bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20739/4/chapter...

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi, sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani dan pengolahan rokok). 1 Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara. Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya (barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai 1 Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2. 2 Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009). Universitas Sumatera Utara

Upload: doankhanh

Post on 13-Apr-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia

termasuk Indonesia. Produk tembakau yang utama diperdagangkan adalah daun

tembakau dan rokok. Tembakau dan rokok merupakan produk bernilai tinggi,

sehingga bagi beberapa negara termasuk Indonesia berperan dalam perekonomian

nasional, yaitu sebagai salah satu sumber devisa, sumber penerimaan pemerintah dan

pajak (cukai), sumber pendapatan petani dan lapangan kerja masyarakat (usaha tani

dan pengolahan rokok).1

Tembakau adalah jenis komoditi yang dikenakan cukai oleh negara.

Penerapan cukai terhadap tembakau sudah dilaksanakan pada zaman kerajaan di

Indonesia. Para pedagang yang melakukan perdagangan di Indonesia harus

membayar cukai terlebih dahulu sebelum diperbolehkan menjual dagangannya

(barrier tariff). 2 Selain membayar cukai, para pedagang juga harus membayar pula

barang persembahan untuk raja, bendahara, tumenggung, dan syahbandar yang

membawahinya. Keseluruhan persembahan ini berjumlah 1% atau 2% dari nilai

1 Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti, Dinamika Agribisnis Tembakau Dunia dan

Implikasinya bagi Indonesia, (Bogor : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)., hal. 2. 2 Barrier Tariff adalah salah satu hambatan dalam perdagangan dunia dimana negara

menerapkan hambatan terhadap transaksi-transaksi bisnis internasional dengan cara memberlakukan tarif baru untuk masuk karena hal ini dapat melindungi pasar domestik sehingga membuat barang yang masuk menjadi mahal dibanding dengan produk lokal. Mahmul Siregar, “Catatan Perkuliahan : Hukum Transaksi Bisnis Internasional”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).

Universitas Sumatera Utara

barang yang dibawa masuk, besarnya ditetapkan oleh syahbandar yang bersangkutan.

Namun, adakalanya pedagang memberikan jumlah yang lebih dari yang diharuskan,

dengan maksud agar syahbandar dapat ”membujuk” raja dan pegawai-pegawainya

agar perdagangannya lebih berhasil. Jika pedagang menetap pada suatu daerah,

termasuk orang Melayu, harus membayar pajak 3%, disamping itu mereka harus

membayar 6% pajak kerajaan (3% untuk orang Melayu).3

Pengutipan cukai tembakau pada zaman kerajaan tersebut di atas masih

berlangsung sampai sekarang. Penerimaan negara terutama dari cukai dalam lima

tahun terakhir memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada

tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008.4 Pengutipan cukai tembakau

tersebut dilakukan dengan cara yang legal, didasarkan pada peraturan perundang-

undangan.

Industri Hasil Tembakau secara umum merupakan penyumbang cukai terbesar

di berbagai negara penghasil tembakau di dunia, juga bagi Indonesia.5 Cukai Industri

Hasil Tembakau menyumbang Rp. 54,4 triliun pada tahun 2009, dana yang begitu

besar ini jauh lebih tinggi dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan serta pajak

jenis lainnya di luar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).6

3 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tomé Pires, From The Red Sea to Japan Written

in Malacca and India (1512-1515), Volume I, Hakluyt Society, (Nederland : Kraus Reprint Limited Nendeln/Liechtenstein, 1967), hal. 135-136, dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Vol. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 1992), hal. 153.

4 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, (Medan : Universitas Sumatera Utara, 2009), hal. 83.

5 Anton Rahmadi, ”Efektivitas Fatwa Haram Rokok dan Alternatif Industri Tembakau”, http://belida.unmul.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=86&Itemid=2., diakses pada 26 Mei 2010.

6 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan daun tembakau di seluruh dunia.

Hampir seluruh produksi daun tembakau digunakan untuk produksi rokok domestik

dan produk-produk tembakau lainnya. 7 Penerimaan negara melalui Industri Hasil

Tembakau diterima dengan cara menerapkan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau

yang dihasilkan setiap perusahaan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pengabdian kepada

Masyarakat Universitas Jember (LPM UNEJ) pada tahun 2008 menggambarkan

peran penting tembakau dan industri rokok dalam perekonomian nasional sebagai

berikut :

“Dibanding sektor-sektor pertanian yang lain baik tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan, sektor tembakau memiliki nilai keterkaitan ke belakang untuk output tertinggi setelah sektor unggas dan hasilnya. Sumbangan untuk sektor tembakau (Sektor 11) dan industri rokok (Sektor 34) terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Nilai ini adalah didasarkan dari data I-O Indonesia tahun 2005. Namun, berdasarkan data Dirjenbun, sumbangan sektor tembakau berbagai jenis terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2005 bernilai Rp. 17,72544 triliun. Industri rokok memiliki posisi peringkat ke-34 dari 66 sektor I-O perekonomian di Indonesia pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan bahwa industri rokok berperan penting dalam memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto di Indonesia. Industri hasil rokok ternyata tergolong industri yang memiliki nilai keterkaitan output ke depan dan belakang tidak terlalu tinggi. Sumbangan untuk sektor tembakau dan sektor industri rokok terhadap Produk Domestik Bruto secara nasional adalah Rp. 46,195 triliun. Besar pendapatan nasional yang akan hilang apabila sektor tembakau dan industri rokok tidak dimasukkan dalam perekonomian nasional adalah Rp. 46,195 triliun”.8

7 ”Struktur Industri dan Pertanian Tembakau”, http://www.naikkan-hargarokok.com

/tfiles/file/BukuEkonomiTembakauInd/EkonomicTobaccoIndonesiaBabV.pdf., diakses pada 21 Mei 2010.

8 LPM UNEJ, ”Laporan Penelitian Tembakau dan Industri Rokok : Perspektif Petani, Perilaku Konsumsi, Serapan Tenaga Kerja dan Kontribusinya terhadap Perekonomian Nasional”, (Jember : LPM UNEJ & GAPPRI, 2008), hal. VII – 5., dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 89.

Universitas Sumatera Utara

Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.

Pengutipan cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata

13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. 9

Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah

penerimaan cukai pada tahun 2008.10 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai

hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun.11 Pada tahun 2010 ini ditargetkan

penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun. 12 Berdasarkan

gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari Industri Hasil

Tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan

peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan.

Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil

tembakau juga memegang peranan yang cukup penting. Meskipun mengalami sedikit

perlambatan pertumbuhan pada tahun 2008, namun secara keseluruhan nilai ekspor

tembakau menunjukkan tren yang terus meningkat. Secara rata-rata nilai ekspor

tembakau mencatat pertumbuhan sebesar 9,2% dalam lima tahun terakhir, dengan

9 Wisnu Hendratmo, ”Industri Hasil Tembakau dan Peranannya dalam Perekonomian

Nasional”, (Media Industri No. 2, 2009)., hal. 53, dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 83. 10 Anton Aprianto, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo,

31 Desember 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231-153253,id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

11 Agoeng Wijaya, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, 04 November 2009, http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104-206424, id.html., diakses pada 26 Mei 2010.

12 “Genjot Cukai Tembakau Guna Penuhi Target APBN 2010”, Majalah Warta Ekonomi, 19 November 2009, http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com content&view= article&id=3558:genjot-cukai-tembakau-guna-penuhi-target-apbn-2010-&catid=53:aumum., diakses pada 26 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

rata-rata nilai ekspor mencapai sebesar US$. 65,7 juta dalam kurun waktu tahun 2004

– tahun 2008.13

Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap

penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung

maupun tidak langsung, pada tahun 2008 Industri Hasil Tembakau mampu menyerap

tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang,

petani cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang,

pengecer rokok/ pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan,

periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.14

Salah satu obyek yang dapat menjadi sumber penerimaan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) adalah cukai rokok. Dengan berkembangnya industri rokok di

Sumatera Utara, pemerintah daerah memiliki potensi yang cukup besar untuk

meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya. Hal ini berkaitan dengan

Peraturan Menteri Keuangan No.84/PMK.07/2008 mengenai Dana Bagi Hasil Cukai

Hasil Tembakau (DBH CHT). Pada tahun 2010, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

Tembakau (DBH CHT) digunakan untuk pembinaan kemampuan dan keterampilan

kerja masyarakat di lingkungan Industri Hasil Tembakau dan daerah penghasil bahan

Industri Hasil Tembakau, peningkatan sarana dan prasarana kelembagaan pelatihan

bagi tenaga kerja Industri Hasil Tembakau. Hal ini dilakukan semata untuk

mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, dan mendorong pertumbuhan

ekonomi di daerah penghasil tembakau. Kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil

13 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 68. 14 “Produksi Rokok Akan Dibatasi”, http://bataviase.co.id/detailberita-10376818.html.,

diakses pada 13 Juni 2010.

Universitas Sumatera Utara

Tembakau (DBH CHT) ini sudah dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 39

Tahun 2007 tentang Cukai diatur bahwa dari penerimaan cukai hasil tembakau

dialokasikan 2% kepada daerah penghasil tembakau.15

Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut, diperkirakan sebanyak

Rp. 900 miliar, atau 2% dari penerimaan cukai tembakau pada tahun 2009, akan

dibagikan kepada 5 provinsi penghasil cukai tembakau, yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Utara.16

Dengan demikian, dampak kenaikan tarif cukai rokok terhadap Pendapatan

Daerah Sumatera Utara adalah meningkatkan pendapatan daerah selama Industri

Hasil Tembakau di provinsi tersebut dapat terus berkembang secara optimal. Namun

harus diingat bahwa instrumen kebijakan ’Cukai’ akan sangat menentukan terhadap

perkembangan Industri Hasil Tembakau. Hal ini didasarkan pada fungsinya yang

berbanding terbalik dengan pengembangan Industri Hasil Tembakau. Semakin tinggi

tarif cukai ditetapkan, maka akan semakin besar pula beban yang dipikul Industri

Hasil Tembakau.17

Oleh karena itu dampak dari kenaikan cukai hasil tembakau hendaknya

dipikirkan secara matang oleh pemerintah karena bukanlah suatu hal yang mudah

untuk diterapkan dalam waktu dekat ini, tanpa harus menimbulkan pengorbanan.

Seperti diketahui, kondisi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara saat ini sedang

15 Sri Mulyani Indrawati, ”Optimalisasi DBH CHT untuk Menunjang Pembangunan Daerah”,

(Solo : Pidato Sambutan Tertulis dibacakan oleh Lisbon Sirait, 2010), sebagaimana dimuat dalam ”Pemerintah : Kurangi Dampak Kenaikan Cukai Tembakau”, http://www.antaranews.com/berita/1269447624/pemerintah-kurangi-dampak-kenaikan-cukai-tembakau., diakses pada 31 Mei 2010.

16 Loc.cit., hal. 86. 17 Ibid., hal. 86-87.

Universitas Sumatera Utara

mengalami persoalan yang serius. Kurangnya peranan pemerintah daerah dalam

mendukung pengembangan Industri Hasil Tembakau telah menyebabkan kondisi

industri ini berada dalam kesulitan yang sangat nyata.18

Meskipun Industri Hasil Tembakau memberikan kontribusi positif bagi

ekonomi nasional, akan tetapi Industri Hasil Tembakau itu sendiri menghadapi

sejumlah masalah (termasuk Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara), yaitu :

ketersediaan bahan baku (tembakau), karena sebahagian diimpor; Dana Bagi Hasil

Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan ke Industri Hasil Tembakau

masih sangat kecil; semakin tingginya kampanye anti merokok; Framework

Convention on Tobacco Control (FCTC) mengenai pengendalian dampak tembakau;

iklim usaha yang tidak baik, seperti infrastruktur dan keamanan; peredaran rokok

illegal; kebijakan tarif cukai yang merupakan hambatan dalam hal regulasinya.

Masalah ketersediaan bahan baku yang masih kurang akan tetapi tidak

menjadi kendala bagi Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara, karena masih bisa

dipenuhi dengan pasokan tembakau dari luar Sumatera Utara. Mencerminkan bahwa

peredaran dan distribusi bahan baku baik dilaksanakan oleh pemerintah. Terbukti

dengan meningkatnya produksi perkebunan tembakau di Indonesia dari tahun 2005 –

tahun 2009 yaitu sebesar 153.470 ton di tahun 2005, 146.265 ton di tahun 2006,

164.851 ton di tahun 2007, 169.668 ton di tahun 2008, dan di tahun 2009 mencapai

172.701 ton. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan peningkatan lahan

18 Ibid., hal. 87.

Universitas Sumatera Utara

perkebunan tembakau dari tahun 2005 – tahun 2009 yaitu 198.212 ha pada tahun

2005 dan meningkat terus sampai tahun 2009 adalah 212.698 ha.19

Selanjutnya mengenai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

yang dibagikan kepada setiap provinsi masih minim. Dari pendapatan pemerintah

melalui cukai memberikan masukan bagi penerimaan negara sebesar Rp. 54,4 triliun

pada tahun 2009 yang diterima oleh Sumatera Utara adalah Rp. 1,42 miliar pada

tahun 2008, sedangkan pada tahun 2009 (alokasi sementara) akan mendapatkan Rp.

