bab i difteria

33
BAB I PENDAHULUAN Difteria adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau mukosa 5 . Penyakit ini telah didokumentasikan pertama kali muncul pada abad ke-4 hingga abad ke-5 sebelum masehi dan merupakan salah satu penyebab kematian pada anak sebelum adanya vaksin yang terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah yang beriklim panas. Walaupun angka kematian yang disebabkan oleh difteria menurun secara perlahan-lahan di negara industri pada awal abad ke-20 (yang disertai dengan perbaikan standar hidup) namun difteria masih tetap menjadi salah satu penyebab kematian terbesar pada anak-anak sebelum vaksinasi ditegakkan secara luas 2 . Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4 kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia 13. Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995 meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya

Upload: chuck55

Post on 28-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I Difteria

BAB I

PENDAHULUAN

Difteria adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh

Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau

mukosa5.

Penyakit ini telah didokumentasikan pertama kali muncul pada abad ke-4 hingga abad ke-

5 sebelum masehi dan merupakan salah satu penyebab kematian pada anak sebelum adanya

vaksin yang terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah yang beriklim panas.

Walaupun angka kematian yang disebabkan oleh difteria menurun secara perlahan-lahan di

negara industri pada awal abad ke-20 (yang disertai dengan perbaikan standar hidup) namun

difteria masih tetap menjadi salah satu penyebab kematian terbesar pada anak-anak sebelum

vaksinasi ditegakkan secara luas2.

Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4

kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau

lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar

ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia13.

Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995

meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya

meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994

dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB

tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal13.

Menurut laporan UNICEF, di Indonesia terjadi kematian bayi setiap 3 menit. Salah satu

penyebab kematian tersebut disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Secara akumulatif setiap tahun terjadi kematian anak akibat reemerging desease yang dapat

dicegah dengan imunisasi seperti difteri dan tetanus. Berdasarkan data memperlihatkan bahwa

kasus difteri paling banyak terjadi pada anak yang tidak divaksinasi atau vaksinasi tidak

lengkap.12

Berdasarkan data Surveilans Nasional, Kejadian Luar Biasa (KLB)  Difteri telah

menyebar di beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Timur menyumbang 83% kasus Difteri di

Page 2: BAB I Difteria

Indonesia. Di Kota Surabaya sendiri terhitung mulai 12 Oktober 2012, tercatat 59 kasus Difteri

dengan kasus satu orang meninggal (dengan penyakit dasar Leukimia). 11

Penyakit ini hingga sekarang sudah menurun dengan drastis. Meskipun vaksinasi difteria

sudah diterapkan di hampir seluruh belahan dunia, namun data terakhir mengenai insidensi

difteria pernah dilaporkan meningkat pada tahun 1990-1995 yang terjadi di negara berkembang

bahkan di beberapa negara bekas pecahan Uni Soviet yang sebelumnya memiliki riwayat kontrol

vaksinasi difteria yang sangat bagus4.

Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahas difteria lebih lanjut terutama

mengenai insidensi difteria, patogenesis dan patofisiologi toksin difteria, diagnosis, terapi hingga

pencegahan yang tepat terhadap penyakit ini.

Page 3: BAB I Difteria

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular yang disebabkan oleh

Corynebacterium diphteriae yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan

atau mukosa1. Infeksi ini biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang-kadang pada

kulit, konjungtiva, genitalia serta

Telinga5.

2.2 Epidemiologi

Difteria merupakan penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia. Insidensinya menurun

secara nyata setelah perang dunia II terutama setelah penggunaan toksoid difteria. Mortalitasnya

juga menurun sekitar 5-10%. Penyakit ini banyak terdapat di daerah padat penduduk dengan

angka kematian yang cukup tinggi, namun angka kesakitan dan kematiannya menurun secara

drastis setelah adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI)5,2. Di ruang perawatan penyakit

menular bagian Ilmu kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata

dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari

dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus

dengan angka kematian 3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun

demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas

populasi suatu keadaan wabah dan status imunitas populasi setempat1.

Penyakit ini ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet saat

batuk, bersin, atau berbicara serta muntahan/debu. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang

padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor penting terjadinya

penyakit ini6. Sementara itu angka kesehatan dan kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit

propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang serta Ujung Pandang ternyata masih tetap

tinggi seperti yang tertera pada Tabel 11.

