup masyarakat pedagang Islam asing yang
menetap hidup di Benua Lama. Terdapat sudut pandang lain yang melihat proses
Islamisasi Kerajaan Tanjungpura dari aspek perdagangan. Karang Tunjung naik
tahta dan menjadi raja. Dia membangun hubungan dagang dengan Raja Malaka,
Iskandar Syah16. Hubungan dagang ini sekaligus menandai agama Islam masuk ke
15 Poltak, op.cit., hlm. 16 Ibrahim Badjuri, Sejarah Singkat Kerajaan Tanjungpura dan Kerajaan-Kerajaan yang
Asal-Usulnya dari Kerajaan Tanjungpura, (Ketapang, Kantor Informasi Kebudayaan dan
Pariwisata, 2006), hlm. 9.
24
dalam Kerajaan Tanjungpura. Transformasi status kerajaan Tanjungpura menjadi
Kerajaan Islam Tanjungpura.
Ketimpangan di dalam menentukan periode islamisasi kerajaan
Tanjungpura kemudian dibenarkan oleh Yudo Sudarto di dalam bukunya yang
berjudul Catatan Warisan Budaya (Cultural Heritage) di Kerajaan Tanjungpura
adalah sebagai berikut :
“kapan masuknya Islam ke Kerajaan Tanjungpura masih banyak pendapat
tentang ini. sama halnya kapan masuknya islam ke Indonesia juga masih
banyak pendapat yang selalu mengundang perdebatan.”
Namun, Yudo menambahkan bahwa Kerajaan Tanjungpura secara resmi
dinyatakan sebagai Kerajaan Islam ketika Panembahan Giri Kusuma menjadi raja
Tanjungpura yang berkedudukan di Sukadana. Berikut adalah cuplikan tulisan yang
membahas tentang Islam dan Kerajaan Tanjungpura :
“Dalam tulisan mengenai diskusi mencari Islam di Indonesia, Aniqotul
Ummah yang diterbitkan pada http://islamlib.com/id/artikel/mencari-
islam-indonesia/, menyebutkan di Tanjungpura (Kalbar), Islam
diperkenalkan oleh Syekh Husein dan berhasil mengislamkan Raja Giri
Kusuma. Ia kemudian dikawinkan dengan putri Giri Kusuma dan
menurunkan raja-raja Tanjungpura.”
Dalam sudut pandang kerajaan tradisional, sebelum menjadi kerajaan Islam,
Tanjungpura adalah situs bagi kerajaan Hindu-Buddha, salah satu yang terbesar di
Nusantara. Tanjungpura, adalah sebutan untuk pusat permukiman di Negeri
Kayung. Negeri Kayung sendiri adalah sebutan untuk Kalimantan Barat. Perlu
dijelaskan bahwa Tanjungpura merupakan ibukota Kerajaan Sukadana, Matan dan
Kayung.
25
Tetapi adapula yang menyebutkan bahwa Kerajaan Matan, Sukadana dan
Simpang dahulunya merupakan bagian Kerajaan Tanjungpura. Luas Kerajaan
Tanjungpura hampir meliputi seluruh Kalimantan Barat.17 Perjalanan Tanjungpura
sebagai kota, situs pemukiman masyarakat Melayu hingga menjadi kerajaan adalah
proses sejarah yang panjang dan rumit.
Tanjungpura yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Tanjungpura adalah
sebuah cerita yang turun-temurun diceritakan dari generasi ke generasi. Kisah
tersebut berawal dari wafatnya Raja Baparung menyebabkan putera mahkota,
Panembahan Karang Tunjung naik tahta pada tahun 1431 meskipun pada waktu itu,
beliau masih kecil sekali.
Putera mahkota ini senang sekali tidur-tiduran diatas bunga
Tunjung/Tanjung. Sesuai dengan cerita rakyat, bahwa Karang Tunjung adalah
seorang yang sakti, sehingga daun kembang Tanjung yang sangat kecil ini mampu
menampungnya. Karena itu, timbullah julukan dari rakyat berupa “Raja Karang
Tunjung”18. Inilah asal-muasal nama dari Kerajaan Tanjungpura. Karang Tunjung
meresmikan Kerajaan Tanjungpura dengan Sukadana sebagai ibukota kerajaan. Ia
memerintah di Tanjungpura dalam periode 1487-1504.
