bab ii etika perkawinan dalam...
TRANSCRIPT
12
BAB II
ETIKA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam adalah agama fitrah, agama yang memberi pedoman hidup kepada
manusia sesuai dengan tuntunan fitrah hidupnya yang multi dimensional.
Kompleksitas ajaran Islam dapat di lihat dari tujuan umumnya, yaitu sebagai
Rahmatan Lil’alamin, terutama dalam mewujudkan masyarakat yang idial.
Sebagai upaya kearah tersebut, nikah dianggap sebagai suatu dasar pembentukan
dan pembangunan masyarakat. Karena dari sanalah akan muncul generasi-
generasi dengan berbagai karakter yang beragam, yang dalam teori sosial
keagamaan merupakan wujud kedinamisan suatu tatanan sosial.
Perkawinan dalam agama Islam diatur secara cermat dan terperinci karena
itu menyangkut kehidupan rumah tangga. Dengan aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Islam diharapkan rumah tangga akan dapat terbangun dengan
penuh kebahagiaan dan ketenangan serta kasih sayang. Oleh karena itu masalah
perkawinan dalam Islam mendapat prioritas utama untuk ditangani. Hal ini sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai oleh negara yaitu mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur yang mendapat ridha Allah SWT.
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan asal katanya ialah kawin yang mempunyai arti nikah,
berbini, berlaki. Kemudian mendapat awalan “per” dan akhiran “an”
menjadi perkawinan yang mempunyai arti hal-hal mengenai perkawinan.
Nikah adalah salah satu kata Arab yang telah baku menjadi bahasa Indonesia
dapat diartikan dengan kawin. Kata nikah makna asalnya ialah berkumpul,
menindas, menghimpun dan memasukkan sesuatu di samping juga berarti
bersetubuh dan berakad1 atau akad yang mengandung kebolehan melakukan
hubungan suami istri dengan halal.
1Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992,
hlm. 741
13
Menurut golongan Hanafiah nikah menurut arti aslinya adalah
“setubuh” dan secara majazi ialah, akad yang dengannya menjadi halal
suatu hubungan persenyawaan,2 antara pria dan wanita. Golongan Syafi’iyah
nikah secara harfiah adalah “akad” yang menghalalkan persenyawaan
antara pria dan wanita. Sedang menurut arti majazinya adalah “setubuh”.
Menurut Abul Qosim az-Zajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian ahli
usul dari sahabat Abu Hanifah. Nikah adalah berserikat, artinya antara akad
dan setubuh. Adapun menurut Zainuddin al-Malibari, pengertian nikah
adalah: suatu akad yang berisi pembolehan melakukan persenyawaan
dengan mengunakan lafal nikah atau tazwij.”3
Nikah dalam arti sosial: bagi kehidupan masyarakat perkawinan
dianggap jalan menghindari perselisihan, pertengkaran, atau permusuhan
antar manusia. Hidup perkawinan yang saling mencintai dan berkasih
sayang itu ibarat batu bara, semen, pasir, kapur, dan sebagainya dari
bangunan umat muslim yang dicita-citakan Islam.4
Nikah dalam arti agama: perkawinan itu ibadah. Manusia sebagai
mahluk Allah, harus mematuhi perintahNya untuk berpasang-pasangan
dengan jodoh yang telah dipertemukan Allah SWT.5 Islam mengajarkan
agar perkawinan itu dilakukan dengan niat yang luhur, niat mengikuti sunah
Rasul agar benar-benar bernilai ibadah.
Nikah dalam arti hukum: pernikahan berarti ikatan. Menurut UU
No.1 Tahun 1974, tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita, sebagai suami istri dengan tujuan
2Emha Ainun Najib dalam bukunya Slilit Sang Kyai menggunakan kata persenyawaan
sebagai ganti dari kata persetubuhan. Sebab hematnya persetubuhan hanya mencakup aspek fisik atau hanya berdasar dimensi watak biologis semata. Sedangkan persenyawaan dilakukan dalam koridor yang mencakup semua aspek atau dimensi yang dimiliki oleh keseluruhan potensi manusia.
3Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in, Toha Putra, Semarang, t. th, hlm. 1 4Alex Sobur dan Septiawan, Renungan Perkawinan, Puspa Swara, Jakarta, 1999, hlm. 37 5Ibid., hlm. 38
14
membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.6
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa nikah
atau perkawinan adalah suatu akad dengan menggunakan kata menikahkan
atau mengawinkan, sehingga dengan akad tersebut menjadi halal suatu
persenyawaan dan mengikat pihak yang diakadkan menjadi suami istri
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia lagi kekal.
Perkawinan merupakan dasar pembentukan sebuah keluarga yang
merupakan proses pelestarian nilai-nilai kemanusiaan secara terhormat
untuk menciptakan kehidupan yang bahagia, sejahtera. Perkawinan juga
mengharuskan sepasang suami istri menuju kesempurnaan moral dan mental
serta kesejahteraan jiwa dan raga. Allah telah menjadikan perkawinan
sebagai sunnahNya dalam upaya menjalin keberlangsungan makhluk.
Perkawinan yang baik adalah salah satu jembatan untuk menuju
rumah tangga yang baik. Bahwa perkawinan ini didasari agama yang baik,
sebagai pilihan masing-masing pihak. Islam sangat menyukai perkawinan
dan menyuruh manusia untuk, kawin, karena dengan kawin akan terjaga
kehormatannya, dan dengan kawin dapat menyelamatkan dirinya daripada
perbuatan zina.7
Perkawinan merupakan hal yang penting untuk memenuhi kebutuhan
dasar manusia dimana manusia memiliki rasa keterkaitan terhadap lain
jenisnya dan juga keinginan akan keturunan.
