bab ii kajian pustaka 2.1. definisi infeksi hiv · juga dilaporkan sebagai reservoir infeksi laten....

30
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Definisi infeksi HIV Infeksi HIV adalah infeksi yang disebabkan oleh human immunodeciency virus(HIV). Sedangkan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala dan tanda klinis akibat menurunnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh HIV(Levy, 2009). 2.2. Morfologi HIV Human immunodeficiency virus (HIV) termasuk dalam retrovirus anggota subfamili lentiviridae. Inti HIV mengandung 2 rantai RNA tunggal yang terikat pada protein gag (gag-derived protein) p24. Inti HIV terkandung di dalam dua lapisan lipid. Selubung (envelope) virus mengandung glycoprotein 120 dan glycoprotein transmembran 41. Komponen gp 120 dan gp 41 yang berperan penting dalam adesi HIV pada sel inang. Virus ini memiliki 3 gen yang diperlukan dalam replikasi yaitu gag, pol, env. Terdapat 6 gen tambahan pengatur ekspresi virus yangpentingdalam patogenesis (Tzu dan Ching, 2012).

Upload: others

Post on 31-Jan-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • BAB II

    KAJIAN PUSTAKA

    2.1. Definisi infeksi HIV

    Infeksi HIV adalah infeksi yang disebabkan oleh human immunodeciency

    virus(HIV). Sedangkan acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah

    kumpulan gejala dan tanda klinis akibat menurunnya daya tahan tubuh yang

    disebabkan oleh HIV(Levy, 2009).

    2.2. Morfologi HIV

    Human immunodeficiency virus (HIV) termasuk dalam retrovirus anggota

    subfamili lentiviridae. Inti HIV mengandung 2 rantai RNA tunggal yang terikat

    pada protein gag (gag-derived protein) p24. Inti HIV terkandung di dalam dua

    lapisan lipid. Selubung (envelope) virus mengandung glycoprotein 120 dan

    glycoprotein transmembran 41. Komponen gp 120 dan gp 41 yang berperan

    penting dalam adesi HIV pada sel inang. Virus ini memiliki 3 gen yang diperlukan

    dalam replikasi yaitu gag, pol, env. Terdapat 6 gen tambahan pengatur ekspresi

    virus yangpentingdalam patogenesis (Tzu dan Ching, 2012).

  • .

    2.3. Patogenesis

    HIV terutama terdapat dalam cairan tubuh. Cairan tubuh yang potensial

    mengandung HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina dan air susu ibu.

    Cara penularan dapat melalui jarum suntik, tusukan, atau abrasi mukosa selama

    hubungan seksual, transfusi darah, transplantasi organ dan penularan dari ibu ke

    anak (Levy, 2009).

    Reseptor utama infeksi HIV-1 adalah CD4, ko-reseptor seperti CCR5 dan

    CXCR4. Sasaran Infeksi HIV-1 adalah pada sel imun CD4+ yang meliputi sel T

    CD4+, dendritic cell (DC), makrofag, monosit, timosit, dan sel microglia. HIV-1

    juga menginvasi usus, menurunkan jumlah sel T CD4+ dan menyebabkan

    kerusakan jaringan limfoid. HIV terus bereplikasi dan menghindari respons anti-

    virus host, Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan respons imun, dan

    terjadi dominasi virus (Levy, 2009). Setelah jangkitan infeksi, kemudian HIV-1

    menjadi laten pada sel tertentu seperti pada sel T CD4+ resting memory, sel

    Gambar 2.1 Gambar struktur Human Immunodeficiency Virus(Tzu dan Ching, 2012)

  • dendritik (DC), monosit, dan makrofag. Sel T CD4+ naïve, sel pluripoten

    progenitor pada sumsum tulang, sel CD4+, dan makrofag pada cairan seminalis

    juga dilaporkan sebagai reservoir infeksi laten. Reservoir yang lain meliputi sel

    mikroglobial dan sel makrofag pada cranial nerve system (CNS). HIV pada sel sel

    reservoirtersebut sangat sulit dijangkau dengan terapi cARV(Levy, 2009)

    Replikasi HIV-1 sangat erat hubungannya dengan kemampuan transkripsi

    sel host, serta pengaruh dari jaringan kompleks sitokin proinflamasi dan

    imunoregulator. TNF-α berperan penting dalam patogenesis HIV-1, yang

    merangsang transkripsi HIV-1 baik pada makrofag dan sel T. Sitokin

    proinflamasi lain seperti interleukin-1 (IL-1), IL-2, dan IL-6 juga merangsang

    replikasi HIV-1 (Le Saout dkk., 2012; Reuter Ma dkk., 2012)

    2.4. Replikasi HIV

    Replikasi HIV hanya terjadi pada sel CD4 yang aktif. Sel CD4 yang

    terinfeksi, teraktivasi dan mereplikasikan virus disebut sebagai productively

    activated cell. Sedangkan sel CD4 yang teraktivasi tetapi tidak terinfeksi dan tidak

    mereplikasikan HIV disebut uninfected activated cell atau bystander cell.Siklus

    replikasi HIV pada sel inang diawali dari perlekatan gp 120 pada molekul reseptor

    CD4 dan diikuti oleh ikatan antara gp 41 pada koreseptor CCR5 atau CXCR4.

    Setelah terjadi fusi dengan sel CD4, kemudian kompleks preintegrasi dalam

    caspid yang terdiri dari RNA virus dan enzim-enzim dilepaskan ke dalam

    sitoplasma sel CD4. Setelah itu terjadi transkripsi balik RNA virus menjadi DNA

    oleh enzim reverse transcriptase. DNA hasil transkripsi balik tersebut kemudian

    diintegrasikan pada DNA sel CD4 oleh enzyme integrase. DNA hasil transkripsi

  • balik tersebut juga memerantarai aktivasi sel CD4 agar terjadi proses integrasi

    yang efektif. DNA sel CD4 yang telah diintegrasikan dengan DNA virus

    kemudian mentranskripsikan mRNA untuk selanjutnya menghasilkan protein

    melalui translasi. Enzim protease selanjutnya memfragmentasikan rantai protein

    tersebut sesuai kebutuhan HIV. Semua komponen protein inti virus dibuat dengan

    cara yang sama dan komponen protein permukaan dibentuk melalui proses

    budding sampai terbentuk virus baru yang lengkap (Barre-Sinoussi F dkk., 2013)

    Gambar 2.2Siklus Replikasi HIV(Barre-Sinoussi F, dkk 2013)

    2.5. Inflamasi kronis pada infeksi HIV

    Inflamasi kronis merupakan inflamasi yang berlangsung dalam jangka

    waktu lama dimana terjadi kerusakan jaringan ikat dan proses perbaikan yang

    terjadi secara simultan dan berulang. Terdapat 3 faktor yang mendorong

    terjadinya inflamasi kronis yaitu: 1) HIV, 2) translokasi microbial dan

    berkurangnya integritas mukosa saluran cerna, 3) koinfeksi dan infeksi CMV.

