bab i pendahuluan 1.1 latar belakang...

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemacetan jalan-jalan di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan salah satu masalah terbesar pemerintah pusat dan daerah hingga saat ini. Bila tidak ada penataan sistem transportasi di area Jabodetabek maka dikhawatirkan kemacetan semakin memburuk (Asri dan Hidayat, 2005). Kajian yang dilakukan oleh Rencana Induk Transportasi Terpadu (SITRAM) tahun 2004 menyebutkan kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan yang berkepanjangan di Jabodetabek mencapai Rp. 8,3 triliun rupiah per tahun. Jumlah ini terdiri dari pemborosan bahan bakar minyak akibat biaya operasional kendaraan Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak kesehatan akibat polusi udara Rp 2,8 triliun. Angka kerugian ini akan terus meningkat seiring kemacetan lalu lintas yang semakin parah di Jakarta (Dinas Perhubungan RI, 2006). Penyebab kemacetan di Jabodetabek sangat kompleks karena melibatkan banyak aspek antara lain; sosial, ekonomi, dan budaya yang diperparah dengan tidak adanya perencanaan terpadu antara pembangunan jalan dan perencanaan transportasi. Salah satu penyebab kemacetan adalah mobilitas penduduk Bodetabek ke Jakarta pada pagi dan sore hari untuk bekerja (Asri dan Hidayat, 2005). Penduduk Jakarta yang berjumlah 9.607.787 jiwa (Sensus Penduduk Tahun 2010) dapat meningkat hingga 15 juta jiwa pada siang hari karena adanya mobilitas penduduk Bodetabek ke Jakarta. Penduduk penglaju dari Bodetabek yang bekerja di

Upload: haque

Post on 11-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kemacetan jalan-jalan di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan

Bekasi (Jabodetabek) merupakan salah satu masalah terbesar pemerintah pusat dan

daerah hingga saat ini. Bila tidak ada penataan sistem transportasi di area

Jabodetabek maka dikhawatirkan kemacetan semakin memburuk (Asri dan Hidayat,

2005). Kajian yang dilakukan oleh Rencana Induk Transportasi Terpadu (SITRAM)

tahun 2004 menyebutkan kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan yang

berkepanjangan di Jabodetabek mencapai Rp. 8,3 triliun rupiah per tahun. Jumlah

ini terdiri dari pemborosan bahan bakar minyak akibat biaya operasional kendaraan

Rp 3 triliun, kerugian akibat waktu yang terbuang Rp 2,5 triliun, dan dampak

kesehatan akibat polusi udara Rp 2,8 triliun. Angka kerugian ini akan terus

meningkat seiring kemacetan lalu lintas yang semakin parah di Jakarta (Dinas

Perhubungan RI, 2006).

Penyebab kemacetan di Jabodetabek sangat kompleks karena melibatkan

banyak aspek antara lain; sosial, ekonomi, dan budaya yang diperparah dengan tidak

adanya perencanaan terpadu antara pembangunan jalan dan perencanaan

transportasi. Salah satu penyebab kemacetan adalah mobilitas penduduk Bodetabek

ke Jakarta pada pagi dan sore hari untuk bekerja (Asri dan Hidayat, 2005).

Penduduk Jakarta yang berjumlah 9.607.787 jiwa (Sensus Penduduk Tahun 2010)

dapat meningkat hingga 15 juta jiwa pada siang hari karena adanya mobilitas

penduduk Bodetabek ke Jakarta. Penduduk penglaju dari Bodetabek yang bekerja di

2

Jakarta ini, umumnya memasuki Jakarta pagi hari saat jam kerja dan kembali ke

daerah masing-masing saat pulang kerja sore hingga malam hari. Kondisi ini

menyebabkan kemacetan semakin panjang karena mayoritas pekerja dari luar

Jakarta menggunakan kendaraan pribadi, khususnya roda empat (Kompas.com, 6

Maret 2013).

