bab i pendahuluan - abstrak.ta.uns.ac.id · tugu tersebut terkenal dengan nama perempatan papahan....

36
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik Gula (PG) Tasikmadu terletak di Desa Ngijo, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, atau sekitar 12 kilometer arah timur Kota Surakarta. Lokasi ini mudah dijangkau dari Kota Surakarta dengan angkutan darat seperti bis atau angkutan menuju ke arah Karanganyar. Penanda ke arah pintu masuk PG Tasikmadu di sepanjang jalan SoloTawangmangu, adalah tugu berwarna hitam seperti yang ada di pura Bali. tugu tersebut terkenal dengan nama perempatan Papahan. Gambar 1. Tugu papahan PG Tasikmadu didirikan oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV pada 1871. Ia seorang raja yang memiliki wawasan ekonomi yang luas, sekaligus menggemari sastra. PG Tasikmadu berdiri di atas tanah milik Pura Mangkunegaran seluas 28,364 hektar, PG Tasikmadu ini salah satu peninggalan masa Mangkunegara IV yang masih eksis hingga kini dan

Upload: lethuy

Post on 17-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pabrik Gula (PG) Tasikmadu terletak di Desa Ngijo, Kecamatan

Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, atau sekitar 12

kilometer arah timur Kota Surakarta. Lokasi ini mudah dijangkau dari Kota

Surakarta dengan angkutan darat seperti bis atau angkutan menuju ke arah

Karanganyar. Penanda ke arah pintu masuk PG Tasikmadu di sepanjang jalan

Solo–Tawangmangu, adalah tugu berwarna hitam seperti yang ada di pura Bali.

tugu tersebut terkenal dengan nama perempatan Papahan.

Gambar 1. Tugu papahan

PG Tasikmadu didirikan oleh Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya

(KGPAA) Mangkunegara IV pada 1871. Ia seorang raja yang memiliki wawasan

ekonomi yang luas, sekaligus menggemari sastra. PG Tasikmadu berdiri di atas

tanah milik Pura Mangkunegaran seluas 28,364 hektar, PG Tasikmadu ini salah

satu peninggalan masa Mangkunegara IV yang masih eksis hingga kini dan

2

3

mampu menghidupi masyarakat sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pesan

Mangkunegara IV saat membangun PG Tasikmadu. “Pabrik iki openana, sanajan

ora nyugihi, nanging nguripi, kinarya papan pangupa jiwone kawula dasih

(Pabrik ini peliharalah, meski tak membuat kaya, tetapi menghidupi, sebagai

tempat mata pencaharian umat manusia).”

PG Tasikmadu telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Penetapan itu

mempertimbangkan usia bangunan dan benda bersejarah di dalamnya, seperti alat

penggilingan tebu berangka tahun 1926 dari Belanda. Di halaman depan pabrik

terdapat kremoon (gerbong) buatan tahun 1875 yang digunakan Mangkunegara IV

Gambar 2. Kremoon (gerbong)

saat mengunjungi pabrik. Ada pula gerbong berwarna hijau buatan S Chevalier

Constuction Paris yang digunakan Mangkunegara IV menemui rakyat, dan bendi

untuk mengujungi kebun tebu.

4

Gambar 3. Gerbong hijau buatan S.Chevalier

PG Tasikmadu hingga sekarang masih beroperasi. Dalam setahun, musim

giling tebu berlangsung 7 bulan, yakni April hingga Oktober, dan pengelolaan

pabrik tersebut di bawah PT Perkebunan Nusantara IX (Persero). Berbeda dengan

industri–industri yang lain industri gula ini masih mempunyai tradisi yang

melekat dan hidup hingga kini, yakni tradisi selamatan giling yang terdiri atas dua

bagian yakni bagian sakral/spiritual semacam tradisi julen dan bagian fisik

keramaian semacam pasar malam untuk rakyat. Hampir semua tradisi dan budaya

memiliki akar sejarah panjang karena merupakan warisan nenek moyang, Sebagai

cara masyarakat mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,

karena telah memberikan rezeki dan keselamatan.

Menurut Magnis-Suseno (2003:1), mungkin karena kedekatan masyarakat

terhadap alam pula yang menyebabkan berkembangnya pemikiran mengenai

fenomena alam dalam masyarakat Jawa, yang kemudian melahirkan beberapa

tradisi atau ritual yang berkaitan dengan penghormatan terhadap alam tempat

hidup mereka. Dari itulah, sebagian masyarakat Jawa sampai saat ini masih

percaya pada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan yang dikenal

kesekten, arwah, atau ruh leluhur, makhluk-makhluk halus setan serta jin lain

5

yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan,

kebahagiaan, ketenteraman, keselamatan, tetapi sebaliknya, dapat pula

menimbulkan gangguan pikiran, ganguan kesehatan, bahkan kematian. Apabila

sesorang ingin hidup tanpa mengalami gangguan itu, ia harus berbuat sesuatu

untuk memengaruhi alam semesta dengan berprihatin, berpuasa, berpantang

melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselamatan, dan bersaji

(Kodiran dalam Koentjaraningrat, 2007 : 347).

Dari uraian di atas menjelang musim giling tebu PG Tasikmadu

melaksanakan serangkaian upacara atau tradisi sakral untuk keselamatan antara

lain cembengan, julen, penampilan reog ponorogo, wayangan, kethoprak, dan

klenengan yang dilaksanakan sebelum pengoperasian mesin-mesin utama

produksi penggilingan tebu. Perihal seperti itu dilaksanakan oleh pihak

perusahaan pabrik gula maupun masyarakat sekitar guna mempersembahkan

sesaji-sesaji kepada dhanyang-dhanyang pabrik dan sebagai usaha penyelamatan

kearifan lokal atau melestarikan budaya. Masyarakat setempat menganggap

tempat-tempat tertentu masih mempunyai penunggu-penunggu yang tidak boleh

diganggu ataupun harus diajak berpartisispasi di dalam kegiatan tersebut. Seperti

halnya salah satu rangkaian upacara selamatan giling PG Tasikmadu yaitu tradisi

Julen yang menarik berbagai kalangan masyarakat untuk mengerti atau melihat

apakah tradisi julen tersebut.

Tradisi julen merupakan sebuah upacara atau ritual untuk menandai

mulainya pemroduksian tebu dengan arakan dari karyawan pabrik yang memikul

berbagai macam sesaji untuk diserahkan kepemimpin pabrik untuk di tempatkan

ke bagian-bagian mesin giling. sepasang tebu pertama yang diiringi tebu

6

pengiring untuk dijadikan tebu perdana masuk ke dalam mesin crusher di pabrik

gula yang disebut tebu temanten. Sebagaimana layaknya sejoli atau sepasang

temanten pada masyarakat Jawa, yang dihiasi berbagai asesoris yang indah.

