bab i sampai bab iv

43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap organisasi tentu memiliki birokrasi dalam mengatur jalannya organisasi tersebut. Birokrasi ini diaplikasikan dalam sebuah organisasi secara langsung maupun tidak langsung sebagai orientasi dalam keberlangsungan organisasinya. Birokrasi bagaikan sebuah “jantung” dalam institusi, sebab birokrasilah yang “menghidupkan” institusi tersebut. Jantung yang sehat akan membuat pemilik jantung untuk sehat, tetapi sebaliknya jika jantung tidak sehat, maka akan mendatangkan berbagai “penyakit” kepada pemilik jantung tersebut. Begitu juga dengan birokrasi, birokrasi yang ideal akan memberikan dampak keidealan terhadap institusinya, dan sebaliknya, birokrasi yang tidak ideal akan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kehancuran dari institusinya tersebut. Berbicara masalah birokrasi yang ideal, banyak pakar politik klasik maupun modern yang mengkonsepkannya, tetapi hanya sedikit sekali dari pakar- pakar politik yang bisa menjawab berbagai permasalahan dalam birokrasi. Dalam Sinambela dkk. (2011:35) Abdullah mengatakan: Model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson, Gullick dan Urwick belum bisa menjawab kenyataan teorinya secara faktual jika dikaitkan dengan temuan penelitian sekarang ini. 1 Seorang politikus dan sosiolog asal Jerman, mengemukakan konsep ideal dari birokrasi. Ia mengemukakan tujuh ciri tipe ideal birokrasi 2 dan tiga otorita dari tipe ideal birokrasi Weber 3 yang akan kita bahas pada bab selanjutnya. Banyak sekali negara-negara yang mengadopsi konsep birokrasi idealnya Weber dan tidak terkecuali Indonesia. 1 Lijian Poltak Sinambela.dkk, Reformasi Pelayanan Publik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal.35 2 George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul: Kreasi Wacana ofset, 2012), hal.142 3 Lijian Poltak Sinambela.dkk, op. Cit. hal.55

Upload: adol-lhegoesya

Post on 22-Jun-2015

2.915 views

Category:

Education


12 download

DESCRIPTION

Birokrasi dalam paradigma weber oleh afdhal

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i sampai bab iv

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap organisasi tentu memiliki birokrasi dalam mengatur jalannya

organisasi tersebut. Birokrasi ini diaplikasikan dalam sebuah organisasi secara

langsung maupun tidak langsung sebagai orientasi dalam keberlangsungan

organisasinya. Birokrasi bagaikan sebuah “jantung” dalam institusi, sebab

birokrasilah yang “menghidupkan” institusi tersebut. Jantung yang sehat akan

membuat pemilik jantung untuk sehat, tetapi sebaliknya jika jantung tidak sehat,

maka akan mendatangkan berbagai “penyakit” kepada pemilik jantung tersebut.

Begitu juga dengan birokrasi, birokrasi yang ideal akan memberikan dampak

keidealan terhadap institusinya, dan sebaliknya, birokrasi yang tidak ideal akan

membawa dampak yang cukup signifikan terhadap kehancuran dari institusinya

tersebut.

Berbicara masalah birokrasi yang ideal, banyak pakar politik klasik

maupun modern yang mengkonsepkannya, tetapi hanya sedikit sekali dari pakar-

pakar politik yang bisa menjawab berbagai permasalahan dalam birokrasi. Dalam

Sinambela dkk. (2011:35) Abdullah mengatakan:

Model birokrasi klasik yang diperkenalkan oleh Taylor, Wilson,

Gullick dan Urwick belum bisa menjawab kenyataan teorinya secara

faktual jika dikaitkan dengan temuan penelitian sekarang ini.1

Seorang politikus dan sosiolog asal Jerman, mengemukakan konsep ideal

dari birokrasi. Ia mengemukakan tujuh ciri tipe ideal birokrasi2 dan tiga otorita

dari tipe ideal birokrasi Weber3 yang akan kita bahas pada bab selanjutnya.

Banyak sekali negara-negara yang mengadopsi konsep birokrasi idealnya Weber

dan tidak terkecuali Indonesia.

1 Lijian Poltak Sinambela.dkk, Reformasi Pelayanan Publik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal.35 2 George Ritzer and Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, (Bantul: Kreasi Wacana ofset, 2012),

hal.142 3 Lijian Poltak Sinambela.dkk, op. Cit. hal.55

Page 2: Bab i sampai bab iv

2

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengadopsi konsep birokrasi

idealnya Weber. Tetapi disayangkan bahwa konsep birokrasi ideal itu tidak

dipakai seutuhnya oleh Indonesia sehingga memunculkan permasalahan-

permasalahan yang mengakibatkan kerugian pada birokrasi tersebut yang

notabene birokrasi digunakan demi kepentingan khalayak ramai dan

menguntungkan pihak birokrator yang tidak bertanggung jawab.

Berkaitan dengan permasalahan yang ada pada birokrasi sekarang ini,

seperti korupsi yang telah merajalela. Korupsi telah menjamur di berbagai aspek

pemerintahan, pendidikan, ketenagakerjaan dan lain sebagainya. Pada ranah

pendidikan, sebagaimana dikutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang

menyatakan bahwa “selama 10 tahun terakhir, telah terjadi 296 kasus korupsi

pendidikan dengan tersangka sebanyak 479 orang hingga merugikan keuangan

negara Rp. 619 miliar”.4 Ini membuktikan bahwa birokrasi di Indonesia sangat

buruk, pendidikan yang seharusnya memutuskan mata rantai korupsi yang sudah

menjadi budaya, tetapi pendidikanlah yang secara tidak langsung melanggengkan

budaya korupsi.

Selanjutnya, ada beberapa permasalahan pada aspek birokrator dari suatu

birokrasi. Adanya hambatan dan ketidakmampuan dalam menjalankan fungsi

secara efektif. Permasalahan ini diakibatkan oleh spesialisasi kerja, kalau dalam

bahasanya Weber “hierarki kerja”. Permasalahan ini akan kita bahas secara

mendalam pada bab selanjutnya. Tidak sampai di sini saja permasalahan-

permasalahan dalam biroksasi. Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan

pada birokrasi, antara lain tekonisme5, coordination, linkange of autority dan

resistance.

4Bisnis.Com. “ICW: Korupsi Pendidikan Rp619 Miliar dalam 10 Tahun Terakhir”

(http://www.bisnis.com/icw-korupsi-pendidikan-rp619-miliar-dalam-10-tahun, diakses 20

september 2013) 5 Tekonisme merupakan kecenderungan sikap administrator yang menyatakan mendukung suatu

kebijaksanaan dari atasan secara terbuka, tetapi hanya sedikit sekali partisipasi dalam

pelaksanaannya.

Page 3: Bab i sampai bab iv

3

Sebagai contoh kasus yang akan diangkat yaitu pada Fakultas Ilmu Sosial

(FIS), Universitas Negeri Jakarta. Semua mahasiswa UNJ yang pernah masuk ke

dalam salah satu ruangan kelas di FIS terutama pada lantai bawah, pasti akan

merasa kepanasan dan mengeluh. Sebagai contoh, keluhan dari salah seorang

Mahasiswi FIK terhadap penulis, yang berkeluh kesah atas ketidaknyamanannya

kuliah dalam kelas tersebut. Sebab kelas tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas

Air Conditioner (AC), ruangan yang kotor dan berdebu serta tidak ada proyektor.

Ruangan kelas yang panas dan jauh dari kondisi standar, disebabkan oleh faktor

birokrasi fakultas tersebut. Ini merupakan dampak dari tidak profesionalnya

birokrator dari FIS ini terutama bagian Tata Usaha. Mengenai ini akan penulis

bahas secara mendalam pada bab selanjutnya.

1.2. Identifikasi Masalah

Dari permasalahan diatas, dapat diidentifikasikan masalahnya sebagai

berikut:

- Seberapa pentingkah birokrasi diperlukan oleh sebuah institusi?

- Bagaimana sejarah lahirnya model birokrasi di dunia?

- Bagaimana perkembangan model birokrasi di Indonesia dulu dan kini?

- Masalah apa sajakah yang terjadi pada penerapan model birokrasi di

Indonesia?

- Model birokrasi manakah yang ideal untuk diterapkan di Indonesia?

- Institusi manakah yang pernah sukses & gagal dalam menerapkan model

birokrasi idealnya Weber?

- Bagaimana gambaran penerapan model birokrasi ideal Weber di FIS UNJ?

- Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan adanya penyimpangan-

penyimpangan birokrasi di FIS UNJ?

- Bagaimana seharusnya model birokrasi ideal Weber diterapkan di FIS

UNJ?

- Manfaat apa yang akan diperoleh dengan penerapan model birokrasi

idealnya Weber?

Page 4: Bab i sampai bab iv

4

1.3. Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini dapat tepat sasaran dan efektif, maka permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada perbandingan konsep tipe

ideal birokrasi Weber dengan sistem birokrasi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial,

Universitas Negeri Jakarta.

1.4. Perumusan Masalah

Dengan pembatasan di atas, maka dirumuskan masalah yang akan dikaji

dalam adalah bagaimanakah birokrasi Indonesia dalam perbandingan konsep tipe

ideal birokrasi Weber dengan sistem birokrasi yang ada di Fakultas Ilmu Sosial,

Universitas Negeri Jakarta?

1.5. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

- Memberikan informasi tentang sistem birokrasi di Indonesia.

- Mengajak para pembaca untuk mendalami model birokrasi Weber yang

dianggap ideal.

- Memberikan rekomendasi kepada rekan-rekan mahasiswa yang memiliki

problematika yang sama dalam hal birokrasi di kampus.

- Mengkritisi sistem birokrasi di FIS UNJ yang seharusnya pionir dalam

penerapan birokrasi yang ideal.

- Memberikan masukan yang baik terhadap Fakultas Ilmu Sosial, UNJ.

- Memberikan pemahaman kepada pembaca tentang birokrasi yang ideal itu.

- Memberikan informasi kepada pembaca tentang contoh sederhana

birokrasi yang ideal dan yang tidak ideal.

Page 5: Bab i sampai bab iv

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Hakikat Telaah Kritis

Telaah kritis (critical appraisal) adalah suatu proses yang secara teliti dan

sistematis mengevaluasi penelitian untuk memutuskan tingkat kepercayaan, nilai,

serta relevansinya dalam suatu konteks tertentu. Dengan kata lain, telaah kritis

merupakan suatu proses mengevaluasi dan menginterpretasikan suatu evidence

secara sistematis dengan mempertimbangkan validitas, hasil, dan relevansinya.

Telaah kritis, dalam pengertiannya tidak jauh berbeda dengan berfikir kritis.

Krulik & Rudnick dalam Sumardyono dan Ashari S mendefinisikan berpikir kritis

“sebagai berpikir yang menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek

dari situasi masalah”.6 Termasuk di dalam berpikir kritis adalah

mengelompokkan, mengorganisasikan, mengingat, dan menganalisis informasi.

