bab i sampai bab v

Upload: dwi-ariyn-nugroho

Post on 22-Jul-2015

387 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

1

. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barang-barang/kargo. Keamanan laut pada umumnya merupakan tanggung jawab semua negara. Wilayah laut dapat dikatakan telah aman apabila laut tersebut bebas dari gangguan terhadap aktifitas penggunaan dan pemanfaatannya serta bebas dari ancaman kekerasan, termasuk ancaman penggunaan kekuatan bersenjata yang dinilai dapat menganggu dan membahayakan kedaulatan suatu negara. Keamanan nasional suatu negara merupakan suatu konsep yang abstrak dan mempunyai cakupan yang luas. Banyak hal yang dapat mengganggu keamanan nasional suatu negara, baik dari dalam negara itu sendiri maupun dari negara lain. Transnational Crime (kejahatan lintas negara) merupakan isu yang komprehensif dan kolektif. Kredibilitas suatu negara dapat diuji melalui sikapnya dalam menghadapi kejahatan lintas negara.1 Kejahatan lintas negara merupakan bentuk kejahatan yang kompleks yang melibatkan lebih dari satu negara, karena dalam praktek kejahatan ini terjadi pada lintas batas negara dan mengancam keamanan global. Transnational Crime 1 http://satanicsuperstar.blogspot.com/2009/05/transnational-crime-perompakan. Diakses pada: 1Desember 2008.

2

(kejahatan lintas negara) seperti terorisme, human and drugs trafficking, smal arms and fire weapon trafficking, environmental damaging, pelanggaran HAM, pembajakan pesawat, pembajakan di laut, dan jenis kejahatan-kejahatan lainnya yang dapat merugikan negara terus menjadi isu keamanan dan menjadi perhatian dunia internasional. Salah satu fenomena yang menyangkut isu keamanan negara ialah pembajakan atau perompakan di laut. Kejahatan lintas negara ini sangat meresahkan dunia internasional, karena sasaran dari kejahatan tersebut ialah kapal-kapal komersial dari berbagai negara yang melintasi suatu wilayah perairan.2 Pada hakikatnya bajak laut ini sudah ada sejak abad ke-17, namun menurut sejarah kuno, bajak laut sudah ada sejak abad ke-3 yang ditandai dengan munculnya bajak laut asal Yunani dan Romawi Kuno. Pada saat itu, kapal dan segala perlengkapannya belum begitu memadai. Para bajak laut tersebut mencuri dan merampas hasil bumi dan kapal-kapal lain yang berpapasan dengan para pembajak ketika sedang berlayar. Hal itu terjadi karena kondisi yang mengkhawatirkan pada zaman itu, dimana masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan bahan makanan, dan hal itu pula yang membuat mereka menjadi hidup bebas dan memilih untuk hidup dari merampas hak orang lain dan kapal yang melintas di daerah itu.3 Serangkaian peristiwa pembajakan dan perompakan telah terjadi di wilayah perairan Somalia dalam beberapa waktu terakhir ini, tepatnya di wilayah perairan Teluk Aden dan di lepas pantai Somalia. Teluk Aden merupakan perairan sempit2 Ibid

3 http://www.indonesiangamer.com/forum/showthread.php. Diakses pada: 19 Desember 2009.

3

antara Somalia dan Yaman dan berhubungan dengan Lautan Hindia dan Terusan Suez serta Laut Tengah (Laut Mediterania), dimana setiap tahunnya dilewati sekitar 20.000 kapal laut. Peristiwa ini mengakibatkan kapal-kapal pengangkut minyak ke Teluk Aden menjadi sangat rawan dengan ancaman serangan para pembajak. Serangan tersebut tidak hanya dilakukan terhadap kapal-kapal pengangkut minyak saja, akan tetapi juga dilakukan terhadap kapal-kapal pembawa bantuan kemanusiaan, kapal pesiar, serta kapal-kapal pembawa persenjataan.4 Peristiwa ini tidak hanya mengganggu keamanan nasional Somalia saja akan tetapi juga telah mengancam keamanan pelayaran internasional, dengan kata lain kejahatan tersebut sudah termasuk dalam taraf kejahatan internasional, yaitu kejahatan yang dilakukan terhadap kapal berbendera asing maupun warga negara asing yang melintasi perairan tersebut.5 Sejak tahun 1991, Somalia telah mengalami krisis dalam proses penegakan hukum terutama dalam bidang pelayaran. Hal ini merupakan akibat dari kondisi pemerintahan yang tidak efektif di negara tersebut, sehingga secara tidak langsung keadaan ini dapat memicu munculnya kelompok-kelompok kriminal bersenjata termasuk para pembajak.6 Pembajakan dan perompakan di laut ini telah diatur berdasarkan hukum kebiasaan internasional, karena dianggap telah mengganggu kelancaran pelayaran dan

4

http://id.wikipedia.org/wiki/Perompakan. Diakses pada: 17 September 2009.

5 http://andre.pinkynet.web.id/2009/04/22/penanganan-pembajakan-laut-dalam-hukuminternasional/. Diakses pada: 17 September 2009.

6 http://catatan-ilmiahku.blogspot.com/2009/05/perompak-somalia-guncang-dunia-bisnis_02.html.Diakses pada: 19 Desember 2009.

4

perdagangan antar bangsa. Pengaturan oleh hukum kebiasaan internasional tersebut terbukti dari praktek yang terus-menerus dilakukan oleh sebagian besar negaranegara di dunia.7 Pembakuan norma kebiasaan tersebut telah dirintis secara sistematis dan teratur, melalui usaha kodifikasi yaitu dengan diadakannya konferensi kodifikasi Den Haag l930 oleh Liga Bangsa-Bangsa, walaupun pada kenyataannya usaha untuk mengkodifikasikan pengaturan tersebut gagal karena konferensi tidak menghasilkan suatu konvensi.8 Dalam perkembangannya masalah pembajakan ini diatur dalam konvensi Jenewa l958 tentang laut lepas (the high seas), antara lain, Pasal l5 yang merumuskan tentang pembajakan di laut sebagai berikut: (1) Pembajakan harus menggunakan suatu kapal untuk membajak kapal lain. Hal ini untuk membedakan dengan tindakan pemberontakan anak buah kapal terhadap kapalnya sendiri; (2) Locus delictinya dilakukan di laut lepas. Rumusan ini lebih luas cakupannya, karena rumusan dalam konvensi ini melibatkan juga pesawat udara dan memasukkan delik penyertaan serta delik pembantuan.9 Perkembangan selanjutnya, masalah pembajakan ini dimasukkan ke dalam

Konvensi Hukum Laut 1982 yang disetujui di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, yang terdapat dalam pasal 100-107.10 Konvensi ini berlaku bagi

7 http://one.indoskripsi.com//node/4497. Diakses pada: 19 Desember 2009. 8 Ibid

9 Media Hukum/Vol.V/No1/Januari - Maret/ 2005 No ISSN 1411-3759. Diakses pada: 19Desember 2009.

10http://andre.pinkynet.web.id/2009/04/22/penanganan-pembajakan-laut-dalam-hukuminternasional/. Diakses Pada:19 Desember 2009.

5

setiap negara, baik yang telah meratifikasi maupun bagi negara yang belum meratifikasi. Hal ini dikarenakan permasalahan dalam konvensi ini menyangkut keamanan secara umum dan kejahatannya bersifat umum, yaitu seluruh negara mengakui bahwa pembajakan/perompakan merupakan kejahatan yang bersifat delik jure gentium (kejahatan yang mengganggu keamanan internasional). Menurut hukum internasional, pembajakan di laut adalah setiap tindakan kekerasan yang tidak sah, yang berupa: a. setiap perbuatan perampasan yang dilakukan untuk kepentingan sendiri oleh awak kapal atau penumpang terhadap kapal lain atau orang atau harta benda di atas kapal tersebut di luar yurisdiksi suatu negara; b. setiap perbuatan yang dengan sukarela mengambil bahagian dalam kegiatan suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui bahwa kapal atau pesawat terbang tersebut dipergunakan untuk membajak; c. setiap perbuatan yang dengan sengaja mempermudah suatu perbuatan seperti yang disebutkan di atas. Adanya kekhawatiran negara-negara terhadap maraknya perbuatan melanggar hukum yang mengancam keselamatan kapal dan keamanan penumpang dan awak kapal ini mendorong lahirnya Konvensi Internasional yang mengatur tentang pemberantasan kejahatan melanggar hukum yang terjadi di laut, yaitu Konvensi Roma tahun 1988 (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation) yang ditandatangani di Roma pada tanggal 10 Maret 1988.11 Konvensi ini menyatakan bahwa, Tindakan melanggar hukum terhadap 11 http://www.admiraltylawguide.com/conven/suppression1988.html. Diakses pada: 17September 2009.

6

keselamatan navigasi maritim yang membahayakan keselamatan orang dan harta benda, sangat mempengaruhi pengoperasian pelayanan maritim, dan

menghilangkan kepercayaan bangsa-bangsa di dunia dalam hal keselamatan navigasi/maritim.12 Perbuatan melanggar hukum yang dimaksud termasuk perompakan/perampokan bersenjata di laut. Kejahatan pelayaran yang terjadi di Somalia berupa pembajakan dan perompakan di laut. Pembajakan ini terjadi di wilayah lepas pantai Somalia, sementara perompakan terjadi di wilayah teritorial Somalia, sehingga dalam penerapan hukumnyapun berbeda satu sama lain. Penerapan hukum terhadap pembajakan mengacu kepada konvensi Hukum Laut tahun 1982 sedangkan pada kasus perompakan mengacu pada konvensi Roma 1988 yang sejalan dengan prinsip universal hukum internasional. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya. B. Rumusan Masalah Dari uraian di atas, maka permasalahan yang kemudian akan diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana internasional? 2. Bagaimana pelaksanaan yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan pelayaran di Somalia menurut hukum internasional? pengaturan tentang kejahatan pelayaran menurut hukum

12 Dikutip dari : Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation, bagian Considering.

7

C. Ruang Lingkup Untuk membatasi penulisan skripsi sehingga tidak menyimpang dari permasalahan yang diangkat dan dapat dilakukan pembahasan yang terfokus, maka penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian pada peristiwa pembajakan atau perompakan di laut beserta aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan tersebut, yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam hukum internasional yang memuat pengaturan tentang pembajakan dan perompakan di laut yaitu: 1. Konvensi Jenewa 1958 tentang the High Seas (laut lepas); 2. Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law Of the Sea); 3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: a) Untuk menjelaskan pengaturan tentang kejahatan pelayaran menurut hukum internasional; b) Untuk menjelaskan pelaksanaan yurisdiksi terhadap pelaku kejahatan pelayaran di Somalia menurut hukum internasional. 2. Kegunaan Penelitian Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah :

8

a) Secara Teoritis Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya masalah kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut. b) Secara Praktis Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan wawasan kepada pembaca mengenai kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut, dan juga memberikan masukan bagi para praktisi hukum internasional yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan kasus-kasus yang berkaitan dengan kejahatan pelayaran yang dimaksud.

D. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini, maka keseluruhan sistematikanya disusun sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Bagian pendahuluan ini memuat latar belakang penulisan skripsi yang dari latar belakang ini penulis menarik pokok permasalahan, ruang lingkup, serta tujuan dan kegunaan penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini merupakan bagian pengantar terhadap pengertian umum tentang pokokpokok pembahasan skripsi.

9

BAB III METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, yang meliputi pendekatan masalah, jenis dan tipe penelitian, data dan sumber data, metode pengumpulan data, serta analisis terhadap data yang diperoleh. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian, yaitu mengenai Kajian Terhadap Kejahatan Pelayaran Menurut Hukum Internasional. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini, yang memuat tentang kesimpulan dan saran-saran dari penulis terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Wilayah Negara 1. Pengertian negara Negara merupakan suatu lembaga, yaitu satu sistem yang mengatur hubungan yang ditetapkan oleh manusia antara mereka sendiri sebagai satu alat untuk mencapai tujuan yang paling pokok yaitu satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam melakukan kegiatan. Negara memiliki sifat teritorial/kewilayahan dan

10

pemerintahan yang menjalankan kekuasaan dan pengawasan atas orang-orang dan barang-barang dalam batas kewilayahannya.13 Negara merupakan subjek hukum yang terpenting (par excellence) dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya.14 Dalam hukum internasional, terdapat pengertian bahwa suatu negara menempati satu daerah tertentu dari permukaan bumi, dimana negara menjalankan yurisdiksinya dengan mengenyampingkan yurisdiksi negara lain, akan tetapi selalu tunduk kepada hukum internasional.15

2.

Unsur-unsur negara Pembentukan suatu negara yang merupakan subjek penuh hukum internasional memerlukan unsur-unsur konstitutif sebagai berikut:16 1) Penduduk yang tetap Penduduk merupakan unsur pokok bagi pembentukan suatu negara. Penduduk adalah kumpulan individu-individu yang terdiri dari dua jenis kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama dan kebudayaan, yang hidup dalam suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan dalam bentuk kewarganegaraan. 2) Wilayah tertentu Wilayah suatu negara terdiri dari daratan, lautan dan udara di atasnya. Konferensi PBB III mengenai Hukum Laut telah mengelompokkan sebagian besar negara di13 Brierly, J.L. 1996. Hukum Bangsa-Bangsa. Jakarta: Bhratara. 14 Kusumaatmadja, Mochtar. 1981. Pengantar Hukum Internasional. Binacipta: Bandung. Hal 89

15 Brierly J.L. 1996. Hukum Bangsa-Bangsa. Bhratara:Jakarta.16 Boer Mauna, DR. 2005. Hukum Internasional. P.T. Alumni: Bandung. Hal 17

11

dunia atas tiga kelompok, yaitu, kelompok negara-negara pantai (the coastal state group), negara-negara yang tidak berpantai (the land-locked states group), dan negara-negara yang secara geografis tidak menguntungkan (the geographically disadvantaged states group). Wilayah merupakan unsur mutlak bagi pembentukan suatu negara. 3) Pemerintahan Yang dimaksud dengan pemerintah biasanya adalah badan eksekutif dalam suatu negara yang dibentuk melalui prosedur konstitusional untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan rakyat kepadanya. Dalam hubungan antara pemerintah dan rakyat tersebut, hukum internasional menghendaki bahwa pemerintahan yang ada mempunyai kekuasaan yang efektif atas seluruh penduduk dan wilayah negaranya. Yang dimaksud dengan efektif ialah bahwa pemerintah tersebut mempunyai kapasitas riil untuk melaksanakan semua fungsi kenegaraan termasuk pemeliharaan keamanan dan tata tertib di dalam negeri dan pelaksanaan berbagai komitmen di luar negeri. 4) Kedaulatan Kedaulatan yaitu kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya yang tidak bertentangan dengan hukum internasional. Kedaulatan juga mempunyai arti yang sama dengan kemerdekaan. Kata merdeka lebih mengacu pada suatu negara yang tidak lagi berada dibawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya, sedangkan kata kedaulatan lebih mengutamakan kekuasaan eksklusif yang dimiliki negara tersebut dalam melaksanakan kebijaksanaannya.

12

Namun, kedua kata tersebut mempunyai arti yang hampir sama, yang satu dapat menguatkan yang lain. B. Laut Sebagai Bagian Dari Wilayah Negara 1. Pengertian laut Secara geografis, laut dapat diartikan sebagai kumpulan air asin yang sangat luas yang memisahkan benua yang satu dengan benua lainnya, dan juga memisahkan pulau yang satu dengan pulau lainnya.17 Sedangkan dari segi hukum, laut merupakan keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.18 2. Bagian-bagian laut dan pengaturannya Laut pada umumnya merupakan wilayah yang berbatasan dengan suatu negara, sehingga seringkali kejahatan yang dilakukan di wilayah laut dapat menimbulkan konflik yurisdiksi antara negara pantai dengan negara bendera kapal. Konflik yurisdiksi ini timbul berkaitan dengan adanya yurisdiksi ekstra teritorial yang dimiliki oleh negara bendera kapal dan yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh negara pantai. Oleh karena itu kewenangan negara pantai untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di wilayah perairannya terhadap kejahatan-kejahatan, khususnya yang dilakukan oleh kapal asing, harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional.19

17Abdul Muthalib Tahar dalam Diktat Hukum Laut Internasional menurut KHL 1982 danPerkembangan Hukum Laut di Indonesia pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unila, 2007, Hal 1 18Boer Mauna, DR. 2005. Hukum Internasional. P.T. Alumni: Bandung. Hal 305 19 http://eprints.undip.ac.id/5892/1/lazarus.pdf . Diakses Pada: 21 Maret 2010.

13

a) Laut yang tunduk dibawah kedaulatan negara pantai dan negara kepulauan 1. Perairan Pedalaman Perairan pedalaman (internal, national, atau interior waters) adalah perairan yang berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Pada perairan pedalaman ini, negara pantai memiliki kedaulatan penuh atasnya. Kedaulatan tersebut sama derajatnya dengan kedaulatan negara atas daratan. Pada prinsipnya negara-negara lain tidak dapat mengadakan atau menikmati hak lintas (damai) di perairan ini. Namun, jika perairan pedalaman ini terbentuk karena adanya penarikan garis pangkal lurus, maka hak lintas damai di perairan tersebut dapat dinikmati oleh negara-negara lain.20 2. Laut Teritorial Laut teritorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di perairan teritorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya (Pasal 2 KHL 1982). Istilah perairan teritorial ini mengandung arti bahwa perairan itu sepenuhnya merupakan bagian dari wilayah suatu negara, sebagaimana halnya dengan wilayah daratannya.21 3. Selat Selat yang dimaksud disini adalah selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional (straits used for international navigation). Hal ini diatur dalam pasal

20 Adolf, Huala. 1990. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. PT RajaGrafindo: Jakarta. Hal 129

21 Brierly J.L. 1996. Hukum Bangsa-Bangsa.Bhratara:Jakarta.

14

34 sampai pasal 35 KHL 1982. Negara-negara yang berada di tepi selat memiliki kedaulatan (yurisdiksi) penuh di atasnya. Ada dua kategori selat, yaitu selat-selat yang dipergunakan untuk pelayaran internasional yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau ZEE lainnya (pasal 37 KHL 1982), dalam kategori ini berlaku hak lintas transit kapalkapal asing. Selanjutnya, selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan perairan teritorial suatu negara asing.22 4. Zona Tambahan (contiguous zone) Zona tambahan diatur pada pasal 33 KHL 1982 yang menentukan sebagai berikut: a) Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan untuk keperluan: (1) pencegahan pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, fiskal, keimigrasian atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya; (2) menjatuhkan hukuman/sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. b) Zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial. 5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Pada pasal 55 KHL 1982 mengenai rezim khusus ZEE, disebutkan bahwa, Zona Ekonomi Eksklusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim khusus yang ditetapkan dalam bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta22 Adolf, Huala. 1990. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional. PT RajaGrafindo: Jakarta. Hal 133

15

kebebasan-kebebasan negara-negara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan dengan konvensi ini. Selanjutnya pasal 57 menentukan bahwa, Zona Ekonomi Eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial. Hak-hak negara pantai dalam Zona Ekonomi Eksklusif: a) hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam yang terdapat di dalamnya; b) negara pantai memiliki yurisdiksi yang berkenaan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut. Hak-hak dan kewajiban negara lain pada Zona Ekonomi Eksklusif, diatur dalam Pasal 58 KHL 1982, sebagai berikut: a) pada ZEE, semua negara baik negara pantai maupun bukan dapat menikmati (dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi ini) kebebasankebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini;

