bab i pendahuluan 1.1 latar belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/88838/potongan/s3-2015...1...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau
muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada
waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut. Menurut Melana et al.
(2000), kata mangrove digunakan untuk menyebut jenis pohon atau semak yang
tumbuh di antara batas air tertinggi pada saat air pasang dan batas air terendah
sampai di atas rata-rata permukaan air laut.
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang
digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove
meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri
atas 12 genera tumbuhan berbunga yaitu : Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora,
Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus. Hutan mangrove oleh masyarakat sering
disebut juga dengan hutan bakau atau hutan payau. Khazali (1998), penyebutan
mangrove sebagai bakau kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama
kelompok jenis tumbuhan yang ada di hutan mangrove.
Hutan mangrove adalah ekosistem yang terdapat di daerah intertidal antara
darat dan laut. Ekosistem mangrove merupakan daerah peralihan antara darat dan
2
laut yang mampu mendukung kehidupan organisme yang berasal dari darat dan
laut yang mampu beradaptasi. Hutan mangrove bagian atas digunakan sebagai
habitat beberapa spesies seperti mamalia, reptil, burung, dan insekta, sementara
bagian bawah baik pada akar mangrove, air, atau substrat, merupakan habitat bagi
beberapa spesies seperti alga, ikan, crustacea dan moluska (bivalvia dan
gastropoda).
Ekosistem hutan mangrove mempunyai manfaat baik secara ekologi
maupun ekonomi. Manfaat tersebut antara lain : 1) mangrove merupakan tempat
pemijahan ikan, udang, dan kepiting; serta mendukung produksi perikanan di
perairan pantai, 2) mangrove menghasilkan serasah dan materi detritus yang
merupakan sumber makanan bagi hewan di daerah estuarin dan perairan pantai,
3) mangrove melindungi area pantai dari terpaan angin, gelombang dan arus
pasang surut air laut, 4) mangrove memproduksi biomassa organik (karbon) dan
mereduksi polusi dengan cara mengabsorbsi, 5) mangrove merupakan tempat
untuk rekreasi, pengamatan burung dan observasi satwa liar lainnya, dan
6) mangrove merupakan sumber kayu dan material bangunan, serta sumber
tanaman obat-obatan (Aksornkoae, 1993).
Choudhury (2000) mengemukakan bahwa mangrove dapat ditemukan
hampir di semua pulau di Indonesia. Vegetasi hutan mangrove di Pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya dapat mencapai ukuran tinggi
50 m dan diameter 50 cm. Jumlah spesies mangrove sekitar 37 dan jenis yang
dominan antara lain yang termasuk dalam genus Rhizophora, Bruguiera,
Xylocarpus, Avicennia, Ceriops, Excoecaria, Lumnitzera, Sonneratia, Heritiera,
3
Scyphiphora, Aegiceras, Phoenix dan Nypha. Hutan mangrove di pulau Maluku
dan Nusa Tenggara tidak luas dengan ukuran pohon lebih kecil yaitu tinggi 25 m
dan diameter 16 cm.
Dahuri (2002) menyatakan bahwa luas ekosistem mangrove di Indonesia
mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas
mangrove di dunia. Kekhasan mangrove di Indonesia memiliki keragaman jenis
tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di daerah pantai
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Area mangrove di Indonesia
terus mengalami penurunan, dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi 3,24
juta hektar pada tahun 1987 dan 2,50 juta hektar pada tahun 1993.
Hutan mangrove Segaraanakan mempunyai luas 9.271,6 hektar (Yuwono
et al., 2007). Hutan mangrove Segaraanakan berperan penting dalam siklus hidup
beberapa organisme perairan karena hutan mangrove merupakan tempat
pemijahan, berlindung, dan mencari makan. Busono (2008) mengemukakan
ekosistem hutan mangrove Segaraanakan mampu mendukung kehidupan 45 jenis
ikan, 17 jenis diantaranya tidak menetap. Jenis ikan yang menetap antara lain;
udang, kepiting, lobster, kerapu merah, cumi-cumi dan kerang totok, sedangkan
jenis yang tidak menetap misalnya ikan sidat.
