bab i sampai bab iv
DESCRIPTION
Birokrasi dalam paradigma weber oleh afdhalTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap organisasi tentu memiliki birokrasi dalam mengatur jalannya
organisasi tersebut. Birokrasi ini diaplikasikan dalam sebuah organisasi secara
langsung maupun tidak langsung sebagai orientasi dalam keberlangsungan
organisasinya. Birokrasi bagaikan sebuah “jantung” dalam institusi, sebab
birokrasilah yang “menghidupkan” institusi tersebut. Jantung yang sehat akan
membuat pemilik jantung untuk sehat, tetapi sebaliknya jika jantung tidak sehat,
maka akan mendatangkan berbagai “penyakit” kepada pemilik jantung tersebut.
Begitu juga dengan birokrasi, birokrasi yang ideal akan memberikan dampak
keidealan terhadap institusinya, dan sebaliknya, birokrasi yang tidak ideal akan
membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kehancuran dari institusinya
tersebut.
Berbicara masalah birokrasi yang ideal, banyak pakar politik klasik
maupun modern yang mengkonsepkannya, tetapi hanya sedikit sekali dari pakar-
pakar politik yang bisa menjawab berbagai permasalahan dalam birokrasi. Dalam
Sinambela dkk. (2011:35) Abdullah mengatakan:
Model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson,
Gullick dan Urwick belum bisa menjawab kenyataan teorinya secara
faktual jika dikaitkan dengan temuan penelitian sekarang ini.1
Seorang politikus dan sosiolog asal Jerman, mengemukakan konsep ideal
dari birokrasi. Ia mengemukakan tujuh ciri tipe ideal birokrasi2 dan tiga otorita
dari tipe ideal birokrasi Weber3 yang akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Banyak sekali negara-negara yang mengadopsi konsep birokrasi idealnya Weber
dan tidak terkecuali Indonesia.
1 Lijian Poltak Sinambela.dkk, Reformasi Pelayanan Publik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal.35 2 George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul: Kreasi Wacana ofset, 2012),
hal.142 3 Lijian Poltak Sinambela.dkk, op. Cit. hal.55
2
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadopsi konsep birokrasi
idealnya Weber. Tetapi disayangkan bahwa konsep birokrasi ideal itu tidak
dipakai seutuhnya oleh Indonesia sehingga memunculkan permasalahan-
permasalahan yang mengakibatkan kerugian pada birokrasi tersebut yang
notabene birokrasi digunakan demi kepentingan khalayak ramai dan
menguntungkan pihak birokrator yang tidak bertanggung jawab.
Berkaitan dengan permasalahan yang ada pada birokrasi sekarang ini,
seperti korupsi yang telah merajalela. Korupsi telah menjamur di berbagai aspek
pemerintahan, pendidikan, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Pada ranah
pendidikan, sebagaimana dikutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang
menyatakan bahwa “selama 10 tahun terakhir, telah terjadi 296 kasus korupsi
pendidikan dengan tersangka sebanyak 479 orang hingga merugikan keuangan
negara Rp. 619 miliar”.4 Ini membuktikan bahwa birokrasi di Indonesia sangat
buruk, pendidikan yang seharusnya memutuskan mata rantai korupsi yang sudah
menjadi budaya, tetapi pendidikanlah yang secara tidak langsung melanggengkan
budaya korupsi.
Selanjutnya, ada beberapa permasalahan pada aspek birokrator dari suatu
birokrasi. Adanya hambatan dan ketidakmampuan dalam menjalankan fungsi
secara efektif. Permasalahan ini diakibatkan oleh spesialisasi kerja, kalau dalam
bahasanya Weber “hierarki kerja”. Permasalahan ini akan kita bahas secara
mendalam pada bab selanjutnya. Tidak sampai di sini saja permasalahan-
permasalahan dalam biroksasi. Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan
pada birokrasi, antara lain tekonisme5, coordination, linkange of autority dan
resistance.
4Bisnis.Com. “ICW: Korupsi Pendidikan Rp619 Miliar dalam 10 Tahun Terakhir”
(http://www.bisnis.com/icw-korupsi-pendidikan-rp619-miliar-dalam-10-tahun, diakses 20
september 2013) 5 Tekonisme merupakan kecenderungan sikap administrator yang menyatakan mendukung suatu
kebijaksanaan dari atasan secara terbuka, tetapi hanya sedikit sekali partisipasi dalam
pelaksanaannya.
3
Sebagai contoh kasus yang akan diangkat yaitu pada Fakultas Ilmu Sosial
(FIS), Universitas Negeri Jakarta. Semua mahasiswa UNJ yang pernah masuk ke
dalam salah satu ruangan kelas di FIS terutama pada lantai bawah, pasti akan
merasa kepanasan dan mengeluh. Sebagai contoh, keluhan dari salah seorang
Mahasiswi FIK terhadap penulis, yang berkeluh kesah atas ketidaknyamanannya
kuliah dalam kelas tersebut. Sebab kelas tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas
Air Conditioner (AC), ruangan yang kotor dan berdebu serta tidak ada proyektor.
Ruangan kelas yang panas dan jauh dari kondisi standar, disebabkan oleh faktor
birokrasi fakultas tersebut. Ini merupakan dampak dari tidak profesionalnya
birokrator dari FIS ini terutama bagian Tata Usaha. Mengenai ini akan penulis
bahas secara mendalam pada bab selanjutnya.
1.2. Identifikasi Masalah
Dari permasalahan diatas, dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai
berikut:
- Seberapa pentingkah birokrasi diperlukan oleh sebuah institusi?
- Bagaimana sejarah lahirnya model birokrasi di dunia?
- Bagaimana perkembangan model birokrasi di Indonesia dulu dan kini?
- Masalah apa sajakah yang terjadi pada penerapan model birokrasi di
Indonesia?
- Model birokrasi manakah yang ideal untuk diterapkan di Indonesia?
- Institusi manakah yang pernah sukses & gagal dalam menerapkan model
birokrasi idealnya Weber?
- Bagaimana gambaran penerapan model birokrasi ideal Weber di FIS UNJ?
- Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan adanya penyimpangan-
penyimpangan birokrasi di FIS UNJ?
- Bagaimana seharusnya model birokrasi ideal Weber diterapkan di FIS
UNJ?
- Manfaat apa yang akan diperoleh dengan penerapan model birokrasi
idealnya Weber?
4
1.3. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini dapat tepat sasaran dan efektif, maka permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada perbandingan konsep tipe
ideal birokrasi Weber dengan sistem birokrasi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Jakarta.
1.4. Perumusan Masalah
Dengan pembatasan di atas, maka dirumuskan masalah yang akan dikaji
dalam adalah bagaimanakah birokrasi Indonesia dalam perbandingan konsep tipe
ideal birokrasi Weber dengan sistem birokrasi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Jakarta?
1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah:
- Memberikan informasi tentang sistem birokrasi di Indonesia.
- Mengajak para pembaca untuk mendalami model birokrasi Weber yang
dianggap ideal.
- Memberikan rekomendasi kepada rekan-rekan mahasiswa yang memiliki
problematika yang sama dalam hal birokrasi di kampus.
- Mengkritisi sistem birokrasi di FIS UNJ yang seharusnya pionir dalam
penerapan birokrasi yang ideal.
- Memberikan masukan yang baik terhadap Fakultas Ilmu Sosial, UNJ.
- Memberikan pemahaman kepada pembaca tentang birokrasi yang ideal itu.
- Memberikan informasi kepada pembaca tentang contoh sederhana
birokrasi yang ideal dan yang tidak ideal.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hakikat Telaah Kritis
Telaah kritis (critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti dan
sistematis mengevaluasi penelitian untuk memutuskan tingkat kepercayaan, nilai,
serta relevansinya dalam suatu konteks tertentu. Dengan kata lain, telaah kritis
merupakan suatu proses mengevaluasi dan menginterpretasikan suatu evidence
secara sistematis dengan mempertimbangkan validitas, hasil, dan relevansinya.
Telaah kritis, dalam pengertiannya tidak jauh berbeda dengan berfikir kritis.
Krulik & Rudnick dalam Sumardyono dan Ashari S mendefinisikan berpikir kritis
“sebagai berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek
dari situasi masalah”.6 Termasuk di dalam berpikir kritis adalah
mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi.
Sejalan dengan pandangan di atas, Norris dan Ennis dalam Alec Fisher dalam
Sumardyono dan Ashari S menyatakan, berpikir kritis adalah “berpikir yang
beralasan dan reflektif yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya
dan apa yang tidak dapat dipercaya”.7
Lebih lanjut Sumardyono dan Ashari S mendeskripsikan bahwa “berpikir
kritis memerlukan kemampuan membaca, memahami, dan mengidentifikasi
masalah serta kemampuan mengklasifikasi dan membandingkan, sehingga dapat
menggambarkan kesimpulan dengan lebih baik dari yang diberikan, serta dapat
menentukan ketidakonsistenan dan kontradiksi dari informasi tersebut”.8 Tidak
semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang diyakini
kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan
informasi yang dihasilkan, tidak selalu informasi yang benar. Keputusan atau
kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan informasi terbaik
6 Sumardyono dan Ashari. S, Kajian Kritis Dalam Pembelajaran Matematika Di SD,
(Jakarta:Kemendiknas, 2010), hal 9 7 ibid 8 ibid, hal 10
6
setelah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi, termasuk mengkaji
kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti pendukung.