Sejalan dengan pandangan di atas, Norris dan Ennis dalam Alec Fisher dalam

Sumardyono dan Ashari S menyatakan, berpikir kritis adalah “berpikir yang

beralasan dan reflektif yang fokus untuk memutuskan apa yang dapat dipercaya

dan apa yang tidak dapat dipercaya”.7

Lebih lanjut Sumardyono dan Ashari S mendeskripsikan bahwa “berpikir

kritis memerlukan kemampuan membaca, memahami, dan mengidentifikasi

masalah serta kemampuan mengklasifikasi dan membandingkan, sehingga dapat

menggambarkan kesimpulan dengan lebih baik dari yang diberikan, serta dapat

menentukan ketidakonsistenan dan kontradiksi dari informasi tersebut”.8 Tidak

semua informasi yang diterima dapat dijadikan pengetahuan yang diyakini

kebenarannya untuk dijadikan panduan dalam tindakan. Demikian halnya dengan

informasi yang dihasilkan, tidak selalu informasi yang benar. Keputusan atau

kesimpulan yang dilakukan dengan berpikir kritis merupakan informasi terbaik

6 Sumardyono dan Ashari. S, Kajian Kritis Dalam Pembelajaran Matematika Di SD,

(Jakarta:Kemendiknas, 2010), hal 9 7 ibid 8 ibid, hal 10

Page 6: Bab i sampai bab iv

6

setelah melalui pengkajian dari berbagai sumber informasi, termasuk mengkaji

kesimpulan yang dihasilkan dengan memberikan bukti-bukti pendukung.

Berpikir kritis menurut Gega dalam Sumardyono dan Ashari S adalah

berpikir yang menggunakan bukti-bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan,

serta dapat menunjukkan pendapat yang terkadang kontradiktif, bahkan mau

mengubah pendapatnya jika ternyata ada bukti lebih kuat yang bertentangan

dengan pendapatnya.

Dapat disimpulkan bahwa telaah kritis merupakan kegiatan mengkaji secara

mendalam, komprehensif, logis dan argumentatif tentang suatu permasalahan,

yang diikuti dengan pengambilan keputusan dan diakhiri dengan pemecahan

masalah.

2.2. Hakikat Sistem

2.2.1. Definisi Sistem

Menurut bahasa, sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan

bahasa Yunani (sustēma) adalah sekumpulan unsur/elemen yang saling

berkaitan dan saling mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama

untuk mencapai suatu tujuan.

Menurut Zulkifli Amsyah yang diambil dari kamus Webster’s

Unabridged menyebutkan bahwa “Sistem adalah elemen-elemen yang

saling berhubungan membentuk satu kesatuan atau organisasi”. Sedangkan

menurut Jogiyanto dalam buku Sistem Sosial Budaya Indonesia,

mengatakan bahwa “Suatu sistem adalah suatu jaringan kerja dari prosedur-

prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk

melakukan suatu kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran yang

tertentu”.9

9 Haryanto dan Parwitaningsih, Sistem Sosial Budaya Indonesia,(Jakarta: Universitas Terbuka,

2010) hal 2.32

Page 7: Bab i sampai bab iv

7

Talcot Parson dalam torinya “Struktural Fungsionalisme” yang

melihat masyarakat sebagai suatu sistem.10 Ia mendefinisikan sistem sebagai

suatu komponen-komponen yang saling berhubungan, dimana dari setiap

komponen tersebut akan adanya keseimbangan dan tujuan akhirnya dari

keseimbangan tersebut adalah masyarakat madani (civil society).

Lain hal dengan pengertian yang disampaikan oleh Gordon B. Davis

dalam bukunya Management Information System, sistem adalah :

As principals, users often engage information system (IS)

professionals as agents to develop information systems on

their behalf. Due 10 a lack of understanding and knowledge

of each other's domain, goal conflict may arise between the

two parties. To reduce agency costs, one or 'both parties

must try to narrow goal differences. IS professionals can

invite users to participate more actively throughout the

development lifecycle. This gives the users more

opportunities to verify requirements and ensure that the final

system is aligned with user needs. Further, users may request

that the information system produce information-rich

documentation so that monitoring is made easier and more

readily available to users.11

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa

sistem adalah kumpulan dari beberapa unsur atau bagian dan beroperasi atau

bekerja sama untuk melakukan aktivitas dalam mencapai sasaran dalam arti

sempit dan tujuan dalam arti luas.

2.2.2. Karakteristik Sistem

Adapun karakteristik sistem antara lain :

1. Komponen sistem

Suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling

berinteraksi, yang artinya saling bekerjasama membentuk suatu

kesatuan. Komponen-komponen sistem dapat berupa suatu sistem atau

bagian-bagian dari sistem.

10 Suwarsono dan Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka LP3ES

Indonesia, 2013), hal 10-11 11 Gordon B. Davis, Management Information System,(Washington: Blackwell Business, 1990)

hal.3

Page 8: Bab i sampai bab iv

8

2. Batasan Sistem

Batasan sistem merupakan daerah yang membatasi antara suatu

sistem dengan sistem lainnya atau dengan lingkungan luarnya.

3. Lingkungan Luar Sistem

Lingkungan luar dari suatu sistem adalah apapun di luar batas dari

sistem yang mempengaruhi operasi sistem.

4. Penghubung Sistem

Penghubung merupakan media yang menghubungkan antara satu

subsistem dengan subsistem lainnya.

5. Masukan Sistem (input)

Masukan sistem merupakan energi yang dimasukkan ke dalam

sistem. Dalam birokrasi biasanya inputnya adalah birokrator.

6. Keluaran sistem (Output)

Keluaran sistem yaitu energi yang diolah dan diklasifikasikan

menjadi keluaran yang berguna. Dalam birokrasi biasanya yang

menjadi out put adalah kebijakan-kebijakan yang berupa fisik maupun

non fisik. Pengolahan Sistem

Pengolahan sistem adalah pengolah yang akan merubah masukan

menjadi keluaran. Pengolahan biasa lebih dikenal dengan cara kerja

dari suatu sistem.

7. Sasaran Sistem

Suatu sistem mempunyai tujuan atau sasaran, kalau sistem tidak

mempunyai sasaran maka sistem tidak ada. Sasaran merupakan hal

yang akan di capai oleh suatu sistem.

Page 9: Bab i sampai bab iv

9

2.3. Hakikat Birokrasi

Menurut Ahmad Muksin (2011:53) mengatakah bahwa “birokrasi

merupakan suatu lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan

organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan

rasional dalam sebuah organisasi”12. Pada hakikatnya birokrasi itu merupakan

sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintahan di era masyarakat yang

semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat

tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar

birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.

Sedangkan menurut Ali Mufiz, birokrasi mendasarkan diri pada “hubungan

antara kewenangan menempatkan dan mengangkat pegawai bawahan dengan

menentukan tugas dan kewajiban dimana perintah dilakukan secara tertulis, ada

peraturan mengenai hubungan kewenangan, dan promosi kepegawaian didasarkan

atas aturan-aturan tertentu”.13 Weber (dalam George Ritzer And Douglas J.

Goodman, 2012:140) juga mengungkapkan:

Dari sudut pandang teknis murni, birokrasi mampu mencapai

tingkat efisiensi tertinggi, dan dalam hal ini secara formal

dikenal sebagai sarana paling rasional untuk menjalankan

otoritas terhadap manusia. Birokrasi lebih tinggi dari bentuk

lain dalam soal presisi, stabilitas, dan keketatan disiplin, dan

keterpercayaannya. Birokrasi membuka kemungkinan bagi

tingginya tingkat kalkulabilitas hasil bagi kepala organisasi dan

bagi mereka yang bertindak dalam kaitan dengan ini. Akhirnya

birokrasi lebih tinggi dalam hal efisiensi intensif dan cakupan

operasinya dan secara formal dapat diterapkan segala macam

tugas administratif.14

Imam Santosa mengatatakan bahwa birokrasi (bureaucracy) adalah “bentuk

maju dari organisasi administratif berskala besar yang hadir dalam kapitalisme

lanjut, dan kadang-kadang diambil dari ciri khas dari kapitalisme tersebut”.15

12 Lijian Poltak Sinambela, loc.cit, hal.53 13 Ali Mufiz, Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara,(Jakarta:Karunika, 1986), hal.177 14 George Ritzer And Douglas J. Goodman, op.cit. hal.140 15 Imam Santosa, Konsep Kunci Sosiologi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.21

Page 10: Bab i sampai bab iv

10

Imam santosa ini merupakan salah seorang penganut aliran Weberian, dimana ia

setuju akan adanya pelanggengan kapitalisme oleh birokrasi.

Shivji dalam analisisnya tentang terbentuknya sebuah “borjuasi birokratis”

yang mempunyai kesadaran akan kepentingan-kepentingan kelas mereka, dan

yang menggunakan aparat negara sebagai sarana untuk memajukan kepentingan-

kepentingan kelas tersebut.16 Shivji merupakan saah seorang sosiolog modern

yang menganalisa negara dunia ketiga. Dalam pandangannya, negara dunia ketiga

dijadikan sarana untuk mentransformasikan orang-orang yang mempunyai latar

belakang “borjuis kecil” menjadi “borjuis birokratis”.

Birokrasi merupakan suatu struktur rasional yang memainkan peran yang

begitu luas dalam masyarakat modern. Namun mungkin akan ada yang bertanya

tentang adakah alternatif lain selain struktur birokrasi. Tidak akan ada alternatif

lain, kebutuhan akan administrasi massa sama sekali tidak dapat dihilangkan.

Pilihannya hanyalah antara birokrasi dan diletanisme. Diletanisme merupakan

pengetahuan yang dangkal tentang administrasi.

Birokrasi sangatlah penting bagi suatu organisasi, karena birokrasi

merupakan suatu unsur yang paling rasional dalam pembentukan masyarakat

madani. Jika Parson menganalogikan suatu organisasi itu semacam struktur tubuh,

dimana terdapat sistem-sistem, yang di dalam sistem itu terdapat komponen-

komponen yang saling berhubungan. Parson memandang suatu sistem yang

apabila sistem tersebut telah terjadi equilibrium, maka hasil akhirnya akan

terbentuklah masyarakat madani (civil society). Jika menganalogikan birokrasi

dengan teori struktural fungsional tadi, maka birokrasi bagaikan ruhnya suatu

organisasi. Birokrasilah yang membuat komponen-komponen menjadi seimbang.

2.4. Hakikat Paradigma

Istilah paradigma pada awalnya berkembang dalam filsafat ilmu

pengetahuan. Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut

16 Vedi R. Hadiz, Politik Pembebasan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1999), hal. 66

Page 11: Bab i sampai bab iv

11

dalam dunia ilmu pengetahuan adalah Thomas Khun, dalam bukunya The

Structure Of Scientific Revolution. Ia memandang paradigma sebagai:

“A set of interrelated assumptions about the social world which

provides a philosophical and conceptual framework for the

organized study of that world. A paradigm represents a

disciplinary matrix which encompasses the commonly shared

generalizations, assumptions, values, belief, and examples of

what contributes the discipline’s interest”.17

Sedangkan menurut bahasa, Paradigma dalam bahasa Inggris disebut

paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal dari

bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis, para berarti di samping, di

sebelah. Deigma berarti memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal.

Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja dimaknai berarti menunjukkan atau

mempertunjukkan sesuatu. Berdasarkan uraian tersebut, secara epistemologis

paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh. Paradigma juga

bisa berarti, sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh.

Friedrichs, mencoba merumuskan pengertian paradigma. Ia berpendapat

bahwa “paradigma merupakan sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin

ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya

dipelajari”.18 Lebih lanjut Ritzer mengungkapkan bahwa “paradigma membantu

merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan - persoalan yang harus

dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti

dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang

dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut”.19

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu

pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan

terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik

pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya

dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata yang lebih

17 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Rajawali Persada,

2010), hal 3 18 Ibid, hal 6 19 Ibid, hal 7

Page 12: Bab i sampai bab iv

12

sederhana dapat diartikan bahwa paradigma adalah pola pikir, cara pandang para

ilmuan mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan,

dipelajari, dan dipahami tentang ilmu tersebut.

Paradigma menggolong-golongkan, mendefinisikan, dan menghubungkan

eksemplar, teori-teori, metode-metode, serta instrumen-instrumen yang terdapat di

dalamnya. Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari,

persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab,

serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi

yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam

satu paradigma tertentu, terdapat kesamaan pandangan tentang apa yang menjadi

pokok persoalan dari cabang ilmu itu serta kesamaan metode serta instrumen yang

digunakan sebagai peralatan analisa.

Page 13: Bab i sampai bab iv

13

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Pentingnya Birokrasi

Dalam suatu organisasi, birokrasi ini merupakan “ruh” nya organisasi.

Organisasi akan hidup jika ada birokrasi. Birokrasi hanya bisa hidup dan

berkembang dalam sebuah organisasi. Organisasi dan birokrasi saling

membutuhkan. Organisasi yang ideal akan membutuhkan bentuk birokrasi yang

ideal. Suatu ideal merupakan dambaan semua orang.

Di ibaratkan sebuah kereta api, birokrasi ini merupakan “mesin” dari

kereta tersebut. Jika mesinnya dalam keadaan baik dan onderdilnya berstandar

SNI, maka kereta tersebut akan bisa mengangkut barang dan penumpang. Tetapi

tidak cukup untuk “mesin”nya saja yang baik. “Masinis” dari kereta api tersebut

harus memiliki SIM untuk mengemudi kereta api. Jika mesin dari kereta api

tersebut sudah baik dan onderdilnya bagus, tetapi masinisnya tidak memiliki

kualifikasi untuk mengemudi kereta dengan baik, maka kereta tersebut tidak akan

berjalan dengan semestinya. Mesin sudah baik dan aman, Masinis sudah memiliki

SIM untuk mengemudi kereta api dan memiliki kualifikasinya, tetapi “rel” dalam

kondisi rusak. Ini juga sangat penting. Rel haruslah dalam keadaan baik. Jika

relnya rusak, maka kecelakaan tidak akan bisa dihindari oleh kereta api lagi.

Dari sepenggal analogi di atas, “mesin” kereta api itu bagaikan

birokrasinya dari organisasi atau institusi. “Masinis” di ibaratkan sebagai

birokrator dari birokrasi itu. Birokrator merupakan orang-orang yang bekerja dan

mengendalikan organisasi itu secara langsung. Tingkah laku para birokrator ini

sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dari institusi tersebut. “Rel” dari

birokrasi ini seperti onstitusi dari sebuah institusi. Konstitusi ini merupakan garis

aturan untuk para birokrator.

Untuk urgensi birokrasi ini, kita dapat melihatnya dari tiga pandangan.

Dari pandangan aliran strukturalis, aliran strukural-konflik, dan aliran strukturasi.

Aliran strukturalis berpandangan bahwa kekuasaan (birokrasi) adalah sebagai

fasilitas atau sumber sosial yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan bersama.

Fungsi sosial dari kekuasaan adalah untuk memelihara ketertiban dan

Page 14: Bab i sampai bab iv

14

keseimbangan dalam masyarakat. Kekuasaanm sebagai atribut utama dalam

sistem sosial berwujud kepemimpinan yang bertanggung jawab, tetapi juga

berbentuk keputusan-keputusan yang mengikat bagi semua golongan masyarakat.

Jadi kekuasaan adalah sarana bagi tercapainya tujuan-tujuan masyarakat secara

keseluruhan. Atas dasar itulah, menurut pandangan strukturalis, konsentrasi

kekuasaan adalah syah selama masyarakat memang menghendakinya.

Berbeda halnya dengan pandangan aliran struktural-konflik. Kelompok

yang satu ini justru melihat tindakan birokrasi sebagai suatu fakta sosial yang

banyak diwarnai oleh dominasi politik, eksploitasi sosial, dan perkembangan

ekonomi. Dominasi politik ditandai dengan suasana paksaan (coercion) yang

menimbulkan intimidasi, propaganda dan indoktrinasi. Dominasi sosial ditandai

dengan supremasi golongan/ ras/ budaya yang menyebabkan suasana hegemoni.20

Sedangkan dominasi ekonomi ditandai oleh eksploitasi akibat ketimpangan

distribusi alat produksi antara kepentingan kelas borjuasi dengan proletar.

Implikasi pandangan aliran strukturalis konflik ini terhadap fenomena birokrasi

profesional menunjukkan bahwa perubahan paradigma yang dilakukan oleh

birokrasi justru akan menimbulkan konflik baru (new conflict) dalam tatanan

kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan.

Adapun menurut aliran strukturasi, mencoba mencari hubungan antara

struktur dan aktor. Kelompok strukturasionis ini tidak memandang struktur dan

aktor atau agen sebagai dua hal yang dikotomis sehingga menghasilkan dualisme

struktur; sebaliknya dua hal tersebut saling berhubungan secara dialektis dan

kontinium sehingga menghasilkan dualitas struktur. Aktor atau agen menurut

pandangan aliran ini adalah partisipan yang aktif dalam mengkonstruksi

kehidupan sosial, setidak-tidaknya menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Setiap

tindakan manusia selalu mempunyai tujuan. Ini berarti bahwa aktor secara rutin

dan diam-diam memonitor apa yang sedang ia lakukan, sebagaimana reaksi orang

terhadap tindakannya dan lingkungan dimana ia melakukan aktivitas tersebut.

20 Antonio Gramsci, seorang yang bersikap kritis terhadap teori Marxis yang telah merumuskan

konsep hegemoni. Hegemoni ia definisikan sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan oleh

penguasa. Ia mempertentangkan hegemoni dengan koersi yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif

atau eksekutif, atau diekspresikan melalui campur tangan polisi. Secara sederhana, hegemoni ini

merupakan pisau analisis untuk menganalisis kelanggengan kapitalisme. Lihat George Ritzer And

Douglas J. Goodman, op.cit. hal 299-300

Page 15: Bab i sampai bab iv

15

Sedangkan struktur, selain dapat membatasi aktivitas manusia (constraining)

tetapi juga memberikan kebebasan bertindak (enabling) kepada manusia. Dualitas

struktur melihat kekuasaan (birokrasi) sebagai simuka janus (the janus face of

power) yang berfungsi sebagai alat analisis kehidupan sosial yang penting,

terutama mengenai hubungan antara tindakan manusia dan struktur.

3.2. Sejarah dan Perkembangan Birokrasi di Indonesia

Berbicara masalah sejarah birokrasi, istilah birokrasi ini berasal dari

seorang tokoh politik Eropa yang bernama Max Weber. Dia merumuskan istilah

birokrasi ketika revolusi industri di Eropa sekitar abad 19. Rumusan birokrasi

Weber ini merupakan masuk ke dalam salah satu telaahnya tentang teori tipe ideal

(ideal typus).

Sejarah terus berkembang selama masyarakat itu masih ada. Begitu juga

dengan birokrasi, birokrasi tidak akan terlepas dari faktor kesejarahan. Apa yang

terjadi pada birokrasi Indonesia di masa sekarang, tidak lain hanyalah pengaruh

dari faktor sejarah. Birokrasi telah berjalan dan berbimbingan tangan dengan

alunan nyanyian sejarah. Maka boleh kita katakan “Aku ada karena sejarah,

sejarah terukir karena Aku ada, Aku dan sejarah saling mengadakan”.

Dengan menggunakan telaah secara seksama fakta sejarah akan

memperoleh perhatian yang lebih tepat mengenai fakta yang ada sekarang.

Sejarahpun akan membantu perspektif masa depan, tentang apa saja yang

dilakukan oleh masyarakat terutama oleh administrasi publik. Dengan sejarah,

kita dapat melacak jejak birokrasi yang dilakukan oleh administrasi publik, mulai

dari zaman kerajaan sekitar Abad V yang masyarakatnya sangat tradisional sekali,

sampai masa orde baru yang dikenal dengan rezim otoriter dan dilanjutkan oleh

orde reformasi yang penuh dramaturgi.21

21 Teori dramaturgi di cetuskan oleh Erving Goffman. Ia menerbitkan serangkaian buku dan essay

analisisnya mengenai teori dramaturgi sebagai varian dari teori interaksionisme simbolis.

Goffman melihat kesamaan teater dengan tindakan manusia pada umumnya, yaitu tindakan yang

penuh dengan drama dan kepalsuan. Lihat Ibid., hal 234-235

Page 16: Bab i sampai bab iv

16

3.2.1. Birokrasi Pra-Kolonial

Jendela tinjauan sejarah birokrasi dengan melihat sejarah-sejarah kerajaan

yang pernah berdiri dan berjaya di Indonesia. Di masa Pra-Kolonial ini, ada tiga

periode birokrasi. Periode birokrasi tradisional, periode lanjutan dan periode akhir

para-kolonial. Untuk lebih jelas lagi, mari kita jabarkan satu-persatu.

3.2.1.1. Birokrasi Awal

Dimulai dengan kerajaan hindu pertama di Indonesia pada abad ke

IV M yaitu kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, dimana kerajaan tersebut

yang awalnya berbentuk kesukuan dan sistem birokrasinya belum jelas,

tetapi semenjak masuknya paham-paham Hinduisme yang membuat suku

tersebut menjadi jenjang tingkatan atau kelas-kelas sosial. Pada masa itu,

Kudungga sebagai kepala suku langsung mengangkat dirinya sebagai Raja,

dan menamakan kerajaannya itu dengan Kerajaan Kutai. Di masa ini,

terbentuklah birokrasi yang sangat sederhana.

3.2.1.2. Birokrasi Periode Lanjutan

Pada abad V masehi, juga berkembang kerajaan Tarumanegara di

Jawa Barat. Bisa dilihat dengan peninggalan-peninggalan dari kerajaan ini.

Prasasti-prasasti merupakan salah satu bentuk peninggalan kerajaan ini. Di

prasasti Ciareteun misalnya, ada cap kaki raja Purnawarman yang

melambangkan bahwa kekuasaan raja Purnawarman.

Kemudian pada abad ke VII masehi, juga berkembang kerajaan

Sriwijaya yang merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada

kekuatan armadanya di lautan serta memegang peranan besar dalam

percaturan politik di Asia Tenggara. Di Jawa Tengah muncul pula

kerajaan-kerajaan seperti Kalingga, kerajaan Sanjaya, dan Kerajaan

Syailendra. Budaya yang berkembang pada masa ini adalah

berkembangnya Hindu dan Budha, refleksi budaya dari kerajaan ini

misalnya candi Borobudur, candi Prambanan dan lain sebagainya.

