bab 5. hasil dan pembahasan 5.1. deskripsi lokasi...
TRANSCRIPT
240
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Dalam hal ini dibahas tentang : (1) gambaran umum lokasi penelitian, (2)
kondisi alam dan kependudukan, dan (3) keadaan umum perikanan
5.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
Selat Madura terletak disebelah utara Propinsi Jawa Timur bagian
Selatan, yaitu :Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo dan Situbondo.
Disebelah Barat adalah :Surabaya dan disebelah Selatan dari Pulau Madura
sedangkan disebelah Timur Selat Bali. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar
dibawah ini :
Gambar 28. Jawa Timur dan Selat Madura
Dari wilayah Selat Madura tersebut dipilih lokasi yang mewakili nelayan
payang dominan serta memiliki kearifan local yang masih berlaku pada
masyarakat nelayan payang, maka dipilih Kabupaten Probolinggo, yang terdiri
atas 4 Kecamatan, yaitu : Sumber Asih, Karang Anyar, Randu Putih dan Randu
Tatah. Dari 4 Kecamatan tersebut nelayan payang dominan adalah di
Kecamatan Sumber Asih, Desa Gili Ketapang.Sehingga untuk deskripsi kearifan
241
lokal lebih banyak informasi dari nelayan payang yang ada di Kecamatan
Sumber Asih, Desa Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo.
5.1.2. Demografi , Geografi dan Topografi
a. Geografis Probolinggo
Letak Geografis Kabupaten Probolinggo berada pada posisi Lintang
Selatan (7’40’ – 8’10’) dan Bujur Timur (112’50’ – 113’30’) dengan luas wilayah
kurang lebih 169.000 Ha atau + 1.696 km2 . Sebagaimana gambar dibawah ini :
Gambar 29.Peta Kabupaten Probolinggo
Tabel 1. peruntukan wilayah dengan luasannya di Kabupaten Probolinggo
No Peruntukan Luas (Km2 ) Persentase (%)
1. Tambak/Kolam 14 0,82
2. Persawahan 373 21,97
3. Perkebunan 33 1,94
4. Hutan 427 25,15
5. Tegal 514 30,28
6. Permukiman 148 8,72
7. Pulau Gili 0,61 0,05
8. Lain-lain 188 11,07
9. Jumlah 1.697,61 100
242
b. Topografi Kabupaten Probolinggo
Kabupaten Probolinggo terletak dalam wilayah hukum Propinsi Jawa
Timur berada di bagian Tengah Jawa Timur dengan batas-batas sebagai berikut:
(1) Sebelah Utara adalah Selat Madura. (2) Sebelah Timur Kabupaten
Situbondo. (3) Sebelah Selatan Kabupaten Lumajang. (4) Sebelah Barat
Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Probolinggo dilihat dari ketinggian diatas permukaan air laut,
berada pada ketinggian 11 sampai 55 meter, yakni terdiri dari dataran rendah
dan sebagian dataran tinggi. Kabupaten Probolinggo beriklim tropis yang terdiri
dari 2 musim, yakni musim kemarau (Mei – September) dan musim hujan
(Oktober – April). Adapun curah hujan selama 1 tahun sebesar 895 mm, jumlah
hari hujan sebesar 44 hari, curah hujan terbesar sebesar 255 mm, curah hujan
terkecil sebesar 29 mm. Derajat temperatur udara di Kabupaten Probolinggo
berkisar antara 28o C – 31o C , sebagian besar terdiri atas dataran rendah dan
pesisir pantai sehingga memiliki sumberdaya perikanan cukup besar dan
prospektif.
5.1.3. Keadaan Umum Perikanan
Umumnya produksi ikan di Kabupaten Probolinggo ditangkap dengan
beberapa alat tangkap seperti purse seine, payang, gill net, pancing, bubu dan
cantrang. Sedangkan jenis ikan yang banyak tertangkap di perairan kabupaten
Probolinggo adalah tembang, layang, kembung, peperek, tongkol, layur, dan
lain-lain.
Potensi perikanan tangkap yang cukup besar ini tidak lepas dari kondisi
wilayah yang cukup luas diwilayah utara pesisir pulau Jawa, serta dibantu
dengan sarana dan prasarana yang cukup menunjang seperti pelabuahn dan
tempat pelelangan ikan.
243
Kabupaten Probolinggo memiliki 2 musim dan diantara 2 musim tersebut
ada musim yang dikenal sebagai musim “pancaroba” , dimana masyarakat
nelayan Selat Madura mengenalnya dengan sebutan “Angin Gending” yang
ditandai dengan hembusan dan tiupan angin kering yang kencang dimana angin
tersebut berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut.Dimusim ini, masyarakat
nelayan Selat Madura biasanya tidak melakukan kegiatan penangkapan
diwilayah penangkapan karena kondisi cuaca yang tidak mendukung dan beralih
untuk melakukan kegiatan penangkapan diluar dari wilayah Probolinggo, yang
biasa disebut dengan andun.
5.2. Hasil Analisis Efektifitas Kearifan Lokal dan Kendala-kendala dalam
Implementasinya
Dalam penelitian ini populasinya terdiri atas Stakeholders yang terkait
dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di Selat Madura,
khususnya di lokasi terpilih, yaitu Kabupaten Probolinggo sehingga informasi
yang didapat lebih banyak dari Key Informant dan data pendukung lainnya yang
bersumber dari masyarakat nelayan lokal. Adapun pembahasan dalam hal ini
terdiri atas : (1)Potensi Kearifan Lokal, (2)Hubungan antara Konsep Kearifan
Lokal dan Keberadaan Kearifan lokal Masyarakat Nelayan Selat Madura,
(3)Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan dan Pembangunan
Sumberdaya Perikanan yang Lestari dan Berkelanjutan, (4)Peluang
Pembedayaan Kearifan Lokal, (5)Model Pengelolaan dan Pemberdayaan, (6)
Membangun Model PengelolaanSumberdaya Berbasis Masyarakat dan (7)
Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Implementasinya.
244
5.2.1. Potensi Kearifan Lokal dan Hubungannya dengan Religi (Agama
Islam)
Menurut Ridwan (2007) bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan
yang eksplisit dan muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-
sama masyarakat dan lingkungannya dalam system lokal yang sudah dialami
bersama-sama. Proses evolusi yang begiti panjang dan melekat dalam
masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energy
potensial dari system pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama
secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan local tidak sekedar
sebagai acuan tingkah laku seseorang , tetapi lebih jauh , yaitu mampu
mendimanisasi kehidupan yang penuh keadaban. Selanjutnya dikatakan
bahwa pada masa sekarang kearifan lokal menjadi kecenderungan umum
masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai pilihan
politik terbaik.Menurut Suhartini (2009), bahwa dalam beradaptasi dengan
lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan
lokal yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya,
aktivitas, dan peralatan sebagai wujud hasil abstraksi mengelola lingkungan.
Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan setempat dijadikan
pedomanyang akurat dalam mengembangkan kehidupan
lingkungannya.Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan
hidup yang ada dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun
temurun menjadi pedoman dalam memanfaatkan sumberdaya
alam.Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan dapat
ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan kebudayaan. Jika kesadaran
tersebut dapat ditingkatkan, maka hal itu akan menjadi kekuatan yang sangat
245
besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan budaya ini,
penguatan modal sosial, seperti pranata sosial budaya , kearifan lokal , dan
norma-norma yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting
menjadi basis yang utama.
Sedangkan menurut Wibowo (2011), bahwa fungsi dan makna
kearifan lokal ada beberapa, yaitu :
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumberdaya manusia, misalnya
berkaitan dengan daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan ,
misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada
Pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna social, misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial ekonomi, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, misalnya upacara ngaben dan penyucian
roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk dan kekuasaan patron
client.
Dari berbagai hal tersebut, maka dapat difahami bahwa kearifan lokal
sebenarnya memiliki relasi atau hubungan yang sangat erat dengan Religi
(Agama), karena selain bersumber dari Agama, juga merupakan kristalisasi
dari perpaduan antara Agama dan Pengalaman Masyarakat Lokal. Ada
beberapa contoh yang dapat ditunjukkan sebagai bukti keterkaitan antara
Kearifan Lokal dengan Agama Islam, antara lain :
246
1. Islam telah melarang tegas pengrusakan alam, seperti tertera
dalam Al-qur’an Surah Ar-Ruum : 41 ( Alie Yafie dalam Taufiq,
2009).
2. Dalam beberapa Kitab Fiqih, menurut Hatim Gazali peneliti
Community for Religion and Social Engineering (CRSe) UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta ,dalam Taufiq (2009).Bahwaisyu lingkungan
hanya disinggung secara generic dan belum spesifik. Hal ini bisa
difahami karena Kitab tersebut disusun pada waktu itu belum
muncul problem lingkungan sperti saat ini. Namun tidak bisa
dipungkiri bahwa sejak masa awal Islam telah ada aturan untuk
menjaga lingkungan. Seperti pada Al-qur’an Surah Al-Baqarah :
27, Surah Luqman : 20, Surah Al-A’raf : 56, Surah Shaad : 27,
Surah Ibrahim : 7, dan lain sebagainya. Bahkan bila didata,
didalam Al-Qur’an terdapat 426 ayat yang menyebutkan tentang
Bumi. Baik berisi perintah menjaga kelestarian, memanfaatkan,
peringatan dan sebagainya. Dimana ini membuktikan bahwa ada
signifikansi perihal alam dan lingkungan hidup dalam Agama Islam.
3. Menurut Mangunwijaya (2009), Islam merupakan agama yang
mempunyai ajaran dan tradisi yang khas dalam mengajarkan
perawatan lingkungan. Salah satu bentuknya adalah bentuk
perawatan sungai dan fasilitas public dengan cara penetapan Zona
Larangan (Harim Zone) di bantaran kali atau sungai dan
perawatan pelestarian dengan Sistem Hima (perlindungan alam
asli). Harim Zone mewajibkan setengah dari lebar sungai kekanan
dan kekiri, terbebas dari bangunan dan membiarkan vegetasi dan
247
tumbuhan bebas sebagai penyangga sungai. Pada Zaman
Rasulullah Muhammad S.A.W. pendirian bangunan dibantaran
sungai dilarang untuk memelihara eksistensi air. Kearifan Lokal
atau tradisi seperti ini harus dihidupkan kembali sebagai wujud
sumbangan Agama Islam pada pemeliharaan lingkungan.
4. Menurut Syairi (2009), bahwa ada salah satu kisah yang melandasi
keberadaan hutan adat Mandala adalah tentang penyebaran
Agama Islam di Bayan. Ketika para Muballigh yang berasal dari
Pulau Jawa datang menyebarkan Islam ke Bayan, konon mereka
pernah beristirahat di Hutan Adat Mandala. Hal itu ditandai dengan
nama salah satu sumber mata air yang diberi nama Lokok Jawa,
yang menunjukkan asal dariMuballigh. Tidak jauh dari tempat
tersebut juga ada sebuah tempat yang dikenal dengan sebutan
Ampel Duri . Kisah ini memperkuat pendapat, bahwa yang
dimaksud penyebar Agama Islam yang dating dari Jawa adalah
murid dari Sunan Ampel. Kisah tersebut menjadi salah satu
landasan bagi Hutan Adat Mandala sehingga sampai sekarang
tetap dikelola secara adat dan kearifan lokal setempat.
5. Potensi kearifan lokal yang ada pada masyarakat Nelayan Selat
Madura berakar pada agama, terutama agama Islam adalah suatu
keniscayaan, hal ini disebabkan masyarakat Selat Madura yang
sebagian besar adalah keturunan Madura sangat menekankan
pentingnya pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya. Seorang
informan mengatakan, bahwa Islam sebagai agama adalah bagian
integral dari jatidiri orang Madura. Apabila ada orang Madura yang
248
murtad (keluar dari agama Islam), maka orang tersebut tidak layak
lagi disebut sebagai orang Madura (Kusnadi, 2000). Hal tersebut
bisa dikatakan bahwa sumber hukum kearifan lokal pada
masyarakat nelayan Selat Madura adalah Al-Qur’an dan Al Hadits
yang merupakan sumber hukum agama Islam. Sebagaimana
tertera dalam Surah Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan “ Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu
menjadi agama bagimu “.
Masyarakat nelayan Selat Madura memiliki kearifan local (local
Wisdom) yang terdiri dari :
a. Kearifan Lokal Petik laut
Kearifan local petik laut dilaksanakan hampir setiap tahun melalui proses
musyawarah warga masyarakat setempat. Dimana tidak secara khusus
ditentukan kapan waktu dilaksanakannya. Hal tersebut tergantung dari
keputusan musyawarah warga masyarakat Selat Madura bersama sespuh
masyarakat lokal. Sebagaimana menurut Key Informan sebagai berikut :
Menurut Key Informan :
Dimana kebede’en atau kondisi suatu desa itu penghasilannya sepi
(sedikit), biasanya orang desa itu mengkaitkan dengan kekuatan diluar
dirinya, sehingga semua tokoh masyarakat berkumpul dan kemudian
sepakat untuk mengadakan petik laut. (TYB)
Sedangkan menurut Key Informan :
Tradisi petik laut ini sebagai bentuk rasa syukur.Dahulu disini meskipun
orang Islam, masihada aliran yang lain masih kental, sepertinya
perpaduan antara hindu, budha. Dalam Islam tidak mengajarkan tentang
petik laut dan pake sesaji, ini mungkin adanya perpaduan itu masih
249
kental. Jadi petik laut merupakan salah satu bentuk rasa syukur kepada
Yang Maha Kuasa.(IDR).
Dari hasil musyawarah tersebut juga akan didapatkan berapa biaya yang
diperlukan untuk petik laut yang kemudian akan ditentukan pembagian iuran
yang dikategorikan dengan melihat jenis pekerjaan dan jika pekerjaanya nelayan
pengkategoriannya dilihat dari jenis alat tangkap yang dimiliki. Misalkan jika
kebutuhan biaya yang ditafsir diperkirakan sebanyak 40 juta rupiah, maka
nelayan akan dikenakan akan berbeda-beda seperti antara pemilik alat tangkap
cantrang, payang dan ABK(anak buah kapal) yang tidak memiliki kapal. Bahkan
menurut Key Informan, iuran yang harus dibayarkan oleh pemilik payang
mencapai 1 juta rupiah. Setelah disepakati rincian biaya dan berapa yang harus
dibayarkan oleh nelayan menurut alat tangkapnya akandisiarkan dengan
menggunakan pengeras suara kantor desa. Kemudian juga akan ada sanksi
moral jika warga belum membayar kewajiban iuran berupa akan disiarkan atau
diumumkan juga dengan pengeras suara.
Acara petik laut ini dilakukan dengan semua biaya keperluan ditanggung
oleh masyarakat lokal sendiri dengan system iuran bersama.Acara petik laut ini
berlaku sebagai penanggung jawab atau pelindung dengan masyarakat yang
bersedia sebagai panitia. Pembagian iuran biaya ini didasarkan dengan melihat
besar kapal atau jenis alat tangkap nelayan, sedangkan jika tidak mempunyai
kapal, dilihat dari pekerjaan sehari-hari dan akan ditentukan besaran nilai dari
iuran.
Sebenarnya ada beberapa kendala dilaksanakannya petik laut,
diantaranya menurut kyai dan ustad setempat misalnya dalam acara petik laut
yang menurut key Informan , harus ada adalah seperti acara ketoprak atau
ludruk, mengarah ke kemaksiatan.Sedangkan untuk acara larung sesaji atau
jittek cenderung mengarah ke syirik, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’
250
bahwa dalam agama Islam hal tersebut dilarang“ Dan apabila mereka melakukan
perbuatan keji (syirik), mereka berkata , kami mendapati nenek moyang kami
mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.
Katakanlah, sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang
keji. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui? ( Q.S. Al-A’raaf : 28). Oleh karena itu dimasa mendatang perlu adanya
perubahan tatacara petik laut agar sesuai dengan keyakinan agama yang dianut
masyarakat agar tidak terjadi gesekan social, sekaligus akan lebih bermanfa’at,
seperti kebudayaan dan kesenian lokal menjadi komoditi pariwisata yang pada
gilirannya meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Sedangkan sesaji dapat dimodifikasi dengan dana yang ada bisa dibelikan
benih ikan yang ditebar dilaut, sebagai pembelajaran bagi generasi muda serta
masyarakat pentingnya kelestarian alam, agar sumberdaya ikan tetap lestari
dikelola sampai kepada anak cucu. Sebagaimana secara kearifan local akan
selaras dengan perintah agama Islam yang diajarkan para ulama’ setempat,
yaitu : “ Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut, disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar) (Q.S.
Ar-Ruum : 41).Dan hal tersebut telah terjadi sekarang dimana nelayan Selat
Madura merasa bahwa tingkat produktivitas usaha penangkapannya semakin
menurun.
b. Kearifan Lokal Nyabis.
Tradisi nyabis ini hampir dilakukan oleh semua masyarakat nelayan Selat
Madura, nyabis dilakukan dengan berkunjung ke kyai yang dipercaya dan
diyaikini sebagai guru spiritual. Nyabis dilakukan oleh masyarakat lokal sebagai
proses agar mendapatkan barokah yaitu dengan doa dari para kyai, karena
anggapan luas masyarakat lokal dengan adanya barokah ini, semua kegiatan
251
mulai dari penangkapan, perdagangan dan semua permasalahan bisa lebih
mudah dan lancar.
Menurut Key Informan :
Biasana are jum’at, polana are jum’at ria are libur e ponduk, ben are
jum’at kapal ria ekapor. Biasana oreng Gili neka ka ponduk Genggong,
ponduk besar e jebe, tojjuenna nyare barokah.
Biasanya hari jum’at, karena hari jum’at ini hari dimana pondok
pesantren libur. Dan hari jum’at kapal ini dikapur(dibubuhi kapur dan
diperbaiki). Biasanya orang Giliini ke pondok pesantren Genggong,
pondok pesantren besar dijawa(diluar pulau Gili), tujuannya untuk
mencari barokah (SGT).
Pelaksanaan nyabis umumnya dilakukan pada hari jumat, karena menurut
asumsi beberapa informan bahwa pada hari jumat, adalah hari libur didalam
pondok pesantren dan kyai akan bisa ditemui.Karena tidak mengajar santrinya.
Hari jumat dipilih karena pada umumnya hari jum’at ini para nelayan Selat
Madura tidak melakukan penangkapan atau melaut dan kapal akan dibenahi dan
dicat dengan kapur dibagian lambung kapalnya. Sehingga tersedia waktu luang
untuk melakukan tradisinyabis hingga ke pondok pesantren di Madura dan
wisata religi Wali Songo.
Pada umumnya, nyabis dilakukan dengan mengunjungi kyai kemudian,
kyai akan memberi wejangan-wejangan dan ceramah singkat, setelah selesai
pengunjung akan menyalami kyai sambil memberi uang atau yang lebih dikenal
“salam tempel” .uang atau kasarnya berupa salam tempel ini bersifat sukarela,
yang artinya dari kyai tidak meminta sepeserpun, sehingga besaran dari uang
yang diberikan tidak terikat dan tergantung dari pihak warga yang akan memberi.
Kadang kala, jika hasil laut melimpah pada saat nyabis akan membawa hasil
tangkapan yang sudah diolah seperti ikan asin dan teri kering sebagai oleh-oleh
.tetapi menurut Key Informan :
252
Kalau orang disini, kebanyakan dikait-kaitkan dengan hasil
tangkapan,kalau lama tidak banyak penghasilan. Kebanyakan malam
Jumat nyabis, tapi tidak terikat malam jumat saja, kalo nyabis untuk
dapat barokah, tapi tidak akanada kaitannya dengan hasil tangkap,
Karena itu tergantung rejeki masing-masing (TYB).
Budaya nyabis ini hampir dilakukan oleh semua masyarakat
local.Meskipun tidak ada kaitan antara hasil tangkapan atau penghasilan yang
didapat setelah nyabis, masyarakat lokal tetap melakukan budaya nyabis
sebagai bentuk usaha selain usaha nyata.Hal ini juga bisa dianalogkan pada
saat kita berdoa kepada Tuhan sebagai bentuk usaha “tambahan” selain usaha
yang nyata. Dengan agama islam sebagai agama mayoritas, berdoa dan
mendekatkan diri kepada ulama merupakan bentuk usaha dalam mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Selain itu dari ajaran Agama Islam yang dianut masyarakat nelayan Selat
Madura bahwa dengan tradisi kearifan lokal Nyabis ini Allah akan menambah
penghasilannya dari melaut berlipat ganda sebagaimana tertera dalam kitab suci
Ummat Islam Al-Qur’an Srah Al Baqarah ayat 261, yaitu : “ Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran)bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Yang Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.Hal
itu diyakininya sehingga sampai sa’at ini mereka masih dapat bekerja mencari
nafkah di laut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
c. Kearifan Lokal Pengambek
Sistem patron-client merupakan sebuah interaksi sosial yang hampir selalu
ada dalam masyarakat nelayan di Selat Madura. Sistem ini juga sebagai
manifestasi dari keyakinan sebagai kearifan lokal masyarakat nelayan Selat
Madura sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam kebajikan
253
sebagaimana yang sering disampaikan para ulama’, bahwa dalam agama Islam
ada perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, yaitu “
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran “.Sehingga dengan adanya pengambek ini terjadi
keserasian hubungan masyarakat lokal antara sesama mereka, terutama antara
pemilik modal dan nelayan.
Menurut Key Informan :
E Gili bede, tape biasana bede latar belakang otang, biasana ka juregen
purse seine.
Di Gili ada, tapi biasanya ada latar belakang hutang antara ABK dengan
Juragan (SGT)
Dalam beberapa kasus yang terjadi dibeberapa wilayah dengan
masyarakat nelayan, kondisi patron-clien digambarkan sebagai “bantuan dari
patron kepada client dalam bentuk bantuan ekonomi, yang akhirnya si client
akan secara tidak langsung berhutang budi kepada patron”.Tetapi menurut Key
Informan, pengambek yang dimaksud disini, yaitu adanya kapal yang tugasnya
menjemput dan membawa hasil tangkapan kapal penangkap ikan seperti payang
jurung dan kemudian dibawa ke tempat pelelangan ataupun ke gudang
penampungan yang sudah ada.
Menurut Key Informan :
Biasanya kalo hasil tangkapan sudah pessa’dijemput pengambek dan
ngojurnya (persenan) dihitung perkeranjang.