Berpikir kritis menurut Gega dalam Sumardyono dan Ashari S adalah
berpikir yang menggunakan bukti-bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan,
serta dapat menunjukkan pendapat yang terkadang kontradiktif, bahkan mau
mengubah pendapatnya jika ternyata ada bukti lebih kuat yang bertentangan
dengan pendapatnya.
Dapat disimpulkan bahwa telaah kritis merupakan kegiatan mengkaji secara
mendalam, komprehensif, logis dan argumentatif tentang suatu permasalahan,
yang diikuti dengan pengambilan keputusan dan diakhiri dengan pemecahan
masalah.
2.2. Hakikat Sistem
2.2.1. Definisi Sistem
Menurut bahasa, sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan
bahasa Yunani (sustēma) adalah sekumpulan unsur/elemen yang saling
berkaitan dan saling mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama
untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Zulkifli Amsyah yang diambil dari kamus Webster’s
Unabridged menyebutkan bahwa “Sistem adalah elemen-elemen yang
saling berhubungan membentuk satu kesatuan atau organisasi”. Sedangkan
menurut Jogiyanto dalam buku Sistem Sosial Budaya Indonesia,
mengatakan bahwa “Suatu sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-
prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk
melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang
tertentu”.9
9 Haryanto dan Parwitaningsih, Sistem Sosial Budaya Indonesia,(Jakarta: Universitas Terbuka,
2010) hal 2.32
7
Talcot Parson dalam torinya “Struktural Fungsionalisme” yang
melihat masyarakat sebagai suatu sistem.10 Ia mendefinisikan sistem sebagai
suatu komponen-komponen yang saling berhubungan, dimana dari setiap
komponen tersebut akan adanya keseimbangan dan tujuan akhirnya dari
keseimbangan tersebut adalah masyarakat madani (civil society).
Lain hal dengan pengertian yang disampaikan oleh Gordon B. Davis
dalam bukunya Management Information System, sistem adalah :
As principals, users often engage information system (IS)
professionals as agents to develop information systems on
their behalf. Due 10 a lack of understanding and knowledge
of each other's domain, goal conflict may arise between the
two parties. To reduce agency costs, one or 'both parties
must try to narrow goal differences. IS professionals can
invite users to participate more actively throughout the
development lifecycle. This gives the users more
opportunities to verify requirements and ensure that the final
system is aligned with user needs. Further, users may request
that the information system produce information-rich
documentation so that monitoring is made easier and more
readily available to users.11
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
sistem adalah kumpulan dari beberapa unsur atau bagian dan beroperasi atau
bekerja sama untuk melakukan aktivitas dalam mencapai sasaran dalam arti
sempit dan tujuan dalam arti luas.
2.2.2. Karakteristik Sistem
Adapun karakteristik sistem antara lain :
1. Komponen sistem
Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling
berinteraksi, yang artinya saling bekerjasama membentuk suatu
kesatuan. Komponen-komponen sistem dapat berupa suatu sistem atau
bagian-bagian dari sistem.
10 Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka LP3ES
Indonesia, 2013), hal 10-11 11 Gordon B. Davis, Management Information System,(Washington: Blackwell Business, 1990)
hal.3
8
2. Batasan Sistem
Batasan sistem merupakan daerah yang membatasi antara suatu
sistem dengan sistem lainnya atau dengan lingkungan luarnya.
3. Lingkungan Luar Sistem
Lingkungan luar dari suatu sistem adalah apapun di luar batas dari
sistem yang mempengaruhi operasi sistem.
4. Penghubung Sistem
Penghubung merupakan media yang menghubungkan antara satu
subsistem dengan subsistem lainnya.
5. Masukan Sistem (input)
Masukan sistem merupakan energi yang dimasukkan ke dalam
sistem. Dalam birokrasi biasanya inputnya adalah birokrator.
6. Keluaran sistem (Output)
Keluaran sistem yaitu energi yang diolah dan diklasifikasikan
menjadi keluaran yang berguna. Dalam birokrasi biasanya yang
menjadi out put adalah kebijakan-kebijakan yang berupa fisik maupun
non fisik. Pengolahan Sistem
Pengolahan sistem adalah pengolah yang akan merubah masukan
menjadi keluaran. Pengolahan biasa lebih dikenal dengan cara kerja
dari suatu sistem.
7. Sasaran Sistem
Suatu sistem mempunyai tujuan atau sasaran, kalau sistem tidak
mempunyai sasaran maka sistem tidak ada. Sasaran merupakan hal
yang akan di capai oleh suatu sistem.
9
2.3. Hakikat Birokrasi
Menurut Ahmad Muksin (2011:53) mengatakah bahwa “birokrasi
merupakan suatu lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan
organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan
rasional dalam sebuah organisasi”12. Pada hakikatnya birokrasi itu merupakan
sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang
semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat
tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar
birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Sedangkan menurut Ali Mufiz, birokrasi mendasarkan diri pada “hubungan
antara kewenangan menempatkan dan mengangkat pegawai bawahan dengan
menentukan tugas dan kewajiban dimana perintah dilakukan secara tertulis, ada
peraturan mengenai hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian didasarkan
atas aturan-aturan tertentu”.13 Weber (dalam George Ritzer And Douglas J.
Goodman, 2012:140) juga mengungkapkan:
Dari sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai
tingkat efisiensi tertinggi, dan dalam hal ini secara formal
dikenal sebagai sarana paling rasional untuk menjalankan
otoritas terhadap manusia. Birokrasi lebih tinggi dari bentuk
lain dalam soal presisi, stabilitas, dan keketatan disiplin, dan
keterpercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi
tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan
bagi mereka yang bertindak dalam kaitan dengan ini. Akhirnya
birokrasi lebih tinggi dalam hal efisiensi intensif dan cakupan
operasinya dan secara formal dapat diterapkan segala macam
tugas administratif.14
Imam Santosa mengatatakan bahwa birokrasi (bureaucracy) adalah “bentuk
maju dari organisasi administratif berskala besar yang hadir dalam kapitalisme
lanjut, dan kadang-kadang diambil dari ciri khas dari kapitalisme tersebut”.15
12 Lijian Poltak Sinambela, loc.cit, hal.53 13 Ali Mufiz, Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara,(Jakarta:Karunika, 1986), hal.177 14 George Ritzer And Douglas J. Goodman, op.cit. hal.140 15 Imam Santosa, Konsep Kunci Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.21
10
Imam santosa ini merupakan salah seorang penganut aliran Weberian, dimana ia
setuju akan adanya pelanggengan kapitalisme oleh birokrasi.
Shivji dalam analisisnya tentang terbentuknya sebuah “borjuasi birokratis”
yang mempunyai kesadaran akan kepentingan-kepentingan kelas mereka, dan
yang menggunakan aparat negara sebagai sarana untuk memajukan kepentingan-
kepentingan kelas tersebut.16 Shivji merupakan saah seorang sosiolog modern
yang menganalisa negara dunia ketiga. Dalam pandangannya, negara dunia ketiga
dijadikan sarana untuk mentransformasikan orang-orang yang mempunyai latar
belakang “borjuis kecil” menjadi “borjuis birokratis”.
Birokrasi merupakan suatu struktur rasional yang memainkan peran yang
begitu luas dalam masyarakat modern. Namun mungkin akan ada yang bertanya
tentang adakah alternatif lain selain struktur birokrasi. Tidak akan ada alternatif
lain, kebutuhan akan administrasi massa sama sekali tidak dapat dihilangkan.
Pilihannya hanyalah antara birokrasi dan diletanisme. Diletanisme merupakan
pengetahuan yang dangkal tentang administrasi.
Birokrasi sangatlah penting bagi suatu organisasi, karena birokrasi
merupakan suatu unsur yang paling rasional dalam pembentukan masyarakat
madani. Jika Parson menganalogikan suatu organisasi itu semacam struktur tubuh,
dimana terdapat sistem-sistem, yang di dalam sistem itu terdapat komponen-
komponen yang saling berhubungan. Parson memandang suatu sistem yang
apabila sistem tersebut telah terjadi equilibrium, maka hasil akhirnya akan
terbentuklah masyarakat madani (civil society). Jika menganalogikan birokrasi
dengan teori struktural fungsional tadi, maka birokrasi bagaikan ruhnya suatu
organisasi. Birokrasilah yang membuat komponen-komponen menjadi seimbang.
2.4. Hakikat Paradigma
Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu
pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut
16 Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), hal. 66
11
dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas Khun, dalam bukunya The
Structure Of Scientific Revolution. Ia memandang paradigma sebagai:
“A set of interrelated assumptions about the social world which
provides a philosophical and conceptual framework for the
organized study of that world. A paradigm represents a
disciplinary matrix which encompasses the commonly shared
generalizations, assumptions, values, belief, and examples of
what contributes the discipline’s interest”.17
Sedangkan menurut bahasa, Paradigma dalam bahasa Inggris disebut
paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal dari
bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis, para berarti di samping, di
sebelah. Deigma berarti memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal.
Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja dimaknai berarti menunjukkan atau
mempertunjukkan sesuatu. Berdasarkan uraian tersebut, secara epistemologis
paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh. Paradigma juga
bisa berarti, sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh.