  • Inflamasi

    limfoid da

    dengan p

    anemia pe

    model yan

    G

    2.6. Per

    Pe

    asimptoma

    yang tidak

    bervariasi

    infeksi ak

    dan ikuti

    respons im

    sekitar 3

    tersebut m

    an berbagai

    atogenesi a

    enyakit kron

    ng dikeluark

    Gambar 2.3

    rjalanan ala

    rjalanan ala

    atik, sampa

    k mendapat

    antara beb

    kut HIV-1,

    oleh penu

    mun baik h

    minggu set

    menyebabkan

    i penyakit k

    anemia pen

    nis pada pas

    kan oleh Ipp

    3Inflamasikr

    amiah infek

    amiah infek

    ai pada AID

    terapi, wak

    erapa bulan

    viral load

    urunan juml

    humoral ma

    telah onset

    n penuruna

    kronis yang

    nyakit kron

    sien infeksi

    p H dkk ,(20

    ronis pada i

    ksi HIV

    ksi HIV berv

    DS sebagai

    ktu antara m

    n sampai 17

    (VL) meni

    lah CD4.

    aupun selula

    infeksi. Se

    an jumlah C

    g lain (Ipp H

    nis secara

    HIV secara

    014)

    infeksi HIV

    variasi mula

    manifestas

    mulai terinfe

    7 tahun, den

    ingkat secar

    Kemudian

    ar. Antibod

    elama jang

    CD4, fibros

    H dkk.,201

    umum, m

    a teoritis ter

    V (Ipp H dkk

    ai dari fase

    si lebih lanj

    eksi sampai

    ngan media

    ra cepat dal

    n diikuti de

    di spesifik H

    ka waktu

    sis jaringan

    4). Bila dik

    maka patoge

    rmasuk di d

    k. 2014)

    klinis laten

    njut. Pada p

    terjadinya A

    an 10 tahun

    lam tiga mi

    engan timbu

    HIV-1 terde

    tersebut, p

    n ikat

    kaitan

    enesis

    dalam

    n atau

    pasien

    AIDS

    n.Pada

    inggu

    ulnya

    eteksi

    pasien

  • tetap berpotensi menularkan HIV-1 dalam periode jendela (windows periode)

    walaupun kadar virus dan antibodi tidak terdeteksi. Setelah masa tersebut, akan

    terbentuk respons imun terhadap HIV-1 dan mengendalikan replikasi virus

    \selama jangka waktu kurang lebih 5-10 tahun(Levy, 2009).

    Selama fase akut, sel T CD4 kembali membaik, yang dapat berlangsung

    lebih dari 10 tahun, dengan replikasi virus yang dipertahankan tetap rendah,

    dibawah batas terdeteksi. VL akan stabil pada kadar tertentu selama beberapa

    waktu. Apabila penyakit progresif, sel T CD4+ secara gradual akan menurun.

    Pasien dengan hitung sel T CD4+ ≤200 sel/mm3 lebih mudah mengalami infeksi

    opportunistik dan keganasan dan berkembang menjadi AIDS (Simon dkk., 2006)

    Gambar 2.4Perjalanan alamiah penyakit infeksi HIV-1 (Simon dkk., 2006)

  • 2.7. Klasifikasi klinis infeksi HIV

    WHO padatahun 2007, telah mengembangkan definisi kasus dan stadium

    klinis HIV untuk negara – negara dengan sumber daya terbatas. Penentuan

    stadium berdasarkan klinis yang menjadi pedoman dalam diagnosis, evaluasi dan

    tatalaksana HIV/AIDS dan tidak memerlukan pemeriksaan hitung sel

    CD4.Stadium tersebut didefinisikan berdasarkan gejala dan kondisi klinis spesifik

    pada remaja dan dewasa yang berusia ≥ 15 tahun.

    Tabel 2.1Stadium Klinis Infeksi HIV pada Dewasa Menurut WHO (Depkes RI, 2011)

    Stadium Gambaran klinis Skala aktivitas I Asimptomatik

    Limfadenopati generalisata persisten Asimptomatik Aktivitas normal

    II Berat badan menurun < 10% Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran napas bagian atas seperti sinusitis bakterialis

    Simptomatik Aktivitas normal

    III Berat badan menurun > 10% Diare kronik yang berlangsung lebih dari satu bulan Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan Kandidiasis orofaringeal Oral Hiary Leukoplakia TB paru dalam tahun terakhir Infeksi bakterial yang berat seperti pneumonia, piomiositis

    Pada umumnya lemah, Aktivitas di tempat tidur kurang dari 50%

    IV HIV wasting sindrom seperti yang didefinisikan oleh CDC Pneumonia pneumocystis carinii Toksoplasmosis otak Diare kriptosporidiosis lebih dari satu bulan Kriptokokosis ekstrapulmoner Retinitis Citomegalovirus Herpes simpleks mukokutan lebih satu bulan Leukoensefalopati multifokal progresif Mikosis diseminata seperti histoplasmosis

    Pada umumnya sangat lemah Aktivitas ditempat tidur lebih dari 50%

  • Kandidiasis di esofagus, trakea dan paru Mikobakteriosis atipikal diseminata Septisemia salmonelosis non tifoid Tuberkulosis di luar paru Limfoma Sarkoma kaposi Ensefalopati HIV

    2.8. Terapi Kombinasi ARV

    2.8.1. Definisi

    Terapi kombinasi ARV atau dikenal dengan nama highly active

    antiretroviral therapy (HAART) adalah terapi yang mengandung paling sedikit

    tiga jenis obat ARV dari dua jenis klas yang berbeda (Arts EJ dan Hazuda DJ,

    2012).

