bab i histamin

Upload: mona-bintiabdulrazak

Post on 16-Oct-2015

47 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ANTIHISTMIN

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangBerdasarkan pada penelitian epidemiologi asma dan alergi di Jakarta (2006), didapatkan prevalensi asma adalah 13,9%. Angka ini meningkat dibandingkan beberapa studi sebelumnya di Jakarta yang menunjukkan prevalensi asma berkisar antara 7-9%. Demikian pula halnya dengan prevalensi rinitis alergi yang meningkat dari 9% menjadi 12,3%, dan peningkatan prevalensi dermatitis atopi dari 4% menjadi 24,6%. Peningkatan prevalensi penyakit alergi ini membutuhkan perhatian khusus karena perkembangan penyakit alergi sangat mempengaruhi kualiatas perkembangan dan pertumbuhan anak. Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan penyakit alergi, terutama dalam pemahaman pentingnya pencegahan yang sangat efektif bila dilakukan dalam masa awal kehidupan dan pemahaman bahwa respons inflamasi mendasari reaksi alergi. Oleh karena itu, tatalaksana medikamentosa yang diberikan juga harus berdasarkan pada reaksi inflamasi alergi yang mendasari penyakit (Helmy, 2007).Alergi (Lat = berlaku berlainan), istilah ini yang juga disebut hipersensitivitas, pertama kali dicetuskan oleh Von Pirquet yang menggambarkan reaktivitas khusus dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali atau berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar imunologi. Kepekaan berbeda terhadap suatu antigen exogen atas dasar proses immunologi. Pada dasarnya reaksi imun tersebut berfungsi melindungi organisme terhadap zat-zat asing yang menyerang tubuh (Tjay,2008). Bila suatu protein asing (antigen) masuk berulang kali kedalam aliran darah seseorang yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B akan membentuk antibodies dari tipe IgE (disamping IgG dan IgM). IgE juga disebit regain, mengikatkan diri pada membrane mast-cells tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (alergen) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. Hasilnya adalah suatu reaksi alergi (akibat pecahnya membran mast-cells) (Tjay,2008).BAB IITUJUAN PERCOBAAN2.1 Tujuan Percobaan Untuk mengetahui efek antihistamin dari pemberian obat CTM 1 % dosis 6 mg /kg BB Untuk mengetahui efek antihistamin dari pemberian ekstrak bangun-bangun 4 % dosis 100 mg / kg BB Untuk mengetahui Perbandingan antara efek antihistamin dengan pemberian obat CTM 1 % dosis 6 mg /kg BB dan pemberian ekstrak bangun-bangun 4 % dosis 100 mg / kg BB Untuk mengetahui fungsi penyuntikan antigen (suspensi ovalbumin) dan larutan evans blue.

2.2 Prinsip PercobaanReaksi anafilaksis kutan akut akibat pemberian antigen atau protein asing dapat dihambat dengan pemberian obat antialergi. Pada saat terjadi reaksi alergi maka sel mast akan banyak melepas mediator, salah satunya adalah histamin, sehingga konsentrasinya di dalam darah akan meningkat. Evans blue akan bereaksi dengan histamin membentuk warna biru di daerah suntikan ovalbumin (intrakutan), setelah pemberian evansb lue secara intravena pada vena ekor tikus.