Friedrichs, mencoba merumuskan pengertian paradigma. Ia berpendapat
bahwa “paradigma merupakan sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin
ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya
dipelajari”.18 Lebih lanjut Ritzer mengungkapkan bahwa “paradigma membantu
merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan - persoalan yang harus
dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti
dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang
dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut”.19
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu
pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan
terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik
pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya
dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata yang lebih
17 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Persada,
2010), hal 3 18 Ibid, hal 6 19 Ibid, hal 7
12
sederhana dapat diartikan bahwa paradigma adalah pola pikir, cara pandang para
ilmuan mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan,
dipelajari, dan dipahami tentang ilmu tersebut.
Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan menghubungkan
eksemplar, teori-teori, metode-metode, serta instrumen-instrumen yang terdapat di
dalamnya. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab,
serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi
yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam
satu paradigma tertentu, terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang menjadi
pokok persoalan dari cabang ilmu itu serta kesamaan metode serta instrumen yang
digunakan sebagai peralatan analisa.
13
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pentingnya Birokrasi
Dalam suatu organisasi, birokrasi ini merupakan “ruh” nya organisasi.
Organisasi akan hidup jika ada birokrasi. Birokrasi hanya bisa hidup dan
berkembang dalam sebuah organisasi. Organisasi dan birokrasi saling
membutuhkan. Organisasi yang ideal akan membutuhkan bentuk birokrasi yang
ideal. Suatu ideal merupakan dambaan semua orang.
Di ibaratkan sebuah kereta api, birokrasi ini merupakan “mesin” dari
kereta tersebut. Jika mesinnya dalam keadaan baik dan onderdilnya berstandar
SNI, maka kereta tersebut akan bisa mengangkut barang dan penumpang. Tetapi
tidak cukup untuk “mesin”nya saja yang baik. “Masinis” dari kereta api tersebut
harus memiliki SIM untuk mengemudi kereta api. Jika mesin dari kereta api
tersebut sudah baik dan onderdilnya bagus, tetapi masinisnya tidak memiliki
kualifikasi untuk mengemudi kereta dengan baik, maka kereta tersebut tidak akan
berjalan dengan semestinya. Mesin sudah baik dan aman, Masinis sudah memiliki
SIM untuk mengemudi kereta api dan memiliki kualifikasinya, tetapi “rel” dalam
kondisi rusak. Ini juga sangat penting. Rel haruslah dalam keadaan baik. Jika
relnya rusak, maka kecelakaan tidak akan bisa dihindari oleh kereta api lagi.
Dari sepenggal analogi di atas, “mesin” kereta api itu bagaikan
birokrasinya dari organisasi atau institusi. “Masinis” di ibaratkan sebagai
birokrator dari birokrasi itu. Birokrator merupakan orang-orang yang bekerja dan
mengendalikan organisasi itu secara langsung. Tingkah laku para birokrator ini
sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dari institusi tersebut. “Rel” dari
birokrasi ini seperti onstitusi dari sebuah institusi. Konstitusi ini merupakan garis
aturan untuk para birokrator.
Untuk urgensi birokrasi ini, kita dapat melihatnya dari tiga pandangan.
Dari pandangan aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi.
Aliran strukturalis berpandangan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai
fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama.
Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan
14
keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaanm sebagai atribut utama dalam
sistem sosial berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga
berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat bagi semua golongan masyarakat.
Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara
keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut pandangan strukturalis, konsentrasi
kekuasaan adalah syah selama masyarakat memang menghendakinya.
Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik. Kelompok
yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang
banyak diwarnai oleh dominasi politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan
ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan suasana paksaan (coercion) yang
menimbulkan intimidasi, propaganda dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai
dengan supremasi golongan/ ras/ budaya yang menyebabkan suasana hegemoni.20
Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan
distribusi alat produksi antara kepentingan kelas borjuasi dengan proletar.
Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi
profesional menunjukkan bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh
birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan
kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.
Adapun menurut aliran strukturasi, mencoba mencari hubungan antara
struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur dan
aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan dualisme
struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara dialektis dan
kontinium sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau agen menurut
pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam mengkonstruksi
kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Setiap
tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin
dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang
terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut.
20 Antonio Gramsci, seorang yang bersikap kritis terhadap teori Marxis yang telah merumuskan
konsep hegemoni. Hegemoni ia definisikan sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh
penguasa. Ia mempertentangkan hegemoni dengan koersi yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif
atau eksekutif, atau diekspresikan melalui campur tangan polisi. Secara sederhana, hegemoni ini
merupakan pisau analisis untuk menganalisis kelanggengan kapitalisme. Lihat George Ritzer And
Douglas J. Goodman, op.cit. hal 299-300
15
Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining)
tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas
struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of
power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting,
terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur.
3.2. Sejarah dan Perkembangan Birokrasi di Indonesia
Berbicara masalah sejarah birokrasi, istilah birokrasi ini berasal dari
seorang tokoh politik Eropa yang bernama Max Weber. Dia merumuskan istilah
birokrasi ketika revolusi industri di Eropa sekitar abad 19. Rumusan birokrasi
Weber ini merupakan masuk ke dalam salah satu telaahnya tentang teori tipe ideal
(ideal typus).
Sejarah terus berkembang selama masyarakat itu masih ada. Begitu juga
dengan birokrasi, birokrasi tidak akan terlepas dari faktor kesejarahan. Apa yang
terjadi pada birokrasi Indonesia di masa sekarang, tidak lain hanyalah pengaruh
dari faktor sejarah. Birokrasi telah berjalan dan berbimbingan tangan dengan
alunan nyanyian sejarah. Maka boleh kita katakan “Aku ada karena sejarah,
sejarah terukir karena Aku ada, Aku dan sejarah saling mengadakan”.
Dengan menggunakan telaah secara seksama fakta sejarah akan
memperoleh perhatian yang lebih tepat mengenai fakta yang ada sekarang.
Sejarahpun akan membantu perspektif masa depan, tentang apa saja yang
dilakukan oleh masyarakat terutama oleh administrasi publik. Dengan sejarah,
kita dapat melacak jejak birokrasi yang dilakukan oleh administrasi publik, mulai
dari zaman kerajaan sekitar Abad V yang masyarakatnya sangat tradisional sekali,
sampai masa orde baru yang dikenal dengan rezim otoriter dan dilanjutkan oleh
orde reformasi yang penuh dramaturgi.21
21 Teori dramaturgi di cetuskan oleh Erving Goffman. Ia menerbitkan serangkaian buku dan essay
analisisnya mengenai teori dramaturgi sebagai varian dari teori interaksionisme simbolis.
Goffman melihat kesamaan teater dengan tindakan manusia pada umumnya, yaitu tindakan yang
penuh dengan drama dan kepalsuan. Lihat Ibid., hal 234-235
16
3.2.1. Birokrasi Pra-Kolonial
Jendela tinjauan sejarah birokrasi dengan melihat sejarah-sejarah kerajaan
yang pernah berdiri dan berjaya di Indonesia. Di masa Pra-Kolonial ini, ada tiga
periode birokrasi. Periode birokrasi tradisional, periode lanjutan dan periode akhir
para-kolonial. Untuk lebih jelas lagi, mari kita jabarkan satu-persatu.
3.2.1.1. Birokrasi Awal
Dimulai dengan kerajaan hindu pertama di Indonesia pada abad ke
IV M yaitu kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dimana kerajaan tersebut
yang awalnya berbentuk kesukuan dan sistem birokrasinya belum jelas,
tetapi semenjak masuknya paham-paham Hinduisme yang membuat suku
tersebut menjadi jenjang tingkatan atau kelas-kelas sosial. Pada masa itu,
Kudungga sebagai kepala suku langsung mengangkat dirinya sebagai Raja,
dan menamakan kerajaannya itu dengan Kerajaan Kutai. Di masa ini,
terbentuklah birokrasi yang sangat sederhana.
3.2.1.2. Birokrasi Periode Lanjutan
Pada abad V masehi, juga berkembang kerajaan Tarumanegara di
Jawa Barat. Bisa dilihat dengan peninggalan-peninggalan dari kerajaan ini.
Prasasti-prasasti merupakan salah satu bentuk peninggalan kerajaan ini. Di
prasasti Ciareteun misalnya, ada cap kaki raja Purnawarman yang
melambangkan bahwa kekuasaan raja Purnawarman.
Kemudian pada abad ke VII masehi, juga berkembang kerajaan
Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada
kekuatan armadanya di lautan serta memegang peranan besar dalam
percaturan politik di Asia Tenggara. Di Jawa Tengah muncul pula
kerajaan-kerajaan seperti Kalingga, kerajaan Sanjaya, dan Kerajaan
Syailendra. Budaya yang berkembang pada masa ini adalah
berkembangnya Hindu dan Budha, refleksi budaya dari kerajaan ini
misalnya candi Borobudur, candi Prambanan dan lain sebagainya.
17
Raja
Bangsawan
Pendeta dan Militer
Petani dan Buruh tani
Begitu juga di Jawa Timur, juga berkembang kerajaan-kerajaan
seperti Darmawangsa, kerajaan Airlangga, kerajaan Kediri, kerajaan
Singosari, kerajaan Majapahit dan kerajaan Mataram. Pada kerajaan
kerajaan ini di kenal istilah “Priyayi atau Abdi dalem, Yuwaraja,
Pratiyuwaraja, Rajakumara, Phrabu dan lain sebagainya”. Para mereka
inilah yang mengurus biokrat dari institusi kerajaaan.