Kualitas ekosistem Segaraanakan terus mengalami penurunan yang
disebabkan oleh sedimentasi dan penurunan luas hutan mangrove. Sedimentasi
yang terjadi terus menerus mengakibatkan penyempitan dan pendangkalan laguna
dan sungai-sungai di Segaraanakan. Erosi di daerah hulu sungai yang bermuara di
Segaraanakan seperti Ci Tanduy, Ci Meneng dan Ci Bereum menyumbangkan
4
material lumpur sebanyak 5.000.000 m3/tahun dan 1.000.000 m3/tahun di
antaranya menjadi sedimen di laguna Segaraanakan (Sukardi, 2010). Laju
sedimentasi yang tinggi menyebabkan pendangkalan dan penyempitan laguna
Segaraanakan. Luas laguna Segaraanakan pada tahun 1978 sebesar 3.491 hektar,
tahun 1995 sebesar 1.173,1 hektar, tahun 2001 sebesar 1.004,1 hektar dan tahun
2006 sebesar 931,8 (Purwanto dkk., 2014). Rata-rata penurunan luas laguna
Segaraanakan setiap tahun sebesar 91,4 hektar.
Hutan mangrove Segaraanakan setiap tahun terus mengalami kerusakan
dan semakin sempit. Luas hutan mangrove yang semakin sempit disebabkan oleh
penebangan liar, pembukaan lahan untuk pemukiman, pertanian, dan tambak.
Luas hutan mangrove Segaraanakan pada tahun 1978 sebesar 17.090,1 hektar,
tahun 1995 sebesar 10.974,6 hektar, tahun 2001 sebesar 9.881,6 hektar, dan tahun
2006 sebesar 9.237,8 hektar (Purwanto dkk., 2014).
Penurunan kualitas ekosistem Segaraanakan menyebabkan penurunan
hasil perikanan. Busono (2008) mengemukakan, hasil perikanan di Segaraanakan
pada tahun 1990 berkisar antara 62 sampai 82 milyar/tahun, dan pada tahun 2000
berkisar antara 15 sampai 18 milyar/tahun. Penurunan hasil perikanan tersebut
sangat dirasakan oleh masyarakat, bahkan hasil tangkapan ikan pada saat sekarang
tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Hasil tangkapan
ikan masyarakat pada thaun 2010 berkisar antara 0,6 sampai 9,1 kg/unit/trip
(Tjahjo dan Riswanto, 2013). Penurunan hasil tangkapan ikan menyebabkan
masyarakat mencari alternatif untuk memanfaatkan potensi perikanan yang belum
dimanfaatkan. Salah satu potensi perikanan yang melimpah dan belum banyak
5
dimanfaatkan yaitu kerang bakau atau kerang totok (Polymesoda erosa Lightfoot
1786).
Kerang bakau merupakan anggota philum Moluska kelas Bivalvia.
Kerang bakau di Indonesia banyak terdapat di hutan mangrove seperti di Papua,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatera dan Jawa. FAO (1998) menyatakan bahwa
habitat kerang bakau adalah dasar hutan mangrove yang berlumpur dan daerah
estuarin. Kerang ini mempunyai sifat infauna atau semi-infauna yang mendiami
habitat berpasir dan berlumpur di kawasan pesisir sebagai penyusun komunitas
makrozoobenthos. Kerang bakau mempunyai toleransi tinggi terhadap perubahan
kondisi habitat, apabila dalam kondisi tidak tergenang air, kerang dapat
mengambil oksigen dari udara melalui tepi cangkang bagian belakang dan
mengambil makanan dari air tanah dengan cara menyerap air tersebut melewati
bagian depan katup. Kemampuan seperti ini dapat berlangsung untuk beberapa
hari.
Kerang bakau banyak dikonsumsi oleh masyarakat karena rasanya yang
enak dan sebagai sumber protein alternatif. Oleh karena itu masyarakat di
Segaraanakan banyak mengambil kerang bakau di alam untuk diperdagangkan.
Pengambilan kerang bakau secara langsung dari alam oleh masyarakat secara
terus menerus akan mengancam keterdapatan kerang bakau di kawasan mangrove
Segaraanakan.
6
1.2 Perumusan Masalah
Mangrove Segaraanakan terletak di sebelah barat daya Kota Cilacap, Jawa
Tengah ( 108O 46’ - 109ᴼ 05’ BT; 7O 34’ - 7ᴼ 48’ LS) (Ardli & Wolf, 2009).
Bagian selatan Segaraanakan terdapat Pulau Nusakambangan yang memisahkan
dengan Samudra Hindia. Perairan Segaraanakan dipengaruhi oleh pasang surut
Samudra Hindia yang melewati dua penghubung pada bagian barat dan timur,
serta aliran air tawar dari beberapa sungai terutama Ci Tanduy.