Page 4: BAB I Difteria

Tabel 1. Angka Kesehatan dan Kematian akibat Difteria dari Tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang serta Ujung Pandang

Tahun

RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMHKasus

*m%

Kasus

*m%

Kasus

*m%

Kasus

*m% Kasus *m%

1991 22 50 28 10,7 0 0 70 8,6 32 21,91992 25 32 26 7,7 12 0 34 5,9 19 26,31993 19 26,3 18 0 7 0 12 0 16 62,51994 16 18,8 12 0 10 10 8 0 13 46,21995 12 25 6 0 4 0 9 11,1 7 14,31996 7 28,6 3 0 1 0 11 0 14 42,9

Keterangan :

RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

*m = meninggal

RSHS = RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung

RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang

RSK = RS. Kariadi, Semarang

RSU PMH = RS. Dr. Muh. Husein, Palembang.

Penyakit ini umumnya terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun terutama

pada anak-anak usia sekolah dasar2,3. Walaupun vaksinasi difteri telah dilakukan secara luas di

sejumlah negara, namun kasus difetri masih tetap saja muncul. Hal ini terlihat dengan munculnya

kasus difteri sebayak 140.000 kasus dengan kematian 4.000 jiwa disejumlah negara pecahan Uni

Soviet pada awal tahun 1990. Selama 2 decade sebelumnya penyakit ini terkontrol dengan

sangat bagus di Uni Soviet terutama setelah dilakukannya imunisassi difteri masal terhadap

anak-anak pada awal tahun 19505. Bangkitan kembali difteri di sejumlah negara pecahan Uni

Soviet ini tergolong unik karena sebanyak 64-82% kasus menyerang orang diatas usia 15 tahun3.

Sementara itu, sebanyak 27.134 kasus difteri di Brazil muncul kembali pasca vaksinasi

beberapa tahun sebelumnya di Negara tersebut yang terjadi dalam rentang tahun 1980-1989.

Selama periode tersebut dilaporkan bahwa sebanyak 25% kasus difteri terjadi pada anak-anak

yang telah mendapat vaksinasi difteri sebelumnya3. Sejumlah peneliti mencari penyebab

timbulnya bangkitan kembali kasus difteri di sejumlah negara seperti Brazil dan sejumlah negara

pecah Uni Soviet di era pasca vaksinasi masal pada anak-anak di Negara tersebut. Beberapa

diantaranya berpendapat bahwa bangkitan ini timbul akibat munculnya biotipe bakteri

Page 5: BAB I Difteria

Corynebacterium diphtheriae yang baru. Sejumlah peneliti lai berpendapat bahwa hal ini dapat

diakibatkan oleh karena cara dan jadwal pemberian vaksin yang kurang tepat. Factor imunitas

inang (status imunologis) juga dapat berperan dalam hal ini. Pemukiman yang padat dan

kotor juga dapat meningkatkan

insidensi munculnya penyakit tersebut3,4.

2.3 Etiologi

Corynebacterium diphteriae merupakan kuman batang gram positif yang tidak bergerak,

pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan mati pada pemanasan 600C. Coryne

sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya tongkat. Bakteri ini juga tahan dalam keadaan

beku dan kering serta pada pewarnaan tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V atau

merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina serta membentuk sudut tajam antara yang

satu dengan yang lainnya yang memiliki bentuk yang khas seperti korek api5. Bakteri ini tumbuh

secara aerob, dalam media sederhana, namun lebih baik dalam media yang mengandung K-

tellurit atau media Loffler. Pada membran mukosa manusia bakteri ini dapat hidup bersama-sama

dengan kuman diphteroid saporofit yang memiliki morfologi yang serupa sehingga kadang-

kadang untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,

kanji, glukosa, maltosa serta sukrosa1.

Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis,

namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat

heterogen dan mempunyai banyak tipe serulogik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa

pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas

C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.

Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.0000 dalton, tidak tahan

panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi-

terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh

adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh

bakteriofag yang mengandung toxigen1.

2.4 Patogenesis dan Patofisiologi

Page 6: BAB I Difteria

Corynebacterium diphteriae masuk melalui hidung dan mulut dari droplet yang keluar

saaat batuk, bersin, ataupun berbicara yang selanjutnya menempel pada mukosa saluran napas

bagian atas, kadang-kadang menempel pada kulit, mata, atau mukosa genitalia. Jika bakteri ini

melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas, maka

selanjutnya bakteri tersebut mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling dan

menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah1,7.