Pada masa feodal dalam kehidupan masyarakat, jika ditinjau dari
stratifikasinya, terdapat pola lapisan masyarakat yang hierarkis yang
kemudian akan berbentuk piramida, dimana yang duduk di puncak
tertinggi yaitu raja yang jumlahnya sangat sedikit. Kemudian lapisan yang
kedua adalah kaum bangsawan yang jumlahnya lebih banyak dari raja dan
mendapat perintah dari raja, lapisan yang ketiga adalah tentara dan pendeta
yang jumlahnya lebih banyak dari bangsawan serta mendapatkan
kebijakan dari bangsawan dan raja. Dan lapisan yang keempat adalah
masyarakat biasa yang terdiri dari petani dan buruh tani. Dalam sosiologi,
pola lapisan masyarakat seperti ini disebut sebagai pola lapisan tertutup
(closed social stratification). Dimana kemungkinan untuk pindahnya
lapisan paling bawah ke lapisan yang lain, baik gerak ke atas maupun
gerak ke bawah sangatlah susah. Jika digambarkan, akan terlihat seperti
piramida gambar di bawah ini.
Gambar : 3.1
Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Feodal
Pada sistem masyarakat yang tertutup ini, untuk menjadi anggota
suatu lapisan tertentu dalam masyarakat adalah faktor kelahiran, seperti
keanggotaan lapisan bangsawan diperoleh oleh seorang anak yang lahir
dari rahim ibu yang berdarah bangsawan. Pola kekuasaan dan wewenang
18
dijelmakan pada diri seseorang yaitu berada pada lapisan bawahnya. Misal
raja memberikan pengaruhnya kepada lapisan kaum bangsawan, tentara,
pendeta dan lapisan paling bawah yaitu kaum petani dan buruh tani.
Untuk pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam birokrasi
kerajaan adalah dipegang oleh seorang raja. Secara formal raja berhak
untuk melaksanakan kekuasaan memrintah dan memberikan suatu
kebijakan. Disini, keputusan raja mutlak, dan tidak boleh seorangpun yang
menentang keputusan dan kebijakan seorang raja.
Dalam hal ini, raja membagi-bagi kekuasaannya ke yang lebih
rendah derajatnya. Kekuasaan yang lebih rendah derajatnya dari raja
biasanya dijalankan oleh golongan kecil masyarakat, dan mereka
menamakan dirinya sebagai The Rulling Class. Diantara orang-orang The
Rulling Class juga terdapat pemimpinnya, meskipun mereka tidak
mendapat kekuasaan yang tinggi secara hukum. Dalam masyarakat feodal,
The Rulling Class ini merupakan seorang Mahapatih dari golongan
bangsawan seperti masa kerajaan Majapahit.
Golongan yang berkuasa tidak mungkin bertahan terus tanpa
didukung oleh masyarakat, karena golongan tersebut berusaha untuk
membenarkan kekuasaanya terhadap masyarakat dengan maksud agar
kekuasaannya dapat diterima masyarakat sebagai kekuasaan yang legal
dan baik untuk masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, masyarakat
yang berkuasa berusaha menanamkan kekuasaannya delan jalan
menghubungkannya dengan kepercayaan dan perasaan yang kuat di dalam
masyarakat yang bersangkutan, yang pada akhirnya akan terwujud dalam
suatu nilai dan norma.
Lain hal dengan kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram dapat
menjadi salah satu model negara tradisional yang memiliki corak birokrasi
patrimonial/tradisional. Kerajaan mataram memiliki daerah teritorial yang
hampir mencakup semua wilayah pulau jawa. Dinasti, baik Syailendra
maupun Sanjaya, menempatkan raja tidak hanya sebagai pewaris tahta
19
keluarga istana
kawula roban
para dadya
golongan brahma dan para pendeta
golongan islam
kerajaan, tetapi sekaligus menempatkan raja sebagai kepala rumah tangga
perekonomian kerajaan yang bersifat paternalistik. Sebagai seorang
pemegang kekuasaaan kepala negara, raja Mataram menempatkan diri
sebagai seorang Gusti (yang disembah) untuk membedakan diri dari
rakyatnya sebagai Kawula (yang penyembah). Sebagai seorang pemegang
kekuasaan, raja memiliki otoritas untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan,
jabatan, kemakmuran dan prestise kepada anggota keluarga kerajaan.
Secara umum, pada masa kerajaan, raja sebagai kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan selalu didampingi oleh ahli-ahli
pemerintahan dan pengurusan praja yang memperoleh keahliannya melalui
pendidikan dan pengalaman menurut sistem yang berlaku pada masa itu
yang pada umumnya bersifat individual dan personal.
Suatu keunikan dengan stratifikasi dan birokrasi pada kerajaan
Karangasem. Pada kerajaan Karangasem (Bali), merupakan bagian dari
kerajaan Mataram Lombok, dan pada tahun itu raja Lombok I Gusti
Ngurah Ketut Karangasem menugaskan dua orang kemenakannya yaitu
Gusti Gede Putu dan Gusti Gde Oka memerintah di kerajaan Karangasem.
Secara umum, struktur masyarakat pada masa kerajaan Karangasem ini
bisa di lihat dalam gambar di bawah ini:
Gambar : 3.2
Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Kerajaan Karangasem Bali22
(Sumber: Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke
Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal 111)
22 Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke Kolonial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 111
Rakyat biasa
20
3.2.1.3. Birokrasi Periode Akhir Pra-Kolonial
Setelah datangnya Alfonso De Albuquerquere yang berkebangsaan
Portugis datang ke Semenanjung Malaka pada abad 16 dengan tujuan
awalnya adalah berdagang dan mencari rempah. Pada saat ini, harga rempah
setara dengan harga emas. Singkat cerita, pada akhirnya rempah-rempah
mulai di monopoli oleh orang Portugis dan akhirnya mulailah dramatisasi
penjajahan. Yang pada awalnya wilayah ini merupakan daerah kekuasaan
kerajaan Goa.
Salah satu yang menjadi ciri khas birokrasi pada masa Pra-Kolonial
adalah stratifikasi masyarakat yang sangat tertutup. Selain itu, kekentalan
pengaruh dari agama Hindu sangat kuat pada masa ini. Misalnya pada
kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan kerajaan Hindu sezaman ini
lainnya.
3.2.2. Birokrasi Pada Masa Kolonial
3.2.2.1. Birokrasi Periode Awal Kolonial
Sejarah kolonialisme di Indonesia bermula dari kedatangan bangsa
Eropa di perairan nusantara, mereka itu yang dikenal dengan bangsa
Portugis yang diikuti oleh orang Spanyol, yang tujuan awalnya adalah
mencari pusat tanaman rempah, yang harganya mahal di Eropa. Selanjutnya,
dramatisasi kolonial di Indonesia semakin memanas semenjak datangnya
orang-orang Belanda yang mengendarai VOC sebagai perusahaan dagang
ke wilayah nusantara. Di sesi berikutnya, kolonial Belanda mulai
memainkan peranan dalam percaturan perdagangan dan politik sehingga
terjadi penguasaan kerkepanjangan terhadap wilayah dan kehidupan ibu
pertiwi ini. Didalam kehidupan masyarakat Indonesia, kolonial Belanda
melakukan politik dengan mengadakan lapisan-lapisan pada masyarakat
serta diskriminasi dalam semua bidang kehidupan, dimana dalam lapisan
masyarakat atas adalah golongan eropa, lapisan kedua adalah timur asing,
dan lapisan atas adalah bumi putera. Jika digambarkan, akan terlihat seperti
piramida di bawah ini:
21
Bangsa Eropa
Timur Asing
Bumi Putera
Gambar : 3.3
Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Kolonial
Kapitalisme dagang yang sangat berpengaruh dalam abad XVI dan
XVII mengakibatkan situasi yang sangat menyedihkan yang disebabkan
oleh perkembangan ekonomi harus diderita oleh rakyat biasa yang terdiri
dari atas kaum buruh dan petani.
Pada zaman koloni Belanda dikenal dengan “ambtenaar”, ada
namanya culturstelsel atau tanam paksa, masa desentralisasi kekuasaan
dan masa pemerintahan pusat. Secara politik kekuasaannya berpusat pada
seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan
Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya yang membawahi berbagai
departemen. Kemudian, para gubernur di daerah-daerah yang dikuasai
Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan kedinasan. Pejabat-
pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen, Asisten Residen,
Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elit birokrasi kolonial yang
dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Birokrasi seperti ini yang
digunakan pemerintah kolonial sebagai cambuk untuk melanggengkan
kekuasaan (hegemoni) dan menjadikan golongan pribumi sebagai pion
atau budak dalam rangka meguasai nusantara serta menjarah seluruh harta
kekayaan dan sumber daya alamnya.
3.2.2.2. Birokrasi Periode Akhir Kolonial
Kedudukan Jepang di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian politik
imperialisme di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia ingin sebuah
imperium di Asia. “Munculnya imperialisme Jepang tidak lepas dari adanya
restorasi Meiji yang berdampak sebagai modernisasi di segala bidang
22
kehidupan”.23 Selain itu juga, Imperialisme Jepang juga didukung filsafat
Hakko Ichi-u. Filsafat ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Jenderal Hideki
Tojo, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan nasional dasar dari pada
Jepang adalah “pembentukan perdamaian dunia sesuai dengan cita-cita yang
mulai Hakko Ichi-u (delapan benang dibawah satu atap), yang menjadi
landasan Kemaharajaan. Intisari dari filsafat ini adalah pembentukan suatu
lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar
di dunia. Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang
meliputi kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina, dan Mancukuo
(Manchuria) sebagai tulang punggungnya.
