bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keamanan kargo merupakan salah satu dari sekian banyak elemen
keselamatan dan keamanan dalam industri penerbangan nasional dan
internasional. Idealnya, pemeriksaan keamanan kargo yang akan diangkut dengan
menggunakan pesawat udara dilakukan guna memastikan terpenuhinya aspek
keamanan dan keselamatan penerbangan. Selanjutnya, pemeriksaan kargo dan pos
idealnya dilakukan oleh badan usaha yang fokus kegiatan usahanya adalah
melakukan pemeriksaan kargo. Pemerintah Indonesia berupaya untuk
meningkatkan pemeriksaan keamanan kargo dalam upaya untuk terus
meningkatkan keamanan dan keselamatan penerbangan secara umum. Meski
demikian, pemerintah menghadapi berbagai tantangan dalam menciptakan proses
pemeriksaan kargo yang efektif. Salah satu tantangan penting muncul dari sisi
badan pemeriksa kargo atau yang lebih dikenal dengan nama Agen Inspeksi
(Regulated Agent). Sebelum membahas masalah ini secara lebih mendalam, Bab
ini akan terlebih dahulu membahas tentang masalah keamanan dan keselamatan
penerbangan.
2
Pengertian dari keselamatan dan keamanan penerbangan diatur dalam
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009. Menurut Pasal 1 Angka 48:
“Keselamatan Penerbangan
adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan
keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara,
angkutan udara, navigasi penerbangan, serta fasilitas penunjang dan fasilitas
umum lainnya”
sementara itu, menurut Pasal 1 Angka 49:
“Keamanan Penerbangan
adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan
kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan
pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas dan prosedur”
Bila ditelaah secara umum, terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi
keselamatan dan keamanan penerbangan, yaitu:
1. Kondisi pesawat terbang
Kondisi pesawat terbang tentunya merupakan faktor penting yang
mempengaruhi keselamatan dan keamanan penerbangan. Yang dimaksud
dengan kondisi pesawat terbang, termasuk bagaimana pesawat terbang:
dirancang, dibuat, dioperasikan, dilengkapi dengan semua perlengkapan
pendukungnya, serta dirawat secara berkala. Hal-hal ini diatur didalam
Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulation).
3
Pada dasarnya, sebuah pesawat terbang harus dipersiapkan dengan tingkat
keamanan dan keselamatan yang tinggi dan sangat ketat. Sebagai contoh:
komponen pesawat yang sudah waktunya diganti harus diganti meskipun
kelihatannya masih berada dalam kondisi baik. Apabila dalam penerbangan
terdapat sistem navigasi atau perangkat yang tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, maka pesawat terbang harus segera kembali ke bandara asal atau
mendarat di bandara terdekat. Selain itu, pelatihan untuk menjaga tingkat
kecapakan pilot dan tim teknisi juga harus dilakukan senantiasa.
2. Sistem penerbangan
Sistem penerbangan merupakan salah satu faktor yang menentukan
keselamatan dan keamanan penerbangan. Sistem penerbangan nasional yang
terintegrasi dengan baik tentunya akan meningkatkan keselamatan dan
keamanan penerbangan. Adapun yang dimaksud dengan sistem penerbangan
meliputi: bandar udara, jalur lalu lintas udara dan mekanisme pengendalian
lalu lintas udara (air traffic controls) yang diatur oleh suatu negara. Termasuk
didalamnya, segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar
udara dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan fungsi keselamatan dan
keamanan arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos,
tempat perpindahan intra dan/atau antar moda.
4
3. Kegiatan operasional maskapai penerbangan
Kegiatan operasional maskapai penerbangan yang dimaksud terutama adalah
yang berkaitan dengan pengendalian dan pengoperasian pesawat terbang oleh
maskapai penerbangan. Kegiatan maskapai penerbangan di Indonesia diatur
antara lain dalam pasal 83 sampai dengan pasal 139 Undang – Undang Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam kegiatan operasionalnya,
maskapai penerbangan memiliki prosedur dan infrastruktur yang dirancang
guna mencegah dan mengatasi masalah keamanan selama penerbangan.