Setelah 2-4 hari masa inkubasi kuman dengan Corynephage akan menghasilkan toksin

yang pada awalnya diabsorbsi oleh membran sel, selanjutnya terjadi penetrasi dan interferensi

dengan sintesis protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur

terhadap Nicotinamid Adenine Dinucleotide (NAD) dengan membentuk formasi sehingga

Transferase Adenosine Difosforilase tidak aktif. Toksin yang melekat pada jaringan tubuh

manusia akan menghambat pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel

dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapatkan

kedudakan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam

amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses

translokasi. Translokasi ini merupakan perpindahan gabungan transfer RNA + dipeptida dari

kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokasi (elongation

factor-2) yang aktif 1,5.

Page 7: BAB I Difteria

Gambar 1. Pengambilan dan Aktivitas Toksin Difteria pada Sel Eukariot 6

Kedua gambar di atas memperlihatkan aktivitas toksin difteria saat memasuki sel inang.

Jika dilihat dari segi molekulernya toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel

dengan bantuan fragmen B. Fragmen B ini akan melekat pada prekursor Heparin-binding

Epidermal Growth Factor (HB-EGF) yang merupakan protein pada banyak tipe sel. Selanjutnya

fragmen A akan masuk serta mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses NAD +

EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif

tersebut menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian

polipeptida yang diperlukan. Sintesis protein akibatnya terputus karena enzim diperlukan untuk

memindahkan asam amino dari RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida. Hal ini akan

menyebabkan terjadinya nekrosis pada daerah kolonisasi kuman yang selanjutnya menyebabkan

terjadinya inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak

eksudat yang pada mulanya mudah dilepas 6.

Lama-kelamaan toksin yang diproduksi semakin banyak dengan daerah infeksi semakin

melebar dan terbentuklah eksudat fibrin yang berupa membran yang melekat erat bewarna

kelabu kehitaman yang tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Membran ini terdiri dari

fibrin, sel radang, eritrosit serta sel epitel. Bila membran ini diangkat maka akan terjadi

perdarahan. Membran ini akan terlepas dengan sendirinya pada masa penyembuhan. Edema

dapat juga terjadi pada jaringan di bawahnya sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernafas

bila terjadi pada daerah laring/ trakeo bronkial 5,7.

Toksin difteria akan menyebar dalam tubuh dan melalui darah setelah membran terbentuk

dan merusak jaringan organ tubuh terutama jantung, saraf, dan ginjal. Walaupun terdapat

antitoksin yang dapat menetralisasi toksin yang sudah masuk ke dalam sel. Setelah toksin masuk

ke dalam jaringan terjadi variasi periode laten sebelum timbulnya manifestasi klinis5.

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Corynebacterium diphteriae dipengaruhi oleh

sejumlah faktor sehingga manifestasi klinisnya dapat bervariasi dari tanpa gejala hingga sampai

pada suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Faktor primer yang berperan adalah

imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenisitas Corynebacterium

Page 8: BAB I Difteria

diphteria (kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor

lain termasuk umur, penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya5,2.

Masa inkubasi biasanya berkisar 2-5 hari walaupun dapat lebih singkat (hanya satu hari),

dapat juga berkisar 8 hari bahkan hingga 4 minggu, misalnya hanya sakit tenggorok yang ringan,

panas yang tidak tinggi yang berkisar antara 37,80-38,90 C. Awalnya tenggorakan hanya terlihat

hiperemis namun kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan. Oleh karena itu, pasien

pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik 1,5.

Membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, serta uvula dalam 24 jam.

Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam

tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran ini

mempunyai batas jelas serta melekat dengan jaringan di bawahnya sehingga sukar diangkat dan

apabila diangkat secara paksa dapat menimbulkan perdarahan 2,1.

Gambar 2. Pseudomembran pada Difteri6

Gejala lokal serta sistemik secara bertahap akan menghilang dan membran akan

menghilang. Perubahan ini akan lebih cepat menghilang setelah pemberian antitoksin. Biasanya

proses yang terjadi pada difteria sedang akan menurun pada hari ke-5 hingga ke-6 walaupun

Page 9: BAB I Difteria

tanpa pemberian antitoksin. Difteria akan lebih berat bila terjadi pada anak yang lebih muda.

Biasanya difteri yang seperti ini disertai dengan adanya bullneck serta dengan gejala yang lebih

berat dan membran yang menyebar secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.

Gambaran bullneck ini timbul akibat pembengkakan kelenjar leher, infiltrat ke dalam jaringan

sel-sel leher dari satu telinga ke telinga lain dan mengisi di bawah mandibula5,7.