    Keberhasilan terapi cARV dalam menekan replikasi virus mengakibatkan

    pemulihan sistem imun dan perbaikan klinis, yang berdampak terhadap perbaikan

    kualitas hidup dan menekan penularan lebih lanjut. Disamping itu keberhasilan

    tersebut juga diikuti dengan timbulnya berbagai konsekuensi dari inflamasi

    kronik.

    2.8.2 Jenis ARV

    Perkembangan pengobatan ARV pada pasien terinfeksi HIV/AIDS

    merupakan salah satu perkembangan paling dramatis dalam sejarah pengobatan

    penyakit infeksi. Pada tahun 1987 Zidovudin merupakan jenis ARV yang pertama

    kali diperkenalkan, kemudian diikuti oleh didanosine dan zalcitabine. Sejak tahun

    1996 mulai diperkenalkan terapi kombinasi ARV (Arts EJ dan Hazuda DJ,

    2012).

  • Sampai sekarang terdapat 5 klas ARV yang telah disetujui oleh Food and

    Drug Administration (FDA): (1) Nucleoside/nucleotide-analog reverse

    transcriptase inhibitors (NRTI), seperti zidovudin, lamivudine, stavudine, dan

    didanosine; (2) Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)

    seperti nevirapine, efavirenz, dan delavirdine; (3) Protease inhibitors (PI) seperti

    nelfinavir, ritonavir, lopinavir, dan indinavir; (4) integrase inhibitor: raltegravir

    (5) Fusion inhibitor (FI) T-20 seperti enfuvirtide(Arts EJ dan Hazuda DJ, 2012).

    2.8.3 Kegagalan Terapi ARV

    Apabila setelah memulai pemakaian terapi minimal 6 bulan dengan

    kepatuhan yang baik, tetapi tidak terjadi respon terapi yang diharapkan, maka

    perlu dipikirkan kemungkinan terjadi gagal terapi. (Kemenkes RI Ditjen P2PL,

    2014b) Kriteria gagal terapi ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis dan

    virologis.

    - Kegagalan klinis adalah munculnya penyakit infeksi oportunistik baru atau

    berulang stadium klinis WHO 4.

    - Kegagalan imunologis adalah gagal mencapai dan mempertahankan

    jumlah CD4 yang adekuat, Didefinisikan sebagai berikut:

    - CD4 turun ke nilai awal atau nilai yang lebih rendah dibandingkan CD

    pada awal terapi ARV

    - Atau CD4 tetap

  • - Kegagalan virologis: bila viral load tetap > 1.000 copies/ml berdasarkan 2

    kali pemeriksaan HIV RNA dengan jarak waktu 3 – 6 bulan.

    Pada daerah dengan sumber daya terbatas dan pemeriksaan viral loadtidak

    bisa rutin diterapkan sebelum memulai terapi cARV, maka kriteria gagal

    ditegakkan dari kriteria klinis dan didukung dengan kriteria imunologis.

    2.9. Manifestasi gangguan hematologi pada HIV

    Manifestasi kelainan hematologis pada infeksi HIV sangat bervariasi dapat

    berupa gangguan hematopoesis, sitopenia dan koagulopati. Anemia merupakan

    kelainan hematologis yang sering dijumpai yaitu sekitar 37.5% ( De Santis dkk.,

    2011). Anemia akibat penyakit kronik merupakan jenis anemia yang paling sering

    dijumpai pada pasien HIV termasuk yang sudah mendapat terapi cARV.

    2.10. Definisi dan klasifikasi derajat berat anemia

    Definisi anemia mengacu pada kadar hemoglobin yang normal. Kadar

    hemoglobin normal pada laki-laki adalah 16 ± 2 g/dl, sedangkan pada perempuan

    adalah 14 ± 2 g/dl. Terdapat beberapa sistem gradasi untuk menilai derajat berat

    anemia, yaitu sistem gradasi yang dibuat oleh AIDS Clinical Trials Group, World

    Health Organization, dan the National Cancer Institute. Konsentrasi hemoglobin

    bukan merupakan satu-satunya determinanyang mempengaruhi beratnya gejala

    yang dialami. Dengan demikian manifestasi klinis harus dipertimbangkan dalam

    menentukan derajat berat anemia

  • Anemia pada penyakit kronik adalah anemia yang dijumpai pada penyakit

    kronik tertentu yang khas ditandai oleh gangguan metabolism besi yaitu

    hipoferemia sehingga penyediaan besi yang dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin

    berkurang akan tetapi cadangan besi di sumsum tulang masih cukup (Bakta,

    2006). Pada umumnya anemia ini berderajat ringan sampai sedang dengan

    gambaran morfologi normokromik normositer, namun dapat juga menjadi

    hipokromik-normositer, namun dengan memberatnya progresivitas penyakit,

    anemia yang berlangsung lama, atau yang terjadi pada populasi yang

    membutuhkan besi lebih banyak, maka dapat menjadi hipokromik-mikrositer

    (Ganz dan Nemeth, 2009; Roy, 2010). Secara biokimiawi, anemia ini ditandai

    oleh kadar serum iron yang rendah, menurunnya kadar total iron binding capacity,

    kadar saturasi transferin menurun, namun cadangan besi masih cukup dalam

    sumsum tulang (Price dan Schirier,2010; Roy, 2010)

    Tabel 2.2 Kadar hemoglobin untuk diagnosis anemia pada daerah dengan

    ketinggian setinggi permukaan laut (WHO, 2011)

    Populasi Tidak

    anemia (g//l)

    Anemia (g/l)

    Ringan Sedang Berat

    6 – 59 bulan ≥ 110 100 – 109 70 – 99 < 70

    5 – 11 tahun ≥ 115 110 – 114 80 – 109 < 90

    12 – 14 tahun ≥ 120 110 – 119 80 – 109 < 80

    Perempuan > 15 tahun tidak hamil

    ≥ 120 110 – 119 80 – 109 < 80

    Perempuan > 15 tahun hamil

    ≥ 110 100 – 109 70 – 99 15 tahun ≥ 130 110 – 129 80 – 109 < 80

  • 2.11. Prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien HIV

    Prevalensi anemia pada infeksi HIV sangat bervariasi yaitu antara 1 – 95%.