Menghindari kemacetan yang terjadi setiap hari untuk mempersingkat waktu

menuju tempat kerja dan kembali ke rumah, merupakan salah satu alasan orang

akhirnya beralih memanfaatkan kereta api (KA) komuter (Tribunnews.com, 7 Juli

2013). KA komuter adalah kereta api yang beroperasi dalam jarak dekat,

menghubungkan kota besar dengan kota-kota kecil di sekitarnya atau dua kota yang

berdekatan. Penumpang kereta ini mayoritas adalah para penglaju bermobilitas

tinggi yang pulang-pergi dalam sehari, misalnya ke tempat kerja atau sekolah.

Sehingga dapat dipahami apabila frekuensi perjalanan komuter termasuk tinggi dan

jumlah penumpangnya juga paling banyak dibanding kereta lainnya (Wikipedia.org,

2013).

Saat ini, KA komuter yang beroperasi di Jabodetabek sebagian besar adalah

kereta rel listrik (KRL) yang umum disebut Commuter Line. Sebelumnya juga

beroperasi KA ekonomi non-AC yang pada Juni 2013 ditarik pengoperasiannya

karena dinilai tidak layak jalan (sering mengalami kerusakan dan menganggu

perjalanan KA lainnya). Jadwal perjalanan yang semula dilayani KA ekonomi

diganti dengan KRL Commuter Line (Kompas 13 Mei 2013, halaman 25).

KRL Commuter Line yang beroperasi di lintas Jabodetabek saat ini sebagian

besar adalah kereta hibah dari pemerintah Jepang yang sudah habis masa

3

beroperasinya di negara tersebut. Operator KRL ini adalah PT. KAI Commuter

Jabodetabek (PT KCJ), yaitu anak perusahaan PT. KAI Persero yang

bertanggungjawab menyelenggarakan jasa angkutan kereta komuter dengan

menggunakan sarana kereta rel listrik di wilayah Jabodetabek (www.krl.co.id,

2013).

Setiap harinya KRL Commuter Line melayani 450 ribu hingga 500 ribu

penumpang. PT KAI mencatat jumlah penumpang KRL Commuter Line tahun 2012

meningkat 35% dibandingkan tahun 2011 (Laporan Tahunan PT KAI 2012, 2013).

Tabel 1.1 berikut ini menampilkan jumlah penumpang KA Jawa dan Sumatera

tahun 2006-2012, meliputi jenis KRL Jabodetabek dan non-Jabodetabek (angkutan

jarak jauh).

Tabel 1.1 Jumlah Penumpang Kereta Api di Jawa dan Sumatera Tahun 2006 – 2013

Tahun Jawa (Jumlah dalam Ribu Orang) Sumatera Total

Jabotabek Non Jabotabek Jabotabek + Non Jabotabek

2006 104.425 51.671 156.096 3.323 159.419 2007 118.095 53.826 171.921 3.415 175.336 2008 125.451 64.688 190.138 3.939 194.076 2009 130.508 68.913 199.422 4.119 203.070 2010 124.308 73.720 198.028 5.241 203.270 2011 121.105 72.936 194.041 5.296 199.337 2012 134.088 63.707 197.795 4.384 202.179 2013 156.891 53.532 210.423 3.995 214.418

Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS) Tahun 2014

Jumlah penumpang KRL Jabodetabek di tahun 2013 juga menunjukkan

kecenderungan meningkat setiap bulannya. Peningkatan penumpang berkisar antara

200 ribu hingga satu juta orang per bulan (PT KAI dan PT KCJ, 2013). Grafik

4

penumpang bulan Januari hingga November 2013 dapat dilihat pada Gambar 1.1

berikut ini.

Gambar 1.2 Jumlah Penumpang KRL Bulan Januari Hingga November 2013 (Dalam Ribu Orang)

Sumber: Diolah dari data PT KAI dan KCJ (www.bps.go.id)

Pada bulan April 2013 PT KAI mengeluarkan perubahan Grafik Perjalanan

KA Jabodetabek atau Gapeka. Gapeka berisi seluruh jadwal perjalanan kereta

penumpang lingkar Jabodetabek baik KRL Commuter Line maupun KA ekonomi.

