bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20739/4/chapter...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia
termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun
tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,
sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian
nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan
pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani
dan pengolahan rokok).1
Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.
Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di
Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus
membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya
(barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula
barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang
membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai
1 Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan
Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2. 2 Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara
menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
Universitas Sumatera Utara
barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.
Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan,
dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya
agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah,
termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus
membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu).3
Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih
berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima
tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada
tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008.4 Pengutipan cukai tembakau
tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-
undangan.
Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar
di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri
Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu
besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak
jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6
3 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written
in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.
4 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.
5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.
6 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia.
Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik
dan produk-produk tembakau lainnya. 7 Penerimaan negara melalui Industri Hasil
Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau
yang dihasilkan setiap perusahaan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada
Masyarakat Universitas Jember (LPM UNEJ) pada tahun 2008 menggambarkan
peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai
berikut :
“Dibanding sektor-sektor pertanian yang lain baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan, sektor tembakau memiliki nilai keterkaitan ke belakang untuk output tertinggi setelah sektor unggas dan hasilnya. Sumbangan untuk sektor tembakau (Sektor 11) dan industri rokok (Sektor 34) terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Nilai ini adalah didasarkan dari data I-O Indonesia tahun 2005. Namun, berdasarkan data Dirjenbun, sumbangan sektor tembakau berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2005 bernilai Rp. 17,72544 triliun. Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong industri yang memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang tidak terlalu tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan sektor industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp. 46,195 triliun”.8
7 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com
/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei 2010.
8 LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember : LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.
Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata
13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9
Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah
penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai
hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan
penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan
gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil
Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan
peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.
Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil
tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit
perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor
tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor
tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan
9 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83. 10 Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,
31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
11 Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04 November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.
12 “Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004
– tahun 2008.13
Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap
penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung
maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang,
petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang,
pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan,
periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.14
Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di
Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan
Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan
kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan
Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan
bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk
mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan
ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
13 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68. 14 “Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,
diakses pada 13 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39
Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau
dialokasikan 2% kepada daerah penghasil tembakau.15
Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, diperkirakan sebanyak
Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan
dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Utara.16
Dengan demikian, dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap Pendapatan
Daerah Sumatera Utara adalah meningkatkan pendapatan daerah selama Industri
Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun
harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap
perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang
berbanding terbalik dengan pengembangan Industri Hasil Tembakau. Semakin tinggi
tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri
Hasil Tembakau.17
Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya
dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah
untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan.
Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang
15 Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,
(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.
16 Loc.cit., hal. 86. 17 Ibid., hal. 86-87.
Universitas Sumatera Utara
mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam
mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau telah menyebabkan kondisi
industri ini berada dalam kesulitan yang sangat nyata.18
Meskipun Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi positif bagi
ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi
sejumlah masalah (termasuk Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara), yaitu :
ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau
masih sangat kecil; semakin tingginya kampanye anti merokok; Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) mengenai pengendalian dampak tembakau;
iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok
illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.
Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak
menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa
dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa
peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti
dengan meningkatnya produksi perkebunan tembakau di Indonesia dari tahun 2005 –
tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006,
164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai
172.701 ton. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan lahan
18 Ibid., hal. 87.
Universitas Sumatera Utara
perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun
2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19
Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah
melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun
pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada
tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp.
3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008
mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak
yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan
dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah
baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20
Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan
maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari
Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang
bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan tembakau terjadi pengurangan
lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang
dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut
19 “Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,
http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.
20 Loc.cit., hal. 37-38.
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270
bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali
menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil
lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan
rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770
bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun
2009.21
Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara
sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian
menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,
Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti
rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan
mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis”.22
Dalam lingkungan internasional, Industri Hasil Tembakau dihambat oleh
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health
Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di
Genewa. Diberlakukan tanggal 27 Februari 2005 serta sudah ditandatangani dan
diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention
21 “Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com
/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010. 22 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal
17 Maret 2010).
Universitas Sumatera Utara
on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut
sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu
negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi
tersebut.23
Hal-hal pokok yang diatur dalam Framework Convention on Tobacco Control
antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan,
pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan
penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi
terhadap produk tembakau akan berdampak terhadap penurunan produksi dan
konsumsi tembakau disamping itu akan mendorong peningkatan produksi dan
peredaran rokok tanpa cukai (rokok ilegal).24
Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on
Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai
infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal,
semakin banyak peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu.