    Hal ini disebabkan oleh perbedaan lokasi penelitian, heterogennya penelitian

    kohort dan definisi anemia yang dipergunakan (Belperio dan Rhew, 2004) Di

    Cina prevalensi anemia pada pasien HIV yang akan memulai cARV adalah 38.9%

    masing masing secara berurutan anemia ringan, sedang dan berat adalah 19.2%,

    17.1% dan 2.6%, dengan analisis regresi logistic berganda menunjukkan etnis

    Uyghur, perempuan, kadar CD4 yang rendah, IMT yang rendah , riwayat TB

    berkaitan dengan prevalensi anemia yang lebih tinggi (Mitiji P dkk., 2014).

    Prevalensi anemia di Ethiopia, dilaporkan adalah 35%, prevelensi lebih tinggi

    secara bermakna pada pasien dengan kadar CD4 yang lebih rendah (Ferede

    danWondimeneh, 2013).Di Ethiopia dijumpai prevalensi anemia pada pasien HIV

    adalah 23.1%. Prevalensi pada pasien yang belum mendapat cARV dan yang

    sudah mendapat cARV adalah masing masing adalah 29.9% dan 16.2%

    (P=0.014). Prediktor anemia pada pasien yang belum mendapat cARV adalah:

    adanya infeksi oportunistik (P=0.004, 95% CI=1.69–15.46), hitungsel CD4 < 200

    cells/ul (P=0.001, 95% CI=2.57–36.89) dan tinggal di pedesaan (P=0.03, 95%

    CI=1.12–10.39). sedangkan prediktor pada pasienyang sudah mendapat cARV

    adalah regimen (ZDV/3TC/NVP) (P=0.019, 95% CI=0.01–1.24) dan lama

    pemakaian cARV (P=0.007, 95% CI=0.003–0.40.24) (Mail LG,2013)

    Penelitian mengenai insiden anemia pada pasien HIV yang mendapat

    cARV dilaporkan berturut turut adalah 24.3 dan 8.1 per 100 person years pada

    kohort berbasis ZDV dan non-ZDV setelah 6 bulan follow up dan 12.5 dan 5.3 per

  • 100 person years setelah 24 bulan follow up. Prediktor terjadinya anemia adalah

    ZDV, kadar Hb awal yang rendah, IVDU, kadar CD4 < 200 sel/ul dan AIDS

    (Curkendall dkk., 2007). Penelitian retrospektif di klinik VCT Nusa Indah RS

    Sanglah Denpasar dijmpai prevalensi anemia pada pasien HIV yang mendapat

    cARV berbasis ZDV adalah 30.8% dengan morfologi makrositer sebesar 7.9%

    dan non makrositer sebesar 22.9% (Wibawa dan Merati, 2010)

    2.12. Etiopatogenesis Anemia pada pasien HIV

    Penyebab anemia pada pasien dengan HIV adalah multifaktorial.

    Etiopatogenesis anemia pada infeksi HIV dapat dibedakan menjadi (Volberding

    PA dkk., 2004) :

    1. Penurunan produksi sel darah merah: penurunan produksi sel darah merah

    yang merupakan konsekuensi dari infiltrasi ke sumsum tulang oleh

    keganasan, infeksi, pemakaian obat-obat mielosupresi, infeksi HIV sendiri,

    penurunan produksi eritropoetin endogen, respon eritropoetin yang blunted

    atau hipogonadism

    2. Peningkatan destruksi sel darah merah: peningkatan destruksi sel darah

    merah yang prematur bisa terjadi pada limfa atau sistem sirkulasi. Anemia

    hemolitik bisa disebabkan oleh autoantibodi pada sel darah merah,

    sindroma hemopagositosis, disseminated intravascular coagulation,

    trombotic thrombocytopenic purpura, defisiensi glucose-6-phosphat

    dehidrogenase, pemakaian beberbagai jenis obat.

  • 3. Produksi sel darah merah yang tidak efektif: yang disebabkan oleh

    defisiensi nutrisi (besi, asam folat atau itamin B12)

    4. Perdarahan: Perdarahan bisa terjadi pada beberapa kondisi seperti pada

    keganasan (seperti Kaposi sacoma dalam saluran cerna) atau perdarahan

    dari lesi gastrointestinal, seperti infeksi cytomegalovirus

    2.13. Obat-obat myelosupresif

    Beberapa jenis obat yang dapat menyebabkan supresi sumsum tulang pada

    pasien HIV (Volberding PA dkk., 2004).

    Tabel 2.3 Jenis- Jenis obat mielosupresif yang sering digunakan oleh pasien HIV

    Golongan Obat Jenis Obat

    Antiretrovirus: Zidovidine, Zalciabine

    Obat antiviral: Ganciclovir, foscarnet, cidofovir

    Obat antijamur: Flucytocin, Amphotericin

    Obat anti-Pneumocystis carinii: Sulfonamide, Trimethoprim, pyrimethamne,

    pentamidin

    Obat antineoplastik:

    Cyclophosphamide, doxorubicin,

    methotrexate, paclitaxel, vinblastine,

    liposomal doxorubicin, liposomal

    daunorubicin

    Immne respons modifier

    Zidovudine merupakan salah satu jenis ARV yang paling sering

    digunakan dalam terapi kombinasi ARV di Negara berkembang, termasuk di

    Indonesia.Demikian juga pemakaian trimetroprim yang dikombinasi dengan

    sulfamethoxazole, sering dipakai sebagai terapi profilaksis primer atau sekunder

    untuk PCP, toxolasmosis dan diare. Pemakaian kotrimoxazole trimetroprim sering

  • dipakai dalam jangka panjang sampai tercapai kadar CD4 yang protektif untuk

    infeksi tersebut.