Faktor keamanan dan keselamatan dalam kegiatan operasional maskapai
penerbangan juga sangat berkaitan dengan keamanan bandar udara. Di banyak
negara, keamanan perjalanan udara seluruhnya berpusat di bandar udara.
Selain dari ketiga faktor penting tersebut diatas, faktor kebijakan dan
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, atau fungsi regulator, juga berperan
penting dalam memastikan keselamatan penerbangan. Sebagai regulator,
pemerintah bertugas menerbitkan berbagai aturan, melaksanakan sertifikasi, dan
melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh komponen industri penerbangan
guna menjamin keselamatan dan keamanan transportasi udara. Terkait dengan
fungsi pemerintah sebagai regulator dan sesuai dengan Undang – Undang Nomor
1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pemerintah Indonesia memberlakukan
Program Nasional Keselamatan Penerbangan dan Program Nasional Keamanan
Penerbangan Sipil (National Civil Aviation Security Programme) yang bertujuan
5
untuk keselamatan dan keamanan penerbangan, keteraturan dan keberlanjutan
penerbangan sipil di Indonesia dengan memberikan perlindungan terhadap
penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara, para petugas di darat dan
masyarakat serta instalasi di kawasan bandar udara dari tindakan melawan hukum.
Program Keamanan Penerbangan Nasional (PKPN) bertujuan untuk
melindungi keselamatan, keteraturan dan efisiensi penerbangan di Indonesia,
dengan memberikan perlindungan terhadap penumpang, personel pesawat udara,
para petugas di darat, masyarakat, pesawat udara, instalasi pendukung operasi
penerbangan, penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan, unit-unit
penyelenggara bandar udara, badan usaha bandar udara, badan usaha bandar
udara dan badan usaha angkutan udara dari tindakan melawan hukum mengingat
semakin meningkatnya ancaman terhadap penerbangan. Program Keamanan
Penerbangan Nasional (PKPN) memiliki sifat yang dinamis dan disusun guna
memenuhi ketentuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International
Civil Aviation Organization) Annex 17 tentang Security dan Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Secara historis perkembangan Program Keamanan Penerbangan Nasional
(PKPN) sangat berkaitan dengan evolusi program keamanan penerbangan sipil di
dunia. Pada dasarnya sistem pemeriksaan keamanan penerbangan menjadi lebih
ketat secara signifikan di Amerika Serikat dan seluruh dunia sejak peristiwa
6
pengeboman World Trade Center, New York pada tanggal 11 September 2001.
Administrasi Penerbangan Federal (Federal Aviation Administration/FAA)
menambahkan daftar barang – barang berbahaya yang dilarang dalam
penerbangan berdasarkan ketentuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(International Civil Aviation Organization/ ICAO), termasuk: berbagai alat-alat
rumah tanggal, dan segala bentuk peralatan yang berujung tajam. Pada tanggal 19
November 2001, President George W. Bush menandatangani Aviation and
Transportation Security Act serta membentuk Transportation Security
Administration dibawah Department of Homeland Security. Kanada, negara-
negara anggota Uni Eropa, dan Australia segera menjadi beberapa negara maju
yang serta merta meningkatkan sistem keamanan penerbangan mereka setelah 11
September 2001.
Peristiwa 11 September 2001 juga mengubah industri penerbangan global.