Biasanya kalau hasil tangkapan sudah penuh dijemput pengambek dan
honorariumnya dihitung setiap keranjang (TYB)
254
d. Kearifan Lokal Onjem (Rumpon)
Onjem merupakan salah satu cara masyarakat lokaluntuk meningkatkan
hasil tangkapan ikan. Cara ini merupakan tradisi yang diturunkan dan diwariskan
oleh masyarakat lokal dan hingga kini tetap dilakukan. Onjem yang dalam
bahasa yang kita kenal adalah rumpon ini dipilih diletakkan diatas spot pilihan
yaitu yang dianggap banyak terdapat karang disekitarpulau Gili.Hal ini
diasumsikan karena diatas karang tempat berkumpulnya ikan-ikan. Rumpon
yang ada masih terbuat dengan cara tradisional. Bahan-bahan dari rumpon ini
terdiri dari daun kelapa kering,ranting-ranting kecil, ban bekas, tali “tampar” dan
batu besar yang berfungsi sebagai pemberat.
Menurut Key Informan :
Bahan onjem ria ban bekas, kolare, papa hasilla mon lha bulen 4, 5, 6
bisa olle 60-80 karanjeng, paleng benyak olle juko’ lajeng.
Bahan Onjem (rumpon) ini ban bekas, daun kelapa kering. Hasilnya jika
sudah bulan 4, 5, 6 bisa dapat 60-80 keranjang kecil.Paling banyakdapat
ikan layang(SGT)
Karena sifatnya yang turun temurun, jika ada orang tua yang memiliki
rumpon maka akan diwariskan kepada anak, dan begitu seterusnya. Karena
untuk membuat rumpon sangat sulit untuk menemukan titik spot yang tepat untuk
rumpon yang akan lebih baik jika diletakkan diatas karang. Hasi rumpon yang
baik akan didapatkan pada bulan April, Mei, Juni. Pada bulan-bulan itu hasil
tangkapan mencapai hingga 60-80 keranjang yang umumnya ikan layang
menurut masyarakat lokal menyebutnya.
Sifat dari onjem yang turun temurun meskipun berada tepat ditengah laut,
membuat onjem merupakan suatu gambaran bentuk adaptasi manusia terhadap
lingkungan sekitarnya yang dianggap masih ada sampai sekarang meskipun
dalam ilmu modern sudah berbeda bentuk dan teknik pembuatannya sangat
simpel.Onjem adalah rumpon jika dalam bahasa sehari-hari yang kita kenal.
255
Menurut Monintja(1993) dalam Sudirman dan Malawwa (2004) rumpon biasa
juga disebut dengan Fish Agregation Device (FAD) yaitu suatu alat bantu
penangkapan yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul dalam suatu
catchable area yang penggunaan rumpon sendiri secara tradisional sudah lama
dilakukan terutama nelayan di Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa Timur,
sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun 1980
oleh lembaga penelitian laut.
Letak onjem atau rumpon yang berada ditengah lautan, menurut orang
yang awam, jika kita akan mencari rumpon tanpa bantuan GPS (Global
Positioning System), kita tidak akan mampu mengingat dimana letak rumpon
yang telah kita buat. Tetapi kenyataannya masyarakat nelayan Pulau Gili ketika
akan melakukan penangkapan dilokasi onjem yang mereka miliki, hanya
“menggunakan” acuan kondisi alam yang ada disekitarnya tanpa bantuan alat-
alat modern seperti saat ini tanpa ada kesulitan. Biasanya menggunakan alat
bantu seperti pohon yang terlihat di Pulau Gili dan gunung-gunung yang ada
dipulau jawa. bahkan pada saat ini, yang dimana ada pembangunan tower
pemancar sinyal dari telekomunikasi, dengan bentuk tower yang sangat tinggi
akan sangat memudahkan dalam mencari lokasi rumpon berada.
Menurut Key Informan :
Jelerenna ngangguy kabungka’an sebede gili, setangale, pas epaloros
bereng gunong se paleng jelas otabe tangale, ekera-kera dhibik. Biasana
mon oreng lambek, mon kadung nemmu karang pas egebeye onjem
tape bede ondem, tak mole tape edentek sampek terang teros eancer-
ancer jelerenna
Tanda atau patokan menggunakan pepohonan yang ada dipulau Gili
yang kelihatan kemudian ditarik garis lurus dengan gunung yang ada
disekitar kabupaten Probolinggo yang palig jelas terlihat. Biasanya dulu,
masyarakat pulau Gili jika terlanjur menemukan karang yang bisa
dijadikan spot onjem atau rumpontetapi cuaca mendung atau hujan,
256
nelayan tidak akan pulang dan akan ditunggu hingga terang sampai
perkiraan tanda yang ada dpulau dan gunung bisa terlihat sebagai
penunjuk arah (TYB).
Menurut beberapa Key Informan, jika penangkapan dilakukan dilokasi
onjem atau rumpon, hasil dari tangkapannya bisa mencapai 4-5 bajong
(keranjang).Hasil tangkapan ini tidak begitu besar bila dibandingkan dengan hasil
tangkapan dengan alat tangkap payang atu sleret yang dioperasikan di laut
lepas.Tetapi onjem sangat membantu pada saat kondisi ikan memang tidak
didapatkan pada saat operasi penangkapan.Disamping itu onjem atau rumpon
merupakan kearifan local yang memberikan pendidikan tentang pelestarian
lingkungan, dimana memberikan tempat untuk menjadi rumah bagi ikan bukan
sebaliknya, yaitu merusak lingkungan. Hal ini selaras dengan ajaran agama,
bahwa dilarang untuk membuat kerusakan, sebagaimana disebutkan dalam Al-
Qur’an Surah Ar-Ruum ayat 41 : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(kejalan yang benar)”.
Gambar31.Beberapa model rumpon
Sumber :Arsyad (1999) dalam Sudirman dan Malawwa (2004).
257
Gambar 32. Onjem (rumpon) milik nelayan lokal (Sumber : Hasil Penelitian
(2012).
e. Kearifan Lokal Sistem Kontrak kerja.
Misalnya antara juragan dan pandega.Jika pandega memiliki hutang
kepada juragan, si pandega tidak memiliki hak untuk ikut kerja atau berpindah
juragan sebelum hutang yang dimilikinya dilunasi.Kemudian dari segi pembagian
hasil.Misalkan hasil tangkapan setelah diuangkan mendapatkan 1 juta rupiah,
maka pertama dipotong biaya melaut, missal dua ratus ribu rupiah, sedangkan
sisa RP.800.000,00 dibagi antara juragan dan pandega sebesar RP.300.000
untuk juragan, dan RP.500.000 untuk semua pandega yang ikut.Ada beberapa
istilah masyarakat lokal dalam menyebut posisi-posisi dalam usaha
penangkapan dengan menggunakan teknologi payang beserta jumlah yang
dibutuhkan dalam setiap satu kali trip penangkapan.
Dalam lingkaran merah
terdapat sebuah tanda
adanya onjem atau rumpon
yang ada ditengah laut.
258
Menurut Key Informan :
Bede Tekong, Juru mudi atau pengendali kapal, pangrabet ben tokang
mesin.
Ada yang namanya Tekong , yaitu kapten kapal, Juru mudi, yaitu
nakhoda atau pengendali kapal, pangrabet, yaitu sebagai perawat kapal
dan tokang mesin, yaitu sebagai juru mesin (SGT).
Sistem perekrutan tenaga kerja ABK (anak buah kapal) dilakukan tidak
resmi dan formal.Hal itu disebabkan masih menggunakan kekerabatan yang
sangat erat.Pada suatu kondisi, menurut beberapa informan yang ditemui
peneliti. Jika terdapat anak buah kapal yang tidak bisa ikut dalam satu kali trip,
jika hal itu kurang dari tujuh orang, maka tidak akanterjadi untuk melaut hari ini.
Kearifan lokal tentang kontrak kerja ini selaras dengan keyakinan
masyarakat nelayan Selat Madura terhadap agamanya, yaitu Islam bahwa
berbuat baik kepada kerabat lebih diutamakan daripada orang lain sebagaimana
arahan para ulama’ setempat bahwa : “Bukanlah suatu kebaktian menghadapkan
wajahmu kearah timur dan barat, tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi,
dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang
yang meminta-minta, dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat” (Q.S. Al-Baqarah : 177).
f. Kearifan Lokal Telasan.
Tradisi telasan(hari raya) pada masyarakat nelayan Selat
Maduradilakukan pada hari ke 27 atau (H-3), 3hari sebelum hari raya aktifitas
melaut sudah mulai dihentikan.Tiga hari (H+3) setelah hari raya, aktifitas baru
dilanjutkan kembali. Pada waktu-waktu seperti ini harga ikan sangat murah,
dikarenakan gudang tempat penjualan hasil tangkap masih tutup sehingga
259
harga ikan sangat murah.Tetapi ada yang menarik dilihat dari kebiasaan
masyarakat lokal, menurut Key Informan :
mon oreng Gili sa are tak ngakan juko’ ria pettengen, kodu ngakan juko’.
Deddi paju tak paju reng Gili teka’na marena tellasan paggun ka tasek.
Orang Gili sehari tidak makan ikan laut, ini pusing, harus makan ikan
laut, jadi laku tidak laku orang gili meskipun lebaran tetap pergi melaut
(IDR).
Terkait dengan hari raya Idul Fitri atau yang dikenal dengan lebaran
masyarakat lokal akan melakukan budaya konsumtif yang meskipun ini
merupakan budaya yang hampir merata dinegara ini apabila mendekati hari raya
Idul Fitri tetapi biaya yang dikeluarkan untuk setiap anggota kepala keluarga
hingga mencapai jutaan rupiah. Karena anggapan masyarakat lokal, saat
lebaran kondisi pakaian dari atas kepala hingga kaki harus baru. Menurut Key
Informan :
Oreng die, parak tellasan paste ka Probolinggo mon kadung a belenje.
Belenjena ngabik benyak 1-2 juta sa oreng pakaian dan lain-lain deri
attas ka bebe kodu anyar.
Orang sini (pulau Gili) mendekati lebaran pasti keProbolinggo(kota)
apabila sudah terlanjur belanja, belanjaannya menghabiskan uang
sebanyak antara 1-2 juta setiap anggota keluarga. Baju dan lain-lain
kebutuhan dari kepala hingga kaki harus baru (TRN).
Tradisi telasan memang tidak dipungkiri adalah tradisi umum masyarakat
islam di Indonesia. Jika merujuk pada kebiasaan masyarakat nelayan Selat
Madura ini akan sangat berbeda karena ada aktivitas keseharian yang terhenti
yang menunjang kehidupan sehari-hari, yaitu melaut yang merupakan mata
pencahariannya. Jika ditelaah lebih jauh, aktivitas ini dapat berdampak positif
terhadap lingkungan jika dilangsungkan dalam waktu yang agak lebih lama dan
konsekuen serta kontinyu. Efeknya misalnya, terhadap adanya pemberian waktu
terhadap biota laut yang dieksploitasi dalam penangkapan untuk berkembang
biak dan melakukan regenerasi. Sehingga kualitas dan kuantitasnya bisa terjaga
dengan baik dan berlanjut.
260
Tradisi telasan ini termasuk satu kearifan lokal yang berdampak positif
pada pemerataan pendapatan dan distribusi perputaran uang dari kota ke desa,
agar terjadi keseimbangan baik secara material maupun moral diantara anggota
keluarga nelayan. Hal ini merupakan pengamalan dari keyakinan keagamaan
mereka, sebagaimana diperintahkan oleh para ulama’ dan tokoh masyarakat
sejak dahulu tentang pentingnya silaturrahmi, yaitu : “ Bertaqwalah kepada Allah
yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi “. Juga dari Hadits Nabi Muhammad
S.A.W. yaitu, dari Anas ra, Rasulullah S.A.W. bersabda, “ Barang siapa yang
ingin diluaskan rezekinya, dilamakan jejak kakinya (dipanjangkan usianya), maka
hendaklah dia menyambungkan silaturrahmi “.
Disamping itu bila dianalisis secara biologi bahwa dengan liburnya para
nelayan Selat Madura, utamanya di kabupaten Probolinggo tidak menangkap
ikan selama 7 hari berarti 7 kali jumlah penangkapan ikan yaitu sebesar 7 x
(9550,20 ton : 12 : 30) = 185,70 ton setiap tahunnya bisa restocking, dimana ikan
bisa memijah dan memperbanyak stock ikan untuk cadangan sumberdaya ikan
akan lestari (suistainable) secara alami, hal ini merupakan dampak efektifitas
kearifan lokal telasan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.
g. Kearifan Lokal Andun
Andun yaitu suatu proses perpindahan sementara dalam usaha
penangkapan ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa kendala salah satunya
yaitu pengaruh cuaca yang buruk, seperti jika menurut Key Informan :Dengan
adanya angin gending, dimana angingending ini sangat kencang ditengah laut
dan ombak sangat ganas, meskipun ikan melimpah tetapi nelayan enggan untuk
menukar resiko keselamatan mereka. Andun sebagai upaya untuk mencari ikan
ketempat lain ini tidak terlepas dari keyakinan adanya perintah agama yang
diyakininya , yaitu Islam, dimana para ulama’ mengajarkan para nelayan Selat
261
Madura untuk mengamalkannya, yaitu : “ Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung “. (Q.S. Al-Jumu’ah : 10).
Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal Andun itu, disamping untuk berpindah
tempat dalam mencari sumberdaya ikan baru, juga agar memberi kesempatan
bagi ikan ditempat semula melakukan restoking sehingga terjadi kelestarian
sumberdaya ikan dalam upaya pengelolaan secara sustainable
(berkesinambungan).
Diantara dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan terdapat
musim pancaroba yang biasanya ditandai dengan tiupan angin kering yang
cukup kencang yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut biasa disebut
“Angin Gending”.Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat nelayan Selat
Madurauntuk melakukan penangkapan ikan.Untuk musim kemarau yang berkisar
pada bulan April hingga bulan Oktober dengan rata-rata curah hujan + 29,5 mm
per hari hujan, sedangkan musim penghujan dari bulan Oktober hingga bulan
April dengan rata-rata curah hujan + 229 mm per hari hujan. Curah hujan yang
cukup tinggi terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret dengan
rata-rata curah hujan + 360 mm per hari hujan.
Pada umumnya nelayan Selat Maduramelakukan andun ke daerah
Paiton(perbatasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo) serta ke
wilayah Kabupaten Pasuruan.Proses andun sendiri dilakukan dengan membawa
kapal dan seluruh ABK yang berkenan untuk ikut dalam andun kelokasi yang
ditentukan oleh Fishing master atau kapten kapal. Umumnya jika terjadi angin
gending, yaitu pada bulan-bulan Agustus hingga Oktober dan awal-awal
November.
Hal ini akan berdampak positif terhadap potensi sumberdaya ikan di Selat
Madura, khususnya di Kabupaten Probolinggo, dimana akan terjadi restocking
262
sumberdaya ikan sebesar : 3 x (9.550,20 ton : 12) = 2.387,55 ton untuk setiap
tahunnya. Sehingga efektifitas kearifan lokal andun terhadap pelestarian
sumberdaya ikan secara alami terbukti secara biologi. Apalagi andun diarahkan
kedaerah Fishing Ground ZEE yang masih belum dimanage dengan optimal,
maka secara langsung kearifan lokal akan berdampak efektif terhadap
pelestarian sumberdaya ikan baik biologi maupun ekonomi, dimana pada
akhirnya akan dapat menyejahterakan kehidupan nelayan, sekaligus
meningkatkan devisa Negara. Disamping itu juga bila dikaitkan dengan perintah
dalam Agama Islam, maka nelayan Selat Madura akan termotivasi bahwa
disamping mereka melakukan kegiatan andun, juga ada nilai ibadah,
sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an Surah Jumu’ah ayat 10 :” Apabila telah
ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.”
Maka kearifan lokal andun merupakan satu aturan tidak tertulis yang
disepakati masyarakat nelayan Selat Madura dalam hal menyikapi pentingnya
kelestarian sumberdaya, dimana itu akan efektif bagi program penyelamatan
lingkungan hidup hayati di perairan Selat Madura yang sudah ditengarai Over
Fishing.
Menurut Key Informan :
Andun, orang Gili andun bulan 7-10(bede angina gending mon cakna
oreng die) andun biasana ka Paiton, lekok dan Pasuruan. Oreng andun
ria sak kapal-kapalla kia esambi bereng abk kia. Polana mon kenning
gending ria juko’ tadek epulau Gili, makana kodu andun ka Pasuruan ka
Paiton. Edissa’ bede senampung abe’ dibi’ bereng hasil tangkapanna.
Andun,masyarakat pulau Gili melakukan andun pada bulan 7-10
dikarenakan ada angin gending menurut orang Gili.andun biasanya
dilakukan ke Paiton, dan Pasuruan yaitu daerah Lekok.Orang andun ini
dengan kapal-kapalnya juga dibawa berikut dengan ABK.Karena jika
terkena angina Gending ini tidak ada ikan disekitar pulau Gili, maka dari
ituharus andun ke Pasuruan ke Paiton.Disana ada yang menampung kita
berikut dengan hasil tangkapan (TYB).
263
Gambar 33.Lokasi Andun masyarakat nelayan Selat Madura.
5.2.2. Hubungan antara Konsep kearifan lokal dan keberadaan kearifan
lokal masyarakat nelayan Selat Madura
Jika mengacu pada konsep kearifan lokal secara umum, dimana terdiri
atas beberapa cirri, antara lain : (1) ada unsur keagamaan, (2) bersifat
tradisional, (3) berdasarkan musyawarah dan mufakat, (4) Dapat menyesuaikan
diri , sederhana dan terbuka, (5) Merupakan tradisi kebersamaan atau gotong
royong, (6) tidak tertulis, (7) Nampak jelas , sehingga gambaran kearifan lokal
yang ada dalam masyarakat nelayan Selat Madura adalah sebagai berikut :
Tabel 7. Sifat dari Kearifan lokal masyarakat nelayan Selat Madura.
Petik laut
Nyabis Peng ambek
Onjem Kontrak kerja
Andun Telasan
Tradisional x x x x x x x
Keagamaan x x x
Kebersamaan x x x x
Konkrit dan visual x x x x x x x
Terbuka dan sederhana x x x x x x x
Berubah-ubah x x x x x x
Tidak dikodifikasi x x x x x x x
Musyawarah & mufakat x
Keterangan : tanda silang (X) menandakan sifat dari kearifan lokal.
264
Menurut Belkes (1995) dalam Sulaiman(2010) kearifan lokal bersifat
kumulatif dengan kepercayaan yang turun temurun terkait antara hubungan
masyarakat dengan lingkungan.Menurut beberapa ahli, kearifan lokal dibedakan
dengan budaya dalam suatu masyarakat tertentu.Umumnya kearifan lokal
memiliki efek secara langsung terhadap kelestarian lingkungan yang didiami
masyarakat yang memiliki kearifan tersebut.Secara turun-temurun dan secara
tradisional kearifan lokal tersebut sudah ada untuk mencegah akses yang terlalu
terbuka , dimana tentunya dengan konsekuensi merusak.
Menurut Sulaiman (2010) mendefinisikan pengetahuan lokal secara lebih
detil sebagai “pengetahuan yang yang dibangun oleh kelompok komunitas
secara turun temurun terkait hubungannya dengan alam dan sumberdaya alam”.
Pengetahuan lokal masyarakat meliputi segenap pengetahuan tentang hal-hal
yang terkait dengan lingkungan hingga pengetahuan sosial, politik dan geografis.
Menurut Christy (1992) ada enam hal yang harus dipenuhi sebagai syarat-
syarat suatu kearifan lokal untuk pengelolaan suatu wilayah.Diantaranya :
a) Kondisi sumberdaya alam harus memiliki karakteristik yang jelas. Misal
berupa terumbu Karang atau ekosistem mangrove.
b) Batas-batas wilayah yang dimiliki harus jelas dan sudah ditentukan
sebelumnya. Misalnya sejauh mana kita boleh menangkap ikan.
c) Teknologi penangkapan. Harus ditentukan jenis alat dan jenis tangkapan
yang akan diatur dalam kearifan lokal.
d) Budaya, budaya setempat harus sesuai dengan permodelan
pemberdayaan kearifan lokal sehingga tidak akan terjadi benturan
e) Distribusi kekayaan. Harus melindungi model kelembagaan yang sudah
ada karena masih adanya politik alam dimana yang kuat akan bertahan
265
f) Otoritas pemerintah dan lembaga terkait. Kewenangan dan ketegasan
pemerintah juga harus mampu membuat keputusan yang harus
dintegrasikan dengan lembaga-lembaga lainya yang terkait.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat digambarkan
bahwa kearifan tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan atau
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang
baik diantara manusia satu dan manusia lainnya, melainkan juga menyangkut
pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi diantara semua penghuni komunitas ekologi bisa berjalan
seimbang tanpa ada salah satu aspek yang tertinggal atau tertindih. Maka
dari itu kearifan lokal merupakan suatu jawaban dalam mencari landasan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan masyarakat sebagai
subjek yang akan terlibat langsung.