Sumber sejarah lainnya menuliskan seperti Sejarah Kodam XII
Tanjungpura Kalimantan Barat bahwa masuknya agama Islam ke Kalimantan Barat
17 Poltak Johansen, op.cit., hlm. 157. 18 Ibrahim Badjuri, op.cit., hlm. 9.
26
terjadi pada abad ke-16, ketika Kerajaan Hindu Sukadana di bawah pimpinan Raja
Penambuhan Baru19.
Pada masa Panembahan Baruh selain agama Islam mulai berpengaruh ia
juga membangun kota baru yang kemudian diberi nama Matan. Setelah masa
pemerintahan Panembahan Baruh, tahta kerajaan kemudian dipegang oleh
Panembahan Giri Kusuma. Pada masa pemerintahannya perkembangan agama
islam semakin pesat dan akhirnya beliau memeluk agama Islam20. Ia tidak langsung
mendapatkan gelar sultan ketika memeluk Islam, melainkan setelah ia menyatukan
kerajaan Sukadana dengan kerajaan Landak, dengan menikahi Ratu Mas Jaitan,
puteri Pangeran Prabu. Giri Kusuma kemudian mengganti namanya menjadi Sultan
Muhammad Syafiuddin21, sebagai tandai bahwa ia telah memeluk agama islam dan
menjadi raja dengan nama islam pula.
Kegiatan penyebaran agama Islam merupakan suatu proses yang sangat
penting dalam sejarah Indonesia. Penyebaran agama Islam sudah ada di beberapa
bagian di Indonesia dalam masyarakat lokal khususnya masyarakat Melayu
Kalimantan Barat. Pada umumnya proses berlangsungnya penyebaran agama Islam
dilakukan penduduk pribumi berhubungan dengan pedagang Islam kemudian
menganutnya.
19 Poltak, op.cit, hlm. 161. 20 Ibid. 21 Syafaruddin Usman. Sejarah Kontemporer Kalimantan Barat Sedjak Tempoe Doeloe.
(Pontianak : Pustaka Dinosman), hlm. 50.
27
Di Kerajaan Tanjungpura yang pada masa itu beribukota di Sukadana,
pengaruh agama Islam sendiri baru masuk setelah tujuh generasi pemerintahan
kerajaan berjalan. Adalah Panembahan Giri Kusuma, raja ketujuh dari kerajaan
Tanjungpura merupakan raja yang pertama menyebarkan agama Islam di
lingkungan keraton.
Pada masa pemerintahan Panembahan Giri Kusuma perkembangan agama
Islam sangat pesat dan raja sendiri memeluk agama Islam pada tahun 160022. Ia
memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Tanjungpura dengan mengokupasi
kerajaan-kerajaan kerabat menjadi satu kerajaan dengannya. Kedatangan orang
Arab disamping berdagang juga menyebarkan agama islam membawa pengaruh
yang besar bagi kerajaan.
Pemerintahan Panembahan Giri Kusuma berhasil memajukan hubungan
kerjasama utamanya dalam bidang perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lainnya.
Hubungan pelayaran dan perdagangan dilakukan dengan Brunei, Johor,
Bugis/Makassar, dan Banjarmasin23.
B. Perkembangan Kebudayaan Melayu di Kerajaan Tanjungpura
Sastra Melayu sangat dekat dengan Sastra Arab. Mulai dari gaya penulisan
hingga jenis karyanya. Sastra Melayu menjadi salah satu perantara yang
menghubungkan kesusasteraan Arab dengan kebudayaan local genius di Nusantara
22 Sukadana : Suatu Tinjauan Sejarah Kerajaan Tradisional Kalimantan Barat
(Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak,2000)., hlm. 40. 23 Ibid.
28
ataupun Hindu-Budha yang kemudian berdampak kepada terjadinya proses
akulturasi budaya Islam di Nusantara.