    Pada penelitian kohort, pemberian ARV berbasis zidovudin bersama-sama

    dengan trimetropin sulfamethoxazole di Africa, dijumpai neutropenia grade 3-4

    sebesar 56.3/ 100 person years dan anemia grade 3-4 sebesar 9.6/100 person

    years. Neutropenia grade 3-4 terjadi segera setelah pemberian zidovudine (Moh

    dkk., 2005). Sedangkan pada penelitian restrospektif di VCT RS Sanglah, angka

    kejadian makrositosis pada pemakaian ARV berbasis zidovudine adalah 50.6%,

    dimana maktositosis tanpa anemia sebanyak 46.4% dan makrositosis dengan

    anemia sebanyak 7.9%. (Wibawa dan Merati, 2010)

    2.14. Penyakit dasar pada anemia penyakit kronik

    Anemia pada infeksi HIV lebih sering disebabkan oleh anemia penyakit

    kronik. Beberapa penyakit dasar yang juga dapat merupakan penyebab anemia

    penyakit kronik adalah:

    2.14.1. Penyakit autoimun

    Beberapa penyakit autoimum yang dapat merupakan penyebab anemia

    akibat penyakit kronik adalah Arthritis rheumatoid, SLE, Vasculitis, Sarcoidosis,

    Inflammatory bowel disease. Diperkirakan penyakit autoimum menyebabkan

    anemia penyakit kronik antara 8 – 73% (Weiss dan Goodnough. 2005). Pada era

    terapi kombinasi ARV, prevalensi penyakit arthritis terkait autoimum sangat

    jarang dilaporkan pada pasien HIV. Pada tinjauan kepustakaan dari januari 1981

    sampai agustus 2007 dijumpai prevalensi berbagai spectrum klinis rematik pada

    pasien infeksi HIV adalah sebagai berikut: SLE (0.3%), psoriasis (0.2%), arthritis

  • rheumatoid (0.1%), polymyositis (0.1%), scleroderma (0.1%) (Yao dkk,, 2008).

    Sedangkan pada penelitian retrospektif selama 20 tahun di Taiwan dijumpai

    penyakit arthritis autoimun sebesar 0.7% ( 26 dari 3623 pasien HIV) masing

    masing 18 (0.49%) pasien dengan ankylosing spondylitis, 6 (0.1%) pasien dengan

    arthritis rheumatoid, 1(0.02%) pasien dengan arthritis psoriatis, dan 1 (0.02%)

    pasien dengan sindroma sjorgen. 15 pasien (57.7%) dari prevalensi tersebut terjadi

    setelah pemberian cARV( Yang JJ dkk., 2013).

    2.14.2. Penyakit keganasan

    Penyakit keganasan yang meliputi keganasan hematologi dan keganasan

    organ solid diperkirakan menyebabkan anemia penyakit kronik sekitar 30 – 77%

    (Weiss dan Goodnough, 2005). Pada infeksi HIV diketahui risiko terhadap

    kanker seperti sarcoma Kaposi, limfoma non hodgkin (NHL) dan kanker servik

    yang disebut dengan AIDS defining cancer (ADCs) adalah lebih tinggi. Pada

    penelitian kohort secara konsisten dilaporkan terjadi peningkatan risiko non AIDS

    defining cancer (NADCs) seperti penyakit Hodgkin dan kanker anogenital. Pada

    era pemakaian cARV dilaporkan telah terjadi penurunan insiden kanker sarcoma

    Kaposi dan NHL.

    Data tentang keganasan pada pasien HIV di Asia sangat terbatas. Pada

    penelitian observasional 13 site di Asia Pasifik (TAHOD), dijumpai dari 215

    kasus kanker 66% termasuk ADCs (16% Sarkoma Kaposi, 40% lymphoma non-

    Hodgkin’s dan 9% kancer cervik). Kanker yang termasuk NADCs yang paling

    banyak ditemukan adalah kanker Paru (6%), Payudara (5%), kanker

  • hepatocellular (2%), lymphoma Hodgkin’s (2%) dan leiomyosarcoma (1.4%).

    (Petoumenos K dkk., 2010)

    2.14.3. Penyakit infeksi oportunistik

    Penyakit infeksi yang meliputi infeksi virus, bakteri, jamur dan parasit

    diperkirakan menyebabkan anemia penyakit kronik sekitar 18 – 95% (Weiss dan

    Goodnough, 2005). Prevalensi infeksi oportunistik berbeda pada beberapa daerah

    dan Negara. Di Negara sub Sahara Afrika > 80% pasien dengan HIV meninggal

    karena kasus infeksi dengan penyebab yang paling sering adalah tuberculosis. Di

    klinik VCT Sanglah prevalensi penyakit oportunistik yang paling sering dijumpai

    selama 2004 sampai 2007 adalah tuberculosis paru (Wiryani dkk., 2008).

    2.14.4. Penyakit ginjal kronik

    Penyakit ginjal kronik diperkirakan mendasari anemia pada penyakit

    kronik sekitar 23 – 50% (Weiss dan Goodnough, 2005). Pada pasien HIV,

    penyakit ginjal dapat terjadi akibat dari infeksi HIV yang disebut dengan HIVAN

    (HIV associated nefropathy). Beberpa faktor yang dilaporkan terkait dengan

    terjadinya penyakit ginjal kronik pada HIV adalah genetic, umur, perubahan

    metabolic terkait pemberian cARV, paparan berbagai obat nefrotoksis, dan

    koinsiden dengan hepatitis C dan pemakaian obat intravenous. Pada beberapa

    penelitian terakhir dilaporkan prevalensi penyakit ginjal kronik pada pasien

    dengan infeksi HIV berkisar kurang dari 2.4% sampai sekitar 10% (Estrella dan

    Fine, 2010).

  • 2.15. Patogenesis anemia penyakit kronik pada infeksi HIV

    Anemia pada penyakit kronik ditandai oleh penurunan produksi sel darah

    merah, supresi respon retikulosit dan menurunnya respon fisiologis eritropoetin.

    Patogenesis anemia pada penyakit kronik melibatkan mekanisme imun, sitokin

    dan sel sel sistem retikuloendotelial yang menginduksi hemostasis besi, proliferasi

    sel progenitor eritroid, produksi eritropoetin dan masa hidup dari sel darah merah.

    Saat ini mekanisme patogenesis anemia pada penyakit kronik secara umum

    meliputi( Weiss dan Goodnough, 2005):

    2.15.1. Disregulasi hemostasis besi

    Ciri utama anemia pada penyakit kronik adalah terjadinya gangguan

    hemostasis besi, berupa peningkatan uptake dan retensi besi dalam sel-sel RES.

    Hal tersebut menyebabkan pergeseran besi dari sirkulasi kedalam tempat tempat

    penyimpanan besi di RES, terbatasnya ketersediaan besi untuk sel sel progenitor

    eritroid dan gangguan eritropoesis karena restriksi besi. Pada binatang yang

    diinjeksi dengan sitokin proinflamasi IL 1 dan TNF α, dapat menyebabkan

    hipoferemia dan anemia. Kondisi kombinasi tersebut berkaitan dengan sintesis

    feritin yang berperan dalam penyimpanan besi oleh makrofag dan hepatosit. Pada

    infeksi kronik makrofag lebih sering mendapatkan besi melalui eritrofagositosis

    dan import ferrous iron transmembrans melalui protein divalent metal transporter

    1 (DMT1) ( Weiss dan Goodnough, 2005).