Sesuai dalam Gapeka 2013 ini, jumlah perjalanan KRL Jabodetabek bertambah di

semua rute. Penambahan perjalanan memberi dampak pada waktu tunggu

kedatangan kereta di stasiun yang biasanya setiap 15 menit sekali, menjadi sekitar

tujuh menit sekali. Rute yang mengalami penambahan jumlah perjalanan antara lain

rute Stasiun Bogor menuju Jatinegara yang semula 67 perjalanan menjadi 93

perjalanan per hari, lintas Serpong - Tanahabang dari 74 menjadi 87 perjalanan,

lintas Bekasi - Jakarta Kota yang semula 84 menjadi 106 perjalanan (Kompas.com,

1 April 2013). Diperkirakan, jika 180 tambahan unit/gerbong kereta komuter bekas

dari Jepang yang dipesan PT KAI tiba di Indonesia pada akhir tahun 2013 (atau

5

awal tahun 2014), maka jumlah perjalanan di lingkar Jabodetabek akan ditambah

sebanyak 61 perjalanan. Sehingga total perjalanan per hari menjadi 575 perjalanan

(Detikcom, 30 September 2013).

PT KCJ dalam websitenya (www.kr.co.id) menjelaskan KRL Commuter

Line Jabodetabek saat ini melayani enam rute, yaitu:

1. Bogor/Depok–Manggarai–Jakarta Kota (PP)

2. Bogor/Depok–Tanahabang – Pasar Senen – Jatinegara (PP)

3. Bekasi– Jatinegara– Manggarai–Jakarta Kota (PP)

4. Parung Panjang/Serpong –Tanahabang, (PP)

5. Tangerang–Duri (PP)

6. Tanjung Priok–Jakarta Kota (PP)

Masih dari sumber yang sama, berdasarkan hasil evaluasi yang pernah

dilakukan PT KCJ tahun 2011, prosentase jumlah penumpang Commuter Line

terbanyak tahun 2011 adalah penumpang dengan rute Jakarta–Depok, PP (37%);

kemudian penumpang rute Jakarta–Bogor, PP (33%); Jakarta–Bekasi, PP (15%);

Jakarta-Serpong, PP (13%); dan 3% penumpang rute Jakarta-Tangerang, PP

(www.krl.co.id). Gambar rute KRL Jabodetabek dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dalam Kompas.com (10 Agustus 2009) dijelaskan beberapa kelebihan

menggunakan moda transportasi KA adalah tingkat keselamatan tinggi, bebas macet

sehingga perjalanan menuju atau meninggalkan Jakarta menjadi lebih cepat,

menghemat waktu, dan ramah lingkungan (tidak terpapar polusi udara secara

langsung). Sedangkan dalam Tempo.com (7 Agustus 2013) menambahkan

kelebihan yang lain adalah tarif KRL lebih murah daripada angkutan darat yang

lain, terutama sejak diberlakukannya tarif progresif bersubsidi pada 1 Juli 2013.

6

Sebelum penerapan tarif progresif KRL, jumlah penumpang KA Jabodetabek 470

ribu per hari. Setelah 1 Juli 2013, atau hari pertama diterapkannya tarif progresif

yang lebih murah daripada sebelumnya, jumlah penumpang per hari melonjak

menjadi 589 ribu (Kompas.com, 12 Agustus 2013). PT KAI berupaya hingga akhir

tahun 2013 dapat mengangkut 600 ribu penumpang setiap harinya (Tempo.com, 8

Juli 2013).

Namun di sisi lain, kekurangan sarana KA komuter adalah jadwal kereta

yang tidak tepat waktu dan ketersediaan gerbong KA yang tidak sebanding dengan

jumlah penumpang, menyebabkan penumpang selalu berdesak-desakan terutama

pada jam berangkat atau pulang kerja (Kompas.com, 16 April 2013). Kepadatan

penumpang dalam gerbong, baik di dalam gerbong khusus perempuan maupun

gerbong campur (laki-laki dan perempuan) pada pagi atau sore hari sebagaimana

tampak dalam Gambar 1.3.