Page 17: Bab i sampai bab iv

17

Raja

Bangsawan

Pendeta dan Militer

Petani dan Buruh tani

Begitu juga di Jawa Timur, juga berkembang kerajaan-kerajaan

seperti Darmawangsa, kerajaan Airlangga, kerajaan Kediri, kerajaan

Singosari, kerajaan Majapahit dan kerajaan Mataram. Pada kerajaan

kerajaan ini di kenal istilah “Priyayi atau Abdi dalem, Yuwaraja,

Pratiyuwaraja, Rajakumara, Phrabu dan lain sebagainya”. Para mereka

inilah yang mengurus biokrat dari institusi kerajaaan.

Pada masa feodal dalam kehidupan masyarakat, jika ditinjau dari

stratifikasinya, terdapat pola lapisan masyarakat yang hierarkis yang

kemudian akan berbentuk piramida, dimana yang duduk di puncak

tertinggi yaitu raja yang jumlahnya sangat sedikit. Kemudian lapisan yang

kedua adalah kaum bangsawan yang jumlahnya lebih banyak dari raja dan

mendapat perintah dari raja, lapisan yang ketiga adalah tentara dan pendeta

yang jumlahnya lebih banyak dari bangsawan serta mendapatkan

kebijakan dari bangsawan dan raja. Dan lapisan yang keempat adalah

masyarakat biasa yang terdiri dari petani dan buruh tani. Dalam sosiologi,

pola lapisan masyarakat seperti ini disebut sebagai pola lapisan tertutup

(closed social stratification). Dimana kemungkinan untuk pindahnya

lapisan paling bawah ke lapisan yang lain, baik gerak ke atas maupun

gerak ke bawah sangatlah susah. Jika digambarkan, akan terlihat seperti

piramida gambar di bawah ini.

Gambar : 3.1

Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Feodal

Pada sistem masyarakat yang tertutup ini, untuk menjadi anggota

suatu lapisan tertentu dalam masyarakat adalah faktor kelahiran, seperti

keanggotaan lapisan bangsawan diperoleh oleh seorang anak yang lahir

dari rahim ibu yang berdarah bangsawan. Pola kekuasaan dan wewenang

Page 18: Bab i sampai bab iv

18

dijelmakan pada diri seseorang yaitu berada pada lapisan bawahnya. Misal

raja memberikan pengaruhnya kepada lapisan kaum bangsawan, tentara,

pendeta dan lapisan paling bawah yaitu kaum petani dan buruh tani.

Untuk pemegang kekuasaan yang tertinggi dalam birokrasi

kerajaan adalah dipegang oleh seorang raja. Secara formal raja berhak

untuk melaksanakan kekuasaan memrintah dan memberikan suatu

kebijakan. Disini, keputusan raja mutlak, dan tidak boleh seorangpun yang

menentang keputusan dan kebijakan seorang raja.

Dalam hal ini, raja membagi-bagi kekuasaannya ke yang lebih

rendah derajatnya. Kekuasaan yang lebih rendah derajatnya dari raja

biasanya dijalankan oleh golongan kecil masyarakat, dan mereka

menamakan dirinya sebagai The Rulling Class. Diantara orang-orang The

Rulling Class juga terdapat pemimpinnya, meskipun mereka tidak

mendapat kekuasaan yang tinggi secara hukum. Dalam masyarakat feodal,

The Rulling Class ini merupakan seorang Mahapatih dari golongan

bangsawan seperti masa kerajaan Majapahit.

Golongan yang berkuasa tidak mungkin bertahan terus tanpa

didukung oleh masyarakat, karena golongan tersebut berusaha untuk

membenarkan kekuasaanya terhadap masyarakat dengan maksud agar

kekuasaannya dapat diterima masyarakat sebagai kekuasaan yang legal

dan baik untuk masyarakat yang bersangkutan. Oleh sebab itu, masyarakat

yang berkuasa berusaha menanamkan kekuasaannya delan jalan

menghubungkannya dengan kepercayaan dan perasaan yang kuat di dalam

masyarakat yang bersangkutan, yang pada akhirnya akan terwujud dalam

suatu nilai dan norma.

Lain hal dengan kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram dapat

menjadi salah satu model negara tradisional yang memiliki corak birokrasi

patrimonial/tradisional. Kerajaan mataram memiliki daerah teritorial yang

hampir mencakup semua wilayah pulau jawa. Dinasti, baik Syailendra

maupun Sanjaya, menempatkan raja tidak hanya sebagai pewaris tahta

Page 19: Bab i sampai bab iv

19

keluarga istana

kawula roban

para dadya

golongan brahma dan para pendeta

golongan islam

kerajaan, tetapi sekaligus menempatkan raja sebagai kepala rumah tangga

perekonomian kerajaan yang bersifat paternalistik. Sebagai seorang

pemegang kekuasaaan kepala negara, raja Mataram menempatkan diri

sebagai seorang Gusti (yang disembah) untuk membedakan diri dari

rakyatnya sebagai Kawula (yang penyembah). Sebagai seorang pemegang

kekuasaan, raja memiliki otoritas untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan,

jabatan, kemakmuran dan prestise kepada anggota keluarga kerajaan.

Secara umum, pada masa kerajaan, raja sebagai kepala negara

sekaligus kepala pemerintahan selalu didampingi oleh ahli-ahli

pemerintahan dan pengurusan praja yang memperoleh keahliannya melalui

pendidikan dan pengalaman menurut sistem yang berlaku pada masa itu

yang pada umumnya bersifat individual dan personal.

Suatu keunikan dengan stratifikasi dan birokrasi pada kerajaan

Karangasem. Pada kerajaan Karangasem (Bali), merupakan bagian dari

kerajaan Mataram Lombok, dan pada tahun itu raja Lombok I Gusti

Ngurah Ketut Karangasem menugaskan dua orang kemenakannya yaitu

Gusti Gede Putu dan Gusti Gde Oka memerintah di kerajaan Karangasem.

Secara umum, struktur masyarakat pada masa kerajaan Karangasem ini

bisa di lihat dalam gambar di bawah ini:

Gambar : 3.2

Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Kerajaan Karangasem Bali22

(Sumber: Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke

Kolonial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal 111)

22 Anak Agung Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi Dari Tradisional ke Kolonial,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 111

Rakyat biasa

Page 20: Bab i sampai bab iv

20

3.2.1.3. Birokrasi Periode Akhir Pra-Kolonial

Setelah datangnya Alfonso De Albuquerquere yang berkebangsaan

Portugis datang ke Semenanjung Malaka pada abad 16 dengan tujuan

awalnya adalah berdagang dan mencari rempah. Pada saat ini, harga rempah

setara dengan harga emas. Singkat cerita, pada akhirnya rempah-rempah

mulai di monopoli oleh orang Portugis dan akhirnya mulailah dramatisasi

penjajahan. Yang pada awalnya wilayah ini merupakan daerah kekuasaan

kerajaan Goa.

Salah satu yang menjadi ciri khas birokrasi pada masa Pra-Kolonial

adalah stratifikasi masyarakat yang sangat tertutup. Selain itu, kekentalan

pengaruh dari agama Hindu sangat kuat pada masa ini. Misalnya pada

kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit dan kerajaan Hindu sezaman ini

lainnya.

3.2.2. Birokrasi Pada Masa Kolonial

3.2.2.1. Birokrasi Periode Awal Kolonial

Sejarah kolonialisme di Indonesia bermula dari kedatangan bangsa

Eropa di perairan nusantara, mereka itu yang dikenal dengan bangsa

Portugis yang diikuti oleh orang Spanyol, yang tujuan awalnya adalah

mencari pusat tanaman rempah, yang harganya mahal di Eropa. Selanjutnya,

dramatisasi kolonial di Indonesia semakin memanas semenjak datangnya

orang-orang Belanda yang mengendarai VOC sebagai perusahaan dagang

ke wilayah nusantara. Di sesi berikutnya, kolonial Belanda mulai

memainkan peranan dalam percaturan perdagangan dan politik sehingga

terjadi penguasaan kerkepanjangan terhadap wilayah dan kehidupan ibu

pertiwi ini. Didalam kehidupan masyarakat Indonesia, kolonial Belanda

melakukan politik dengan mengadakan lapisan-lapisan pada masyarakat

serta diskriminasi dalam semua bidang kehidupan, dimana dalam lapisan

masyarakat atas adalah golongan eropa, lapisan kedua adalah timur asing,

dan lapisan atas adalah bumi putera. Jika digambarkan, akan terlihat seperti

piramida di bawah ini:

Page 21: Bab i sampai bab iv

21

Bangsa Eropa

Timur Asing

Bumi Putera

Gambar : 3.3

Stratifikasi Masyarakat Pada Masa Kolonial

Kapitalisme dagang yang sangat berpengaruh dalam abad XVI dan

XVII mengakibatkan situasi yang sangat menyedihkan yang disebabkan

oleh perkembangan ekonomi harus diderita oleh rakyat biasa yang terdiri

dari atas kaum buruh dan petani.

Pada zaman koloni Belanda dikenal dengan “ambtenaar”, ada

namanya culturstelsel atau tanam paksa, masa desentralisasi kekuasaan

dan masa pemerintahan pusat. Secara politik kekuasaannya berpusat pada

seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan

Hindia yang bertindak sebagai kabinetnya yang membawahi berbagai

departemen. Kemudian, para gubernur di daerah-daerah yang dikuasai

Belanda dengan berbagai pejabat administrasi dan kedinasan. Pejabat-

pejabat birokrasi yang terpenting di daerah para Residen, Asisten Residen,

Controleur, dan Aspirant Controleur. Inilah elit birokrasi kolonial yang

dinamakan Binnenlands Bestuur (BB). Birokrasi seperti ini yang

digunakan pemerintah kolonial sebagai cambuk untuk melanggengkan

kekuasaan (hegemoni) dan menjadikan golongan pribumi sebagai pion

atau budak dalam rangka meguasai nusantara serta menjarah seluruh harta

kekayaan dan sumber daya alamnya.

3.2.2.2. Birokrasi Periode Akhir Kolonial

Kedudukan Jepang di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian politik

imperialisme di Asia Tenggara. Kedatangannya di Indonesia ingin sebuah

imperium di Asia. “Munculnya imperialisme Jepang tidak lepas dari adanya

restorasi Meiji yang berdampak sebagai modernisasi di segala bidang

Page 22: Bab i sampai bab iv

22

kehidupan”.23 Selain itu juga, Imperialisme Jepang juga didukung filsafat

Hakko Ichi-u. Filsafat ini dilatarbelakangi oleh pernyataan Jenderal Hideki

Tojo, yang menyatakan bahwa kebijaksanaan nasional dasar dari pada

Jepang adalah “pembentukan perdamaian dunia sesuai dengan cita-cita yang

mulai Hakko Ichi-u (delapan benang dibawah satu atap), yang menjadi

landasan Kemaharajaan. Intisari dari filsafat ini adalah pembentukan suatu

lingkungan yang didominasi oleh Jepang yang meliputi bagian-bagian besar

di dunia. Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya yang

meliputi kawasan Asia Tenggara dengan Jepang, Cina, dan Mancukuo

(Manchuria) sebagai tulang punggungnya.