BAB IIITINJAUAN PUSTAKAHistaminAda banyak histamin di dalam lobus anterior dan posterior hypophysis dan hypothalamus berdekatan. Sel jaringan yang mengandung heparin yang dinamai sel mast mempunyai kandungan histamin yang tinggi dan kebanyakan histamin berada di dalam hypophysis posterior didalam sel mast (Ganong, 1995).Histamin dibentuk oleh dekarboksilasi asam amini histidin. Enzim yang mengkatalisis tahap ini berbeda dari L-asam amino aromatic dekarboksilase yang mendekarboksilasi 5-hidroksi-triptofan dan L-dopa. Histamin diubah ke metilhistamin atau penggantinya ke asam imidazoleasetat (Ganong, 1995).Ada 3 jenis reseptor histamin yang dikenal, H1,H2, dan H3, serta ketiganya ditemukan di dalam jaringan tepi dan otak. Kebanyakan (jika tidak semua) reseptor H3 merupakan presinap serta ia memperantarai inhibisi seksresi histamin. Reseptor H1 mengaktifasi fosfolipase C serta reseptor H2 meningkatkan AMP siklik intrasel. Fungsi sistem histaminergik di dalam otak tak pasti, tetapi histamine telah berhubungan dengan membangunkan dari tidur dan regulasi seksresi sejumlah hormon hypophysis anterior (Ganong, 1995).Histamin berperan penting dalam fenomena fisiologis dan patologis terutama pada anafilaksis, alergi, trauma dan syok. Selain itu terdapat bukti bahwa histamine merupakan mediator terakhir dalam respon sekresi cairan lambung; histamine juga mungkin berperan dalam reegulasi mikrosirkulasi dan dalam fungsi SSP. Histamin terdapat pada hewan antara lain pada bias ular, zat beracun, bakteri dan tanaman. Hamper semua jaringan mamalia mengandung precursor histamine. Kadar histamine paling tinggi ditemukan pada kulit, mukosa usus, dan paru-paru (Sjamsudin, 1995).Histamine yang asal makanan atau yang dibentuk bakteri usus bukan merupakan sumber histamine endogen karena sebagian besar histamine ini dimetabolisme di dalam hati, paru-paru serta jaringan lain dan dikeluarkan melalui urin. Enzim penting untuk sintesis histamine adalah L-histidin dekarboksilase. Depot utami histamin ialah mast cell dan juga basofil dalam darah (Sjamsudin, 1995).Aktvasi reseptor H1, yang terdapat pada endotel dan sel otot polos, menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, dan sekresi mukus. Sebagian dari efek tersebut mungkin diperantarai oleh peningkatan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) di dalam sel. Histamin juga berperan sebagai neurotransmiter dalam susunan saraf pusat (Sjamsudin, 1995).Aktivasi reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung. Selain itu juga berperan dalam vasodilatasi dan flushing. Histmin menstimulasi sekresi asam lambung, meningkatkan kadar cAMP dan menurunkan kadan cGMP, sedangkan antihistamin H2 menghambat efek tersebut. Pada otot polos bronkus aktivasi reseptor H1 oleh histamin menyebabkan bronkokonstriksi, sedangkan aktivasi reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 oleh agonis reseptor H2 menyebabkan relaksasi (Sjamsudin, 1995).Histamin eksogen bersumber dari daging, dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamine dari histidin. Sebagian histamine diserap kemudian sebagian besar akan dihancurkan dalam hati, sedangkan sebagian kecil masih ditemukan dalam arteri tetapi jumlahnya terlalu rendah untuk merangsang sekresi lambung. Pada pasien sirosis hepatis, kadar histamine dalam darah arteri akan meningkat setelah makan daging, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya tukak peptik. Histamine diserap secara baik setelah pemberian SK atau IM. Efeknya tidak ada karena histamine cepat dimetabolisme dan mengalami difusi ke jaringan. Histamine yang diberikan oral tidak efektif karena diubah oleh bakteri usus menjadi N-asetil-histamin yang diserapkan diinaktivasi dalam dinding usus atau hati (Sjamsudin, 1995).Pada manusia ada dua jalan utama dalam metabolism histamine, yaitu: (1) metilasi oleh histamine-N-metiltransferase menjadi N-metilhistamin; N-metilhistamin oleh MAO diubah menjadi asam N-metil imidazol asetat; (2) deaminasi oleh histamine atau diaminoksidase yang non-spesifik menjadi asam imidazol asetat dan mungkin juga dalam bentuk konjugasinya dengan ribose. Metabolit yang terbentuk akan dieksresikan dalam urin (Sjamsudin, 1995).Pada individu yang rentan terhadap alergi, paparan dengan alergen (antigen) menghasilkan aktivasi sel Th2 dan produksi antibodi IgE. Reaksi kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun tersebut merupakan reaksi hipersensitivitas dan istilah alergi sering disamakan dengan hipersensitivitas segera (tipe I). Antibodi IgE terikat dengan afinitas tinggi melalui bagian Fc dengan reseptor FcRI di sel mast. Proses pelapisan (coating) sel mast oleh IgE ini disebut sensitisasi, karena pelapisan ini menyebabkan sel mast sensitif terhadap aktivasi bila terjadi paparan ulang antigen. Selama fase sensitisasi awal, tidak terdapat reaksi kerusakan pada pejamu yang berlebihan. Apabila sel mast yang tersensitisasi oleh IgE terpapar kembali dengan antigen, sel akan teraktivasi untuk mengeluarkan mediator (Helmy, 2007).Aktivasi sel mast terjadi sebagai hasil ikatan alergen dengan 2 atau lebih antibodi IgE di sel mast. Setelah adanya ikatan silang, maka akan memicu signal biokimia yang menyebabkan degranulasi cepat, sintesis dan sekresi mediator lipid dan sintesis dan sekresi sitokin Terapi reaksi hipersensitivitas segera bertujuan untuk menghambat degranulasi sel mast, melawan efek mediator sel mast dan mengurangi inflamasi. Histamin merupakan mediator utama dalam reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh karena itu, salah satu terapi utama dalam alergi adalah pemberian antihistamin. Antihistamin merupakan antagonis reseptor histamin yang mempunyai sifat menghambat efek histamin. Antihistamin mempunyai struktur yang menyerupai histamin sehingga dapat menempati reseptor histamin (Helmy, 2007).Mediator penting pada sel mast adalah amin vasoaktif dan protease yang berasal dari granul, produk metabolisme asam arakidonat dan sitokin (TNF-, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6 dan kemokin termasuk IL-8). Mediator amin utama, yaitu histamin menyebabkan dilatasi pembuluh darah kecil, meningkatkan permeabilitas vaskular dan menstimulasi kontraksi otot polos transient (bronkokonstriksi). Produk sel mast, terutama histamin, berperan penting dalam respon alergi fase cepat. Protease akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Metabolit asam arakidonat termasuk prostaglandin (jalur siklooksigenase) (Helmy, 2007). Alergi ialah keadaan reaksi organisme yang berubah terhadap senyawa tertentu (alergen), yaitu organisme bereaksi lain terhadap bahan ini dibandingkan sebelumnya. Pada prinsipnya ini dapat berupa suatu kereaktifan yang diperkuat (hiperergi), diperlemah (hipoergi) atau tak ada (anergi). Walaupun demikian dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang alergi hanya digunakan dalam arti hiperergi (Mutschler, 1991).Hipersensitivitas dapat digolongkan sebagai yang bersifat segera atau tertunda bergantung waktu yang diperlukan untuk terjadinya gejala-gejala klinis setelah paparan inang dengan antigen persensitivasi, yakni tipe I-IV (Tjay,2008). Tipe I, gangguan-gangguan alergi (reaksi segera) berdasarkan reaksi antara alergen-antibody (IgE) dengan degranulasi mast-cell dan khusus terjadi pada orang yang berbakat genetis (keturunan). Tipe I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi anafilaksis dan terutama berlangsung disaluran napas dan di kulit, jarang di saluran cerna dan di pembuluh (Tjay,2008). Tipe II, autoimunitas (reaksi sitolitis) antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam darah dan menyebabkan sel musnah. Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi darah. Timbulnya penyakit autoimun adalah bila sistem imun tidak mengenali jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodies atau se-sel T autoreaktif (Tjay,2008). Tipe III, gangguan imun-kompleks (reaksi Arthus). Pada peristiwa ini, antigen pada sirkulasi bergabung dengan terutama IgG menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel pembuluh. Di tempat itu respons terjadi peradangan, yang disebut penyakit serum yang bercirikan urtikaria, demam dan nyeri otot serta sendi (Tjay,2008). Tipe IV (reaksi lambat,delayed). Antigen terdiri dari suatu kompleks hapten + protein, yang bereaksi dengan T-limfosit yang sudah disensitisasi. Limfokin tertentu dibebaskan, yang menarik makrofag dan neutrofil, sehingga terjadi reaksi peradangan. Proses penarikan tersebut disebut chemotaxis. Mulai reaksinya sesudah 24-48 jam dan bertahan beberapa hari (Tjay,2008).Bentuk alergi tipe I s/d III berkaitan dengan imunoglobulin dan imunitas humoral artinya ada hubungan dengan plasma. Hanya tipe IV berdasarkan imunitas seluler (Tjay,2008).