16

b) pasal 88 sampai dengan pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain berlaku terhadap Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini; c) dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan konvensi ini pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara-negara harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini. 6. Landas Kontinen Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut (Pasal 76 KHL 1982). a. Hak-hak negara pantai atas landas kontinen: (1) negara pantai memiliki hak eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alamnya (pasal 77); (2) negara pantai memiliki hak eksklusif untuk membangun pulau buatan instalasi, dan bangunan di atas landas kontinen (pasal 80); (3) negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur pemboran pada landas kontinen untuk segala keperluan (pasal 81);

17

(4) hak negara pantai untuk eksploitasi tanah di bawah landas kontinen dengan melakukan penggalian terowongan, tanpa memandang kedalaman perairan di atas tanah dan di bawah landas kontinen tersebut (pasal 85); (5) hak negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada

pendudukan/okupasi (pasal 77 ayat 3). b. Hak negara lain atas landas kontinen dan persyaratan untuk pemasangan kabel dan pipa bawah laut (pasal 79 KHL 1982): (1) semua negara memiliki hak untuk meletakkan kabel dan pipa bawah laut pada landas kontinen; (2) dengan tunduk pada haknya untuk mengambil tindakan yang patut untuk mengeksplorasi landas kontinen, mengeksploitasi sumber kekayaan alamnya dan untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari pipa, negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa demikian; (3) penentuan arah jalannya pemasangan pipa laut tersebut harus mendapat persetujuan dari negara pantai; (4) negara pantai memiliki kewenangan untuk menetapkan persyaratan bagi kabel atau pipa yang memasuki wilayah atau laut teritorialnya, dan memiliki yurisdiksi atasnya; (5) negara-negara yang memasang kabel dan pipa bawah laut harus memperhatikan kabel dan pipa yang sudah ada dan tidak menimbulkan kerugian bagi negara pantai atau negara lain. b. Laut yang berada di luar yurisdiksi nasional

18

Bagian laut yang tidak termasuk dalam yurisdiksi suatu negara adalah laut lepas (the High Sea). Pada mulanya, laut lepas berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk pada perairan pedalaman dan laut teritorial dari suatu negara. 23 Laut lepas merupakan res nullius (semua negara dapat memanfaatkannya), kecuali apabila terdapat aturan-aturan pengecualian dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara. Doktrin laut bebas ini menandakan bahwa kegiatankegiatan di laut dapat dilakukan dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainnya. Pada pasal 86 Konvensi PBB tentang Hukum Laut menyatakan bahwa laut lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara, atau perairan kepulauan suatu negara kepulauan. Jadi sesuai dengan pengertian tersebut, laut lepas terletak jauh dari pantai yaitu bagian luar dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).24 Selanjutnya pasal 2 konvensi Jenewa tahun 1958 tentang laut lepas, menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian daripadanya kebawah

kedaulatannya. Kebebasan di laut lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh pasal 2 dari konvensi dan aturan-aturan hukum internasional lainnya, baik untuk negara pantai maupun bukan negara pantai, antara lain terdiri dari: a). kebebasan pelayaran;23 Anwar, Chairul. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Djambatan: Jakarta. Hal 62 24 Boer Mauna, DR. 2005. Hukum Internasional. PT Alumni:Bandung. Hal 312-313

19

b). kebebasan menangkap ikan; c). kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut; d). Kebebasan penerbangan di atas laut lepas.25 Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus berlayar di bawah bendera suatu negara. Bendera kebangsaan suatu kapal tidak boleh dirubah baik sewaktu dalam pelayaran maupun ketika berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam kasus adanya perpindahan pemilikan kapal secara nyata atau terjadinya perubahan pendaftaran. Pasal 92 konvensi menyatakan bahwa, sebuah kapal yang berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih dan menggunakannya berdasarkan kemudahan, tidak boleh menuntut salah satu kebangsaan itu terhadap negara lain manapun, dan kapal demikian dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan. Mengenai status hukum kapal-kapal di laut lepas ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Hal ini berarti bahwa setiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera tersebut. Untuk menentukan status hukum kapal-kapal yang berlayar di laut, maka perlu dibedakan antara kapal publik dan kapal swasta. a) Perbedaan antara kapal-kapal publik dan kapal-kapal swasta Untuk membedakan kapal publik dengan kapal swasta, perlu diperhatikan tentang penggunaan kapal tersebut. Jika sebuah kapal yang dicarter oleh pemerintah untuk tujuan non komersial maka status kapal tersebut selama disewa merupakan kapal 25Anwar Chairul, SH. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Djambatan:Jakarta. Hal 64

20

publik. Sedangkan jika kapal publik disewa oleh suatu perusahaan swasta untuk tujuan komersial, maka status kapal tersebut selama dicarter adalah kapal swasta.

1. Kapal perang Kapal-kapal perang merupakan kapal publik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 29 KHL 1982, yang memberikan definisi sebagai berikut: Kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara yang memakai tandatanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata regular. Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan kapal-kapal perang bukan saja kapal-kapal perang permukaan laut tetapi juga kapal-kapal selam, kapalkapal lainnya yang bertugas dalam kesatuan angkatan laut, seperti kapal-kapal ranjau laut, kapal-kapal penarik, kapal-kapal transport militer, dan lain sebagainya. 2. Kapal-kapal publik non-militer Kapal-kapal publik yang dimaksud disini yaitu, kapal-kapal pemerintah yang memiliki kegiatan-kegiatan non-militer. Misalnya, kapal-kapal logistik pemerintah, kapal-kapal riset ilmiah, meteorologi, kapal-kapal pengawasan pantai, dan lain sebagainya. 3. Kapal-kapal dagang

21

Kapal-kapal dagang adalah kapal yang dipakai untuk tujuan komersial (perdagangan). Sebuah kapal negara yang dipergunakan untuk kegiatan komersial termasuk ke dalam kategori kapal swasta. 4. Kapal organisasi-organisasi internasional Yaitu kapal yang digunakan oleh organisasi internasional untuk kepentingan masyarakat internasional. Misalnya PBB, Badan-Badan khusus PBB dapat memakai kapal-kapal untuk keperluan dinasnya dengan mengibarkan masingmasing bendera sesuai dengan pasal 93 KHL 1982. b) Wewenang penuh ketentuan-ketentuan negara bendera Pasal 92 KHL menentukan bahwa, semua kapal yang berada di laut lepas tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera. Suatu kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Undang-undang negara bendera berlaku pada semua orang yang terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera tersebut maupun terhadap orang-orang asing. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana. Wewenang ini dilaksanakan karena tidak adanya kekuasaan internasional di laut lepas, sehingga masing-masing kapal akan memakai dan tunduk pada undang-undang negara benderanya.26 Kemudian dalam hal pemberian kebangsaan pada kapal-kapal yang berlayar di laut lepas diatur dalam pasal 19 KHL 1982 yang menyatakan bahwa, setiap negara harus menetapkan persyaratan bagi pemberian kebangsaannya pada kapal, untuk pendaftaran kapal dalam wilayah dan untuk hak mengibarkan benderanya. Pasal26 Boer Mauna, DR. 2005. Hukum Internasional. PT Alumni:Bandung

22

tersebut menegaskan bahwa harus ada suatu kaitan yang sungguh-sungguh antara negara dan kapal itu. Selanjutnya pasal 94 menguatkan bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi dan pengawasannya dalam bidang administratif, teknis dan sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya. Selanjutnya pasal tersebut juga menyatakan bahwa, bila sebuah kapal berlayar di bawah bendera dua negara atau lebih, dapat dianggap sebagai suatu kapal tanpa kebangsaan. 3. Manfaat Laut Adapun manfaat yang dimiliki oleh laut, sebagai berikut: 27 1) sumber kekayaan alam Kekayaan alam yang terdapat di laut meliputi daerah perairan dan daerah dasar laut dan tanah dibawahnya, yang terdiri atas berbagai macam jenis ikan, mulai dari ikanikan yang sangat kecil hingga ikan yang sangat besar. Kekayaan seperti ini disebut juga sebagai kekayaan hayati. Selain itu terdapat juga unsur-unsur non hayati yang dimiliki oleh laut, seperti karang dan lain sebagainya. 2) sarana lalu lintas kapal dan transportasi Sejak zaman Romawi hingga saat ini laut telah dimanfaatkan sebagai sarana lalu lintas kapal-kapal baik untuk pengangkutan manusia maupun barang-barang/kargo. Lalu lintas kapal asing melalui laut teritorial suatu negara yang pada mulanya belum diatur secara tegas oleh hukum, maka sesudah Perang Dunia II masalah lalu lintas kapal asing melalui laut teritorial negara asing diatur oleh hukum laut 27 Abdul Muthalib Tahar dalam Diktat Hukum Laut Internasional menurut KHL 1982 danPerkembangan Hukum Laut di Indonesia pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unila, 2007, Hal 3

23

internasional, yaitu dalam konvensi Jenewa I tahun 1958 mengenai laut teritorial dan zona tambahan. Secara umum, tujuan pengaturan lalu lintas kapal asing ini adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara pantai yang dilalui oleh kapal-kapal asing disamping untuk tujuan keselamatan pelayaran kapal-kapal yang bersangkutan. 3) sarana pelabuhan Bagi negara pantai dan kepulauan, laut dimanfaatkan sebagai sarana pelabuhan. Pelabuhan yang dimaksud memiliki fungsi untuk memuat dan membongkar barang atau orang yang diangkut dengan kapal. Pelabuhan-pelabuhan tersebut merupakan salah satu sumber pendapatan suatu negara, yaitu melalui bea dan cukai dari barang-barang yang masuk melalui pelabuhan serta jasa pelabuhan lainnya. Dari segi hukum, pelabuhan merupakan perairan pedalaman suatu negara yang tunduk pada kedaulatan negara pantai. 4) sarana rekreasi Bagi negara pantai yang memiliki pantai laut yang indah dan memesona, maka pantai laut tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana rekreasi baik bagi turis asing maupun domestik. Sarana rekreasi laut yang indah dapat menjadi sumber devisa negara dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. 5) sarana untuk memasang kabel dan pipa bawah laut Daerah dasar laut dan tanah yang ada dibawahnya, baik yang tunduk dibawah yurisdiksi nasional maupun diluar yurisdiksi, dapat dimanfaatkan oleh negaranegara baik negara pantai maupun bukan untuk memasang kabel dan pipa bawah