Jumlah penumpang pesawat mengalami penurunan sehingga mengakibatkan
pendapatan industri penerbangan dunia turun dari US$ 329 Miliar (2000) menjadi
US$ 307 Miliar (2001) dan US$ 306 Miliar (2002). Selanjutnya secara global,
industri penerbangan mengalami kerugian sebesar US$ 13 Miliar (2001) dan
US$ 11.3 Miliar (2002). Perusahaan penerbangan seperti Swissair dan Sabena
mengalami kebangkrutan menyusul menurunnya tingkat kepercayaan konsumen
7
terhadap industri penerbangan dan naiknya harga minyak1
Sumber: IATA, 2012
. Guna meningkatkan
kepercayaan konsumen maka secara industri penerbangan sepakat meningkatkan
tindakan-tindakan pengamanan penerbangan. Akibatnya, biaya yang dikeluarkan
untuk keperluan keamanan penerbangan juga mengalami peningkatan, terutama
setelah September 2001 hingga 2002. Saat ini, secara global industri penerbangan
diperkirakan menghabiskan US$ 7.4 Miliar per tahun untuk keperluan keamanan
penerbangan (IATA, 2012). Detail komponen biaya keamanan penerbangan
diberikan oleh Gambar I.1 berikut ini:
Gambar I.1. Komponen Biaya Keamanan dalam Industri Penerbangan Global
(US$ Miliar)
1 The Impact of September 11, 2001 to Aviation. IATA. http://www.iata.org/pressroom/documents/impact-9-11-aviation.pdf
8
Terkait dengan peningkatan keamanan penerbangan, Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO)
sepakat untuk memperluas tujuan mekanisme keamanan penerbangan (aviation
security mechanism) segera setelah peristiwa 11 September 2001. Pada bulan
Oktober 2001, tujuan dari mekanisme keamanan penerbangan (aviation security
mechanism) seperti terlampir dalam ICAO Annex 17 diperluas dengan perubahan
berikut:
1. Melakukan survei keamanan penerbangan internasional dan penilaian secara
rahasia, berdasarkan permintaan, dan merekomendasikan pengenalan metode
keamanan penerbangan sesuai dengan Annex 17 dari Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO) tentang
keamanan penerbangan.
2. Melakukan koordinasi program pelatihan keamanan penerbangan,
menyediakan on-the-job training dan menyediakan beasiswa atau program
sponsor ICAO, menyelenggarakan workshop dengan pilihan topik khusus dan
seminar atau pelatihan di tingkat regional.
3. Menyediakan peralatan keamanan penerbangan, alat bantu pelatihan dan
peralatan lainnya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kemanan penerbangan
4. Melakukan audit keamanan penerbangan skala internasional secara sukarela
dengan tujuan untuk meningkatkan implementasi standar keamanan
penerbangan.
9
Selanjutnya, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil
Aviation Organization/ICAO) juga melakukan amandemen kesepuluh lewat
tambahan persyaratan keamanan terhadap Annex 17. Tambahan persyaratan
keamanan ini berlaku efektif sejak 15 April 2002. Adapun tambahan persyaratan
keamanan tersebut antara lain:
1. Pemeriksaan keamanan terhadap pesawat terbang (aircraft security check)
Termasuk didalamnya pemeriksaan terhadap interior pesawat terbang yang
memiliki akses terbuka terhadap penumpang. Pemeriksaan akan dilakukan
terhadap obyek-obyek mencurigakan, senjata serta berbagai benda berbahaya
lainnya.
2. Pemeriksaan latar belakang (background check)
Pemeriksaan latar belakang mengacu pada pemeriksaan identitas (termasuk
pengalaman kerja dan sejarah kriminal) terhadap personel yang akan
memasuki daerah keamanan terbatas di bandara.
3. Penyaringan (Screening)
Penyaringan (Screening) menambahkan istilah “mengidentifikasi dan/atau”
terhadap persyaratan untuk “mendeteksi senjata, bahan peledak, atau alat
berbahaya lainnya yang mungkin digunakan untuk melakukan suatu tindakan
melanggar hukum”. Screening juga menambahkan tanggung jawab terhadap
operator penyelenggara penyaringan (screening) untuk tidak hanya
menemukan tetapi juga mengidentifikasi berbagai benda berbahaya. Peralatan
10
tambahan seperti mesin X-Ray adalah dibutuhkan untuk dapat melakukan
identifikasi yang efektif.