Ekosistem Segaraanakan mempunyai nilai ekonomi dan ekologi tinggi
karena kekayaan sumberdaya alam yang ada. Berbagai spesies mangrove, ikan,
udang, kepiting, burung, dan mamalia dapat ditemukan baik di laguna, sungai,
rataan lumpur dan mangrove. White et al. (1989) menyatakan bahwa mangrove
Segaraanakan terdiri atas 26 spesies tumbuhan mangrove, yang paling banyak
ditemukan dan mempunyai nilai ekonomi penting adalah Rhizophora apiculata,
R. Mucronata dan Bruguiera gymnorrhiza. Ikan yang terdapat di Segaraanakan
sebanyak 45 spesies, yaitu 17 spesies tidak tetap, 12 spesies tetap dan 16 spesies
pendatang musiman. Spesies ikan ini, sekitar 85 % merupakan ikan yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain berbagai spesies ikan, komoditi
perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah kelas crustacea.
Nordhaus et al. (2009) menyatakan bahwa komunitas benthos di
Segaraanakan terdiri atas ; Gastropoda (55 spesies), Bivalvia (16 spesies),
Crustaceae (57 spesies), Polychaeta (23 spesies) dan beberapa yang mempunyai
jumlah spesies sedikit seperti Oligochaeta dan Nematoda. Menurut Dudley (2000)
kelas crustacea yang ada antara lain Scylla spp., Portunus pelagicus, Tellina spp.,
7
Penaeus merguensis, P. Chinensisi, P. Monodon, Metapenaeus ensis, M. elegan,
dan M. dopsoni.
Komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi adalah
berbagai spesies ikan dan crustaceae. Keterdapatan ikan dan crustaceae di
kawasan Segaraanakan semakin sedikit sehingga masyarakat banyak mengambil
kerang-kerangan sebagai alternatif sumber protein dan diperjualbelikan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Potensi perikanan Segaraanakan semakin
menurun karena ekosistem Segaraanakan semakin rusak. Kerusakan ekosistem
Segaraanakan antara lain disebabkan oleh sedimentasi, penurunan luas hutan
mangrove, dan peningkatan jumlah penduduk.
Sungai yang bermuara di Segaraanakan seperti Ci Tanduy, Ci Meneng dan
Ci Bereum menyumbangkan material lumpur sebanyak 5.000.000 m3/tahun dan
1.000.000 m3/tahun di antaranya menjadi sedimen di laguna Segaraanakan
(Sukardi, 2010). Laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan pendangkalan dan
penyempitan laguna Segaraanakan. Luas laguna Segaraanakan pada tahun 1978
sebesar 3.491 hektar, tahun 1987 sebesar 2.224,8 hektar, tahun 1991 sebesar
1.187,4 hektar, tahun 1995 sebesar 1.173,1 hektar, tahun 2001 sebesar 1.004,1
hektar, tahun 2004 sebesar 1.001,9 hektar, dan tahun 2006 sebesar 931,8 (Ardli
dkk ., 2008).
Hutan mangrove Segaraanakan setiap tahun terus mengalami kerusakan
dan semakin sempit. Luas hutan mangrove yang semakin sempit disebabkan oleh
penebangan liar, pembukaan lahan untuk pemukiman, tambak, dan pertanian.
Kawasan hutan yang mudah mendapatkan pasokan air tawar masyarakat
8
membuka lahan pertanian terutama padi. Luas hutan mangrove Segaraanakan
pada tahun 1978 sebesar 17.090,1 hektar, tahun 1987 sebesar 15.827,6 hektar,
tahun 1991 sebesar 12.592,3 hektar, tahun 1995 sebesar 10.974,6 hektar, tahun
1998 sebesar 10.938,3. tahun 2001 sebesar 9.881,6 hektar, tahun 2004 sebesar
9.271,6 hektar dan tahun 2006 sebesar 9.237,8 hektar (Ardli dkk ., 2008). Rata-
rata penurunan luas hutan mangrove setiap tahun sebesar 280,44 hektar.
Penduduk Kecamatan Kampunglaut merupakan penduduk yang
berdomisili di sekitar Segaraanakan, terdapat dalam empat desa yaitu Desa
Ujungalang (5.115 orang), Ujunggagak (4.472 orang), Klaces (1.506 orang) dan
Penikel (5.747 orang) (Badan Pusat Statistik Kabupaten Cilacap, 2013). Aktivitas
utama masyarakat Kampung laut adalah nelayan, pertanian dan perikanan semi
intensif (tambak). Peningkatan jumlah nelayan merupakan faktor penyebab
eksploitasi sumberdaya pesisir seperti perikanan dan hutan mangrove secara
berlebihan yang berakibat kerusakan lingkungan.
Kondisi ekosistem Segaraanakan yang semakin rusak menyebabkan
penurunan populasi berbagai jenis ikan dan udang sehingga hasil tangkapan
nelayan semakin menurun. Penurunan hasil tangkapan menyebabkan nelayan
mencari alternatif sumber daya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sumberdaya perikanan yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif penghasilan adalah kerang
bakau.