    Interferon γ, lipopolisaccharida dan TNF α meningkatkan regulasi ekspresi

    DMT1, dengan meningkatkan uptake besi ke dalam makrofag yang sudah aktif.

  • Rangsangan proinflamasi tersebut juga menginduksi retensi besi dalam makrofag

    dengan cara menurunkan regulasi ekspresi ferroportin, kemudian menghambat

    pelepasan besi dari sel tersebut. Ferroportin merupakan sebuah protein eksportir

    besi transmembran, yang berperan dalam proses yang terkait dengan transfer besi

    ferrous yang diabsorpsi dari enterosit duodenum ke sirkulasi. IL 10 yang

    merupakan sitokin antiinflamasi dapat menginduksi anemia melalui stimulasi

    transferrin yang memerantarai akusisi besi oleh makrofag dan melalui translasi

    stimlasi ekspresi ferritin. ( Weiss dan Goodnough, 2005).

    Hepsidin adalah reaktan protein fase akut terdiri dari 25 asam amino, yang

    berperan dalam regulasi besi. Ekspresi hepsidin diinduksi oleh lipopolisakarida

    dan IL 6 serta dihambat oleh TNF α. Hepsidin memegang peranan yang penting

    dalam diversi lalu lintas besi melalui penurunan absorpsi besi di duodenum dan

    menghambat pelepasan besi dari makrofag ( Weiss dan Goodnough, 2005).

    2.15.2. Gangguan proliferasi sel –sel progenitor

    Gangguan proliferasi dan diferensiasi prekusor eritroid ( erytroid burst

    forming unit dan erytroid colony forming unit) terkait dengan efek hambatan dari

    interferon α-β dan γ, TNF α dan IL 1 yang mempengaruhi pertumbuhan erytroid

    burst forming unit dan erytroid colony forming unit). Interferon γ merupakan

    inhibitor yang poten, yang direfleksikan melalui hubungan terbalik antara

    interferon γ dengan kadar hemoglobin dan hitung retikulosit. Mekanisme penyakit

    dasar yang melibatkan sitokin yang memicu apoptosis, yang mana tampaknya,

    menjadi bagian, hubungan dengan pembentukkan ceramide, menurunkan regulasi

    ekspresi reseptor eritropoetin pada sel sel progenitor dan menurunnya ekspresi

  • factor – factor pro hematopoesis, seperti faktor stemsel. Disamping itu sitokin

    juga memiliki efek toksik langsung pada sel progenitor dengan cara meransang

    pembentukkan radikal bebas labil seperti nitric oksida atau anion superoxide oleh

    neighboring makcrophage-like cells ( Weiss and Goodnough, 2005).

    2.15.3. Respon eritropoetin

    Eritropoetin memegang peranan penting dalam regulasi proliferasi sel

    eritroid. Ekspresi eritropoetin berbanding terbalik dengan kadar hemoglobin dan

    oksigenasi jaringan, dimana terdapat hubungan semilogaritme antara respon

    eritropoeitin (log) dan derajat berat anemia (linier). Pada umumnya respon

    eritropoetin pada anemia penyakit kronik tidak adequate sesuai dengan derajat

    anemia. In vitro IL 1dan TNF α secara langsung menghambat ekspresi

    eritropoetin. Respon sel-sel progenitor eritroid tampaknya berbanding terbalik

    dengan derajat berat penyakit yang mendasari dan jumlah sitokin dalam sirkulasi,

    dimana semakin tinggi konsentrasi interferon γ atau TNF α, maka lebih tinggi

    jumlah eritropoetin yang diperlukan untuk merestorasi pembentukkan erythroid

    colony forming unit. Setelah eritropoetin berikatan dengan receptor, eritropoetin

    menstimulasi komponen dari jalur signal transduksi dan selanjutnya mengaktifkan

    mitogen dan phosphorylase tyrosine kinase, proses tersebut dipengaruhi oleh

    sitokin inflamasi dan pengaturan umpan balik negatif ( Weiss and

    Goodnough, 2005).

    Kurangnya respon eritropoetin disebabkan oleh efek hambatan oleh sitokin

    proinflamasi terhadap proliferasi sel sel progenitor erytroid, down regulasi

    reseptor eritropoetin, dan terbatasnya persediaan besi memberikan kontribusi

  • terhadap berkurangnya proliferasi sel dan sintesis hemoglobin. Peningkatan

    eritropagositosis selama proses inflamasi menyebabkan penurunan waktu hidup

    eritrosit yang diperantarai oleh sitokin dan radikal bebas( Weiss and Goodnough,

    2005).

    2.16. Peranan Interleukin 6 pada anemia penyakit kronik pada infeksi HIV

    IL 6 merupakan sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh beberapa jenis sel

    seperti monosit, fibroblast, sel-sel endotel dan limfosit T dan B. IL 6 tidak

    diekspresikan secara terus menerus, melainkan banyak diinduksi dan diproduksi

    sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan keradangan seperti IL-1, TNF α,

    produk – produk bakteri, atau infeksi virus. IL 6 memiliki fungsi yang berbeda

    meliputi diferensiasi dan/atau aktivasi makrofag dan sel T, sel-sel pertumbuhan

    dan diferensiasi sel-sel B, stimulasi hematopoesis dan diferensiasi neural (Scheller

    dkk., 2011).Kemungkinan peranan dari IL 6 pada keradangan akut ke keradangan

    kronik adalah(Gabay, 2008):

    - pada tahap 1 keradangan akut, IL 6 berikatan dengan soluble IL6 receptor.

    - Pada tahap 2, trans-signaling melalui gp 130 akan menyebabkan penarikan

    dari monosit.

    - Pada tahap 3, IL 6 memicu apoptosis neutrophil, fagositosis dan akumulasi

    mononuclear pada tempat injury.