Struktur pemerintahan pada masa kolonial Jepang yaitu dengan

membentuk dokumen-dokumen. Ada dua dokumen yang menjadi asas

penyelenggaraan pemerintahan militer Jepang di Indonesia dalam kurun

waktu 1942-1945. Dokumen pertama adalah “Asas-Asas Mengenai

Pemerintahan di Wilayah-Wilayah Selatan yang Diduduki” (Nampo

Senryochi Gyosei Jisshi Yoryo) yang disahkan dalam Konferensi

Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor Kabinet pada

tanggal 20 November 1941. Dokumen kedua adalah “Persetujuan Pokok

antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut Mengenai Pemerintahan Militer

di Wilayah-Wilayah yang Diduduki” (Nampo Senryochi Gyosei Jisshi ni

Kansuru riku-kaigun Chuo Kyotei). Dokumen ini disahkan dalam

Konferensi Penghubung antara Markas Besar Kemaharajaan dan Kantor

Kabinet pada tanggal 26 November 1941.

3.2.3. Birokrasi Pada Masa Post Kolonial sampai dengan Sekarang

Negara Indonesia tergolong negara yang berkembang, masyarakatnya

sedang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat

modern. Bagi Indonesia yang telah lama di jajah, kondisi ini sangat

mempengaruhi mentalitas bangsa dan dari sistem birokrasinya. Hal yang sagat

dominan tercermin dalam struktur birokrasinya yaitu ketika kenaikan pangkat,

penerimaan pegawai, sampai pada kewajiban yang harus dilaksanakan. Pada

23 Nugroho Notosusanto, Tentara Peta, Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, (Jakarta:PT

Gramedia,1979) hal 17

Page 23: Bab i sampai bab iv

23

kewajiban ini yang diutamakannya hanya loyalitas, bukan bagaimana kepentingan

rakyat menjadi utama sehingga the righ man are in the righ place tidak pernah

tercapai.

Perang Dunia II telah usai, dan salah satu dampak positif terhadap Indonesia

adalah kemerdekaan. Indonesia yang merdeka, menghasilkan sebuah

pemerintahan yang baru, dimana sistem birokrasi pada masa kolonial sudah

benar-benar diubah. Kebebasan-kebebasan bukan hal yang utopis lagi. Dilihat dari

segi masa pemerintahan Indonesia dari merdeka sampai sekarang, bentuk

birokrasinya dibagi dalam beberapa masa, yaitu masa orde lama, masa orde baru

dan masa reformasi.

3.2.3.1. Masa Orde Lama

Berakhirnya masa pemerintahan kolonial membawa perubahan

sosial politik yang sangat berarti bagi kelangsungan sistem birokrasi

pemerintahan. Perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi diantara pendiri

bangsa di awal masa kemerdekaan tentang bentuk Negara yang akan

didirikan, termasuk dalam pengaturan birokrasinya, telah menjurus ke arah

disintegrasi bangsa dan keutuhan aparatur pemerintahan. Perubahan bentuk

Negara dari kesatuan menjadi federal berdasarkan konstitusi RIS

melahirkan dilematis dalam cara pengaturan aparatur pemerintah. Setidak-

tidaknya terdapat dua persoalan dilematis menyangkut birokrasi pada saat

itu. Pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai Republik Indonesia

yang telah berjasa mempertahankan NKRI, tetapi relatif kurang memiliki

keahlian dan pengalaman kerja yang memadai. Kedua, bagaimana

menempatkan pegawai yang telah bekerja pada Pemerintah Belanda yang

memiliki keahlian,tetapi dianggap berkhianat atau tidak loyal terhadap

NKRI.

Demikian pula penerapan sistem pemerintahan parlementer dan

sistem politik yang mengiringinya pada tahun 1950-1959 telah membawa

konsekuensi pada seringnya terjadi pergantian kabinet hanya dalam tempo

beberapa bulan. Seringnya terjadi pergantian kabinet menyebabkan

birokrasi sangat terfragmentasi secara politik. Di dalam birokrasi terjadi

Page 24: Bab i sampai bab iv

24

tarik-menarik antar berbagai kepentingan partai politik yang kuat pada masa

itu. Banyak kebijakan atau program birokrasi pemerintah yang lebih kental

nuansa kepentingan politik dari partai yang sedang berkuasa atau

berpengaruh dalam suatu departemen.

Program-program departemen yang tidak sesuai dengan garis

kebijakan partai yang berkuasa dengan mudah dihapuskan oleh menteri baru

yang menduduki suatu departemen. Birokrasi pada masa itu benar- benar

mengalami politisasi sebagai instrumen politik yang berkuasa atau

berpengaruh. Dampak dari sistem pemerintahan parlementer telah

memunculkan persaingan dan sistem kerja yang tidak sehat di dalam

birokrasi. Birokrasi menjadi tidak profesional dalam menjalankan tugas-

tugasnya, birokrasi tidak pernah dapat melaksanakan kebijakan atau

program-programnya karena sering terjadi pergantian pejabat dari partai

politik yang memenangkan pemilu. Setiap pejabat atau menteri baru selalu

menerapkan kebijakan yang berbeda dari pendahulunya yang berasal dari

partai politik yang berbeda. Pengangkatan dan penempatan pegawai tidak

berdasarkan merit system, tetapi lebih pada pertimbangan loyalitas politik

terhadap partainya.

3.2.3.2. Masa Orde Baru

Birokrasi di Indonesia, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat

Daerah, sepanjang Orde Baru kerap mendapat sorotan dan kritik yang tajam

karena perilakunya yang tidak sesuai dengan tugas yang diembannya

sebagai pelayan masyarakat. Sehingga apabila orang berbicara tentang

birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit,

menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan

substansi, dan tidak efisien.

Berbicara tentang model birokrasi pada masa orde baru, model

bureaucratic polity terjadi pada masa ini. Dimana model birokrasi seperti ini

adalah terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran

masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Bahkan birokrasi

kapitalisme tumbuh subur pada masa ini. Proses birokrasi di Orde baru

Page 25: Bab i sampai bab iv

25

berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala

Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil

dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang

birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan

kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi,

politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.

Dengan demikian birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi

lebih efisien, tetapi justru sebaliknya inefisiensi, berbelit-belit dan banyak

aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia ditandai pula dengan

tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan

menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin

mengendalikan dan mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi

dan sosial.

Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ

saja, tetapi melalui pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam

kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah

a. Jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan,

b. Para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi,

c. Para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi,

d. Setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.

Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan

dan warisan dari sistem nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-

kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi,

selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi tradisional juga

mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya

abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri

dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri

adalah abdi negara mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip

dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi lebih menekankan pada

mengabdi ke atas dari pada ke bawah sebagai pelayanan kepada masyarakat.

Page 26: Bab i sampai bab iv

26

3.2.3.3. Masa Reformasi

Dengan berakhirnya krisis 1998 dan masa Orde Baru, pemerintahan

masa reformasi dimulai dengan keinginan untuk membuat kondisi birokrasi

yang baik (good govermence) seperti membuat undang-undang dan

lembaga-lembaga yang mengatur para birokrat melaksanakan tugas dan

fungsinya secara tepat.

Kemudian dalam masa ini dikenal 2 macam birokrasi yaitu birokrasi

patrimonial dan birokrasi kapitalisme. Birokrasi patrimonial sendiri dapat

diartikan sebagai perekrutan orang ke dalam birokrasi didasarkan pada

kedekatan hubungan personal yang mengabaikan kualitas individu, namun

lebih memprioritaskan loyalitas kepada atasan. Untuk yang kedua untuk

kapitalisme, disini para birokrat secara aktif terlibat dalam aktivitas bisnis

yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Faktor kultural dan struktural seperti di atas berperan besar dalam

mendorong terjadinya KKN di kalangan birokrasi. Kecenderungan birokrasi

untuk bermain politik pada masa reformasi, tampaknya belum sepenuhnya

dapat dihilangkan dari kultur birokrasi di Indonesia. Perkembangan

birokrasi kontemporer memperlihatkan bahwa arogansi birokrasi sering kali

masih terjadi. Masih kuatnya kultur birokrasi yang menempatkan pejabat

birokrasi sebagai penguasa dan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai

pihak yang dikuasai, bukannya sebagai pengguna jasa yang seharusnya

dilayani dengan baik, telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi

bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat.

Dalam kondisi pelayanan yang sarat dengan nuansa kultur

kekuasaan, publik menjadi pihak yang paling dirugikan. Kultur kekuasaan

dalam birokrasi yang dominan membawa dampak pada terabaikannya

fungsi dan kultur pelayanan birokrasi sebagai abdi masyarakat. Pada tataran

tersebut sebenarnya berbagai praktik penyelewengan yang dilakukan oleh

birokrasi terjadi tanpa dapat dicegah secara efektif. Penyelewengan yang

dilakukan birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa menjadikan

Page 27: Bab i sampai bab iv

27

masyarakat sebagai objek pelayanan yang dapat dieksploitasi untuk

kepentingan pribadi pejabat ataupun aparat birokrasi.

3.3. Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia

Diatas, sudah dibahas sejarah birokrasi yang sedikit mewakili gambaran

umum dari birokrasi Indonesia untuk saat sekarang ini. Terutama gambaran

tentang birokrasi pada masa reformasi. Setelah era reformasi tercapai, juga salah

satu yang paling sering dikumandangkan adalah perlunya reformasi birokrasi. Isu

utama yang ditekankan dalam reformasi birokrasi bukan saja pelayanan dan

inefisiensi, tetapi juga transparansi. Seiring dengan bergulirnya demokratisasi,

birokrasi pemerintah dituntut untuk tampil sebagai organisasi pelayanan publik

yang transparan. Good governance menjadi sebuah imperatif dalam proses negara

demokrasi, dan disini birokrasi harus transparans, akuntabel, dan membuka

partisipasi publik.

Memandang sedikitnya tentang birokrasi pada masa reformasi ini, ada

beberapa karakteristik sistem birokrasi pada masa reformasi. Ditinjau dari sudut

pandang perpolitikan, birokrasi ini lebih terbuka dan demokratis, banyak aspirasi-

aspirasi yang muncul dari masyarakat. Dari sudut transparansi, birokrasi pada

masa reformasi ini lebih transparansi di banding pada masa Orde Baru, dan juga

adanya lembaga yang secara khusus untuk mengawasi badan transparansi. Tetapi

ada beberapa hal yang masih di luar batas ideal, terutama dalam kinerja birokrator

terlebih lagi dalam pelayanan. Administrasi yang masih berbelit-belit, proses

administrasi yang masih lamban, masih terdapat pungutan-pungutan liar dari

aparatur yang merupakan salah satu keburukan dari kinerja aparatur birokrasi ini.

Sedangkan dalam undang-undang telah diatur tentang pelayanan ini.