4. Keamanan (Security)
Kata “internasional” dihilangkan dari “penerbangan sipil internasional
(international civil aviation)” dengan tujuan agar penyelenggaraan
pemeriksaan keamanan dilakukan juga terhadap penerbangan sipil domestik.
5. Daerah Keamanan Terbatas (Security Restricted Areas)
Pengertian daerah keamanan terbatas (security restricted areas) diperluas
dengan mengikutsertakan, untuk pertama kalinya, daerah airside dari bandara
yang aksesnya diawasi. Daerah keamanan biasanya meliputi: area
keberangkatan penumpang (daerah antara pos pemeriksaan keamanan dan
pesawat terbang), jalur yang melandai (ramp), area penyelenggaraan bagasi
(baggage make-up), gudang kargo (cargo sheds), pusat surat dan pos (mail
center), daerah airside katering, dan area kebersihan (airside cleaning services
area). Perubahan dalam Annex 17 memperluas persyaratan keamanan
terhadap area di luar pesawat terbang dan wilayan apron. Dengan demikian,
persyaratan keamanan diberlakukan pada area yang lebih luas. Guna
mengakomodasi perubahan atau amandemen ini maka dibutuhkan
penyesuaian peralatan dan tenaga kerja.
11
6. Tujuan (Objectives)
Tujuan ini mengharuskan setiap negara yang melakukan perjanjian kerjasama
dengan ICAO untuk memastikan penerapan prinsip-prinsip penerbangan sipil
internasional yang dirancang untuk mencegah tindakan melanggar hukum
dalam penerbangan dalam negeri (domestic).
7. Kerjasama Internasional (International Cooperation)
Dalam kerjasama internasional, setiap negara yang tergabung dalam ICAO
diminta saling bertukar informasi sebanyak-banyaknya terkait ancaman
terhadap keamanan penerbangan.
8. Organisasi Nasional dan Otoritas Terkait yang Tepat (National Organization
and Appropriate Authority)
Setiap negara anggota ICAO diwajibkan untuk memberdayakan otoritas yang
tepat dan sesuai untuk mengelola program keamanan penerbangan sipil
nasional. Dalam implementasinya, hal ini melibatkan definisi dan alokasi
tugas serta koordinasi aktivitas antar badan, departemen, dan organisasi lain
dalam suatu negara; belum termasuk bandara dan operator pesawat terbang
serta lembaga-lembaga terkait lainnya. Fungsi koordinasi mestinya dilakukan
oleh Komite Keamanan Penerbangan Nasional yang ditunjuk.
9. Kegiatan dalam Bandara (Airport Operations)
Negara-negara anggota ICAO diminta untuk mengesahkan dan menerapkan
program keamanan bandara pada setiap bandara internasional di negara
12
masing-masing. Program keamanan bandara haruslah tertulis dan
mencantumkan berbagai persyaratan terkait.
Perubahan dalam sistem keamanan penerbangan (aviation security system)
akibat amandemen ICAO Annex 17 juga turut merubah dan membentuk program
keamanan penerbangan nasional. Pemerintah Indonesia memiliki Program
Nasional Keamanan Penerbangan Sipil (National Civil Aviation Security
Programme) yang bertujuan untuk melindungi keselamatan, keteraturan dan
efisiensi penerbangan di Indonesia melalui peraturan, tindakan dan prosedur,
perlindungan yang perlu terhadap tindakan melawan hukum dengan
mempertimbangkan keselamatan, keteraturan dan efisiensi penerbangan. Lebih
lanjut, Program Nasional Keamanan Penerbangan Sipil yang disahkan pada
tanggal 2 Februari 2010 ditujukan untuk melindungi keamanan pesawat udara
yang terdaftar atau beroperasi di Indonesia dan bandar udara di Indonesia.