3,9 miliar. Untuk pemerintah provinsi Sumatera Utara, dengan jatah 30% dari total

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) Sumut, maka pada tahun 2008

mendapat Rp. 428,09 juta, dan tahun 2009 mendapat Rp. 1,17 miliar. Ketentuan soal

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) ini jelas memberikan dampak

yang signifikan pada pendapatan daerah, meski dengan nilai yang tidak besar, dan

dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang sudah

baku dan tidak memungkinkan adanya improvisasi lain oleh pemerintah daerah.20

Terhambatnya perkembangan Industri Hasil Tembakau juga dipicu dengan

maraknya kampanye anti merokok di Eropa yang mengakibatkan Tembakau Deli dari

Sumatera Utara berkurang. Dapat dilihat data dari PT. Perkebunan Nusantara 2 yang

bidang usahanya bergerak dalam sektor perkebunan tembakau terjadi pengurangan

lahan untuk ladang pertanaman yakni 475 ladang di tahun 2009 menjadi 452 ladang

dengan produksi seluas 0,8 ha. Dengan berkurangnya jumlah ladang tersebut

19 “Hari Perkebunan 10 Desember, Merajut Sejarah Panjang Perkebunan Indonesia”,

http://ditjenbun.deptan.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:hari-perkebunan-10-desember-merajut-sejarah-panjang-perkebunan-indonesia&catid=36:news., diakses pada 15 Juni 2010.

20 Loc.cit., hal. 37-38.

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan produksi tembakau deli menurun yakni di tahun 2008 mencapai 2.270

bal yang masing-masing bal berukuran sekitar 72 – 80 kg dan di tahun 2009 kembali

menurun menjadi 750 – 800 bal karena sedikitnya pertanaman. Berdasarkan hasil

lelang 2009 sebanyak 2.270 bal, yang mampu terjual hanya berkisar 1.500 bal dengan

rata-rata harga €. 30,- /kg. Untuk sisa produksi yang belum terjual tersebut yakni 770

bal akan dilelang kembali di tahun 2010 ditambah dengan produksi tanam tahun

2009.21

Iklan rokok juga sebagai hambatan Industri Hasil Tembakau, sebelum

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) disusun pada setiap negara

sudah didengung-dengungkan mengenai gerakan anti rokok yang kian hari kian

menguat. Menurut Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan,

Anggito Abimanyu mengenai iklan kampanye anti rokok bahwa ”...kampanye anti

rokok ini juga menghambat perkembangan Industri Hasil Tembakau dan

mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara secara drastis”.22

Dalam lingkungan internasional, Industri Hasil Tembakau dihambat oleh

Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Framework Convention on

Tobacco Control (FCTC) merupakan konvensi yang dirancang oleh World Health

Organization (WHO) sejak tahun 1999 dan ditetapkan tanggal 28 Mei 2003 di

Genewa. Diberlakukan tanggal 27 Februari 2005 serta sudah ditandatangani dan

diratifikasi lebih dari 40 negara. Sampai dengan Juni 2008, Framework Convention

21 “Kampanye Anti Rokok Tekan Tembakau Deli”, http://www.sumatrabisnis.com

/industri/agribisnis/1id4667.html., diakses pada 15 Juni 2010. 22 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, (Jakarta : Harian Suara Pembaruan, tanggal

17 Maret 2010).

Universitas Sumatera Utara

on Tobacco Control sudah ditandatangani lebih dari 168 negara dari jumlah tersebut

sebanyak 157 negara yang sudah melakukan ratifikasi. Indonesia termasuk salah satu

negara yang sampai saat ini belum menandatangani dan meratifikasi konvensi

tersebut.23

Hal-hal pokok yang diatur dalam Framework Convention on Tobacco Control

antara lain meliputi : penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan,

pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur dan pelarangan

penjualan rokok dalam batangan/dalam jumlah kecil. Penerapan pajak yang tinggi

terhadap produk tembakau akan berdampak terhadap penurunan produksi dan

konsumsi tembakau disamping itu akan mendorong peningkatan produksi dan

peredaran rokok tanpa cukai (rokok ilegal).24

Hambatan Industri Hasil Tembakau tidak sampai Framework Convention on

Tobacco Control melainkan sampai ke permasalahan domestik yaitu mengenai

infrastruktur, keamanan, transaction cost yang tinggi, maraknya rokok illegal,

semakin banyak peraturan daerah tentang larangan merokok di tempat-tempat tertentu.

Mengenai infrastruktur yang menjadi penghambat dalam perkembangan

Industri Hasil Tembakau adalah tentang kurangnya daya listrik menimbulkan biaya

tambahan bagi perusahaan rokok untuk menyediakan motor diesel (genset) dan juga

bahan bakarnya yang tidak lain membutuhkan biaya tambahan ekstra, jalan raya yang

masih banyak rusak menyebabkan pengiriman barang menjadi lambat. Masalah

23 “Pemerintah Minta Masukan LSM Soal Pengesahan FCTC”, http://erabaru.net

/nasional/50-jakarta/8294-pemerintah-minta-masukan-lsm-soal-pengesahan-fctc., diakses pada 15 Juni 2010.

24 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 97.

Universitas Sumatera Utara

keamanan juga menjadi faktor penting bagi perusahaan rokok atau Industri Hasil

Tembakau untuk berkembang.

Transaction cost dapat dikaitkan dengan adanya pungli dan juga retribusi-

retribusi akibat perda-perda yang notabene meningkatkan pendapatan daerah. Seperti

pembuatan izin-izin usaha yang tidak satu pintu, setiap perusahaan rokok yang ada

harus mempunyai izin-izin usaha yang diurus satu persatu. Mulai dari Surat

Keterangan Domisili dari kelurahan yang ditandatangani oleh Camat. Selanjutnya ke

Surat Izin Usaha Perusahaan, Surat Izin Gangguan, dan Tanda Daftar Perusahaan

yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Setiap izin yang

dikeluarkan selalu membutuhkan biaya retribusi resmi dari pemerintah daerah dan

juga ’ongkos’ pengurusan yang dikutip melalui pejabat setempat.

Belum lagi masalah Fatwa Haram Majelis Ulama Indonesia mengenai rokok

yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah No.