Masyarakat Melayu Nusantara dikenal sebagai masyarakat yang memiliki
aktivitas tinggi dalam bersastra24. Di tengah masyarakat ini terdapat berjenis-jenis
karya sastra dalam jumlah besar. Sebagian diantaranya berbentuk tulisan di
berbagai medium seperti kulit kambing, lontar, bambu, kertas watermark, dan lain
sebagainya. Sebagian lainnya lagi tersimpan dalam bentuk lisan yang
ditransmisikan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dapat dibayangkan bahwa pada awalnya kantong-kantong masyarakat
Melayu di Kalimantan Barat berada di sekitar istana-istana kesultanan Melayu-
Islam yang berada di daerah-daerah Ketapang, Pontianak, Mempawah, Kubu,
Sambas, Landak, Tayan, Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu25. Daerah-
daerah tersebut kemudian mengalami perkembangan dan membesar seiring dengan
tumbuhnya agama Islam dengan semakin banyaknya masyarakat yang memeluk
agama Islam. Konversi agama itu sendiri berlangsung tidak hanya di tengah
masyarakat yang mendiami daerah pesisir, melainkan juga masyarakat yang
mendiami daerah pedalaman.
Kondisi geografis wilayah Kalimantan Barat yang memiliki banyak
gunung, bukit, serta sungai dan anak sungai menyebabkan masyarakatnya dari sejak
awal bersifat pluralistik, terdiri dari sejumlah besar kelompok kecil, yang masing-
24 Chairil Effendy, op.cit., hlm. 82. 25 Ibid., hlm. 84.
29
masing daripadanya mengembangkan bahasa dan kebudayaannya sendiri26.
Ketersebaran penduduk dalam kelompok-kelompok kecil sehingga sulit
dimobilisasi untuk kepentingan ekonomi dan politik, mungkin merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan pemerintah kolonial merasa tidak perlu
menempatkan tentara dan aparat birokrasinya dalam jumlah besar, dan
menyebabkan catatan-catatan sejarah sosial dan budaya masa lalu masyarakat
daerah ini relatif sedikit bila dibandingkan dengan hal serupa di pulau Jawa atau
Sumatera.
Kalimantan termasuk salah satu wilayah di Nusantara yang mendapat
pengaruh Hindu-Budha, Melayu, dan Islam. Pengaruh pengaruh tersebut menyebar
dengan baik di beberapa wilayah, khususnya Kalimantan Barat. Pada masa awal
islam di Nusantara, nilai-nilai kebudayaan Hindu-Budha masih hidup di
Kalimantan Barat. Dengan pertumbuhan islam yang terbantu oleh perairan dan
perdagangan, kebudayaan Melayu mulai tumbuh di Kalimantan Barat bersama
datangnya masyarakat Arab ke Benua Lama, Ketapang.
Namun, jika dilihat dalam konteks keragaman kebudayaan, sesungguhnya
masyarakat terbagi ke dalam lima (5) “wilayah kebudayaan”. Masyarakat melayu
yang berdomilisi di kabupaten-kabupaten Sambas, Bengkayang, Singkawang, dan
sebagian Landak termasuk dalam “wilayah kebudayaan Melayu Sambas”.
Masyarakat melayu yang berdomisili di Kabupaten Pontianak dan Kota Pontianak
termasuk dalam “wilayah Kebudayaan Melayu Pontianak”. Masyarakat melayu
26 Ibid.
30
yang berdomisili di Kabupaten Sanggau dan sebagian Kabupaten Landak termasuk
dalam “wilayah kebudayaan Melayu Sanggau”. Masyarakat melayu yang
berdomisili di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu termasuk ke dalam “wilayah
kebudayaan Hulu Kapuas”. Dan, masyarakat melayu yang berdomisili di
Kabupaten Ketapang termasuk dalam “wilayah kebudayaan Melayu Ketapang”.
Wilayah-wilayah kebudayaan tersebut adalah peta persebaran kebudayaan Melayu
di Kalimantan Barat yang sebagian besar dipengaruhi oleh keberadaan kerajaan-
kerajaan tradisional Melayu Kalimantan Barat.
C. Kedatangan Raja Tengah di Kerajaan Tanjungpura
Salah satu pengaruh besar masuknya Islam di Tanjungpura adalah
kedatangan Raja Tengah ke Matan, Ketapang. Kedatangan putera mahkota dari
Sultan Brunei Darussalam tersebut mempengaruhi jalannya perkembangan sejarah
islam di Kalimantan Barat. Berikut merupakan kutipan buku “Kesah Nagri Sambas
(1568-1944)”, sebuah buku dari alm. Pak Ali Singkawang yang ditulis oleh M.