24

laut untuk berbagai keperluan, seperti penyaluran tenaga listrik, saluran telepon, saluran air bersih, gas atau minyak. 6) sarana untuk melakukan penelitian ilmiah kelautan Bagi para ilmuan, laut dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian ilmiah kelautan yang berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan (misalnya, tentang perikanan dan makhluk laut lainnya), dan juga untuk manusia. 7) sarana untuk membuang limbah Untuk masalah ini, laut dimanfaatkan untuk hal-hal yang bersifat negatif oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Walaupun KHL 1982 telah memuat aturan tentang larangan pembuangan limbah ke laut, akan tetapi pada realitasnya laut masih saja dimanfaatkan oleh rumah tangga, industri dan kapal sebagai sarana untuk pembuangan limbah. 8) sarana pertempuran dan menundukkan lawan Sejak zaman Romawi hingga saat ini laut juga dimanfaatkan oleh negara-negara sebagai sarana pertempuran dan menundukkan lawan terutama bagi negara-negara yang memiliki armada angkatan laut yang kuat seperti Amerika Serikat dan Inggris. C. Hak Lintas Kapal Asing Menurut KHL 1982 Pada perangkat hukum yang dirumuskan oleh konferensi Den Haag tahun 1930 khususnya mengenai hak lintas damai melalui laut teritorial sebagaimana dimuat dalam pasal 3 sampai dengan pasal 7 Rancangan Konvensi, merupakan pengaturan dan perumusan yang pertama kalinya diadakan yang menyangkut hal-hal yang bersifat menyeluruh. Karena sebelumnya walaupun hak lintas damai diakui oleh

25

hukum kebiasaan internasional, namun belum ada perangkat hukum yang menetapkan dan mengatur mengenai pengertian lintas damai itu sendiri secara jelas, demikian pula mengenai ruang lingkup tentang hak-hak negara pantai maupun kapal-kapal asing dalam melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial.28 1. Hak Lintas Damai (Right of Innocent Passage) Pengertian Lintas dan Pengaturannya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:1990), lintas yaitu berlalu dengan cepat, menempuh jalan yang tersingkat, menyeberangi.29 Sedangkan dari segi hukum internasional, pengertian lintas ditentukan dalam pasal 18 KHL 1982, sebagai berikut: 1. lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan: a. melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman; b. berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. 2. lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majeur atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya kesulitan.

28 Abdul Mutholib Tahar dalam Diktat tentang Hukum Laut Internasional menurut KHL PBB 1982 dan Perkembangan Hukum Laut di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2007. 29 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

26

Pada peraturan yang berlaku umum untuk semua kapal, ditentukan bahwa kapal semua negara, baik negara yang berpantai maupun negara yang tidak berpantai dapat menikmati hak lintas damai melalui laut territorial (pasal 17). Namun demikian hak lintas damai tidak hanya melalui laut teritorial saja, akan tetapi terdapat bagian-bagian laut yang dapat dilalui oleh kapal-kapal asing untuk melakukan lintas damai (dalam hal ini berlaku rezim lintas damai) yaitu: (1) perairan pedalaman yang terbentuk karena penarikan garis pangkal lurus sesuai dengan pasal 7 KHL 1982; (2) selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dengan ketentuan sebagai berikut: (a) pada pasal 38 ayat (1), dikecualikan dari pelaksanaan rezim lintas transit; (b) antar bagian laut lepas atau suatu ZEE dan laut teritorial suatu negara asing (pasal 45). (3) perairan kepulauan (pasal 52 ayat 1) menyatakan bahwa,Dengan tunduk pada ketentuan pasal 53 dan tanpa mengurangi arti ketentuan pasal 50, kapal semua negara menikmati hak lintas damai melalui perairan kepulauan sesuai ketentuan dalam Bab II, Bagian 3. Pengertian Lintas Damai dan Pengaturannya Pengertian lintas damai yang diatur dalam pasal 19 menentukan sebagai berikut: (1) lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan ketentuan hukum internasional lainnya;

27

(2) lintas suatu kapal harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut: (a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional

sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB; (b) setiap latihan atau praktik dengan senjata jenis apapun; (c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai; (d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai; (e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal; (f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer; (g) membongkar atau memuat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi negara pantai; (h) setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan merugikan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi ini; (i) setiap kegiatan perikanan; (j) kegiatan riset atau survey;

28

(k) setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya dari negara pantai; (l) setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas. Selain ketentuan tersebut di atas, terdapat ketentuan lain yang mengatur lintas bagi kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya. Dalam pasal 20 KHL 1982 menentukan bahwa kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya diharuskan untuk berlayar di atas permukaan air dan harus menunjukkan benderanya. Hak dan Kewajiban Negara Pantai Lintas damai yang dilakukan oleh kapal-kapal asing melalui laut teritorial maupun bagian-bagian laut lainnya, secara nyata menunjukkan bahwa kapal-kapal asing tersebut melewati perairan yang tunduk dibawah kedaulatan negara pantai. Oleh karena melewati perairan yang berada dibawah kedaulatannya, maka negara pantai memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur kapal-kapal asing tersebut. Hak-hak negara pantai yang diatur oleh KHL 1982 yaitu: (1) hak untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak lintas damai (pasal 21 ayat 1); (2) hak negara pantai yang berhubungan dengan penentuan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang harus dilalui oleh kapal-kapal asing yang melakukan hak lintas damai; (3) hak untuk mengharuskan kapal-kapal tanker dan kapal-kapal bertenaga nuklir dan membawa zat berbahaya lainnya untuk menggunakan alur-alur laut tersebut dalam lintasannya.

29

(4) hak perlindungan negara pantai (pasal 25), meliputi: a) hak negara pantai mengambil langkah yang diperlukan dalam laut teritorialnya untuk mencegah lintas yang tidak damai; b) apabila kapal menuju perairan pedalaman atau singgah di suatu fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, hak negara pantai untuk mengambil langkah yang diperlukan guna mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal tersebut ke perairan pedalaman atau persinggahan demikian; c) hak negara pantai untuk menagguhkan sementara dalam daerah tertentu laut teritorialnya bagi lintas damai kapal asing, apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk keperluan keamanannya, termasuk latihan bersenjata. Penangguhan ini dilakukan tanpa diskriminasi dan berlaku setelah diumumkan secara resmi. (5) hak negara pantai yang berhubungan dengan hak lintas damai bagi kapal perang, yaitu hak untuk meminta kapal perang segera meninggalkan laut teritorial karena tidak ditaatinya peraturan perundang-undangan negara pantai mengenai lintas melalui laut teritorialnya (atau bagian-bagian laut lainnya) dan tidak mengindahkan keharusan untuk mentaatinya (pasal 30). Kewajiban-kewajiban negara pantai diatur dalam pasal 24 KHL 1982, yaitu: (a) tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya (atau bagian-bagian laut lainnya) kecuali sesuai dengan ketentuan konvensi; (b) negara pantai harus mengumumkan secara tepat bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya (atau bagian-bagian laut lainnya) yang diketahuinya. 2. Hak Lintas Transit

30

Pengertian lintas transit dan pengaturannya Pengertian lintas transit terdapat pada pasal 38 ayat 2 KHL 1982, yaitu: Pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan berdasarkan bagian ini semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau ZEE dan laut lepas atau ZEE lainnya. Namun demikian persyaratan transit secara terus-menerus, langsung dan secepat mungkin tidak menutup kemungkinan bagi lintas melalui selat untuk maksud memasuki, meninggalkan atau kembali dari suatu negara yang berbatasan dengan selat itu, dengan tunduk pada syarat-syarat masuk negara itu. Kewajiban negara dalam kapal selama lintas transit Mengenai hal ini diatur dalam pasal 39 KHL 1982, bahwa kapal dalam lintas transit harus: (1) memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum,

prosedur dan praktik tentang keselamatan di laut termasuk peraturan internasional tentang pencegahan tubrukan di laut; (2) memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur

dan praktik tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal; (3) menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku dan

yang telah ditetapkan oleh negara yang berbatasan dengan selat (pasal 41 ayat 7) (4) lewat dengan cepat melalui atau di atas selat;

31

(5)

menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun

terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam piagam PBB; (6) menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus-

menerus langsung dan secepat mungkin dengan cara yang normal, kecuali diperlukan karena kesulitan; 3. Hak Lintas Alur Kepulauan Pengertian lintas alur kepulauan dan pengaturannya Pengertian lintas alur kepulauan terdapat pada pasal 53 ayat 3 KHL 1982, yaitu: Pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan sesuai dengan ketentuan-ketentuan konvensi ini dalam cara normal semata-mata untuk melakukan transit yang terusmenerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau ZEE lainnya. b) Hak negara kepulauan Dalam kaitannya dengan lintas alur kepulauan, negara mempunyai hak-hak antara lain:

(1) menentukan alur laut dan rute penerbangan (ayat 1); (2) bahwa alur laut dan rute udara tersebut harus melintasi perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan dan mencakup semua rute lintas normal yang

32

digunakan sebagai rute atau alur pelayaran internasional atau penerbangan melalui atau melintasi perairan kepulauan dan di dalam rute demikian, sepanjang mengenai kapal, semua alur navigasi normal dengan ketentuan bahwa duplikasi rute yang sama kemudahannya melalui tempat masuk dan keluar (ayat 4); (3) alur laut dan rute demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas alur hingga keluar. Kapal dan pesawat udara asing yang melakukan lintas alur kepulauan tidak boleh menyimpang lebih dari 25 mil laut kedua sisi garis sumbu demikian (ayat 5). 4. Hak Pengejaran Seketika (Hot Pursuit) Hak pengejaran seketika berlaku di laut lepas. Hak ini diatur dalam pasal 23 konvensi Jenewa II 1958 tentang Laut Lepas, dan pasal 111 KHL 1982. Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenang dari negara pantai memiliki alasan yang cukup untuk mengira bahwa suatu kapal telah melanggar peraturan perundang-undangan negaranya. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing berada pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pantai dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Hak pengejaran seketika berlaku mutatis mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan, di sekitar instalasi-instalasi di landas kontinen. Hak pengejaran seketika berhenti segera

33

setelah kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Hak pengejaran seketika ini hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara pemerintah dan berwenang melakukan tugas itu. Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya tindakan pengejaran seketika, dan kapal tersebut menderita kerugian, maka kapal asing itu harus mendapat ganti kerugian sebesar kerugian yang dideritanya. D. Kejahatan Pelayaran Kejahatan pelayaran merupakan suatu tindakan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya dalam bidang pelayaran. Misalnya melakukan kekerasan yang dapat mengakibatkan luka serius atau hilangnya nyawa orang lain.30 Terdapat beberapa kategori kejahatan dan pelanggaran dalam bidang pelayaran, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:31 Kategori Kejahatan dan Pelanggaran dalam Bidang PelayaranNo. 1. Kejahatan Manusia terhadap Manusia Pembunuhan Kejahatan Manusia terhadap Harta Benda Pembajakan ( piracy )/Perompakan

30 Berdasarkan hasil pemikiran penulis.

31 http://www.indonesianship.com/depan-isi2.asp?id=1193 Diakses pada: 08 Mei 2010

34

2. 3. 4. 5. 6.