Kata joli ini merujuk miniatur rumah yang berderet sepasang yang di

dalamnya terdapat berbagai macam-macam sesaji yang dipikul oleh karyawan

untuk masuk ke dalam pabrik sebagai tanda rasa syukur sekaligus sesembahan

kepada dhanyang supaya diberi kelancaran. Tradisi ini dilakukan setiap setahun

sekali mirip sebuah ritual adat pernikahan Jawa disimbolkan dengan pengantin

tebu dengan jenis tebu terbaik sebagai bahan pokok pertama dalam pemroduksian

gula supaya menghasilkan gula yang terbaik.

Gambar 4. Joli yang dipikul oleh karyawan

Joli ini diarak oleh pengiring pengantin tebu diikuti pula sesaji seperti

endhas kebo, ampyang, sega thiwul, ngantenan, takir ponthang, sega suci, sega

golong, sega asahan, klasa bangka, palawija, jajan pasar, cok bakal, slindur,

jadah, joli, wajik, lempeng, criping, kunci, miri, ampo, kencur, kendhi, jenang,

panjang ilang, suruh, kunir, wedhak, tepas, menyan, candu, lengo, takir, trasi,

kembar mayang, cengkir gading, sekar setaman, jenang ketan ireng, kopi, air

7

putih, ciu/arak, trasi, uyah, rante, lombok, tebu wulung, panjang ilang, nanas

dua buah, wedhak, minyak wangi, kaca, lisah jawi, cok bakal, kacang tholo,

gedhang ayu, jenang katul, dengan diarak oleh karyawan-karyawan pabrik dari

depan Pasar Nglano menuju ke dalam pabrik gula. Setelah itu dilaksanakan suatu

acara penyerahan dan pemasangan sesaji–sesaji di bagian-bagian mesin utama

pengoperasian. Tradisi julen ini dilaksanakan menandai berakhirnya pasar malem

cembengan dan dimulailah pengoperasian mesin produksi gula yang diawali

dengan upacara selamatan tradisi julen, Pelaksanaannya pada hari Kamis Pahing

bulan keempat yaitu bulan April.

Gambar 5. Macam-macam sesaji tradisi julen

Upacara sesaji julen selamatan giling merupakan ucapan syukur kepada

Tuhan Yang Mahaesa yang diwujudkan dengan penyerahan sesaji. Sesaji yang

biasa disebut masyarakat Jawa dengan istilah sesajen ini dianggap penting karena

merupakan media pengantar komunikasi antara sang pemohon dengan unsur yang

dituju. Sesaji merupakan perlengkapan upacara mutlak ada yang dapat

menentukan terkabul atau setidaknya permintaan sang pemohon dalam selamatan.

Sesaji berfungsi sebagai simbolisasi serah terima, sebagai suatu syarat

8

dikabulkannya suatu permintaan diri dari sang pemohon (Meilawati, 2009 :2).

Sedangkan menurut Endraswara (2003:195), sesaji merupakan aktualisasi dari

pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk lebih mendekatkan diri kepada

Tuhan. Sesaji juga merupakan wacana simbol yang digunakan sebagai sarana

untuk negoisasi spirititual kepada hal-hal gaib. Pemberian makan secara simbolik

kepada roh halus, diharapkan roh tersebut akan jinak, dan mau membantu hidup

manusia.

Menurut keterangan Toegiyo (Wawancara 20 April 2015), pelaksanaan

upacara tradisi julen menjelang pengoperasian mesin giling dilakukan setiap

setahun sekali dan mempunyai lima tujuan, yaitu (a) agar dalam pengoperasian

mesin produksi tidak terjadi sebuah kendala dan berjalan lancar, (b) hasil

produksinya melimpah ruah (c) menjaga kesehatan para karyawan pabrik (d)

memberikan upah kepada dhanyang penunggu pabrik, dan (d) sebagai wujud rasa

syukur kepada Tuhan atas hasil produksi yang diperoleh sebelumnya dan sebagai

suatu simbol kebudayaan. Kebudayaan seperti itu perlu harus dilestarikan supaya

tradisi itu tidak punah dan menjadi kekayaan budaya nusantara.

Selamatan giling PG Tasikmadu merupakan salah satu sarana atau wadah

untuk menjaga dan melestarikan suatu kearifan lokal atau melestarikan suatu

kebudayaan yang sesuai dengan asumsi-asumsi para peneliti mengenai arti suatu

kebudayaan, yang masih erat dengan masyarakat perdesaan.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan

belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144). Salah satu wujud kebudayaan berupa tradisi

(Peursen dalam Rahyono, 2009:44). Berdasarkan keterangan Peursen, tradisi

9

merupakan unsur kebudayaan yang hidup dalam lingkungan kita, sehingga perlu

adanya pengkajian lebih lanjut, karena banyak yang menganggap segala macam

tradisi yang ada hanya sekadar rangkaian upacara yang bersifat mistis dan magis.

Dalam sebuah tradisi terkandung makna-makna yang memiliki nilai-nilai yang

diwariskan oleh para leluhur kepada generasi muda yang sangat berguna dan

bermanfaat dalam kehidupan. Makna-makna yang dimaksud terdapat dalam

istilah-istilah yang menjadi bagian dari unsur-unsur tradisi yang diselenggarakan.

Setiap istilah yang ada mempunyai arti dan makna sendiri. Makadari itu,

hubungan bahasa dan kebudayaan sangatlah erat (Sumarlam dalam Dinawati,

2010:17). Budaya dan tradisi khususnya pada masyarakat Jawa sangat kaya dan

telah hidup selama ribuan tahun lamanya. Ada berbagai macam jenis tradisi di

antaranya tradisi memasang sesaji. Bagi masyarakat Kecamatan Tasikmadu dan

sekitarnya memasang sesaji dalam tradisi julen selametan giling PG Tasikmadu

masih dipercayai dan masih dilakukan oleh sebagian para pegawai PG Tasikmadu

dan masyarakat sekitar.