Pengakuaan kebutuhan biologis yang sah melalui perkawinan ini
disyariatkan di dalam al-Qur’an sebagai jalan terhormat yang harus
ditempuh manusia dalam upaya mewujudkan cinta kasih sesama. Melalui
perkawinan manusia akan membangun keluarga yang bahagia sejahtera
6Amir Martosedono, SH, Undang-Undang Perkawinan, Dahara Prize, Semarang, 1993,
hlm. 9 7Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, Terbit Bintang,
Surabaya, tt hlm. 23
15
penuh kasih sayang, mengisi dan memakmurkan dunia untuk mencapai
ketentraman dan kedamaiaan.
Perkawinan suatu cara yang Allah tetapkan sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian
hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.8
Selain sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan, perkawinan
dalam Islam juga merupakan sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah.
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat suci dan luhur dimana perikatan
antara seorang laki-laki dan perempuan dalam menetapkan tanggungjawab
dan kelanggengan atas hubungan mereka. Kondisi seperti ini pada akhirnya
akan memunculkan suatu komitmen untuk hidup bersama sesuai ajaran
Islam.
Perkawinan sebagai sesuatu yang suci dan mulia janganlah disia-
siakan upaya membentuk dan menciptakan keluarga yang bahagia perlu
adanya persiapan yang matang dan perencanaan yang mantap, baik dari segi
fisik, mental maupun ekonomi. Islam menganjurkan kepada siapa saja yang
telah mempunyai kesiapan untuk segara menikah dalam rangka menghindari
fitnah.
B Etika Perkawinan
Islam telah menjadikan ikatan pernikahan yang sah berdasar Al-
Kitab dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk membangun
keluarga muslim. Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan ini sangat
besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding pentingnya
dengan separuh Dien atau setengah dari keimanan.9
8M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993,
hlm. 2
9Husein Muhammad Yusuf, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Gema Insani Press,
Jakarta, 1994, hlm. 81
16
Nikah termasuk bagian dari ibadah, yang seharusnya dilakukan oleh
setiap mauslim yang telah memiliki kesiapan lahir dan batin, sebab menikah
merupakan bagian dari kesempurnaan dalam beragama. Dalam penciptaan
mahluk, Allah senantiasa menciptakan dengan berpasangan. Manusia,
diciptakan Allah berpasangan antara laki-laki dan perempuan yang dapat
mengembangkan keturunan yang sah dalam tatanan masyarakat, yang
kemudian itu akan membentuk masyarakat baru, sehingga pada akhirnya
benar-benar menjadi kholifah di bumi. Sebagaimana firman Allah yang
berbunyi dalam surat Adz-Dzariyat : 49.
)49(ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.10
Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan dalam surat al-Hujurat : 13.
ياأيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن
بريخ ليمع إن الله قاكمالله أت دعن كمم13(أكر(
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.11
Perkawinan Nabi Muhammad dengan Siti Khadijah sangat penting
karena baginya telah disediakan seorang mitra yang kepadanya ia dapat
mengandalkan sepenuhnya masa kehidupannya yang paling sulit dan yang
diberkahi kebajikan moral serta kebajikan spiritual untuk bertindak sebagai
seorang istri yang sempurna dari hamba Allah yang paling sempurna pula
10Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Jakarta, 1971, hlm. 862 11Ibid., hlm. 847
17
dan ibu dari keluarga nabi-nabi ahlul bait yang cahayanya akan menerangi
dunia pada kemudian hari.
Perkawinan Nabi dengan Khadijah ini kedua pihak merasakan
kenikmatan dan kebahagiaan hidup yang sesuai dengan suasana rumah
tangga mereka yang sangat rukun dan damai sekali. Kebahagiaan dan hidup
dalam suasana rukun dan damai yang dilalui Khadijah dengan Nabi ini
hidup selama-lamanya dalam kenangan.
Kepribadian Muhammad yang telah diakui penduduk Mekkah yang
menyebabkan Khadijah cinta kepadanya dan dibebaskan mengurus hartanya.
Beruntung sekali Muhammad mendapat istri Khadijah karena ia mendapat
kedudukan yang tinggi dan terhormat diantara penduduk Mekkah.
Mengenai keutamaan pasangan termulya sepanjang zaman ini juga
digambarkan oleh Rus’an. Ia menggambarkan Bahwa Khadijah istri yang
jujur, setia, dan senantiasa melihat suaminya dengan perasaan yang hibah,
kagum hormat yang berpadukan cinta dan kasih sayang.
Keluarga atau rumah tangga secara umum didirikan melalui proses
yang disebut pernikahan atau dengan bahasa yang lain prasyarat dari sebuah
rumah tangga atau keluarga adalah pernikahan.12 Dengan melalui
pernikahan tersebut manusia dapat berhubungan secara syah dalam
membentuk rumahtangga sakinah yang penuh dengan mawaddah warahmah
sehingga dapat untuk mendapatkan anak sholeh.
Bahkan lebih dari itu dengan pernikahan diharapkan dapat meningkatkan jenjang yang lebih tinggi dan mulia, perlindungan moral, pemeliharaan dan kesinambungan suku bangsa, tercipta hubungan psikologis, emosional dan spiritual dan pemeliharaan serta pengembangan anak.13
Uraian di atas merupakan ilustrasi singkat mengenai perkawinan
yang ideal yang terbaik sepanjang zaman dan juga merupakan keluarga
12Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 120 13Khursyid Ahmad, Keluarga Muslim, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 20-23
18
pertama yang menanggung beban berat perjuangan syi’ar Islam. Kalau kita
telaah lebih lanjut berdasarkan ulasan singkat di atas maka setiap prilaku
Nabi beserta keluarga mengandung tauladan yang patut kita ambil
hikmahnya dalam kehidupan masa kini.