Kerang bakau termasuk salah satu jenis kerang yang hidup di dasar hutan
mangrove dengan membenamkan sebagian tubuhnya ke dalam lumpur. Kerang
9
ini mempunyai sifat infauna atau semi-infauna yang mendiami habitat yang
berpasir dan berlumpur di kawasan pesisir sebagai penyusun komunitas
makrozoobenthos. Kerang ini juga merupakan salah satu komponen utama
komunitas sedimen lunak di kawasan pesisir seperti hutan mangrove (Hendrickx
et al., 2007).
Kerang bakau dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan untuk
diperdagangkan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kerang bakau banyak
diambil oleh masyarakat karena banyak diminati oleh masyarakat dan mudah
didapatkan di kawasan hutan mangrove Segaraanakan. Aktivitas pengambilan
kerang bakau oleh masyarakat yang tidak terkendali dan kondisi ekosistem
Segaraanakan yang semakin buruk, maka dikhawatirkan populasi kerang bakau
akan semakin menurun dan mengalami kepunahan.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut muncul beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kemelimpahan kerang bakau di kawasan hutan mangrove
Segaraanakan?
2. Bagaimana pengaruh musim terhadap kemelimpahan kerang bakau?
3. Apa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kemelimpahan kerang
bakau?
4. Bagaimana pengaruh pemanfaatan terhadap kelestarian kerang bakau?
10
1.4 Tujuan Penelitian
Kondisi ekosistem Segaraanakan yang semakin rusak terutama ekosistem
mangrove yang merupakan habitat kerang bakau dan adanya pemanfaatan kerang
bakau oleh masyarakat, maka penelitian ini bertujuan seperti berikut ini.
1. Mengkaji kemelimpahan kerang bakau di kawasan hutan mangrove
Segaraanakan.
2. Mengkaji pengaruh musim terhadap kemelimpahan kerang bakau.
3. Menganalisis pengaruh faktor lingkungan terhadap kemelimpahan kerang
bakau.
4. Mengkaji pengaruh pemanfaatan terhadap kelestarian kerang bakau.
1.5 Kegunaan Penelitian
Penelitian tentang ”Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Kelestarian
Kerang Bakau (Polymesoda erosa Lightfoot 1786) di Kawasan Mangrove
Segaraanakan”, akan memberikan manfaat secara luas baik dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, pembangunan maupun bagi masyarakat. Manfaat penelitian
ini secara terperinci dapat diuraikan seperti berikut ini.
1. Dalam bidang pengetahuan akan menambah pengetahuan secara mendalam
tentang pengaruh faktor lingkungan kemelimpahan kerang bakau.
2. Dalam bidang pembangunan dapat memberikan informasi tentang kondisi
lingkungan yang cocok untuk kehidupan kerang bakau sehingga informasi ini
dapat digunakan baik dalam pelestarian maupun budidaya.
11
3. Manfaat kepada masyarakat akan memberikan pedoman dalam pengambilan
kerang bakau di alam terutama jumlah yang dapat diambil.
1.6 Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian tentang kerang bakau dan kajian habitat sebagai dasar
pelestarian sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, namun terdapat perbedaan
antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya. Perbedaan tersebut antara lain: tujuan penelitian, variabel penelitian,
dan teknik pengolahan data. Perbedaan yang dapat menunjukkan keaslian
penelitian ini disajikan pada Tabel 1.1.
12
Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian Disertasi Penulis.
No. Nama Judul dan Lokasi Tujuan Metode Hasil
1. Endang Supriyantini dkk ., 2007
Kandungan Asam Lemak Omega-3 (Asam Linolenat) pada Kerang Totok (Polymesoda erosa) yang diberi Pakan Tetrasilmis chuii dan Skeletonema costatum.
Mendapatkan informasi tentang pengaruh pemberian pakan alami Tetrasilmis chuii dan Skeletonema costatum terhadap kandungan asam lemak omega-3 pada kerang totok (Polymesoda. erosa).
Eksperimental laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap dengan 2 faktor dan 3 ulangan
Jenis pakan alami berpengaruh nyata terhadap kandungan asam lemak omega-3 sedangkan waktu sampling tidak berpengaruh.
2. Jabang Nurdin dkk ., 2006
Kepadatan Populasi dan pertumbuhan kerang darah (Anadara antiquata L.) di Teluk Sungai Pisang Kota Padang Sumatera Barat
Menetahui Kepadatan Populasi dan Pertumbuhan Kerang darah (Anadara antiquata L.),
Survei lapangan dengan metode sampling berstrata
Terjadi perbedaan kepadatan kerang pada lokasi yang berbeda dan laju pertumbuhan kerang tidak berbeda nyata
3 Kenneth Rodnick & Hiram W. Li (1983)
Model Indeks Kesesuaian Habitat kerang Protothaca staminea di Pulau Aleutian dan Pulau Socorro, Mexico.