Kearifan lokal dalam konteks pemanfaatannya sebagai salah satu alat
pemberdayaan masyarakat harus memiliki enam unsur tersebut (menurut
Christy) maka dari itu dari beberapa kearifan lokal yang ada pada masyarakat
nelayan Selat Madura, apakah sudah memenuhi ke-enam syarat tersebut atau
tidak.Jika dalam bentuk tabel adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Syarat Kearifan Lokal Sebagai Model Pengelolaan Wilayah Pesisir
Petik laut
Nyabis Peng ambek
Onjem Kontrak kerja
Andun Telasan
Karakteristik alam
x x x x
Batas-batas Teknologi x x x
Budaya x x x x x x x Distribusi Kekayaan
x x x x
Otoritas pemerintah
x .. x x x x
266
Dari tabel diatas dapat dijelaskan hubungan antara kearifan lokal
dengan beberapa hal sebagai syarat menjadi model pengelolaan wilayah
pesisir, terutama pada masyarakat nelayan Selat Madura, sebagai berikut :
a. Kearifan Lokal Petik laut
Dalam tradisi petik laut, dapat kita lihat untuk karakteristik alam dapat terlihat,
bahwa laut merupakan objek dari tradisi tersebut.Kemudian dari segi budaya,
petik laut merupakan budaya dari masyarakat pesisir hampir sebagian besar
masyarakat nelayan Selat Madura di Jawa Timur.Dari aspek distribusi
kekayaan, biaya yang digunakan dalam petik laut merupakan biaya yang
dikumpulkan dari semua lapisan masyarakat nelayan Selat Madura yang
besarannya dikategorikan berdasarkan dari segi jenis alat tangkap yang
dimiliki oleh nelayan. Sehingga antara pemilik alat tangkap payang jurung
dan alat tangkap sleret atau purse seine akan berbeda, yang tentunya akan
berbeda juga dari tingkat ekonomi nelayan karena biaya operasional dan
biaya dalam satu kali trip beserta hasilnya akan sangat berbeda. Sedangkan
untuk otoritas pemerintah, adanya petik laut, meskipun pemerintah kabupaten
Probolinggo tidak pernah ada campur tangan, tetapi adanya pemerintah desa
sebagai pelindung dari pelaksanaan tradisi petik laut sudah merupakan tidak
adanya pertentangan antara lembaga atau otoritas pemerintah yang
ada.Sedangkan dalam pandangan keagamaan masih adanya ketidak
setujuan dari tokoh masyarakat, seperti para kyai atau para ulama’ karena
ditengarai adanya unsur mubadzir (kesia-siaan) dan Syirik (menyekutukan
Allah).
Sehingga untuk dimasa mendatang susunan acara dalam petik laut bisa
ditumbuh kembangkan kepada yang lebih baik, seperti dihubungkan dengan
267
kelestarian alam dan lingkungan, yaitu : sebagian dana untuk sedekah laut
bisa berupa pembelian benih ikan untuk ditebarkan kelaut untuk restocking
sebagai simbol kepedulian terhadap pelestarian sumberdaya dan lingkungan.
b. Kearifan Lokal Nyabis
Dalam tradisi nyabis, dari enam syarat menurutChristy(1992) hanya aspek
budaya saja yang terpenuhi. Karena nyabis merupakan budaya masyarakat
nelayan Selat Madura yang sebagian besar beragama Islam. Dari aspek
karakteristik wilayah tidak terpenuhi karena budaya ini tidak menggunakan
pengkategorian wilayah, batas-batas, teknologi, distribusi kekayaan dalam
pelaksanaannya.Tradisi nyabis hanya berkaitan erat dengan agama yang
dianut masyarakat nelayan Selat Madura yaitu agama Islam dan tentunya
sifat dari masyarakat yang religious. Sedangkan dari otoritaspemerintah,
meskipun tidak ada dalam peraturan ataupun ajaran dalam Islam yang
mewajibkan nyabis, tetapi tradisi ini tidak bertentangan dari ajaran agama
Islam yang justru menyuruh umatnya untuk selalu mendekatkan diri dengan
orang-orang mukmin(kyai, tokoh agama, ustad dan ulama). Disamping itu
juga ada keyakinan, bahwa dengan menafkahkan sebagian hartanya di jalan
Allah, seperti sedekah dan zakat dapat menambah rizkinya sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 245 : “ Siapa yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, dengan pinjaman yang baik
(menafkahkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya lah kamu
dikembalikan ”.
268
c. Kearifan Lokal Pengambek
Tradisi pengambek, dapat kita lihat bahwa ada karakteristik alam yang
merupakan “ladangnya” masyarakat nelayan Selat Madura yaitu laut, bahwa
laut merupakan karakterisitik yang digunakan dalam tradisi pengambek. Dari
aspek budaya, bahwa ini merupakan suatu budaya masyarakat bahari
masyarakat lokal. Pada hakikatnya manusia yang akan terus beradaptasi
dengan kondisi alam sekitarnya. Masyarakat nelayan Selat Madura dengan
dikelilingi laut dan nelayan sebagai mata pencahariannya beradaptasi dengan
bantuan system pengambek, hingga hasil tangkapan dari nelayan yang dilaut
sampai pada gudang penyimpanan atau juragan penampung ikan hasil
tangkapan.Untuk distribusi kekayaan tidak ada unsur yang memenuhi aspek
ini karena system pengambek tidak berkaitan dengan adanya kelas atau
strata ekonomi yang ada dalam kehidupan masyarakat nelayan Selat
Madura.Sedangkan untuk otoritas pemerintah, tidak ada hal yang illegal dari
system pengambek meskipun tidak adanya hukum yang melindungi system
ini tetapi ini merupakan adaptasi masyarakat lokal terhadap lingkungan
tempat tinggalnya dan adanya keterkaitan simbiosis mutualisme antara
nelayan dan pengambek.Dimana pada sa’at musim paceklik para nelayan
pendega mendapat pinjaman tanpa agunan dari pengambek untuk keperluan
hidup mereka sehari-hari. Hal ini merupakan aplikasi dari ajaran agama Islam
sebagaimana tertera didalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 2 :” Hendaklah
kamu bertolong-tolongan untuk berbuat kebajikan dan taqwa dan janganlah
sekali-kali kamu bertolong-tolongan untuk berbuat kejahatan dan
bermusuhan”.
269
Namun nelayan selat Madura cenderung menjual hasil tangkapannya pada
“pedagang langganan” atau pangambak. Ada dua utama mengapa nelayan
menjual hasilnya padanya, yaitu :
(1) Adanya ikatan hutang. Pedagang untuk mendapatkan kepastian barang
dagangannya, mereka mengikat hubungan dengan nelayan dalam bentuk
pinjaman “bebas bunga” dengan margin harga tertentu, antara 10%-20%.
(2) Adanya kepastian harga. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi tawar
menawar harga yang disepakati.
Status pedagang yang beroperasi di wilayah ini dapat dikelompokkan menjadi
pedagang antar daerah dan pedagang eksport.Pedagang eksport memiliki
persyaratan standard barang dagangan antara lain : (a) Jenis ikan tertentu, (b)
Mutunya segar atau beku dengan harganya lebih tinggi dari harga pasar lokal.
Permasalahan tingkat harga mengikuti mekanisme pasar bebas yang tidak
jarang pembentukan harga terjadi berada dalam tekanan harga oleh
pedagang.Dalam keadaan demikian neleyan hampir tidak berdaya, meskipun
berdiri tempat pelelangan ikan, hanya saja nelayan tidak pernah menjual hasil
tangkapannya melalui proses pelelangan ikan. Tempat pelelangan ikan (TPI)
tidak berfungsi karena : (1) tidak ada lelang ikan, (2) Harga cenderung tertekan
rendah, karena pedagang tidak hadir, (3) ikan yang bersifat parishable food atau
cepat busuk , maka nelayan tidak berdaya menghadapi perilaku pedagang,
karena nelayan terikat hutang, sementara pedagang menjemput (ngambak)
nelayan ditempat pendaratan ikan, ketika ikan mulai Nampak membusuk, harga
ikan semakin ditekan oleh pedagang. Oleh karena itu dimasa mendatang perlu
diupayakan suatu bentuk system peminjaman yang lebih adil, dimana akan
berdampak positif bagi keberlanjutan system pengambek itu sendiri, sehingga
dapat dijadikan pedoman dan contoh bagi masyarakat nelayan lain secara
nasional.
270
d. Kearifan Lokal Onjem
Onjem yang dalam istilah ilmiahnya sering disebut rumpon, merupakan hasil
adaptasi dengan lingkungan. Penggunaan rumpon sendiri secara tradisional
sudah lama dilakukan terutama nelayan di Mamuju, Sulawesi Selatan dan Jawa
Timur, sedangkan penggunaan rumpon secara modern baru dimulai pada tahun
1980 oleh lembaga penelitian laut. Laut sebagai karakteristik kondisi alam sudah
terpenuhi jika mengacu pada Christy(1992). Onjem merupakan hasil buah pikir
yang terjadi karena desakan adaptasi manusia dengan alam. Onjem juga
memiliki batas-batas wilayah dalam pengelolaannya, meskipun tidak ada
teknologi canggih yang digunakan, dan hanya menggunakan cara tradisional
dalam mengetahuinya batas-batas ini bisa ditentukan hukum adat yang melekat
seperti: misalnya, secara naluriah jika onjem ini bukan milik kita, maka kita tidak
akan melakukan penangkapan ikan di onjem orang lain tersebut. Hal ini
merupakan sebuah bentuk hukum adat yang tidak tertulis dalam masyarakat
nelayan Selat Madura.Dimana hal ini merupakan satu aplikasi atau pengamalan
dari ajaran agama Islam, sebagaimana yang disebutkan dalam Kitab Suci
Al-Qur’an:” Janganlah kamu makan harta yang ada diantara kamu dengan cara
an yang batal, melainkan dengan cara jual beli saling ridho (Q.S. An-Nisa’ : 29).
Dari aspek teknologi, meskipun sederhana dibanding rumpon-rumpon modern
yang sudah ada saat ini.Teknologi yang digunakan tetap bisa berfungsi dengan
baik meskipun hasil belum maksimal dibanding hasil tangkapan dilaut
lepas.Sehingga aspek teknologi terpenuhi meskipun sederhana dan
tradisional.Aspek budaya juga terpenuhi dalam onjem masyarakat nelayan Selat
Madura, dapat dilihat dari adanya budaya menghormati “jika ini milikmu maka
aku tidak boleh memanfaatkannya tanpa seijinmu”dan apabila ini dilanggar maka
hasil akan diambil pemilik onjem dan adanya sanksi moral dari masyarakat.
271
Ditinjau dari aspek distribusi kekayaan tidak terpenuhi karena memang onjem
merupakan milik pribadi meskipun berada dilahan komunal dan tidak ada hukum
yang melindungi seperti halnya sertifikat tanah pada umumnya. Sedangkan dari
aspek otoritas pemerintah, tidak adanya hukum yang melindungi tidak berarti
kegiatan atau tradisi ini illegal dan melanggar hukum. Bahkan jika kita lihat dan
kaji lebih dalam akan berdampak positif bagi lingkungan, yaitu dengan adanya
onjem ini maka sebagai rumah bagi ikan untuk melakukan pemijahan dan tempat
berlindung dari pemangsa, disamping itu terjadi rantai makanan sebagai wujud
keseimbangan alam akan terjadi disekitar rumpon. Hal ini sebagai salah satu
wujud kepedulian masyarakat nelayan selat Madura terhadap lingkungan dengan
diterapkannya kearifan lokal onjem ini, dimasa mendatang dapat ditumbuh
kembangkan dengan teknologi yang lebih baik, yaitu dengan upaya
pembangunan terumbu karang buatan.
e. Kearifan Lokal Sistem Kotrak kerja
Kontrak kerja seperti yang sudah dijelaskan disub-bab potensi kearifan lokal
sebelumnya, merupakan adanya bentuk sosial antara patron-client.Dari
tradisi ini aspek budaya terpenuhi karena merupakan sebuah kemitraan
tradisional.Menurut Susilo, E (2009) bahwa sistem ini merupakan sebuah
kelembagaan yang mampu menyediakan kebutuhan akan adanya jaminan
keberlangsungan hidup dengan jaminan berupa kontrak kerja(patron-client).
System ini juga memenuhi aspek distribusi kekayaan karena adanya
kebutuhan antara masyarakat dengan ekonomi bawah dengan masyarakat
ekonomi kelas atas yaitu juragan. Sedangkan dilihat dari otoritas
pemerintah,tidak adanya aturan yang jelas dengan system ini meskipun
pemerintah terus mencoba dengan memberikan bantuan-bantuan tetapi
system ini akan tetap berlangsung lagi dan terus kontinyu seiring dengan
272
ketergantungan masyarakat nelayan dengan alam yang open acces dan
sifatnya yang tidak pasti.
Kontrak kerja adalah merupakan salah satu kearifan lokal yang dilhami
dengan ajaran agama untuk hidup mengarah kepada suatu sistem
kebebasan dan keadilan sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an SurahAn-
Nahl ayat 90 :” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan allah melarang dan
perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia member Pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
f. Kearifan Lokal Andun
Andun yaitu suatu proses perpindahan sementara dalam usaha penangkapan
ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa kendala. Dilihat dari enam aspek
syarat sebagai pengelolaan wilayah. Hanya tiga aspek yang terpenuhi, yaitu
karakterisktik alam dan otoritas pemerintah.Karakteristik alam berupa lautan
dengan sifatnya yang terpengaruh oleh adanya cuaca mengakibatkan adanya
budaya pindah kelokasi penangkapan dalam memenuhi kebutuhan
hidup.Adanya efek domino tersebut merupakan adanya kaitan antara kondisi
alam dengan mata pencaharian sehingga adanya bentuk adaptasi dengan
lingkungan.Sedangkan dari otoritas pemerintah tidak adanya aturan dan hukum
yang membatasi kegiatan andun dan tidak adanya kegiatan yang merugikan
salah satu pihak menjadikan kegiatan ini illegal dari segi hukum adat.
Dimasa mendatang kearifan lokal andun ini sebagai bentuk motivasi untuk
mendistribusikan nelayan ke tempat sumberdaya perikanan yang masih belum
over fishing di Indonesia, baik dalam bentuk transmigrasi nelayan dari tempat
yang sudah mengalami over fishing ke tempat yang masih under fishing, hal ini
akan berdampak positif terhadap pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan,
273
yaitu mencegah terjadinya illegal fishingyang merugikan bangsa sekitar 30 trilliun
per tahun, mengalihkan usaha penangkapan ke tempat yang masih under
fishing, sehingga dapat memulihkan kembali sumberdaya ikan di tempat yang
sudah over fishing, sehingga nelayan bisa ditingkatkan pendidikan dan
ketrampilannya untuk dapat menggunakan teknologi penangkapan yang lebih
maju dengan kapal yang lebih besar GT (Gross Ton).
g. Kearifan Lokal Telasan
Tradisi telasan dari enam aspek menurut Christy (1992) yang terpenuhi hanya
aspek Budaya, Karena memang tradisi ini sebuah budaya dalam masyarakat
nelayan pulau Gili yang religious.Budaya ini dilakukan menjelang hari raya Idul
Fitri dan umumnya tiga hari setelahnya.Maka, dilihat dari segi budaya sudah
jelas terpenuhi karena adanya unsur religi, menyesuaikan, visual dan
terbuka.Dimasa mendatang kearifan lokal ini bisa memotivasi para nelayan untuk
rela tidak melaut dalam rangka restocking sumberdaya ikan, disamping itu juga
sebagai satu upaya untuk pendistribusian ekonomi kedaerah lain, yaitu dengan
adanya budaya mudik lebaran.Disamping para nelayan itu pergi kesanak
saudara didaerah lain juga sekaligus mereka membayar zakat mereka yang
diberikan kepada karib kerabat mereka yang dalam keadaan fakir dan miskin,
sebagai suatu kewajiban dalam agama Islam, seperti tercantum dalam Al-Qur’an
ayat 60 : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah, dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
274
5.2.3.Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Konteks Pengelolaan dan
Pembangunan Sumberdaya Perikanan yangLestari dan Berkelanjutan.
Kondisi sumberdaya alam yang terus menerus dieksploitasi tanpa memikirkan
adanya keseimbangan alam dan konsep berkelanjutan, terus menerus terjadi
diera global seperti ini, dimana permintaan pasar terus menerus menjadi
penguasa tanpa mengakibatkan efek domino terhadap kondisi lingkungan yang
semakin memburuk.Hal ini mengisyaratkan pentingnya pengelolaan
wilayahtersebut untuk dikelola secara terpadu dan bijaksana.Menurut
Purwanto (2003) dalam Stanis (2005)Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada
beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah
dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehinggakelestariannya terancam.
Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan bahkan nyaris
hilang dari perairan Indonesia.
Gambar 34. Deskripsi Keterkaitan aspek Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
Kondisi sosial
Hidup
sengsara Hidup
sejahtera,
berkelanjutan
Hidup
cukup
Kondisi
ekonomi Hidup
bertahan
Kondisi
lingkungan
( Sumber : Tuwo, 2011)
275
Menurut Tuwo(2011) gambar diatas merupakan gambaran konsep hidup
Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan yang bisa dianalogikan dengan
kondisi kehidupan.Jika anda hidup dalam kondisi sosial dan ekonomi yang baik,
namun tanpa lingkungan yang baik, maka hanya hidup sekedar cukup.Jika anda
hidup dalam kondisi sosial dan lingkungan yang baik, namun tanpa
kondisiekonomi yang baik, makan anda akn hidup sengsara.Jika anda hidup
dalam kondisi sosial ynag baik, maka anda hidup sekedar bertahan. Namun jika
anda hidup dalam kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang baik, maka
hidup anda akan sejahtera.
Dalam konsep pembagunan berkelanjutan menurut Anggoro dalam
Stanis (2005) lebih lanjut menjelaskan bahwa secara ideal pemanfaatan
sumberdaya ikan dan lingkungan hidupnya harus mampumenjamin
keberlangsungan fungsi ekologis guna mendukung keberlanjutan usaha
perikanan pantai yang ekonomis dan produktif. Keberlanjutan fungsi ekologis
akan menjamin eksistensi sumberdaya serta lingkungan hidup ikan yang akan
sangat terpengaruh dengan sifat manusia dalam mengeksploitasi sumber daya
alam.
Lebih lanjut lagi menurut Supriharyono (2000), beberapa pertimbangan
dalam pengelolaan sumberdaya alam yakni meliputi (a) pertimbangan ekonomis,
(b) pertimbangan dari aspek lingkungan dan (c) pertimbangan sosial budaya.
Pertimbangan ekonomis menyangkut penting tidaknya untuk kebutuhan
masyarakat sehari-hari, penghasil barang-barang yang dapat dipasarkan,
merupakan aset lokal, nasional atau internasional serta merupakan aset
pariwisata yang dapat mengahasil uang selain berupa barang.Maka dari itu
diperlukan adanya sebuah system yang melindungi keberlanjutan sumeberdaya
alam.
276
5.2.4.Peluang Pembedayaan Kearifan Lokal
Kearifan lokal, tradisi dan budaya yang terdapat dalam masyarakat
nelayan Selat Madura memiliki peluang besar untuk dikelola dan diberdayakan
kembali sehingga dapat mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari dan
normajuga sebagai aturan yang berpihak setidaknya dengan lingkungan dalam
konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Menurut beberapa informan
dan narasumber yang ditemui, masyarakat di lokasi penelitian menyatakan
bahwa masyarakat memiliki antusiasme yang tinggi jika akanada
dilangsungkannya acara petik laut.Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kondisi
kepatuhan masyarakat terhadap konsep hak milik onjem meskipun berada
dilahan komunal yang open acces.Tidak berbeda dengan budaya dan adat
istiadat yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang sangat religious
dan dipatuhi.
Kondisi demikian akan bersifat positif dalam bagaimana kita akan
membangun model pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Adanya
sistem yang telah terbentuk kuat dan mengakar dalam pori-pori kehidupan
masyarakat akan membantu memasukkan cara berfikir (mindset)bagaimana cara
sebaiknya dalam memanfaatkan alam lingkungan sekitar. Maka dari itu kondisi
masyarakat seperti ini hendaknya menjadi kekayaan budaya dan tradisi yang
paling berpotensi dan bermanfaat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
berbasis masyarakat sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen
penting dalam membangun kekuatan sosial untuk upaya pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan.
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut peranan
lembaga lokal berserta kearifan lokal, tradisi dan budaya setempat memiliki
peluang yang sangat strategis untuk dimanfaatkan dalam upaya pembinaan
terhadap masyarakat pesisir dan nelayan. Aspek ini dapat dijadikan sebagai
277
jembatan penghubung yang menghubungkan antara program yang akan
diterapkan otoritas pemerintah dengan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Sehingga diharapkan apapun target kelestarian lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat yang direncanakan pemerintah diyakini akan dapat berjalan dengan
cepat dan tepat sasaran sehingga memberikan dampak yang positif terhadap
keberhasilan dan keberlanjutan program.
Jika dilihat dalam beberapa model pemberdayaan masyarakat
dalammembangun manajemen konservasi dan rehabilitasi sumberdaya pesisir
dan laut, aspek sosial budaya, tradisi dan kearifan lokal merupakan salah satu
faktor pertimbangan yang sangat didahulukan dan harus lebih dominan karena
akan sangat erat kaitannya dikarenakan masyarakat lokal adalah masyarakat
yang bersentuhan langsung dengan lingkungan objek pembangunan. Hal ini juga
didasarkan dengan alasan bahwa apa yang akan dibangun harus dapat diterima
menjadi bagian keseharian dari masyarakat setempat dengan tidak bergesekan
dan atau bahkan bertentangan dengan aspek sosial budaya yang hidup lebih
dahulu dan berkembang jauh sebelum akan dibangun model pengelolaan di
daerah tersebut.
5.2.5. Model Pengelolaan dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal
Konsep community based managementdengan memberdayakan dan
melibatkan masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder yang langsung
bersentuhan dengan objek yang akan dikelola dan dimanfaatkan merupakan
salah satu solusi dalam mengurangi ketidaksesuaian kebijakan pusat yang
bersifat universal atau pukul rata ditengah karakteristik setiap wilayah yang
sangat berbeda. Karakteristik yang berbeda ini bisa berupa budaya, kondisi alam
dan sumberdaya manusia setempat. Sehingga kita dapat memanfaatkan
278
masyarakat lokal atau lembaga lokal jika ada akan membantu dalam kesesuaian
kebijakan dan model yang akan diterapkan (Primyastanto. M, et al, 2013).
Dilihat dari kondisi sosial masyarakat nelayan Selat Madura, yang
memiliki kondisi alam, adat dan budaya sedemikian rupa cukup berpeluang dan
berpotensi dibentuk dengan model pemanfaatan kearifan lokal sebagai co
manajemen dalam pembangunan ekowisata yang berkelanjutan.Yang berpihak
terhadap kondisi lingkungan tanpa mengenyampingkan kondisi ekonomi dan
budaya setempat sebagai budaya lokal yang kuat dan tetap mengakar dalam
masyarakat.Meskipun masih banyak perlu penambahan konsep dan belum
adanya struktur dengan baik, sumberdaya masyarakat, budaya masyarakat dan
kondisi sumberdaya alamnya bisa menjadi langkah awal dalam membangun
kearifan lokal setempat sebagai model co manajemen pembangunan ekowisata.