Masyarakat yang baik terbentuk dari keluarga yang baik, keluarga
yang baik tercipta dari perkawinan yang baik. Perkawinan yang baik
merupakan perkawinan yang dilaksanakan oleh insan yang baik pula.
Islam tidak cukup kalau hanya menerangai segi kerohaniaan belaka,
tetapi diikuti pula dengan pengaturan hukum dan jaminan perundang-
undangannya14:
1. Hubungan antara kedua belah pihak (yakni antara pria dan wanita) harus
didasarkan atas prinsip kesukarelaan dan persetujuaan.
2. Hubungan pernikahan itu harus dilakukan secara terbuka dan disaksikan
orang, tidak boleh dilakukan secara rahasia dan sembunyi-sembunyi
seperti perbuatan jahat.
3. Pernikahan harus dilandasi niat untuk seterusnya, bukan untuk sementara
waktu, jika didasarkan pada niat untuk sementara waktu maka
pernikahan itu tidak sah.
Hubungan keduannya harus bisa mencerminkan rasa ketentraman,
kemantapan, cinta kasih, lemah lembut, penuh kasih sayang dan saling
menghormati.
Mewujudkan keluarga sakinah merupakan sebuah keniscayaan ketika ingin menciptakan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Upaya untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera ini dapat diwujudkan melalui penegakan prinsip akhlaq dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban moral yang menjadi kemestian baginya dan penerimaan akan hak masing-masing anggota dengan sempurna.15
14Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 50-
51 15Hamzah Ya’kub, Ethika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar ), CV.
Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 146
19
Selain itu kesiapan pasangan suami istri dalam memasuki gerbang
perkawinan yang sesuai dengan norma agama, susila, dan peraturan
perundangan serta adanya saling kesediaan, saling mengerti dan menerima
pasanganya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah kebahagiaan dan
kesejahteraan sebuah keluarga ditentukan oleh pribadi calon keluarga yang
akan membentuk keluarga tersebut
Upaya ini dapat diawali dengan pemilihan jodoh, pernikahan yang
baik yang meliputi pemenuhan akan kewajiban masing-masing pihak serta
kesadaran akan kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan.
1. Pedoman pemilihan jodoh.
Proses pembentukan keluarga dapat di mulai dengan pemilihan
jodoh sebab untuk membina keluarga yang bahagia dan sejahtera
banyak ditentukan oleh pribadi calon keluarga yang akan membentuk
keluarga tersebut, sehingga sangatlah tepat jika dikatakan memilih
jodoh yang tepat adalah separuh dari sukesnya perkawinan.16
Dalam sebuah keluarga memilih jodoh seperti membuat pondasi
rumah, jika baik pondasi tersebut maka bangunan tersebut akan kuat
begitu juga sebaliknya jika rapuh pondasi tersebut maka bangunan itu
akan rapuh juga.
Dasar pemilihan jodoh bermacam-macam, setiap pribadi
keluarga dan masyarakat memilki gambaran ideal tentang figur calon
hidupnya. Orang-orang tua zaman dahulu misalnya mendasarkan
pemilihan jodoh berdasarkan bebet, bibit dan bobot.17 Kemudian Abdul
Aziz juga berpendapat bahwa dasar pemilihan jodoh adalah agama,
keturunan, akhlaq, pendidikan, kesehatan, adat istiadat dan tanpa
menafikan faktor lain sesuai dengan konsep kesepadanan.18
16Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia dan Sejahtera, CV. Wicaksana, Semarang, 1990,
hlm. 25 17Abdul Aziz, op. cit., hlm. 25 18Ibid., hlm. 26
20
Berbeda dengan di atas adalah Dadang Hawari yang
menjelaskan bahwa persiapan bagi calon suami istri yang ingin mencari
pasangan memakai tolok ukur aspek fisik, mental psikologik dan psiko
sosial.19
Dari berbagai uraian para pakar di atas tentang pemilihan jodoh
kalau kita telaah bersama pemilihan jodoh yang baik adalah sesuai
dengan konsep kesepadanan atau kesekufuan. Hal ini selaras dengan
ajaran Islam sebagaimana Rasulullah SAW memberikan petunjuk untuk
memilih jodoh yang terbaik.
ح املرأة أل ربع ملاهلا وحلساا وجلماهلا ولدينها فاظفر بذات الدين تنك تربت يدك
Artinya : wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya, pilihlah wanita yang beragama engkau akan selamat. (H.R Bukhori dan Muslim)20
Jodoh merupakan masalah yang aktual dan segar untuk selalu
diperbincangkan dan juga merupakan masalah yang sulit untuk ditangai
dalam dunia kenyataan. Namun begitu ketika kita yakin akan adanya
Allah dalam setiap gerak langkah kita, maka Allah akan menunjukkan
jalan yang benar.21 Jalan yang benar dalam konteks ini adalah jalan
bagaimana kita memilih jodoh yang baik dalam upaya menciptakan
keluarga sakinah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqoroh :
221.
لوركة وشم من رية خمنؤة ملأمو منؤى يتركات حشوا المكحنلا تو
كمتبجأع
19Dadang Hawari, Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa, PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 252
20Kholilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, CV. Bulan Bintang, Surabaya, t.th, hlm. 31
21Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius (Membumikan Nilai-Nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat), Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 76
21
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.22
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa, pemilihan jodoh
merupakan permasalahan yang aktual dan krusial sepanjang zaman. Jika
salah kita dalam memilih jodoh maka salah kita dalam memilih calon
pondasi atau landasan dari sebuah bangunan yang akan kita bangun.