Tradisi julen dilaksanakan setiap setahun sekali menjelang pemroduksian

gula. Pada penelitian ini, hanya mengkaji istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen

menjelang pemroduksian gula. Pelaksanaan upacara tradisi ini diawali dengan

iring-iringan sesaji yang dipikul oleh para karyawan sebelum sesaji diserah-

terimakan dari pihak karyawan ke pada pemimpin pabrik untuk dimasukkan atau

di sesaji ini ditempatkan ke bagian-bagian mesin utama. Adapun urut-urutan

jalannya iring-iringan sesaji yaitu (1) Panitia berpakaian kejawen, (2) Santri puji-

pujian doa dengan alat rebana, (3) Panjang ilang, (4) Nampan sesaji yang

berisikan kosmetik minuman pisang ayu, (5) Tebu wulung, (6) Slindur, (7) Joli

10

1,2,3 (8) Sekar mayang, (9) kepala kerbau, (10) Pisang jejeran setelah iring-

iringan ini sampai di depan pabrik kemudian dilakukan serah-terima sesaji. Hal

ini merupakan salah satu wujud kebudayaan yang dimiliki masyarakat Kecamatan

Tasikmadu, yaitu merupakan unsur kebudayaan yang berupa sistem religi yang

timbul dari sistem pengetahuan masyarakat yang diungkapkan dan direkam

melalui ekspresi bahasa. Istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen diantarannya

yaitu joli semacam miniatur rumah. Makna leksikal joli adalah semacam miniatur

rumah yang sepasang terbuat dari anyaman bambu, dirangkai sebuah rumah dihias

dengan kertas bermotif sehingga dilihat indah yang kemudian diisi dengan

berbagai macam-macam sesaji. Joli termasuk monomorfermis yang berkategori

nomina, merupakan simbol penghormatan terhadap dhanyang penunggu pabrik

dan rasa syukur kepada Allah SWT bisa melaksanakan pemroduksian gula.

sedangkan makna kultural joli adalah di dalam tradisi ini disimbolkan miniatur

rumah yang berderet dua dan di dalamnya berbagai macam sesaji, dalam arti,

pabrik ini disimbolkan rumah yang diharapkan bisa mengayomi memberikan

kenteteraman penghuni rumah dan kenyamanan ini juga selaras pada pabrik

memberikan kenyamanan pada para karyawan untuk melakukan perkerjaan tidak

ada suatu ganguan, dan berderet menyimbolkan sebuah keserasian.

Hal tersebut menarik perhatian untuk meneliti upacara sesaji tradisi julen

di PG Tasikmadu untuk dikaji melalui disiplin ilmu linguistik, khususnya

etnolinguistik. Etnolinguistik merupakan interdisiplin ilmu linguistik, karena

dengan kajian etnolinguistik tersebut dapat diketahui hubungan kebudayaan

dengan masalah bahasa secara alami maupun prosesi dari para pendukung

kebudayaan itu sendiri.

11

Sehingga penelitian ini berusaha mendeskripsikan tentang budaya dan

tradisi sesaji dalam upacara selamatan giling PG Tasikmadu. Tampaknya

ketertarikan generasi muda akan kebudayaan memasang sesaji cenderung

berkurang. Dalam hal ini peneliti meneliti tentang unsur-unsur sesaji, makna

leksikal, dan makna kultural dari sesaji yang ada dalam tradisi julen di Pabrik

Gula Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar.

Dalam tradisi ini terdapat kata panjang ilang termasuk polimorfermis

berkategori kata majemuk yaitu sebuah keranjang yang terbuat dari anyaman

janur sebagai wadah sesaji. Dalam upacara ini panjang ilang dibutuhkan 7 buah

yang akan di tempatkan di bagian mesin utama yaitu kepala loko, hammer

shredder, pisau can cutter 1, pisau can cutter 2, meja tebu lama, meja tebu baru,

dan condensor, tujuan panjang ilang sering dikaitkan pada sebuah pernikahan

adat Jawa, yang di tempatkan di tempat-tempat tertentu supaya hajatan yang akan

dilaksanakan tidak ada gangguan, panjang ilang berisikan berbagai macam sesaji

seperti pisang raja satu sisir, cok bakal, jadah, wajik, lѐmpѐng, criping selaras

dengan adat pernikahan jawa panjang ilang ini juga ditaruh ke tempat mesin

utama yang dianggap sakral, roda utama pemroduksian bertujuan tidak terjadi

suatu ganguan dari alam gaib arti lain supaya dalam penggilingan berjalan lancar.

Penelitian etnolinguistik yang menggunakan sesaji sebagai objek kajian

juga pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian etnolinguistik yang pernah

dilakukan sebelumnya antara lain sebagai berikut.

1. Skripsi Iswanti (2004) yang berjudul “Istilah Unsur-unsur Sesaji dalam

Upacara Nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak

12

Kabupaten Bantul (Sebuah Tinjauan Etnolinguistik).” Skripsi tersebut

mengkaji bentuk dan makna dari istilah-istilah sesaji dalam upacara

nyadran di Makam Sewu Desa Wiji Rejo Kecamatan Pandak Kabupaten

Bantul.

2. Skripsi Hidha Watari (2008) yang berjudul “Istilah Unsur-Unsur Sesaji dalam

Tradisi Bersih Desa di Desa Gondang, Kecamatan Gondang,

Kabupaten Sragen (Sebuah Tinjauan Etnolinguistik)”. Skripsi tersebut

mengkaji bentuk dan makna dari istilah-istilah sesaji dalam tradisi bersih desa

di Desa Gondang Kabupaten Sragen.

3. Skripsi Ninuk Indah Pratiwi (2010) yang berjudul “Istilah-istilah sesaji

Tradisi Buka Luwur di Desa Candisari Kecamatan Ampel Kabupaten

Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)”. Penelitian tersebut mengkaji bentuk,

makna, dan fungsi dari istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi buka luwur

di Desa Candisari kecamatan Ampel kabupaten Boyolali.

4. Rizal Ari Andani. (2015) yang berjudul ”Istilah-Istilah Sesaji Cok Bakal

Menjelang Panen Padi Di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten

Kediri (Kajian Etnolinguistik).” Penelitian tersebut mengkaji bentuk,

makna, dan fungsi dari istilah unsur-unsur sesaji dalam tradisi cok bakal

menjelang panen padi di Desa Candisari, Kecamatan Sidomulyo, Kabupaten

Kediri.

Berdasarkan uraian di atas, alasan diambilnya tradisi julen sebagai objek

penelitian yaitu (a) untuk mengangkat tradisi julen selamatan giling Pabrik Gula

Tasikmadu Kabupaten Karanganyar lebih luas lagi, (b) menjadikan penelitian ini

sebagai satu bentuk upaya pelestarian budaya karena pada era sekarang

13

banyak masyarakat di Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar

khususnya kalangan muda yang lupa akan budayanya sendiri, (c) tradisi julen

selamatan giling Pabrik Gula Tasikmadu sebagai wujud dari budaya yang dimiliki

masyarakat di Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar memiliki

keunikan dari segi bahasa dan keunikan tersebut hanya dapat dijelaskan melalui

kajian etnolinguistik.

B. Batasan Masalah

Masalah dalam penelitian ini dibatasi pada bentuk istilah tradisi julen

selamatan giling Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar yang meliputi

bentuk monomorfemis, polimorfemis, dan frasa. Disamping itu, penelitian ini

juga dibatasi pada makna istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang

pengoperasian mesin produksi Pabrik Gula Tasikmadu yang meliputi makna

leksikal, gramatikal dan kultural.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan dua

permasalahan seperti berikut .