Membuat model kesesuaian habitat antara 0 (habitat tidak sesuai) dan 1 (habitat optimal).
Metode survei, penyusunan model aplikasi dan model deskripsi.
Model ini hanya merupakan hipotesis hubungan antara habitat dengan spesies bukan merupakan pernyataan hubungan sebab akibat.
4. Onrizal dkk ., 2007 Kelimpahan dan Keanekaragaman Makrozoobentos pada Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi di Pantai Timur Sumatera
Mengetahui faktor-faktor biotik dan abiotik yang memengaruhi keanekaragaman dan kemelimpahan makrozoobentos
Survei lapangan dan pengamatan jenis di laboratorium
Kemelimpahan makrozoobentos dipengaruhi oleh tekstur, kandungan karbon organik, dan pH
13
No. Nama Judul dan Lokasi Tujuan Metode Hasil
5. Rahmat Amin dkk ., 2009
Sebaran Densitas Sumberdaya Kerang Kepah (Polymesoda erosa) di Perairan Pemangkat Kabupaten Sambas Kalimantan Barat
Mengetahui sebaran dan densitas kerang kepah (Polymesoda erosa) di perairan Pemangkat Kabupaten Sambas Kalimantan Barat
Metode survei dan analisis sidik ragam anova
Terdapat perbedaan kepadatan Kerang kepah pada stasiun pengamatan yang berbeda.
6. Sandhya Clemente and Baban Ingole (Marine Biology Research, 2009)
Perkembangan Gamet dan Pemijahan Kerang Lumpur (Polymesoda erosa, Solander 1876) di Pulau Charao, Goa
Mengetahui karakteristik biologi reproduksi Polymesoda erosa di Pulau Chorao, Goa.
Metode survei dan pembuatan preparat mikroskopis organ reproduksi Polimesoda erosa
Gametogenesis Polymesoda erosa di Pulau Chorao dipengaruhi oleh suhu dan salinitas air.
7. Sandhya Clemente and Baban Ingole (Brazilian Journal of Oceanography, 2011)
Pengambilan Kerang Polymesoda erosa pada Habitat Mangrove di Pulau Charao, Goa, India
Mengetahui distribusi juvenil Polymesoda erosa dewasa pada daerah pasang surut hutan mangrove.
Metode sampling dengan pembuatan transek
Distribusi Polymesoda erosa di Pulau Charao, Goa, India berbeda antara tingkat juvenil dan kerang dewasa.
8.
Sandhya Clemente et al ., 2013
Aktivitas Oksidasi Sulfid sebagai Strategi pada Polymesoda erosa (Pulau Charao, Goa, India)
Mengetahui aktivitas Polymesoda erosa pada ekosistem mangrove terkait dengan kemampuannya untuk melakukan aktivitas oksidasi sulfid
Metode sampling, analisis aktivitas enzim, dan identifikasi bakteri
Bakteri endosimbiosis dapat melakukan oksidasi sulfid yang terdapat di sekitar kerang.
9. Tamsar dkk ., 2013 Laju Pertumbuhan dan Tingkat Eksploitasi Polymesoda erosa pada Daerah Hutan Mangrove di Teluk Kendari
Mengetahui laju pertumbuhan dan tingkat eksploitasi kerang Polymesoda erosa di Teluk Kendari
Metode simpel random sampling
Laju pertumbuhan kerang Polymesoda erosa masih baik dan pemanfaatan oleh masyarakat masih rendah.
14
No. Nama Judul dan Lokasi Tujuan Metode Hasil
10. M. Sofwan Anwari (2015)
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kelestarian Kerang Bakau (Polymesoda erosa Lightfoot 1786) di Kawasan Mangrove Segaraanakan
Mengkaji kemelimpahan kerang bakau di kawasan mangrove, pengaruh musim dan faktor lingkungan terhadap kemelimpahan kerang bakau, serta mengkaji hubungan pemanfaatan dan kelestarian kerang bakau di Segaraanakan
Survei lapangan, analisis laboratorium, analisis statistik dengan PCA, Regresi kubik dan bioenvironment.
Kemelimpahan kerang bakau tidak dipengaruhi oleh kerapatan vegetasi, kemelimpahan kerang bakau dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan musim, pemanfaatan kerang bakau mengancam kelestarian kerang bakau di alam.