Gambar 3. Bull neck pada Penderita Difteri

Miokarditis biasanya timbul pada hari ke-10 hingga hari ke-14 setelah terjadinya infeksi

ataupun dapat juga terjadi pada akhir minggu pertama atau minggu keenam. Neuritis perifer

biasanya timbul pada minggu 3-7 minggu setelah perjalanan penyakit. Perubahan patologis yang

ditemukan pada jaringan organ adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin. Sementara itu pada

sistem saraf juga dapat ditemukan adanya degenerasi lemak dari sarung mielin. Pada hati dapat

terjadi nekrosis sehingga terjadinya hipoglikemia. Sementara itu nekrosis tubular

akut dapat terjadi pada ginjal1,5.

Page 10: BAB I Difteria

Tabel 2. Manifestasi Klinis Difteri1

Gejala Klinis RSCM RSHS RSK RSU PMHKasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%

Demam<2 hari 12 18,2 58 62,4 40 27,8 13 12,9>2hari 54 81,8 35 37,6 104 72,3 88 87,1

Obstruksi LaringDerajat I 7 10,6 0 0 13 9,0 17 16,8Derajat II 4 6 12 12,9 5 3,5 21 20,8Derajat III 11 16,7 36 36,7 0 0 18 17,8Derajat IV 10 15,2 8 6,6 59 3,5 23 22,8

Bullneck 39 59 31 33,3 37 25,7 36 35,6Miokarditis 29 43,9 12 12,9 5 3,5 29 28,7

Keterangan : RSCM = RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, RSHS = RS Hasan Sadikin, Bandung, RS Dr. Kariadi, Semarang, RS Dr. Muh. Husein, Palembang, *m% = meninggal. Data tahun 1991-1996

2.6 Jenis-jenis Difteria

2.6.1 Difteria Tonsil dan Faring

Gejala yang timbul pada difteria jenis ini biasanya tidak khas, berupa malaise, anoreksia,

sakit tenggorok sehingga menyebabkan nyeri menelan serta panas subfebris. Selanjutnya dalam

1-2 hari kemudian dapat timbul membran yang melekat yang bewarna putih kelabu yang dapat

menutupi tonsil dan dinding faring dan meluas hingga ke uvula dan palatum molle atau ke bawah

laring dan trakea. Selain itu dapat juga terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular. Jika

limfadenitis ini terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas dapat timbul

bullneck. Gejala selanjutnya bergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada

kasus yang berat bahkan dapat terjadi gagal pernapasan dan sirkulasi1,7.

Beratnya penyakit bergantung pada derajat berat toksemia dengan suhu dapat normal atau

sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus yang ringan membran biasanya akan

menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Sementara pada kasus yang berat

ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma

dan biasanya akan meninggal dalam 6-10 hari. Sementara pada kasus yang sedang biasanya

penyembuhan lambat diserta komplikasi seperti miokarditis dan neuritis5.

Page 11: BAB I Difteria

2.6.2 Difteria Hidung

Difteria hidung awalnya menyerupai common cold , dengan gejala pilek ringan atau

disertai gejala sistemik ringan.. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinis dan kemudian

mukupurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak

membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik

yang timbul tidak nyata seghiingga diagnosis lambat dibuat 1.

Angka kejadian difteria hidung ini adalah 2% dari kasus difteria dengan gejala paling

ringan. Timbulnya difteria hidung sulit dibedakan dengan pilek. Biasanya difteria hidung

ditandai dengan adanya sekret dari hidung yang tidak khas. Panasnya hanya bersifat subfebris

dengan sekret hidung mula-mula serous kemudian menjadi serosanguinus yang dapat timbul

unilateral atau bilateral yang dapat menjadi mukopurulen disertai ekskoriasi hidung anterior dan

bibir atas yang memberikan gambaran seperti impetigo1,5.

Gambar 4. Difteria Hidung

Sekret ini biasanya menempel di septum nasi. Epistaksis dapat terjadi dalam beberapa

kasus. Pada tempat ini absorbsi toksin sangat kecil sehingga difteria hidung tergolong ringan.

Infeksi ini cepat menghilang melalui pemberian antitoksin. Jika sekret ini tidak diobati maka

sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan akan menjadi sumber utama penularan 5,2.