1. Bagaimanakah bentuk istilah-istilah sesaji julen menjelang pengoperasian

mesin utama produksi gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar ?

(Masalah ini diteliti untuk mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji berupa

monomorfemis, polimorfemis, dan frasa).

2. Bagaimanakah makna istilah-istilah sesaji julen menjelang pengoperasian

mesin utama produksi gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar ?

(Masalah ini diteliti untuk menjelaskan makna leksikal, gramatikal dan makna

kultural yang terkandung dalam istilah-istilah sesaji julen).

14

D.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, terdapat tujuan penelitian sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah sesaji tadisi julen menjelang

pengoperasian mesin utama produksi Gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten

Karanganyar.

2. Menjelaskan makna leksikal, gramatikal, dan kultural yang terkandung dalam

istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin utama

produksi Gula Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini ada dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis:

1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

melengkapi teori linguistik Jawa, khususnya teori entnolinguistik.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfat untuk:

a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bentuk, makna leksikal,

makna gramatikal dan makna kultural istilah-istilah tradisi julen giling tebu

Pabrik Gula Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.

b. Masyarakat kalangan akademik sebagai bahan referensi untuk penelitian

selanjutnya.

c. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah penelitian bahasa Jawa

khususnya kajian etnolinguistik.

d. Pemda setempat untuk lebih memperhatikan kearifan lokal.

15

F. Landasan Teori

Teori dan konsep yang digunakan untuk melandasi penelitian ini adalah (1)

etnolinguistik, (2) masyarakat tutur, (3) istilah, (4) sesaji, (5) tradisi (6) tradisi

julen, (7) bentuk istilah, (8) makna.

1. Etnoliguistik

Etnolinguistik yaitu jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap

dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit lingual lainnya) dalam

dimensi sosial dan budaya (seperti upacara, peristiwa budaya, foklor, dan lainnya)

yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik sosial dan

struktur sosial masyarakat (Abdullah, 2013:10). Juga sebaliknya, bahasa dipahami

bukan semata-mata berdiri secara linier sebaga rentetan bunyi, melainkan bagian

dari ekspresi lahir-batin masyarakat penuturnya berdasarkan konteks budaya yang

dimiliki beserta dengan segala nilai-nilai dalam aktualitas hidupnya secara

individu maupun kelompok (Abdullah. 2013: 13). Hal itu menunjukkan bahwa

antara bahasa dan budaya memiliki hubungan saling keterkaitan. Bahkan

hubungan antara bahasa dan kebudayaan sangat erat (Sumarlam dalam Dinawati,

2010: 17 ).

Pada dasarnya seluruh kebudayaan hanya mungkin karena manusia

mampu berbahasa (Suhandi, 1994:33). Manusia bertukar pengalaman melalui

bahasa, bahkan abstraksi pikiran manusia (sebagai sumber kebudayaaan) terwujud

dalam istilah-istilah dan sistem bahasa. Menurut Dwiraharjo (2001: 38) dalam

proses berpikir bahasa berfungsi sebagai alat begitu pun dalam penuangan hasil

pemikiran bahasa juga berfungsi sebagai alat. Berdasarkan keterangan di atas,

apabila diketahui bahwa kebudayaan berawal dari kompleks gagasan, pikiran, dan

16

ide, maka sangat tidak mungkin apabila budaya dapat berkembang bahkan tercipta

dari masyarakat yang tidak mengenal bahasa. Uraian di atas menunjukkan apabila

kebudayaan suatu masyarakat sangat dipengaruhi oleh bahasa. Selain itu,

masyarakat dapat mengkomunikasikan budayanya juga melalui bahasa. Maka dari

itu, jalan yang paling mudah untuk mengetahui budaya suatu kelompok adalah

melalui bahasa, khususnya melalui daftar kata-kata yang ada dalam bahasa

(Abdullah. 2013:14-15). Etnolinguistik ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

kebudayaan dengan masalah bahasa secara alami maupun prosesi dari para

pendukung kebudayaan itu sendiri.

2. Masyarakat Tutur

Jika suatu masyarakat atau sekelompok orang mempunyai verbal

repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama terhadap

norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan di dalam masyarakat itu,

maka dapat dikatakan bahwa masyarakat itu merupakan masyarakat tutur (speech

community) (Suwito, 1983:20). Ada pengertian lain untuk masyarakat tutur yaitu

masyarakat bahasa. Menurut KBBI (2007: 536), masyarakat bahasa (speech

comunity) adalah kelompok yang mempunyai bahasa yang sama atau merasa

termasuk dalam kelompok itu, atau yang berpegang bahasa yang sama. Fishman

dalam Suwito (1983:20) memberi batasan bahwa masyarakat tutur ialah suatu

masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi tutur

beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya.

Masyarakat di sekitar PG Tasikmadu yaitu di Kecamatan Tasikmadu

mengenal 2 bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dalam

kesehariannya masyarakat Jawa menggunakan kedua bahasa tersebut secara

17

bergantian disesuaikan dengan konteksnya. Dalam konteks budaya, khususnya

budaya memasang sesaji seperti pada tradisi julen selamatan giling PG Tasikmadu

menggunakan bahasa Jawa sepenuhnya.

3. Istilah

Istilah yaitu perkataan khusus yang mengandung arti tertentu di

lingkungan suatu kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan

konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu

(Kridalaksana, 2011:97). Selain itu, istilah diartikan sebagai keseluruhan dari isi

serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi

lingkungannya (Koentjaraningrat dalam Pratiwi, 2010:22) .

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa istilah

yaitu kata maupun kelompok kata yang secara cermat menjelaskan berbagai hal

sesuai dengan konteksnya yang bersumber dari alam pikiran manusia ketika

menanggapi segala sesuatu dalam kehidupannya. Istilah dalam penelitian ini

terkait dengan tradisi dan budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat, yaitu

istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin utama

penggiling PG Tasikmadu Kabuaten Karanganyar. Contoh istilah dalam penelitian

ini di antaranya ampyang dan joli.