6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Menurut Thomas Sugijata sebagai

Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menyebutkan bahwa :

“...fatwa haram terhadap rokok yang dikeluarkan Muhammadiyah, akan mempengaruhi penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Mengenai seberapa besar pengaruhnya, baru bisa dihitung satu atau dua bulan setelah fatwa tersebut diberlakukan”.25

Biaya lainnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Tembakau yang dikutip sebelum rokok

dipasarkan (dibayar didepan). Dengan peraturan inilah pemerintah menetapkan harga

setiap batangnya rokok yang dijual dibebankan kepada pemakai, tapi dibayarkan

25 “Pemerintah Masih Dukung Industri Rokok”, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

terlebih dahulu oleh Industri Hasil Tembakau. Penerapan peraturan ini menyebabkan

harga naik hingga 36%, jika harga naik maka yang berlaku adalah hukum permintaan

dan penawaran, yaitu apabila harga naik maka permintaan akan menurun, permintaan

menurun begitu juga dengan harga penjualan akan menurun mengikuti permintaan

dan pasokan barang. Apabila penjualan mengalami penurunan, maka pendapatan

perusahaan rokok akan menurun pula.26

Kebijakan tarif yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri

Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau apabila

dibandingkan dengan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 bervisi untuk

mewujudkan Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam

negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan yang dikeluarkan oleh

Departemen Perindustrian Republik Indonesia, maka Departemen Keuangan

Republik Indonesia mengatakan bahwa :

”...merupakan tahapan simplifikasi tarif cukai menuju ke arah single spesifik yang nantinya hanya membedakan tahapan simplifikasi tarif cukai antara produk hasil tembakau yang dibuat dengan mesin dan dengan tangan. Dalam kebijakan cukai tahun 2010, sistem tarif cukai meneruskan kebijakan yang telah diambil pada tahun 2009, yaitu sistem tarif spesifik untuk semua jenis hasil tembakau dengan tetap mempertimbangkan batasan produksi dan batasan harga jual eceran. Pertimbangan atas batasan harga jual eceran ini dilakukan mengingat varian harga jugal eceran yang masih berlaku dalam sistem tarif cukai sebelumnya sangat tinggi sehingga tidak memungkinkan disimplifikasikan secara langsung melainkan dilakukan secara bertahap. Namun demikian, beban cukai secara keseluruhan mengalami kenaikan dengan besaran kenaikan beban cukai cukup bervariasi. Kenaikan yang dilakukan pada Golongan I dimaksudkan untuk mencapai target penerimaan negara dan pengendalian konsumsi hasil tembakau. Kenaikan tarif cukai yang lebih besar pada Sigaret Putih Mesin diambil dalam rangka menghapus konversi atau menuju tarif cukai yang sama dengan Sigaret Kretek Mesin. Besaran kenaikan tarif cukai tahun 2010 untuk sigaret adalah Sigaret Kretek Mesin I rata-rata sebesar Rp. 20,-; Sigaret Kretek Mesin II sebesar

26 Loc.cit., hal. 162.

Universitas Sumatera Utara

Rp. 20,-; Sigaret Putih Mesin I sebesar Rp. 35,-; Sigaret Putih Mesin II sebesar Rp. 28,-; Sigaret Kretek Tangan I sebesar Rp. 15,-; Sigaret Kretek Tangan II sebesar Rp. 15,-; dan Sigaret Kretek Tangan III sebesar Rp. 25,-”.27

Penerapan cukai tembakau sedikit demi sedikit akan mengarah kepada

kebijakan single spesifik atau dapat juga disebut dengan single tariff, yaitu kebijakan

tarif cukai tembakau yang menyamaratakan cukai antar setiap golongan Industri Hasil

Tembakau baik itu Sigaret Putih Mesin, Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret

Kretek Tangan (SKT). Dengan diberlakukannya kebijakan single tariff tersebut dapat

memberatkan pelaku usaha dalam skala kecil dan menengah.

Dasar hukum cukai sebagai instrumen pengendali Industri Hasil Tembakau

yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 1956 tentang Pengubahan dan Penambahan

Ordonansi Cukai Tembakau, yang menggantikan Staatsblad 1932 No. 517 tentang

Ordonansi Cukai Tembakau merupakan produk kolonial Belanda. Sejak

diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai menggantikan

beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda tersebut yang sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang 39 Tahun 2007.

Tujuan dari cukai adalah untuk menghambat pemakaian barang-barang yang

dikenakan masuk ke dalam karakteristik undang-undang di atas guna untuk

mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keseimbangan.28

27 Departemen Keuangan Republik Indonesia – Biro Hubungan Masyarakat, “Kebijakan

Cukai Hasil Tembakau Tahun 2010”, Siaran Pers No. 164/HMS/2009, (Jakarta : Depkeu Republik Indonesia, tanggal 18 November 2009).

28 Bagian I Umum Angka 2, Penjelasan Atas Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya menurut Anggito Abimanyu selaku Kepala Badan Kebijakan

Fiskal Departemen Keuangan Republik Indonesia (menjabat pada waktu itu)

menyatakan bahwa :

“Kenaikan tarif cukai rokok tersebut adalah untuk melindungi Sigaret Kretek Tangan yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dibanding dengan pabrik rokok mesin. Sekalipun tarif cukai rokok naik, pemerintah tetap melindungi industri rokok skala kecil. Untuk selanjutnya pemerintah akan menyatukan tarif cukai Sigaret Putih Mesin dengan Sigaret Kretek Mesin. Dengan demikian nantinya industri rokok cuma ada dua yaitu yang dibuat dengan tangan dan dibuat dengan mesin”.29

Dikalangan pelaku usaha Industri Hasil Tembakau khususnya industri rokok

putih, muncul dugaan adanya keterlibatan perusahaan multinasional dalam regulasi

Industri Hasil Tembakau di Indonesia untuk mematikan Industri Hasil Tembakau

nasional dengan menggunakan instrumen regulasi cukai dan Framework Convention

on Tobacco Control. Perusahaan-perusahaan rokok multinasional umumnya bergerak

dalam produksi rokok putih dan bersaing di pasar lokal dengan Industri Hasil

Tembakau rokok putih domestik yang skala usahanya lebih kecil. Dengan cukai

rokok yang tinggi, maka banyak Industri Hasil Tembakau nasional yang tidak kuat

bertahan di pasar lokal akibat biaya tinggi, harga jual sulit dinaikkan karena daya beli

rendah, sementara untuk ekspor terhadang oleh hambatan-hambatan Negara tujuan

ekspor yang memproteksi Industri Hasil Tembakau domestiknya dengan sangat ketat.