Mengenai pemilihan jodoh ini Hakam menjelaskan bahwa
pemilihan jodoh yang baik adalah berdasarkan tuntunan agama.
Tuntunan agama tersebut adalah bagi calon pasangan suami istri dalam
memilih pasangan hidupnya hendaknya memperhatikan aspek
lingkungan yang baik, agama dan ketrampilan.
a. Lingkungan yang baik.
Faktor lingkungan didahulukan sebab seseorang sangat
terpengaruh bahkan terbentuk oleh akhlaq dan kebiasaanya dengan
segala sesuatu yang berkembang dalam lingkungannya. Kenyataanya
bahwa tanah yang baik akan menghasilkan tanaman yang baik
begitu pula tanah yang kurang baik akan menghasilkan tanaman
yang kurang baik pula.
Di samping itu secara ilmu genetika dijelaskan bahwa
semakin dekat hubungan kekerabatan antara suami dan istri maka
akan semakin menimbukan semacam penimbunan sifat-sifat yang
tidak dikehendaki pada keturunan seperti idiot 23
b. Agama.
Unsur agama sangat penting karena suatu pernikahan atas
tujuan duniawi saja, maka akan ditimpa berbagai macam goncangan
yang tidak terkira dan juga terpenuhinya unsur agama bagi calon
22Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 53 23Abdul Hakam Ash-Sha’di, Menuju Keluarga Sakinah, Akbar, Jakarta, 2001, hlm. 55-
56
22
pasangan suami istri akan bisa menutupi kekurangan unsur yang
lain. Di samping itu syarat agama yang kuat berlaku bagi keduanya
terlebih bagi pria karena dia sebagai pemegang tali kendali
keluarga.24
Dengan kesempurnaan atau kualitas agama calon pasangan
suami istri diharapkan agar kaum muslimin dalam membangun
rumah tangga tidak hanya berpangkal pada kehidupan duniawi saja
namun juga kebutuhan ukhrawi. Di samping itu wanita atau pria
yang kuat agamanya diharapkan akan mampu menjadi pendidik,
pengasuh, pelatih dan pemelihara yang baik bagi generasi penerus. 25
c. Memiliki ketrampilan.
Prinsip memiliki ketrampilan juga ditekankan pada kedua
calon pasangan suami istri terlebih bagi calon suami. Hal ini
dikarenakan untuk memenuhi unsur kesepadanan, walaupun tentang
masalah ini para ulama‘ berbeda pendapat.26
2. Perkawinan yang baik.
Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilaksanakan
sesuai dengan aturan-aturan agama.27 Di samping itu perkawinan yang
baik adalah perkawinan yang didasari oleh kesadaran masing-masing
pihak akan hak dan kewajiban masing-masing serta pemenuhannya
secara sempurna .
Mengenai hak dan kewajiban suami istri ini dalam Undang-
Undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di sebutkan bahwa hak dan
kewajiban suami istri pada dasarnya adalah suami wajib melindungi
istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup rumahtangga
24Ibid., hlm. 76 25Abdul Aziz, op.cit., hlm. 33 26Abdul Hakam Ash-Sha’di, op.cit., hlm. 78 27Lubis Salam, op.cit., hlm. 23
23
sesuai dengan kemampuan dan juga istri wajib mengatur urusan rumah
tangga dengan sebaik-baiknya. Kewajiban pokok tersebut antara lain :
a. Kewajiban suami terhadap istri.
Bagi seorang suami, Istri adalah amanat Allah yang harus
dijaga sebaik-baiknya karena seorang suami mendapatkan istri
dengan melalui perjanjian yang luhur atau sebuah perjanjian yang
berat dalam bahasa Nurcholis Madjid.28 Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa : 21.
وكيف تأخذونه وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم ميثاقا
)21(غليظا
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.29
Selanjutnya kewajiban suami terhadap istri yang pokok
antara lain : mengajarkan pengetahuan agama dan dunia yang ia
butuhkan, memperlakukan dengan baik dan menjaga perasaannya30
1. Mengajarkan pengetahuan agama dan dunia yang ia butuhkan.
Ini ditempatkan pada posisi awal sebab istri nanti diharapkan
bisa menjadi wanita shaleh secara global atau sosial bukan hanya
shaleh secara individual.31 Kelalaian suami dalam mengajarkan
berbagai masalah lain sebagai bekal dalam berinteraksi dengan
orang lain terhadap istri akan menimbulkan berbagai ketimpangan.
28Nurcholish Madjid, op.cit., hlm. 76 29Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit., hlm. 120 30Abdul Hakam Ash-Sha’di, op.cit., hlm. 82-84 31Ibid., 83
24
2. Memperlakukan dengan baik.
Termasuk dalam kategori ini adalah berbuat baik, sopan, adil dalam berbagai hal terlebih jika mempunyai istri lebih dari satu. Mengenai hal ini Hamzah Ya’kub menambahkan yaitu : menggauli istri dengan sopan, memberikan nafkah lahir dan bathin dan menyimpan rahasia istri.
3. Menjaga perasaan istri.
Suami harus menghormati perasaan istri dan menjaga
nalurinya serta bertindak kepadannya dengan tindakan yang layak
kemanusiaannya. Selain itu juga suami harus memperlakukannya
dengan penuh kebijakan demi mempertahankan rasa cintanya demi
mendorong berkembangnya bakat- bakat yang positif.
Demikian tadi uraian tentang kewajiban suami terhadap istri
berdasarkan petunjuk Islam. Oleh karena itu jika tidak memenuhi
kewajibannya terhadap istri berarti dia telah menghianati Allah
SWT.
b. Kewajiban istri terhadap suami.