4. Sesaji

Sajen yaiku apa-apa sing disajekake (lumrahe awujud kembang,

menyan, Ian sak piturute) 'sajen yaitu semua yang disajikan (biasanya berwujud

bunga, rnenyan, dsb)' (Widada et al., 2001: 685). Menurut KBBI (2007:979),

sesaji yaitu makanan dan bunga-bungaan yang disajikan kepada makhluk halus

18

dan sebagainya. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan apabila sesaji

berupa pemberian atau persembahan. Dalam setiap pelaksanaan upacara adat,

tentu dalam setiap tahapan-tahapan prosesinya akan selalu tersedia sebuah

pemberian atau persembahan dengan membuatkan sesuatu yang ditujukan kepada

para leluhur dan roh-roh yang menjaga wilayah tersebut sehingga interaksi antara

masyarakat setempat dengan roh-roh leluhur mereka tetap saling menjaga dan

melindungi (Indriyanto et al., 2012: 31), orang Jawa bahkan membuat sajen tanpa

suatu upacara apapun (Geertz dalam Koentjaraningrat, 1994). Pernyataan tersebut

menunjukkan bahwa pembuatan sesaji telah mengakar dalam hati dan pikiran

masyarakat Jawa dan menjadi bagian dari kehidupan orang Jawa.

Setiap sesaji yang ada dalam suatu upacara sudah barang tentu

mengandung arti yang sangat bermanfaat bagi mereka terutama di dalam

mengarungi hidup sehari-hari (Sunjata, 2012:677). Salah jenis sesaji diantaranya

adalah ampyang, sego thiwul. Ada pun juga Pengertian sesaji cok bakal yaitu

sebagai pengingat pada cikal bakal. Ada berbagai macam cok bakal diantaranya

cok bakal pada tanaman tebu. Cok bakal menjelang pengoperasian mesin utama

giling dibuat dengan berbagai tujuan. Namun, tujuan yang paling utama yaitu

memuliakan R.Ay Gadung Mlati yang dianggap sebagai dhanyang penunggu

pabrik dan juga memohon kebaikan kepada Tuhan. Salah satu bagian sesaji dalam

tradisi julen menjelang pengoperasian produksi gula yaitu sekar setaman.

5. Tradisi

Tradisi (bahasa Latin: traditio, `diteruskan`) atau kebiasaan, dalam

pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk

sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat,

19

biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang

paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari

generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa

adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Dalam Kamus Antropologi (1985: 125) dijelaskan pengertian tradisi

adalah kebiasaan yang bersifat magis religius dari kehidupan suatu penduduk asli

yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum kemudian menjadi suatu

sistem atau peraturan tradisional. Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan

bahwa tradisi adalah kebiasaan yang bersifat religius pada suatu masyarakat yang

berjalan turun temurun dari generasi ke generasi yang bersifat terus-menerus

(kontinue).

6. Tradisi Julen

Tradisi julen yaitu menurut tokoh setempat atau juru rangkai sesaji upacara

tradisi julen selamatan giling pabrik gula yang diwawancarai pada tanggal 20

april 2015 mengatakan bahwa tradisi julen yaitu upacara selamatan pabrik gula

dengan sepasang tebu yang diistilahkan pengantin baru/sejoli tetapi kata joli

dirujukan semacam miniatur rumah yang kemudian diikuti berbagai sesaji yang

dipikul oleh para karayawan pabrik dimulai dari depan Pasar Nglano menuju ke

dalam pabrik gula yang sebelumnya ada acara penyerahan sesaji dari pihak

karyawan kepada pemimpinn perusahaan di depan pabrik untuk selanjutnya

didoakan oleh abdi dalem Pura Mangkunegaran yang mewakili pihak karyawan

kemudian sesaji dibawa masuk untuk ditempatkan ke bagian-bagian mesin utama.

20

7. Bentuk Istilah

Bentuk istilah terkait penelitian ini ada tiga yaitu monomorfemis,

polimorfemis, dan frasa. Telah dijelaskan di atas bahwa istilah berwujud kata dan

gabungan kata. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan

polimorfemis adalah penggolongan jumlah morfem yang menyusun kata

(Kentjono, 1982:44). Sementara frasa akan dijelaskan secara terpisah dari bentuk

monomorfemis karena frasa merupakan satuan gramatik yang lebih luas dari

tataran kata yang dibahas melalui teori sintaksis. Berikut penjelasan mengenai

bentuk monomorfemis, polimorfemis, dan frasa.

1. Monomorfemis

Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis (Kentjono, 1982:44)

Monomorfemis terjadi dari satu morfem (Kridalaksana, 2011:157). Berdasarkan

penjelasan di atas monomorfemis yaitu kata yang terdiri dari satu morfem yang

dapat berdiri sendiri (morfem bebas) dan mempunyai makna. Hampir keseluruhan

istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi tebu di

PG Tasikmadu, Kabupaten Karanganyar merupakan morfem bebas, artinya semua

kata dapat berdiri sendiri tanpa melalui proses morfologi. Contoh istilah yang

berbentuk monomorfemis dalam penelitian ini di antaranya ampyang dan slindur.

Kata ampyang dan slindur merupakan kata dasar karena secara gramatik kedua

kata tersebut dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna.

2. Polimorfemis

Kata bermorfem lebih dari satu disebut polimorfemis (Kentjono, 1982:

44). Jika kata terdiri dua morfem yang bergabung melalui proses morfologis

21

sehingga memiliki makna baru yang berbeda dari makna morfem-morfem

penyusunya maka kata itu masuk kedalam bentuk polimorfermis. Adapun bentuk

polimorfemis meliputi :

a. Pengimbuhan/afiksasi (penambahan afiks)

Proses morfologis yang terjadi dalam polimorfemis ialah penambahan dan

pengimbuhan afiks (afiksasi). Penambahan afiksasi dapat dilakukan di depan, di

tengah, depan dan belakang morfem dasar. Penambahan afiks yang ada di depan

disebut awalan (prefiks), afiks yang berada di tengah disebut infiks (sisipan), yang

berada di belakang disebut sufiks, sedangkan yang berada di depan dan belakang

morfem dasar disebut sirkumfiks (konfiks). Pengimbuhan atau afiks morfem dasar

selalu berupa morfem terikat, sedangkan morfem dasar berupa morfem bebas atau

morfem terikat. Adapun istilah yang berbentuk polimorfemis dalam bentuk

afiksasi yakni ngantenan [ηantenan].

b. kata majemuk (komposisi).

Kata majemuk terdiri dari proses morfologi yaitu proses pemajemukan.