Pemerintah memandang perlunya paradigma baru bahwa keselamatan
penerbangan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Perusahaan
Penerbangan dan Masyarakat pengguna jasa. Berbagai peraturan yang menjadi
dasar dan terkait dengan Program Nasional Keamanan Penerbangan Sipil
(National Civil Aviation Security Programme) di Indonesia antara lain:
1. Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
13
2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan
Keselamatan Penerbangan;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan;
4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 9 Tahun 2010 tentang Program
Keamanan Penerbangan Nasional;
5. Keputusan Menteri Perhubungan lainnya yang berkaitan dengan keamanan
penerbangan, termasuk didalamnya:
a. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 11/2001 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara.
b. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 54/2004 tentang Program
Nasional Pengamanan Penerbangan.
c. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 25/2008 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Udara.
d. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung
Jawab pengangkut Angkutan Udara.
e. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 92/2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 Tentang
Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara.
6. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara yang berkaitan dengan
keamanan penumpang pesawat terbang, termasuk:
14
a. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor
SKEP/255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Kargo dan Pos yang Diangkut
dengan Pesawat Udara.
b. Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 152/2012
tentang Pengamanan Kargo dan Pos yang Diangkut dengan Pesawat
Udara.
Peraturan-peraturan terkait keamanan penerbangan yang diterapkan oleh
pemerintah seyogyanya meningkatkan keamanan dan memberikan dampak positif
terhadap industri penerbangan dan masyarakat Indonesia. Meski demikian, hal ini
belumlah tercapai dalam masalah pengamanan kargo dan pos yang diangkut
dengan pesawat udara. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan usaha Agen
Inspeksi (Regulated Agent). Berdasarkan ICAO Annex 17, agen inspeksi
(regulated agent) adalah agen, pengirim barang atau entitas lain yang melakukan
bisnis dengan operator dan menyediakan pengawasan keamanan yang diminta dan
dipersyaratkan oleh otoritas yang mengurusi kargo atau pos. Sementara itu,
menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 152/2012,
agen inspeksi (regulated agent) adalah badan hukum Indonesia yang melakukan
kegiatan usaha dengan badan usaha angkutan udara yang memperoleh izin dari
Direktur Jenderal untuk melaksanakan pemeriksaan keamanan terhadap kargo dan
pos.
15
Praktek Agen Inspeksi (Regulated Agent) di Indonesia dimulai pada tanggal
4 Juli 2011. Tepatnya, sejak diberlakukannya Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Udara Nomor SKEP/255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Kargo dan
Pos yang Diangkut dengan Pesawat Udara. Alasan pemerintah menerapkan
praktek agen inspeksi (regulated agent), salah satunya adalah untuk
menyesuaikan dan menerapkan kesepakatan dalam ICAO Annex 17. Diharapkan
dengan adanya agen inspeksi (regulated agent) maka keamanan kargo dan pos
yang diangkut dengan pesawat udara menjadi lebih meningkat. Meski demikian,
implementasi kebijakan agen inspeksi (regulated agent) di bandara kargo
internasional Soekarno-Hatta masih dinilai kurang persiapan, memberikan
dampak negatif bagi aktivitas perdagangan dalam dan luar negeri di Indonesia,
serta meningkatkan biaya logistik secara keseluruhan.
Kebijakan agen inspeksi (regulated agent) telah berkali-kali mengundang
protes di lapangan atau bandara udara Soekarno – Hatta. Sebagai akibatnya,
penerapan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor
SKEP/255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Kargo dan Pos yang Diangkut dengan
Pesawat Udara telah berkali – kali mengalami penundaan. Media massa
menyoroti kegiatan agen inspeksi (regulated agent) yang ditengarai menyebabkan
penumpukan kargo dan pos, terutama akibat lambatnya proses pemeriksaan.