Struktur pemerintahan pada masa kolonial Jepang yaitu dengan
membentuk dokumen-dokumen. Ada dua dokumen yang menjadi asas
penyelenggaraan pemerintahan militer Jepang di Indonesia dalam kurun
waktu 1942-1945. Dokumen pertama adalah “Asas-Asas Mengenai
Pemerintahan di Wilayah-Wilayah Selatan yang Diduduki” (Nampo
Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo) yang disahkan dalam Konferensi
Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada
tanggal 20 November 1941. Dokumen kedua adalah “Persetujuan Pokok
antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Mengenai Pemerintahan Militer
di Wilayah-Wilayah yang Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni
Kansuru riku-kaigun Chuo Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam
Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor
Kabinet pada tanggal 26 November 1941.
3.2.3. Birokrasi Pada Masa Post Kolonial sampai dengan Sekarang
Negara Indonesia tergolong negara yang berkembang, masyarakatnya
sedang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern. Bagi Indonesia yang telah lama di jajah, kondisi ini sangat
mempengaruhi mentalitas bangsa dan dari sistem birokrasinya. Hal yang sagat
dominan tercermin dalam struktur birokrasinya yaitu ketika kenaikan pangkat,
penerimaan pegawai, sampai pada kewajiban yang harus dilaksanakan. Pada
23 Nugroho Notosusanto, Tentara Peta, Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta:PT
Gramedia,1979) hal 17
23
kewajiban ini yang diutamakannya hanya loyalitas, bukan bagaimana kepentingan
rakyat menjadi utama sehingga the righ man are in the righ place tidak pernah
tercapai.
Perang Dunia II telah usai, dan salah satu dampak positif terhadap Indonesia
adalah kemerdekaan. Indonesia yang merdeka, menghasilkan sebuah
pemerintahan yang baru, dimana sistem birokrasi pada masa kolonial sudah
benar-benar diubah. Kebebasan-kebebasan bukan hal yang utopis lagi. Dilihat dari
segi masa pemerintahan Indonesia dari merdeka sampai sekarang, bentuk
birokrasinya dibagi dalam beberapa masa, yaitu masa orde lama, masa orde baru
dan masa reformasi.
3.2.3.1. Masa Orde Lama
Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan
sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi
pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri
bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan
didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah
disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk
Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS
melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-
tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat
itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia
yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki
keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana
menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah Belanda yang
memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap
NKRI.
Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan
sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa
konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo
beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinet menyebabkan
birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi terjadi
24
tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa
itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental
nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau
berpengaruh dalam suatu departemen.
Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis
kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru
yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar
mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau
berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah
memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam
birokrasi. Birokrasi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas-
tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau
program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai
politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu
menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari
partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak
berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik
terhadap partainya.
3.2.3.2. Masa Orde Baru
Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat
Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam
karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya
sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang
birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit,
menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan
substansi, dan tidak efisien.
Berbicara tentang model birokrasi pada masa orde baru, model
bureaucratic polity terjadi pada masa ini. Dimana model birokrasi seperti ini
adalah terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran
masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Bahkan birokrasi
kapitalisme tumbuh subur pada masa ini. Proses birokrasi di Orde baru
25
berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala
Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil
dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang
birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan
kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi,
politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.
Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi
lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak
aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan
tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan
menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin
mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi
dan sosial.
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ
saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam
kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah
a. Jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan,
b. Para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi,
c. Para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi,
d. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan
dan warisan dari sistem nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-
kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi,
selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga
mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya
abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri
dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri
adalah abdi negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip
dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada
mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat.
26
3.2.3.3. Masa Reformasi
Dengan berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan
masa reformasi dimulai dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi
yang baik (good govermence) seperti membuat undang-undang dan
lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat melaksanakan tugas dan
fungsinya secara tepat.
Kemudian dalam masa ini dikenal 2 macam birokrasi yaitu birokrasi
patrimonial dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi patrimonial sendiri dapat
diartikan sebagai perekrutan orang ke dalam birokrasi didasarkan pada
kedekatan hubungan personal yang mengabaikan kualitas individu, namun
lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua untuk
kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis
yang berkaitan dengan pelayanan publik.
Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam
mendorong terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi
untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya
dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan
birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali
masih terjadi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat
birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai
pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya
dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi
bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.
Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur
kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan
dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya
fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran
tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh
birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang
dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan
27
masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk
kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.
3.3. Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Diatas, sudah dibahas sejarah birokrasi yang sedikit mewakili gambaran
umum dari birokrasi Indonesia untuk saat sekarang ini. Terutama gambaran
tentang birokrasi pada masa reformasi. Setelah era reformasi tercapai, juga salah
satu yang paling sering dikumandangkan adalah perlunya reformasi birokrasi. Isu
utama yang ditekankan dalam reformasi birokrasi bukan saja pelayanan dan
inefisiensi, tetapi juga transparansi. Seiring dengan bergulirnya demokratisasi,
birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi pelayanan publik
yang transparan. Good governance menjadi sebuah imperatif dalam proses negara
demokrasi, dan disini birokrasi harus transparans, akuntabel, dan membuka
partisipasi publik.
Memandang sedikitnya tentang birokrasi pada masa reformasi ini, ada
beberapa karakteristik sistem birokrasi pada masa reformasi. Ditinjau dari sudut
pandang perpolitikan, birokrasi ini lebih terbuka dan demokratis, banyak aspirasi-
aspirasi yang muncul dari masyarakat. Dari sudut transparansi, birokrasi pada
masa reformasi ini lebih transparansi di banding pada masa Orde Baru, dan juga
adanya lembaga yang secara khusus untuk mengawasi badan transparansi. Tetapi
ada beberapa hal yang masih di luar batas ideal, terutama dalam kinerja birokrator
terlebih lagi dalam pelayanan. Administrasi yang masih berbelit-belit, proses
administrasi yang masih lamban, masih terdapat pungutan-pungutan liar dari
aparatur yang merupakan salah satu keburukan dari kinerja aparatur birokrasi ini.
Sedangkan dalam undang-undang telah diatur tentang pelayanan ini.
Berdasarkan UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat
1 Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan
administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.
28
Dari UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang berkewajiban
menyediakan pelayanan publik adalah penyelenggara pelayanan publik dalam hal
ini adalah aparatur pemerintah atau birokrasi.
Selain itu, berdasarkan data dari ICW, selama tahun 2012 telah terdapat 52
kader partai politik yang terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, kader partai
terbanyak yang terlilit kasus korupsi berasal dari Partai Golkar dengan jumlah 14
orang. Peringkat selanjutnya adalah Partai Demokrat sebanyak 10 kader, PDIP
dan PAN masing-masing 8 kader, PKB 4 kader, PKS 2 kader, Gerindra 3 kader,
PPP 2 kader dan tidak teridentifikasi satu orang.24
3.4. Penyimpangan-penyimpangan pada Birokrasi
Pada gambaran umum diatas, telah di tunjukkan bahwa begitu banyaknya
penyimpangan-penyimpangan pada birokrasi, termasuk salah satunya KKN.
Bentuk-bentuk penyimpangan birokrasi di Indonesia sebagai berikut :
Penyalahgunaan kewenangan dari aparatur negara.
Mutu pelayaan kepada masyarakat masih buruk. Adanya pungutan liar
yang membuat kenyamanan masyarakat menjadi terganggu.
Mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan belum tercapai ideal.
Selama ini, efisiensi dalam semua pelaksaan tugas birokrator belum
memadai. Banyaknya anggaran-anggaran yang “gemuk”, sehingga
terbukanya peluang yang besar untuk korupsi.
Birokrasi belum antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi
globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.
Dari beberapa penyimpangan birokrasi di atas, ada beberapa hal yang
menjadi penyebab penyimpangan ini, antara lain:
1. Lemahnya Sistem Peraturan
Menurut hemat penulis, jika peraturan di tingkat atas (pemerintah
pusat) mengikat dan tidak memberi celah sedikitpun untuk melakukan
penyimpangan, jelaslah bawahannya akan mengikuti segala keputusan
24 Anonim, “Data ICW Mengenai Kasus Korupsi tahun 2012,
(http://forum.kompas.com/nasional/304754-data-icw-mengenai-kasus-korupsi-tahun-2012-a.html),
diakses tanggal 27 Oktober 2013
29
dari perintahan pusat. Segala tindak tanduk dari bawahan pasti dengan
persetujuan dari atasan. Suka atau tidak, mau tidak mau bawahan akan
mengikuti keputusan dari atasan. Para bawahan akan mengikuti semua
peraturan dengan kesepakatan.
Selanjutnya, jika saja ingin menjadikan peraturan atau perundang-
undangan tersebut sebagai sebuah bingkai secara global dalam negara
ini, sesuai koridor tersepakati bersama, maka sebelum peraturan di
tingkat lebih tinggi tersebut akan diberlakukan perlu adanya
koordinasi intensif antara pihak atas ke bawah guna memaksimalkan
serta mematangkannya terlebih dahulu (merasionalisasikan), sehingga
benar-benar merata dan jangan ada semacam mekanisme kontekstual
dan pengecualian, karena konsep peraturan yang bernuansa
kontekstual dan pengecualian ini yang betul-betul menjadi celah
terbesar dalam mengahadirkan bentuk peluang baru terjadinya
penyimpangan, dengan modus operandi baru pula.