Komposisi atau pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua

morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya kata majemuk atau

kompaun (Verhaar. 2010:154). Berdasarkan penjelasan di atas maka sudah jelas

bahwa pengertian pemajemukan adalah proses morfologis yang menggabungkan

dua kata atau lebih yang keduanya merupakan bentuk dasar yang menghasilkan

gabungan kata yang memiliki arti yang baru yang berbeda dari unsur-unsur

pembentuknya (kata majemuk). Contoh istilah yang berbentuk polimorfemis yang

berupa komposisi dalam penelitian ini diantaranya klasa bangka. Kata terdiri

22

klasa bangka dari kata klasa ’ tikar’ yang berjenis nomina dan bangka ‘tegang’

yang berjenis adjektiva. Agar mempunyai makna baru maka kata klasa harus

bergabung dengan kata atau imbuhan. Sementara, kata bangka merupakan kata

yang secara gramatik dapat berdiri sendiri dalam pertuturan biasa dan memiliki

sifat bebas. Pada istilah klasa bangka kata klasa bergabung dengan kata bangka

sehingga terbentuk kata majemuk klasa bangka. Kata klasa bangka memiliki

makna yang berbeda dari unsur pembentuknya, yaitu sejenis tikar dari pandan

dengan ukuran kecil. Jadi, kata klasa bangka merupakan kata majemuk yang salah

satu unsurnya berupa pokok kata.

3. Frasa

Frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang

tidak melampaui batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 2001: 138). Frasa adalah

gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif; gabungan itu dapat

rapat dapat renggang. (Kridalaksana, 2001: 59).

Contoh : jenang abang putih `bubur merah putih’, jenang luwa (katul).

endhog dadar ‘telur dadar’.

8. Makna

Penelitian ini akan membahas lebih lanjut makna leksikal dan kultural

dari istilah-istilah sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi

Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar.

a. Makna Leksikal

Makna leksikal (lexical meaning) atau makna semantik (semantic

meaning), atau makna eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata

itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau dalam bentuk berimbuhan

23

yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa

tertentu. (Pateda, 2001:119). Kamus-kamus dasar hanya memuat makna leksikal

yang dimiliki oleh kata yang dijelaskannya (Chaer, 2007:289). Berdasarkan

pernyataan di atas maka sudah jelas bahwa tidak semua kamus hanya memuat

tentang makna leksikal namun ada pula kamus-kamus yang memuat tentang

makna kias atau makna idiomatik dan makna-makna lain seperti makna metafora.

Selain diperoleh dari kamus, makna leksikal juga diperoleh dari interpretasi

masyarakat ketika mendefinisikan sesuatu berdasarkan bentuk, manfaat, rasa, dan

lain-lain. Pengertian makna leksikal dalam penelitian ini tidak terbatas pada

tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa sebagai bentuk istilah-istilah sesaji

tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi PG Tasikmadu Kabupaten

Karanganyar. Salah satu istilah dalam sesaji tradisi tersebut adalah criping. Makna

leksikal criping adalah makanan terbuat dari beras ketan yang dikukus dicampur

dengan bumbu dibentuk bulat gepeng atau pipih, kemudian dikeringkan setelah

kering digoreng dengan minyak goreng biasanya criping ada yang tengahnya

diberi warna untuk mempercantik dan memberi rasa manis.

b. Makna gramatikal

menurut Harimurti Kridalaksana makna gramatikal adalah makna yang

terbentuk akibat bergabungnya unsur yang satu dengan yang lainnya dalam

pelbagai tataran gramatikal, seperti hubungan antar satu kata dengan yang lain

dalam frasa tau klausa (2008:148). Makna gramatikal untk menganalisi bentuk

polimorfermis dan frasa dalam istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen giling tebu

PG Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Misalkan kata cok bakal

terdiri dari kata “cok” dan “bakal”.

24

c. Makna Kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki bahasa sesuai dengan

konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Abdullah, 2013: 20). Makna kultural

ini muncul dari setiap kegiatan manusia yang menciptakan budaya dan direkam

ke dalam bahasa melalui istilah-istilah. Pengertian makna kultural dalam

penelitian ini tidak terbatas pada tataran kata tetapi juga dalam tataran frasa

sebagai bentuk sesaji tradisi julen menjelang pengoperasian mesin produksi

Pabrik Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Salah satu istilah sesaji dalam

tradisi tersebut adalah makna kultural ampyang ‘ampyang’ dalam sesaji tradisi

julen yaitu simbol kehidupan supaya di dalam menjalankan kehidupan di dunia

diberi ketentraman, keselamatan, hidup penuh dengan kedamaian dalam

menjalankan pekerjaan setiap hari, di dalam bermasyarakat diberikan kerukunan

antar warga masyarakat yang berujung dengan kehidupan yang bahagia seperti

rasa ampyang yaitu manis dan gurih.

Sifat manis dan gurih kesannya memberikan suasana yang manis, enak

penuh dengan kebahagiaan sehingga tujuannya berakhir dengan kebahagiaan atau

ujung-ujung kehidupan yang mapan.

Ampyang yang terbuat dari gula Jawa yang dicampur dengan kacang

tanah hingga dicetak menjadi ukuran bulat atau lonjong atau sesuai selera .

25

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan atau melukiskan

keadaan atau objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang

nampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1995:63). Penelitian ini juga bersifat

kualitatif yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

(Lexi Moleong,2007:6). Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa

peneltian ini bersifat deskriptif kualitatif yaitu mendeskripsikan istilah sesaji

sesuai denga fakta yang ada di lapangan dan peroleh data serta menggunakan

kata-kata dan tidak berbentuk kata.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yaitu lokasi sumber data penelitian tersebut diperoleh.

Lokasi penelitian juga dapat dikatakan sebagai tempat dilaksanakannya penelitian.

Lokasi penelitian berada di PG Tasikmadu Kabupaten Karanganyar dan tempat

sekitar pabrik. Pemilihan lokasi sebagai tempat penelitian di PG Tasikmadu ialah

terdapatnya suatu objek data yang berisikan berbagai upacara-upacara ritual sesaji

dalam mengawali produksi gula di Pabrik tersebut. Hal tersebut memungkin

untuk diangkat atau diteliti dari segi bahasa dan juga belum pernah diteliti

menegenai lingkup kebahasaan, sehingga objek tersebut di PG Tasikmadu

26

Kabupaten Karanganyar menunjukkan bahwa masyarakatnya masih melestarikan

tradisi.

3. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat utama dan alat

bantu. Alat utama dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri, dikatakan

peneliti sebagai alat utama karena peneliti melakukan penelitian secara langsung

terjun menentukan objek penelitian, merumuskan persoalan, mengumpulkan data,

dan menganalisis data. Adapun alat bantu penelitian ini adalah bolpoin, kertas,

handphone, kamera digital, buku catatan, flashdisk dan komputer.

4. Data

Data adalah bahan jadi penelitian (Sudaryanto, 1988: 19). Dalam

penelitian, data yang dipandang sahih (valid) dan terandal (terpercaya, reliable)

adalah yang berasal dari penutur asli bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto,

1988:26). Data dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer, data lisan yaitu yang berupa tuturan dari infoman

mengandung istilah-istilah sesaji tradisi julen selamatan giling pabrik gula

Tasikmadu dari informan yang terpilih dan benda yang terkait sehingga dapat

disebutkan atau dijadikan sebuah data.. Data penelitian ini berupa istilah-istilah

sesaji tradisi julen selamatan giling pabrik gula tasikmadu yang berbentuk

monomorfemis, adalah ampyang, slindur. Data yang berbentuk polimorfermis,

adalah gedhang ayu, klasa bangka, dan frasa seperti endhas kebo.