Gambar 1.3 Kepadatan Penumpang KRL di Gerbong Khusus Perempuan dan Gerbong Campur di Pagi atau Sore di Hari Kerja

Sumber: Kiri: Dokumentasi Pribadi (Juli, 2013), Kanan: Kompas.com (April 2013)

Dari hasil observasi awal yang dilakukan peneliti, pada pagi hari saat

berangkat kerja dan sore hari saat pulang kerja, tidak semua penumpang yang

7

menunggu di peron stasiun dapat diangkut oleh KRL yang datang. Hal ini karena

volume penumpang yang sangat banyak tidak sebanding dengan kapasitas rangkaian

KRL yang tersedia. Pada kondisi tersebut, ada dua pilihan yang dimiliki

penumpang, yaitu tetap memaksa masuk ke dalam gerbong dan berdesak-desakan

dengan penumpang yang lain atau menunggu rangkaian KRL berikutnya.

Perjalanan KA tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan stasiun KA yang

satu sama lain saling terkait. Umumnya, saat bepergian dengan KA, penumpang

akan mengawali dan mengakhiri perjalanannya di stasiun. Setiap penumpang harus

berada di stasiun sebelum naik KA dan harus turun di stasiun akhir sesuai dengan

tujuan masing-masing. Di dalam stasiun penumpang biasanya membeli tiket dan

segera menuju lokasi rangkaian kereta api melalui tangga, eskalator, atau jalan biasa

(Li, 2000).

Jumlah stasiun se-Jabotabek yang melayani KA Commuter Line saat ini

sebanyak 64 stasiun. Dari jumlah tersebut, ada delapan stasiun besar yang yang

dimanfaatkan sebagai stasiun pusat terminus. Stasiun terminus adalah stasiun pusat

pemberangkatan dan stasiun akhir perjalanan, sekaligus sebagai stasiun transfer

antar rute. Stasiun terminus yang ada di lintas Jabodetabek adalah Stasiun Jakarta

Kota (sekaligus sebagai stasiun besar yang melayani KA jarak jauh), Stasiun

Manggarai, Stasiun Jatinegara, Stasiun Tanahabang, Stasiun Duri, Stasiun Kampung

Bandan, Stasiun Bogor, dan Stasiun Bekasi (Wikipedia.org, 2013).

Sebagai salah satu stasiun terminus, Stasiun Tanahabang setiap harinya

selalu ramai dengan penumpang naik, turun, dan transfer rute. Jumlah penumpang

per hari yang melalui stasiun ini sekitar 45 ribu (Detik.com, 12 Agustus 2013).

Menurut Gapeka 2013, sebanyak 205 perjalanan KRL melalui Stasiun Tanahabang,

8

yaitu 125 perjalanan singgah (transfer penumpang antar rute), 40 mengawali

perjalanan dan 40 perjalanan berakhir di Stasiun Tanahabang. Rute perjalanan yang

melewati stasiun Tanahabang adalah Bogor–Jakarta Kota, PP; Bogor-Jatinegara,

PP; Bekasi – Jakarta Kota, PP; dan rute Parung Panjang/Serpong – Tanahabang (PT

KAI, 2013).

Stasiun Tanahabang berlokasi di jalan Jatibaru, Kecamatan Tanahabang

Jakarta Pusat. Stasiun yang berlokasi di timur Banjir Kanal Barat (BKB) dan di

selatan Jembatan Layang Kalibaru ini, merupakan stasiun yang berada dalam

pengelolaan Daerah Operasi (Daop) 1 Jakarta. Stasiun Tanahabang menjadi salah

satu stasiun terminus di Jabodetabek. Stasiun ini dibangun sejak jaman kolonial

Hindia Belanda di Indonesia. Berdasarkan ulasan berita di Tempo.com (30

September 2013) menyebutkan bahwa kapasitas Stasiun Tanahabang saat ini sudah

tidak memadai karena jumlah penumpang yang melebihi kapasitas. Dalam

perencanaan awal Stasiun Tanahabang diperuntukkan untuk menampung 20 ribu

penumpang, namun faktanya kini menampung hampir dua kali lipatnya. Hal senada

juga disampaikan Direktur PT KAI Ignasius Jonan dalam Kompas.com (12 Agustus

2013) yang menyatakan bahwa peningkatan jumlah penumpang KRL Commuter

Line di Stasiun Tanahabang menyebabkan kepadatan penumpang di stasiun

tersebut.