Berdasarkan UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat

1 Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan

administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Page 28: Bab i sampai bab iv

28

Dari UU diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang berkewajiban

menyediakan pelayanan publik adalah penyelenggara pelayanan publik dalam hal

ini adalah aparatur pemerintah atau birokrasi.

Selain itu, berdasarkan data dari ICW, selama tahun 2012 telah terdapat 52

kader partai politik yang terjerat kasus korupsi. Dari jumlah itu, kader partai

terbanyak yang terlilit kasus korupsi berasal dari Partai Golkar dengan jumlah 14

orang. Peringkat selanjutnya adalah Partai Demokrat sebanyak 10 kader, PDIP

dan PAN masing-masing 8 kader, PKB 4 kader, PKS 2 kader, Gerindra 3 kader,

PPP 2 kader dan tidak teridentifikasi satu orang.24

3.4. Penyimpangan-penyimpangan pada Birokrasi

Pada gambaran umum diatas, telah di tunjukkan bahwa begitu banyaknya

penyimpangan-penyimpangan pada birokrasi, termasuk salah satunya KKN.

Bentuk-bentuk penyimpangan birokrasi di Indonesia sebagai berikut :

Penyalahgunaan kewenangan dari aparatur negara.

Mutu pelayaan kepada masyarakat masih buruk. Adanya pungutan liar

yang membuat kenyamanan masyarakat menjadi terganggu.

Mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan belum tercapai ideal.

Selama ini, efisiensi dalam semua pelaksaan tugas birokrator belum

memadai. Banyaknya anggaran-anggaran yang “gemuk”, sehingga

terbukanya peluang yang besar untuk korupsi.

Birokrasi belum antisipatif, proaktif, dan efektif dalam menghadapi

globalisasi dan dinamika perubahan lingkungan strategis.

Dari beberapa penyimpangan birokrasi di atas, ada beberapa hal yang

menjadi penyebab penyimpangan ini, antara lain:

1. Lemahnya Sistem Peraturan

Menurut hemat penulis, jika peraturan di tingkat atas (pemerintah

pusat) mengikat dan tidak memberi celah sedikitpun untuk melakukan

penyimpangan, jelaslah bawahannya akan mengikuti segala keputusan

24 Anonim, “Data ICW Mengenai Kasus Korupsi tahun 2012,

(http://forum.kompas.com/nasional/304754-data-icw-mengenai-kasus-korupsi-tahun-2012-a.html),

diakses tanggal 27 Oktober 2013

Page 29: Bab i sampai bab iv

29

dari perintahan pusat. Segala tindak tanduk dari bawahan pasti dengan

persetujuan dari atasan. Suka atau tidak, mau tidak mau bawahan akan

mengikuti keputusan dari atasan. Para bawahan akan mengikuti semua

peraturan dengan kesepakatan.

Selanjutnya, jika saja ingin menjadikan peraturan atau perundang-

undangan tersebut sebagai sebuah bingkai secara global dalam negara

ini, sesuai koridor tersepakati bersama, maka sebelum peraturan di

tingkat lebih tinggi tersebut akan diberlakukan perlu adanya

koordinasi intensif antara pihak atas ke bawah guna memaksimalkan

serta mematangkannya terlebih dahulu (merasionalisasikan), sehingga

benar-benar merata dan jangan ada semacam mekanisme kontekstual

dan pengecualian, karena konsep peraturan yang bernuansa

kontekstual dan pengecualian ini yang betul-betul menjadi celah

terbesar dalam mengahadirkan bentuk peluang baru terjadinya

penyimpangan, dengan modus operandi baru pula.

2. Sistem Birokrasi yang sangat Berbelit-Belit

Hal ini sebenarnya cukup mengundang munculnya banyak

penyimpangan yang tidak diharapkan, semakin panjang semakin besar

kecolongan dan kebablasannya. Hal ini atas dasar bahwa ketika

birokrasi yang berbelit-belit ada kecenderungan, hal ini pula dijadikan

dasar bagi para perangkat dibirokrat, untuk selalu menjadi dalih untuk

berspekulasi menciptakan kondisi menyamankan penyimpangan,

seperti “sudahlah gampang nanti mudah diatur segalanya, gak ada

yang sulit kok, segalanya bisa diatur” sekalipun sulit prosedur yang

harus dilewati tidaklah demikian, akhirnya yang bersangkutan

mulailah dengan aksi cari dana dalam bentuk isi tangannya. Lantas

saja jika keseringan diisi tangannya, yang namanya manusia sering

tidak puas, ingin yang lebih besar dan banyak, masuklah yang

bersangkutan pada konteks yang lebih besar dan banyak isi tangan,

sampai-sampai lupa akan apa yang sekiranya jadi hak dan kewajiban.

Page 30: Bab i sampai bab iv

30

Mulailah berlaku serakah, dan tidak sadar apa yang jadi tanggung

jawab selanjutnya kepada sesama dan kepada Sang Ilahi mungkinnya,

sehingga setidaknya sistem dalam perbirokrasian di tanah air ini,

siasat seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak lagi muncul

dampak langsung maupun tidak langsung yang dapat berakibat fatal

terkait semakin membeludaknya KKN dalam berbagai modus

operandi.

3. Aparat yang Kurang Berkompetensi dalam Pekerjaannya

Kurang berpotensinya seseorang menduduki suatu jabatan, jelaslah

ada banyak kelemahan didirinya dalam mengerjakan, menata,

mengatur, menyiasati dan mencapai jelas petani ini tidak akan bisa

karena ia tidak pernah belajar untuk menangkap ikan. Jadi, ini akan

menjadikan pekerjaan yang sia-sia saja.

Saat ini pula jika dirasa perlu adanya reinventarisasi kompleksitas

permasalah atur, menyiasati dan mencapai tujuan yang menjadi

sasaran pelaksanaan tugasnya. Sebuah analogi yang akan penulis

sajikan. Bagaikan seorang petani di suruh untuk menangkap ikan di

laut. Sungguh an terkait berbelitnya urusan birokrat baik di tingkat

atas maupun di tingkat bawah. Yang menjadi permasalahan baru pada

saat sekarang ini adalah masalah pangkat golongan dan usia kerja

yang bisa menjadi kendala utama.

4. Oknum yang Tidak Konsisten terhadap Hukum

Tidak bisa dipungkiri lagi tentang lemahnya penegakan hukum di

Indonesia, dan tebang pilih juga masih menjadi tren pada sekarang ini.

Selain itu, tentang revisi dan amandemen terhadap UUD dan UU

merupakan salah satu bentuk rendahnya komitmen terhadap peraturan

sekarang ini. Hal ini diikuti juga dengan peraturan-peraturan yang

sebenarnya jika dicermati baik, maka ada juga peraturan dan

perundangan-undangan yang sebenarnya cukup relevan

pemberlakuannya. Sesuka hati diarifinya, langsung direvisi dan revisi.

Page 31: Bab i sampai bab iv

31

Ada beberapa sebab lain ketidaksesuaian birokrasi ini menurut

Ritzer25 adalah:

Tindakan birokrat yang didasarkan kepada informasi yang keliru.

Kesalahan strategi, terutama yang dilakukan oleh para pemimpin

birokrasi.

Kesalahan logika yang menopang tindakan pemimpin dan pengikut.

Keputusan birokratis yang didasarkan kepada perasaan.

Segala irasionalitas dalam tindakan pemimpin dan pengikut birokrasi.

3.5. Perbandingan Sistem Birokrasi FIS dengan Konsep Tipe Ideal Weber

Max Weber, merupakan sosok yang paling terkenal dan paling

berpengaruh dalam teori sosiologi. Karya Weber begitu bervariasi dan dapat

ditafsirkan secara beragam sehingga banyak mempengaruhi teori sosiologi.

Sebelum terjun ke kancah sosiologi, Weber merupakan seorang mahasiswa

lulusan fakultas hukum. Tetapi karena minat dia lebih banyak ke sejarah, maka ia

membicarakan hubungan sejarah dengan sosiologi.

Max Weber juga banyak mengeluarkan karya tulis yang bertajuk politik,

sosiologi dan lain sebagainya. Beberapa karya tulisannya, yaitu:

1. The History of Trading Companies during the Middle Ages (1889)

2. Economy and Society (1920)

3. Gesammelte Aufsätze zur Religionssoziologie (Collected essay on

Sociology of Relegion) Vo. 1 -3 (1921)

4. Collected essay on Sociology and Social Problems (1924)

5. From Max Weber: Essay in Sociology

6. The Theory of Social and Economic Organization

3.5.1. Konsep Tipe Ideal Weber

Tipe ideal ini merupakan salah satu sumbangan terpenting Weber.

Tipe ideal dibentuk oleh aksentuasi oleh satu sisi dari satu atau lebih sudut

pandang dan oleh begitu sintesis oleh banyak fenomena individual yang

kabur, khas, yang kadang kala kentara dan kadang–kadang tidak. Tipe ideal

25 George Ritzer And Douglas J. Goodman, Loc. Cit, hal 130

Page 32: Bab i sampai bab iv

32

ini merupakan hasil dari pemikiran weber yang jika di tinjau dari setting

waktu, dimana Weber hidup pada masa debat intelektual (Methodenstreid)

yang berlangsung di Jerman. Pada debat ini, ada dua kubu yaitu kubu

positivis dan kubu subjektif yang saling berdebat intelektual. Dari

perdebatan intelektual ini, Weber kemudian membuat sintesis menjadi

konsep tipe ideal (ideal typus).

Tipe ideal ini merupakan sebuah pisau analisis dalam memahami

aspek tertentu dalam dunia sosial. Tipe ideal ini djadikkan sebagai tolok

ukur atau standar pembanding. Fungsinya dari tipe ideal ini adalah sebagai

pembanding dengan realitas empiris untuk menentukan ketidak sesuaian

atau kemiripan, untuk menggambarkannya dengan konsep yang paling dapat

dipahami sebcara tepat dan untuk menjelaskan secara kausal.

Hekman dalam Ritzer (2013), mengakui bahwa Weber menawarkan

beberapa macam tipe ideal, antara lain:26

Tipe ideal historis, ini terkait dengan fenomena yang ditemukan

pada epos sejarah tertentu, misalnya pasar kapitalis modern.

Tipe ideal sosiologis umum, ini terkait dengan fenomena yang

bersinggungan pada beberapa periode historis dan masyarakat,

misalnya birokrasi.

Tipe ideal tindakan, ini merupakan tipe tindakan murni yang

didasarkan pada tindakan motivasi pelaku, misalnya tindakan

afektual.

Tipe ideal struktural, ini merupakan bentuk sebab dan akibat

tindakan sosial, misalnya dominasi tradisional.

Berkaitan dengan konsep tipe ideal birokrasi, Weber selalu

mengawali analisisnya tentang hakikat dan sifat dasar tindakan. Ia

mendefinisikan dominasi sebagai probabilitas suatu perintah tertentu akan

dipatuhi oleh sekelompok orang. Dominasi ini dimiliki oleh beragam

basis, sah maupun tidak, namun yang menarik perhatian Weber adalah

26 Ibid, hal 131

Page 33: Bab i sampai bab iv

33

bentuk dominasi yang sah. Bentuk dominasi yang sah ini yang di sebut

sebagai otoritas.