27

Data sekunder berupa data tulis yang diperoleh dari buku dan kamus yang

berkaitan dengan istilah dalam upacara tradisi. Data sekunder terkait dengan

sebagian makna kultural dalam penelitian ini.

5. Sumber Data

Sumber data adalah si penghasil atau si pencipta data yang dimaksud

biasanya disebut dengan narasumber (Sudaryanto dalam Pratiwi, 2010:23) atau

informan. Sumber data dalam penelitian ini ada dua, yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari tradisi julen dan informan

yang terpilih yaitu mbah Jan masjid, mbah Tugiyo yang diwawancarai pada

tanggal 17 april 2015 yang memberikan keterangan berkaitan tradisi julen.

Adapun kriteria informan yang dipilih dalam penelitan ini, yaitu: (1) penutur asli

bahasa Jawa, (2) sesepuh desa, (3) berusia antara 25 tahun ke atas yang memiliki

kemampuan untuk memahami dan mengetahui seluk beluk tradisi tradisi julen

serta tidak jompo, (4) menguasai bahasa Jawa dan Indonesia (5) pancaindra masih

normal, (6) Sehat jasmani dan rohani, (7) bersedia menjadi informan dan

mempunyai waktu yang cukup, dan (8) memiliki alat ucap yang lengkap.

Informan yang dimaksud antara lain :

1. Toegiyo juru rangkai sesaji tradisi julen.

2. Santodipura seorang akademis, budayawan, pejuang dan abdi dalem Pura

Mangkunegaran.

3. Iman Suwarno juru kunci makam Randu Sanga Pura Mankuneragan.

4. Warijan masyarakat sekitar yang andil dalam tradisi julen.

28

Sumber data sekunder dalam penelitian ini merupakan sumber data tertulis

seperti buku mengenai sejarah berdirinya pabrik gula, sumber data berupa kamus

bahasa Indonesia dan bausastra.

6. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu

fenomena (Kridalaksana, 2011: 153). Dalam arti si peneliti melakukan observasi

mengenai objek kajian tersebut sehingga menentukan objek data. Pengumpulan

data dalam penelitian ini menggunakan metode cakap. Sebelum melakukan

Metode cakap berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku

peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1988:7). Metode cakap

ini disebut juga dengan wawancara yaitu peneliti melakukan percakapan dengan

mengajukan berbagai pertanyaan kemudian dijawab oleh narasumber. Teknik

dasar yang digunakan yaitu teknik pancing. Peneliti untuk mendapatkan data

pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya memancing

seseorang atau beberapa orang agar berbicara (Sudaryanto, 1988:7). Memancing

seseorang agar berbicara dan memberi informasi hendaknya dilakukan dengan

halus dan berhati-hati agar narasumber tidak merasa bahwa dia sedang dipancing.

Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan suasana percakapan tetap alami dan

wajar agar informasi tentang data dapat diungkap semakin mendalam.

Teknik lanjutannya yaitu teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik

catat. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan pertama-tama dengan percakapan

langsung, tatap muka, atau bersemuka (Sudaryanto, 1988: 7). Pembicaraan antara

peneliti dengan narasumber harus tetap dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan

sesuai dengan kepentingan peneliti. Di samping melakukan teknik cakap semuka,

29

peneliti melakukan perekaman sama seperti apa yang terjadi dalam rangka

pelaksanaan metode simak (Sudaryanto, 1988:9). Teknik rekam ini sangat penting

untuk mengantisipasi apabila peneliti lupa akan apa yang dituturkan oleh

informan, kemudian hasil rekaman juga penting diperdengarkan saat presentasi

hasil dengan tujuan sebagai bukti untuk mendukung keabsahan penelitian.

Kemudian diikuti dengan pencatatan data pada kartu, jadi digunakan teknik catat

(Sudaryanto, 1988:9). Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat keseluruhan

tuturan atau sebagian tuturan yang dianggap penting dan relevan terhadap data

penelitian.

NO NAMA DATA M P F

1. Ampyang

2. Jajan pasar

3. Endhas kebo

4. Joli

5. Panjang ilang dst.

Keterangan : M = Monomorfermis

P = Polimorfermis

F = Frasa

Gambar 3. Catatan mengenai objek data

30

7. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data menggunakan metode agih dan metode padan.

Kedua metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap

analisis data.

a. Metode agih (Distribusional)

Metode agih adalah metode analisis yang alat penentunya dari bahasa

yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode agih dipakai untuk

menganalisis istilah yang berbentuk kata majemuk dan frasa. Teknik yang

digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk

membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur- unsur yang

bersangkutan dipandang sebagai bagian langsung membentuk satuan lingual yang

dimaksud (Sudaryanto, 1993: 13).

Teknik bagi unsur langsung ini juga digunakan untuk mengklasifikasikan

istilah-istilah sesaji dalam tradisi julen selametan giling Pabrik Gula Tasikmadu

yang berbentuk monomorfemis (kata bermorfem satu), polimorfemis (kata

bermorfem yang lebih dari satu), dan frasa (satuan gramatik yang terdiri dari dua

kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa).

Daftar data yang ditemukan

A. Istilah sesaji berbentuk monomorfemis:

(1) ampo [ampo]

(2) ampyang [ampyaŋ]

(3) arak [ara?]

(4) candu [candu]

31

(5) criping [cripIη]

(6) dhele [dhəle]

(7) jadah [ jadah]

(8) jenang [jənaη]

(9) joli [jɔli]

(10) kencur [kəncUr]

(11) kendhi [kənDi]

(12) kopi [kɔpi]

(13) kunci [kunci]

(14) kunir [kunIr]

(15) lempeng [lɛmpɛη]

(16) lenga [ləηɔ]

(17) lombok [lɔmbɔ?]

(18) menyan [məñan]

(19) miri [miri]

(20) nanas [nanas]

(21) rante [rante]

(22) slindur [slindUr]

(23) srondeng [srondɛη]

(24) suruh [surUh]

(25) takir [takIr]

(26) tepas [tepas]

(27) trasi [ trasi]

(28) uyah [uyah]

32

(29) wajik [ wajI?]

(30) wedhak [wədha?]

Data di atas masuk ke dalam monomorfomis karena data tersebut kata

yang terdiri dari satu morfem yang dapat berdiri sendiri (morfem bebas) dan

mempunyai makna. artinya data kata di atas dapat berdiri sendiri tanpa melalui

proses morfologi. Kata ampyang dan menyan merupakan kata dasar karena secara

gramatik kedua kata tersebut dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna, dan

kata tersebut berkategori nomina.