Akhirnya banyak Industri Hasil Tembakau nasional, khusus berskala kecil dan

menengah tidak mampu bertahan dan menutup usaha. Sedangkan Industri Hasil

29 Wawancara dengan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Republik

Indonesia, Anggito Abimanyu, Jakarta, dilakukan oleh Agus Samiadji, ”Kenaikan Tarif Rokok Tidak Adil”, http://www.harianbhirawa.com/opini/2781-kenaikan-tarif-rokok-tidak-adil., diakses pada 05 Juni 2010.

Universitas Sumatera Utara

Tembakau nasional yang lebih besar untuk tindakan penyelamatan menjual

perusahaannya dan diakuisisi oleh perusahaan-perusahaan multinasional besar,

seperti PT. British American Tobacco, Philip Morris, Japan Tobacco, dan lain-lain.

Dengan cara ini, pasar rokok dalam negeri hanya akan dikuasai oleh Industri Hasil

Tembakau multinasional. Saat ini saja untuk rokok putih, pasar domestik lebih

kurang 80% dikuasai oleh dua Industri Hasil Tembakau multinasional, yakni PT.

British American Tobacco dan Philip Morris. Setelah pasar rokok putih dikuasai

bukan tidak mungkin selanjutnya adalah Industri Hasil Tembakau rokok kretek.30

Dugaan keterlibatan pihak asing (perusahaan multinasional) sejenis ini sudah

ada sejak lama. Pada tahun 1999 perusahaan rokok kretek nasional menuding

Indonesian Monetary Fund dan Bank Dunia merupakan perpanjangan tangan

perusahaan asing, khususnya dari Amerika Serikat. Salah satu yang menjadi sasaran

adalah pasar rokok Indonesia yang potensial dan dikuasai oleh produsen kretek.

Sebagai negara berpenduduk 200 juta jiwa lebih dan konsumsi rata-rata per kapita

baru 1.100 batang, Indonesia merupakan pasar yang empuk. Sejumlah perusahaan

kretek menuding Indonesian Monetary Fund berada di balik penundaan Penetapan

Harga Jual Eceran Minimum (HJEM) rokok putih yang telah dikeluarkan Menteri

Keuangan Republik Indonesia 31 Maret 1999. Penundaan tersebut dilakukan selama

2 tahun, sementara ketentuan yang sama harus sudah berlaku untuk rokok kretek.

Kebijakan yang demikian dipandang tidak adil bagi industri rokok kecil dan

menengah. Masalahnya ada produsen rokok kecil yang menjual rokok berharga mahal,

30 Wawancara dengan PT. Sumatera Tobacco Trading Company, PT. Stabat Industri, PT.

Permona, dan PT. Wongso Prawiro. Medan, 25 November 2009 di Kantor PT. Sumatera Tobacco Trading Company Medan., sebagaimana dilakukan Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 98-99.

Universitas Sumatera Utara

seperti Wismilak dan Saratoga. Akibat ketentuan ini mereka harus membayar cukai

lebih tinggi karena harga produk mereka yang melewati batas harga eceran

maksimum untuk pabrik sekelasnya. Padahal mereka tetap saja produsen kecil yang

harus hidup diantara para raksasa rokok.31

Apabila hal diatas terjadi maka yang disulitkan adalah Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah (UMKM). Produk yang dijual pelaku-pelaku usaha kecil dipaksa

untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa dunia. Sebagai contoh

perusahaan lokal Sumatera Utara seperti PT. Sumatera Tobacco Trading Company

dibandingkan dengan PT. British American Tobacco Indonesia, Tbk yang ditinjau

dari sisi produknya. Sudah pasti perusahaan-perusahaan kecil yang ada akan tutup

dan tidak beroperasi lagi.

Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik mengapa cukai tembakau

sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah peranannya terhadap

pembangunan dalam bentuk sumbangan kepada penerimaan negara khususnya dalam

kelompok Penerimaan Dalam Negeri yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN) yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.32

Kebijakan cukai terhadap Industri Hasil Tembakau cenderung terus

meningkat naik bertujuan untuk penerimaan negara, dengan cara membatasi produksi

setiap tahunnya bagi Industri Hasil Tembakau dan menaikkan tarif cukai tembakau

untuk menetapkan penerimaan negara. Jadi, konsumsi rokok diperkecil dengan

31 “Lobi-Lobi Pita Cukai”, Eksekutif, (September, 1999), hal. 64-65, dalam Ningrum Natasya

Sirait, et.al., Op.cit., hal. 100. 32 ”Kebijakan Ekstensifikasi Cukai dan Intensifikasi Cukai Hasil Tembakau”,

www.beacukai.go.id/library/data/Cukai2.htm., diakses pada 31 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

penetapan angka produksi oleh pemerintah diikuti dengan penetapan single tariff

yang memberatkan perusahaan rokok sehingga penerimaan negara tetap atau dapat

naik.

Setelah cukai dipungut dari Industri Hasil Tembakau, pemerintah

berkewajiban untuk menyalurkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH

CHT) dengan diamanatkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009

tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

Tahun Anggaran 2009. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut

digunakan untuk mendanai peningkatan kualitas bahan baku, lingkungan sosial,

sosialisasi ketentuan di bidang cukai illegal khususnya di Sumatera Utara yang

kontribusinya tidak terlihat signifikan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT) tersebut disalurkan.

Menurut Lampiran Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009

tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)

Tahun Anggaran 2009, Provinsi Sumatera Utara mendapatkan alokasi dana sebesar

Rp. 1.193 triliun, untuk Kota Medan sebesar Rp. 426 juta.33 Dana inilah yang akan

digunakan sebagai pengendalian dampak tembakau, seperti pembangunan sarana dan

prasarana kesehatan berupa perlengkapan alat-alat kesehatan, pembangunan tempat-

tempat merokok di daerah umum, dan lain sebagainya.