AntihistaminAntihistamika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek-efek histamin terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin (penghambatan saingan). Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistamikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni reseptor H1 dan reseptor H2. Berdasarkan penemuan ini antihistamin juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis H1 dan antagonis H2 (Tjay,2008).Berikut adalah beberapa jenis antihistamin, antara lain:1. H1-blockers (antihistamika klasik)Mengantagonir histamin dengan jalan memblok reseptor H1 di otot licin dan dinding pembuluh, bronchi dan saluran cerna, kandung kemih, dan rahim. Begitu pula melawan efek histamin di kapiler di ujung saraf. Efeknya adalah simtomatis, antihistamika tidak dapat menghindarkan timbulnya reaksi alergi. Berdasarkan kerjanya terhadap SSP, antihistamika digolongkan menjadi 2 kelompok, yakni:a. Obat generasi ke-1Prometazin, oksomemazin, tripelennamin (klor) feniramin, difenhidramin, siproheptadin (Periactin), Azelastin (Allergodil). Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSP dan kebanyakan memiliki efek antikolinergis (Tjay,2008).b. Obat generasi ke-2Astemizol, terfenadin dan fexofenadin, loratidin, levokabastin (Livocab) dan emedastin (Emadin). Zat-zat ini bersifar hidrofil dan sukar mencapai CCS (cairan cerebrospinal), maka pada dosis terapeutis tidak bekerja sedatif. Keuntungan lainnya adalah plasma t1/2-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup dengan 1-2 kali sehari. Efek anti-alerginya selain berdasarkan khasiat antihistamin, juga berkat dayanya menghambat sintesis mediator radang seperti prostaglandin, leukotri dan kinin (Tjay,2008).