Zaini AR dan dihibahkan kepada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional,
Pontianak ;
Dalam pemerintahan Ratu Sepudak di Kota Lama berlayarlah Sultan Raja
Tengah bersama rombongan dari negeri Brunai Darussalam. Ia adalah putera
mahkota Sultan Abdul Jalil Akbar. Rombongan Sultan Raja Tengah itu terlebih
dahulu singgah di kerajaan Djeohor Malaka (Malaysia Barat). Kemudian
rombongannya singgah di Kerajaan Tanjungpura di Sukadana.
31
Disebutkan bahwa Sultan Abdul Jalil Akbar mempunyai dua orang putera
masing-masing bernama Raja Abdullah memerintah di negeri Brunai gelar Sultan
Abdul Jalil Jabbar. Putera lainnya ialah Raja Tengaj untuk menjadi raja di negeri
Sarawak. Tetapi Raja Tengah tidak lama menjadi raja di Serawak ia digantikan
familinya Pangeran Muda Hasim.
Kerajaan Tanjungpura pada waktu itu dibawah pemerintahan Raja Giri
Kusuma. Di Kerajaan ini Raja Tengah dikawinkan dengan Ratu Surya. Dalam
perkawinan yang mesra itu lahirlah putera sulung anak kandung Raja Tengah yang
bernama Raden Sulaiman.
Setelah beberapa tahun lamanya di Kerajaan Tanjungpura di Sukadana
(Kab.Ketapang) ia bersama rombongan pergi ke kerajaan Ratu Sepudak di Kota
Lama. Beliau pada waktu itu telah menganut agama Islam sedangkan di Kota Lama
raja dan rakyatnya masih beragama Hindu.
Kedatangan Raja Tengah disambut dengan baik oleh Ratu Sepudak
sehingga beliau menetap lama di kerajaan itu. Karena perilaku dan tata cara serta
tegur sapa Raja Tengah dalam pergaulannya sehingga raja Ratu Sepudak tersorot
untuk menarik pusaka prilaku Raja Tengah. Demikianlah pula seluruh kerajaan
terpengaruh yang akhirnya menganut agama Islam dibawa Raja tengah27.
Sekitar tahun 1490-an di Sambas mulai berkembang pemerintahan dan
kerajaan Hindu baru selain yang sudah ada di Sukadana. Diperkirakan dalam tahun
27 M.Zaini AR, Kesah Nagri Sambas, (Pontianak, Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1994), hlm. 21.
32
1497, di Paloh berdiri kerajaan di bawah pengaruh Animis-Hindu yang dipimpin
oleh penguasa yang bergelar Ratu Gipang. Ibukota kerajaan pertamanya bertempat
di Muara Tebangun. Selanjutnya pada permulaan abad XV pusat kekuasaan
dialihkan ke suatu tempat yang belakangan dikenal dengan Lubuk Madung28. Di
sinilah Ratu Gipang meninggal dan kemudian digantikan oleh penerusnya yang
kemudian dikenal sebagai Ratu Sepudak. Dalam 1510, Ratu Sepudak memulai
pemerintahannya dengan mengalihkan ibukota kerajaan ke suatu tempat yang
belakangan bernama Kota Lama29.
Meski sepanjang hidupnya menjadi umat agama Hindu yang taat, Ratu
Sepudak adalah sosok yang memiliki toleransi hidup beragama yang baik dan
menjadi figur yang menjembatani masuknya Islam di Sambas karena pada masa
pemerintahannya Islam mulai merambah masuk di Negeri Sambas. Di Negeri Kuala
Bangun, Raja Muda Tengah atau Raja Tengah beserta pengikutnya mendirikan
suatu pemukiman baru. Pasangan Raja Tengah dan Putri Surya (Suraya) Kusuma
di pemukiman ini dikaruniai putra pertama mereka yang lahir pada Kamis, 10
Syawal 1009 bersamaan 14 April 1601 M30.
Raja Tengah merupakan putera Mahkota Sultan Brunei Darussalam yang
bukan hanya membawa Islam sebagai syiar kepada kerajaan-kerajaan Melayu di
Kalimantan Barat, tetapi juga memperkenalkan mereka kepada kesusasteraan
Melayu.
28 Syafaruddin Usman, op.cit., hlm. 29 Ibid, hlm. 51 30 Ibid, hlm. 52.
33
Datangnya Raja Tengah merupakan pintu masuk bagi karya-karya sastra
Melayu ke kehidupan masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Pada masa itu pula,
Giri Kusuma, Raja ke-7 Tanjungpura yang bertahta di Sukadana, telah memeluk
islam dan memiliki ketertarikan akan sastra dan kesenian Melayu. Hikayat, kitab-
kitab berbahasa arab, syair-syair serta puisi Melayu pun masuk ke Tanjungpura.