Sementara itu beberapa asosiasi sektoral dalam negeri seperti: Asosiasi Logistik
dan Freight/Forwarder Indonesia (ALFI), Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres
16
Indonesia (ASPERINDO), Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB), Serikat
Perusahaan Pers (SPS) dan PT Pos Indonesia menyampaikan tidak terdapatnya
perubahan pengawasan keamanan kargo dan pos yang signifikan oleh agen
inspeksi (regulated agent). Yang terjadi hanyalah kenaikan biaya screening dari
Rp 60 per kilogram menjadi antara Rp 440 sampai Rp 1,050 per kilogram sudah
termasuk PPn 2
Ketika pada akhirnya diterapkan, kebijakan agen inspeksi (regulated agent)
kembali mendapat protes karena keterlambatan kargo masih saja terjadi (antara 6
– 12 jam). Pemberlakuan Agen Inspeksi (Regulated Agent) untuk kargo
internasional yang sedianya akan diberlakukan secara bersamaan ditunda hingga 3
Oktober 2011. Namun kembali diundur hingga tanggal 4 Januari 2012 untuk
kargo internasional. Salah satu yang masih menjadi kendala adalah penerapan
Agen Inspeksi (Regulated Agent) di kawasan berikat. Di kawasan berikat, barang
sudah diperiksa oleh bea cukai dan disegel. Penerapan Agen Inspeksi (Regulated
Agent) kepada kargo asal kawasan berikat menimbulkan duplikasi pemeriksaan
. Hal ini berakibat pada meningkatkan biaya logistik dan
memberikan dampak negatif terhadap perdagangan (terutama ekspor).
Kementerian Perhubungan akhirnya menunda pemberlakuan Agen Inspeksi
(Regulated Agent) hingga tanggal 4 September 2011 atau setelah musim mudik
Lebaran selesai.
2 Pada akhirnya terjadi kesepakatan dengan Agen Inspeksi (Regulated Agent) untuk menggunakan harga Rp 350/kilogram sampai Rp 450/kilogram
17
keamanan dan menimbulkan ineffisiensi dalam hal waktu dan biaya bagi
pengusaha.
Di awal tahun 2012, jumlah Agen Inspeksi (Regulated Agent) dan jumlah
mesin X-Ray yang terbatas juga menjadi kendala utama. Hanya terdapat 3 (tiga)
Agen Inspeksi (Regulated Agent) yang beroperasi di Bandara Soekarno – Hatta,
yaitu: PT Gatran, PT Putra Avian Prima dan PT Fajar Santosa. Selain itu, ada tiga
perusahaan lagi yang tengah disiapkan yaitu PT Birotika Semesta (DHL Express),
PT Pajajaran Global Service dan PT Angkasa Pura II. Di negara lain seperti
Singapura, jumlah Agen Inspeksi (Regulated Agent) mencapai 100 unit lebih
sehingga mampu mengatasi arus kargo yang tinggi. Perusahaan-perusahaan
angkutan kargo juga tidak harus mendirikan perusahaan baru untuk menjadi agen
inspeksi (regulated agent). Persoalan Agen Inspeksi (Regulated Agent) yang
semakin meningkat kemudian dibahas oleh Tim Kecil yang terdiri Ditjen
Perhubungan Udara, KADIN (Kamar Dagang Indonesia) dan sejumlah asosiasi.
Tim ini melakukan pembahasan terkait penyempurnaan SKEP 255, penghitungan
tarif, dan masalah pelaksanaan Agen Inspeksi (Regulated Agent) di kawasan
berikat.
Selain dibahas oleh Tim Kecil dalam Ditjen Perhubungan Udara, KADIN
(Kamar Dagang Indonesia) dan sejumlah asosiasi, masalah Agen Inspeksi
(Regulated Agent) juga menjadi perhatian Ombudsman RI. Mereka memanggil
18
Kementerian Perhubungan untuk berkonsultasi masalah praktek Agen Inspeksi
(Regulated Agent) dan dampaknya bagi pelaku usaha dan daya saing ekonomi
nasional. Pada tanggal 12 Oktober 2011, Ombudsman RI mengirimkan surat
kepada Direktur Jenderal Perhubungan Udara terkait masalah ini. Setelah melalui
berbagai konsultasi, maka Direktur Jenderal Perhubungan Udara kemudian
merevisi Keputusan No 255/IV/2011 menjadi Keputusan Nomor KP 152/2012.