2. H2-blockers (penghambat asam)Obat-obat ini menghambat secara selektif sekresi asam lambung yang meningkat akibat histamin, dengan jalan persaingan terhadap reseptor H2 di lambung. Efeknya adalah berkurangnya hipersekresi asam klorida, juga mengurangi vasodilatasi dan tekanan darah menurun. Senyawa ini banyak digunakan pada terapi tukak lambung-usus guna mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai zat pelindung tambahan pada terapi denga kortikosteroid. Lagi pula sering kali bersama suatuzat stimulator motilitas lambung (cisaprida) pada penderita reflux. Penghambat asam yang sering digunakan adalah simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin, dan roksatidin yang merupakan senyawa heterosiklis dari histamin (Tjay,2008).3. Antialergi lainAH1 tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simtomatik reaksi hipersensitivitas akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamin yang sebenarnya merupakan pemacu untuk dibentuk atau dilepaskannya autakoid. Baru kemudian histamin dan autakoid lain ini bersama-sama menimbulkan gejala alergi. Untuk menghambat semua efek ini diperlukan berbagai penghambat autakoid tersebut hal ini pada kenyataannya sulit dicapai, sebab belum terseudia penghambat untuk semua autakoid. Itulah sebabnya pengobatan reaksi alergi lebih ditujukan pada penggunaan antagonis fisiologinya misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala alergi yang tidak berespn terhada AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya penghambat autakoid, tidak tertuju pada penyebabnya. Salah satu terapi hipersensitivitas lain adalah secara profilaksis, yaitu menghambat produksi atau pelepasan autakoid dari sel masy dan basofil yang telah disensitisasi oleh antigen spesifik (Tjay,2008).