  • Pola kadar IL-6 serum pada pasien infeksi HIV yang mendapatkan ARV

    masih kontroversi. Basrard dkk., (2012) melaporkan bahwa kadar IL-6 serum

    berkorelasi positif dengan kadar viral load (VL) HIV pada pasien yang sudah

    terkendali dengan terapi cARV. Nilai batas kadar VL yang bermakna dengan

    peningkatan IL-6 adalah 31 copi/ml. Sedangkan Shive dkk., (2012) melaporkan

    bahwa tidak terdapat hubungan antara kadar IL-6 dengan kadar HIV-1 RNA dan

    tidak terbukti bahwa replikasi HIV memicu ekspresi IL-6 secara in vivo atau in

    vivo. Kadar IL-6 dilaporkan berbanding terbalik dengan kadar CD4 nadir. (Borges

    Gambar 2.5Peran dari IL 6 pada keradangan akut ke keradangan kronik (Gabay, 2008)

  • AH, 2014) Pada penelitian cross sectional dijumpai bahwa kadar IL-6 serum yang

    tinggi terkait dengan anemia pada pasien HIV yang mendapat cARV (Borges

    dkk., 2014).

    Pada anemia akibat penyakit kronik, IL-6 berperan melalui induksi translasi

    dan transkripsi feritin sehingga mengakibatkan peningkatan simpanan besi dalam

    RES. IL-6 juga memicu pembentukkan hepsidin, sehingga absorpsi besi di

    duodenum dan eksport besi dari makrofag menurun. Secara sistemik IL 6

    memberikan dampak hipoferrinemia dan hiperferitinemia. ( Weiss dan

    Goodnough, 2005; Raj DS, 2009)

    Peranan IL 6 pada bebeberapa penelitian masih kontradiksi. Pada penelitian

    di Bali, tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara kadar IL 6 dengan kadar

    besi serum dan kadar hemoglobin pada penderita anemia penyakit kronik

    (Wibawa dan Bakta, 2008). Sedangkan pada penelitian potong lintang pada orang

    dewasa di Jepang dijumpai hubungan terbalik antara kadar IL 6 serum dengan

    kadar besi pada serum (Nakagawa, 2014).

    2.17. Faktor -faktor yang mempengaruhi kadar IL-6 serum selama infeksi

    HIV

    Sangat sedikit data yang tersedia tentang factor-faktor yang berkaitan

    dengan kadar IL 6 serum yang beredar dalam sirkulasi . Penelitian trial 3 study

    besar seperti INSIGT SMART. ESPRITdan SILCAAT yang melibatkan 9864

    responden menemukan bahwa tingginya kadar IL-6 berkaitan peningkatan umur,

    ras bukan hitam, peningkatan IMT, kadar serum lipid yang lebih rendah, replikasi

    HIV. Hitung nadir CD4 yang rendah, pemakaian protease inhibitor, kondisi ko-

  • morbid, penurunan kadar estimated glomerular filtration rate (eGFR)(Borges,

    2015).

    2.18. Peranan hepsidin pada anemia penyakit kronik pada infeksi HIV

    Hepsidin merupakan asam amino yang berperan sebagai regulator utama

    metabolism besi. Hepsidin disintesis terutama di hati, namun beberapa sel dan

    jaringan tubuh yang lain seperti jaringan adiposit, otak, sel makrofag dan neutropil

    yang teraktivasi akibat infeksi bakteri, juga mensintesis hepsidin dalam jumlah

    kecil. Hepsidin yang matang beredar dalam plasma, 89% terikat spesifik pada α2-

    makroglobulin (Ganz dan Nemeth, 2009; Babitt dan Lin, 2010)

    Regulasi sintesis hepsidin pada inflamasi secara umum melalui peranan IL-6

    yang dilepaskan oleh makrofag Sintesishepsidinmeningkat dalam kondisi

    konsentrasibesi plasma yang tinggi, infeksi danatau peradangansehingga terjadi

    Gambar 2.6Peran Hepsidin dalam metabolisme besi (D’ angelo G, 2013)

  • penurunanketersediaanbesi, sedangkansintesishepsidinmenurun terjadi pada

    kondisi yangmemerlukanpeningkatan konsentrasizat besiserum, seperti

    peningkatanatau tidak efektifnya eritropoiesis, hipoksia, anemiadandefisiensi besi.

    Pada infeksi HIV, selama fase akut pada saat terdeteksi viremia, terjadi

    peningkatan kadar hepsidin disertai kadar besi plasma. Pada saat terjadi transisi

    dari infeksi akut ke kronik yaitupada 60 hari pertama infeksi, hepsidin berkorelasi

    positif dengan kadar set poin VL plasma. Hepsidin masih tetap meningkat pada

    pasien HIV kronik yang tidak diterapi maupun yang mendapat terapi ARV.

    Hepsidin masih tetap meningkat walaupun pasien sudah mendapat cARV yang

    mensupresi HIV sampai kadar tidak terdeteksi. Hal tersebut disebabkan oleh

    masih persistennya aktivasi imun yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan

    hepsidin yang disertai oleh peningkatan kadar CRP, IL-18 dan TNFα pada pasien

    yang mendapat terapi cARV. Kadar hepsidin pada fase akut infeksi, menurun

    seiring dengan tersupresinya HIV, namun hepsidin masih tetap meningkat secara

    bermakna (sekitar 2 kali lipat) pada fase kronik (Armitage dkk., 2014). Namun

    hal yang sebaliknya dilaporkan pada publikasi terakhir pada pasien HIV yang

    mendapat cARV, dijumpai kadar hepsidin secara bermakna lebih tinggi pada

    pasien dengan kadar HIV-RNA yang tinggi dibandingkan dengan kadar HIV-

    RNA yang tidak terdeteksi ( Malvoisin dkk.,2015). Penelitian terakhir melaporkan

    bahwa kadar hepsidin pada pasien HIV dengan ARV naïve lebih rendah

    dibandingkan kadar hepsidin partisipan seronegatif dan pasien HIV yang

    mendapat ARV (Cunha JD dkk., 2015). Pada HIV stadium lanjut dijumpai kadar

    hepsidin berbanding terbalik dengan kadar CD4 ( Wisaksana dkk., 2013).