Page 12: BAB I Difteria

2.6.3 Difteria Laring

Difteria jenis ini biasanya terjadi akibat penjalaran difteria faring. Akan tetapi kadang-

kadang dapat berdiri sendiri tanpa adanya difteria faring. Secara klinis difteria jenis ini sulit

dibedakan dengan obstruksi laringitis akut yang disebabkan oleh infeksi lain. Penyakit ini

biasanya disertai panas dan batuk serta suara yang serak. Gejala obstruksi dapat berupa adanya

stridor inspiratoar, retraksi suprasternal, supraklavikular dan subkostal. Perjalanan penyakit

bergantung pada beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Pada kasus yang ringan pemberian

antitoksin akan menghilangkan gejala obstruksi dan membran hilang pada hari ke-6 hingga hari

ke-101. Sementara pada kasus yang sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang

ditandai dengan gelisah, sianosis, lemah, koma, dan meninggal. Pada kasus ringan dapat terjadi

suatu obstruksi akut dan kematian mendadak akibat sebagian membran yang terlepas dan

menyumbat saluran napas. Kira-kira sebanyak 35% dari difteria laring adalah murni/primer.

Sebagian besar difteria laring (65%) merupakan kelanjutan dari difteria tonsil dan faring

sehingga gejalanya berupa toksemia dan obstruksi 1,2.

Jakson membagi derajat dispneu laring progresif menjadi 4 stadium, yaitu5:

Stadium 1 : yang ditandai dengan terdapat cekungan supraternal. Keadaan ini tidak mengganggu

dan penderita tetap tenang.

Stadium 2 : cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah dengan cekungan di

epigastrium dan penderita mulai tampak gelisah. Pada stadium ini sudah diindikasikan untuk

dilakukan trakeostomi.

Stadium 3 : tampak cekungan suprasternal, supraklavikular, infraklavikular, epigastrium serta

intercostal. Pada stadium ini penderita tampak sangat gelisah dan sukar untuk bernapas. Stadium

ini diindikasikan untuk dilakukan trakeostomi.

Stadium 4 : gejala di atas semakin berat dimana penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat

tenaga untuk bernapas serta tampak seperti ketakutan dan pucat/sianosis.

2.6.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga

Tipe difteria ini merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit

ditandai dengan ulkus yang berbatas jelas dengan dasar membran putih-abu-abu. Kelainannya

cenderung menahun. Jika difteria ini terjadi pada mata yang mengenai konjungtiva ditandai

dengan adanya membran di konjungtiva palpebra. Jika terjadi pada telinga ditandai dengan

Page 13: BAB I Difteria

timbulnya otitis media eksterna dengan sekret mukopurulen dan berbau. Difteria

vulvoginal ditandai adanya ulkus dengan batas yang jelas1.

2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis dini difteria secara cepat merupakan hal yang penting karena

keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis secara

cepat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditandai dengan adanya pseudomembran. Oleh

karena itu, diagnosis ditegakkan secara cepat tanpa harus menunggu hasil mikrobiologi.

Penegakan diagnosis melalui pembuatan preparat apusan kurang dapat dipercaya sedangkan

untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari1,5.

Sebenarnya membran di tenggorokan tidak terlalu spesifik untuk difteria karena sejumlah

penyakit lain juga dapat dijumpai membran. Akan tetapi membran pada difteria agak berbeda

dengan penyakit lain yang ditandai dengan warna membran pada difteria yang bewarna lebih

gelap dan lebih keabu-abuan dengan disertai lebih banyak fibrin dan melekat pada mukosa di

bawahnya dan jika diangkat akan terjadi perdarahan. Membran ini biasanya dimulai dari tonsil

dan menyebar ke uvula1,7.

Sementara untuk pemeriksaan bakteriologis bahan yang diambil adalah membran atau

bahan di bawah membran dimana bahan dibiakkan dalam media Loffler, K-Tellurite serta blood

agar. Pada pemeriksaan laboratorium darah dan urin tidak ditemukan arti yang spesifik. Leukosit

dapat meningkat atau normal yang kadang-kadang dapat terjadi anemia akibat hemolisis sel

darah merah. Sementara itu pada neuritis cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit

peningkatan protein1.

Selain itu dapat juga dilakukan tes Shick yang merupakan tes kulit yang digunakan untuk

menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna dalam menegakkan diagnosis dini

karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan

cairan toksin sebanyak 0,1 ml (1/50 MLD) secara intradermal. Jika dalam tubuh penderita tidak

ada antitoksin maka akan terjadinya pembengkakan, eritema dan sakit 3-5 hari setelah

penyuntikan. Sebaliknya jika dalam tubuh penerita terdapat antitoksin maka

toksin akan segera dinetralisasi sehingga tidak terjadi reaksi kulit5.