Penganiayaan Penculikan Pemerkosaan Traficking / penjualan manusia. Penyanderaan

Pemerasan Pencurian Pengrusakan Penggelapan / penipuan Perampasan

Tabel 1

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat berbagai jenis kejahatan yang terjadi dalam bidang pelayaran. Namun dalam pembahasan ini, kejahatan pelayaran yang akan dikaji lebih lanjut adalah kejahatan yang berupa pembajakan dan perompakan di laut. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa jenis kejahatan memiliki dampak luas yang mencakup seluruh jenis kejahatan di atas, seperti pengrusakan, penganiayaan, pembunuhan, penyanderaan, dan lain sebagainya. 1. Pembajakan di Laut Menurut pasal 101 KHL 1982, pembajakan di laut didefinisikan sebagai berikut: 1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan: (a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian; (b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. 2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi suatu kapal atau pesawat udara pembajak;

35

3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b). Pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan pelayaran yang telah lama ada. Pembajakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan. Sejak abad ke-18 masyarakat bangsa-bangsa telah mengenal dan mengakui kejahatan pembajakan terhadap kapal-kapal dagang di laut sebagai kejahatan internasional (piracy de jure gentium). Pada masa itu hubungan perdagangan sangat penting sehingga tindakan pembajakan dipandang sebagai musuh bangsa-bangsa karena sangat merugikan kepentingan kesejahteraan bangsa-bangsa. Pembajakan di laut memiliki karakteristik sebagai berikut:a.

Diakui oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan jure gentium karena

dianggap sebagai hostis humani generic (musuh bersama umat manusia); b. Tindakan yang memiliki dampak atas lebih dari satu negara; c. Melibatkan lebih dari satu kewarganegaraan;d.

Penggunaaan sarana dan prasarana yang cukup canggih;

e. Merupakan golongan tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional. Kejahatan pembajakan sempat dianggap telah lenyap pada awal abad ke-19 yang disebabkan oleh alasan-alasan berikut: a) Teknologi, peningkatan ukuran dan kecepatan kapal pada abad ke-18 dan abad ke-19 tidak menguntungkan bagi para pembajak karena tidak mudah untuk dikejar oleh para pembajak;

36

b) Peningkatan kekuatan Angkatan Laut, pada abad ke-18 dan abad ke-19 memperlihatkan adanya peningkatan patroli angkatan laut internasional di sepanjang jalur lalu lintas laut; c) Peningkatan kualitas administrasi pemerintahan, abad ke-18 dan ke-19 ditandai dengan administrasi tetap terhadap sebagian besar pulau dan wilayah daratan oleh pemerintah kolonial atau negara-negara yang mempunyai kepentingan langsung untuk melindungi kapal-kapal mereka; Keseragaman peraturan pembajakan, terdapat pengakuan umum yang menyatakan pembajakan sebagai kejahatan internasional yang tidak akan ditoleransi oleh negara manapun untuk melindungi armada kapal mereka.32 Setelah berakhirnya perang dunia kedua pengaruh faktor-faktor diatas yang menjadi hambatan bagi berkembangnya kejahatan pembajakan mulai berkurang. Dalam perkembangannya, keempat faktor diatas justru berbalik arah menjadi faktor pendukung lahirnya pembajakan laut modern. Faktor-faktor tersebut antara lain: a) Teknologi, kapal-kapal modern memiliki kecepatan tinggi dan peralatan canggih untuk melindungi kapal tersebut. Selain memberikan dampak positif, teknologi mengurangi jumlah awak kapal yang dipekerjakan sehingga meningkatkan jumlah awak kapal yang tidak bekerja yang akhirnya banyak diantara mereka menjadi bajak laut karena mereka tidak memiliki keterampilan lain. Para bajak laut juga memanfaatkan kecanggihan teknologi yang meningkatkan kecepatan kapal pembajak, kecanggihan senjata dan

memudahkan untuk melarikan diri.32 Author Unknown. "Piracy in the Nineties. " http://www.geocities.com/Tokyo/Garden/5213/current.htm

37

b) Menurunnya frekuensi patroli Angkatan Laut, perubahan politik dunia internasional mempengaruhi bentuk Angkatan Laut di dunia. Setelah perang dunia kedua berakhir, negara-negara tidak lagi membangun Angkatan Laut yang besar dan kuat. Negara-negara lebih memilih mempunyai Angkatan Laut yang lebih kecil dan efisien. Hal ini menyebabkan penurunan patroli di laut internasional sehingga kapal-kapal tidak lagi terlindungi.c)

Perubahan administrasi pemerintahan di wilayah kolonial. Pengaturan yang

telah dibuat oleh pemerintahan kolonial tidak diterima oleh negara-negara jajahan yang menerapkan aturan-aturan baru. Namun pengaturan yang dilakukan oleh negara-negara merdeka tidak dapat berjalan efektif karena kekurangan dana. Pemerintahan baru khususnya Angkatan Laut negara-negara jajahan yang kekurangan dana, sarana dan prasarana tidak mampu mengamankan wilayah laut mereka. Hal ini menyebabkan pembajakan berkembang pesat.d)

Kurangnya peraturan yang berkaitan dengan pembajakan dan perampokan

bersenjata hal ini dipengaruhi karena pembajakan dan perampokan bersenjata tidak lagi dianggap sebagai kejahatan internasional serius yang perlu mendapat perhatian dari masyarakat internasional.33

2. Perompakan (perampokan bersenjata) di laut

Perompakan atau dikenal juga dengan istilah perampokan bersenjata terhadap kapal didefinisikan dalam the Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (resolution A.922(22), Annex, paragraph33 Ibid

38

2.2), as follows: Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such ship, within a States jurisdiction over such offences.34 Dapat diartikan bahwa perompakan atau perampokan bersenjata adalah: a) setiap tindakan tidak sah yang berupa kekerasan atau penahanan atau setiap tindakan pembinasaan atau ancaman, selain tindakan pembajakan, yang memiliki tujuan pribadi dan diarahkan terhadap sebuah kapal atau terhadap orang atau harta benda pada sebuah kapal di perairan internal suatu negara, perairan kepulauan dan laut teritorial. b) setiap tindakan menghasut atau sengaja memfasilitasi tindakan sebagaimana yang dijelaskan di atas. 3. Perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran dan penyebab timbulnya kejahatan di laut a. Perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran Berdasarkan pasal 3 konvensi Roma 1988 tentang perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation), disebutkan bahwa setiap orang dapat dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum jika orang itu tidak sah dan dengan sengaja:35

34 Reports On Acts Of Piracy And Armed Robbery Against Ships, Issued monthly - Acts reported 35 http://www.admiraltylawguide.com/conven/suppression1988.html. Diakses pada: 21 Maret2010.

39

1) mengambil alih kendali atas sebuah kapal dengan cara kekerasan atau ancaman atau bentuk intimidasi lainnya; 2) melakukan tindak kekerasan terhadap seseorang di atas kapal, dimana tindakan tersebut dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran; 3) menghancurkan atau menyebabkan rusaknya kapal atau muatannya yang dapat membahayakan keamanan navigasi/pelayaran. b. Penyebab timbulnya kejahatan di laut Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya kegiatan aksi-aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor ini sangat kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak. Adapun faktor-faktor utama yang memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata di laut adalah sebagai berikut: 1) Situasi ekonomi di kawasan sekitar Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh terhadap perilaku kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir hidupnya sangat tergantung dengan kondisi alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut. 2) Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri Pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyatnya. Masalah-masalah seperti pemenuhan kebutuhan pokok rakyat

merupakan tugas pemerintah. Ketidakmampuan pemerintah untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya untuk melindungi kepentingan umum secara bijaksana dapat mendorong sekelompok masyarakat tertentu untuk melakukan tindakan demi

40

kepentingan kelompoknya. Sehingga dalam hal ini, diperlukan perhatian dan peranan yang besar dari pemerintah untuk dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik kepada masyarakatnya. 3) Rendahnya kemampuan para penegak hukum Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, di kapal dan di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain. Lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang terhadap aksi kejahatan di laut.

4) Lemahnya sistem hukum di bidang maritim;36 Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal. Selain itu, sistem hukum yang harus ditegakkan saat ini semestinya tidak lagi memandang kejahatan di laut sebagai tindakan kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksiaksinya tersebut semakin luas. 5) Kondisi Geografis

36 Peranan Polri dalam Menegakkan Hukum di Laut (Suatu Refleksi Pelaksanaan Hukum diLaut yang telah dilakukan oleh Polri), makalah yang disampaikan pada Lokakarya Hukum Laut Internasional Deplu, Yogyakarta, 13-15 Desember 2004.