Setelah memberikan tenggat waktu kurang lebih 3 bulan untuk implementasi
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor KP 152/2012,
Ombudsman RI mengeluarkan pernyataan adanya maladministrasi dalam
penyelenggaraan pemeriksaan keamanan terhadap kargo dan pos yang diangkut
dengan pesawat udara oleh agen inspeksi (regulated agent) sebagaimana diatur
dalam Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP Nomor
255/IV/2011 tentang Pemeriksaan Keamanan Kargo dan Pos yang diangkut
dengan Pesawat Udara, yang kemudian diubah menjadi Peraturan Direktur
Jenderal Perhubungan Udara Nomor 152 Tahun 2012 tentang Pengamanan Kargo
dan Pos yang diangkut dengan Pesawat Udara.
Ombudsman RI merekomendasikan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara
RI untuk:
1. Memperhatikan benar-benar standar keselamatan penerbangan dan
kepentingan Negara Republik Indonesia dalam menciptakan iklim investasi
yang kondusif demi peningkatan pertumbuhan ekonomi, yaitu dengan:
19
a. Memperjelas hubungan antara Agen Inspeksi (Regulated Agent) dengan
BUAU berkenaan dengan tanggung jawab terhadap hasil pemeriksaan
Kargo dan Pos yang diangkut oleh pesawat yang dilakukan oleh Agen
Inspeksi (Regulated Agent)
b. Bahwa pemeriksaan kargo dan pos hanya dilakukan di Lini 1 atau
setidaknya dilakukan dalam area terbatas kawasan Bandar Udara
2. Menetapkan batas atas tarif jasa pemeriksaan kargo dan pos yang dilakukan
oleh Agen Inspeksi (Regulated Agent) berdasarkan perhitungan struktur biaya
yang wajar dan jelas dengan melibatkan dan memperhatikan pendapat para
pemangku kepentingan demi mencegah ekonomi biaya tinggi.
Menanggapi rekomendasi dari Ombudsman RI, sampai dengan saat ini
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara masih melakukan konsultasi dengan
berbagai pihak untuk memperbaiki implementasi kebijakan Agen Inspeksi
(Regulated Agent). Praktek Agen Inspeksi (Regulated Agent) yang terjadi sampai
dengan saat ini adalah belum berubah secara signifikan. Perkembangan
implementasi kebijakan Agen Inspeksi (Regulated Agent) yang sangat dinamis ini
kemudian menarik minat penulis untuk meneliti masalah implementasi kebijakan
agen inspeksi di Indonesia. Selanjutnya, penulis juga tertarik untuk meneliti aspek
persaingan usaha dari kegiatan Agen Inspeksi (Regulated Agent) di Indonesia.
20
B. Perumusan Masalah
Pokok permasalah dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan Agen
Inspeksi (Regulated Agent) dan implikasinya terhadap para pelaku usaha,
persaingan usaha, dan kegiatan usaha kargo di Bandar Udara Internasional
Soekarno – Hatta. Adapun pokok – pokok permasalahan diatas kemudian
dijabarkan dalam pertanyaan – pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Apakah peran Agen Inspeksi (Regulated Agent) dalam menjamin keamanan
kargo udara melanggar ketentuan Undang-Undang Penerbangan?
2. Apakah terdapat praktek persaingan usaha yang tidak sehat dalam kegiatan
usaha Agen Inspeksi (Regulated Agent) di Bandar Udara Internasional
Soekarno – Hatta?
3. Bagaimana peran pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan persaingan
usaha yang sehat di bidang keamanan kargo udara di Bandar Udara
Internasional Soekarno – Hatta?
21
C. Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah literatur dan penelusuran terhadap judul penelitian tesis
yang ada pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, penulis
belum menemukan judul tesis yang terkait dengan masalah kegiatan Agen
Inspeksi (Regulated Agent) di Indonesia.