Sebagaimana diketahui Islam telah memberikan hak bagi seorang istri atas suaminya dia juga telah menetapkan hak seorang suami atas istrinya agar kehidupan keluarga menjadi berkembang dan seimbang menuju terciptanya keluarga sakinah. Kewajiban yang diberikan oleh Allah SWT kepada masing-masing adalah sesuai dengan fitrahnya sehingga setiap pelanggaran atas hal itu di anggap sebagai jalan yang merusak keluarga dan menghancurkan kedamaiannya.
Kewajiban istri terhadap suami tersebut adalah :32
1. Kepemimpinan keluarga.
Kendali keluarga di tangan suami (lelaki) karena
kekuatan dan kegigihan yang dikaruniakan Allah kepadanya
serta kemampuan mencari rizeki di muka bumi. Kepemimpinan
32Ibid., 88-96
25
ini bermakna menyerahkan manajemen keluarga serta
pengarahan-pengarahan anggotanya kepada sesuatu yang
membawa kebaikan untuk mereka di dunia dan akhirat kepada
pemimpin mereka yakni suami. Berangkat dari pengertian ini
berarti seorang lelaki harus bekerja keras untuk menghidupi
keluarga. Hal ini juga berdasarkan statusnya sebagai mahluk
Allah yang mempunyai kelebihan maka suami merupakan
pemimpin rumah tangga.33 Hak tersebut bagi suami merupakan
hak lelaki yang normal dan tidak ada otoritarianisme dan
perampasan hak wanita dan kehormatannya. Karena hal itu
semata-mata penentuan tanggung jawab dan penyerahan tugas
kepada yang berhak menerimanya.
2. Ketaatan secara mutlak dalam hal tidak maksiat pada Allah.
Allah telah mewajibkan seorang istri untuk taat pada
suaminya dalam segala hal yang di sana tidak terdapat
pelanggaran ajaran agama dan kemaksiatan pada Allah.
3. Melayani suami dengan baik.
Wanita yang mentaati suaminya hendaknya berperasaan
lembut saat ada suami maupun tidak ada, mencari keridhaanya
dan mewujudkan sebesar mungkin rasa ketentraman dan
ketenangan di rumah. Sesungguhnya kalau istri menunaikan hal
itu dan senantiasa menjaganya hingga menjadi sifat yang
menempel pada dirinya maka akan mendapatkan ridha suaminya.
4. Amanah terhadap nama baik dan harta suami.
Hal ini menuntut istri untuk tidak menghianati suaminya
baik di dalam maupun di luar tempat tidur dan juga dalam
hartanya. Tidak menghianati berarti seorang istri tidak bebas
memasukkan seorang lelaki manapun dirumahnya ataupun
kamarnya dengan motivasi. Sedangkan tidak menghianati
33Hamzah Ya’kub, op.cit., hlm. 146
26
hartanya berarti seorang istri tidak boleh menggunakan harta
suami tanpa seijin suaminya.
5. Melihat harta suami yang sedikit menjadi banyak.
Kewajiban istri terhadap suami lagi adalah untuk
memandang yang sedikit yang diberikan oleh suami itu sebagai
banyak dan membalas perbuatanya dengan rasa syukur serta
melihat kondisi suaminya dengan rasa penghargaan.
6. Setia terhadap suami dan menghormati keluarganya.
Kalau Islam mewajibkan suami untuk setia terhadap
istrinya maka sebaliknya Islam juga mewajibkan seorang istri
untuk taat pada suaminya. Hal ini karena kesetiaan merupakan
akhlaq mulia yang mengungkapkan ketulusan, keimanan yang
dalam dan keikhlasan.
Demikian sekilas tentang hak dan kewajiban suami istri yang pokok
yang dapat menunjang terciptanya keluarga sakinah yang penuh mawaddah
warahmah. Berdasarkan pendapat para ahli tentang kewajiban suami dan
istri tersebut maka menurut hemat penulis kunci bagi terciptanya
perkawinan yang baik menuju keluarga sakinah yang penuh cinta dan
kasih sayang atau keluarga bahagia dan sejahtera dapat ditegakkan mula-
mula dengan pemenuhan kewajiban secara sempurna akan masing-masing
hak.
C. Tujuan Perkawinan
Allah SWT menyariatkan nikah adalah untuk memelihara
kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari kerusakan. Berdasar
penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara
dan diwujudkan untuk mencapai maslahat, yakni: agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta.
Perkawinan bukanlah suatu perbuatan yang tanpa tujuan, tetapi
perkawinan adalah amanah dan sunnah Allah yang bisa menempatkan
manusia benar-benar pada possisinya sebagai makhluk yang paling
27
sempurna. Dengan perkawinan berarti manusia menghormati nilai-nilai
sebuah kehormatan yang dilakukan oleh makhluk Allah SWT yang
mempunyai cipta, rasa dan kasra.
Islam begitu menekankan lembaga perkawinan. Tentu saja ada
tujuan yang jelas. Secara umum Islam menerima baik lembaga perkawinan
agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual. Sebagai
bentuk mekanisme untuk mengurangi ketengangan, membiakkan keturunan
dan kedudukan sosial seseorang secara absah. Serta memperkuat pendekatan
dalam keluarga dan solidaritas kelompok.34
Islam memandang lembaga itu bukanlah sekedar keterkaitan yang
sepele. Seseorang haruslah secara jujur mampu menunjukkan
tanggungjawabnnya, sebelum menikah. Islam justru bertujuan untuk
meningkatkan derajat manusia itu lewat perkawinan. Tujuan perkawinan
bukan sekedar pemenuhan kesenangan duniawi atau biologis, tetapi
mempunyai tujuaan yang lebih dari itu, sebagaimana yang disebutkan dalam
al-Qur’an Surat Ar-Rum : 21 sebagai berikut:
ومن ءاياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها وجعل بينكم مودة
ورحمة إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.35
Dari ayat di atas bahwa perkawinan bertujuan untuk membina
keluarga yang rukun, tenang, dan bahagia. Dalam hidupnya diharapkan
34Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Muslim (The Family Structure in Islam), PT. Bima
Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 73-74 35Lihat al-Qur’an dan Terjemahnya, op.cit, hlm. 644
28
saling cinta mencintai dan kasih mengkasihi, serta dapat membuahkan
keturunan yang sah secara agama.