41

Kondisi geografis suatu wilayah juga dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para pelaku kejahatan di laut sebelum melakukan aksinya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal terlebih dahulu. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, mendorong para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukan di perairan lepas/terbuka. E. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional 1. Pengertian yurisdiksi negara Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi negara (state jurisdiction) tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan negara (state souvereignty), konsekuensi logis dari asas kedaulatan negara, karena negara memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam batas-batas teritorialnya (territorial souvereignty). Pengertian yurisdiksi negara jauh lebih luas daripada pengertian kedaulatan negara, sebab tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan yurisdiksi teritorial sebagai konsekuensi adanya kedaulatan teritorial, akan tetapi juga mencakup yurisdiksi negara yang bukan yurisdiksi teritorial (yurisdiksi ekstra teritorial atau extra territorial jurisdiction) yang eksistensinya bersumber dari hukum internasional, seperti yurisdiksi negara pada jalur tambahan, ZEE, landas kontinen, laut bebas, ruang angkasa dan sebagainya.37 Yurisdiksi dapat lahir karena adanya tindakan:

37 http://minartyplace.blogspot.com/2009/03/yurisdiksi-negara-state-jurisdiction.html. DiaksesPada: 07 Februari 2010.

42

1) legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau menetapkan peraturan atau keputusan-keputusan; 2) eksekutif, yaitu kekuasaan untuk memaksakan agar orang (benda atau peristiwa) menaati peraturan (hukum) yang berlaku; 3) yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili orang, berdasarkan atas suatu peristiwa.38 Yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk-bentuk sebagai berikut: a) Prinsip teritorial Setiap negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah teritorialnya. Menurut Starke, yurisdiksi ini dapat diartikan sebagai hak, kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh suatu negara untuk membuat peraturan-peraturan hukum, melaksanakan dan memaksakan berlakunya peraturanperaturan tersebut dalam hubungannya dengan orang, benda, hal atau masalah yang berada dan atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari negara yang bersangkutan. Dalam hukum internasional, dikenal adanya perluasan yurisdiksi teritorial (the extention of territorial jurisdiction) yang timbul akibat kemajuan iptek, khususnya teknologi transportasi, komunikasi dan informasi serta hasil-hasilnya.

Kemajuan iptek ini ditampung dan diakomodasi oleh masyarakat dan hukum internasional, guna mengantisipasi pemanfaatan dan penyalahgunaan hasil-hasil iptek ini oleh orang-orang yang terlibat dalam pelanggaran hukum maupun tindak pidana di dalam wilayah suatu negara. Perluasan yurisdiksi teritorial mempergunakan dua pendekatan:38 Adolf, Huala. 1990. Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

43

(1)

Prinsip

teritorial

subyektif

(the

subjective

territorial

principle)

Prinsip ini memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang mulai dilakukan atau terjadi di dalam wilayah negaranya walaupun berakhir atau diselesaikan di negara lain. (2) Prinsip teritorial obyektif suatu negara (the objective territorial dan principle) menyatakan

Memperkenankan

untuk

mengklaim

yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri (negara lain), tetapi berakhir atau diselesaikan dan membahayakan negaranya sendiri.

b) Yurisdiksi dengan prinsip personal (nasionalitas) Dalam hukum internasional diakui atau dikenal adanya yurisdiksi personal atau yurisdiksi perseorangan (personal jurisdiction). Suatu negara dapat mengklaim yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas (jurisdiction according to personality principle). Yurisdiksi personal adalah yurisdiksi terhadap seseorang, apakah dia adalah warganegara atau orang asing. Dalam hal ini orang yang bersangkutan tidak berada dalam wilayahnya atau dalam batas-batas teritorial dari negara yang mengklaim yurisdiksi tersebut. Negara yang mengklaim atau menyatakan yurisdiksinya baru dapat menjalankan yurisdiksi atau kekuasaan hukumnya apabila orang yang bersangkutan sudah datang dan berada

44

dalam batas-batas teritorialnya, apakah dia datang dengan cara suka rela atau dengan cara terpaksa, misalnya melalui proses ekstradisi.39 Yurisdiksi dengan prinsip nasional ini terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) Prinsip nasionalitas aktif (active nationality principle) Yurisdiksi negara berdasarkan prinsip nasionalitas aktif, memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana apabila orang yang melakukan tindak pidana atau orang yang bersalah adalah warga negaranya sendiri. Hal ini disebabkan karena hukum nasional dari suatu negara akan selalu mengikuti warga negaranya dimanapun dia berada dan kemanapun dia pergi. Dalam hal mengadili ini, pelaku tindak pidana harus diekstradisikan terlebih dahulu ke negaranya. (2) Prinsip nasionalitas pasif (passive nationality principle) Memperkenankan suatu negara untuk mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya terhadap suatu tindak pidana yang terjadi di luar negeri apabila pelakunya adalah orang asing, tetapi korbannya adalah warga negaranya sendiri. Orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri dan merugikan warga negara dari suatu ne gara, maka negara korban dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas personalitas, dalam hal ini azas nasionalitas pasif. Negara yang bersangkutan baru dapat menjalankan yurisdiksinya secara efektif apabila pelakunya sudah datang dan berada di dalam wilayahnya. c) Yurisdiksi dengan prinsip perlindungan

39 http://minartyplace.blogspot.com/2009/03/yurisdiksi-negara-state-jurisdiction.html. DiaksesPada: 21 Maret 2010.

45

Berdasarkan yurisdiksi dengan prinsip perlindungan ini, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas dan kemerdekaannya. Misalnya, berkomplot untuk menggulingkan pemerintahannya, menyelundupkan mata uang asing, kegiatan spionase, atau perbuatan yang melanggar perundang-undangan imigrasinya. Prinsip ini dibenarkan atas dasar perlindungan kepentingan negara yang sangat vital. Hal ini dibenarkan karena pelaku bisa saja melakukan suatu tindak pidana yang menurut hukum dimana ia tinggal tidak dikategorikan sebagai tindak pidana, dan manakala ekstradisi terhadapnya tidak dimungkinkan (ditolak) bila tindak pidana tersebut termasuk kejahatan politik.

d) Yurisdiksi dengan prinsip universal Hukum internasional mengakui adanya yurisdiksi berdasarkan azas universal (universal jurisdiction). Semua negara tanpa terkecuali dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksinya berdasarkan azas universal. Terdapat tindak-tindak pidana tertentu yang karena sifat atau karakternya memungkinkan atau memperkenankan semua negara tanpa terkecuali untuk mengklaim dan menyatakan kewenangannya atas suatu tindak pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan tanpa menghiraukan siapa pelakunya (warganegaranya sendiri atau orang asing), siapa korbannya (warganegaranya sendiri atau orang asing), juga tanpa menghiraukan tempat terjadinya maupun waktu terjadinya.

46

Tindak-tindak pidana yang dimaksudkan antara lain adalah kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap perdamaian dunia (crimes against international peace), kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity), perompakan laut (piracy), pembajakan udara (hijacking), kejahatan terorisme (terrorism) dan berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya yang dinilai dapat membahayakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Dalam hubungan ini sering tidak dapat dihindari adanya persaingan yurisdiksi di antara berbagai negara yang mempunyai kepentingan, yaitu antara negara tempat terjadinya suatu tindak pidana seperti itu dengan negara korban, negara tempat pelakunya berada atau melarikan diri dan sebagainya. Untuk dapat mengklaim dan menyatakan yurisdiksi terhadap tindak pidana seperti itu, maka negara-negara yang berkepentingan masing-masing seharusnya telah membuat peraturan-peraturan hukum nasional yang dapat digunakan untuk menangani tindak pidana seperti itu. 2. Yurisdiksi kriminal Orangorang yang berada di atas kapal asing yang memasuki perairan suatu negara pantai, berada di bawah yurisdiksi otoritas setempat jika melakukan suatu delik. Namun demikian, hal yang hanya menyangkut soal tata tertib intern dan disiplin di dalam kapal biasanya diserahkan penyelesaiannya pada otoritas negara bendera. Para awak kapal yang berada di atas kapal perang negara asing adalah kebal terhadap tindakan penahanan dan pemeriksaan pemerintah negara pantai sehubungan dengan delik yang terjadi di atas kapal itu, sekalipun akibat dari kejahatan itu merembes keluar dari kapal tersebut. Walaupun belum terdapat aturan

47

dalam hukum internasional yang telah mendapat pengakuan umum, yang meluaskan berlakunya imunitas tersebut sehingga mencakup orang-orang yang berada di atas kapal pemerintah lainnya yang tidak dapat dikategorikan sebagai kapal perang, namun telah menjadi suatu kebiasaan, sejauh mengenai orang-orang yang berada di atas kapal niaga pemerintah asing orang tersebut tidak luput dari yurisdiksi teritorial negara pantai sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh mereka, baik di atas kapal maupun di daratan. Terdapat kecenderungan bahwa pada umumnya suatu negara tidak dapat mencampuri kasus kejahatan ringan yang terjadi di atas kapal atau hal lain yang hanya menyangkut soal disiplin intern kapal pemerintah itu. Demikian pun halnya terhadap suatu kapal niaga asing.40 3. Penerapan hukum di laut Penerapan hukum adalah suatu proses pelaksanaan aturan-aturan, sampai pengadilan menjatuhkan hukuman yang mempunyai kekuatan hukum. Proses tersebut adalah kegiatan yang berkaitan satu sama lain. Kebanyakan delik yang terjadi adalah di perairan pedalaman terutama di bandar suatu negara. Bilamana suatu kapal niaga memasuki perairan pedalaman suatu negara pantai yang berdaulat penuh, baik negara pantai maupun negara bendera dapat bersaingan yurisdiksi di atas kapal tersebut yang berada di pelabuhan negara pantai. Konflik hukum tersebut dilandasi oleh dua macam prinsip hukum internasional yang masing-masing sudah mantap kedudukannya, yaitu prinsip40 Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang Berkaitan dengan Hukum Internasional. Alumni: Bandung.