2. Sistem Birokrasi yang sangat Berbelit-Belit
Hal ini sebenarnya cukup mengundang munculnya banyak
penyimpangan yang tidak diharapkan, semakin panjang semakin besar
kecolongan dan kebablasannya. Hal ini atas dasar bahwa ketika
birokrasi yang berbelit-belit ada kecenderungan, hal ini pula dijadikan
dasar bagi para perangkat dibirokrat, untuk selalu menjadi dalih untuk
berspekulasi menciptakan kondisi menyamankan penyimpangan,
seperti “sudahlah gampang nanti mudah diatur segalanya, gak ada
yang sulit kok, segalanya bisa diatur” sekalipun sulit prosedur yang
harus dilewati tidaklah demikian, akhirnya yang bersangkutan
mulailah dengan aksi cari dana dalam bentuk isi tangannya. Lantas
saja jika keseringan diisi tangannya, yang namanya manusia sering
tidak puas, ingin yang lebih besar dan banyak, masuklah yang
bersangkutan pada konteks yang lebih besar dan banyak isi tangan,
sampai-sampai lupa akan apa yang sekiranya jadi hak dan kewajiban.
30
Mulailah berlaku serakah, dan tidak sadar apa yang jadi tanggung
jawab selanjutnya kepada sesama dan kepada Sang Ilahi mungkinnya,
sehingga setidaknya sistem dalam perbirokrasian di tanah air ini,
siasat seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak lagi muncul
dampak langsung maupun tidak langsung yang dapat berakibat fatal
terkait semakin membeludaknya KKN dalam berbagai modus
operandi.
3. Aparat yang Kurang Berkompetensi dalam Pekerjaannya
Kurang berpotensinya seseorang menduduki suatu jabatan, jelaslah
ada banyak kelemahan didirinya dalam mengerjakan, menata,
mengatur, menyiasati dan mencapai jelas petani ini tidak akan bisa
karena ia tidak pernah belajar untuk menangkap ikan. Jadi, ini akan
menjadikan pekerjaan yang sia-sia saja.
Saat ini pula jika dirasa perlu adanya reinventarisasi kompleksitas
permasalah atur, menyiasati dan mencapai tujuan yang menjadi
sasaran pelaksanaan tugasnya. Sebuah analogi yang akan penulis
sajikan. Bagaikan seorang petani di suruh untuk menangkap ikan di
laut. Sungguh an terkait berbelitnya urusan birokrat baik di tingkat
atas maupun di tingkat bawah. Yang menjadi permasalahan baru pada
saat sekarang ini adalah masalah pangkat golongan dan usia kerja
yang bisa menjadi kendala utama.
4. Oknum yang Tidak Konsisten terhadap Hukum
Tidak bisa dipungkiri lagi tentang lemahnya penegakan hukum di
Indonesia, dan tebang pilih juga masih menjadi tren pada sekarang ini.
Selain itu, tentang revisi dan amandemen terhadap UUD dan UU
merupakan salah satu bentuk rendahnya komitmen terhadap peraturan
sekarang ini. Hal ini diikuti juga dengan peraturan-peraturan yang
sebenarnya jika dicermati baik, maka ada juga peraturan dan
perundangan-undangan yang sebenarnya cukup relevan
pemberlakuannya. Sesuka hati diarifinya, langsung direvisi dan revisi.
31
Ada beberapa sebab lain ketidaksesuaian birokrasi ini menurut
Ritzer25 adalah:
Tindakan birokrat yang didasarkan kepada informasi yang keliru.
Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pemimpin
birokrasi.
Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.
Keputusan birokratis yang didasarkan kepada perasaan.
Segala irasionalitas dalam tindakan pemimpin dan pengikut birokrasi.
3.5. Perbandingan Sistem Birokrasi FIS dengan Konsep Tipe Ideal Weber
Max Weber, merupakan sosok yang paling terkenal dan paling
berpengaruh dalam teori sosiologi. Karya Weber begitu bervariasi dan dapat
ditafsirkan secara beragam sehingga banyak mempengaruhi teori sosiologi.
Sebelum terjun ke kancah sosiologi, Weber merupakan seorang mahasiswa
lulusan fakultas hukum. Tetapi karena minat dia lebih banyak ke sejarah, maka ia
membicarakan hubungan sejarah dengan sosiologi.
Max Weber juga banyak mengeluarkan karya tulis yang bertajuk politik,
sosiologi dan lain sebagainya. Beberapa karya tulisannya, yaitu:
1. The History of Trading Companies during the Middle Ages (1889)
2. Economy and Society (1920)
3. Gesammelte Aufsätze zur Religionssoziologie (Collected essay on
Sociology of Relegion) Vo. 1 -3 (1921)
4. Collected essay on Sociology and Social Problems (1924)
5. From Max Weber: Essay in Sociology
6. The Theory of Social and Economic Organization
3.5.1. Konsep Tipe Ideal Weber
Tipe ideal ini merupakan salah satu sumbangan terpenting Weber.
Tipe ideal dibentuk oleh aksentuasi oleh satu sisi dari satu atau lebih sudut
pandang dan oleh begitu sintesis oleh banyak fenomena individual yang
kabur, khas, yang kadang kala kentara dan kadang–kadang tidak. Tipe ideal
25 George Ritzer And Douglas J. Goodman, Loc. Cit, hal 130
32
ini merupakan hasil dari pemikiran weber yang jika di tinjau dari setting
waktu, dimana Weber hidup pada masa debat intelektual (Methodenstreid)
yang berlangsung di Jerman. Pada debat ini, ada dua kubu yaitu kubu
positivis dan kubu subjektif yang saling berdebat intelektual. Dari
perdebatan intelektual ini, Weber kemudian membuat sintesis menjadi
konsep tipe ideal (ideal typus).
Tipe ideal ini merupakan sebuah pisau analisis dalam memahami
aspek tertentu dalam dunia sosial. Tipe ideal ini djadikkan sebagai tolok
ukur atau standar pembanding. Fungsinya dari tipe ideal ini adalah sebagai
pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidak sesuaian
atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat
dipahami sebcara tepat dan untuk menjelaskan secara kausal.
Hekman dalam Ritzer (2013), mengakui bahwa Weber menawarkan
beberapa macam tipe ideal, antara lain:26
Tipe ideal historis, ini terkait dengan fenomena yang ditemukan
pada epos sejarah tertentu, misalnya pasar kapitalis modern.
Tipe ideal sosiologis umum, ini terkait dengan fenomena yang
bersinggungan pada beberapa periode historis dan masyarakat,
misalnya birokrasi.
Tipe ideal tindakan, ini merupakan tipe tindakan murni yang
didasarkan pada tindakan motivasi pelaku, misalnya tindakan
afektual.
Tipe ideal struktural, ini merupakan bentuk sebab dan akibat
tindakan sosial, misalnya dominasi tradisional.
Berkaitan dengan konsep tipe ideal birokrasi, Weber selalu
mengawali analisisnya tentang hakikat dan sifat dasar tindakan. Ia
mendefinisikan dominasi sebagai probabilitas suatu perintah tertentu akan
dipatuhi oleh sekelompok orang. Dominasi ini dimiliki oleh beragam
basis, sah maupun tidak, namun yang menarik perhatian Weber adalah
26 Ibid, hal 131
33
bentuk dominasi yang sah. Bentuk dominasi yang sah ini yang di sebut
sebagai otoritas.
3.5.1.1. Otoritas Legal Rasional
Otoritas legal ini sebenarnya seperti bentuk struktural, tetapi yang
paling cocok untuk dijadikan standar adalah sistem birokrasi. Dimana weber
memandang birokrasi sebagai tipe yang paling murni dari dijalankannya tipe
otoritas legal. Tipe ideal birokrasi adalah perluasan yang dilakukan secara
sengaja terhadap karakteristik rasional birokrasi.
Ciri utama tipe ideal birokrasi menurut weber adalah sebagai
berikut:27
Terdiri dari rangkaian organisasi fungsi-fungsi resmi (badan)
yang terikat oleh aturan.
Setiap badan harus memiliki ranah kompetenti yang spesifik.
Badan tersebut membawa serta serangkaian kewajiban untuk
melakukan berbagai fungsi, otoritas untuk menjalankan fungsi-
fungsi tersebut, dan cara-cara pemaksaan yang diperlukan bagi
dilakukannya pekerjaan tersebut.
Badan-badan tersebut terorganisasi dalam sistem hierarkis.
Badan-badan tersebut mungkin membawa serta kualifikasi
teknis yang mengharuskan partisipasinya memperoleh pelatihan
yang tepat.
Staf yang mengisi badan-badan tersebut tidak memiliki sarana
produksi yang terkait dengannya.
Pegawai tidak diizinkan mengubah posisi, ia tetap menjadi
bagian dari organisasi.
Tindakan, keputusan, dan aturan administratif dirumuskan dan
dicatat secara tertulis.
27 Ibid, hal 142
34
3.5.1.2. Otoritas Tradisional
Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola
pengawasan, sebagaimana diberlakukan di masa lampau dan yang kini
masih berlaku. Legitimasi sangat dikaitkan dengan kewajiban penduduk
untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi
kepalanya. Para pemegang otorita merasa takut untuk merenggangkan cara
pengerjaan tradisional, karena perubahan berikutnya akan menggerogoti
sumber-sumber legitimasinya.