Setelah Raja Tengah meninggal, puteranya yang bernama Raden Sulaiman
diangkat menjadi wazir untuk menggantikan posisi ayahnya di kerajaan Kota Lama.
Sejak diangkat sebagai wazir kedua kerajaan di Kota Lama, Raden Sulaiman sangat
disenangi rakyat. Sebagaimana juga ayahnya, Raja Tengah, ia aktif melakukan syiar
Islam31.
Selain kedatangan kesusasteraan Melayu yang bernafaskan Islam, adat-
istiadat, dan kesenian bertutur syair terhadap raja, pangeran, serta keluarga raja pun
berkembang di lingkungan keraton. Setiap para Raja dan Pangeran memiliki
penyair32. Mereka selalu mengagung-agungkan raja dan pangeran mereka. Setiap
upacara kerajaan, syair-syair pujaan terhadap raja dan keluarga mereka selalu
dilantunkan penyair-penyair tersebut. Syair-syair melayu pun berkembang di
keluarga Kerajaan Tanjungpura yang saat itu masih beribukota di Sukadana.
Kesenian zaman Kerajaan Tanjungpura hidup dalam dua lingkungan yang
terpisah. Lingkungan internal kerajaan dan lingkungan masyarakat Melayu
Kayung. Dalam lingkungan kerajaan, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
adalah syair-syair pujaan terhadap raja dan keluarga-nya serta kerajaan
31 Ibid. 32 Wawancara dengan Uti Saban. 3 Agustus 2014.
34
Tanjungpura. Lain hal-nya dengan kesenian yang hidup di luar kerajaan atau di
dalam lingkungan masyarakat Melayu Negeri Kayung.
D. Kesusasteraan Melayu di Kalimantan Barat dalam masa Kolonial dan
Masa Pendudukan Jepang
Dalam sudut pandang politik diceritakan bahwa Belanda tidak serta-merta
datang dengan pemerintahan kolonial-nya melainkan diawali dengan datangnya
segelintir sarjana Belanda ke Kalimantan pada tahun 1822 dengan komisi Tobias-
nya33. Ketika itu apa yang dilakukan para ilmuwan Belanda itu tidak bisa dilepaskan
dari kepentingan penjajahannya. Kepentngan penjajahannya waktu itu adalah
memecah rasa persatuan dari orang-orang Indonesia karena kekhawatiran yang
didasari oleh diri mereka sendiri.
Sepak terjang kolonial Belanda di dominasi dengan usaha pemecahan
kesatuan diantara masyarakat daerah di Kalimantan Barat. Karena itu tidaklah
mengherankan begitu banyak masyarakat kesukuan, dalam hal ini, etnis Dayak,
berkembang pada masa kolonialisme. Adanya stereotipe yang mencuci otak
masyarakat bahwa “dayak” adalah sebutan untuk masyarakat asli Kalimantan, atau
dalam hal ini, diartikan sama dengan darat34.
Selain memecah-belah persatuan masyarakat, Belanda juga melakukan
penyebaran misi-misi keagamaan Kristen. Antara tahun 1914-1917 ketika itulah
misi Katolik banyak melakukan pembangunan demi pembangunan seperti Rumah
33 Salim bin Achmad Atik, op.cit., hlm. 101. 34 Ibid.
35
Sakit, Gereja, Sekolah35, dimana misi ini banyak mendidik pemuda dan pemudi
suku darat untuk dijadikan misionaris yang bermarkas di Rumah Sakit atau
bangunan-bangunan Katolik tersebut.
Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, munculnya pantun-pantun
sastra indonesia lama menandai adanya perubahan karya tulis di masa pemerintahan
kolonial. Tulisan-tulisan yang mendorong semangat pergerakan dan intelektualitas
tentang wacana keindonesiaan mulai tumbuh
Tidak terkecuali di Kalimantan Barat. Pergeseran karya sastra mulai
menunjukkan arah dari mengarah kengkarangan menjadi menulis pantun.
Perubahan lainnya adalah munculnya penulisan dengan huruf latin. Pada abad ke-
19, mayoritas etnis Melayu menggunakan penulisan dengan huruf Arab Melayu.