48

mengenai yurisdiksi teritorial negara pantai dan yurisdiksi kuasi teritorial negara bendera atas kapal dan awaknya. Di satu pihak, negara bendera mempunyai yurisdiksi terhadap kapal dan awaknya meskipun berada di luar wilayahnya, dan di lain pihak negara pantai dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kapal asing yang berada di wilayah perairannya.41

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah dilakukan dengan cara menginventarisir bahan-bahan hukum yang ada dan dimulai dari suatu persoalan hukum, kemudian penelitian dilakukan dengan cara mempelajari, mengkaji dan menginterpretasikan bahan-bahan hukum yang berupa konvensi, literatur-literatur serta dokumen yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang diangkat yaitu mengenai kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut. B. Jenis dan Tipe Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-peraturan dan literatur serta bahan-bahan41 Djuang Harahap, Mustafa. 1983. Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia yang berkaitan

49

hukum yang berkaitan dengan kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut. Adapun tipe penelitian yang dilakukan adalah tipe penelitian deskriptif analitis yaitu proses pemecahan masalah yang diselidiki dengan cara menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dan kemudian melakukan penafsiran terhadap fakta-fakta yang ditemukan tersebut.

C. Data dan Sumber Data Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan terhadap: 1) Bahan hukum primer, yang merupakan instrumen-instrumen hukum

internasional yang terdiri dari konvensi-konvensi tentang Hukum Laut Internasional, dan juga konvensi lain yang berkaitan dengan kejahatan pelayaran yang berupa pembajakan dan perompakan di laut. 2) Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari buku-buku, tulisan-tulisan, penelitian studi kasus dan artikel-artikel yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan yang berhubungan dengan skripsi ini. 3) Bahan hukum tersier, yang terdiri dari kamus-kamus baik bahasa inggris maupun bahasa indonesia, merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. D. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan terhadap data sekunder dan data tersier yang berkaitan dengan masalah kejahatan pelayaran berupa pembajakan

50

dan perompakan di laut, serta mempelajari dokumen-dokumen serta instrumeninstrumen hukum internasional yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

E. Analisis Data Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, penelitiannya dilakukan secara kualitatif baik terhadap data hukum sekunder maupun data hukum primer. Data yang sudah dikumpulkan dan diolah tersebut, selanjutnya digunakan untuk merumuskan kesimpulan penelitian ini.

51

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tentang Kejahatan Pelayaran Di Somalia 1. Pembajakan dan Perompakan di Somalia

Gambar 1

Somalia adalah negara kecil dan merupakan salah satu kelompok negara miskin di dunia. Somalia pada awalnya bernama Republik Demokratik Somali, merupakan

52

sebuah negara yang terletak di pesisir Afrika Timur. Somalia tidak memiliki otoritas pemerintahan pusat yang diakui dan tidak memiliki mata uang nasional atau ciri-ciri lain yang berhubungan dengan sebuah negara berdaulat. Secara de facto (kenyataan/prakteknya), otoritas Somalia berada di tangan pemerintah yang tidak diakui, yaitu Somaliland dan Puntland. Pemerintahan yang diakui oleh dunia internasional adalah Pemerintahan Federal Transisi (TFG), pada awalnya dipimpin oleh Abdulkassim Salat Hassan, yang hanya memimpin sebagian dari Mogadishu, ibu kota Somalia. Dan saat ini pemerintahannya dipimpin oleh presiden Sharif Ahmed dan perdana menterinya adalah Omar Abdirashid Ali Sharmarke.42 Somalia merupakan negara bekas jajahan Britania Raya dan Italia, dan memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 1 Juli tahun 1960. Bahasa resmi Somalia adalah bahasa Somali dan bahasa Arab. Luas total negara ini mencapai 637.657 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 8.591.629 jiwa (sensus tahun 2005). Somalia dibagi menjadi beberapa daerah yaitu, Awdal, Bakool, Banaadir, Bari, Bay, Galguduud, Gedo, Hiiraan, Jubbada Dhexe, Jubbada Hoose, Mudug, Nugaal, Sanaag, Shabeellaha Dhexe, Shabeellaha Hoose, Sool, Togdheer, Woqooyi, dan Galbeed. Terdapat puluhan kelompok kriminal bersenjata yang bergerak di daratan dan di laut. Kelompok ini memiliki anggota antara sepuluh sampai dengan duabelas orang yang mempunyai persenjataan lengkap. Posisi Somalia yang sangat strategis menghadap ke teluk Aden, dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku tindak kriminal. Lalu lintas bisnis dari Eropa dan Afrika menggunakan jalur laut ini. Lebih dari 20.000 kapal dengan berbagai bendera negara asal setiap tahun melewati teluk 42 http://id.wikipedia.org/wiki/Somalia. Diakses Pada: 21 April 2010.

53

ini untuk tujuan Eropa atau Afrika maupun negara-negara Asia hingga ke Timur jauh, dan sebaliknya. Pembajakan di tanduk Afrika ini telah menjadi masalah yang semakin serius selama tiga tahun terakhir. Kurangnya supremasi hukum di Somalia, yang ditandai dengan tidak adanya pemerintah pusat yang efektif sejak tahun 1991, merupakan penyebab utama terjadinya pembajakan dan perompakan di wilayah ini. Pada tahun 2008, terjadi sebanyak 115 serangan bajak laut di lepas pantai Somalia dan pada tahun 2009 terjadi sebanyak 130 serangan. Insiden ini telah memperburuk konflik politik yang terjadi di Somalia, dan terus menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional di kawasan tersebut.43 Data Pembajakan Tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 Month January-July August September October November December Totals Total Attacks Hijackings 10 7 9 5 11 4 46 115 Tabel 2 Bajak laut di wilayah ini sangat terorganisir dan melengkapi diri dengan senjata yang canggih serta menggunakan kapal induk untuk mengoperasikan kapal sejauh ratusan kilometer di lepas pantai Somalia dengan tujuan untuk membajak kapal yang lebih besar. Perkembangan serangan terhadap kapal-kapal di lepas pantai Somalia, telah menimbulkan beberapa konsekuensi, seperti adanya gangguan kritis 43 http://bataviase.co.id/node/84584. Diakses Pada: 08 Januari 2010. Attempted Hijackings 14 3 11 13 16 12 69 Attack Succes Rate 42% 70% 45% 28% 41% 25% 40%

54

terhadap pengiriman bantuan kemanusiaan ke Somalia, peningkatan premi asuransi pengiriman barang-barang ke Somalia, adanya gangguan terhadap arus ekonomi dan prospek peningkatan keamanan lingkungan. Peristiwa pembajakan ini sangat sulit sekali untuk diberantas, meskipun kapal-kapal perang dari berbagai negara telah melakukan patroli di wilayah tersebut. Banyak negara yang telah menjadi korban dari pembajakan, berikut ini dapat dilihat beberapa negara yang pernah diserang oleh bajak laut. Sampel Data Korban Pembajakan No. 1 2 Negara Bendera Malaysia Arab Saudi Nama Kapal Bunga Melati 5 Sirius Star Keterangan Terjadi pada tanggal 29 Agustus 2008 Kapal yang berisi minyak mentah seberat 2 juta ton, berisi awak kapal sebanyak 25 orang dan semuanya disandera oleh pembajak. (15 September 2008) Kapal ini mengangkut biji-bijian menuju Iran. Terjadi di teluk Aden pada 18 September 2008. Berisi 24 orang awak kapal, terjadi pada 6 April 2009. Kapal ini dibajak ketika tengah mengangkut bantuan pangan untuk Somalia dan Uganda. Berisi 21 orang awak kapal. Para pembajak berhasil membajak kapal dan menyandera kapten Richard Philips. (8 April 2009)

3 4 5

Yunani Inggris Amerika Serikat

Grup Mwangura Malaspina Castle Maersk Alabama

Tabel 3 Sepanjang sejarah pembajakan yang terjadi di Somalia, telah banyak kapal yang berhasil diserang oleh para pelaku kejahatan tersebut. Dari data di atas, diantara beberapa negara yang telah menjadi korban pembajakan tersebut, pembajakan

55

terhadap kapal Sirius Star Arab Saudi merupakan peristiwa pembajakan yang terbesar yang tercatat dalam sejarah bajak laut.44 2. Skenario pembajakan

Gambar 2

Kapal yang menjadi target para pembajak adalah kapal besar pengangkut barang/kargo. Para pembajak menggunakan kapal kecil yang mempunyai kecepatan yang sangat tinggi untuk mengejar kapal-kapal yang melintasi wilayah pembajakan. Kapal pembajak mengikuti kapal yang menjadi target pembajakan melalui sisi samping kapal target. Setelah berada di samping kapal tersebut, para pembajak kemudian melakukan serangan berupa penembakan ke arah kapal dan langsung menaiki kapal dengan tangga sederhana dan menancapkan besi penaut. Selanjutnya melakukan aksi di dalam kapal dengan terlebih dahulu menangkap para awak kapal dan kemudian menyita kapal dan seluruh isinya. Para awak kapal yang tertangkap tersebut kemudian dijadikan sebagai sandera untuk mendapatkan uang tebusan dari 44 http://www.inilah.com/news/read/politik/2008/11/19/62972/gila-pembajak-somalia-makankorban-lagi/. Diakses pada 8 Mei 2010.