3.5.1.3. Otoritas Kharismatik
Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu
yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut
misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sikap pribadi lainnya yang
sangat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatiktidaklah
diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidak
dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin yang seperti ini dan segala
komandonya akan selalu dipatuhi oleh para pengikutnya. Para pengikut
akan mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang
memaksa mereka untuk patuh. Tipe otoritas tradisional dan kharismatik
terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi
industri.
3.5.2. Penerapan Konsep Birokrasi Weber
Seperti yang telah di bahas di atas, konsep ideal birokrasi Weber
merupakan pisau analisis untuk menelaah tentang birokrasi pada suatu institusi.
Konsep ideal ini digunakan sebagai standardisasi untuk menentukan ideal atau
tidak suatu institusi. Disini, tidak tertutup kemungkinan bahwa birokrasi pada
suatu institusi akan melebihi atau kurang dari standar.
Berbicara tentang Negara yang telah memenuhi standar konsep ideal
Weber. Sudah banyak Negara maju yang telah memenuhi syarat ideal sistem
birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Misalnya Amerika. Amerika
mempunyai delapan standar model birokrasi yang tidak lain adalah
35
pengembangan dari model birokrasi Weber. Model standardisasi birokrasi Weber
yang telah dikembangkan Amerika antara lain:28
1. Sistem wewenang yang berdasarkan kekuasaan dan ditata pada jalur-
jalur hierarkis.
2. Departementalisasi fungsi-fungsi, bagian yang paling penting adalah
departemen-departemen yang berurusan langsung dengan produksi dan
departemen-departemen yang berorientasi kepada penyediaan
pengetahuan dan keterampilan khusus.
3. Struktur peran yang ditandai oleh perbedaan yang jelas antara
golongan pejabat dan golongan buruh, dalam beberapa perbedaan yang
sama dalam sifat peran itu. Kepada segi-segi peran itu, kita harus
menambahkan ciri-ciri lain yang pada umumnya ada pada organisasi
industri.
4. Dalam organisasi industri seperangkat menjadi bawahan seperangkat
jabatan lainnya, kecuali pada tingkat paling atas atau paling bawah.
Departemen-departemen juga sering ditempatkan pada poros atasan
sampai bawahan, wewenang merupakan wewenang bertingkat.
5. Setiap peran, posisi wewenang dan departemen diatur oleh seperangkat
peraturan yang menentukan kewajiban-kewajiban, hak-hak, posisi
dalam industri, sangsi yang dapat digunakan, imbalan, kriteria untuk
memasuki atau meninggalkan peran.
6. Setiap posisi dalam organisasi, khususnya dalam staf dan dalam
manajemen, menuntut pengetahuan yang spesialis, yang diperoleh
entah dari dalam atau dari luar perusahaan.
7. Setiap posisi yang diduduki oleh mereka yang memiliki wewenang
yang pantas. Seleksi idealnya berdasarkan kualifikasi teknis,
pendidikan khusus dan kapasitas-kapasitas pribadi. Norma-norma yang
bersifat universal ini juga idealnya berlaku untuk kenaikan pangkat
atau penurunan pangkat.
8. Mereka menduduki berbagai posisi dalam organisasi tidak mempunyai
hak milik langsung atas posisi mereka atau atas barang-barang yang
28 Eugene V. Schneider, Sosiologi Industri, (Jakarta: Aksara Persada, 1986), hal. 116-17
36
menyertai jabatan itu. Pengkajian berbentuk upah atau gaji adalah
penggajian ini di bayarkan oleh organisasi dalam jangka-jangka waktu
yang ditentukan.
Delapan ciri sistem birokrasi Amerika diatas telah memenuhi syarat ideal
dari konsep ideal birokrasi Weber. Dapat dilihat realita sekarang bahwa Amerika
telah menjadi Negara yang kuat.
Amerika Serikat merupakan salah satu contoh Negara yang sukses dalam
menerapkan konsep ideal sistem birokrasi Weber. Tidak hanya dalam institusi
public, tetapi dalam industri-industri juga diterapkan oleh Amerika Serikat. Masih
banyak Negara lain yang memakai konsep ideal Weber seperti Jepang, Inggris,
Belanda dan umumnya negara-negara yang maju.
3.5.3. Sistem Birokrasi FIS UNJ
Penulis meneliti tentang sistem birokrasi yang ada di FIS UNJ. Ini bermula
dari banyaknya keluhan-keluhan dari mahasiswa, baik mahasiswa FIS maupun
mahasiswa fakultas lain yang pernah ujian MKU di FIS ini. Keluhan-keluhan
mereka ini terutama terhadap fasilitas-fasilitas belajar yang mengganggu
kenyamanan dalam belajar. Ruangan yang sempit, kotor, tidak ber AC,
merupakan sebagian kecil dari keluhan para mahasiswa. Selain itu, fakta yang
terjadi saat mahasiswa yang saling berebutan kursi karena kursi yang mereka
duduki tidak cukup untuk mereka satu kelas.
Maka dari itu, penulis mulai meneliti bagian tata usaha, yang merupakan
“roda” dari suatu sistem birokrasi FIS ini. Jika ada yang bertanya kenapa penulis
tidak meneliti Dekannya langsung, penulis ingin menjawab karena TU (Tata
Usaha) ini merupakan bagian dari “sistem”, dimana suatu sistem itu memiliki
komponen-komponen, yang setiap komponen ini berhubungan dengan komponen
lainnya. Jika salah satu dari komponen ini disfungsi, maka akan berdampak
kepada komponen lainnya.
Sebuah wawancara yang dilakukan di TU FIS, pada hari Senin 21 oktober
2013 pada pukul 11.09. Penulis salah seorang kepala TU yang berisinial nama
DAN. Di tinjau dari segi akademik kepala TU ini, ia merupakan salah seorang
lulusan ilmu hukum, baik untuk S1 maupun S2 nya. Beliau menjabat sebagai
37
kepala TU ini semenjak 1 oktober 2012. Menurut beliau, “sistem pembagian kerja
di TU FIS UNJ sudah berdasarkan fungsi dan spesialisasinya masing-masing,
dimana menurutnya karyawan lulusan SMK ditempatkan dibagian perlengkapan,
sedangkan karyawan lulusan akuntansi ditempatkan di bagian keuangan”.
Ada sesuatu yang janggal dari perkataan narasumber ini. Bapak DAN
selaku narasumber mengatakan bahwa pembagian kerja sudah terhadap
spesialisasinya masing-masing. Tetapi, untuk spesialisasi kerjanya sendiri belum
ideal. Dia yang berlatar pendidikan sebagai master hukum, dan belum memiliki
kompetensi untuk mengambil alih semua hak dan kewajiban dari Tata Usaha.
Walaupun dia sudah pernah mengikuti DIKLAT untuk masalah pekerjaan ini,
tetapi dia mengatakan antitesis dari ucapan dia yang pertama tadi. Dia
mengatakah bahwa dia bekerja itu hanyalah waktu yang bisa menjawab keahlian
dia dalam bekerja. Dia mengungkapkan “learning by doing” atau belajar sambil
bekerja.
Di TU FIS UNJ juga terdapat hierarki wewenang yang jelas. Dimana
setiap posisi yang mereka duduki memiliki fungsi dan perannya masing-masing
dalam keberlangsungan kegiatan di dalam TU FIS UNJ tersebut. Sebagai
buktinya, di dalam struktur kepegawaian di TU FIS UNJ terdapat 4 (empat) Sub
bagian (Subag). Diantaranya ada Ka. Subag Akademik (mengurusi tentang KRS,
surat keterangan, dlsb); Ka. Subag Kemahasiswaan (yang mengurusi tentang
beasiswa, BEM Jurusan atau BEM Fakultas, dan lain sebagainya); Ka. Subag
Perlengkapan (yang mengurusi sarana dan prasarana); serta Ka. Subag
Kepegawaian dan Keuangan (yang mengurusi seputar keuangan dan
kepegawaian). Semua yang ada pada struktur ini sudah ideal.
Selanjutnya berkaca pada ciri-ciri tipe birokrasi ideal yang ada, di TU FIS
UNJ juga mengadakan suatu prosedur seleksi yang formal kepada calon
pegawainya. Walaupun sejak tahun 2000 sudah tidak lagi menerima pegawai tetap
melainkan tenaga honorer, namun menjadi tenaga honorer pun harus mengikuti
seleksi dan persyaratan yang dibutuhkan dalam penerimaan karyawannya. Diakui
beliau, sebelum resmi menjabat sebagai Kabag TU FIS UNJ saat ini, beliau juga
merasakan dan telah melewati serangkaian prosedur seleksi formal yang di
tetapkan. Baik mengikuti fit and proper test untuk mengetahui di posisi mana
38
yang tepat untuk di duduki, beliau juga menjalani proses Diklat (Pendidikan dan
Latihan) yang di adakan oleh departemen. Beliau juga menambahkan, di era yang
modern saat ini, penerimaan karyawan saat ini bersifat online. Yang artinya
seluruh orang di Indonesia dapat mengikutinya, namun juga tidak melupakan
aspek-aspek pendukungnya. Menurutnya, menjadi dosen saat ini juga harus
memenuhi salah satu syarat seleksi yaitu pada tahun 2014 harus sudah
menyelesaikan studi S2-nya. Jika tidak, maka akan diberikan dua pilihan kepada
dosen yang bersangkutan. Apakah memilih untuk pensiun dini atau diturunkan
menjadi staf administrasi.