Berikut ini pendapat berbagai tokoh tentang tujuan perkawinan :
1. Mahtuh Ahnan, menjelaskan tujuan perkawinan ada tiga, 36 yaitu :
a. Sakinah: dimana anggota keluarga hidup dalam keadaan tenang dan
tentram, seia sekata, seayun selangkah, ada sama dimakan, kalau
tidak ada sama dicari.
b. Mawaddah: kehidupan anggota keluarga dalam suasana kasih
mengasihi, butuh membutuhkan, hormat menghormati satu sama
lainnya.
c. Rahmah: pergaulan anggota keluarga dengan sesamanya saling
menyanyangi, cinta mencintai, sehingga kehidupannya diliputi rasa
kasih sayang.
2. A. Muhjab Mahalli, menjelaskan tujuan perkawinan ada 11,37 yaitu :
a. Menciptakan keluarga Islami.
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa tidak lebih
adalah ibarat bangunan, yang pasti memiliki tiang-tiang penyangga.
Masyarakat terdiri dari unsur keluarga terdiri dari insan-insan shalih,
kuat lagi produktif, tentu keluargapun akan menjadi shalih lagi
kokoh, pasti tercipta lingkungan masyarakat yang sehat, kuat lagi
mulia.
Islam menaruh perhatian khusus bagi terciptanya keluarga
muslim, yang pada gilirannya tercipta suatu masyarakat dan bangsa
yang hidup penuh ketentraman, hingga mereka mampu menjadi
kholifah di muka bumi yang sebenarnya. Pernikahan yang dilandasi
36Maftuh Ahnan, Rumahku Syurgaku, CV. Bintang Remaja, tt, tth, hlm. 12 37A. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya (Kado Pernikahan untuk
Pasangan Muda), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-84
29
dengan nilai-nilai Islami sajalah yang mampu melahirkan generasi
berkualitas serta membina keluarga berdasarkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Pernikahan merupakan satu-satunya sarana untuk
menciptakan keluarga, keturunan dan merupakan fitrah dari Allah
SWT yang diberikan kepada umat manusia, agar kehidupan mereka
berkembang dan terus berkesinambungan.
b. Mengatur potensi kelamin.
Pernikahan merupakan sarana untuk melestarikan keturunan,
serta menentukan kelestarian sejarah perkembangan hidup manusia
yang nantinya membentuk sebuah rumahtangga yang dapat
mengarahkan umat manusia kearah keselamatan yang hakiki.
Hubungan kelamin menjadi kebutuhan biologis, yang sudah barang
tentu kelestarian hidup manusia di bumi ini tidak bisa terwujud tanpa
dengan menyalurkan kebutuhan tersebut.
Islam sangat menginginkan adanya sasaran-sasaran
kehidupan yang terpuji. Islam juga menghargai segala sesuatu yang
dapat mengantarkan kepada tercapainya tujuan-tujuan mulia dalam
melestarikan sejarah kehidupan manusia.
c. Merasakan penderitaan hidup.
Pernikahan adalah bersifat abadi bukan terbatas pada waktu
tertentu dan tidak pula akan habis pada massa yang ditentukan.
Berkeluarga haruslah bersifat terus menerus, yang tujuannya adalah
untuk mencapai kedamaian dan ketenangan. Itu terwujud dengan
adanya rasa kasih sayang diantara suami istri. Kehidupan masa
depan tidak mungkin cemerlang tanpa adanya kedamaian.
d. Menebus dosa.
Pernikahan dalam pandangan Islam dapat dijadikan sebagai
sarana penebus dosa, bertaubat, beristiqomah dan pengangkat
derajat. Bahwa Rasulullah telah menegaskan” Barangsiapa
30
menginfakkan harta untuk diri sendiri dengan maksud untuk menjaga
kehormatan diri, maka hal itu adalah termasuk amal sedekah”. Dan
barangsiapa menginfakkan hartanya untuk kepentingan anak, istri
dan keluarga yang menjadi tanggungannya, maka hal itu termasuk
amal sedekah.
e. Meningkatkan kualitas berjihad.
Bekerja demi mencari kecukupan keluarga, sabar terhadap
perilaku istri, terus-menerus membimbing istri kejalan agama, dan
mendidik anak adalah bagian dari berjihad di jalan Allah. Hal
tersebut merupakan upaya memberikan perlindungan, pemeliharaan
dan pembinaan terhadap keluarga.
Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan: “Satu di antara
banyak jenis berjihad adalah mencari nafkah untuk mencukupi
kebutuhan diri dan keluarga”. Mendidik anak dan berlaku adil
terhadap mereka merupakan kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan
sebagaimana kewajiban berjihad meluhurkan agama Allah.
f. Menyempurnakan akhlak.
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sarana efektif
untuk menyelamatkan umat manusia dari dekadensi moral, dan
menjaga kehidupan bermasyarakat dari keporak-porandaan.
Rasulullah sangat manganjurkan kepada para pemuda untuk
menikah. Menikah dapat memejamkan mata dari pandangan yang
diharamkan dan memelihara kehormatan dari perzinaan. Yang
terpenting dari pernikahan adalah mengikuti Sunnah Rasul dan
mencari ridha Allah SWT. Agama dan akhlak adalah ukuran dalam
memilih jodoh, bukan kekayaan, kecantikan maupun keturunan.