Mengenai infrastruktur yang menjadi penghambat dalam perkembangan
Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya
tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga
bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang
masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah
23 “Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net
/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.
24 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 97.
Universitas Sumatera Utara
keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil
Tembakau untuk berkembang.
Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-
retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti
pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada
harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat
Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke
Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan
yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang
dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan
juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat.
Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok
yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.
6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Menurut Thomas Sugijata sebagai
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa :
“...fatwa haram terhadap rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, akan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Mengenai seberapa besar pengaruhnya, baru bisa dihitung satu atau dua bulan setelah fatwa tersebut diberlakukan”.25
Biaya lainnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau yang dikutip sebelum rokok
dipasarkan (dibayar didepan). Dengan peraturan inilah pemerintah menetapkan harga
setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan
25 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan
harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan
dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan
menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan
dan pasokan barang. Apabila penjualan mengalami penurunan, maka pendapatan
perusahaan rokok akan menurun pula.26
Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila
dibandingkan dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk
mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam
negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan
Republik Indonesia mengatakan bahwa :
”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran. Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar
26 Loc.cit., hal. 162.
Universitas Sumatera Utara
Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27
Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada
kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan
tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil
Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret
Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat
memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.
Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau
yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan
Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang
Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan
beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007.
Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang
dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk
mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.28
27 Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan
Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).
28 Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan
Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia (menjabat pada waktu itu)
menyatakan bahwa :
“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin. Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29
Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok
putih, muncul dugaan adanya keterlibatan perusahaan multinasional dalam regulasi
Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau
nasional dengan menggunakan instrumen regulasi cukai dan Framework Convention
on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak
dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil
Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai
rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat
bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli
rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan
ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.
Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan
menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil
29 Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik
Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual
perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,
seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain.
Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil
Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih
kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT.
British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai
bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30
Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah
ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding
Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan
perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran
adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.
Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita
baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan
kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan
Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri
Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama
2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek.
Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan
menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,
30 Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.
Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.
Universitas Sumatera Utara
seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai
lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran
maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang
harus hidup diantara para raksasa rokok.31
Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa
untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh
perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company
dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau
dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup
dan tidak beroperasi lagi.
Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau
sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap
pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam
kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.32
Kebijakan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau cenderung terus
meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi
setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau
untuk menetapkan penerimaan negara. Jadi, konsumsi rokok diperkecil dengan
31 “Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya
Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100. 32 ”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,
www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff
yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat
naik.
Setelah cukai dipungut dari Industri Hasil Tembakau, pemerintah
berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) dengan diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut
digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, lingkungan sosial,
sosialisasi ketentuan di bidang cukai illegal khususnya di Sumatera Utara yang
kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) tersebut disalurkan.
Menurut Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009
tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar
Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan
digunakan sebagai pengendalian dampak tembakau, seperti pembangunan sarana dan
prasarana kesehatan berupa perlengkapan alat-alat kesehatan, pembangunan tempat-
tempat merokok di daerah umum, dan lain sebagainya.
Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Kedua atas
33 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar
dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri
Hasil Tembakau skala menengah-bawah dan Industri Hasil Tembakau skala
menengah-atas. Beberapa tarif yang dibebankan berdasarkan jenis dan golongan
justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala
menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34
Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat
dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi
Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada
Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri
Hasil Tembakau di Sumatera Utara membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil
Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar.
Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau
sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik
dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau,
yakni : peningkatan pendapatan negara melalui cukai tembakau, pengendalian
dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada
perekonomian nasional seperti penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan
rakyat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan Industri Hasil Tembakau.35
34 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53. 35 Ibid., hal. 100.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara?
3. Bagaimana ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek
keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi
Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum
dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara terkait dengan Industri Hasil
Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara
lain :
1. Untuk menganalisis kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau
di Sumatera Utara.
3. Untuk menganalisis ketentuan pembagian cukai hasil tembakau yang ditinjau
dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau
dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Industri Hasil Tembakau dalam
mengambil langkah yang ditempuh untuk membela industri
menengah-kecil agar menghindari kerugian perusahaan akibat
kebijakan single tariff.
b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) agar
terbentuk peraturan atau kebijakan yang mampu menciptakan
kestabilan, keterprediksian, dan keadilan bagi seluruh anggota
masyarakat.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada
lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa
penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil
Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait,
et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian
Universitas Sumatera Utara
yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi.
Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai
tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan
masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya
ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi,
permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
Penelitian tesis ini menggunakan teori hukum mengenai “peranan hukum
dalam kegiatan ekonomi“ (rule of law in economic development), teori analisis
ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).
Dalam analisis hukum mengenai peranan hukum dalam kegiatan ekonomi
digunakan teori Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa :
”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan”.36
36 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 106-107.
Universitas Sumatera Utara
Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan
ekonomi, apabila peraturan hukum yang dihasilkan memenuhi unsur stabilitas
(stability), keterprediksian (predictability) dan berkeadilan (fairness).
Peraturan hukum dapat menciptakan stabilitas jika peraturan hukum tersebut
memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh
budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan
tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan
para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan
kebijakan tarif cukai.
Prediktabilitas dari peraturan hukum akan membantu para pelaku ekonomi
dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasi kegiatan ekonomi yang lebih
efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian
hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial,
dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat
memprediksi seluruh ketentuan yang berlaku.
Keadilan hukum akan memberikan hak dan kewajiban secara berimbang
kepada setiap orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, akomodatif terhadap
berbagai kepentingan dan melindungi pihak-pihak yang kurang beruntung. Peraturan
berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya
mementingkan penerimaan negara tetapi juga harus memperhatikan dampak
kesehatan dan lebih berpihak kepada Industri Hasil Tembakau.
Mengenai keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya
dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai
Universitas Sumatera Utara
kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya.
Hukum di bidang ekonomi dengan demikian harus berimbang dalam mengatur
kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan
implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan
negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk
menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui
hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih
menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.37
Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang
menyatakan bahwa :
”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.38
Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum
berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang
melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,
contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum
berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun
tidak terlepas dari pengendalian kesehatan masyarakat oleh pemerintah.
37 Ibid., hal. 108. 38 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan
pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu
meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan
legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39
Hukum ekonomi di Indonesia menjamin kepastian hak setiap orang untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi,
peluang-peluang ekonomi yang ada untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya.
Oleh karena itu, hukum di Indonesia tidak menghendaki adanya konsentrasi
penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi
ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi.
Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai
Tembakau adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi kepentingan nasional
tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil
Tembakau.
Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan
fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan
Pemerintah. Banyak pandangan yang mengisyaratkan bahwa kebijakan cukai yang
ditetapkan oleh pemerintah tidak konsisten dengan Roadmap Industri Hasil
Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri
Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja
yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten
dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara
39 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek
penerimaan negara. Kebijakan yang demikian sangat dikhawatirkan akan menekan
Industri Hasil Tembakau Indonesia, khususnya Industri Hasil Tembakau yang
berskala kecil dan menengah. Kebijakan yang demikian diprediksikan akan
menimbulkan kecenderungan semakin menyempitnya ruang kesempatan berusaha
bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil
Menengah. Produktifitas Industri Hasil Tembakau akan menurun, rasionalisasi tenaga
kerja, kehilangan pendapatan dan penurunan tingkat kesejahteraan adalah peluang-
peluang yang sangat mungkin terjadi.40
Keadaan ini akan diperburuk oleh sejumlah permasalahan domestik yang
dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang
kurang kondusif, infrastruktur yang kurang mendukung, masalah bahan baku,
ekonomi biaya tinggi dan semakin maraknya produk rokok ilegal.41
Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil
Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing,
dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan
perusahaannya melalui restrukturisasi perusahaan, baik dengan menggunakan metode
merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) atau menyerahkan perusahaan untuk
diakuisisi (pengambilalihan) oleh perusahaan-perusahaan yang lebih kuat. Praktik
monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena
keadaan-keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, akan menyisakan beberapa
40 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109. 41 Ibid., hal. 110.
Universitas Sumatera Utara
pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat,
tidak tertutup kemungkinan adalah Industri Hasil Tembakau asing.42
Tidak disangkal bahwa hasil Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok,
memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan
masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat
luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan
akomodatif terhadap berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Tidak
dikehendaki adanya kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan secara
proporsional dampak yang mungkin timbul dari regulasi yang dikeluarkan.43
Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan
bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak.
Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi,
untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di
Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah
pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.
Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep
yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi
operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :
42 Ibid. 43 Ibid., hal. 111.
Universitas Sumatera Utara
1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau
mendistribusikan atau memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan dari
pengolahan tembakau.44
2. Manfaat ekonomi adalah berkaitan dengan penerimaan negara untuk
meningkatkan pendapatan negara melalui cukai yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat dan pemerintah.
3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil
tembakau, Framework Convention on Tobacco Control, Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, peraturan daerah yang melarang merokok pada tempat-tempat
tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak
mendukung, dan ketersediaan bahan baku.
4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.
181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.
5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan
oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi
Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009
atau penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang diterapkan di
Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil tembakau sebesar 2%.
6. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam
undang-undang.45 Dalam tulisan ini adalah cukai hasil tembakau.
44 Ibid. 45 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti
Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain
sebagainya.
8. Hukum adalah setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang
terkait dengan pengaturan industri hasil tembakau.46
9. Industri Rokok adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau
memasarkan atau menjual hasil olahan tembakau berupa rokok.47
10. Roadmap Industri Hasil Tembakau adalah program pemerintah yang
dicanangkan sejak tahun 2007 – 2020 untuk mengembangkan Industri Hasil
Tembakau.
11. Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan
tembakau/produk keluaran dikenakan cukai dengan tarif yang sama.
12. Transaction Cost adalah biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung
oleh Industri Hasil Tembakau untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.48
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
46 Loc.cit., hal. 112. 47 Ibid. 48 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.
Universitas Sumatera Utara
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan
pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun
masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode
etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak
mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri; 9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan
plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 51
49 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2. 50 Ibid. 51 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif. 52 Dengan demikian objek penelitian adalah norma
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di
Sumatera Utara.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam
melakukan pengkajian kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera
Utara. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini
menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.
52 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan
batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.53
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi terhadap kebijakan tarif
dalam Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan
dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : Undang-
Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-Undang No. 16 Tahun
1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau
(Staatsblad 1932 No. 517) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan diubah kembali dengan Undang-
Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11
Tahun 1995 tentang Cukai dan peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
53 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Tidak Sehat, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang
No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; juga
sejumlah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait Penetapan
Tarif Cukai Hasil Tembakau, seperti Peraturan Menteri Keuangan No.
43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil
Tembakau, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri
Keuangan No. 43/PMK.04/2005, diubah kembali dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga, dan Peraturan
Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil
Tembakau.
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan seperti Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 yang
dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi
kepustakaan 54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang
dipandang relevan, antara lain instansi terkait dan pelaku usaha Industri Hasil
Tembakau. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara.
Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain
bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan
sejumlah informan yang dipandang relevan yaitu : pengelola/pengurus perusahaan
rokok dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara di Medan, dengan
metode wawancara mendalam (in-depth interview)55. Informan yang dipilih adalah
yang terlibat langsung dalam penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBH CHT) yaitu Dinas Pendapatan Daerah pada tingkat Pemerintah Provinsi
maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.
54 Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai
keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
55 Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka
ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis
proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik
informasi, data, dan proses suatu fenomena.56
Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan
sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya
terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan
prediktabilitas hukum, mencari keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.57
Analisis dilakukan secara holistik58 dan integral untuk menemukan hubungan
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi hubungan antara kebijakan tarif cukai hasil tembakau,
penerimaan negara, peran ekonomi Industri Hasil Tembakau dalam hal Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil
56 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153. 57 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,
dalam Burhan Bungin, Op.cit., hal. 144-145. 58 Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 13 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
Menengah, dampak negatif hasil tembakau, dan lain-lain yang ditemukan dalam
penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.59
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi
seluruh bagian dari Industri Hasil Tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau
agar menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.60
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah
dalam kebijakan tarif cukai hasil tembakau terhadap industri hasil tembakau di
Sumatera Utara. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan
melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama
sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka
59 Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.
60 Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang
digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan
pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori
tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2) apakah teori
dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan
karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah
berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; 3) apakah
membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka
semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan
fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau
direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan
menggunakan teori baru.61
61 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.
Universitas Sumatera Utara