Hingga 1920-an, jurnal atau majalah seperti Borneo Barat Bergerak memuat
pantun-pantun panjang tak berbalas, namun keseluruhan baitnya berisi nasehat dan
nafas-nafas pergerakan partai atau organisasi. Majalah tersebut merupakan
terompet politik dan pergerakan organisasi di Kalimantan Barat dan berkembang
pesat pada zamannya. Pantun-pantun panjang tersebut merupakan transformasi
karya tulis yang ditemukan pada masa pemerintahan kolonial Belanda di
Kalimantan Barat hingga tahun 1920.
Hanya saja, pantun-pantun Melayu tidak merepresentasikan dinamika syair
gulong dalam konteks kesenian. Karya-karya tersebut pada akhirnya adalah bentuk
35 Ibid, hlm, 102.
36
kesusasteraan melayu secara umum yang mewakili aktivitas kesastraan masyarakat
Melayu di Kalimantan Barat yang cukup suka berpantun.
Selain itu, masa pemerintahan Kolonial Belanda menandai dekadensi
kebudayaan dan kesenian Melayu di Kalimantan Barat. Semua
Hingga masa pendudukan Jepang, tidak ada dokumentasi yang
menyakinkan pendapat bahwa kesenian bertutur syair ini hidup pada masa tersebut.
Teks-teks syair, berikut penutur atau penyair gulong, diperkirakan hilang, diculik,
dan lain sebagainya yang berdampak kepada lumpuhnya kegiatan berkebudayaan
Melayu di Kalimantan Barat.
E. Perkembangan Kesusasteraan Melayu di Nusantara
Sejarah Sastra Melayu memiliki linimasa yang panjang yang terbentang dari
awal mula berkembangnya Islam di Nusantara awal Abad ke-12 hingga ke zaman
pergerakan nasional akhir abad ke-20. Tumbuhnya Bahasa Melayu di Nusantara
adalah awal dan bibit bagi perkembangan sastra melayu untuk tumbuh di berbagai
daerah di Nusantara.
Abad XVI, yang merupakan periode awal masuknya cikal-bakal Sastra
Melayu di Nusantara. Pada masa ini terdapat sebuah terjemahan yang berasal dari
Aceh berjudul Aqa-id karya An-Nasafi36. Naskah ini bertanggal 998 Hijriah atau
sekitar 1590 dalam tahun Masehi. Naskah ini mengandung teks dalam bahasa Arab
dengan terjemahan antarbaris dalam bahasa Melayu, membicarakan ilmu kalam37.
36 Taufik Abdullah, dkk., Indonesia Dalam Arus Sejarah Volume III (Jakarta : 2014).,
hlm. 232 37 Ibid.
37
Pada tahun 1693, Nurruddin Ar-Raniri, penulis Aceh, membuat saduran dari karya
ini berjudul Durrah al-Faraid38.
Berdasarkan teks terjemahan Aqa’id, terdapat evolusi perkembangan bahasa
Melayu abad XVI dari segi ejaan Jawi39. Ciri-ciri bahasa Melayu pra-klasik masih
terlihat juga disini, seperti kata dipaccat (dipecat) dengan tasydid /c/, bertannung
(bertenung), dan lannyap (lenyap) dengan tanwin /n/.40 Sistem morfofonemik
memperlihatkan gejala campur aduk, sebagian besar masih berbahasa melayu pra-
klasik dan sebagian lainnya sudah bercorak klasik.
Kesusasteraan Melayu berkembang pesat pada permulaan abad XVII.
Kesusasteraan Melayu telah menemukan jati dirinya dalam hal penciptaan karya-
karya baru yang dikenal dengan istilah hikayat klasik Melayu sebagai belles
lettres41. Genre kebudayaan baru tersebut muncul dan mulai berkembang pada akhir
abad XVI atau awal abad XVII. Genre sastra kitab baru muncul pada akhir abad
XVI atau awal anad XVII, ditandai dengan munculnya karya asli dari tangan
Hamzah Al-Fansuri.