Allah sama sekali tidak akan memberikan penilaian terhadap
keindahan tubuh atau harta benda yang dimiliki, tetapi akan
mengutamakan amal perbuatan dalam mengarungi kehidupan
31
g. Melahirkan keturunan yang mulia.
Pertemuan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dalam jenjang pernikahan sebagai suatu sarana untuk
mencapai tujuan yaitu keturunan yang mulia. Keturunan yang baik
sangat didambakan oleh keduannya, sebab keturunan yang baik
merupakan bagian dari kenikmatan yang diberikan Allah kepada
umat manusia.
Hubungan antara anak dengan seorang bapak merupakan
hubungan fitri yang didasari rasa cinta kasih yang abadi, dimana
tidak ada seorangpun yang mampu melepaskan kecintaanya terhadap
anak turun dan keluarga. Bahwa anak turunlah yang dapat
melanjutkan perjuangan hidupnya, serta akan menghidupkan kembali
nama harum keluarga.
Pernikahan dalam Islam merupakan sarana efektif untuk
mencapai tujuan terbentuknya masyarakat mulia yang dihias dengan
tali persaudaraan yang erat lagi penuh kemesraan. Pernikahan
menjadi penyebab luasnya persaudaraan antara satu keluarga dengan
keluarga yang lain, antara suku dengan suku yang lain, sehingga
terciptalah lingkungan keluarga yang lebih besar. Hubungan itu
nantinya semakin meluas, dan dapat memunculkan masyarakat
islami yang kokoh, saling menopang dan saling menghormati.
h. Memperbanyak keturunan.
Rasulullah berulangkali menganjurkan kepada umatnya untuk
menikah dan memperbanyak keturunan. “Nikahilah olehmu wanita-
wanita yang penuh keibuan dan subur peranakannya. Allah
memerintahkan kepada kaum muslimin untuk memperoleh anak
shalih yang sebanyak-banyaknya, sehingga kehidupannya bisa
memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
32
i. Meraih kesehatan.
Pernikahan memberi perlindungan terhadap mereka dari
kebiasaan tercela yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam
jurang kehinaan, dan menghindarkan mereka dari bahaya yang
mengancam. Misalnya perbuatan kotor berupa onani, perzinaan,
homoseks, lesbi, sipilis, aids, dan perbuatan yang lain yang dilarang
oleh agama. Rasulullah tidak henti-hentinya selalu menganjurkan
kepada umatnya agar menikah. Hanya dengan menikah mereka akan
terhindar dari berbagai penyakit kelamin yang memalukan. Semua
perbuatan yang di atas merupakan perbuatan yang dapat
mengantarkan mereka kearah kehancuran.
j. Menegakkan Sunnah Rasul.
Pernikahan adalah bagian dari Sunnah Rasul yang harus
dilestarikan. Rasulullah telah menegaskan “Sebagian dari sunahKu
adalah menikah. Barangsiapa mencintai Aku, maka hendaklah dia
menegakkan sunahKu”. Pernikahan memperpanjang tali
persaudaraan semakin kuat, terjaga kesucian nasab, agama semakin
sempurna, dan tingkat ketaatan dalam menegakkan sunah Rasul.
k. Mendidik generasi baru.
Pendidikan yang baik adalah sebagai tanda terwujudnya
keturunan yang mulia. Sebab yang dimaksud mencari keturunan,
bukan sekedar melahirkan akan membiarkan mereka tersia-sia, tetapi
mewarnai kehidupan ini dengan unsur-unsur yang dapat menegakkan
prinsip-prinsip keluarga, serta membekali masyarakat dengan sesuatu
yang bersifat membangun.
Kewajiban dalam keluarga adalah memberikan didikan-
didikan agama kepada anggota keluarga itu sendiri. Memberikan
pelajaran agama yang nantinya dapat membuat berpendirian kokoh,
diantaranya memasukkan kata-kata yang bernilai Islami.
33
3. Drs. RS Abdul Aziz, menjelaskan tujuan perkawinan ada 5, 38 yaitu :
a. Untuk mencapai ketenangan hidup. Seperti yang tercantum dalam surat Ar-Rum: 21, tujuan perkawinan adalah untuk mendapatkan sakinah, yakni merasakan ketenangan yang di ikat dalam rasa kasih sayang dan cinta mencintai.
b. Untuk memperolah keturunan yang sah. Sudah menjadi Sunnatullah bahwa semua mahluk hidup menjalani proses regenerasi atau mengembangkan keturunan bagi kelangsungan hidupnya pada masa-masa mendatang.
c. Untuk mengamalkan dan menegakkan ajaran Islam. Islam memerintahkan umatnya agar melangsungkan pernikahan menurut kecocokan masing-masing, agar dapat mengatur hidup antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrah manusia.
d. Untuk menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, terutama perzinaan. Dengan pernikahan yang sah seseorang dapat menempatkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
e. Untuk menciptakan ketentraman hidup dan kasih sayang, cinta mencintai antara suami istri dan anak-anak.
Tujuan menurut Rasulullah SAW adalah membina hidup rumahtangga bahagia, menjaga kehormatan, mengikat persaudaraan dan menjauhkan diri dari penyelewengan syahwat.39
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan mempunyai
tujuan yang sangat mulia. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga
yang bahagia, sejahtera, harmoni, kekal, kehidupannya terasa lebih tenang
dan tentram, memperteguh kelanggengan rasa cinta dan kasih sayang,
menciptakan keharmonisan, serta dapat memperoleh kekayaan yang
melimpah ruah Perkawinan akan membentuk suasana menjadi damai, saling
38Abdul Aziz, (ed) Drs H Moh Rifai, op.cit., hlm. 18-23 39M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993,
hlm. 3
34
menghormati, saling toleransi, muncul rasa saling mengasihi dan
menyanyangi.