    Gambaran regulasi hepsidin pada infeksi HIV dapat dilihat pada gambar berikut:

  • Gambar 2.7 Regulasi hepsidin pada infeksi HIV (Modifikasi dari Mupfudze TG,

    2014 yang dikutip dari Nemets dan Ganz, 2006)

    2.19. Gambaran klinis anemia pada pasien HIV

    Tidak ada gejala atau tanda spesifik anemia yang lebih sering muncul

    pada kelompok pasien dengan infeksi HIV. Manifestasi klinis anemia pada pasien

    HIV sangat bervariasi tergantung pada penurunan dari kapasitas angkut oksigen,

    derajat perubahan volume total darah, kecepatan terjadinya anemia, kemampuan

    kompensasi dari sitem paru-paru dan kardiovaskular dan manifestasi penyakit

    Ferroporti

    FerroportiEritrosit Dan pemakai Fe yg lain

    Sensor O2 (hypoxia)

    Hepatosit

    Feroportin

    Sensor Fe (anemia)

    Inflamasi IL-6

    CD 4

    Plasma

    Fe

    Recycling senescent cells

    Macrophages

    Duodenum Fe

    infeksi Oportunistik

    Infeksi HIV

    Hepatitis - VHC

    Hepsidin

    Makanan

  • yang mendasari. Pada umumnya pasien dengan anemia derajat sedang dan berat

    akan menunjukkan gejala-gejala. Gejala yang timbul dapat terjadi pada berbagai

    sistim organ.

    2.20. Diagnosis anemia penyakit kronik pada infeksi HIV

    Pada umumnya anemia penyakit kronik adalah berderajat ringan sampai

    sedang dengan gambaran morfologi normokromik normositer, namun dapat juga

    menjadi hipokromik-normositer, namun dengan memberatnya progresivitas

    penyakit, anemia yang berlangsung lama, atau yang terjadi papa populasi yang

    membutuhkan besi lebih banyak, maka dapat menjadi hipokromik-mikrositer

    (Ganz dan Nemeth, 2009; Roy, 2010). Secara biokimiawi, anemia ini ditandai

    oleh kadar serum iron yang rendah, menurunnya kadar total iron binding capacity,

    kadar saturasi transferin menurun, namun cadangan besi masih pada sumsum

    tulang cukup (Price dan Schirier,2010; Roy, 2010)

    Diagnosis anemia penyakit kronik ditegakkan bila kadar Hb < 13 g/dl pada

    laki-laki atau < 12 g/dl pada perempuan, dengan morfologi normokromik-

    normositer atau hipokromik-mikrositer (MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg) dengan

    kadar besi serum < 50 mg/dL, TIBC < 350 mg/dL dan kadar serum feritin ≥ 30

    ng/ml, dengan menyingkirkan anemia pada penyakit ginjal kronik, penyakit hati

    kronik dan hipotiroid. (Bakta, 2006; Cullis, 2011, Poggiali dkk, 2014 )

  • 2.21. Diagnosis Banding anemia penyakit kronik

    2.21.1 Anemia Pada tumor sumsum tulang

    Tumor pada sumsum tulang pada pasien dengan infeksi HIV terutama

    disebabkan oleh leukemia, multiple myeloma, limfoma dan tumor metastase ke

    sumsum tulang. Kemungkinan diagnosis tumor pada sumsum tulang perlu

    dipikirkan bila dijumpai anemia yang disertai splenomegali, organomegali,

    leukositosis, leucopenia, trombositosis atau trombositopenia. (Koury dan Rhodes,

    2012)

    2.21.2 Anemia akibat infeksi sumsum tulang

    Infeksi sumsum tulang pada pendeita HIV dapat disebabkan oleh M. TBC,

    M avium complex, Histoplasmosis, Cryptococcus, cytomegalovirus, Leishmania,

    Pneumocystis carinii dan Parvovirus (Tripathi dkk 2005). Kemungkinan diagnosis

    infeksi pada sumsum tulang perlu dipikirkan bila dijumpai demam yang tidak

    jelas sumbernya, dijumpai anemia yang disertai leukositosis atau leucopenia

    (Koury dan Rhodes, 2012)

    2.21.3 Anemia pada pemakaian obat-obat mielosupresif

    Beberapa obat yang dapat menekan sumsum tulang. Obat ARV yang

    sering menyebabkan anemia adalah zidovudin. Anemia karena zidovudine

    memiliki gambaran morfologis makrositer. Pada pemakaian zidovudin juga sering

    dijumpai neutropenia.

  • 2.22. Penatalaksanaan anemia penyakit kronik pada infeksi HIV

    Sampai saat ini pendekatan terapi anemia pada HIV adalah koreksi

    terhadap penyakit yang mendasari.

    2.22.1. Obat kombinasi antiretrovirus

    Penelitian prospektif pada wanita dengan HIV dijumpai pemakaian cARV

    dalam 6 bulan memberikan dampakperbaikananemia (odds ratio [OR] = 1.45; P<

    0.05) sedangkan pemakaian 12 bulan atau lebih berkaitan dengan efek protektif

    terhadap terjadinya anemia (OR = 0.71; P< 0.001) (Berhane K dkk 2004).

    Dilaporkan bahwa terputusnya pemakaian cARV memiliki risiko yang lebih

    tinggi terjadinya anemia atau perburukkan anemia. Pada penelitian tersebut

    dilaporkan juga bahwa anemia meningkatkan insiden terjadinya AIDS, kejadian

    non-AIDS defining atau kematian (Mocroft dkk ., 2011)

    2.22.2. Epoetin alfa

    Epoetin alfa telah diketahui aman dan efektif untuk terapi anemia pada

    infeksi HIV. Dilaporkan pemberian epoetin alfa 100 – 200 U/kgBB 3 kali per

    minggu secara bermakna meningkatka kadar hematokrit pada pasien AIDS yang

    mendapat terapi zidovudine dengan kadar endogenous erythropoietin < 500 IU/L.

    peningkatan kadar hemoglobin > 1 g tampak setelah pemberian pada minggu 2,

    dengan dikuti peningkatan > 2 g pada minggu 4. Pemberian epoetin alfa juga

    secara bermakna berkaitan berkurangnya kebutuhan transfusi sehingga akan

    meningkatkan kualitas hidup (Volberding PA dkk., 2004)

  • Gambar 2.8 Dugaan Mekanisme Anemia Penyakit Kronik Pada Infeksi HIV yang mendapat terapi kombinasi ARV

    HIV ↑

    cARV

    Interferon IL-6 TNF-IL-10 IL-1

    CD3+Sel Monosit

    MekanismeEfektorI

    Sel T CD4 ↓

    Seleritroid progenitor

    Sumsumtulang Eritropoiesistergan

    Fe ↓

    Makrofag

    Eritropoietin

    Ginjal

    AbsorpsiBesi di duodenum

    Hepsidin

    Hati

    Anemia