Page 14: BAB I Difteria

2.8 Diagnosis Banding

2.8.1 Diagnosis Tonsil dan Faring (Difteri Fausial)

Tonsilitis Folikularis atau lakunaris

Biasanya disertai dengan panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlalu lemah.

Faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan yang rapuh dan lembek

dan tidak mudah berdarah bila diangkat dan hanya terbatas pada tonsil saja. Biasanya tonsilitis

folikularis disebabkan oleh Streptococcus hemolyticus Grup A. Penyakit ini memiliki respon

yang sangat baik dengan pemberian Penicillin dan akan hilang dalam 24 jam1.

Angina Plaut Vincent

Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau, dan bewarna keabu-

abuan. Di bawah membran terdapat ulserasi yang biasanya terdapat pada anak dengan gizi buruk.

Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fusiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif) 1.

Mononukleus Infeksiosa

Penyakit ini khas ditandai dengan adanya membran di tonsil yang disertai pembengkakan

kelenjar umum dan pembesaran limpa serta pada pemeriksaan darah tepi ditemukan limfosit

abnormal dalam jumlah banyak1,5.

Diskrasia Darah

Diskrasia darah, seperti agranulositosis dan leukimia dapat memberikan komplikasi lesi

oral yang menyerupai difteria1.

2.8.2 Difteria Laring

Laringitis akut

Pada laringitis akut didapatkan gejala peningkatan suhu, batuk, suara serak sampai afoni,

sesak napas serta stridor. Gejala laringitis akut pada anak lebih berat dibandingkan dengan orang

dewasa karena glotis anak relatif lebih kecil dibandingkan orang dewasa dan ikatan mukosa

dengan jaringan di bawahnya masih regang. Biasanya pada pemeriksaan laringoskopi direk

didapatkan mukosa laring yang tampak merah dan edema tanpa membran5.

Edema angioneurotik dan Laring

Edema jenis ini diakibatkan akibat respon alergi terhadap makanan atau obat yang

ditandai dengan sesak, sianosis, retraksi suprasternal yang tiba-tiba dan

respon sangat drastis terhadap pengobatan adrenalin5.

Page 15: BAB I Difteria

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk isolasi C. Diphteriae yaitu dengan menyiapkan bahan

pemeriksaan berupa biakan yang harus diambil dari hidung dan tenggorok dan dari salah satu

tempat lesi mukokutan lainnya dengan cara apusan dari tepi atau bagian bawah tepi

pseudomembran dan sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di

bawahnya, kemudian ditanam pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes  toksinogenesitas

secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek) atau pemeriksaan preparat langsung meskipun

sangat jarang memberi hasil yang positif. Meskipun demikian, diagnosis ditegakkan berdasarkan

temuan klinis tanpa menunggu konfirmasi pemeriksaan laboratorium untuk menemukan kuman

C. diphteriae karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Sedangkan cara

yang lebih akurat adalah dengan identifikasi menggunakan fluorescent antibody technique

namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat

membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan

masih memerlukan penjajakan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas8, 9,10. 

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Isolasi dan Karantina :

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 2 kali berturut-turut setelah masa akut

terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan  berikut terlaksana10 :

a. Biakan hidung dan tenggorok

b.Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria)

c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier

Bila  kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)

2. 10. 2 Pengobatan

Tujuan mengobati penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat

secepatnya pada jaringan, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,

Page 16: BAB I Difteria

mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati  infeksi penyerta dan

penyulit difteria1.

Adapun pengobatan difteria secara umum adalah sebagai berikut:

1. Pasien harus diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2

kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.

2. Tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu.

3. Pemberian cairan serta diet yang adekuat

4. Pasien dengan difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara

dengan menggunakan nebulizer. Bila terjadi tanda obstruksi jalan nafas disertai kegelisahan,

iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi

tindakan trakeostomi sesegera mungkin. Orotrakeal intubasi merupakan alternatif lain, tetapi

dapat menyebabkan terlepasnya membran, sehingga akan gagal untuk mengurangi

obstruksi9,10.

Sementara itu pengobatan difteria secara khusus adalah sebagai berikut:

1. Pemberian Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

Antitoksin  harus  diberikan segera setelah  dibuat  diagnosis diphtheria.

2. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu.  Oleh karena pada

pemberian ADS terdapat  kemungkinan  terjadinya  reaksi anafilaktik, maka harus tersedia

larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

3. Tes kulit dilakukan  dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis  1 :

1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

4. Tes  konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes  larutan serum  1 : 10 dalam garam

faali. Pada  mata  yang  lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20  menit tampak

gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

5. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS  diberikan  dengan cara desensitisasi. Bila tes

hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan

intravena.1

Page 17: BAB I Difteria

Tabel 3. Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit1

Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian

Difteri Hidung 20.000 IV

Difteri Tonsil 40.000 IM/IV

Difteri Faring 40.000 IM/IV

Difteri Laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi diatas 80.000 IV

Difteri + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat Berobat (>72 Jam), 80.000-100.000 IV

lokasi dimana aja

2.10.3 Pemberian Antibiotik

Pemberian antibiotic diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk

membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50,000-100,000

IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hiperswensitivitas penisilin, diberikan

eritromisin 40mg/kgBB/hari1.

2.10. 4 Pemberian Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan pemberian kortikosteroid pada

difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala:

- obstruksi jalan nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)

- bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah

miokarditis ternyata tidak terbukti.

Prednison 2mg/kgBB/hari selam 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap1.

2.10.5 Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik

oleh karena penyulit yang  disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila tampak

kegelisahan, iritsabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan

trakeostomi1.

Page 18: BAB I Difteria

2.10. 6 Pengobatan Carrier

Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif

tetapi mengandung basil  difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan

adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/ suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama

satu minggu1.

Tabel 4. Pengobatan Terhadap Kontak Difteri1

Biakan Uji Shick Tindakan

(-) (-) Bebas isolasi: Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan

booster toksoid difteria

(+) (-) Pengobatan carrier: Penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau

eritromicin 40mg/kgBB selama 7 hari

(+) (+) Penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40mg/kgBB +

ADS 20.000 IU

(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif) sesuaikan dengan status imunisasi

 

2.11 Pencegahan

Pencegahan difteria dilakukan melalui cara yang umum hingga cara yang khusus.

Adapun penatalaksanaan difteria secara umum adalah dengan mensosialisasikan kebersihan dan

pengetahuan tentang bahaya penyakit  ini  bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita 

penyakit  difteria  kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat  rendah sehingga perlu

imunisasi.

Sementara itu pencegahan difteria secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan

pengobatan carrier. Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan

kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian

imunisasi ulangan sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak

berumur 6 tahun. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga

kali dengan interval masing-masing empat minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera

dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang

telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan 1 kali8.

Page 19: BAB I Difteria

Selain itu pencegahan difteria secara khusus juga dapat dilakukan dengan melakukan

sejumlah tes kekebalan, antara lain sebagai berikut:

1. Schick  test . Tes ini berguna untuk menentukan  kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteria.

Test dilakukan dengan menyuntikan toksin difteria yang sudah dilemahkan secara intrakutan.

Bila tidak terdapat  kekebalan  antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.

2. Moloney test. Tes ini bertujuan untuk menentukan sensitivitas  terhadap  produk kuman

difteria. Tes  dilakukan  dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteria toxoid  secara

suntikan  intradermal. Reaksi positif bila dalam   24  jam   timbul  eritema > 10 mm. Jika

ditemukan keadaan seperti ini berarti bahwa :

a. Pasien pernah terpapar pada  basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi

hipersensitivitas.

b. Pemberian toksoid  difteria bisa mengakibatkan timbulnya  reaksi yang berbahaya.

Kekebalan pasif difteria diperoleh  secara  transplasental dari  ibu  yang  kebal  terhadap

diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan  antitoksin (sampai 2-3 minggu). Sementara itu

kekebalan aktif diperoleh dengan cara menderita  sakit atau inapparent

infection dan

imunisasi dengan toksoid  difteria9,10.

2.12 Komplikasi

Komplikasi yang disebabkan oleh difteria sangat luas mulai dari infeksi sekunder akibat

bakteri lainnya, komplikasi yang bersifat lokal berupa obstruksi jalan napas akibat membran atau

edema jalan napas, serta komplikasi yang bersifat sistemik karena efek eksotoksin berupa

miokarditis, neuritis, serta nefritis1,2.

1. Infeksi Tumpangan Oleh Kuman Lain

Infeksi akibat tumpangan dari bakteri lain seringkali disebabkan oleh Streptokokus β

hemolyticus Grup A serta Staphylococcus aureus. Penyulit ini mulai berkurang setelah era

penggunaan antibiotik yang luas.