Interaksi Obat pada Pengobatan AlergiAntihistamin menekan system saraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah fungsi tubuh seperti koordinasi dan kewaspadaan. Depresi berlebihan dan hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika antihistamin digunakan bersama dengan depresan system saraf pusat lainnya seperti terlihat pada interaksi berikut ini (Harkness, 1989). Antihistamin Alkohol, Antikonvulsan, Antidepresan (jenis siklik), Antipsikotika, Obat tekanan darah tinggi, Narkotika, Pil tidur,dll)Akibatnya:mengantuk, pusing, hilangnya koordinasimotorik dan kewaspadaan mental sehingga berbahaya bagi ybs. Pada kasus berat timbul kegagalan peredaran darah dan fungsi pernafasan, menyebabkan koma serta kematian (Harkness, 1989). Antihistamin Antikolinergikaa. Kombinasi ini dapat menyebabkan efek samping antikolinergik berlebihan.Akibatnya : Penglihatan kabur, mulut kering, sembelit, palpitasi jantung, bicara tak jelas, kesulitan kencing, iritasi lambung, kemungkinan psikosis toksik (cemas, disorientasi, meracau) (Harkness, 1989).b. Antikolinergetika tertentu dapat menyebabkan efek samping depresan yang berlebihan.Akibatnya:mengantuk, pusing, hilangnya koordinasimotorik dan kewaspadaan mental sehingga berbahaya bagi ybs. Pada kasus berat timbul kegagalan peredaran darah dan fungsi pernafasan, menyebabkan koma serta kematian. Sediaan antikolinergika yang menyebabkan interaksi ini antara lain Akineton, Artane, Cogentin, Kemadrin, Norflex, Pegitane, Robinul dan Transderm-Scop (Harkness, 1989).Alergi Makanan Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan system tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni, tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologik. Batasan lebih jelas dibuat oleh American Academy of Allergy and immunology,The National Institute of Allergy and infections disease yaitu:1. Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions): Istilah umum untuk reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder terhadap alergi makanan (hipersensitifitas) atau intoleransi makanan.2. Allergy makanan (Food Allergy): Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Intoleransi Makanan (Food intolerance) : adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu(Widodo. J, 2000).Mediator inflamasi yang diproduksi pada penyakit alergi antara lain mediator lipid, peptida inflamasi, kemokin, sitokin dan faktor pertumbuhan. Selain itu, juga terdapat bukti bahwa sel struktural dari saluran nafas, seperti sel epitel, sel otot polos, sel endotel dan fibroblas merupakan sumber utama mediator inflamasi pada asma. Pada tingkat selular, kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi di saluran nafas, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast dan sel dendritik. Efek ini dicapai dengan menghambat rekrutmen atau penarikan sel inflamasi tersebut ke saluran nafas melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi, serta juga menghambat keberadaan (survival) sel inflamasi di saluran nafas, seperti eosinofil, limfosit T dan sel mast. Oleh karena itu, kortikosteroid mempunyai efek antiinflamasi spektrum luas, melalui inhibisi mediator inflamasi dan sel inflamasi serta sel struktural (sel epitel, endotel, otot polos saluran nafas dan kelenjar mukus), sehingga berdampak pada berkurangnya infiltrat atau aktivasi inflamasi, stabilisasikebocoran vaskular, penurunan produksi mukus dan peningkatan respons -adrenergik

Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus, L.),sebutan yang lazim dipakai oleh orang Batak, merupakan salah satu etnobotani Indonesia yang secara turun temurun dimanfaatkan masyarakat Sumatra Utara sebagai menu sayuran sehari-hari dan terutama disajikan untuk ibu-ibu yang baru melahirkan. Tanaman ini tidak diketahui asal usulnya, batangnya berbentuk bulat dan sedikit berambut, jarang berbunga (warnanya ungu putih) namun mudah sekali dibiakkan dengan stek dan cepat berakar di dalam tanah. Komposisi kandungan kimia daun Bangun-bangun secara ilmiah belum banyak diketahui (Santosa dan Hertiani, 2004).Beberapa yang sudah pernah diteliti oleh Dr Boorsma, juga menurut Mardisiswojo dan Rajakmangunsudarso (1985) ditemukan bahwa dalam daun ini mengandung minyak atsiri (0,043% pada daun segar atau 0,2% pada daun kering). Minyak atsiri dari daun Bangun-bangun selain berdaya antiseptika ternyata juga mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al., 2000). Phytochemical database (Duke, 2000) melaporkan bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, vitamin B1, vitamin B12, beta karotin, niasin, karvakrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Senyawa-senyawa tersebut berpotensi terhadap bermacam-macam aktivitas biologik, misalnya antioksidan, diuretik, analgesik, mencegah kanker, antitumor, antivertigo, immunostimulan, antiradang, antiinfertilitas, hipokolesterolemik, hipotensif, dan lain-lain khasiat yang perlu diteliti lebih lanjut. Di kepulauan China, jus daun ini diberikan untuk obat batuk anak-anak ditambah gula. Manfaat lain adalah sebagai obat asthma dan bronkitis (Jain dan Lata, 1996). Disamping itu, komponen daun ini sudah pernah dimasukkan sebagai komponen obat jamu ibu hamil yang ternyata menurut penelitian mempunyai sifat oksitosik (Nurendah 1982) dan analgesik (Santosa dan Hertiani, 2004).Infus ekstrak daun tersebut dapat meningkatkan volume air susu induk tikus dan berat badan anaknya. Penelitian selanjutnya pada ibu-ibu masa laktasi menunjukkan bahwa sayur daun Bangunbangun yang dikonsumsi terbukti dapat meningkatkan total volume Air Susu Ibu (ASI), berat badan bayi, dan komposisi zat besi, seng, dan kalium dalam ASI (Santosa dan Hertiani, 2004).

BAB IVMETODOLOGI PERCOBAAN

4.1 AlatTimbangan hewan, Spuit skala1: 100 ml, Jam Tangan, Alat cukur, Box kaca

4.2 BahanOvalbumin, NaCl 0,9%, Evans blue, CTM 1 % dosis 6 mg/kg BB, Ekstrak daun bangun-bangun 4 % dosis 100 mg/ kg BB.

4.3 Hewan PercobaanHewan yang diuji adalah tikus (Rattus norvegicus) sebanyak 8 ekor

4.4 Prosedur Percobaan1. Satu minggu sebelum praktikum hewan ditimbang dan ditandai.2. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok.3. Hewan disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspensi ovalbumin sebanyak 0,1 ml dalam NaCl 0,9% secara i.p dan 3 hari selanjutnya disensitisasi secara aktif dengan injeksi supensi ovalbumin sebanyak 0,1 ml dalam NaCl 0,9% secara intraplantar.4. Pada hari praktikum, hewan yang sudah disensitisasi dicukur bulu punggungnya lalu ditritmen dengan CTM dengan dosis 6 mg/kg BB dan larutan ekstrak daun bangun-bangun dosis 100 mg/kg BB5. Satu jam berikutnya, hewan disuntik dengan larutan evasn blue sebanyak 0,2 ml, secara intravena melalui vena ekor.6. Hewan disuntikkan lag denganovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara subkutan.7. Dilakukan pengamatan dengan interval waktu 30, 60, dan 80 menit.8. Anafilaksis kutan aktif ditandai dengan munculnya benjolan yang berwarna biru pada area injeksi (punggung).9. Hasil pengamatan diberikan skor sperti yang terdapat pada tabel berikut.