Perkawinan akan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat dan
penuh berkat dari Allah. Maka calon suami istri harus sudah matang, baik
secara fisik maupun mental. Dengan memahami tujuan tersebut dapat
menjadikan barometer dan pedoman di dalam mengemudikan bahtera
rumahtangga
Islam menganjurkan dan mendorong adanya suatu perkawinan
dengan ketentuan-ketentuan yang sudah diaturnya sedemikian rupa karena
akan dapat membawa khas positif yang sangat bermanfaat. Baik bagi pelaku
sendiri, sebagai indivudu, sebagai anggota masyarakat. Terkhusus pada hal
memelihara keturunan, ada ketentuan-ketentuan daruriyyah, yaitu
memelihara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat esensi bagi kehidupan
manusia. Di samping hal tersebut ada beberapa hikmah yang dikemukakan
oleh para ulama dari pensyariatan nikah, antara lain.
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar. Islam ingin
menunjukkan bahwa yang membedakan manusia dengan hewan dalam
penyaluran naluri seksual adalah melalui perkawinan, sehingga segala
akibat negatif yang ditimbulakan oleh penyaluran seksual secara tidak
benar dapat dihindari sedini mungkin.
2. Cara paling baik untuk mendapatkan anak dan mengembangkan
keturunan secara sah. Rasullullah bersabda “Nikailah wanita yang bisa
memberikan keturunan yang banyak, karena saya akan bangga sebagai
Nabi yang memiliki umat yang banyak dibanding Nabi-Nabi lain di
akhirat kelak” (HR Ahmad bin Hanbal)
3. Menyalurkan naluri kebapakana atau keibuan yang dimiliki seseorang
dalam rangka melimpahkan kasih sayang.
35
4. Memupuk rasa tanggungjawab dalam rangka memelihara dan mendidik
anak, sehingga memberikan motivasi yang kuat bagi seseorang untuk
membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggungjawab.
5. Membagi rasa tangungjawab antara suami dan istri yang selama ini
dipikul masing-masing pihak.
6. Menyatukan keluarga masing-masing pihak, sehingga hubungan
silaturahim semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang lebih
banyak.
7. Memperpanjang usia. Islam menginginkan pasangan suami istri yang telah membina suatu rumah tangga melalui akad nikah tersebut bersifat langgeng. Terjalin keharmonisan di antara suami istri yang saling mengasihi dan menyanyagi itu sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumahtangganya.40
Dengan terpenuhinya syarat dan rukun sebagaimana telah
dikemukakan, maka akad nikah di pandang sah sebagai peristiwa hukum
dalam pandangan hukum syar’i. Dengan demikain timbul hak dan kewajiban
di antara dua pihak yang diakadkan, yaitu sejalan dengan perubahan
kedudukan keduanya telah menjadi suami dan istri.
40Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1997, hlm. 1329-1330
36
37
DAFTAR PUSTAKA BAB II 1. Tim IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta,
1992, hlm. 741
2. Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in. Kudus: Menara Kudus, 1979, jilid III, hlm. 1
3. Alex Sobur dan Septiawan, Renungan Perkawinan, Puspa Swara, Jakarta, 1999, hlm. 37
4. Amir Martosedono, SH, Undang-Undang Perkawinan, Dahara Prize, Semarang, 1993, hlm. 9
5. Lubis Salam, Menuju Keluarga Sakinah Mawaddah dan Warahmah, Terbit Bintang, Surabaya, tt hlm. 23
6. M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 2
7. Husein Muhammad Yusuf, Keluarga Muslim dan Tantangannya, Gema Insani Press, Jakarta, 1994, hlm. 81
8. Jalaludin Rahmat, Islam Alternatif, Mizan, Bandung, t.th., hlm. 120
9. Khursyid Ahmad, Keluarga Muslim, Risalah, Bandung, 1986, hlm. 20-23
10. Sayyid Qutub, Islam dan Perdamaian Dunia, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987, hlm. 50-51
11. Hamzah Ya’kub, Ethika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar ), CV. Diponegoro, Bandung, 1996, hlm. 146
12. Abdul Aziz, Rumah Tangga Bahagia Dan Sejahtera, CV. Wicaksana, Semarang, 1990, hlm. 25
13. Suheri Sidik Ismail, Ketentraman Suami Istri, Dunia Ilmu, Surabaya, 1999, hlm. 40
14. Dadang Hawari, Alqur’an Ilmu Kedokteran Jiwa, PT. Dhana Bhakti Prima Yasa, 1998, hlm. 252
15. Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, Paramadina, Jakarta, 2000, hlm. 76
16. Abdul Hakam Ash-Sha’di, Menuju Keluarga Sakinah, Akbar, Jakarta, 2001, hlm. 55-56
17. Nurbini, Dakwah Islam dalam Keluarga, dalam Risalah Walisongo Edisi 66 Nop-Des 1996
18. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an , Jakarta, 1971, hlm. 120
19. DR. Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Muslim (The Family Structure in Islam), PT. Bima Ilmu, Surabaya, 1984, hlm. 73-74
20. Maftuh Ahnan, Rumahku Surgaku, CV. Bintang Remaja, tt, tth, hlm. 12
21. Mudjab Mahalli, Menikahlah Engkau Menjadi Kaya (Kado Pernikahan untuk Pasangan Muda), Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 36-84
22. M. Thalib, Buku Pengangan Perkawinan Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993, hlm. 3
23. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997, hlm. 1329-1330
38