Dalam konteks kearifan lokal yaitu pengetahuan lokal yang memiliki
keberpihakan dengan kelestarian lingkungan, jika dilihat pada kondisi yang
sudah dijelaskan pada beberapa bab diatas dapat kita cermati bahwa ada lima
budaya setempat yang berpontensi sebagai kearifan lokal, yaitu petik
lautpengambek, kontrak kerja, andun dan onjem atau yang lebih kita kenal
dengan rumpon. Sedangkan dua kebudayaan setempat lainnya berupa budaya
setempat yang bersifat religious dan adanya ketergantungan suatu lapisan
masyarakat nelayan.Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan dari kedua
budaya tersebut bisa dikelola dengan konsep co manajemen meskipun tidak
berlatar kearifan lokal.Masih perlu beberapa penambahan konsep agar bisa
digunakan sebagai bentuk co manajemen dalam konsep pembangunan
berkelanjutan.
Jika kita mengacu pada undang-undang pemerintah Republik Indonesia
nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yaitu pada pasal 3 dan dijelaskan lagi dalam pasal 4 sebagaimanadalam System
279
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berasaskan:a).
keberlanjutan; (b). konsistensi; (c). keterpaduan; (d). kepastian hukum; (e).
kemitraan; (f). pemerataan; (g). peran serta masyarakat; (h). keterbukaan; (i).
desentralisasi; (j). akuntabilitas; dan(k). keadilan.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan
tujuan: (a). melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem
ekologisnya secara berkelanjutan; menciptakan keharmonisan dan sinergi antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil; (b). memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan
keberkelanjutan; dan (c). meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Oleh karena itu model pengelolaan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-
pulau kecil dengan konsep pembangunan berkelanjutan harus melibatkan
adanya peran serta masyarakat dan model yang dibangun tidak bertentangan
dengan kondisi sosial, budaya dan adat setempat.lebih baik lagi akan sangat
membantu jika memang ada kearifan lokal setempat yang bisa digunakan
sebagai jembatan antara model yang akan dibangun dan objek masyarakat
sebagai pelaku utama.
Jika kita melihat kondisi kearifan lokal dan budaya setempat yang akan
sangat berpotensi dalam model pembangunan berkelanjutan dapat kita lihat yaitu
petik laut,onjem, nyabis, andun, pengambek dan kontrak kerja. Hanya tinggal
bagaimana model diadaptasikan dengan kondisi kebutuhan masyarakat nelayan
Selat Madura sehingga tidak akan ada pertentangan dan sasaran tetap tercapai.
280
5.2.6. Membangun Model Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat.
Strategi membangun masyarakat pesisir dalam rencana pembangunan
berkelanjutan berbasis masyarakat dapat dilakukan melalui dua pendekatan
yaitu, yang sifatnyanon struktural dan struktural.Dari kedua pendekatan ini,
nantinya perlu adanya kesepakatan lokal yang ada didalam masyarakat dengan
dilindungi oleh pemerintah kabupaten sebagai pelindung dari adanya
kesepakatan lokal yang dibuat dan diterapkan dalam masyarakat lokal.Non
structural adalah pendekatan yang subyektif. Pendekatan ini menggunakan
pendekatan secara mental dan pengetahuan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk ikut serta dalam
pengelolaan sumberdaya dalam lembaga yang nantinya akan dibangun.
Sehingga diharapkan nantinya, ketika “wadah” masyarakat dalam betuk lembaga
lokal telah terbentuk, sumberdaya manusia yang ada didalamnya bisa
menggerakkan dengan baik dan akan tercapai sasaran dan tujuan yang
diharapkan.
Pendekatan struktural adalah pendekatan yang menyeluruh yang
menekankan pada penataan system, pembentukan lembaga dan struktur sosial
politik yang ada dalam masyarakat direbuild.Pendekatan ini menggunakan
peranan dari lembaga lokal jika memang ada dan tentunya yang berwewenang
atau lembaga yang dibentuk untuk pengelolaan pesisir laut jika memang tidak
ada. Dalam membangun lembaga lokal memang peranan masyarakat sangat
dominan dan penting tetapi akan kurang kuat karena aspek structural biasanya
akan lebih efektif jika dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai otoritas
kewenangan, sehingga perlu adanya tuntunan atau bimbingan pada langkah
awal merintis dan membangun suatu system dan lembaga pada masyarakat
pesisir. Kemudian dengan pendekatan Kedua pendekatan tersebut harus saling
281
mendukung, melengkapi dan dilaksanakan secara berkaitan dalam satu
kesatuan.
1. Pendekatan Subyektif.
Pendekatan non struktural atau subyektik adalah pendekatan yang
menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan
untuk berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya dengan diiringi
pemahaman konsep atau wawasan sebagai landasan guna mencapai
sasaran yang akan dicapai. Pendekatan ini masyarakat lokal ketika telah
memilik pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya dapat meningkatkan
peran sertanya sebagai subjek yang akan melakukan tindakan lansung
dalam masyarakat pada saat mengelola sumberdaya yang ada
disekitarnya.
Dengan membekali wawasan dan pengetahuan masyarakat dalam
pengelolaan masyarakat meskipun butuh waktu yang lama tetapi
akandengan sendirinya masyarakat lebih menyadari keterkaitan dengan
lingkungan dan juga akan terbentuk sendiri suatu mata pencaharian
alternatif misalnya jika lingkungan sekitar yang kotor maka akan dapat
sendirinya dibentuk konsep ekowisata yang tentunya mendatangkan
sumberdaya ekonomi bagi masyarakat setempat. Maka dari itu otoritas
pemerintah Kabupaten Probolinggo harus memberikan minimal
meningkatkan dan membuka wawasan dan pengetahuan dengan
beberapacara, misal penyuluhan dan pelatihan masyarakat agar terlibat
aktif. Contoh-contohnya diantara lain :
a. Pengembangan keterampilan masyarakat.
b. Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan
c. Peningkatan animo masyarakat agar berperan serta
d. Peningkatan kualitas pendidikan formal sumber daya manusia
282
e. Memberikan motivasi masyarakat untuk berperanserta.
Jika mengacu pada penjelasan diatas, maka kita dapat
memasukkan langkah-langkah tersebut kedalam beberapa adat dan
budaya yang sudah teridentifikasi pada masyarakat lokal diantaranya :
a) Tradisi petik laut, pada susunan acaranya terdapat beberapa hal
yang dalam pikiran logis tidak masuk akal dan kurang bermanfaat
tanpa harus mengganti dan menghilangkan ditambahkan acara yang
lebih bermanfaat dan dampaknya langsung kepada lingkungan
sektar dan masyarakat. Dalam beberapa acara yang terdapat pada
upacara petik laut dapat kita modifikasi tanpa harus menghilangkan
kondisi asli, sebagai berikut :
Pada upacara larung sesaji, ditambahkan pelepasan bibit-bibit
ikan dalam jumlah banyak sehingga ada manfaat lingkunga yang
didapat.
Selain pada upacara larung sesaji, ditambahkan kegiatan
transplatasi terumbu karang dilaut dangkal sekitar pulau gili.
kegiatan ini memutuhkan ahli dalam bidangnya, maka dari itu
diperlukan kerja sama dengan ahli terkait tanpa melepas peran
serta masyarakat lokal.
Pada acara hiburan petik laut, yang umumnya dilangsungkan
selama dua hari, selain adanya pagelaran kesenian ludruk
Madura, akan lebih bermanfaat, pihak pemerintah masuk dengan
memberikan penyuluhan dan pelatihan sehingga penambahan
wawasan dan pengetahuan masyarakat tercapai.
Upacara petik laut, seyogyanya diagendakan dalam setiap tahun
dengan pasti sehingga ini bisa dijadikan komoditi pariwisata dan
283
bisa menambah nilai jual Selat Madura yang seharusnya bisa
dijadikan sebagai lokasi ekowisata.
b) Onjem yang dimiliki masyarakat nelayan Selat Madura masih bersifat
tradisional dan masih dimiliki hanya beberapa segelintir orang.
Dengan kondisi demikian, pemerintah akan lebih baik memberikan
penyuluhan yang baik dalam pembuatan rumpon, alat-alat yang
dibutuhkan seperti GPS dan bantuan tenaga ahli sehingga lebih
banyak onjem yang dimiliki setiap warga. Yang nantinya diharapkan,
pada kondisi musim paceklik, meskipun hasil ikan sedikit yang
didapatkan dari rumpon, setidaknya menjamin ketersediaan ikan
sebagai komoditas utama nelayan. Selain itu, adanya transplantasi
terumbu karang secara jangka panjang akan meningkatkan
ketersedian sumberdaya ikan dilaut.Pada budaya onjem dapat
diperbaiki dan diperbanyak dengan peran serta pemerintah dalam
memberikan penyuluhan yang baik dalam pembuatan rumpon, dan
bantuan tenaga ahli sehingga lebih banyak onjem (rumpon) yang
dimiliki setiap warga masyarakat nelayan selat madura.
c) Pada kearifan lokal andun perlu diarahkan kepada daerah baru,
bahkan sampai ZEE, agar bisa meningkatkan pendapatan nelayan
sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan.
d) Dalam sistem kontrak kerja perlu diupayakan pemerintah aturan agar
terjadinya kompetisi yang sehat agar terhindar dari konflik sosial.
e) Kearifan lokal nyabis bisa dilakukan para nelayan modal kecil
sedangkan nelayan modal besar lebih membutuhkan pada data
tentang sum berdaya ikan serta teknologi penagkapan lebih baik
untuk memperbesar investasinya.
284
f) Kearifan lokal pengambek diupayakan perannya agar lebih berpihak
kepada nelayan kecil dengan arahan pemerintah tentang informasi
pasar dan besarnya jasa yang harus ditanggung nelayan agar tidak
merugikan nelayan.
2. Pendekatan struktural.
Pendekatan structural bertujuan untuk membentuk struktur, system
dan kelembagaan local, yang terdiri atas : system kehidupan masyarakat
local, system social, system ekonomi, dan system lingkungan setempat.
Pendekatan structural yang tertata dengan baik , maka dapat menjadikan
masyarakat local berkesempatan lebih baik dalam mengelola sumberdaya
perikanan secara sustainable. Disamping itu pembangunan struktur SEL
(Sosial-Ekonomi-Lingkungan) diupayakan agar bisa meningkatkan
kreativitas masyarakat local untuk menjaga kelestarian sumberdaya
perikanan dari berbagai anasir dari dalam dan luar yang mengancam
pelestarian sumberdaya perikanan yang ada. Pendekatan semacam ini
bermuara pada pengurangan sekaligus menghindarkan masyarakat
nelayan dari permasalahan SEL (social-ekonomi-lingkungan), dimana hal
tersebut sering mendudukkan masyarakat nelayan dalam bargaining
position yang lemah. Adapun langkah-langkah yang dapat diupayakan
pada masyarakat nelayan Selat Madura sebagai berikut :
a. Membentuk lembaga lokal.
Dengan kondisi masyarakat nelayan Selat Madura yang religious
dan antusias misalnya pada saat upacara petik laut, bisa dimanfaatkan
dengan membentuk struktur tetap yaitu sebuah lembaga yang berperan
dalam mengatur segala aspek kehidupan.Seperti mengatur kondisi
lingkungan sekitar yang sangat kotor dengan memberlakukan aturan-
285
aturan yang disepakati oleh bersama. Sebagai contoh adalah pada
umumnya apabila akan tiba hari lebaran Iedul Fitri atau telasan, maka
masyarakat nelayan akan mengecat rumah, membersihkan Masjid ,
Mushollah, juga dengan gotong royong membersihkan linkungan sekitar,
termasuk makam keluarga. Hal ini bisa diupayakan dimasa mendatang
sebagai bentuk even lomba kebersihan lingkungan antar RT atau RW.
Pada saat kondisi lembaga telah kuat, maka dengan sendirinya akan
tercipta masyarakat mandiri dalam membentuk lingkungan yang sehat
berbasis masyarakat tanpa meninggalkan kesejahteraan dan kondisi
lingkungan yang baik.
Menurut Sahri Muhammad et al (2010) bahwa kebijakan Saptagon
Akses berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
rumahtangga nelayan dan dilakukan melalui pelatihan pada rumahtangga
ABK (Anak Buah Kapal). Adapun Saptagon Akses tersebut dilakukan
dengan cara :
1. Akses Sosial melalui penguatan Kelompok Usaha Bersama (KUB)
2. Akses SDM (Sumberdaya Manusia) melalui penguatan Vocational
Skill non melaut bagi ibu rumahtangga dalam kegiatan alternative
mata pencaharian di darat.
3. Akses teknologi ramah lingkungan melalui penguatan Vocational Skill
nelayan dalam kegiatan melaut.
4. Akses Finansial secara local melalui penguatan Lembaga Keuangan
Masyarakat Pesisir (LKMP).
5. Akses SDA (Sumberdaya Alam) melaui penguatan perijinan dan Co-
Management dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
6. Akses Pasar melalui penguatan KUB dalam Kemitraan Usaha untuk
Penguatan Ekonomi Lokal (KPEL).
286
7. Akses Politik melalui penguatan Participatory Budgeting Skill yang
berkaitan dalam Implementasi penguatan Community Development
melalui penganggaran Pemerintah Daerah (PEMDA).
b. Mengembangkan keikut sertaan masyarakat lokal dalam proses
pengambilan keputusan.
Berhasil tidaknya mengikut sertakan masyarakat lokal dalam
memanage sumberdaya perikanan yang ada dipengaruhi oleh policy para
pengambil keputusan (decision maker). Policy berdasarkan keikut sertaan
masyarakat local yang berbasis kepada keinginan stake holder akan
berdampak pada suksesnya pengelolaan terhadap sumberdaya
perikanan yang ada. Keikut sertaan stake holder merupakan
keniscayaan, hal itu disebabkan adanya penyesuaian terhadap keinginan
dan aspirasi stake holder sekaligus sejalan dengan potensi sumberdaya
perikanan yang tersedia di alam.
Policy yang berdasarkan pada keikut sertaan masyarakat dan
keterbatasan potensi sumberdaya yang ada dapat meningkatkan
partisipasi masyarakat local dalam pengelolaan dan pelestarian
sumberdaya yang ada. Disamping hal tersebut diatas akan berdampak
positif terhadap tata ruang wilayah, sekaligus adanya kesempatan bagi
masyarakat local untuk berperan serta terhadap lingkungan sekitar. Dan
pada gilirannya nanti akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
local. (Nurmalasari, 2009).
c. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi.
Informasi merupakan salah satu aspek penting dalam
pengembangan masyarakat pantai sebagai bagian dari pengelolaan
pesisir dan laut.Ketersediaan informasi mengenai potensi dan
287
perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat
berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah
tersebut.
5.2.7. Kendala-kendala yang dihadapi dalam Implementasinya
Dalam upaya untuk menjadikan kearifan lokal yang ada dalam
implementasinya masih terkendala dengan belum adanya paying hukum yang
mengikat stakeholder, agar efektifitas pemberdayaan kearifan lokal dalam rangka
pengelolaan sumberdaya perikanan secara lestari dan berkelanjutan
tercapai.Adapun beberapa langkah yang diharapkan untuk mencapai hal
tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pembangunan berbasis masyarakat tidak serta merta dilakukan mandiri oleh
masyarakat, perlu bantuan dari pemerintah mulai dari biaya, tenaga ahli dan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan agar pembangunan berkelanjutan
dengan berbasis masyrakat lokal bisa terwujud.
2. Pembangunan yang dilakukan di Selat Madura harus melihat berbagai
aspek, seperti sektor ekonomi, masyarakat, sosial, budaya, dan pemerintah
desa, daerah maupun pusat. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih kebijakan
antara satu dengan yang lainnya. Untuk mewujudkan keterpaduan tersebut
maka dalam perencanaan pembangunan harus mengintegrasikan semua
semua kepentingan pada sektor-sektor yang terlibat. Maka dari itu perlu ada
musyawarah untuk mencapai kata mufakat dalam perencanaan
pembangunan. Seperti kerjasama Bappedakab dan Departemen Kelautan
dan Perikanan Kabupaten Probolinggo dalam perencanaanRENSTRA
(Rencana Strategis)pengelolaan pulau dan pesisir.
3. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada masih sangat
berpotensi untu dikembangkan diperlukan perencanaan yang lebih
288
menyeluruh pada usaha peningkatkan keterampilan dan pengetahuan
terhadap teknik-teknik budidaya melalui kegiatan dan pelatihan serta studi
banding di tempat-tempat yang sudah maju. Disamping itu dukungan dana
dan aspek pemasaran hasil usaha budidaya perikanan
4. Dalam merangkai kebijakan-kebijakan pemberdayaan masyarakat pesisir
dan nelayan, baik dalam usaha pemanfaatan maupun dalam pengelolaan
sumberdaya alam laut dan pesisir Selat madura, dan kabupaten Probolinggo
secara umum, perlu dipertimbangkan kekayaan kearifan lokal yang ada dan
dilakukan identifikasi karakteristik sosial masyarakat pesisir secara cermat.
Ini penting dilakukan dalam membentuk nilai yang terwujuddalam kehidupan
sehari hari sebagai dasar dan filosofi dalam membangun keserasian,
keharmonisan antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya,
sehingga membawa hasil yang optimal.
5. Untuk itu dalam strategi pengelolaan, pengawasan sumberdaya pesisir dan
pemberdayaan masyarakat diharapkan sedapat mungkin nilai kearifan lokal,
tradisi/hukum adat beserta sistem kelembagaan yang ada, baik
kelembagaan yang nyata berupa struktur masyarakat adat dan organisasi
formal pemerintahan maupun Lembaga formal, Keputusan Bupati,
Keputusan Camat, sampai Keputusan Desa hendaknya dapat
mengakomodir dan memanfaatkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup,
bertumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
6. Diperlukan adanya keterbukaan dalam menerima hal baru berupa wawasan
dan pengetahuan sehingga tidak terjadi ketidak berhasilan model
pembangunan berbasis pengetahuan lokal
7. Dibutuhkan adanya penguatan kelompok-kelompk atau lemabaga sehingga
mudah dalam terbentuknya model co manajemen dalam masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya lingkungan Pulau Gili.
289
8. Diupayakan adanya perubahan mindset bahwa pendidikan merupakan salah
satu hal yang penting dalam kehidupan guna membangun keterbukaan dan
pengetahuan serta wawasanterhadap kelestarian sumberdaya dan
lingkungan berbasis kearifan lokal yang ada.
5.3. Analisis Model Ekonomi Rumahtangga Nelayan Melalui Pendekatan
Sistem.
Pembahasan tentang hasil estimasi model ekonomi rumahtangga nelayan
payang di Selat Madura dengan mengintegrasikan nelayan juragan dan
pendega. Agar memudahkan dalam pembahasan, maka analisis didasarkan
pada 4 (empat) blok, yaitu : (1) Produksi, (2) Curahan Kerja, (3) Pendapatan, dan
(4) Pengeluaran, terdiri dari 23 persamaan perilaku dan 22 persamaan identitas.
Model ekonomi rumahtangga nelayan payang di Selat Madura terdiri atas
juragan dan pendega, dimana merupakan model persamaan simultan dengan
menggunakan data cross section di 4 Kecamatan : Sumber Asih, Karang Anyar,
Randu Putih dan Randu Tatah, Kabupaten Probolinggo pada tahun 2012. Model
dispesifikasi secara berulang untuk memperoleh model yang bermakna menurut
kriteria Ekonomi, dan memuaskan menurut kriteria Statistika.Secara rinci hasil
analisis Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga disajikan pada Lampiran 5.
Hasil Analisis Estimasi Model Ekonomi Rumahtangga nelayan payang
yang didasarkan pada kriteria Ekonomi, menunjukkan bahwa semua parameter
peubah penjelas pada persamaan perilaku mempunyai tanda sesuai harapan.
Sedangkan berdasarkan kriteria statistika, menunjukkan jumlah persamaan
perilaku dengan nilai koefisien determinasi (R2 ) lebih besar dari 0.50 sebanyak
40 % dan koefisien determinasi (R2 ) lebih kecil dari 0.50 sebanyak 60 %.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data cross section, sehingga hasil
290
estimasi model ekonomi rumahtangga dapat dikatakan cukup memuaskan
berdasarkan criteria ekonomi dan statistika.
Hasil Analisis model ekonomi rumahtangga dalam penelitian ini toleransi
taraf nyata nilai alfa) sampai 0.30,dimana hasil estimasi parameter pada
persamaam perilaku yang menunjukkan nilai t statistika pada taraf
nyata 0.30dianggap menunjukkan ada hubungan nyata antara peubah
penjelas dengan peubah endogen.
5.3.1. Respon Produksi Ikan
Perilaku produksi ikan disusun dalam empat persamaan perilaku dan satu
persamaan identitas.Hasil analisis estimasi persamaan perilaku produksi ikan
disajikan pada tabel 9.
1. Respon Aset Kapal
Perilaku asset kapal (ASKJ) dipengaruhi oleh pemberian kredit (KRKJ),
nilai alat tangkap (ITMJ), pendapatan rumahtangga juragan (YJSPK), dan
prasarana desa (DESA).
Parameter peubah kredit (KRKJ) bernilai posistif, hal itu dapat
diinterpretasikan bahwa pemberian kredit mampu merangsang peningkatan
ukuran asset kapal ikan pada alat tangkap payang di Selat Madura. Adapun
peubah lain yang berpengaruh positif terhadap penggunaan ukuran asset kapal
adalah nilai alat tangkap (ITMJ), tingkat pendapatan (YJSPK) dan penyediaan
prasarana pelabuhan (DESA)di desa pesisir Selat Madura. Hal ini dapat
menjelaskan perilaku rasional dalam rumahtangga juragan, bahwa perubahan
asset kapal dipengaruhi adanya perubahan pada nilai alat tangkap , tingkat
pendapatannya, pemberian kredit dan penyediaan prasarana pelabuhan
perikanan.Karena semua peubah penjelas tersebut merupakan keperluan
291
nelayan untuk termotivasi meningkatkan hasil produksinya melaut, sehingga bisa
meningkatkan pendapatannya sekaligus kemampuan untuk pembayaran kredit
yang ditanggungnya.Sehingga pemerintah perlu mengupayakan kebijakan paket
kredit yang lunak sekaligus membangun fasilitas prasarana pelabuhan yang
memadai.