Meningkatnya jumlah penumpang dan tidak bertambahnya sarana yang

tersedia di stasiun mengakibatkan kepadatan penumpang sehingga membentuk

antrian. Berdasarkan hasil observasi awal, antrian ini terjadi setiap hari terutama

pada jam-jam berangkat kerja. Meskipun hari Sabtu dan Minggu bukan hari kerja

bagi sebagian besar warga Jabodetabek, tetapi antrian tetap terjadi. Sebagian besar

9

penumpang KRL hari Sabtu dan Minggu adalah penumpang yang akan berbelanja

ke Pasar Tanahabang. Antrian di tangga sering diwarnai dengan aksi saling dorong

yang berakibat arus antrian tidak lancar. Terkadang ada penumpang yang terjatuh

menimpa penumpang yang lain, sering sepatu penumpang terinjak dan tertinggal di

tangga, tali tas tersangkut di tangga besi pembatas atau tersangkut penumpang yang

lain. Lama antrian penumpang menuju tangga bervariasi tergantung banyaknya

jumlah penumpang yang naik dan yang turun, waktu kedatangan kereta, dan

persilangan kereta tiba yang mengangkut penumpang transfer. Antrian penumpang

di tangga tampak seperti gambar 1.4 di bawah ini.

Gambar 1.4 Antrian Penumpang di Tangga Stasiun Tanahabang di Pagi Hari

Sumber: Dokumentasi pribadi (Juli, 2013)

Pada tanggal 1 Juli 2013, selain mengumumkan perubahan tarif progresif

bersubsidi, PT KAI juga meresmikan perubahan tiket KRL Commuter Line yang

semula tiket kertas menjadi tiket elektronik yang berbentuk seperti kartu ATM bank.

Ketentuan pemakaian tiket elektronik ini setiap penumpang ketika hendak naik KRL

10

Commuter Line harus melakukan tapping in di pintu masuk (gate in) terlebih

dahulu. Demikian pula ketika hendak meninggalkan stasiun melakukan tapping out

di pintu keluar (gate out). Tapping adalah verifikasi tiket dengan cara menempelkan

tiket/kartu ke mesin tapping yang tersedia di semua stasiun yang melayani KRL

Commuter Line.

Perubahan sistem ticketing bagi penumpang KRL Commuter Line ternyata

berpengaruh terhadap antrian yang terjadi di Stasiun Tanahabang. Berdasarkan hasil

observasi awal, antrian penumpang hanya terjadi di loket dan tangga naik/turun.

Namun, sejak diberlakukannya tapping in dan tapping out tiket elektronik, muncul

antrian baru di area gate out. Antrian ini terutama terjadi pada pagi hari saat

penumpang dalam jumlah besar hendak keluar stasiun dan harus melakukan tapping

out terlebih dahulu. Gambar 1.5 berikut ini adalah antrian yang terjadi pada pagi

hari ketika penumpang akan melakukan tapping out.

Gambar 1.5 Antrian Penumpang di Pintu Tiket Keluar (Tapping out gate)

Sumber: Dokumentasi Pribadi (Juli, 2013)

11

1.2 Rumusan Masalah

Masalah antrian penumpang yang terjadi di pintu keluar Stasiun Tanahabang

timbul karena sarana dan prasarana yang tersedia belum memenuhi kebutuhan

penumpang yang datang dalam jumlah besar pada suatu waktu tertentu. Setiap hari,

terutama di hari kerja, penumpang harus kehilangan sebagian waktu karena harus

menunggu dalam antrian. Bagi orang-orang yang tidak setiap hari menggunakan

transportasi KA atau penumpang yang tidak setiap hari turun di Stasiun

Tanahabang, mengantri saat menuju pintu keluar stasiun mungkin tidak menjadi

masalah. Tetapi tidak demikian bagi penumpang yang setiap hari turun di Stasiun

Tanahabang dan harus mengantri sekian menit saat hendak keluar stasiun.