56

pemilik kapal. Uang tebusan inilah yang akan menjadi sumber pendapatan para bajak laut. Sebagian besar kapal dagang tidak disertai dengan pengamanan yang lengkap, dan terkadang kapten kapal tidak melakukan perlawanan jika terjadi baku tembak dengan para pembajak.45 3. Faktor Penyebab Timbulnya Pembajakan dan Perompakan di Somalia Adapun faktor-faktor utama yang memicu terjadinya pembajakan atau perampokan bersenjata Somalia adalah sebagai berikut: a. Situasi ekonomi di Somalia Situasi ekonomi di Somalia sangat memprihatinkan. Kemiskinan merupakan salah satu sumber motivasi kejahatan di negara ini. Tingkat pendapatan perkapita sangat rendah berkisar sekitar 600 US$ pertahun atau kurang dari dua dolar perhari. Tingkat pengangguran mencapai 66% di perkotaan dan 41% di pedesaan menjadi potensi besar untuk melakukan tindakan pembajakan. Kondisi perekonomian menjadi pemicu utama bagi tindakan kejahatan yang terjadi di Somalia. Sebagian masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan bekerja sebagai nelayan memperoleh kehidupannya dari hasil penangkapan ikan, sehingga dalam rangka mempertahankan kehidupannya, berbagai cara akan ditempuh tanpa memandang apakah cara yang ditempuh tersebut melanggar hukum atau tidak. Kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia yang membawa berbagai jenis muatan berlayar melalui kawasan ini, menjadi motivasi bagi masyarakat sekitar untuk melakukan tindakantindakan kriminal yaitu dengan membajak kapal-kapal laut yang melewati daerah

45 http://yulism.wordpress.com/2008/11/19/bajak-laut/. Diakses Pada:19 Desember 2009.

57

tersebut. Hasil dari pembajakan laut ini kemudian dijadikan sebagai sumber utama pendapatan, khususnya masyarakat pesisir dan umumnya masyarakat Somalia. Uang dari hasil tebusan kapal-kapal yang dibajak bisa mencapai ratusan juta US$. b. Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri Somalia Pemerintahan yang tidak dapat mengontrol permasalahan dan perkembangan yang terjadi di dalam negerinya, akan menimbulkan peluang bagi sekelompok orang untuk melakukan tindakan sepihak yang menguntungkan dirinya. Hal ini dialami oleh Somalia yang sejak tahun 1991 tidak memiliki otoritas pemerintahan pusat yang efektif sehingga pemerintah tidak dapat melakukan kontrol terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam negerinya secara efektif. c. Rendahnya kemampuan para penegak hukum di Somalia Minimnya kemampuan para penegak hukum di negara ini, baik yang bertugas di darat maupun di laut, merupakan peluang yang besar bagi para pelaku pembajakan untuk lebih leluasa melakukan tindakan kriminal. Selain itu aksi-aksi pembajakan tersebut bukan hanya dilatarbelakangi oleh tidak adanya pengawasan dari aparat di wilayah ini, akan tetapi juga karena tidak adanya penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan secara profesional terhadap para pelaku aksi pembajakan di laut tersebut. Kondisi ini disebabkan oleh latar belakang individunya ( seperti, latar belakang pendidikan, moral, komitmen, dan lain-lain) sehingga kelemahan tersebut dapat berdampak pada pendekatan yang dilakukan oleh penegak hukum dalam hal tindakan pencegahan, pengawasan maupun penindakan terhadap aksi-aksi

58

pembajakan di laut kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini juga berakibat pada kurangnya koordinasi antar penegak hukum terkait dan dapat menyebabkan lambatnya tindakan pencegahan dan penangkapan, lamanya waktu yang diperlukan sejak laporan diterima sampai dengan tindakan. d. Kondisi Geografis negara Somalia Kondisi geografis wilayah perairan Somalia menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya aksi-aksi pembajakan di wilayah ini. Para pembajak sebelum

melakukan aksinya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran serta tempat persembunyian yang ideal terlebih dahulu. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, mendorong para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukan di perairan lepas/terbuka. Teluk Aden merupakan wilayah yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai tempat pembajakan, karena wilayah ini dinilai sangat ramai dilewati oleh kapal-kapal komersial asing yang membawa barang-barang/kargo. B. Pengaturan Tentang Kejahatan Pelayaran Menurut Hukum Internasional Pada dasarnya, masalah kejahatan pelayaran di laut khususnya masalah pembajakan dan perompakan diatur dalam konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan hukum laut, yaitu konvensi Jenewa tahun 1958 tentang the High Seas (laut lepas), konvensi PBB tentang hukum laut tahun 1982 (United Nations Convention on the Law Of the Sea) dan konvensi Roma tahun 1988 tentang perbuatan melanggar hukum terhadap keselamatan pelayaran (Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation).

59

Akan tetapi ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi Jenewa 1958 telah digantikan oleh konvensi PBB tentang hukum laut tahun 1982, karena dalam hal ini berlaku azas lex posterior derogat lex priori (peraturan perundang-undangan yang baru didahulukan berlakunya dari pada yang terdahulu). Sehingga dengan berlakunya konvensi hukum laut 1982, maka konvensi Jenewa 1958 sudah tidak berlaku lagi. Sehingga dalam pembahasan selanjutnya akan lebih difokuskan pada ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam konvensi hukum laut 1982 dan konvensi Roma 1988. Perlu diketahui bersama bahwa esensi-esensi yang termaktub di dalam ketentuan-ketentuan konvensi hukum laut 1982 pada prinsipnya memiliki kesamaan substansi dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi Jenewa 1958. 1. Pengaturan tentang Pembajakan di Laut Menurut KHL Tahun 1982 a. Perkembangan Hukum Laut Internasional Konferensi Hukum Laut PBB yang pertama diselenggarakan di Jenewa pada tahun 1958 dengan menggunakan rancangan perjanjian hukum laut yang disusun oleh komisi hukum internasional, dihadiri oleh 86 negara. Konferensi ini gagal dalam memahami berbagai kepentingan yang berbeda-beda dalam perundingannya. Pada suatu pihak, kebebasan di perairan bebas diakui seiring bertambah pesatnya kemajuan teknologi. Selain itu diakui pula perluasan penggunaan lautan, dasar lautan dan pentingnya sumber-sumber kekayaan di laut. Kepentingan-kepentingan dunia atas hukum laut yang telah terlihat dalam perjalanan sejarah dunia mencapai puncaknya pada abad ke-20. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan, tersedianya kapal-kapal yang lebih cepat, bertambah

60

pesatnya perdagangan dunia, bertambah canggihnya komunikasi internasional, kesemuanya telah membuat dunia membutuhkan suatu pengaturan dan tatanan hukum laut yang lebih sempurna. Dalam dekade-dekade dari abad ke-20 ini telah empat kali diadakan usaha-usaha untuk memperoleh suatu himpunan hukum laut yang menyeluruh, yaitu: 1. Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 (the Hague Codification Conference in 1930) di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa; 2. Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 (the United Nation Conference on the Law of the Sea in 1958); 3. Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1960 (the United Nation Conference on the Law of the Sea in 1958); 4. Konvensi Hukum Laut 1982, yang dihasilkan oleh konferensi Hukum Laut PBB III. Konferensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1958 telah menghasilkan empat konvensi penting, yaitu: (1) Konvensi tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (the Convention on Territorial Sea and Contiguous Zone); (2) Konvensi tentang Laut Lepas (the Convention on the High Seas); (3) Konvensi tentang Landas Kontinen (the Convention on Continental Shelf); (4) Konvensi tentang Perikanan dan Perlindungan Sumber-sumber Hayati di Laut Lepas (the Convention on Fishing and Conservation of Living Resources of the High Seas). Konvensi hukum laut 1982 merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982. Konvensi

61

hukum laut dengan hasil gemilang ini ditandatangani oleh 119 negara. Terdiri dari 17 bagian (parts) dan 9 annex, konvensi antara lain terdiri dari ketentuan-ketentuan tentang batas-batas dari yurisdiksi nasional di ruang udara dan di atas laut, navigasi, perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut, riset ilmiah, pertambangan dasar laut dan eksploitasi lainnya dari sumber-sumber non hayati dan ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian perselisihan. Disamping itu, konvensi ini juga mengatur tentang pendirian dari badan-badan internasional untuk menyelenggarakan fungsifungsi untuk realisasi tujuan-tujuan tertentu dari konvensi. b. Hal-hal yang diatur dalam Konvensi Ketentuan konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 yang mengatur tentang pembajakan, sebenarnya mengambil alih ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi hukum laut Jenewa tahun 1958 tentang the high seas. Pengaturannya sebagai berikut:46 a. Pasal 101 KHL 1982, menjelaskan tentang definisi dan ruang lingkup pembajakan di laut sebagai berikut: Pembajakan di laut terdiri atas salah satu di antara tindakan berikut ini: 1) setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan dilakukan: (a) di laut lepas, terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara;

46 Abdul Muthalib Tahar dalam Diktat Hukum Laut Internasional menurut KHL 1982 dan Perkembangan Hukum Laut di Indonesia pada Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Unila, 2007.

62

(b) terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara manapun. 2) setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya menjadi suatu kapal atau pesawat udara pembajak; 3) setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan sebagaimana disebutkan dalam sub (a) atau (b). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peristiwa pembajakan yang terjadi di lepas pantai Somalia telah memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 101 KHL 1982 sebagaimana yang disebutkan di atas. Peristiwa ini terjadi di lepas pantai Somalia yang merupakan daerah di luar laut teritorial Somalia. Para pembajak tersebut melakukan tindakan kekerasan dan penahanan atau penyanderaan terhadap awak kapal yang dibajak.

Pasal ini sejalan dengan pasal 15 konvensi Jenewa 1958 tentang the high seas yaitu: Piracy consists of any of the following acts: (1) Any illegal acts of violence, detention or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ship or a private aircraft, and directed: (a) On the high seas, against another ship or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft; (b) Against a ship, aircraft, persons or property in a place outside the jurisdiction of any State; (2) Any act of voluntary participation in the operation of a ship or of an aircraft with knowledge of facts making it a pirate ship or aircraft; (3) Any act of inciting or of intentionally facilitating an act described in subparagraph 1 or subparagraph 2 of this article.

63

b. Pasal 100 KHL 1982 menyatakan bahwa, Dalam hal pembajakan di laut, semua negara harus bekerjasama sepenuhnya untuk memberantas pembajakan di laut lepas atau di tempat lain manapun di luar yurisdiksi suatu negara. Hal ini sejalan dengan pasal 14 konvensi Jenewa 1958 yang menyatakan bahwa, All