Keberlangsungan jenjang karier para pegawai di TU FIS UNJ, juga
ditentukan berdasarkan prestasi kerja yang mereka miliki. Dimana keberhasilan
prestasi kerja mereka diapresiasikan yang paling tinggi dengan kenaikan jabatan,
atau sekedar berlibur setiap akhir tahun. Namun tidak hanya prestasi kerja yang
mempengaruhi jenjang karier mereka, kegagalan dan kesalahan yang mereka buat
pun memiliki “hadiahnya” tersendiri. Mulai dari yang paling ringan berupa
teguran lisan, surat peringatan, penurunan status atau kedudukan, sampai dengan
yang paling ekstrem yaitu pemberhentian atau pemecatan.
3.5.4. Perbandingan Sistem Birokrasi FIS dengan Konsep Ideal Weber
Dari uraian di atas, maka dapat dibandingkan melalui sebuah tabel di
bawah ini.
Tabel 3.1
Perbandingan konsep birokrasi Weber dengan sistem Birokrasi FIS UNJ
No
Indikator Tinjauan
Konsep Ideal
Weber
FIS UNJ
Keterangan
1 Memiliki lembaga hukum
yang resmi.
Ada Ada Sama
2 Memiliki ranah kompetensi
spesifik.
Ada Tidak Tidak sama
3 Terstruktur dalam sistem Ada Ada Sama
39
hirarkis.
4 Prosedur seleksi yang
formal.
Ada Tidak. Tidak sama
5 Pembekalan staff oleh
instansi terkait, terutama
dalam bentuk perlengkapan
dan peralatan.
Ada Ada Sama
6 Jenjang karier berdasarkan
prestasi kerja.
Ada Tidak. Tidak sama
Berdasarkan tabel di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa sistem
birokrasi di FIS belum Ideal. Segala sesuatu yang dikatakan ideal jika dari
keenam unsur diatas sudah terpenuhi dengan karakteristik “sama”. Pada saat
wawancara, yang menjadi susah untuk di hilangkan adalah nepotisme ini.
Narasumber berkata, “tidak dapat dipungkiri praktek nepotisme di dalam
organisasi kepegawaian UNJ masih ada”. Walaupun tidak secara terang-terangan
menyebutkan, narasumber mengakui bahwa beliau masih mendengar
pengangkatan pegawai baru masih di ikuti dengan kabar “dia kan sodaranya pak
anu. Susah mas jika masalah nepotisme dihilangkan, karena bisa jadi sudah
menjadi salah satu “budaya kotor” dalam birokrasi di UNJ, apalagi di Indonesia”,
timpalnya.
Suatu permasalahan yang ada di Fakultas Ilmu Sosial adalah sistem
birokrasinya tidak cukup standar. Ada beberapa prasyarat yang tidak tercukupi
oleh birokrasi FIS ini. Dari banyaknya kekurangan syarat untuk melengkapi
keidealan sistem birokrasi ini, maka akan membawa dampak buruk terhadap
komponen yang lain. Misalnya kepuasan mahasiswa terhadap pelayanan dari
birokratornya ini. Selain itu adanya keluhan–keluhan atas ruangan kelas yang
tidak memenuhi standar (tidak ada LCD, AC, dan kursi yang lengkap). Setiap hari
masih ditemukan mahasiswa yang menggotong-gotong kursi karena kurangnya
kursi di setiap kelas.
40
Sudah seharusnya FIS menjadi pionir dalam penerapan birokrasi ideal
karena seperti yang penulis ungkapkan pada awal tadi bahwa birokrasi sangat
penting dalam sebuah institusi. Untuk mewujudkan cita-cita birokrasi yang ideal
pada Indonesia, maka sudah seharusnya di mulai dari yang paling kecil yaitu pada
ranah kampus. Kampus merupakan gudang intelektual, gudang para ilmuwan dan
gudang para penggagas bangsa.
Ketika suatu birokrasi telah ideal, maka segala yang dicita-citakan oleh
bangsa akan terwujud. Kesejahteraan yang adil dan beradab bukan menjadi hal
yang utopis lagi untuk bangsa dan negara, tetapi kesejahteraan yang adil dan
beradab itu sudah menjadi kenyataan di bumi pertiwi ini.
41
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Birokrasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam sebuah
institusi, dimana birokrasi tersebut merupakan “jantung” dalam institusi
tersebut. Jika “jantung” intitusi tersebut sedang sakit, maka akan berdampak
buruk terhadap komponen yang lain. Untuk mencapai keidealan sebuat
intitusi, tidak hanya diperlukan birokrasi yang ideal saja, karena intitusi
tersebut berbebtuk sebuah sistem, dimana dari sistem itu memiliki komponen-
komponen yang setiap komponen memiliki fungsinya asing-masing. Birokrasi
merupakan salah satu dari komponennya ini.
Di Indonesia itu sendiri, birokrasi telah ada semenjak kerajaan Kutai,
jauh hari sebelum istilah birokrasi itu di perkenalkan. Orang yang
memperkenalkan istilah birokrasi adalah Max Weber yang mencakup dalam
teori tipe ideal (ideal typus). Weber menggunakan teori tipe ideal birokrasi ini
sebagai standar untuk keidealan sebuah birokrasi.
Banyak negara-negara maju yang telah menggunakan standarisasi teori
ideal birokrasi Weber. Misalnya Amerika Serikat, Jepang dan negara maju
lainnya. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah telah merancang supaya
birokrasi itu menjadi ideal, tetapi konsisten untuk menjalankannya belum juga
ada.
Fakultas Ilmu Sosial UNJ yang seharusnya merupakan salah satu
pionir dalam mengumandangkan keidealan suatu birokrasi. Tetapi, untuk di
Fakultas ini birokrasi yang diterapkan belum ideal. Masih banyak kekurangan-
kekurangan yang, sehingga menjadikan berbagai masalah pada fakultas
tersebut.
42
4.2.Saran
Berdasarkan penelitian ini, penulis ingin menyarankan kepada:
Birokrator FIS UNJ terutama Dekanat FIS, bahwa birokrasi yang ada
di FIS UNJ belum ideal berdasarkan konsep ideal Weber, namun
konsep tersebut sering di kaji dan di bahas dalam perkuliahan maupun
dalam diskusi-diskusi. Penulis sangat menyayangkan bahwa pimpinan
Dekanat FIS merupakan salah satu Dekanat yang mengerti banyak
tentang teori dan konsep ideal dari Weber ini, tetapi Dekanat juga tidak
menerapkan ilmu yang di punyai. Disamping background dari FIS ini
juga ada berbau perpolitikan, sudah sewajarnya mengidealkan sistem
birokrasi yang dikatakan sebagai “jantung” tadi.
Bagi pemerintah Indonesia, diharapkan ada undang-undang yang lebih
tegas dalam mengatur birokrasi dalam sebuah institusi. Selain itu,
pengawasan yang ketat dalam menjalankan PERPRES NO 81 Tahun
2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi. Peraturan tidak
hanya peraturan saja, tetapi peraturan harus tetap di jalankan serta
konsisten dalam menjalankannya.
Bagi mahasiswa FIS UNJ, mari kita dukung bersama-sama untuk
tercapainya birokrasi yang ideal dalam fakultas kita ini. Karena, betapa
malunya kita ketika ditanya oleh orang lain mengenai keidealan sistem
birokrasi pada fakultas kita. Selain itu, birokrasi yang ideal juga akan
berdampak baik terhadap kita semua. Semoga tidak ada lagi
mahasiswa FIS yang menggotong-gotong kursi, ruangan yang sempit
dan tidak ber-AC.
43
Daftar Pustaka
Agung, Anak Agung Gde Putra. 2004. Peralihan Sistem Birokrasi dari
Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Anonim. t.thn. Bisnis.com, Korupsi Pendidikan Rp. 19 Miliar dalam 10 Tahun.
Diakses September 20, 2013. http://www.bisnis.com/icw-korupsi-
pendidikan-rp619-miliar-dalam-10-tahun.
—. t.thn. Kompas.com, Data ICW Mengenai Kasus Korupsi tahun 2012. Diakses
Oktober 27, 2013. http://forum.kompas.com/nasional/304754-data-icw-
mengenai-kasus-korupsi-tahun-2012-a.html.
Davis, Gordon B. 1990. Manajement Information Sistem. Washington: Blackwell
Business.
Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Haryanto, Purwataningsih, Budi Oetojo, Hertati, Daisy Indra Yasmine, Husni
Arifin, dan Bambang Prasetyo. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Mufiz, Ali. 1986. Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara. Jakarta:
Karunika.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta, Jaman Pendudukan Jepang di
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Persada.
Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. 2012. Sociological Theory. 8th.
Dialihbahasakan oleh Inyiak Ridwan Muzir. New York: Kreasi Wacana
Ofset.
Santosa, Imam. 2011. Konsep Kunci Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Schneider, Eugene Van. 1986. Sosiologi Industri. 2nd. Dialihbahasakan oleh J. L.
Ginting. Jakarta: Aksara Persada.
Sinambela, Lijian Poltak, Sigit Rochadi, Rusman Ghazali, Akhmad Muksin, Didit
Setiabudi, Djohan Bima, dan Syaifudin. 2011. Reformasi Pelayanan
Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Soemardyono, dan Ashari S. 2010. Kajian Kritis Dalam Pembelajaran
Matematika di SD. Jakarta: Kemendiknas.
Suwarsono, dan Alvin Y. So. 2013. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:
Pustaka LP3ES.