Jumlah penumpang yang terus bertambah sebagai dampak penerapan tarif

progresif turut memperpanjang baris antrian penumpang. Berdasarkan observasi

awal, kedatangan dua KA yang hanya berselisih waktu beberapa menit dan

menurunkan penumpang di peron yang sama, mengakibatkan antrian penumpang

yang panjang. Hal ini terjadi karena antrian penumpang dari KA sebelumnya belum

selesai, datang lagi penumpang dalam jumlah besar. Bila pihak manjemen Stasiun

Tanahabang atau PT KAI tidak segera mencari solusi untuk mengurangi antrian,

maka dikhawatirkan antrian semakin bertambah parah. Dampaknya tingkat

kepuasan dan kepercayaan penumpang terhadap Stasiun Tanahabang akan

berkurang.

Berdasarkan uraian di atas, maka antrian di dalam Stasiun Tanahabang

menjadi relevan untuk diteliti. Sistem antrian yang terjadi di Stasiun Tanahabang,

faktor-faktor yang mendukung terjadinya antrian dan langkah apa yang telah

12

dilakukan pihak manajemen stasiun untuk mengatasi antrian, berupakan beberapa

hal yang menarik untuk digali lebih lanjut.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah di atas, peneliti

mempunyai tiga pertanyaan utama yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

1. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan antrian di Stasiun

Tanahabang? (Jawaban yang ingin ketahui meliputi sarana dan

prasarana, sistem yang berlaku, upaya yang telah dilakukan manajemen

stasiun, dan lama antrian penumpang)

2. Bagaimana sistem antrian penumpang KRL Jabodetabek yang hendak

menuju pintu keluar (gate out) Stasiun Tanahabang?

3. Rekomendasi apa yang diperlukan untuk mengurangi lama antrian

penumpang di pintu keluar Stasiun Tanahabang?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas,

yaitu untuk:

1. Menggali faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan terjadinya antrian

di Stasiun Tanahabang.

2. Menganalisis sistem antrian penumpang KRL Jabodetabek di pintu

Stasiun Tanahabang sebelum dan setelah ada pintu keluar yang baru.

3. Memberikan rekomendasi untuk mengurangi antrian penumpang yang

terjadi di pintu keluar Stasiun Tanahabang

13

1.5 Manfaat Penelitian

Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

kepada semua pihak yang berkaitan dengan topik penelitian ini, antara lain:

1. Bagi manajemen Stasiun Tanahabang, hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai informasi terhadap antrian penumpang yang terjadi si

stasiun tersebut. Selain itu dapat berguna sebagai kajian evaluasi

pemisahan pintu masuk (gate in) dan pintu keluar (gate out/exit) yang

mempengaruhi lama antrian penumpang.

2. Bagi PT KAI Pusat dan PT KAI Daop 1 Jakarta, hasil penelitian ini

dapat menjadi informasi terutama masalah tentang antrian yang terjadi di

Stasiun Tanahabang.

3. Bagi stasiun Jabodetabek yang lain, yang mungkin mengalami kejadian

yang sama dengan antrian penumpang di Stasiun Tanahabang.

4. Bagi pengamat, pemerhati, pelaku, peneliti transportasi masal di

Indonesia.

5. Bagi penumpang KA, terutama penumpang KRL Commuter Line

6. Bagi penulis (peneliti), dengan melakukan penelitian ini dapat secara

langsung menerapkan ilmu yang diperoleh dalam perkuliahan di

universitas.