3.5.1.1. Otoritas Legal Rasional

Otoritas legal ini sebenarnya seperti bentuk struktural, tetapi yang

paling cocok untuk dijadikan standar adalah sistem birokrasi. Dimana weber

memandang birokrasi sebagai tipe yang paling murni dari dijalankannya tipe

otoritas legal. Tipe ideal birokrasi adalah perluasan yang dilakukan secara

sengaja terhadap karakteristik rasional birokrasi.

Ciri utama tipe ideal birokrasi menurut weber adalah sebagai

berikut:27

Terdiri dari rangkaian organisasi fungsi-fungsi resmi (badan)

yang terikat oleh aturan.

Setiap badan harus memiliki ranah kompetenti yang spesifik.

Badan tersebut membawa serta serangkaian kewajiban untuk

melakukan berbagai fungsi, otoritas untuk menjalankan fungsi-

fungsi tersebut, dan cara-cara pemaksaan yang diperlukan bagi

dilakukannya pekerjaan tersebut.

Badan-badan tersebut terorganisasi dalam sistem hierarkis.

Badan-badan tersebut mungkin membawa serta kualifikasi

teknis yang mengharuskan partisipasinya memperoleh pelatihan

yang tepat.

Staf yang mengisi badan-badan tersebut tidak memiliki sarana

produksi yang terkait dengannya.

Pegawai tidak diizinkan mengubah posisi, ia tetap menjadi

bagian dari organisasi.

Tindakan, keputusan, dan aturan administratif dirumuskan dan

dicatat secara tertulis.

27 Ibid, hal 142

Page 34: Bab i sampai bab iv

34

3.5.1.2. Otoritas Tradisional

Otoritas tradisional meletakkan dasar-dasar legitimasi pada pola

pengawasan, sebagaimana diberlakukan di masa lampau dan yang kini

masih berlaku. Legitimasi sangat dikaitkan dengan kewajiban penduduk

untuk menuangkan loyalitas pribadinya kepada siapa yang menjadi

kepalanya. Para pemegang otorita merasa takut untuk merenggangkan cara

pengerjaan tradisional, karena perubahan berikutnya akan menggerogoti

sumber-sumber legitimasinya.

3.5.1.3. Otoritas Kharismatik

Otoritas ini timbul karena penghambaan seseorang kepada individu

yang memiliki hal-hal yang tidak biasa. Individu yang dipatuhi tersebut

misalnya mempunyai sikap heroik, ciri dan sikap pribadi lainnya yang

sangat menonjol. Kedudukan seorang pemimpin kharismatiktidaklah

diancam oleh kriteria tradisional, seorang pemimpin kharismatik tidak

dibelenggu oleh aturan tradisional. Pemimpin yang seperti ini dan segala

komandonya akan selalu dipatuhi oleh para pengikutnya. Para pengikut

akan mematuhinya, karena penghambaan diri, bukan karena hukum yang

memaksa mereka untuk patuh. Tipe otoritas tradisional dan kharismatik

terdapat dalam hampir semua aktivitas organisasi sebelum adanya revolusi

industri.

3.5.2. Penerapan Konsep Birokrasi Weber

Seperti yang telah di bahas di atas, konsep ideal birokrasi Weber

merupakan pisau analisis untuk menelaah tentang birokrasi pada suatu institusi.

Konsep ideal ini digunakan sebagai standardisasi untuk menentukan ideal atau

tidak suatu institusi. Disini, tidak tertutup kemungkinan bahwa birokrasi pada

suatu institusi akan melebihi atau kurang dari standar.

Berbicara tentang Negara yang telah memenuhi standar konsep ideal

Weber. Sudah banyak Negara maju yang telah memenuhi syarat ideal sistem

birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Misalnya Amerika. Amerika

mempunyai delapan standar model birokrasi yang tidak lain adalah

Page 35: Bab i sampai bab iv

35

pengembangan dari model birokrasi Weber. Model standardisasi birokrasi Weber

yang telah dikembangkan Amerika antara lain:28

1. Sistem wewenang yang berdasarkan kekuasaan dan ditata pada jalur-

jalur hierarkis.

2. Departementalisasi fungsi-fungsi, bagian yang paling penting adalah

departemen-departemen yang berurusan langsung dengan produksi dan

departemen-departemen yang berorientasi kepada penyediaan

pengetahuan dan keterampilan khusus.

3. Struktur peran yang ditandai oleh perbedaan yang jelas antara

golongan pejabat dan golongan buruh, dalam beberapa perbedaan yang

sama dalam sifat peran itu. Kepada segi-segi peran itu, kita harus

menambahkan ciri-ciri lain yang pada umumnya ada pada organisasi

industri.

4. Dalam organisasi industri seperangkat menjadi bawahan seperangkat

jabatan lainnya, kecuali pada tingkat paling atas atau paling bawah.

Departemen-departemen juga sering ditempatkan pada poros atasan

sampai bawahan, wewenang merupakan wewenang bertingkat.

5. Setiap peran, posisi wewenang dan departemen diatur oleh seperangkat

peraturan yang menentukan kewajiban-kewajiban, hak-hak, posisi

dalam industri, sangsi yang dapat digunakan, imbalan, kriteria untuk

memasuki atau meninggalkan peran.

6. Setiap posisi dalam organisasi, khususnya dalam staf dan dalam

manajemen, menuntut pengetahuan yang spesialis, yang diperoleh

entah dari dalam atau dari luar perusahaan.

7. Setiap posisi yang diduduki oleh mereka yang memiliki wewenang

yang pantas. Seleksi idealnya berdasarkan kualifikasi teknis,

pendidikan khusus dan kapasitas-kapasitas pribadi. Norma-norma yang

bersifat universal ini juga idealnya berlaku untuk kenaikan pangkat

atau penurunan pangkat.

8. Mereka menduduki berbagai posisi dalam organisasi tidak mempunyai

hak milik langsung atas posisi mereka atau atas barang-barang yang

28 Eugene V. Schneider, Sosiologi Industri, (Jakarta: Aksara Persada, 1986), hal. 116-17

Page 36: Bab i sampai bab iv

36

menyertai jabatan itu. Pengkajian berbentuk upah atau gaji adalah

penggajian ini di bayarkan oleh organisasi dalam jangka-jangka waktu

yang ditentukan.

Delapan ciri sistem birokrasi Amerika diatas telah memenuhi syarat ideal

dari konsep ideal birokrasi Weber. Dapat dilihat realita sekarang bahwa Amerika

telah menjadi Negara yang kuat.

Amerika Serikat merupakan salah satu contoh Negara yang sukses dalam

menerapkan konsep ideal sistem birokrasi Weber. Tidak hanya dalam institusi

public, tetapi dalam industri-industri juga diterapkan oleh Amerika Serikat. Masih

banyak Negara lain yang memakai konsep ideal Weber seperti Jepang, Inggris,

Belanda dan umumnya negara-negara yang maju.

3.5.3. Sistem Birokrasi FIS UNJ

Penulis meneliti tentang sistem birokrasi yang ada di FIS UNJ. Ini bermula

dari banyaknya keluhan-keluhan dari mahasiswa, baik mahasiswa FIS maupun

mahasiswa fakultas lain yang pernah ujian MKU di FIS ini. Keluhan-keluhan

mereka ini terutama terhadap fasilitas-fasilitas belajar yang mengganggu

kenyamanan dalam belajar. Ruangan yang sempit, kotor, tidak ber AC,

merupakan sebagian kecil dari keluhan para mahasiswa. Selain itu, fakta yang

terjadi saat mahasiswa yang saling berebutan kursi karena kursi yang mereka

duduki tidak cukup untuk mereka satu kelas.

Maka dari itu, penulis mulai meneliti bagian tata usaha, yang merupakan

“roda” dari suatu sistem birokrasi FIS ini. Jika ada yang bertanya kenapa penulis

tidak meneliti Dekannya langsung, penulis ingin menjawab karena TU (Tata

Usaha) ini merupakan bagian dari “sistem”, dimana suatu sistem itu memiliki

komponen-komponen, yang setiap komponen ini berhubungan dengan komponen

lainnya. Jika salah satu dari komponen ini disfungsi, maka akan berdampak

kepada komponen lainnya.

Sebuah wawancara yang dilakukan di TU FIS, pada hari Senin 21 oktober

2013 pada pukul 11.09. Penulis salah seorang kepala TU yang berisinial nama

DAN. Di tinjau dari segi akademik kepala TU ini, ia merupakan salah seorang

lulusan ilmu hukum, baik untuk S1 maupun S2 nya. Beliau menjabat sebagai

Page 37: Bab i sampai bab iv

37

kepala TU ini semenjak 1 oktober 2012. Menurut beliau, “sistem pembagian kerja

di TU FIS UNJ sudah berdasarkan fungsi dan spesialisasinya masing-masing,

dimana menurutnya karyawan lulusan SMK ditempatkan dibagian perlengkapan,

sedangkan karyawan lulusan akuntansi ditempatkan di bagian keuangan”.

Ada sesuatu yang janggal dari perkataan narasumber ini. Bapak DAN

selaku narasumber mengatakan bahwa pembagian kerja sudah terhadap

spesialisasinya masing-masing. Tetapi, untuk spesialisasi kerjanya sendiri belum

ideal. Dia yang berlatar pendidikan sebagai master hukum, dan belum memiliki

kompetensi untuk mengambil alih semua hak dan kewajiban dari Tata Usaha.

Walaupun dia sudah pernah mengikuti DIKLAT untuk masalah pekerjaan ini,

tetapi dia mengatakan antitesis dari ucapan dia yang pertama tadi. Dia

mengatakah bahwa dia bekerja itu hanyalah waktu yang bisa menjawab keahlian

dia dalam bekerja. Dia mengungkapkan “learning by doing” atau belajar sambil

bekerja.

Di TU FIS UNJ juga terdapat hierarki wewenang yang jelas. Dimana

setiap posisi yang mereka duduki memiliki fungsi dan perannya masing-masing

dalam keberlangsungan kegiatan di dalam TU FIS UNJ tersebut. Sebagai

buktinya, di dalam struktur kepegawaian di TU FIS UNJ terdapat 4 (empat) Sub

bagian (Subag). Diantaranya ada Ka. Subag Akademik (mengurusi tentang KRS,

surat keterangan, dlsb); Ka. Subag Kemahasiswaan (yang mengurusi tentang

beasiswa, BEM Jurusan atau BEM Fakultas, dan lain sebagainya); Ka. Subag

Perlengkapan (yang mengurusi sarana dan prasarana); serta Ka. Subag

Kepegawaian dan Keuangan (yang mengurusi seputar keuangan dan

kepegawaian). Semua yang ada pada struktur ini sudah ideal.