Kebijakan cukai spesifik yang mulai diterapkan sejak tahun 2008 berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Kedua atas

33 Penetapan Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Lampiran Peraturan

Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009, hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

Peraturan Menteri Keuangan No. 134/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar

dan Tarif Cukai Hasil Tembakau kurang mencerminkan rasa keadilan antara Industri

Hasil Tembakau skala menengah-bawah dan Industri Hasil Tembakau skala

menengah-atas. Beberapa tarif yang dibebankan berdasarkan jenis dan golongan

justru memberi beban yang lebih besar untuk Industri Hasil Tembakau skala

menengah-bawah. Hal ini bisa terlihat dari rasio cukai yang tidak seimbang.34

Dana yang didapat dari kebijakan cukai digunakan untuk pemulihan akibat

dari rokok. Digunakan juga untuk pemenuhan bahan baku berupa tembakau bagi

Industri Hasil Tembakau skala menengah-kecil. Dana yang didapat dari Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) tersebut harus berkontribusi kepada

Sumatera Utara. Khususnya untuk perbaikan infrastruktur agar iklim usaha Industri

Hasil Tembakau di Sumatera Utara membaik, dan menumbuhkan Industri Hasil

Tembakau skala menengah-kecil mengarah ke skala menengah-besar.

Terlihat jelas adanya dilema dalam pengaturan Industri Hasil Tembakau

sebagaimana diuraikan diatas. Setidaknya ada tiga variabel yang saling tarik menarik

dalam meregulasi Industri Hasil Tembakau, khususnya regulasi tarif cukai tembakau,

yakni : peningkatan pendapatan negara melalui cukai tembakau, pengendalian

dampak tembakau untuk alasan kesehatan, dan peran Industri Hasil Tembakau pada

perekonomian nasional seperti penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja dan

rakyat yang menggantungkan hidupnya pada keberadaan Industri Hasil Tembakau.35

34 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 53. 35 Ibid., hal. 100.

Universitas Sumatera Utara

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, selanjutnya dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di

Sumatera Utara?

3. Bagaimana ketentuan pembagian cukai hasil tembakau ditinjau dari aspek

keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau dan lokasi

Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui peranan hukum

dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara terkait dengan Industri Hasil

Tembakau. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini, antara

lain :

1. Untuk menganalisis kebijakan tarif cukai hasil tembakau di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau

di Sumatera Utara.

3. Untuk menganalisis ketentuan pembagian cukai hasil tembakau yang ditinjau

dari aspek keadilan bagi Sumatera Utara sebagai daerah penghasil tembakau

dan lokasi Industri Hasil Tembakau dalam kerangka kebijakan tarif.

Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu :

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan

pertimbangan bagi penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah kepustakaan.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi Industri Hasil Tembakau dalam

mengambil langkah yang ditempuh untuk membela industri

menengah-kecil agar menghindari kerugian perusahaan akibat

kebijakan single tariff.

b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat (pelaku usaha) agar

terbentuk peraturan atau kebijakan yang mampu menciptakan

kestabilan, keterprediksian, dan keadilan bagi seluruh anggota

masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan khususnya pada

lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa

penelitian dengan judul “Analisis Hukum Kebijakan Tarif terhadap Industri Hasil

Tembakau di Sumatera Utara” sudah pernah dilakukan oleh Ningrum Natasya Sirait,

et.al, yang dilakukan di Medan pada tahun 2009 dengan rumusan masalah dan kajian

Universitas Sumatera Utara

yang membahas mengenai Hukum Persaingan Usaha dan Hukum Investasi.

Penelitian lanjutan ini mengkaji mengenai kebijakan tarif khususnya masalah cukai

tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dengan rumusan

masalah dan kajian yang berbeda dan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya

ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari materi,

permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi

Penelitian tesis ini menggunakan teori hukum mengenai “peranan hukum

dalam kegiatan ekonomi“ (rule of law in economic development), teori analisis

ekonomi terhadap hukum (economic analysis of law).

Dalam analisis hukum mengenai peranan hukum dalam kegiatan ekonomi

digunakan teori Erman Rajagukguk yang mengatakan bahwa :

”faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum itu mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistim ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas adalah potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan hukum untuk meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang telah diambil khususnya penting bagi negara yang sebagian rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness) seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan”.36

36 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), dalam Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 106-107.

Universitas Sumatera Utara

Hukum dapat memainkan peran yang sangat strategis dalam pembangunan

ekonomi, apabila peraturan hukum yang dihasilkan memenuhi unsur stabilitas

(stability), keterprediksian (predictability) dan berkeadilan (fairness).

Peraturan hukum dapat menciptakan stabilitas jika peraturan hukum tersebut

memiliki kepastian baik dari segi substansi maupun struktur dan didukung oleh

budaya hukum yang baik. Maksudnya adalah bahwa peraturan mengenai kebijakan

tarif cukai seharusnya tidak cepat berubah-ubah dengan demikian akan memudahkan

para pelaku usaha untuk mengerti dan memahami hukum yang berlaku terkait dengan

kebijakan tarif cukai.

Prediktabilitas dari peraturan hukum akan membantu para pelaku ekonomi

dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasi kegiatan ekonomi yang lebih

efektif dan efisien. Hal ini bisa tercapai dengan dukungan stabilitas dan kepastian

hukum. Hubungannya adalah dengan izin, biaya, politik, keamanan, ekonomi, sosial,

dan lainnya. Hukum yang terprediksi harus bisa berkepastian hukum agar dapat

memprediksi seluruh ketentuan yang berlaku.

Keadilan hukum akan memberikan hak dan kewajiban secara berimbang

kepada setiap orang untuk meningkatkan taraf hidupnya, akomodatif terhadap

berbagai kepentingan dan melindungi pihak-pihak yang kurang beruntung. Peraturan

berkeadilan hukum maksudnya adalah kebijakan tarif cukai di Indonesia tidak hanya

mementingkan penerimaan negara tetapi juga harus memperhatikan dampak

kesehatan dan lebih berpihak kepada Industri Hasil Tembakau.

Mengenai keadilan sangat diperlukan dalam substansi hukum. Khususnya

dalam hukum ekonomi, pranata hukum harus mengakomodasi secara adil berbagai

Universitas Sumatera Utara

kepentingan kelompok masyarakat yang berbeda-beda strata ekonomi dan sosialnya.

Hukum di bidang ekonomi dengan demikian harus berimbang dalam mengatur

kepentingan pelaku usaha yang berbeda-beda skala ekonominya. Hal ini merupakan

implementasi dari pesan konstitusional yang tidak mengizinkan adanya keberpihakan

negara hanya pada satu pilar ekonomi. Peran negara sangat dibutuhkan untuk

menciptakan keadilan bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lemah melalui

hukum yang menata sedemikian rupa ketidakmerataan sosial dan ekonomi agar lebih

menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.37

Dalam teori analisis ekonomi terhadap hukum digunakan teori Posner yang

menyatakan bahwa :

”Ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum perbankan”.38

Dengan demikian, secara langsung maupun tidak langsung, hukum

berpengaruh dalam setiap aktivitas ekonomi, karena hukum merupakan payung yang

melindungi para pelaku usaha. Peranan hukum dalam aktivitas ekonomi terlihat,

contohnya dalam menentukan kebijakan tarif cukai, yang dalam hal ini hukum

berfungsi mencegah Industri Hasil Tembakau mengalami kerugian yang besar namun

tidak terlepas dari pengendalian kesehatan masyarakat oleh pemerintah.