Tabel 9. Hasil Esimasi Parameter perilaku nelayan payang dalam Blok Produksi
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
1. Aset Kapal (ASKJ) Intercept Kredit untuk Juragan (KRKJ) Nilai Alat Tangkap (ITMJ) Pendapatan RT Juraga (YJSPK) Prasarana Desa (DESA) 2.Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Intercept Aset Kapal (ASKJ) Harga BBM (PBM) Pendidikan/Pengalaman Pendega (PDPP) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Harga Ikan (PIK) Curahan Kerja Agroindustri dalam RT. Pendega (CDPA) NYABIS ONJHEM 3. Produktivitas/ Trip (PRM) Intercept Teknologi (TEK) Prasarana Desa (DESA) Tingkat Produksi MSY (SSDA) PETK LAUT 4. Jumlah Frekuensi Melaut FQM) Intercept Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Curahan Kerja Agroindustri dalam RT. Juragan (CDJA) Curahan Kerja Non-Perikanan dalam RT. Juragan(CDJL) 5. Produksi Ikan : QNM = PRM*FQM
0 0.453 3.855E-7 9.28E-11 0.027 0 -9.436 -0.526 -0.127 -0.113 -0.0004 0.008 0 2665.133 0 0 0 0 0.611 194 1.62E-15 0 0
- 0.47 17.72***
3.98***
0.18 - -4.70***
-6.05***
-0.87 -1.20*
-2.11***
1.07*
- 6.09***
- - - - 3.71***
- - - - -
1.118308
1.787507
0.239091
0.896496
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
292
Parameter peubah prasarana desa bernilai positif, sebagai proksi
ketersediaan prasarana pelabuhan perikanan dapat diinterpretasikan bahwa
peningkatan penyediaan prasarana pelabuhan perikanan mampu merangsang
peningkatan ukuran asset kapal yang digunakan rumahtangga nelayan payang di
selat Madura. Disamping itu, perubahan ukuran asset kapal dipengaruhi oleh
pendapatan dan jenis alat tangkap yang digunakan. Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa perubahan pendapatan yang semakin meningkat akan
memotivasi untuk menambah ukuran asset kapal , dimana juga akan diikuti
dengan semakin meningkatnya produksi mendatang Disamping itu juga
dipengaruhi perubahan nilai alat tangkap yang digunakan. Hal ini dikarenakan
semakin besar ukuran asset kapal akan memerlukan jumlah dan ukuran alat
tangkap yang lebih besar, sehingga akan menambah nilai alat tangkap yang
digunakan nelayan payang di Selat Madura, bisa berupa penambahan armada
atau memperbesar ukurannya.
Parameter peubah prasarana desa bernilai positif, dimana prasrana desa
mewakili ketersediaan prasarana pelabuhan perikanan dapat diinterpretasikan
bahwa nelayan payang Selat Madura semakin bersikap positif terhadap
pemanfaatan pelabuhan perikanan dalam kegiatan produksi penangkapan ikan
di laut. Penyediaan dan pelayanan pelabuhan perikanan yang semakin
meningkat akan memacu rumahtangga nelayan payang untuk menggunakan
ukuran asset kapal yang semakin besar.Sehingga dimasa mendatang diperlukan
peranan pemerintah dan stakeholder untuk memajukan perikanan payang
khususnya dan perikanan pada umumnya di Selat Madura lebih serius agar
peningkatan kesejahteraan nelayan sekaligus pemberdayaan mereka dalam
pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan (sustainable).
293
2. Respon Daerah Penangkapan Ikan
Perilaku daerah penangkapan ikan (DPI) dipengaruhi oleh peubah aset
kapal (ASKJ), harga BBM (PBM), pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ),
pendidikan dan pengalaman pendega (PDPP), curahan dalam rumahtangga
pendega untuk kegiatan agroindustri (CDPA), harga ikan (PIK), dan onjhem
(rumpon)sebagai suatu budaya kearifan lokal masyarakat nelayan payang di
Selat Madura.. Peubah nyabis tidak berpengaruh terhadap perilaku DPI. Lama
pendidikan dan pengalaman kerja pendega maupun juragan adalah merupakan
proksi mutu SDM nelayan payang Selat Madura.
Parameter peubah daerah penangkapan (DPI) dipengaruhi secara positif
oleh peubah curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan
agroindustri (CDPA) dan onjhem (rumpon). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa
dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut, juragan dan pendega
semakin rasional untuk mempertimbangkan penggunaan curahan kerja dalam
rumahtangga pendega untuk kegiatan agroindustri seperti pegolahan ikan dan
pemasaran ikan yang semakin berkualitas serta keberadaan onjhem sebagai
rumah ikan atau sarang ikan yang menyediakan stock ikan atau restocking
sumberdaya ikan akan memacu daerah penangkapan ikan yang semakin luas.
Dimana semakin meningkat hasil ikan yang didapat, maka akan memerlukan
curahan kerja yang semakin meningkat dibidang yang berkaitan dengan usaha
penangkapan ikan.Dan untuk memudahkan kegiatan penangkapan ikan ditengah
laut (daerah penangkapan ikan), sebagian nelayan memasang sarang ikan atau
onjhem didalam laut, onjehm ini dibuat dari daun pohon kelapa yang masih utuh,
batangan bamboo, dan batu pemberta yang disusun sedemikian rupa, onjhem ini
akan menjadi tempat berkumpul dan bertelur ikan sehingga dapat membantu
nelayan untuk menjaringnya (Kusnadi, 2000). Maka dimasa mendatang
diperlukan untuk pemberdayaan onjhem ini ketempat daerah penagkapan yang
294
lebih luas lagi untuk meningkatkan hasil tangkapan sekaligus upaya pelestarian
sumberdaya ikan oleh stakeholder.
Disamping itu nampak kontribusi kearifan lokal onjhem (rumpon)
terhadap pembangunan perikanan mendatang Laut sebagai karakteristik kondisi
alam sudah terpenuhi jika mengacu pada Christy(1992). Onjem merupakan hasil
buah pikir yang terjadi karena desakan adaptasi manusia dengan alam. Onjem
juga memiliki batas-batas wilayah dalam pengelolaannya, meskipun tidak ada
teknologi canggih yang digunakan, dan hanya menggunakan cara tradisional
dalam mengetahuinya batas-batas ini bisa ditentukan hukum adat yang melekat
seperti: misalnya, secara naluriah jika onjem ini bukan milik kita, maka kita tidak
akan melakukan penangkapan ikan di onjem orang lain tersebut. Hal ini
merupakan sebuah bentuk hukum adat yang tidak tertulis dalam masyarakat
nelayan Selat Madura. Dari aspek teknologi, meskipun sederhana dibanding
rumpon-rumpon modern yang sudah ada saat ini.Teknologi yang digunakan
tetap bisa berfungsi dengan baik meskipun hasil belum maksimal dibanding hasil
tangkapan dilaut lepas.Sehingga aspek teknologi terpenuhi meskipun sederhana
dan tradisional.Aspek budaya juga terpenuhi dalam onjem masyarakat nelayan
Selat Madura, dapat dilihat dari adanya budaya menghormati “jika ini milikmu
maka aku tidak boleh memanfaatkannya tanpa seijinmu” dan apabila ini
dilanggar maka hasil akan diambil pemilik onjem dan adanya sanksi moral dari
masyarakat. Ditinjau dari aspek distribusi kekayaan tidak terpenuhi karena
memang onjem merupakan milik pribadi meskipun berada dilahan komunal dan
tidak ada hukum yang melindungi seperti halnya sertifikat tanah pada umumnya.
Sedangkan dari aspek otoritas pemerintah, tidak adanya hukum yang melindungi
tidak berarti kegiatan atau tradisi ini illegal dan melanggar hukum. Bahkan jika
kita lihat dan kaji lebih dalam akan berdampak positif bagi lingkungan, yaitu
dengan adanya onjem ini maka sebagai rumah bagi ikan untuk melakukan
295
pemijahan dan tempat berlindung dari pemangsa, disamping itu terjadi rantai
makanan sebagai wujud keseimbangan alam akan terjadi disekitar rumpon. Hal
ini sebagai salah satu wujud kepedulian masyarakat nelayan selat Madura
terhadap lingkungan dengan diterapkannya kearifan lokal onjem ini, dimasa
mendatang dapat ditumbuh kembangkan dengan teknologi yang lebih baik, yaitu
dengan upaya pembangunan terumbu karang buatan (Primyastanto. M., 2012).
Sehingga perlu dilestarikan dan diberdayakan dengan sentuhan teknologi
yang ramah lingkungan, serta pembuatan terumbu karang buatan ditempat
tertentu sebagai fishing ground untuk memperluas daerah penagkapan ikan bagi
nelayan.
Perluasan daerah penangkapan dipengaruhi secara negative oleh
perubahan aset kapal (ASKJ), harga BBM (solar) atau (PBM), dapat
diinterpretasikan bahwa peningkatan aset kapal dibarengi dengan peningkatan
harga BBM akan menurunkan perluasan dan jangkauan daerah penangkapan
ikan. Hal ini secara logis akan berdampak karena semakin meningkat asset
kapal dan harga BBM akan meningkatkan biaya operasional melaut, dimana bagi
nelayan payang bekal dan biaya yang disediakan terbatas, sehingga
antisipasinya adalah tetap melaut dengan memperpendek jarak daerah
penangkapan ikan. Apabila pemerintah membuat kebijakan peningkatan harga
BBM, maka nelayan payang Selat Maduraakan merespon secara cepat untuk
memperpendek jangkauan daerah penangkapan ikan.
Policy (kebijakan) pemerintah untuk menaikkan harga BBM akan
berdampak pada perilaku nelayan payang Selat Madura dalam mengatur
jangkauan daerah penangkapan ikan, yaitu : (1) Jangkauan daerah
penangkapan ikan semakin menurun, sehingga penangkapan ikan di wilayah
pantai akan semakin padat dan sumberdaya perikanan pantai akan mengalami
over fishingsebaliknya sumberdaya perikanan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
296
(ZEE) tidak dapat dioptimalkan yang mengakibatkan kerugian besar bagi para
nelayan, dan (2) Produktivitas hasil penangkapan ikan semakin menurun, biaya
operasional semakin meningkat, maka akibatnya pendapatan nelayan semakin
berkurang.
Oleh karena itu, untuk memacu nelayan payang selat Madura agar
memperluas daerah penangkapan ikan khususnya dan bagi armada perikanan
nasional umumnya, agar dapat menggantikan armada asing yang melakukan
illegal-fishing di wilayah ZEE, memerlukan kebijakan kenaikan harga BBM
secara bijaksana, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan kombinasi
paket program peningkatan ukuran asset kapal . Sedangkan upaya selanjutnya
untuk memperluas daerah penangkapan ikan pemerintah perlu mengupayakan
pelatihan dan penyuluhan dengan paket teknologi onjhem (rumpon) , dimana
disamping sebagai rumah ikan juga merupakan satu upaya untuk melestarikan
ketersediaan ikan sekaligus merupakan upaya untuk melestarikan sumberdaya
ikan.
Parameter harga ikan sebagai peubah penjelas berpengaruh negative
terhadap daerah penangkapan ikan, hal ini diinterpretasikan sebagai salah satu
bentuk adaptasi nelayan terhadap lingkungan ekosistemnya, dimana bagi
nelayan payang lingkungan fisik laut banyak mengandung resiko. Adanya risiko
dan ketidakpastian ini disarankan untuk disiasati dengan mengembangkan pola-
pola adaptasi berupa perilaku ekonomi yang spesifik yang selanjutnya
berpengaruh pada pranata ekonominya, termasuk perubahan meningkatnya
pada harga ikan, yang justru malah semakin memperpendek jarak daerah
penangkapan ikan.
297
3. Respon Produktivitas
Pada perilaku produktivitas (PRM), dipengaruhi oleh peubahkearifan lokal
PETIK LAUT.Produktivitas hasil tangkapan ikan merespon positif terhadap
peubah PETIK LAUT. Perilaku tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
peningkatan pelaksanaan petik laut akan meningkatkan produktivitas
pemanfaatan sumberdaya yang ada, terutama akan membuka peluang kerja
baru sebagai akibat dari terbukanya peluang usaha baik perikanan dan non
perikanan, yaitu dengan menjadikan even petik laut sebagai ekowisata dan bisa
dilakukan per tahun. Hal tersebut akan meningkatkan produktivitas rumahtangga
nelayan secara keseluruhan.
Dalam tradisi petik laut, dapat kita lihat untuk karakteristik alam dapat
terlihat, bahwa laut merupakan objek dari tradisi tersebut.Kemudian dari segi
budaya, petik laut merupakan budaya dari masyarakat pesisir hampir
sebagian besar masyarakat nelayan Selat Madura di Jawa Timur. Dari aspek
distribusi kekayaan, biaya yang digunakan dalam petik laut merupakan biaya
yang dikumpulkan dari semua lapisan masyarakat nelayan Selat Madura
yang besarannya dikategorikan berdasarkan dari segi jenis alat tangkap yang
dimiliki oleh nelayan. Sehingga antara pemilik alat tangkap payang jurung
dan alat tangkap sleret atau purse seine akan berbeda, yang tentunya akan
berbeda juga dari tingkat ekonomi nelayan karena biaya operasional dan
biaya dalam satu kali trip beserta hasilnya akan sangat berbeda.
Respon produktivitas hasil tangkapan ikan terhadap perbaikan status
sumberdaya menunjukkan hubungan tidak nyata. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa peningkatan produtivitas melalui pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan (sustainable) pada tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY)
adalah sulit diimplementasikan, karena terkait dengan siklus hidup ikan yang
298
menjadi sasaran penagkapan,disamping itu juga membutuhkan waktu pemulihan
yang panjang (Anderson, 1986), serta bergantung pada jenis ikan yang menjadi
tujuan penangkapan (Hannesson, 1988).
Perbaikan teknologi tidak berpengaruh terhadap produktivitas hasil
tangkapan ikan nelayan payang, hal ini terjadi sebagai akibat kondisi
sumberdaya perikanan yang terbatas hanya di Selat Madura, dimana
sumberdaya ikan semakin terkuras (over-exploited). Sehingga pemanfaatan
sumberdaya perikanan akan menghadapi masalah over fishingdimana pada
akhirnya akan mengancam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu untuk memacu nelayan payang selat
Madura untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya perlu diupayakan
untuk mencari daerah penangkapan baru (fishing ground), dan mencari
alternative pendapatan baru bagi rumahtangga.
4. Respon Frekuensi Melaut
Perilaku frekuensi melaut (FQM) dipengaruhi oleh jangkauan daerah
penangkapan ikan (DPI) dan tidak dipengaruhi oleh curahan kerja dalam
rumahtangga juragan untuk agroindustri (CDJA) dan curahan kerja dalam
rumahtangga juragan untuk kegiatan produktif non-perikanan (CDJL).
Daerah penangkapan ikan yang semakin jauh dan luas akan
meningkatkan frekuensi melaut nelayan payang Selat Madura, hal ini sangat
relevan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang masih belum dioptimalkan
terutama di wilayah ZEE. Disamping itu terjadi pergeseran mindsetnelayan
sendiri, dimana dahulu hanya one-day fishing, sekarang sudah beralih dengan
motto tidak akan pulang sebelum mendapatkan ikan, sehingga hal ini akan
meningkatkan pendapatan nelayan.
299
Sementara itu perluasan daerah penangkapan ikan, sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, dipengaruhi oleh peubah asset kapal, mutu SDM, harga
BBM dan curahan kerja untuk agroindustri , serta kearifan lokal onjhem, petik
laut. Sedangkan frekuensi melaut merespon daerah penangkapan Ikan (DPI),
dan telasan. Sehingga faktor yang mempengaruhi perilaku juragan dalam
mengatur frekuensi melalut pada dasarnya merupakan kombinasi factor yang
sangat kompleks, sebagai berikut :
1. Faktor pertama : merupakan pilihan kontradiksi antara : (a) tingkat
pendapatan (YJSPK), (b) peningkatan ukuran kapal (ASKJ) dan
perbaikan teknologi (TEK), dimana pada satu sisi merangsang
nelayan untuk meningkatkan produltivitas dan frekuensi melaut,
dengan (c) kecenderungan kenaikan harga BBM (PBM) pada
sisi lain yang akan menambah beban biaya, merangsang nelayan
payang selat Madura untuk merespon kenaikan BBM dengan
jalan mengurangi frekuensi melaut.
2. Faktor kedua : kemampuan memilih untuk meningkatkan atau
mengurangi frekuensi melaut yang terkait dengan ketrampilan
nelayan juragan (PDPJ) dan nelayan pendega (PDPP).
Dengan demikian frekuensi melaut (FQM) pada dasarnya merupakan
pilihan ketidakpastian (uncertainty) yang tidaklah mudah. Dalam menghadapi
ketidakpastian tersebut, perilaku rumahtangga nelayan payang juragan
cenderung pada dua hal , yaitu : (1) melakukan kegiatan komplementer untuk
mengurangi kondisi ketidakpastian dengan jalan mengembangkan sumberdaya
pendapatan dari kegiatan agroindustri (CDJA), atau (2) pengembangan
alternative lapangan kerja non-perikanan (CDJL), seperti pedagang, dan ini
terbuka lebar apabila petik laut dijadikan even tahunan untuk menjadi ekowisata
300
yang akan menarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara, yang akan
meningkatkan pendapatan nelayan.
5. Produksi Ikan
Produksi ikan (QNM) merupakan persamaan identitas, yaitu perkalian
antara produktivitas (PRM) dan frekuensi melaut (FQM), seperti yang ditunjukkan
pada persamaan (5) sebagai berikut :
QNM = PRM * FQM……………………………………………….(5)
Produksi ikan diperhitungkan atas dasar hasil penangkapan ikan per trip
melaut. Berdasarkan uraian diatas, peubah yang mempengaruhi produksi ikan
secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kelompok peubah yang berpengaruh positif, yaitu : (a) Nilai alat tangkap
yang digunakan RT juragan (ITMJ), (b) Curahan hari kerja RT pendega
pada agro-industri (CDPA), (c) daerah penangkapan ikan (DPI), (d)
tingkat pendapatan (YJSPK), (e) pemberian kredit (KRKJ), (f) serta
kearifan lokal ONJHEM dan PETIK LAUT.
2. Kelompok peubah yang berpengaruh negative, yaitu : (a) ukuran asset
kapal ,(b) dan harga BBM (PBM) dan (h) peningkatan mutu SDM nelayan
(PDPJ) dan (PDPP)
3. Kebijakan kenaikan harga BBM mengancam pengembangan dan
perluasan daerah penangkapan ikan, sementara pemberdayaan kearifan
lokal ONJHEM dan PETIK LAUT merupakan faktor penting dalam
memelihara keberlanjutan usaha penangkapan ikan.
5.3.2. Respon Curahan Kerja
Curahan kerja rumahtangga juragan dan pendega untuk kegiatan
produktif agroindustri dan non-melaut (non-perikanan) pada penelitian ini,
301
merupakan peubah eksogen.Hasil analisis estimasi persamaan perilaku curahan
kerja rumahtangga nelayan dapat dilihat pada tabel 10.
A. Rumahtangga Juragan
6. Curahan Kerja Dalam Rumahtangga Juragan
Curahan kerja dalam rumahtangga juragan (CDJT) merupakan
penjumlahan curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan melaut (CDJM),
kegiatan agroindustri (CDJA) dan kegiatan produktif non-perikanan lainnya,
seperti pertanian dan pertukangan (CDJL) yang ditunjukkan pada persamaan
identitas (6) sebagai berikut :
CDJT = CDJM + CDJA + CDJL ………………………………….(6)
Peubah curahan kerja dalam rumahtangga juragan untuk kegiatan
agroindustri dan kegiatan produktif non-perikanan dalam penelitian ini sebagai
peubah eksogen.Curahan kerja dalam rumahtangga juragan sangat bergantung
pada kegiatan produktif melaut.
7. Respon Curahan Kerja Melaut dari Dalam Rumahtangga Juragan
Perilaku curahan kerja melaut dalam rumahtangga juragan (CDJM)
dipengaruhi secara positif oleh peubah frekuensi melaut (FQM), hal ini
merupakan interaksi yang logis dimana semakin meningkat frekuensi melaut
akan semakin meningkat pula curahan kerja melaut rumahtangga juragan. Dan
tidak dipengaruhi oleh peubah curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan
kegiatan agroindustri (CDJA), CDJHDL, yaitu : interaksi antara kegiatan produktif
non-perikanan lainnya, seperti pertanian dan pertukangan (CDJL), kekayaan
juragan (HKJ) juga tingkat pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ), serta
kearifan lokal TELASAN. Hal ini dapat dijelaskan sebagai suatu system
302
agrobisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tga sub system
utamanya, yaitu (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan),
dan (3) pemasaran, tetapi juga oleh subsistem penunjangnya yang meliputi
prasarana dan sarana, financial, SDM dan iptek, serta hukum dan kelembagaan,
dimana sampai saat ini kebijakan pemerintah di bidang agrobisnis perikanan
dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan.
Minimal ada tiga kelemahan kebijakan yang mendasar, yaitu : (1) belum
adanya kebijakan yang membatasi jumlah (tingkat/quota) penangkapan stock
ikan di suatu kawasan perairan (laut), termasuk di Selat Madura. Semua nelayan
secara bebas tanpa batas dapat menangkap ikan di Selat Madura. Akibatnya
terjadi over fishing yang pada gilirannya merugikan usaha perikanan tangkap, (2)
belum ada RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) laut yang mengakomodasi
lahan usaha budidaya perikanan laut sebagai kawasan khusus/ tertentu yang
mendapat perlindungan dari konversi dan bahaya pencemaran, serta pengaturan
penjarangan (spacing), (3) belum adanya kebijakan tentang kredit murah dan
lunak untuk mendukung usaha perikanan tangkap , pengolahan sampai
pemasarannya. Sehingga berakibat pada belum optimal dalam upaya untuk
menjadikan system agrobisnis dalam perikanan, dimana menjadikan curahan
kerja rumahtangga juragan untuk kegiatan agroindustri (CDJA), dan kegiatan
non-perikanan (CDJL) sebagai alternative pendapatan di luar perikanan.
Disamping itu pendidikan pada masyarakat nelayan belum mengarah kepada
peningkatan SDM untuk perikanan secara spesifik.