Bahasa Melayu Hamzah Fansuri di sini terlihat sangat murni jauh dari
pemakaian unsur bahasa Arab yang berlebihan42. Karena bahasa Arab adalah
bahasa Arab dan tidak mungkin di-melayu-kan. Di tangan Hamzah Al-Fansuri
38 Braginsky, V.I, Yang Faedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19
(Jakarta : 2012), hlm., 183. 39 Taufik, op.cit., hlm. 236. 40 Ibid, hlm, 237 41 Ibid, hlm, 184 42 Ibid.
38
terasa bahasa Melayu telah terangkat menjadi bahasa modern dan bahasa intelektual
Islam yang dimanfaatkan dalam penyebaran agama Islam di Nusantara43.
Kepeloporan Hamzah Al-Fansuri dalam sastra sufi Melayu telah diakui oleh
banyakya pengamat. Pemakaian kata-kata Arab sangat menonjol, tetapi terintegrasi
dengan baik ke dalam struktur puisinya. Istilah-istilah tasawuf dan istilah-istilah
keagamaan lainnya tidak saja berperan untuk kepentingan persajakan dan irama,
tetapi juga telah menjadikan puisinya itu padat dan membutuhkan pengetahuan
tasawuf untuk dapat memahaminya dengan baik.
Tetapi, bukanlah seorang penyair hebat jika tidak memiliki musuh dimana-
mana. Dalam akhir tahun 1630-an, sampai permulaan tahun 1640-an, Hamzah dan
Syamsuddin dari Pasai dituduh sebagai bidah44. Buku-buku mereka dibakar dan
para pengikutnya dihukum mati. Braginsky dalam bukunya Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19 menulis bahwa kita bisa menduga bahwa hamzah dan para
penyair semazhabnya menjadi kesal, karena syair-syair mereka ditafsirkan secara
dangkal, sehingga menimbulkan tuduhan-tuduhan “amoral” oleh kaum ortodoksi
yang memang cenderung menentangnya.
Berbagai bentuk kebudayaan lokal yang ada lahir dan berkembang dari
suatu proses panjang. Selama ribuan tahun nenek moyang bangsa Indonesia
membentuk dan membina kebudayaan mereka. Gelombang globalisasi kebudayaan
43 44 Loc.cit.
39
terhadap bangsa Indonesia di masa lalu, yang terjadi bersamaan dengan masuknya
nilai-nilai Hindu, Buddha, dan Islam45.
Memang terjadi tarik-menarik antara sistem nilai lama dan sistem nilai baru
dalam proses itu. Namun karena mereka memiliki sikap arif, maka unsur-unsur
terbaiklah yang diambil untuk memperkaya, mendinamisasi, dan mengembangkan
kebudayaan mereka.
Kebudayaan dan adat-istiadat Melayu di Kalimantan Barat berkembang
seiring dengan proses Islamisasi yang tengah semarak di beberapa penjuru
Nusantara dan juga pengaruh dari kerajaan-kerajaan Islam di negeri seperti Brunei
Darussalam. Akulturasi antar kebudayaan dan kesenian pun terjadi dengan adanya
pergantian kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Masuknya Islam dan kebudayaan Melayu yang menyertainya memberi
cukup pengaruh akan dinamika kebudayaan dan kesenian di Kalimantan Barat,
termasuk juga mempengaruhi proses berkembangnya kebudayaan dan kesenian di
kerajaan-kerajaan seperti kerajaan Tanjungpura, yang pada masa itu merupakan
kerajaan besar di Kalimantan Barat. Dengan pengaruh keraton dan islam yang kuat,
proses akulturasi kebudayaan Melayu sangat cepat menggantikan kebudayaan yang
sebelumnya yaitu Hindu-Buddha. Namun hal-hal kecil dalam kebudayaan dari
Hindu tidak sepenuhnya hilang. Adat-adat seperti nyelawe, ataupun penamaan
putera mahkota kesultanan dan puteri mahkota tetap menggunakan penamaan Jawa
di beberapa daerah dan keraton.
45 Chairil Effendy, op.cit., hlm. 4.
40
Kajian tentang bagaimana kaum sufi Sumatera menerima pengaruh Timur
Tengah akan dapat membantu menjelaskan persoalan tentang asal muasal syair ini.
Syair Gulong merupakan salah satu elemen kebudayaan di masyarakat Melayu
Kalimantan Barat yang masuk dalam dua kategori ; sastra melayu dan seni
pertunjukkan. Perkembangan dan juga dinamika kesenian sastra Melayu tersebut
akan dijelaskan pada bab selanjutnya.