Penelitian terhadap kegiatan Agen Inspeksi (Regulated Agent) memang
pernah dilakukan oleh para peneliti di luar negeri, seperti oleh para peneliti di Uni
Eropa. Hallside, et.al (2012)3
3
melakukan penelitian terhadap Peraturan Komisi
Uni Eropa No. 1082/2012 terkait Amandemen Peraturan Komisi UE No.
185/2010 tentang Validasi Keamanan Penerbangan di UE (Commission
Regulation (EU) No.1082/2012 amending Commission Regulation (EU)
No.185/2010 in respect of EU Aviation Security Validations), terutama:
implementasi persyaratan pemeriksaan kargo yang datang dari negara-negara di
luar Uni Eropa, serta dampaknya bagi keamanan penerbangan di Uni Eropa
secara umum dan efektivitas proses pemeriksaan kargo. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hallside, et.al (2012) menunjukkan bahwa praktik pemeriksaan
terhadap kargo udara yang datang dari negara-negara di luar Uni Eropa (Air
Cargo or Mail Carrier operating into the Union from a Third Country Airport /
ACC3) oleh Agen Inspeksi (Regulated Agent) yang memiliki standar validasi Uni
http://ec.europa.eu/transport/modes/air/security/doc/new_acc3_regulation_final_report.pdf
22
Eropa adalah menguntungkan bagi proses pemeriksaan keamanan penerbangan di
negara-negara anggota Uni Eropa. Selanjutnya, peraturan ini juga meningkatkan
efisiensi karena mendorong terciptanya koordinasi dan pengawasan yang lebih
baik antara Agen Inspeksi di negara-negara bukan anggota Uni Eropa (ACC3)
dengan pemeriksa kargo dan operator penerbangan di negara-negara anggota Uni
Eropa.
Meski demikian, penelitian ini merujuk pada praktek Agen Inspeksi
(Regulated Agent) di negara – negara anggota Uni Eropa dan bukan Indonesia.
Selanjutnya, hasil penelitian ini juga tidak menyinggung masalah persaingan
usaha. Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka keaslian tesis ini dapat
dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus
dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasionalitas, serta objektivitas. Hal ini
merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga
dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya
secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif
(membangun). Penelitian ini juga menarik untuk dilakukan karena dapat menjadi
pioneer untuk menyelidiki masalah praktek Agen Inspeksi (Regulated Agent) di
Indonesia.
23
D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan pokok – pokok permasalahan dan pertanyaan – pertanyaan
tersebut diatas maka diketahui tujuan dari penelitian dalam thesis ini adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan peran Agen Inspeksi (Regulated Agent) dalam menjamin
keamanan kargo udara di Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta;
2. Menjelaskan keberadaan praktek persaingan usaha yang tidak sehat dalam
kegiatan usaha Agen Inspeksi (Regulated Agent) di Bandar Udara
Internasional Soekarno – Hatta;
3. Menjelaskan peran pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan persaingan
usaha yang sehat di bidang keamanan kargo udara di Bandar Udara
Internasional Soekarno – Hatta.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
hukum, terutama yang berkaitan dengan keamanan penerbangan di Indonesia
serta memperkaya tinjauan atas topik persaingan usaha. Lebih lanjut, penelitian
ini juga penulis harapkan bermanfaat bagi:
24
1. Praktisi Hukum
Bagi praktisi hukum, penelitian ini diharapkan memberikan tambahan
referensi bagi kajian hukum, terutama yang berkaitan dengan keamanan
penerbangan, kargo dan pos yang dikirimkan melalui pesawat udara dan
persaingan usaha di Indonesia.
2. Pengambil Keputusan
Bagi pengambil keputusan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan
masukan (referensi) guna mengembangkan strategi untuk meningkatkan peran
pemerintah dalam mengefisienkan peran Agen Inspeksi (Regulated Agent)
dalam menjamin keamanan kargo dan pos dan penerbangan di masa yang
akan datang.