37 Ibid., hal. 108. 38 Mahmul Siregar, “Modul Perkuliahan Teori Hukum : Teori Analisa Ekonomi”, (Medan :

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Dengan kata lain, pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan

pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu

meningkatkan efisiensi ekonomi, baik pada awal pembentukan hukum melalui badan

legislatif, melalui pendekatan hukum adat, hukum kontrak, dan hukum pidana.39

Hukum ekonomi di Indonesia menjamin kepastian hak setiap orang untuk

mendapatkan kesempatan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi,

peluang-peluang ekonomi yang ada untuk meningkatkan derajat kesejahteraannya.

Oleh karena itu, hukum di Indonesia tidak menghendaki adanya konsentrasi

penguasaan sumber daya ekonomi pada satu atau beberapa pelaku usaha. Konsentrasi

ini cenderung akan menimbulkan berbagai macam masalah yang akan dihadapi.

Kehadiran Peraturan Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai

Tembakau adalah untuk meningkatkan penerimaan negara demi kepentingan nasional

tanpa mengenyampingkan para pelaku usaha untuk tetap eksis di jalur Industri Hasil

Tembakau.

Uraian-uraian teoritis tersebut dipandang relevan untuk menjelaskan

fenomena Industri Hasil Tembakau dan kebijakan tarif cukai yang ditetapkan

Pemerintah. Banyak pandangan yang mengisyaratkan bahwa kebijakan cukai yang

ditetapkan oleh pemerintah tidak konsisten dengan Roadmap Industri Hasil

Tembakau yang telah disepakati bersama. Salah satunya adalah pembinaan Industri

Hasil Tembakau untuk membuka peluang kesempatan berusaha dan kesempatan kerja

yang lebih luas. Kebijakan tarif hasil tembakau yang ditetapkan justru tidak konsisten

dengan kesepakatan tersebut. Tarif yang tinggi dan kedepan akan diterapkan secara

39 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

seragam untuk semua jenis Industri Hasil Tembakau lebih berorientasi pada aspek

penerimaan negara. Kebijakan yang demikian sangat dikhawatirkan akan menekan

Industri Hasil Tembakau Indonesia, khususnya Industri Hasil Tembakau yang

berskala kecil dan menengah. Kebijakan yang demikian diprediksikan akan

menimbulkan kecenderungan semakin menyempitnya ruang kesempatan berusaha

bagi Industri Hasil Tembakau, khususnya yang tergolong dalam Usaha Mikro Kecil

Menengah. Produktifitas Industri Hasil Tembakau akan menurun, rasionalisasi tenaga

kerja, kehilangan pendapatan dan penurunan tingkat kesejahteraan adalah peluang-

peluang yang sangat mungkin terjadi.40

Keadaan ini akan diperburuk oleh sejumlah permasalahan domestik yang

dihadapi oleh Industri Hasil Tembakau di Indonesia, antara lain iklim usaha yang

kurang kondusif, infrastruktur yang kurang mendukung, masalah bahan baku,

ekonomi biaya tinggi dan semakin maraknya produk rokok ilegal.41

Kecenderungan lain yang sangat mungkin terjadi adalah banyak Industri Hasil

Tembakau yang akan keluar dari pasar karena tidak sanggup bertahan dan bersaing,

dan yang bertahan akan sangat terbuka peluang untuk menyelamatkan keberadaan

perusahaannya melalui restrukturisasi perusahaan, baik dengan menggunakan metode

merger (penggabungan), konsolidasi (peleburan) atau menyerahkan perusahaan untuk

diakuisisi (pengambilalihan) oleh perusahaan-perusahaan yang lebih kuat. Praktik

monopoli akan sangat berpeluang dalam pasar hasil tembakau di Indonesia, karena

keadaan-keadaan sebagaimana dikemukakan diatas, akan menyisakan beberapa

40 Ningrum Natasya Sirait, et.al., Op.cit., hal. 109. 41 Ibid., hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

pelaku usaha Industri Hasil Tembakau saja, khususnya yang berskala besar dan kuat,

tidak tertutup kemungkinan adalah Industri Hasil Tembakau asing.42

Tidak disangkal bahwa hasil Industri Hasil Tembakau, khususnya rokok,

memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan dan meningkatkan belanja kesehatan

masyarakat akibat rokok. Hal ini harus dikendalikan untuk kepentingan masyarakat

luas. Hanya saja cara untuk mengendalikan tersebut harus proporsional, dan

akomodatif terhadap berbagai kepentingan masyarakat yang berbeda-beda. Tidak

dikehendaki adanya kebijakan yang diambil tanpa mempertimbangkan secara

proporsional dampak yang mungkin timbul dari regulasi yang dikeluarkan.43

Lalu untuk mengkaji pandangan mana yang dipakai dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan Teori Utility oleh Jeremy Bentham yang mengatakan

bahwa kegunaan dari hukum itu adalah demi kemaslahatan masyarakat banyak.

Apabila menemui kasus yang permasalahannya seperti pedang bermata dua. Jadi,

untuk memilih peraturan mana yang paling baik untuk mengatur permasalahan Dana

Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dalam Industri Hasil Tembakau di

Indonesia adalah dengan melihat posisi mana yang lebih banyak diuntungkan apakah

pro dengan Industri Hasil Tembakau atau kontra dengan Industri Hasil Tembakau.

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep

yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan diberikan definisi

operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan :

42 Ibid. 43 Ibid., hal. 111.

Universitas Sumatera Utara

1. Industri Hasil Tembakau (IHT) adalah industri yang menghasilkan, atau

mendistribusikan atau memasarkan atau menjual produk yang dihasilkan dari

pengolahan tembakau.44

2. Manfaat ekonomi adalah berkaitan dengan penerimaan negara untuk

meningkatkan pendapatan negara melalui cukai yang digunakan untuk

kepentingan masyarakat dan pemerintah.

3. Hambatan Industri Hasil Tembakau adalah berupa kebijakan tarif cukai hasil

tembakau, Framework Convention on Tobacco Control, Fatwa Majelis Ulama

Indonesia, peraturan daerah yang melarang merokok pada tempat-tempat

tertentu, kampanye anti rokok, rokok ilegal, iklim usaha yang tidak

mendukung, dan ketersediaan bahan baku.