Intensitas Warna Pada AreaSkorIritasi

Tidak berwarnaSedikit berwarna biruWarna biru terangWarna biru gelapBengkak dengan warna biru gelap02468Tidak adaRinganRinganModerat (>4)Berat

4.5 Perhitungan Dosisa. Kontrol CMC 0,5%, 1% BB Tikus 1 = 129,4 gVolume CMC yang disuntikkan (ml)= 1% x berat badan= 1% x 129,4= 1,294 mlJika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 129,4 skala

Tikus 2 = 125,4 gVolume CMC yang disuntikkan (ml)= 1% x berat badan= 1% x 125,4= 1,254 mlJika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 125,4 skala

b. Pembanding ekstrak daun bangun-bangun 4%, dosis100 mg/kg BB Tikus 1 = 145,2 gKonsentrasi obat = 4 %4 %= 4 g/100 ml= 4 g x 1000 mg/100 ml= 40 mg/ml Jumlah Obat = Jumlah Larutan yang diberikan = = 0,363 mlJika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 36,3 skala

Tikus 2 = 135,6 gKonsentrasi obat = 4 %4 %= 4 g/100 ml= 4 g x 1000 mg/100 ml= 40 mg/ml Jumlah Obat = Jumlah Larutan yang diberikan = = 0,339 ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 33,9 skala

Tikus 3 = 133,8 gKonsentrasi obat = 4 %4 %= 4 g/100 ml= 4 g x 1000 mg/100 ml= 40 mg/ml Jumlah Obat = Jumlah Larutan yang diberikan = = 0,334 ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 33,4 skalac. Uji CTM 1% dosis 6 mg/kg BB Tikus 1 = 114,7 gKonsentrasi obat = 1 %1 %= 1 g/100 ml= 1 g x 1000 mg/100 ml= 10 mg/ml Jumlah Obat = Jumlah Larutan yang diberikan = = 0,0688 mlJika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 6,8 skala Tikus 2 = 146,3 gKonsentrasi obat = 1 %1 %= 1 g/100 ml= 1 g x 1000 mg/100 ml= 10 mg/ml Jumlah Obat = Jumlah Larutan yang diberikan = = 0,0877 ml

Jika skala dalam syringe 1 ml = 100 skala, maka1 skala= 1 : 100= 0,01 mlJadi jumlah yang diberikan dengan syringe 1 ml adalahJumlah Larutan= = 8,778 skala

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 HasilTabel. Data hasil percobaanNoKelompokWaktu Pengamatan

30 Menit60 Menit90 Menit

1.CMC 0,5 % dosis 1% BB246

266

2.CTM 1% dosis 6 mg/kg BB002

000

000

3.Ekstrak daun bangun-bangun 4% dosis 100 mg/kg BB 444

000

Keterangan warna:Intensitas Warna Pada AreaSkorIritasi

Tidak berwarnaSedikit berwarna biruWarna biru terangWarna biru gelapBengkak dengan warna biru gelap02468Tidak adaRinganRinganModerat (>4)Berat