Perilaku curahan kerja melaut dalam rumahtangga juragan pada
dasarnya adalah rasional, mengingat kegiatan melaut yang sarat dengan
ketidakpastian atau uncertainty memotivasi juragan untuk selalu
mengembangkan alternative kerja produktif lainnya.Potensi untuk
mengembangkan alternative curahan kerja untuk kegiatan agroindustri (CDJA)
303
dalam rumahtangga juragan dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi
curahan kerja rumahtangga, baik pria maupun perempuan.Sedangkan
pengembangan alternative curahan kerja untuk non-perikanan (CDJL) dalam
rumahtangga juragan ditunjukkan bergantung juga pada tingkat kekayaan,
pendidikan dan pengalaman juragan. Sehingga ada upaya kedepan sebagai
berikut :(1) pemberdayaan masyarakat nelayan, (2) pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara efisien, optimal dan sustainable, (3) pengembangan prasarana
dan sarana, teknologi pasca panen, (4) penguatan SDM dan Iptek , (5)
pengembangan prasarana dan sarana keamanan di laut , dan (6) pemberian
insentif ekonomi untuk stakeholder. Hal tersebut dilakukan dalam rangka untuk
antisipasi pasar persaingan global, dimana produk perikanan ditentukan oleh
criteria seperti : produk tersedia secara teratur dan berkesinambungan, produk
harus memiliki kualitas yang baik dan seragam serta produk dapat tersedia
secara massal (Pigot, 1994).
304
Tabel 10.Hasil Esimasi Parameter perilaku nelayan payang dalam Blok Curahan Kerja Rumahtangga Juragan dan Pendega
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
6.Curahan Kerja Dalam RT Juragan CDJT =CDJM + CDJA + CDJL 7. Curahan Kerja Melaut dari dalam RT Juragan (CDJM) Intercept Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Agroindustri (CDJA) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk non-Perikanan (CDJHDL) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) TELASAN 8.Curahan Kerja Melaut dari Luar RT Juragan (CLJM) Intercept Jumlah ABK (JABK) Aset Kapal (ASKJ) Angkatan Kerja RT Juragan Laki- laki (AKJL) 9. Curahan Kerja Melaut Total RT Juragan CTJM = CDJM + CLJM 10.Curahan Kerja Melaut RT Pendega (CDPM) Intercept Curahan Kerja Dalam RT Pendega untuk Agroindustri(CDPA) Curahan Kerja dalam RT Pendega untuk Non-Perikanan (CDPYL) Pendidikan/Pengalaman Pendega (PDPP) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) TELASAN 11. Curahan Kerja Total Dalam RT Pendega (CDPT) CDPT = CDPM + CDPA + CDPL
0 0 0 1.132 0 0 0 0 0 0 0.062 1.1E-8 -0.390 1.124 0
-
-
- 50.90***
- - 1.28**
0.95*
-0.49 14.02***
0.985611
1.043142
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 CDJHDL : interaksi CDJL*HKJ*PDPJ CDPYL : interaksi CDPL*YPL
Menurut Widiatmono, Vuichard dan Clignet (1998) bahwa seseorang
menjadi nelayan (termasuk menjadi juragan) di pantai utara Jawa Tengah,
305
karena berbagai sebab, seperti karena seseorang dilahirkan di desa pantai,
berasala dari keluarga nelayan, pedagang ikan, atau lainnya. Latar belakang
yang bervariasi tersebut telah menghantarkan seseorang untuk memasuki
profesi perikanan. Oleh karena itu ketika seseorang memilih profesi sebagai
nelayan, maka pengalaman kerja sebelumnya ikut mempengaruhi pilihan
rumahtangga dalam meningkatkan pendapatannya.. Dalam banyak hal nelayan
seperti sub budaya mata pencaharian lainnya , membentuk masyarakatnya
sendiri. Nelayan juga sering terasing karena mereka harus hidup di sepanjang
pesisir laut .Keterasingan relative ini semakin besar karena nelayan semakin
terpisah dari masyarakat daratan ketika menangkap ikan. Disamping itu karena
banyak nelayan bekerja pada malam hari atau pagi buta, dimana saat itu orang
lain masih tidur, sehingga sering dipandang sebagai orang terpencil dari
masyarakat (Pollnac, 1988).
Dalam mengelola usahanya nelayan menghadapi ketidakpastian hasil
tangkapan ikan di laut, nelayan cenderung menggunakan berbagai
strategi.Strategi jangka pendek yang digunakan berupa aktivitas selain
penangkapan ikan, sedangkan strategi jangka panjang adalah membekali anak-
anaknya dengan pendidikan lebih lanjut (Roch, Luong, and Clignet, 1998).
Curahan kerja dalam rumahtangga juragan melaut berhubungan positif
dan dipengaruhi oleh frekuensi melaut (FQM) dan tidak dipengaruhi oleh curahan
kerja rumahtangga juragan untuk kegiatan agriindustri (CDJA), CDJHDL dan
TELASAN.Perilaku tersebut dapat diinterpretasikan bahwa CDJM bersifat
komplementer dengan CDJA karena adanya factor pengendalian resiko dan
ketersediaan angkatan kerja wanita untuk menangani kegiatan agroindustri dan
perdagangan ikan dalam rumahtangga juragan. Ini dapat berarti bahwa nelayan
juragan semakin rasional dalam mempertimbangkan berbagai factor yang
mempengaruhi curahan kerja rumahtangga dalam menghadapi resiko usaha
306
penangkapan ikan di laut..Sifat komplementer antara perilaku CDJM dan CDJA,
disamping berkaitan dengan pengendalian resiko, juga terkait dengan factor
riwayat hidup juragan sebelumnya, apakah sebagai nelayan, pengolah ikan,
perdagangan umum dan profesi kegiatan produktif non-perikanan lainnya.
8. Respon Curahan Kerja Melaut dari Luar Rumahtangga Juragan.
Perilaku permintaan curahan kerja melaut dari luar rumahtangga juragan
(CLJM) berhubungan positif dan dipengaruhi oleh peubah jumlah ABK (JABK),
untuk kegiatan operasi penangkapan ikan dan asset kapal (ASKJ), juga
dipengaruhi oleh angkatan kerja laki-laki juragan (AKJL). Peningkatan jumlah
anak buah kapal (ABK) terkait dengan jenis alat tangkap yang digunakan.
Disamping itu perubahan jenis dan teknologi alat tangkap yang digunakan
semakin meningkat, bukan saja harus diikuti dengan peningkatan jumlah anak
buah kapal , tetapi juga jenis ketrampilannya, seperti kebutuhan adanya profesi
juru mesin, juru mudi, juru arus dan lainnya. Semua keahlian tersebut lebih
banyak tergantung pada suplai tenagakerja terampil dari luar rumahtangga
juragan.Sebagaimana telah diketahui, bahwa nelayan menghadapi resiko dan
ketidak pastian ketika menangkap ikan di laut.Untuk itu maka strategi yang
digunakan dalam meminimalisir resiko usahanya, dan sekaligus untuk
meningkatkan sumber pendapatan rumahtangga juragan adalah dengan
melibatkan anggota keluarga lakilaki untuk dapat membantu menangkap ikan di
laut.Sebagaimana pola kegiatan anak laki-laki nelayan di Riau, dimana anak laki-
laki nelayan yang sudah cukup dewasa untuk pergi melaut (Mulyadi.s, 2005).
9. Curahan Kerja Melaut Total Rumahtangga Juragan
Curahan kerja melaut total rumahtangga juragan merupakan
penjumlahan curahan kerja dari dalam rumahtangga juragan melaut (CDJM) dan
307
curahan kerja melaut dari luar rumahtangga yang ditunjukkan pada persamaan
identitas (9).
CTJM = CDJM + CLJM ………………………………………….. (9)
Dengan memperhatikan respon curahan kerja luar rumahtangga juragan
terhadap jumlah ABK yang dibutuhkan dan angkatan kerja laki-laki dalam
rumahtangga juragan, berarti peningkatan curahan kerja untuk pengembangan
usaha penangkapan ikan sekaligus meningkatkan frekuensi melaut sangat
bergantung pada ketersediaan ABK dari luar rumahtangga juragan.
B. Rumahtangga Pendega
10. Respon Curahan Kerja Melaut Rumahtangga Pendega
Perilaku curahan kerja melaut rumahtangga pendega (CDPM)
dipengaruhi secara positif oleh peubah curahan kerja dalam rumahtangga
pendega untuk kegiatan agroindustri (CDPA), dan frekuensi melaut (FQM),serta
CDPL yang berinteraksi (CDPYL) dengan besarnya pendapatan pendega dari
non-perikanan (YPL). Adanya interaksi perilaku CDPL dengan factor besarnya
jumlah penerimaan dari non-perikanan (YPL), pada dasarnya adalah rasional,
mengingat ketidak pastian kegiatan melaut memotivasi pendega untuk
meningkatkan frekuensi melaut dalam upayanya untuk meningkatkan
pendapatannya sekaligus mengembangkan alternative kerja lainnya. Potensi
untuk mengembangkan alternative tersebut bergantung pada besarnya
penerimaan dari kerja non-perikanan untuk rumahtangga pendega.
Disamping itu, curahan kerja dalam rumahtangga pendega melaut
berhubungan negative dan dipengaruhi oleh peubah tingkat pendidikan dan
pengalaman pendega (PDPP). Hal ini sangat rasional karena pada umumnya
308
anggota keluarga laki-laki yang sudah cukup dewasa lebih banyak diikut
sertakan dalam melaut, sehingga untu keperluan pendidikan pendega
cenderung akan semakin menurun atau tidak melanjutkan sekolah karena
adanya desakan kebutuhan ekonomi tersebut. Sebagaimana telah diuraikan oleh
Wdiatmono, Vuichard dan Clignet (1998), bahwa seseorang menjadi nelayan
(termasuk menjadi pendega) di pantai utara Jawa Tengah, karena berbagai
sebab, seperti karena seseorang dilahirkan di desa pantai, berasal dari keluarga
nelayan, pedagang ikan, atau lainnya. Latar belakang yang bervariasi telah
menghantarkan seseorang untuk memasuki profesi perikanan.
Curahan kerja melaut rumahtangga pendega (CDPM) berhubungan
positif dan deipengaruhi oleh curahan kerja untuk agroindustri (CDPA),
mengindikasikan bahwa CDPM bersifat komplementer dengan CDPA.Hal
tersebut disebabkan karena adanya factor pengendalian resiko dan ketersediaan
angkatan kerja wanita untuk menangani kegiatan agroindustri dan perdagangan
ikan dalam rumahtangga pendega.Sifat komplementer perilaku CDPM dan
CDPA, disamping berkaitan dengan pengendalian resiko melaut, juga terkait
dengan riwayat hidup pendega sebelumnya, apakah sebagai nelayan, pengolah
ikan, perdagangan umum dan profesi kegiatan produktif non perikanan lainnya.
11. Curahan Kerja Total Rumahtangga Pendega
Curahan kerja total rumahtangga pendega merupakan penjumlahan
curahan kerja rumahtangga pendega melaut (CDPM), curahan kerja dalam
rumahtangga pendega untuk kegiatan agroindustri perikanan (CDPA) dan
curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan non-perikanan
(CDPL), sebagaimana ditunjukkan pada persmaan identitas (11)
CDPT = CDPM + CDPA + CDPL ………………………………..(11)
309
Peubah curahan kerja dalam rumahtangga pendega untuk kegiatan
agroindustri dan kegiatan produktif non-perikanan dalam penelitian ini
merupakan peubah eksogen. Dengan memperhatikan respon curahan kerja
dalam rumahtangga pendega, dapat diinterpretasikan bahwa total curahan kerja
dalam rumahtangga pendega sangat bergantung pada kegiatan produktif melaut
dan agro-industri, sebagaimana ditunjukkan respon positif terhadap frekuensi
melaut dan curahan kerja rumahtangga pendega untuk kegiatan agro-industri.
Sebagaimana pada umumnya masyarakat nelayan .Menurut Mulyadi S (2005),
pola kegiatan istri dan anak nelayan di Riau , yaitu : untuk kegiatan mengolah/
menjual ikan, berkebun, sebagai pengrajin, berdagang komoditas non ikan dan
lainnya.
5.3.3. Respon Pendapatan
Untuk memilih persamaan-penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dalam
penelitian ini yang sesuai dengan fenomena, dievaluasi atas dasar dua
pendekatan, yaitu : (1) RJM sebagai persamaan identitas dan (2) RJM sebagai
persamaan perilaku. Persamaan penerimaan kotor juragan melaut (RJM)
dinyatakan dalam bentuk persamaan perilaku dengan pertimbangan sebagai
berikut :
a. Atas dasar fenomena hasil tangkapan ikan (QNM) multi species,
dimana peningkatan penerimaan juragan melaut dapat terjadi karena
perubahan komposisi jenis hasil tangkapan ikan.
b. Atas dasar fenomena ekonomi, bahwa perubahan komposisi jenis
ikan yang lebih bernilai ekonomi dan mahal akan diikuti oleh kenaikan
besarnya penerimaan juragan melaut, sekalipun jumlah hasil
tangkapan ikan tetap.
310
c. Atas dasar evaluasi statistic dan ekonometrik, sebagaimana berikut
bahwa penetapan RJM sebagai persamaan perilaku adalah
menghasilkan validasi model secara statistic lebih memuaskan, yaitu
dengan nilai Adj R 2 sebesar 75 % denga F hitung sebesar 155,81.
A.Rumahtangga Juragan
12. Respon Penerimaan Kotor Juragan Melaut
Analisis hasil estimasi persamaan perilaku dalam kelompok
Penerimaandan Pendapatan pada rumahtangga juragan dapat dilihat pada tabel
11. Penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dipengaruhi dan merespon positif
terhadap peubah penjelas QNM, dan PIK, Hal ini logis sebab nilai hasil tangkap
merupakan perkalian antara jumlah produksi dengan harga ( QNM x PIK) ,
apalagi keduanya ditingkatkan, maka akan menghasilkan nilai RJM yang
semakin meningkat dengan lebih pasti. Fenomena tersebut dapat
diinterpretasikan bahwa perubahan harga, misalnya akibat perubahan mutu ikan,
diikuti oleh perubahan penerimaan juragan melaut secara inelastic, karena sifat
ikan yang cepat busuk (perishable food).Ada dugaan monopoli oleh pedagang
dalam pembentukan harga ikan di pedesaan pantai, karena pelelangan ikan tidak
berfungsi sebagaimana yang diharapkan.
Dalam system pemasaran komoditi perikanan tangkap, secara umum
harga ikan ditentukan oleh pasar.Secara individual, para produsen hasil
perikanan tangkap bersifat price taker.Dengan kondisi pasar demikian, hampir
tidak ada nelayan yangbisa mengatur harga ikan hasil produksi penangkapannya
(Pranadji, 1993).
Adapun peubah SSDA tidak berpengaruh, sedangkan untuk peubah
kearifan lokal ANDUN berpengaruh dan merespon negative . Hal ini dapat
diinterpretasikan karena andun berkisar didaerah lain yang sama letaknya di
311
Selat Madura, dimana biaya yang dikeluarkan semakin besar dan jenis ikan yang
tertangkap tidak berbeda jauh sehingga kenaikan biaya tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh. Disamping itu andun juga merupakan pengalihan dari
tempat asal probolinggo yang sedang mengalami paceklik karena adanya angin
gending. Sebagaimana menurut Illo dan Pollo (1970) , bahwa para nelayan
ketika andun kedaerah lain mereka membawa perahunya masing-masing , dan
mereka melakukan andun tidak kedaerah lain yang lebih jauh karena risiko biaya
yang akan ditanggung cukup besar. Andun yaitu suatu proses perpindahan
sementara dalam usaha penangkapan ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa
kendala salah satunya yaitu pengaruh cuaca yang buruk. Misal seperti jika
menurut Key Informan : Dengan adanya angin gending, dimana angin gending ini
sangat kencang ditengah laut dan ombak sangat ganas, meskipun ikan
melimpah tetapi nelayan enggan untuk menukar resiko keselamatan mereka.
Andun sebagai upaya untuk mencari ikan ketempat lain ini tidak terlepas dari
keyakinan adanya perintah agama yang diyakininya , yaitu Islam, dimana para
ulama’ mengajaka para nelayan selat Madura untuk mengalkannya, yaitu : “
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi,
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung “. (Q.S. Al-Jumu’ah : 10). Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal
Andun itu, disamping untuk berpindah tempat dalam mencari sumberdaya ikan
baru, juga agar memberi kesempatan bagi ikan ditempat semula melakukan
restoking sehingga terjadi kelestarian sumberdaya ikan dalam upaya
pengelolaan secara sustainable (berkesinambungan).
Diantara dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan terdapat
musim pancaroba yang biasanya ditandai dengan tiupan angin kering yang
cukup kencang yang berhembus dari arah Tenggara ke Barat Laut biasa disebut
“Angin Gending”.Kondisi ini tidak memungkinkan bagi masyarakat nelayan Selat
312
Madurauntuk melakukan penangkapan ikan. Untuk musim kemarau yang
berkisar pada bulan April hingga bulan Oktober dengan rata-rata curah hujan +
29,5 mm per hari hujan, sedangkan musim penghujan dari bulan Oktober hingga
bulan April dengan rata-rata curah hujan + 229 mm per hari hujan. Curah hujan
yang cukup tinggi terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret
dengan rata-rata curah hujan + 360 mm per hari hujan.
Pada umumnya nelayan Selat Madura melakukan andun ke daerah Paiton
(perbatasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo) serta ke wilayah
Kabupaten Pasuruan. Proses andun sendiri dilakukan dengan membawa kapal
dan seluruh ABK yang berkenan untuk ikut dalam andun kelokasi yang
ditentukan oleh Fishing master atau kapten kapal. Umumnya jika terjadi angin
gending, yaitu pada bulan-bulan Agustus hingga Oktober dan awal-awal
November.
313
Tabel 11.Hasil Estimasi Parameter Perilaku nelayan payang dalam Blok Penerimaan dan Pendapatan Dalam Rumahtangga Juragan.
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
12. Penerimaan Kotor Juragan Melaut (RJM) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Tingkat Produksi MSY (SSDA) ANDUN 13. Jumlah BBM Melaut (BBM) Intercept Teknologi (TEK) Prasarana Desa (DESA) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) 14. Jumlah Pengeluaran BBM Melaut PBBM = PBM * BBM 15.Jumlah Biaya Perbekalan Trip Melaut (BTM) Intercept Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) Jumlah ABK (JABK) Curahan Kerja Melaut Total RT Juragan (CUJM) 16.Jumlah Retribusi Hasil Penangkapan Ikan (BRPI) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Aset Kapal (ASKJ) Prasarana Desa (DESA) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) 17. Jumlah Lawuhan Hasil Penangkapan Ikan (LABK) Intercept Produksi Nelayan Melaut (QNM) Harga Ikan (PIK) Tingkat Produksi MSY (SSDA) 18. Biaya Operasi Penangkapan Ikan (BOM). BOM = PBBM+ BTM+BRPI+LABK 19. Penerimaan Nelayan Melaut (PNM) PNM = RJM -BOM
0 859823.7 27183.87 0 -9.273E7 0 0 0 -1.327 73.095 0 75065.53 -1025175 2656.903 0 0 0 0 0 0 -927286 8598.237 271.838 0
17.35***
7.09***
-1.73**
-0.90*
5.51***
5.72***
-4.54***
0.27
-1.73**
17.35***
7.09***
1.471026
0.868812
1.095989
1.471026
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
314
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
20. Penerimaan Bagen Juragan (PJMK) PJMK = BGJ * PNM 21. Penerimaan Juragan Melaut (PJM) PJM = PJMK - BIPI 22. Penerimaan RT Juragan Melaut Lainnya (PJML) Intercept Jumlah Kapal Milik Juragan (JKJ) Curahan Kerja Melaut dari Dalam RT Juragan (CDJM) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Agroindustri (CDJA) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Non-Perikanan (CDJL) 23. Pendapatan RT Juragan Melaut (YJM) YJM = PJM + PJML 24. Pendapatan Total RT Juragan (YJT) YJT = YJM + YJA + YJL 25. Pendapatan RT Juragan yang Dapat Dibelanjakan (YJSPK) YJSPK + YJT – BPKJ
0 0 0 0 0 0
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 Para nelayan pada umumnya berusaha agar memperoleh hasil
tangkapan sebanyak mungkin. Semakin besar hasil tangkapan ikan, ada
harapan semakin besar pendapatan bersih yang akan bisa didapat.Sejalan
dengan hasil temuan Pranadji, maka hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh
perubahan harga ikan, sehingga nelayan berkecenderungan untuk lebih
menguras sumberdaya perikanan daripada memperbaiki status sumberdaya.
Fenomena tersebut mengandung implikasi bahwa tanpa pemanfaatan
sumberdaya perikanan yang dikendalikan dengan penegakan hukum / aturan
secara kuat, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, maka berlangsungnya
over fishing sangat sulit dihindari. Atau dengan perkataan lain, mekanisme pasar
315
melalui pembentukan harga tidak mudah untuk dijadikan instrument kebijakan
dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap secara
berkelanjutan (sustainable). Sebagaimana dalam kasus dampak kenaikan harga
ikan pada pengelolaan sumberdaya perikanan seperti gambar berikut :
RP
G B D TB
E TP
F A
Q
O U1 U2 U3 UF U
Gambar 35. Pengaruh Kenaikan Harga pada Produksi dan Penerimaan (Sumber Ian R. Smith, 1981) Pada kasus tersebut diatas. Model ini dapat membantu melukiskan akibat
dari kenaikan harga, misalnya penjaminan oleh suatu koperasi dengan
kemampuan tawar-menawar yang lebih baik, karena teknologi yang mengurangi
pembusukan sesudah penangkapan sebelum proses penjualan, atau karena
makin meningkatnya permintaan seperti terlihat pada gambar 19. Kenaikan
harga menghasilkan kenaikan keuntungan yang pada gilirannya menarik lebih
banyak nelayan, sehingga dapat meningkatkan jumlah pembiayaan sampai
tercapainya keseimbangan baru antara jumlah biaya kebali dan jumlah
penerimaan. Meskipun kurva jumlahpenerimaan meningkat karena
meningkatnya harga, namum kurva hasil penangkapan lestari tidak meningkat.