Selanjutnya berkaca pada ciri-ciri tipe birokrasi ideal yang ada, di TU FIS

UNJ juga mengadakan suatu prosedur seleksi yang formal kepada calon

pegawainya. Walaupun sejak tahun 2000 sudah tidak lagi menerima pegawai tetap

melainkan tenaga honorer, namun menjadi tenaga honorer pun harus mengikuti

seleksi dan persyaratan yang dibutuhkan dalam penerimaan karyawannya. Diakui

beliau, sebelum resmi menjabat sebagai Kabag TU FIS UNJ saat ini, beliau juga

merasakan dan telah melewati serangkaian prosedur seleksi formal yang di

tetapkan. Baik mengikuti fit and proper test untuk mengetahui di posisi mana

Page 38: Bab i sampai bab iv

38

yang tepat untuk di duduki, beliau juga menjalani proses Diklat (Pendidikan dan

Latihan) yang di adakan oleh departemen. Beliau juga menambahkan, di era yang

modern saat ini, penerimaan karyawan saat ini bersifat online. Yang artinya

seluruh orang di Indonesia dapat mengikutinya, namun juga tidak melupakan

aspek-aspek pendukungnya. Menurutnya, menjadi dosen saat ini juga harus

memenuhi salah satu syarat seleksi yaitu pada tahun 2014 harus sudah

menyelesaikan studi S2-nya. Jika tidak, maka akan diberikan dua pilihan kepada

dosen yang bersangkutan. Apakah memilih untuk pensiun dini atau diturunkan

menjadi staf administrasi.

Keberlangsungan jenjang karier para pegawai di TU FIS UNJ, juga

ditentukan berdasarkan prestasi kerja yang mereka miliki. Dimana keberhasilan

prestasi kerja mereka diapresiasikan yang paling tinggi dengan kenaikan jabatan,

atau sekedar berlibur setiap akhir tahun. Namun tidak hanya prestasi kerja yang

mempengaruhi jenjang karier mereka, kegagalan dan kesalahan yang mereka buat

pun memiliki “hadiahnya” tersendiri. Mulai dari yang paling ringan berupa

teguran lisan, surat peringatan, penurunan status atau kedudukan, sampai dengan

yang paling ekstrem yaitu pemberhentian atau pemecatan.

3.5.4. Perbandingan Sistem Birokrasi FIS dengan Konsep Ideal Weber

Dari uraian di atas, maka dapat dibandingkan melalui sebuah tabel di

bawah ini.

Tabel 3.1

Perbandingan konsep birokrasi Weber dengan sistem Birokrasi FIS UNJ

No

Indikator Tinjauan

Konsep Ideal

Weber

FIS UNJ

Keterangan

1 Memiliki lembaga hukum

yang resmi.

Ada Ada Sama

2 Memiliki ranah kompetensi

spesifik.

Ada Tidak Tidak sama

3 Terstruktur dalam sistem Ada Ada Sama

Page 39: Bab i sampai bab iv

39

hirarkis.

4 Prosedur seleksi yang

formal.

Ada Tidak. Tidak sama

5 Pembekalan staff oleh

instansi terkait, terutama

dalam bentuk perlengkapan

dan peralatan.

Ada Ada Sama

6 Jenjang karier berdasarkan

prestasi kerja.

Ada Tidak. Tidak sama

Berdasarkan tabel di atas, dapat ditarik benang merahnya bahwa sistem

birokrasi di FIS belum Ideal. Segala sesuatu yang dikatakan ideal jika dari

keenam unsur diatas sudah terpenuhi dengan karakteristik “sama”. Pada saat

wawancara, yang menjadi susah untuk di hilangkan adalah nepotisme ini.

Narasumber berkata, “tidak dapat dipungkiri praktek nepotisme di dalam

organisasi kepegawaian UNJ masih ada”. Walaupun tidak secara terang-terangan

menyebutkan, narasumber mengakui bahwa beliau masih mendengar

pengangkatan pegawai baru masih di ikuti dengan kabar “dia kan sodaranya pak

anu. Susah mas jika masalah nepotisme dihilangkan, karena bisa jadi sudah

menjadi salah satu “budaya kotor” dalam birokrasi di UNJ, apalagi di Indonesia”,

timpalnya.

Suatu permasalahan yang ada di Fakultas Ilmu Sosial adalah sistem

birokrasinya tidak cukup standar. Ada beberapa prasyarat yang tidak tercukupi

oleh birokrasi FIS ini. Dari banyaknya kekurangan syarat untuk melengkapi

keidealan sistem birokrasi ini, maka akan membawa dampak buruk terhadap

komponen yang lain. Misalnya kepuasan mahasiswa terhadap pelayanan dari

birokratornya ini. Selain itu adanya keluhan–keluhan atas ruangan kelas yang

tidak memenuhi standar (tidak ada LCD, AC, dan kursi yang lengkap). Setiap hari

masih ditemukan mahasiswa yang menggotong-gotong kursi karena kurangnya

kursi di setiap kelas.

Page 40: Bab i sampai bab iv

40

Sudah seharusnya FIS menjadi pionir dalam penerapan birokrasi ideal

karena seperti yang penulis ungkapkan pada awal tadi bahwa birokrasi sangat

penting dalam sebuah institusi. Untuk mewujudkan cita-cita birokrasi yang ideal

pada Indonesia, maka sudah seharusnya di mulai dari yang paling kecil yaitu pada

ranah kampus. Kampus merupakan gudang intelektual, gudang para ilmuwan dan

gudang para penggagas bangsa.

Ketika suatu birokrasi telah ideal, maka segala yang dicita-citakan oleh

bangsa akan terwujud. Kesejahteraan yang adil dan beradab bukan menjadi hal

yang utopis lagi untuk bangsa dan negara, tetapi kesejahteraan yang adil dan

beradab itu sudah menjadi kenyataan di bumi pertiwi ini.

Page 41: Bab i sampai bab iv

41

BAB IV

PENUTUP

4.1.Kesimpulan

Birokrasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam sebuah

institusi, dimana birokrasi tersebut merupakan “jantung” dalam institusi

tersebut. Jika “jantung” intitusi tersebut sedang sakit, maka akan berdampak

buruk terhadap komponen yang lain. Untuk mencapai keidealan sebuat

intitusi, tidak hanya diperlukan birokrasi yang ideal saja, karena intitusi

tersebut berbebtuk sebuah sistem, dimana dari sistem itu memiliki komponen-

komponen yang setiap komponen memiliki fungsinya asing-masing. Birokrasi

merupakan salah satu dari komponennya ini.

Di Indonesia itu sendiri, birokrasi telah ada semenjak kerajaan Kutai,

jauh hari sebelum istilah birokrasi itu di perkenalkan. Orang yang

memperkenalkan istilah birokrasi adalah Max Weber yang mencakup dalam

teori tipe ideal (ideal typus). Weber menggunakan teori tipe ideal birokrasi ini

sebagai standar untuk keidealan sebuah birokrasi.

Banyak negara-negara maju yang telah menggunakan standarisasi teori

ideal birokrasi Weber. Misalnya Amerika Serikat, Jepang dan negara maju

lainnya. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah telah merancang supaya

birokrasi itu menjadi ideal, tetapi konsisten untuk menjalankannya belum juga

ada.

Fakultas Ilmu Sosial UNJ yang seharusnya merupakan salah satu

pionir dalam mengumandangkan keidealan suatu birokrasi. Tetapi, untuk di

Fakultas ini birokrasi yang diterapkan belum ideal. Masih banyak kekurangan-

kekurangan yang, sehingga menjadikan berbagai masalah pada fakultas

tersebut.

Page 42: Bab i sampai bab iv

42

4.2.Saran

Berdasarkan penelitian ini, penulis ingin menyarankan kepada:

Birokrator FIS UNJ terutama Dekanat FIS, bahwa birokrasi yang ada

di FIS UNJ belum ideal berdasarkan konsep ideal Weber, namun

konsep tersebut sering di kaji dan di bahas dalam perkuliahan maupun

dalam diskusi-diskusi. Penulis sangat menyayangkan bahwa pimpinan

Dekanat FIS merupakan salah satu Dekanat yang mengerti banyak

tentang teori dan konsep ideal dari Weber ini, tetapi Dekanat juga tidak

menerapkan ilmu yang di punyai. Disamping background dari FIS ini

juga ada berbau perpolitikan, sudah sewajarnya mengidealkan sistem

birokrasi yang dikatakan sebagai “jantung” tadi.

Bagi pemerintah Indonesia, diharapkan ada undang-undang yang lebih

tegas dalam mengatur birokrasi dalam sebuah institusi. Selain itu,

pengawasan yang ketat dalam menjalankan PERPRES NO 81 Tahun

2010 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi. Peraturan tidak

hanya peraturan saja, tetapi peraturan harus tetap di jalankan serta

konsisten dalam menjalankannya.

Bagi mahasiswa FIS UNJ, mari kita dukung bersama-sama untuk

tercapainya birokrasi yang ideal dalam fakultas kita ini. Karena, betapa

malunya kita ketika ditanya oleh orang lain mengenai keidealan sistem

birokrasi pada fakultas kita. Selain itu, birokrasi yang ideal juga akan

berdampak baik terhadap kita semua. Semoga tidak ada lagi

mahasiswa FIS yang menggotong-gotong kursi, ruangan yang sempit

dan tidak ber-AC.

Page 43: Bab i sampai bab iv

43

Daftar Pustaka

Agung, Anak Agung Gde Putra. 2004. Peralihan Sistem Birokrasi dari

Tradisional ke Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anonim. t.thn. Bisnis.com, Korupsi Pendidikan Rp. 19 Miliar dalam 10 Tahun.

Diakses September 20, 2013. http://www.bisnis.com/icw-korupsi-

pendidikan-rp619-miliar-dalam-10-tahun.

—. t.thn. Kompas.com, Data ICW Mengenai Kasus Korupsi tahun 2012. Diakses

Oktober 27, 2013. http://forum.kompas.com/nasional/304754-data-icw-

mengenai-kasus-korupsi-tahun-2012-a.html.

Davis, Gordon B. 1990. Manajement Information Sistem. Washington: Blackwell

Business.

Hadiz, Vedi R. 1999. Politik Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Haryanto, Purwataningsih, Budi Oetojo, Hertati, Daisy Indra Yasmine, Husni

Arifin, dan Bambang Prasetyo. 2010. Sistem Sosial Budaya Indonesia.

Jakarta: Universitas Terbuka.

Mufiz, Ali. 1986. Materi Pokok Pengantar Administrasi Negara. Jakarta:

Karunika.

Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta, Jaman Pendudukan Jepang di

Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Ritzer, George. 2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:

Rajawali Persada.

Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. 2012. Sociological Theory. 8th.

Dialihbahasakan oleh Inyiak Ridwan Muzir. New York: Kreasi Wacana

Ofset.

Santosa, Imam. 2011. Konsep Kunci Sosiologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Schneider, Eugene Van. 1986. Sosiologi Industri. 2nd. Dialihbahasakan oleh J. L.

Ginting. Jakarta: Aksara Persada.

Sinambela, Lijian Poltak, Sigit Rochadi, Rusman Ghazali, Akhmad Muksin, Didit

Setiabudi, Djohan Bima, dan Syaifudin. 2011. Reformasi Pelayanan

Publik. Jakarta: Bumi Aksara.

Soemardyono, dan Ashari S. 2010. Kajian Kritis Dalam Pembelajaran

Matematika di SD. Jakarta: Kemendiknas.

Suwarsono, dan Alvin Y. So. 2013. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta:

Pustaka LP3ES.