5.2 GrafikTerlampir

5.3 PembahasanPercobaan aktivitas obat/sediaan uji terhadap kekebalan tubuh (imunitas) ini dengan menggunakan 8 ekor tikus, di lihat aktivitas dari sediaan yang ada yaitu untuk kontrol dengan masing- masing perlakuan menggunakan 2 tikus perlakuan tersebut adalah pemberian CMC 0,5% sebagai kontrol, sediaan uji digunakan ekstrak daun bangun-bangun 4% dosis 100 mg/kg BB dan sebagai pembanding digunakan CTM 1% dosis 6 mg/kg BB.Seminggu sebelum praktikum kedelapan tikus disensitisasi dengan menggunakan ovalbumin dalam 2 kali pemberian yaitu pemberian pertama di lakukan pada hari senin dan pemberian kedua dilakukan hari jumat setelah itu dilakukan pencukuran punggung tikus. Pada percobaan diinjeksikan secara subkutan obat/sediaan uji yang dipakai.dan di injeksikan secara intravena larutan evans blue untuk melihat anafilaksis kutan aktif pada pemberiaan obat/sediaan uji. Kemudian diberikan lagi ovalbumin pada daerah punggung tikus secara subkutan. Lalu dilakukan pengamatan. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun bangun-bangun tidak menunjukkan perubahan warna pada punggung tikus, sedangkan pada tikus kontrol menunjukkan adanya warna biru pada punggung tikus yang semakin lama semakin jelas, sedangkan pada tikus dengan pemberian CTM pada menit awal menunjukkan adanya warna biru pada punggung tikus, namun selanjutnya warna tersebut hilang. Warna biru pada punggung tikus kontrol menunjukkan bahwa CMC Na tidak memiliki zat yang dapat mencegah pelepasan histamin sehingga pada tikus control histamin lepas kemudian bereaksi dengan darah yang kemudian menimbulkan warna biru. Sedangkan pada CTM menunjukkan perubahan warna pada punggung tikus, dari berwarna biru menjadi tidak berwarna Karen menurut buku Dinamika Obat CTM merupakan salah satu antihistaminika H1 yang bekerja meniadakan secara kompetitif kerja histamine pada reseptor H1 yang artinya CTM meniadakan kerja histamine tersebut (Mutschler, 1991).Pada tikus dengan pemberian ekstra, tidak menimbulkan warna biru pada punggung. Hal ini diduga ekstrak tersebut bekerja dengan cara menghambat pengeluaran histamine sehingga larutan evans blue tidak terikat pada histamin dan tidak menimbulkan warna biru pada punggung tikus. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Santosa dan siti tentang ekstrak daun bangun-bangun, terhadap aktivitas fagositosis sel netrofil terhadap . Sel netrofil adalah salah satu komponen selular sistem pertahanan tubuh yang berfungsi utama dalam fagositosis segala macam benda asing yang masuk dalam tubuh. Meningkatnya kemampuan fagositosis sel netrofil, diharapkan dapat pula meningkatkan sistem pertahanan tubuh individu bersangkutan. Ekstrak daun bangun-bangun ini telah dibuktikan karena mampu meningkatkan pertahanan tubuh dengan cara meningkatkan sifat fagositik sel netrofil. Tetapi penyuntikan larutan evans blue yang tidak sempurna, menyebabkan jumlah larutan evans blue yang masuk ke vena sedikit, maka warna biru tidak terbentuk (Santosa dan Siti, 2004).

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan CTM ( Clortrimeton ) 1 % dosis 6 mg/kg BB memberikan efek antihistamin pada tikus Ekstrak daun bangun-bangun 4 % dosis 100 mg/kg BB memberikan efek antihistamin pada tikus Efektivitas CTM 1 % dosis 6 mg/kg BB sebagai antihistamin lebih baik dibandingkan dengan ektrak daun bangun-bangun 4 % dosis 100 mg/kg BB Evans blue dapat memberikan tanda warna biru pada daerah punggung tikus setelah pemberian suspensi ovalbumin secara sub kutan

6.2 Saran Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya, dalam membandingkan efektivitas antihistamin dengan sediaan uji dilakukan terhadap hewan percobaan yang lain dan memiliki berat badan yang sama atau tidak tidak jauh berbeda Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya, di uji dengan menggunakan obat histamin Golongan lain yang telah diketahui mekanismer kerjanya sebagai antihistamin Sebaiknya untuk praktikum selanjutnya, di uji dengan menggunakan ekstrak tumbuhan laen yang mempunyai efek sebagai antihistamin dan telah digunakan masyarakat secara empiris.

11