Sekalipun lebih banyak jumlah nelayan yang dapat tertampung dalam perikanan,
produksi nelayan rata-rata menurun, karena hasil tangkapan lestari lebih rendah.
316
Oleh sebab itu turun tidaknya pendapatan tergantung pada sampai seberapa
jauh turunnya produktivitas itu diimbangi oleh kenaikan harga, yaitu pada
elastisitas permintaan dan penawaran.
13. Respon Jumlah BBM Melaut
Perilaku pengeluaran BBM untuk melaut (BBM) dipengaruhi secara positif
oleh pendidikan/pengalaman juragan. Hal ini disebabkan semakin tingginya SDM
juragan akan memacu untuk berperilaku produktif dengan akan meningkatkan
jarak daerah penangkapan, asset kapal, dimana memotivasi nelayan agar tidak
lagi berfikir untuk melaut sekedarnya saja dan Cuma 1 hari menangkap one day
fishing, tapi akan berlaku proaktif mencari ikan , sehingga tidak akan kembali
pulang sebelum mendapatkan hasil, sebagai akibat adanya peningkatan dari
SDM nelayan terhadap informasi dan sumberdaya ikan .
14. Jumlah Pengeluaran BBM Melaut
Jumlah pengeluaran BBM melaut merupakan perkalian antara jumlah
BBM yang digunakan dengan harganya, sebagaimana ditunjukkan pada
persamaan identitas (14), sebagai berikut :
PBBM = PBM * BBM ……………………………………………..(14)
Harga BBM dalam penelitian ini merupakan peubah kebijakan. Dengan
memperhatikan respon jumlah BBM yang digunakan terhadap pendidikan/
pengalaman juragan , dapat diinterpretasikan bahwa semakin tinggi mutu
ketrampilan juragan, maka penggunaan BBM semakin meningkat, dengan
demikian peningkatan pendidikan/pengalaman dengan kata lain peningkatan
mutu SDM juragan dapat meningkatkan kegiatan produktif melaut lebih luas
jangkauan daerah penangkapannya. Hal ini diperkuat dengan keinginan nelayan
317
merubah statusnya dari nelayan tradisional kepada nelayan entrepreneurship
,yaitu berubah cara berfikir juragan dari one day fishing kepada akan kembali
kerumah apabila sudah mendapatkan hasil tangkapan yang berarti lebih lama
dalam operasi penangkapan dimana semakin banyak membutuhkan BBM.
Sebagaimana kasus perubahan kenaikan biaya termasuk BBM terhadap perilaku
nelayan seperti gambar dibawah ini :
RP
F B D TB
E TP
A
Q
O U1 U2 UF U3 U
Gambar 36. Pengaruh Kenaikan Biaya pada Produksi dan Penerimaan (Sumber Ian R. Smith, 1981)
Kita dapat melihat beberapa akibat dari bertambahnya pembiayaan
terhadap hasil tangkapan (produksi) dan penerimaan ( gambar20 ). Dengan
meningkatnya kurva jumlah biaya, yang disebabkan oleh kenaikan harga bahan
bakar misalnya, nelayan kecil akan terdepak keluar dari industri sampai jumlah
penerimaan kembali sama dengan jumlah biaya pada suatu keseimbangan
bebas ikut serta baru. Produksi penangkapan lestari, jumlah penerimaan akan
meningkat, tetapi jumlah nelayan akan berkurang. Sesudah diadakan
penyesuaian jangka panjang ini, nelayan yang masih tinggal dalam industri
perikanan rata-rata hanya akan dapat menutup biayanya.
318
15. Respon Jumlah Biaya Perbekalan Trip Melaut
Pengeluaran biaya perbekalan trip melaut (BTM) terdiri dari perbekalan
untuk makan, atau bahan mentah berupa beras, rokok, minyak tanah dan lain-
lain untuk melaut, dipengaruhi dan berhubungan positif dengan jumlah frekuensi
melaut (FQM) dan curahan kerja total dalam kegiatan melaut rumahtangga
juragan (CUJM). Hal ini logis berlaku karena semakin banyak jumlah frekuensi
melaut dan curahan kerja total dalam kegiatan melaut rumahtangga juragan akan
semakin banyak perbekalan trip melaut yang akan dibawa. Sedangkan untuk
peubah jumlah anak buah kapal merespon negative, artinya semakin banyak
jumlah anak buah kapal akan semakin sedikit biaya perbekalan, ini menunjukkan
adanya efisiensi dalam pengeluaran biaya dalam operasional,sehingga akan
memaksimalkan keuntungan nelayan. Sedangkan untuk peubah jumlah anak
buah kapal (JABK), berpengaruh negative, hal ini dapat diinterpretasikan
semakin banyak jumlah anak buah kapal, maka semakin banyak pula biaya
perbekalan, maka dimasa mendatang nelayan akan berfikir lebih realistis untuk
mengusahakan operasional melautnya denga jumlah anak buah kapal seefisien
mungkin, agar mencapai keuntungan yang maksimal.
16. Respon Jumlah Retribusi Hasil Penangkapan Ikan
Perilaku pengeluaran untuk retribusi hasil penangkapan ikan (BRPI) tidak
dipengaruhi oleh semua peubah penjelas.Hal ini sejalan dengan program
pemerintah saat itu dalam hal penghapusan retribusi hasil penangkapan ikan,
agar pendapatan nelayan menjadi maksimal.Disamping itu nelayan yang
sebagian besar adalah nelayan dengan usaha skala kecil merupakan
permasalahan yang kompleks dan multidimensional, baik dari aspek cultural
maupun aspek structural. Ada empat masalah pokok yang menjadi kendala pada
nelayan skala kecil seperti nelayan payang di Selat Madura, seperti : (1)
319
kurangnya kesempatan (lack opportunity), rendahnya kemampuan (low of
capabilities), kurangnya jaminan (low level security dan keterbtasan hak-hak
social, ekonomo, dan politik, sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability),
keterpurukan (voicelessness), dan ketidak berdayaan (powerlessness) dalam
segala bidang. Menghadapi hal tersebut, perlu stakeholder mengupayakan suatu
lembaga masyarakat lokal dengan memberdayakan kearifan lokal yang ada,
dimana lembaga tersebut berfungsi untuk : (1) menutup utang nelayan kepada
tengkulak dan mengalihkan penjaman kepada lembaga sebagi penjamin (2)
meniadakan biaya-biaya yang membebani nelayan skal kecil, seperti retribusi,
pajak dan lainnya yang dirasa memberatkan nelayan, (3) memberikan kredit
lunak untuk memberikan peluang usaha dibidang perikanan dan non perikanan
sebagai alternative pendapatannya, dan (4) mengadakan pembelian hasil
tangkap ikan salah satunya dengan system pelelangan ikan serta (5)
mendistribusikan hasil tangkapanpada pasar yang lebih luas ataupun eksport.
17. Respon Jumlah Lawuhan Hasil Penangkapan Ikan
Perilaku jumlah lawuhan hasil penangkapan ikan (LABK) dipengaruhi
secara positif oleh peubah penjelas produksi nelayan melaut (QNM) dan harga
ikan (PIK).Hal ini sesuai degan hasil temuan Pranadji (1995), bahwa pengaruh
perubahan hasil tangkapan ikan lebih besar daripada pengaruh perubahan harga
ikan, sehingga nelayan anak buah kapal berkecenderunagn untuk berperilaku
lebih menguras sumberdaya perikanan daripada memperbaiki harga ikan dan
status sumberdaya. Fenomena tersebut mengandung implikasi bahwa tanpa
pemanfaatan sumberdaya perikanan yang dikendalikan secara serius dan kuat,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat stakeholder, maka berlangsungnya
over fishing akan sangat sulit dihindari. Sebagaimana satu kasus dalam
320
meningkatkan produksi hasil penangkapan (QNM) dengan penggunaan
teknologi, seperti gambar dibawah ini :
RP
B D TB
E TP
F A
Q
O U1 U2 UF U3 U
Gambar 37. Pengaruh Perubahan Teknologi pada Produksi dan Penerimaan(Sumber Ian R. Smith, 1981) Pada kasus ini sebagai akibat dari adanya perbahan teknologi, akan
dapat menghemat tenaga kerja pada suatu tingkat tertentu. Dengan mengacu
pada gambar 2 diatas dengan menganggap bahwa keseimbangan telah tercapai,
dimana jumlah biaya menyamai jumlah penerimaan. Pengenalan teknologi baru
awalnya akan meningkatkan taraf upaya perikanan sedemikian rupa, sehingga
jumlah biaya melampaui jumlah penerimaan. Menurut model ini para produsen
kecil akan tergeser keluar. Hasil tangkapan lestari akan dikurangi, dan jumlah
penerimaan akan menurun. Oleh karena sifat teknologi baru yang menghemat
tenaga kerja, jumlah nelayan pada keseimbangan ikut serta yang baru akan
berkurang. Bahkan bagi mereka yang masih tinggalpun penerimaannya hanya
akan cukup untuk menutup pembiayaan. Sehingga pendapatan penangkapan
ikan dalam jangka panjang tidak akan meningkat. Penting untuk diketahui bahwa
tujuan pembahasan ini adalah untuk menguraikan sarana demi memperbaiki
pendapatan masyarakat nelayan. Agaknya peningkatan mutu kapal dan alat
penangkapan tidak termasuk didalamnya.
321
Besarnya QNM secara langsung dipengaruhi oleh perubahan PRM dan
FQM. FQM merespon perubahan DPI , mengingat : (1) factor teknologi (TEK)
merupakan peubah sangat menentukan terhadap produktivitas melaut (PRM)
dan factor harga BBM sangat mempengaruhi perluasan daerah penangkapan
ikan dan frekuensi melaut (FQM). Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka
instrument kebijakan yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
mempengaruhi perubahan nilai lawuhan anak buah kapal (LABK) dan
pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan adalah kebijakan teknologi ramah
lingkungan, pengendalian harga BBM, disamping perluasan daerah
penangkapan (DPI) yang diarahkan pada perairan ZEE. Sedangkan untuk
perairan Selat Madura yang over fishing diupayakan untuk pengelolaan nelayan
skala kecil dengan lebih banyak menggunakan onjhem (rumpon) dan pembuatan
terumbu karang buatan dalam rangka restocking ikan. Juga dikembangkan
alternative mata pencaharian lain dengan jalan ekowisata dan pemberdayaan
kearifan lokal PETIK LAUT sebagai event tahunan.
18. Biaya Operasi Penangkapan Ikan
Biaya operasi penangkapan ikan melaut merupakan penjumlahan biaya
BBM, biaya perbekalan trip melaut, pengeluaran retribusi hasil penangkapan ikan
dan pengeluaran lawuhan ikan untuk semua anak buah kapal (ABK),
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (18) berikut :
BOM = BBM + BTM + BRPI + LABK …………………….…. (18)
Dengan memperhatikan respon jumlah BBM untuk operasi melaut dapat
diinterpretasikan bahwa peningkatan mutu SDM juragan berpengaruh positif
322
terhadap efisiensi kerja nelayan dalam pengaturan biaya operasional
penangkapan ikan.
19. Penerimaan Nelayan Melaut
Penerimaan nelayan melaut juragan dananak buah kapal melaut sebelum
dibagi menurut system bagi hasil yang berlaku (PNM) merupakan selisih antara
penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dikurangi biaya operasional
penangkapan ikan (BOM) sebagai beban bersama biaya melaut antara juragan
dan anak buah kapal, sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (19)
berikut :
PNM = RJM – BOM ………………..……………………………..(19)
Dengan memperhatikan respon RJM terhadap berbagai peubah penjelas
dan faktor yang berpengaruh terhadap biaya operasional penangkapan melaut,
maka faktor yang mempengaruhi penerimaan nelayan melaut (PNM) adalah
:teknologi, hasil tangkapan ikan , frekuensi melaut, jumlah anak buah kapal,
curahan kerja usaha, harga ikan, dan mutu SDM nelayan payang.
20. Penerimaan Bagen Juragan
Penerimaan juragan atas dasar system bagi hasil yang berlaku (PJMK)
sebesar bagen (BGJ, %) dari besarnya penerimaan nelayan payang melaut
(PNM) sesuai dengan system bagi hasil yang berlaku secara lokal sebagaimana
ditunjukkan persamaan identitas (20) berikut :
PJMK = BGJ * PNM ……………………………………………...(20)
Dengan dasar persamaan (20), perubahan besarnya bagen antara
juragan dan anak buah kapal akan berdampak langsung terhadap tingkat
323
pendapatan dan pemerataan antara juragan dan anak buah kapal. Adapun
pembagian antara anggota anak buah kapal juga didasarkan pada system bagi
hasil tertentu yang akan mempengaruhi tingkat pendapatan pendega pada alat
tangkap payang di Selat Madura.
Beberapa dari hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi pendapatan
dari pola bagi hasil tangkapan adalah timpang diterima antara pemilik (juragan)
dan anak buah kapal. Secara umum bagi hasil bersih yang diterima adalah paron
(separuh-separuh) fifty-fifty (50% ; 50%). Akan tetapi bagian yang diterima anak
buah kapal (ABK) harus dibagi lagi dengan sejumlah anak buah kapal yang
terlibat dalam aktivitas kegiatan di kapal. Semakin banyak jumlah anak buah
kapal (JABK),maka semakin kecil bagian yang diperoleh setiap aanak buah
kapal. Selain itu pola umum bagi hasil di beberapa daerah ( Teluk Lampung dan
Pasuruan) menunjukkan bahwa selain mendapat separuh dari hasil bersih,
pemilik juga memperoleh 15 % dari jumlah kotor hasil tangkapan sebagai
cadangan jika ada kerusakan asset kapal (Nadjib, 1998). Oleh karena itu dimasa
depan perlu upaya untuk memodifikasi system bagi hasil yang lebih adil dengan
pemberdayaan kearifan lokal yang ada.
21. Penerimaan Juragan Melaut
Penerimaan juragan melaut (PJM) merupakan selisih antara penerimaan
juragan atas dasar bagi hasil (PJMK) dikurangi biaya seperti ijin penangkapan
(BIPI), sebagaimana ditunjukkan persamaan identitas (21) berikut :
PJM = PJMK – BIPI ………………………………………………..(21)
Dengan dasar persamaan (21), perubahan besarnya bagen dan beban
biaya perijinan dalam usaha penangkapan ikan akan berdampak langsung
terhadap tingkat penerimaan juragan melaut.
324
22. Respon Penerimaan Rumahtangga Juragan Melaut Lainnya
Perilaku penerimaan rumahtangga juragan melaut lainnya (PJML) tidak
dipengaruhi oleh semua faktor yang ada, yaitu :Jumlah Kapal Milik Juragan
(JKJ),Curahan Kerja Melaut dari Dalam RT Juragan (CDJM)
Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Curahan Kerja Dalam RT Juragan
untuk Agroindustri (CDJA) Curahan Kerja Dalam RT Juragan untuk Non-
Perikanan (CDJL). Hal ini disebabkan untuk juragan nelayan payang pada
umumnya hanya penerimaan melaut semata-mata yang didapatkan oleh
rumahtangga juragan melaut, sehingga dapat dikatakan masih subsisten.
Dimana pada umumnya para nelayan skala kecil seperti payang masih
mengalami keterbatsan teknologi penangkapan, jumlah kapal umumnya hanya 1,
curahan kerja melaut dari dalam RT juragan terbatas karena anak masih kecil
dan istri di rumah, pendidikan dan pengalaman masih sedikit. Curahan kerja
untuk agroindustri dan non perikanan juga hamper tidak ada. Dengan alat
tangkap yang sederhana, wilayah operasinyapun terbatas sekitar pantai Selat
Madura. Disamping itu ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, sehingga
tidak setiap saat nelayan payang bisa melaut, terutama musim angin gending.
Kondisi seperti ini merugikan nelayan payang, karena secara rriil rata-rata
pendapatan menjadi lebih kecil, dan pendapatan yang diperoleh pada saat
musim ikan akan habis dikonsumsi pada saat paceklik.
23. Pendapatan Rumahtangga Juragan Melaut
Pendapatan rumahtangga juragan melaut merupakan penjumlahan
antara jumlah penerimaan (keunungan) juragan melaut (PJM) dan jumlah
penerimaan juragan melaut lainnya (PJML), seperti keterlibatan anggota (laki-
laki) rumahtangga juragan dalam kegiatan melaut dan penerimaan rumahtangga
juragan melaut lainnya, misalnya pemilikan kapal lebih dari satu unit pendapatan
325
rumahtangga juragan melaut sebagaimana ditunjukkan pada persamaan
identitas (23) berikut :
YPM = PJM + PJML ……………………………...………………..(23)
Keterlibatan anggota (laki-laki) rumahtangga juragan dan jumlah
pemilikan unit penangkapan ikan berpengaruh secara langsung terhadap
peningkatan pendapatan rumahtangga juragan melaut.
24. Pendapatan Total Rumahtangga Juragan
Penerimaan rumahtangga juragan dari kegiatan non-perikanan, seperti
agroindustri perikanan dan kegiatan non-perikanan merupakan peubah eksogen.
Pendapatan rumahtangga juragan total (YJT) merupakan penjumlahan
penerimaan rumahtangga juragan melaut (YJM), penerimaan dari kegiatan
agroindustri perikanan (YJA) dan penerimaan dari non-perikanan (YJL)
sebagaimana ditunjukkan persamaan identitas (24) berikut :
YJT = YJM + YJA + YJL …………………………………………(24)
Kegiatan anggota rumahtangga juragan dalam kegiatan agroindustri dan
non-perikanan berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan pendapatan
total rumahtangga juragan.
25. Pendapatan Rumahtangga Juragan yang Dapat Dibelanjakan
Adapun besarnya pendapatan rumahtangga juragan yang dapat
dibelanjakan (YJSPK) merupakan selisih antara pendapatan total (YJT) dan
pengeluaran rumahtangga untuk pajak atau pengeluaran lainnya (BPKJ)
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (25) berikut :
YJSPK = YJT – BPKJ …………………….………………………(25)
326
Jenis pengeluaran rumahtangga juragan berupa pajak tanah dan
bangunan atau pengeluaran untuk penjagaan keamanan kampung dan lainnya.
B. Rumahtangga Pendega
Dari pengamatan Roch dan Sastrawidjaya (1998) terhadap 155 orang
buruh nelayan di pelabuhan perikanan berbeda di Pantai Utara Jawa, yaitu di
Tegal, Pekalongan dan Juwana diperoleh gambaran sumber-sumber pendapatan
anak buah kapal melaut yang terdiri dari beberapa unsure, yaitu : (1) bagen atas
dasar system bagi hasil yang berlaku, (2) hasil pancingan ketika melaut, (3)
lawuhan atau lauk pauk dari melaut, (4) pemberian khusus oleh juragan untuk
anak buah kapal ketika paceklik dalam upaya memelihara loyalitas anak buah
kapal, (5) tabungan di koperasi, dan (6) insentif khusus bagi nakhoda.
Di wilayah perikanan Selat Madura ,untuk memelihara loyalitas anak
buah kapal, para juragan memberikan pinjaman tanpa bunga sebagai ikatan
kerja dengan anak buah kapal, khususnya ketika paceklik. Disamping itu
kegiatan koperasi belum berfungsi sebagaimana diharapkan. Oleh karena itu
dalam penelitian ini gambaran sumberpendapatan rumahtangga pendega melaut
dikelompokkan menjadi empat sumber, yaitu : (1) bagen untuk seorang pendega
atas dasar system bagi hasil (USPM), (2) lawuhan per orang anak buah kapal
(LABK), (3) hasil melaut lainnya (PPML). Dalam membangun model, lawuhan per
orang pendega (LABK) disusun dalam bentuk peubah eksogen yang nilainya
sama banyak untuk setiap orang anak buah kapal, sedangkan sumber
penerimaan pendega lainnya disusun dalam bentuk persamaan perilaku. Hasil
estimasi model dalam kelompok Penerimaan dan Pendapatan pada
rumahtangga Pendega disajikan pada tabel 12.
327
Tabel 12.Hasil Estimasi Paraneter Perilaku nelayan payang dalam Blok Penerimaan dan Pendapatan pada rumahtangga Pendega
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin Watson
26. Jumlah Bagen Seluruh ABK (BABK) BABK = PNM – PJMK 27. Pendapatan Bagen Melaut (USPM) Intercept Bagian ABK (BABK) Harga Ikan (PIK) Jumlah ABK (JABK) 28. Penerimaan Pendega Lainnya Melaut (PPLM) Intercept Biaya Trip Melaut (BTM) Prasarana Desa (DESA) Jumlah Frekuensi Melaut (FQM) Aset Kapal (ASKJ) 29. Penerimaan Pendega Melaut (PPM) PPM = LABK + USPM + PPLM 30. Penerimaan RT Pendega Melaut Lainnya (PPML) Intercept Tingkat Produksi MSY (SSDA) Pendapatan Pendega dari Bagi Hasil (USPM) Pendidikan/Pengalaman Pendega (PDPP) Curahan Kerja dalam RT Pendega untuk Agroindustri (CDPA) Curahan Kerja dalam RT Pendega untuk Non-Perikanan (CDPL) 31. Pendapatan RT Pendega Melaut YPM = PPM + PPML 32. Pendapatan Total RT Pendega (YPT) YPT = YPM + YPA + YPL 33. Pendapatan RT Pendega yang Dapat Dibelanjakan (YPSPK) YPSPK = YPT - BPKP
-4.611E8 0.451 -3769.98 1.1919E8 0 1.000 0 0 0 5.88827E8 0 1.970 -2.848E7 -1175304 -3012609
-1.16**
27.11***
-0.21 3.04***
1.05*
25.73***
-1.03*
-0.65 -1.33**
0.672152
0.552398
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30
328
26. Jumlah Bagen Seluruh Anak Buah Kapal (ABK)
Penerimaan bagen seluruh anak buah kapal (BABK) merupakan selisih
antara besarnya penerimaan nelayan melaut (PNM), dikurangi bagian juragan
(PJMK), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (26) berikut :
BABK = PNM – PJMK ……………………………………………..(26)
Dengan dasar persamaan (26), perubahan besarnya pengaturan bagi
hasil akan berdampak langsung terhadap pendapatan anak buah kapal. Pada
umumnya pengaturan bagi hasil antara juragan dan anak buah kapal, setelah
penerimaan kotor juragan melaut (RJM) dikurangii biaya operasional melaut
(beban bersama).Juragan dan anak buah kapal masing-masing mendapatkan
bagian sebesar 50 %, dalam bahasa lokalnya disebut dengan paron.Menurut
Kusnadi (2000), bahwa system bagi hasil adalah system yang mengatur
pembagian hasil tangkapan antara orenga (juragan) dan pandhiga (pendega)
berdasarkan norma yang berlaku. Dengan persepsi bahwa perahu/kapal sebagai
satu unit produksi, system bagi hasil yang berlaku berbeda-beda karena tingkat
kebutuhan akan jumlah pendega yang diperlukan, spesialisasi pekerjaan dan
biaya operasi atau pemeliharaannya. Ada yang system bagi tiga (telon) dengan
perincian : satu bagian untuk orenga dan dua bagian untuk pandhiga, dan
system bagi dua (paron) dengan perincian : satu bagian untuk orenga dan satu
bagian untuk pandhiga.