2. Obtsruksi jalan napas

Obstruksi ini dapat terjadi akibat tertutupnya jalan napas oleh membran difteria atau oleh

karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.

Page 20: BAB I Difteria

3. Sistemik

Adapun komplikasi yang bersifat sistemik yang disebabkan oleh Corynebacterium

difteriae adalah :

a. Miokarditis

Angka kejadian miokarditis pada anak berkisar 10-20% yang biasanya sering terjadi pada

bentuk yang berat walaupun dapat juga terjadi pada bentuk yang ringan. Miokarditis dapat terjadi

akibat makin luas lesi lokal yang terjadi serta makin lama pemberian antitoksin. Virulensi kuman

yanag tinggi juga dapat menimbulkan miokarditis. Biasanya miokarditis terjadi pada minggu

pertama. Miokarditis yang terjadi pada minggu pertama tergolong pada miokarditis yang timbul

secara cepat. Selain itu miokarditis dapat terjadi lambat yang biasanya terjadi pada minggu

keenam1,2,5.

Gejala miokarditis secara klinis ditandai dengan melemahnya suara jantung pertama.

Sedangkan pada pemeriksaan EKG dapat terlihat interval PR yang memanjang, depresi atau

elevasi segmen ST yang bermakna atau adanya blok jantung1.

b. Neuritis

Neuritis biasanya terjadi pada 5-10% dari penderita difteria yang biasanya merupakan

komplikasi dari difteria berat. Manifestasi klinisnya ditandai dengan lesi yang biasanya bilateral

dan motorik lebih dominan dibandingkan dengan sensorik yang timbul setelah masa laten dan

biasanya sembuh sempurna5.

c. Paresis/paralisis Palatum Molle

Paresis/paralisis palatum molle merupakan manifestasi saraf yang paling sering terjadi

yang timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara hidung dan regurgitasi hidung.

Sebagian kepustakaan mengatakan bahwa kelainan ini timbul pada minggu pertama dan kedua.

Biasanya akan hilang sama sekali dalam 1-2 minggu5.

d. Ocular Palsy

Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai dengan paralisis dari otot

akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang terkena adalah muskulus

rektus eksternus1,5.

e. Paralisis Diafragma

Biasanya paralisis diafragma terjadi pada minggu ke-5 atau ke-7 akibat paralisis nervus

frenikus. Bila tidak diatasi penderita akan segera meninggal1,5.

Page 21: BAB I Difteria

f. Parasis/paralisis Anggota Gerak

Paralisis anggota gerak terjadi pada minggu ke-6 hingga ke-10 dan pada pemeriksaan

didapati lesi bilateral, refleks tendo akan menghilang, cairan serebrospinal menunjukkan

peningkatan protein yang mirip dengan sindrom

Guillian Barre1,5.

2.13 Prognosis

Prognosis penyakit ini lebih baik daripada sebelumnya setelah ditemukan antitoksin

difteria dan antibiotika. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika angka kematian mencapai 30-

50%. Setelah adanya antibiotika dan antitoksin angka kematian menurun menjadi 5-10%1.

Prognosis penyakit ini bergantung pada sejumlah faktor seperti usia penderita, waktu

pemberian antitoksin, tipe klinis difteria serta keadaan umum penderita. Makin muda usia maka

makin buruk pula prognosisnya. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian

pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan

menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%8. Sementara itu jika dilihat dari segi tipe

klinis difteria, maka mortalitas tertinggi dijumpai pada difteria faring-laring (56,8%), diikuti tipe

nasofaring (48,4%) serta faring (10,5%).

Page 22: BAB I Difteria

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

1. Difteri merupakan penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh

Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin yang dapat membentuk

pseudomembran pada mukosa atau kulit.

2. Gejala yang timbul pada difteria jenis ini biasanya tidak khas, berupa malaise, anoreksia,

sakit tenggorok, nyeri menelan serta panas subfebris serta timbulnya membran yang melekat

yang bewarna putih kelabu yang dapat menutupi tonsil dan dinding faring.

3. Saat ini difteri dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi difteria.

3.2 Saran

Walaupun saat ini angka kematian difteria menurun secara drastis setelah adanya

vaksinasi difteri secara luas, namun sejumlah kasus difteri masih tetap muncul di sejumlah

negara. Hal ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut mengenai hal yang menyebabkan

munculnya kasus difteria di era vaksinasi difteria yang sudah diterapkan secara luas.