B. Istilah sesaji berbentuk polimorfemis

(31) cok bakal [cɔ? bakal]

(32) gedhang ayu [gəDaη ayu]

(33) jajan pasar [ jajan pasar]

(34) kembar mayang [kəmbar mayaη]

(35) klasa bangka [klɔsɔ bɔηkɔ]

(36) ngantenan [ηantenan]

(37) panjang ilang [panjaη ilaη]

(38) pengilon [pəηilɔn]

(39) sega asahan [səgɔ asahan]

(40) sega golong [səgɔ gɔlɔη]

(41) sega suci [səgɔ suci]

(42) takir ponthang [takIr ponTaη]

Data di atas masuk ke dalam polimorformis berupa kata majemuk

(komposisi). Pemajemukan adalah proses morfemis yang menggabungkan dua

33

morfem dasar (atau pradasar) menjadi satu kata yang namanya kata majemuk atau

kompaun (Verhaar. 2010:154). Berdasarkan penjelasan di atas maka sudah jelas

bahwa pengertian pemajemukan adalah proses morfologis yang menggabungkan

dua kata atau lebih yang keduanya merupakan bentuk dasar yang menghasilkan

gabungan kata yang memiliki arti yang baru yang berbeda dari unsur-unsur

pembentuknya (kata majemuk). Contoh istilah yang berbentuk polimorfemis yang

berupa komposisi dalam penelitian ini di antaranya klasa bangka. Kata klasa

bangka dari kata klasa ‘tikar’ yang berjenis verba dan bangka ‘kaku’ yang

berjenis adjektiva. Agar kata klasa dapat berdiri maka kata klasa harus bergabung

dengan kata atau imbuhan. Sementara, kata bangka merupakan kata yang secara

gramatik dapat berdiri sendiri dalam pertuturan biasa dan memiliki sifat bebas.

Pada istilah klasa bangka kata klasa bergabung dengan kata bangka sehingga

terbentuk kata majemuk klasa bangka. Kata klasa bangka memiliki makna yang

berbeda dari unsur pembentuknya, yaitu sejenis tikar dari pandan dengan ukuran

kecil. Jadi, kata klasa bangka merupakan kata majemuk yang salah satu unsurnya

berupa pokok kata. Sedangkan kata ngantenan [ηantenan] merupakan bentuk dari

proses morfologi .

C. Istilah Sesaji berbentuk frasa

(43) Endhas kebo [ənDas kəbo]

(44) jenang katul [jənaη katUl]

(45) kacang tholo [ kacaη Tolo]

(46) ketan ireng [kətan irəη]

(47) sega thiwul [səgɔ TiwUL]

(48) sekar setaman [ səkar sətaman]

34

(49) tebu wulung [ təbu wulUη ]

Ramlan membatasi frasa sebagai suatu gramatikal yang terdiri dua kata

atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi unsur klausa. Maksud dari frasa

tidak melampaui batas fungsi unsur klausa yaitu frasa itu selalu terdapat dalam

satu fungsi unsur klausa, yaitu subjek, predikat, objek, pelengkap, atau keterangan

(Ramlan, 2005:139).

Ciri-ciri frasa diantaranya dapat diuraikan menurut komponen

pembentuknya dan mempunyai unsur pusat inti dan unsur pendamping

sebagai modifatornya Contoh istilah yang berbentuk frasa dalam penelitian ini

diantaranya ketan ireng. Hal itu dapat dibuktikan Ketan ireng merupakan frasa,

karena kata ketan ireng secara gramatik dapat disisipi sufiks {-e}, ketane ireng

berjenis frasa nomina. Hal itu dapat dibuktikan melalui sekema berikut:

ketan (N)+ ireng (Adj) → ketan ireng (FN)

Berdasarkan skema di atas, unsur pusat dari frasa ketan ireng, yaitu kata ketan

‘jenis beras’ yang berjenis nomina lalu diikuti oleh modifikator berjenis adjektiva,

yaitu kata ireng ‘ hitam‘ sehinga frasa ketan ireng berjenis frasa nomina.

b. Metode Padan

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar,

terlepas dan tidak menjadi bagian yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13).

Metode padan tersebut digunakan untuk menganalisis makna. Metode padan

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode padan refrensial dengan alat

penentunya ialah kenyataan yang ditunjukkan oleh bahasa atau referen bahasa.

Dalam penelitian ini, analisis data juga bersifat kontekstual yaitu analisis data

35

dengan mempertimbangkan konteks budaya yang melatarbelakangi penggunaan

bahasa yaitu mengenai istilah-istilah sesaji tradisi julen giling selamatan Pabrik

Gula Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Adapun penerapan kedua metode

tersebut adalah sebagai berikut:

ampyang [ampyaη]

Makna leksikal ampyang

Ampyang berkategori nomina adalah sebuah makanan khas Jawa yang

berbahan gula Jawa atau gula aren, garam, kacang. Prosesnya gula Jawa atau aren

dan garam direbus sampai mengental disisi lain kacang disangrai setelah itu

dicampur lalu dicetak sesuai selera. Ampyang ini rasanya manis-manis gurih

kesan dari kacang dan garam.

Makna gramatikal

Makna gramatikal cok bakal terdiri dari kata “cok dan “ bakal”. Sehingga

menjadi sebuah makna baru bergabung menjadi satu yaitu cok bakal masuk

kategori polimorfermis.

Makna kultural ampyang

Makna kultural ampyang yaitu sebagai simbol kehidupan supaya

di dalam menjalankan kehidupan di dunia diberi ketentraman, keselamatan, hidup

penuh dengan kedamaian dalam menjalankan pekerjaan setiap hari, di dalam

bermasyarakat diberikan kerukunan antar warga masyarakat yang berujung

dengan kehidupan yang bahagia seperti rasa ampyang yaitu manis dan gurih.

36

Sifat manis dan gurih menandakan kesannya memberikan suasana yang

manis, enak penuh dengan kebahagiaan sehingga tujuannya berakhir dengan

kebahagiaan atau ujung-ujung kehidupan yang mapan.

8. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian analisis data menggunakan metode formal dan

informal. Metode informal yaitu metode penyajian hasil analisis data

yang menggunakan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis

sifatnya (Sudaryanto, 1993:145). Metode ini menyajikan hasil analisis data

dengan bahasa yang sederhana agar dapat mempermudah pemahaman terhadap

hasil penelitian. Metode formal yaitu perumusan data dengan tanda dan

lambang-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Tanda yang dimaksud di antaranya,

tanda kurung siku [ ] dan lain sebagainnya.