4. Tarif Cukai adalah yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Keuangan No.

181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

5. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagaimana yang ditetapkan

oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 85/PMK.07/2009 tentang Alokasi

Sementara Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Tahun Anggaran 2009

atau penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang diterapkan di

Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil tembakau sebesar 2%.

6. Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang

tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam

undang-undang.45 Dalam tulisan ini adalah cukai hasil tembakau.

44 Ibid. 45 Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

7. Iklim Usaha adalah keadaan perekonomian pada satu bidang usaha, seperti

Industri Hasil Tembakau ditinjau dari sisi keamanan, infrastruktur, dan lain

sebagainya.

8. Hukum adalah setiap peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat dan jajarannya serta pemerintah daerah dan jajarannya yang

terkait dengan pengaturan industri hasil tembakau.46

9. Industri Rokok adalah industri yang menghasilkan, atau mendistribusikan atau

memasarkan atau menjual hasil olahan tembakau berupa rokok.47

10. Roadmap Industri Hasil Tembakau adalah program pemerintah yang

dicanangkan sejak tahun 2007 – 2020 untuk mengembangkan Industri Hasil

Tembakau.

11. Kebijakan Single Tariff adalah kebijakan dimana setiap jenis hasil olahan

tembakau/produk keluaran dikenakan cukai dengan tarif yang sama.

12. Transaction Cost adalah biaya-biaya non-produktif yang harus ditanggung

oleh Industri Hasil Tembakau untuk mencapai suatu transaksi ekonomi.48

G. Metode Penelitian

Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-

hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan

46 Loc.cit., hal. 112. 47 Ibid. 48 Erman Rajagukguk, ”Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional,

Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial”, (Bali : Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, tanggal 14-18 Juli 2003), hal 3.

Universitas Sumatera Utara

penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.

Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian

termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.49

Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat

dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan

pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun

masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan

penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh

semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian

termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.50 Kejujuran ilmiah adalah kode

etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :

1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;

2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan

cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan

penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan

sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak

menutupi kelemahan diri; 8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak

mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri; 9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan

plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 51

49 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan

Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2. 50 Ibid. 51 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah

yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam

Universitas Sumatera Utara

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan

pendekatan juridis normatif. 52 Dengan demikian objek penelitian adalah norma

hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh

pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang

terkait secara langsung dengan kebijakan tarif dalam Industri Hasil Tembakau di

Sumatera Utara.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam

melakukan pengkajian kebijakan tarif terhadap Industri Hasil Tembakau di Sumatera

Utara. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan

menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada

bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri

pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini

menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi

Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 25 Mei 2010.

52 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.

Universitas Sumatera Utara

(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan

batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.53

Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk

menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait

dengan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi studi terhadap kebijakan tarif

dalam Industri Hasil Tembakau di Sumatera Utara.

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan

dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan

dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :

1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : Undang-

Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Undang-Undang No. 16 Tahun

1956 tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi Cukai Tembakau

(Staatsblad 1932 No. 517) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai dan diubah kembali dengan Undang-

Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11

Tahun 1995 tentang Cukai dan peraturan pelaksanaannya, Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

53 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan

oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Tidak Sehat, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang

No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; juga

sejumlah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia terkait Penetapan

Tarif Cukai Hasil Tembakau, seperti Peraturan Menteri Keuangan No.

43/PMK.04/2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil

Tembakau, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.

118/PMK.04/2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri

Keuangan No. 43/PMK.04/2005, diubah kembali dengan Peraturan Menteri

Keuangan No. 134/PMK.04/2007 tentang Perubahan Ketiga, dan Peraturan

Menteri Keuangan No. 181/PMK.011/2009 tentang Tarif Cukai Hasil

Tembakau.

2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai

konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer

dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik

jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang

relevan seperti Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2020 yang

dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian.

3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal

penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum

primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.

Universitas Sumatera Utara

3. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi

kepustakaan 54 (library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang

dipandang relevan, antara lain instansi terkait dan pelaku usaha Industri Hasil

Tembakau. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara.

Wawancara juga dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain

bahan hukum yang dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan

sejumlah informan yang dipandang relevan yaitu : pengelola/pengurus perusahaan

rokok dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Sumatera Utara di Medan, dengan

metode wawancara mendalam (in-depth interview)55. Informan yang dipilih adalah

yang terlibat langsung dalam penerimaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

(DBH CHT) yaitu Dinas Pendapatan Daerah pada tingkat Pemerintah Provinsi

maupun Pemerintah Kabupaten/Kota.

54 Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai

keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.

55 Indepth Interview atau wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Seperti yang dikemukakan oleh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis Data

Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan

menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka

ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis

proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang

tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik

informasi, data, dan proses suatu fenomena.56

Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan

sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya

terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan

prediktabilitas hukum, mencari keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.57

Analisis dilakukan secara holistik58 dan integral untuk menemukan hubungan

logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan

kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya

antara lain meliputi hubungan antara kebijakan tarif cukai hasil tembakau,

penerimaan negara, peran ekonomi Industri Hasil Tembakau dalam hal Dana Bagi

Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), perlindungan terhadap Usaha Mikro Kecil

56 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya, Op.cit., hal. 153. 57 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248,

dalam Burhan Bungin, Op.cit., hal. 144-145. 58 Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole

(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan, dalam Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 13 Agustus 2010.

Universitas Sumatera Utara

Menengah, dampak negatif hasil tembakau, dan lain-lain yang ditemukan dalam

penelitian.

Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat

menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan

tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi

perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya

akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita

dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.59

Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi

seluruh bagian dari Industri Hasil Tembakau dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau

agar menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.60

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir

deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai

titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai

alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak

langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah

dalam kebijakan tarif cukai hasil tembakau terhadap industri hasil tembakau di

Sumatera Utara. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan

melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama

sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka

59 Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No. 2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 13 Agustus 2010.

60 Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 13 Agustus 2010.

Universitas Sumatera Utara

deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang

digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan

pembuktian teori tersebut apakah : 1) hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori

tersebut sehingga hasil penelitian dapat memperkuat teori yang ada; 2) apakah teori

dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-perubahan disebabkan

karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda, atau fenomena yang telah

berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori yang digunakan tadi; 3) apakah

membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil penelitian, maka

semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu, lingkungan, dan

fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat dipertahankan atau

direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak kebenarannya dengan

menggunakan teori baru.61

61 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26-29.

Universitas Sumatera Utara