1.6 Batasan Penelitian

Pembatasan masalah perlu dilakukan untuk memfokuskan kajian penelitian

sehingga prosesnya menjadi terarah dan hasilnya mampu menjawab pertanyaan

14

penelitian. Beberapa batasan masalah yang dipilih sebagaimana dijelaskan di bawah

ini.

1. Penelitian dilakukan di Stasiun Tanahabang.

2. Berdasarkan observasi awal, di Stasiun Tanahabang pada waktu-waktu

tertentu ada beberapa tempat yang biasanya terjadi antrian penumpang,

antara lain di loket pembelian tiket, di pintu masuk (gate in), di peron, di

tangga naik/turun dalam stasiun, dan di pintu keluar (gate out) ketika

penumpang antri melakukan tapping out. Pada penelitian ini peneliti

hanya berfokus pada masalah antrian penumpang yang hendak keluar

stasiun. Dari pengamatan awal, lokasi yang dilewati penumpang yang

hendak keluar adalah peron, tangga naik/turun, dan pintu keluar (gate

out). Peneliti tidak mengamati antrian yang terjadi di loket pembelian

tiket karena telah banyak penelitian yang mengangkat topik antrian di

loket-loket stasiun. Peneliti juga tidak mengamati antrian penumpang di

gate in karena antrian penumpang menuju pintu keluar (gate out) Stasiun

Tanahabang lebih menarik untuk dikaji karena melibatkan kerugian

waktu ribuan penumpang setiap harinya.

3. Selama proses pengamatan antrian penumpang, populasi yang menjadi

subyek penelitian ini adalah seluruh penumpang KRL yang berhenti di

stasiun Tanahabang. Karena tidak memungkinkan bila mengambil

seluruh populasi sebagai subyek yang akan diteliti, maka akan diambil

sampel. Untuk sampel pada kegiatan observasi diambil dari penumpang

KA komuter dari tiga jurusan yaitu: (1) Maja–Tanahabang, (2)

Parungpanjang–Tanahabang, dan (3) Serpong–Tanahabang yang hendak

15

keluar stasiun. Alasan peneliti mengambil data jurusan ini karena rute

tersebut adalah rute terakhir, dimana dalam waktu yang sama semua

penumpang harus turun dari gerbong kereta. Jika membandingkan

jumlah penumpang KRL rute lain yang juga turun di Stasiun

Tanahabang, jumlah penumpang turun dari KRL rute

Maja/Parungpanjang/Serpong–Tanahabang lebih banyak. Jadi asumsinya

bahwa lama antrian menuju pintu keluar yang dialami oleh penumpang

jurusan ini lebih panjang dibandingkan penumpang turun dari rute yang

lain. Tidak semua penumpang jurusan Maja/Parungpanjang/Serpong–

Tanahabang yang turun dari KRL akan meninggalkan stasiun. Sebagian

lainnya akan transit untuk berpindah rute. Peneliti tidak mengambil data

penumpang transit, meskipun penumpang tersebut kemungkinan

mengalami antrian ketika berpindah jalur.

1.7 Sistematika Penulisan

Struktur penulisan tesis mengikuti panduan yang dikeluarkan oleh MM

UGM. Sistematika penulisan tesis dibagi ke dalam lima bab yang terdiri dari

pendahuluan, landasan toeri, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan,

serta simpulan dan saran.

Bab I membahas tentang pengantar penelitian yaitu latar belakang, rumusan

masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan

penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II mengupas tentang tinjauan pustaka

atau teori-teori yang berkaitan dengan topik yang akan diteliti.

16

Bab III menjelaskan tentang metode penelitian. Bab ini menjelaskan tentang

jenis penelitian, lokasi penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data,

dan alat analisis data.

Bab IV menguraikan tentang analisis dan pembahasan penelitian untuk

menjawab pertanyaan penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada

bab ini disampaikan hasil analisis dari data-data yang telah dikumpulkan dan diolah

selama proses penelitian. Hasil analisa data akan dikaitkan dengan teorinya.

Terakhir adalah Bab V yang akan memberikan simpulan hasil penelitian dan

saran peneliti sesuai masukan yang diperoleh dari bab sebelumnya.