27. Respon Penerimaan Bagen Pendega Melaut
Perilaku penerimaan bagen pendega melaut (USPM) dipengaruhi jumlah
bagian anak buah kapal (ABK) menurut system bagi hasil yang berlaku (BABK),
harga ikan (PIK) dan jumlah anak buah kapal (JABK). Sistem bagi hasil
penangkapan ikan melaut diatur dalam dua tingkat, yaitu dengan cara : (1)
329
pembagian antara juragan dan anak buah kapal (ABK) atau nelayan buruh
sebagai satu kesatuan) dan (2) pembagian hasil diantara anggota anak buah
kapal.
Adapun pembagian hasil diantara anak buah kapal didasarkan pada jenis
pembagian kerja dalam operasi melaut dan jumlah anak buah kapal.Makin besar
jumlah anak buah kapal, disamping diikuti oleh pembagian kerja yang semakin
rinci, juga diikuti oleh hak yang berbeda diantara masing-masing
keahlian.Misalnya, seorang juru mudi memperoleh 3 bagian, juru arus 1.5 bagian
dan pendega memperoleh 1 bagian. Dengan demikian, semakin banyak jumlah
anak buah kapal, maka porsi penerimaan pendega akan semakin sedikit.
Oleh karena itu, penerimaan bagen untuk seorang pendega (USPM)
berhubungan positif dengan jumlah bagian nelayan anak buah kapal secara
keseluruhan jumlah anak buah kapal (JABK), dan bagian anak buah kapal
menurut system bagi hasil (BABK), tetapi berhubungan negative dengan harga
ikan. Dengan pendekatan system bagi hasil tersebut, mengingat kegiatan melaut
yang tidak pasti atau uncertainty memotivasi pendega untuk selalu mencari cara
agar memperoleh hasil tangkapan ikan melaut sebanyak-banyaknya. Potensi
untuk mengembangkan cara agar berhasil melaut berhubungan dengan
ketrampilan para nakhoda. Seperti yang dilaporkan oleh Antunes (1998), bahwa
kegiatan dan penggunaan armada penangkapan ikan yang semakin membesar
sepertipurseiner, para nakhoda dipaksa belajar, berinovasi, beradaptasi dan
menemukan daerah penangkapan baru, agar dapat memenuhi hasil tangkap
yang semakin meningkat. Pada saat ini sejumlah besar nakhoda telah menjadi
ahli, namunpenagkapan yang berhasil bagi sementara mereka merupakan suatu
kemungkinan (untung-untungan) saja. Dalam menghadapi ketidak pastian hasil
tangkap tersebut, pada para nakhoda berlomba untuk memperoleh petunjuk dari
para alim ulama dengan budaya kearifan lokal Nyabis, karena bila berhasil
330
meningkatkan hasil tangkapannya, maka para juragan pemilik kapal
menyediakan insentif sejumlah tambahan uang tertentu disamping bagian hasil
yang lazim dilakukan.
Disamping itu para nakhoda yang menunjukkan keahlian dan
keberhasilannya ketika melaut akan memperoleh penilaian yang tinggi atau
mempunyai nilai tambah (added value) berupa nilai jual nakhoda, yaitu semacam
uang transfer bila berpindah bekerja pada juragan pemilk kapal yang lain.Para
anggota anak buah kapal akan semakin loyal kepada para nakhoda yang
mennjukkan keahlian dan keberhasilannya melaut dengan harapan penerimaan
yang diterimanya juga akan semakin meningkat seiring peningkatan hasil
tangkapan ikan.
Atas dasar uraian tersebut, maka untuk menunjang peningkatan
penerimaan bagen para pendega (USPM) dibutuhkan perbaikan teknologi yang
semakin produktif dan berdaya jangkau lebih luas lagi, seperti di wilayah ZEE
sehingga akan meningkatkan pula jumlah anak buah kapal yang diperlukan,
disamping itu adanya perbaikan mutu ikan agar bisa meningkatkan harga ikan
dengan orientasi eksport, meskipun hasil tangkapannya menurun. Juga
diperlukan policy pemerintah untuk mengatur system pelelangan ikan dengan
harapan harga yang diterima nelayan menjadi lebih baik.Dan tidak kalah
pentingnya prinsip keadilan didalam system bagi hasil yang berlaku disesuaikan
dengan tingkat profesionalisme para nakhoda dan anak buah kapal,
sebagaimana pasar tenaga kerja pada umumnya yang berlaku.
Implikasi dari fenomena yang ada pada masyarakat nelayan saat ini,
adalah bahwa kebijakan pengembangan armada perikanan lepas pantai atau
pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan keniscayaan sekaligus
diarahkan pada perikanan industry, dengan teknologi alat tangkap long -liner
yang disesuaikan dengan jenis ikannya seperti ikan tuna (Thunnus spp), ikan
331
layur (Trichiurus spp), ikan kakap merah (Lutjanus spp), juga tidak menutup
kemungkinan industry pengolahan sampai pengemasan, sehingga siap
dipasarkan ke luar negeri. Mengingat untuk operasi penangkapannyapun
membutuhkan waktu yang cukup lama tidak lagi one day fishing
(Primyastanto.M, 2012).
28. Respon Penerimaan Pendega Lainnya Melaut
Pendega bisa memperoleh kesempatan menggunakan waktu senggang
di laut pada saat operasi penangkapan ikan untuk menambah penghasilannya
dengan jenis alat tangkap lain yang masih bisa dioperasikan, seperti
pancing.Penerimaan pendega melaut lainnya terkadang bersumber pada sisa
uang perbekalan melaut. Mengingat jenis alat tangkap pancing tersebut
menghasilkan hasil tangkapan ikan ekonomis penting, sehingga peluang
kegiatan mengisi waktu senggang dilaut merupakan kesempatan yang diberikan
juragan kepada anak buah kapal untuk menambah hasil penerimaan melaut
lainnya, disamping itu juga untuk memotivasi anak buah kapal agar senang
melaut dengan demikian akan meningkatkan frekuensi melaut (FQM).
29. Penerimaan Pendega Melaut
Berdasarkan sumber penerimaan pendega melaut, maka total
penerimaan pendega melaut (PPM) merupakan penjumlahan besarnya lawuhan
per anak buah kapal (LPABK), penerimaan bagen seorang pendega melaut
(USPM), dan penerimaan pendega lainnya melaut (PPLM), sebagaimana
ditunjukkan pada persamaan identitas (29), berikut :
PPM = LPABK + USPM + PPLM ………………………………..(29)
332
Dengan memperhatikan respon penerimaan pendega dari bagi hasil,
penerimaan pendega lainnya melaut dan besarnya lawuhan per anak buah
kapal, maka para anak buah kapal cenderung memilih mencurahkan tenaga
kerjanya untuk melaut pada armada penangkapan ikan dengan produktivitas dan
nilai hasil tangkapan yang tinggi, dengan jumlah anak buah kapal yang lebih
banyak seperti purse seine dengan hasil tangkapan ikan laying, sekaligus
memberikan peluang kesempatan menambah penghasilannya dengan alat
tangkap pancing.
30. Respon Penerimaan Rumahtangga Pendega Melaut Lainnya
Perilaku penerimaan rumahtangga pendega melaut lainnya (PPML)
dipengaruhi oleh beberapa peubah sebagai berikut :
1. Berhubungan positif dan dipengaruhi oleh USPM.
2. Berhubungan negative dan dipengaruhi oleh PDPP, CDPA, dan CDPL.
Rumahtangga nelayan pendega dipantai utara Jawa dalam menghadapi
pendapatan melaut yang rendah dan tidak stabil, mereka mencari tambahan
pendapatan yang berasal dari berbagai sumber, antara lain dari : (1) anggota
rumahtangga pendega lainnya sebagai anak buah kapal melaut di kapal lain, (2)
melakukan pekerjaan lain di pedesaan pantai, khususnya oleh anggota
rumahtangga wanita dalam kegiatan pengolahan ikan atau pemasaran ikan
(Roch dan Sastrawijaya, 1998). Demikian pula yang dilakukan nelayan payang di
Selat Madura , bahwa dengan besarnya curahan kerja untuk agroindustri
(CDPA), non-perikanan (CDPL) dan pendidikan/pengalaman pendega (PDPP)
berpengaruh negative terhadap besarnya penerimaan rumahtangga pendega
melaut lainnya. Dengan perkataan lain, jika besarnya bagi hasil untuk pendega
(USPM) meningkat, maka rumahtangga pendega akan menurunkan jumlah
curahan kerja untuk menambah penerimaan rumahtangga darikegiatan non-
333
melaut. Dengan demikian terdapat hubungan substitusi antara USPM dengan
CDPA dan CDPL.Disamping itu karena skala usaha yang kecil bagi nelayan
payang sehingga merupakan usaha yang masih bersifat subsisten.
31. Pendapatan Rumahtangga Pendega Melaut
Pendapatan rumahtangga pendega melaut (YPM) merupakan
penjumlahan penerimaan pendega melaut (PPM) dan penerimaan pendega
melaut lainnya (PPML), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas
(31), berikut :
YPM = PPM +PPML ……………………………………………….(31)
Respon penerimaan pendega melaut lainnya (PPML) terhadap
pendapatan pendega dari bagi hasil (USPM) dapat menjelaskan bahwa
peningkatan system bagi hasil berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan
rumahtangga pendega, misalnya dengan mengoperasikan alat tangkap yang
lebih produktif, sehingga hasil tangkapan ikan akan lebih banyak atau
menumbuhkembangkan system pelelangan ikan di TPI yang ada agar berfungsi
dengan baik sehingga pendapatan pendega akan meningkat dengan
diperbaikinya harga yang terjadi pada saat pelelangan ikan.
32. Pendapatan Total Rumahtangga Pendega
Penerimaan rumahtangga pendega dari kegiatan non-melaut, seperti
agroindustri perikanan dan kegiatan non-perikanan dalam penelitian ini
merupakan peubah eksogen. Pendapatan rumahtangga pendega total (YPT)
adalah penjumlahan penerimaan rumahtangga pendega melaut (YPM) dengan
penerimaan dari kegiatan agoindustri perikanan YPA) dan penerimaan dari
kegiatan dari kegiatan produktif non-perikanan (YPL), sebagaimana ditnjuukan
pada persamaan identitas (32) berikut :
334
YPT = YPM + YPA + YPL …………………………………………(32)
Kegiatan anggota rumahtangga pendega, baik lelaki ataupun wanita
dalam kegiatan agroindustri dan kegiatan produktif non-perikanan, seperti
pengolah ikan, pemasaran ikan, buruh tani dan tukang, berpengaruh secara
langsung terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga pendega secara
total.Strategi adaptasi yang digunakan nelayan untuk menghadapi ketidak
pastian pendapatan adalah mengkombinasikan pekerjaan.Dalam masyarakat –
masyarakat tribal dan pertanian termasuk nelayan, kegiatan menangkap ikan
jarang menjadi pekerjaan eksklusif.Penangkapan ikan selalu dikombinasikan
dengan pekerjaan berburu, bertani atau pekerjaan lainnya.Petani di Swedia
misalnya sering mengkombinasikan pekerjaan menangkap ikan dengan
berkebun, sehingga sulit ditentukan mana yang lebih diutamakan.
Dalam masyarakat nelayan modern , hal seperti itu sangat umum
dilakukan. Kegiatan menangkap ikan dilakukan secara bergantian dengan
pekerjaan lain atau berpindah-pindah dari satu jenis penangkapan (metode dan
bentuk peralatan tangkap) ke jenis penangkapan ikan lainnya, yang berbeda
obyek dan karakteristiknya. Hal itu termasuk diversifikasi kegiatan penangkapan
ikan (Acheson, 1981).Juga pada masyarakat pantai teluk Yos Sudarso, Irian
Jaya, sebagian besar bermata pencaharian pokok sebagai nelayan.Selain
melaut, mereka juga bertani, menokok sagu, berkebun, berburu, dan mebuat
kerajinan tangan, seperti panah, dan ukiran khas.Jenis pekerjaan tersebut
dilakukan oleh laki-laki (Soewardi et al, 1984).
33. Pendapatan Rumahtangga Pendega yang dapat Dibelanjakan
Besarnya pendapatan rumahtangga pendega yang dapat dibelanjakan
(YPSPK) merupakan selisih antara pendapatan pendega total (YPT) dengan
335
pengeluaran rumahtangga untuk pajak atau pengeluaran lainnya (BPKP),
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (33) berikut :
YPSPK = YPT – BPKP…………………………………………… (33)
Jenis pengeluaran rumahtangga pendega berupa pajak tanah dan
bangunan atau pengeluaran untuk penjagaan keamanan kampung, dan lainnya.
5.3.4. Respon Pengeluaran
A. Rumahtangga Juragan
34. Respon Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumahtangga Juragan
Hasil Estimasi model dalam kelompok pengeluaran pada rumahtangga
juragan disajikan pada tabel 13.Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok
pangan rumahtangga juragan (KKPPJ) dipengaruhi dan berhubungan positif
dengan jumlah anggota rumahtangga dan mutu SDM juragan (AKRJD),
dipengaruhi serta berhubungan negative dengan pendapatan rumah tangga
juragan (YJSPK).
Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa aspek pendidikan
menunjukkan peran penting dalam pengaturan pola konsumsi pangan dalam
rumahtangga nelayan juragan payang. Pendidikan dan pengalaman juragan ikut
mempengaruhi perilaku konsumsi rumahtangga.Sedangkan perubahan
pendapatan menunjukkan bahwa dengan terjadinya perubahan pendapatan
menunjukkan respon negative terhadap pengeluaran rumahtangga nelayan
juragan.Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa pengeluaran untuk konsumsi
pangan menurun dengan bertambahnya pendapatan , karena untuk pangan
relative konstan dalam kesehariannya. Sedangkan untuk peningkatan mutu SDM
dapat memacu secara positif pada perbaikan pola konsumsi (mutu) pangan
rumahtangga juragan.
336
Tabel 13. Hasil Estimasi Parameter perilaku nelayan payang Blok Pengeluaran Rumahtangga Juragan
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin-Watson
34. Pengeluaran Konsumsi Pangan RT Juragan (KKPPJ) Intercept Pendapatan RT Juragan setelah Pajak (YJSPK) Angkatan Kerja RT Juragan (AKRJD) 35. Pengeluaran Konsumsi Pokok Non- Pangan RT Juragan (KKPNJ) Intercept Pendapatan RT Juragan setelah Pajak (YJSPK) Angkatan Kerja RT Juragan (AKRJ) Konsumsi Kebutuhan Non-Pokok RT Juragan (KKNPJ) PANGAMBAK 36. Pengeluaran Konsumsi Pokok RT Juragan (KKPJ) KKPJ = KKPPJ + KKPNJ) 37. Pengeluaran Konsumsi Non-Pokok RT Juragan (KKNPJ) Intercept Pendapatan RT Juragan setelah Pajak (YJSPK) Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) Tabungan RT Juragan (TABJ) Investasi dalam RT Juragan (INVJ) 38. Pengeluaran Investasi RT Juragan (INVJ) Intercept Pendapatan RT Juragan setelah Pajak (YJSPK) Konsumsi Kebutuhan Pokok Non- Pangan RT Juragan (KKPNJ) Kekayaan RT Juragan (HKJ) 39. Tabungan RT Juragan (TABJ)) TABJ = YJSPK - KKPJ - KKNPJ- INVJ
13091821 -0.00007 55022.02 0 -0.00013 5788862.6 0.720355 1609298 596063.5 0.000015 -5503.22 0.013351 0.015792 6230865 0.000078 -0.29830 -0.03256
7.17***
-0.34 2.52*** 1.56***
1.88*** 2.73*** 0.87 1.56***
7.01***
1.91***
-1.42**
4.36***
3.63***
2.24***
0.34 -1.04**
-0.65
1.811781
1.905574
1.852708
1.471292
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 AKRJD = interaksi antara AKRJ * PDPJ Dalam upaya mengatur pola pengeluaran untuk konsumsi pangan
rumahtangga juragan menunjukkan porsi dari jumlah pendapatan yang dapat
337
dibelanjakan cukup rendah.Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa
perekonomian rumahtangga juragan berada pada tingkat kesejahteraan yang
relative memadai, dan para juragan telah mengarah pada penetapan strategi
jangka panjang.Untuk meningkatkan mutu SDM dan perbaikan mutu pangan
rumahtangga. Pada umumnya rata-rata pendidikan dan pengalaman juragan
lebih tinggidaripada rata-rata pendidikan dan pengalaman pendega, sehingga
mutu SDM juragan cenderung lebih tinggi dari mutu SDM Pendega .
35. Respon Pengeluaran Konsumsi Kebutuhan Pokok Non-Pangan
Rumahtangga Juragan.
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
rumahtangga juragan (KKPNJ) dipengaruhi dan berhubungan positif dengan
jumlah angktan kerja rumahtangga juragan, Konsumsi Kebutuhan Non-Pokok RT
Juragan (KKNPJ), dan PANGAMBAK, serta berhubungan negative dengan
pendapatan RT juragan (YJSPK).
Dengan demikian, baik peubah konsumsi pokok pangan dan kebutuhan
pokok non-pangan berhubungan negative dengan tingkat pendapatan yang
dibelanjakan, sedangkan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan berhubungan
positif dengan konsumsi non-pokok (barang mewahatau superior).Hal ini dapat
diinterpretasikan, jika konsumsi kebutuhan non-pokok meningkat, maka
konsumsi kebutuhan pokok non pangan dalam rumahtangga nelayan payang di
Selat Madura meningkat. Dengan perkataan lain, perilaku konsumsi
rumahtangga juragan terhadap konsumsi kebutuhan non-pokok, seperti barang
mewah/perhaiasan cukup dominan.
Perubahan jumlah angkatan kerja terhadap konsumsi pokok non-pangan,
seperti pengeluaran untuk pakaian, perumahan dan pendidikan melebihi
pengaruh perubahan tingkat pendapatannya.Ini berarti pola konsumsi untuk
338
kebutuhan pokok non-pangan dalam rumahtangga juragan cukup diprioritaskan.
Dengan perkataan lain, perilaku konsumsi untuk meningkatkan kesejahteraan
rumahtangga juragan, termasuk peningkatan mutu SDM cukup memperoleh
perhatian rumahtangga juragan. Demikian pula pengeluaran untuk keperluan
PANGAMBAK cukup besar.Dalam banyak hal masyarakat nelayan diberbagai
tempat nelayan dan pedagang perantara terikat oleh hubungan kerjasama yang
kuat demi kepentinganbersama secara jangka panjang.Hubungan kerjasama
tersebut bertujuan mengatasi kesulitan nelayan dalam memasrkan hasil
tangkapan yang kualitasnya cepat menurun (perishable food) juga karena
keterbatasan modal usaha. Dissi lain nelayan selalu dirugikan dalam hubungan
kerjasama tersebut (Acheson, 1981). Sedangkan menurut Firth (1946) selain
menyediakan pinjaman modal usaha kepada para nelayan, tugas utama
pedagang perantara adalah menyelenggarakan kegiatan pasar secara terus
menerus agar ikan tetap tersedia untuk konsumen dan menyelamatkan harga
ikan ketika hasil tangkapan nelayan sedikit atau melimpah.
Pedagang perantara yang menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan
nelayan Selat Madura disebut pangambak (Jordaan dan Niehof,
1982).Pangambak di pesisir didominasi oleh perempuan.Pada umumnya baik
pemilik perahu (juragan) maupun pandhiga (pendega), memiliki pinjaman ikatan
dengan pangambak. Besarnya pinjaman ikatan yang diberikan kepada nelayan
antara juraga dan pendega berbeda-beda, sekalipun yang diharapkan dari
nelayan adalah sama yaitu hasil tangkapan ikan. Perkiraan besar kecilnya
pinjaman ikatan antara juragan dan pendega itu muncul karena pangambak
memperhitungkan sumberdaya ekonomi yang dimilki keduanya. (1) Juragan
adalah pemilik alat produksi untuk menangkap ikan (ASKJ), sehingga
sumberdaya ekonomi yang dimilki juga besar.
339
Berkaitan dengan hal itu, system bagi hasil yang berlaku di selat Madura
memberikan bagian yang lebih besar kepada juragan daripada pendega secara
perorangan. Jika bagian hasil yang diterima juragan cukup besar, berarti
keuntungan yang diterima pangambak juga akan cukup besar juga. (2) Pendega
adalah nelayan buruh yang hanya memilki sumberdaya jasa tenaga, dan
dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada juragan. Dalam system bagi
hasil yang berlaku seperti system paron (50%), maka secara keseluruhan
pendega memperoleh bagi hasil yang cukup besar. Tetapi jika bagian itu dibagi
lagi peorang, maka hasil yang didapatkan akan menjadi sedikit.
36. Pengeluaran Konsumsi Pokok Rumahtangga Juragan
Pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok rumahtangga juragan (KKPJ)
merupakan penjumlahan pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok pangan
juragan (KKPPJ) dan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan (KKPNJ),
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (36) berikut :
KKPJ = KKPPJ + KKPNJ ………………………………………..(36)
Kebutuhan pokok non-pangan terdiri dari pakaian, perumahan, kesehatan
dan pendidikan.Dengan memperhatikan respon konsumsi kebutuhan pokok
pangan terhadap pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ) dapat
diinterpretasikan bahwa SDM rumahtangga juragan (AKRJD) berdampak positif
terhadap pola konsumsi dalam rumahtangga juragan.
340
37. Respon Pengeluaran Konsumsi Kebutuhan Non-Pokok Rumahtangga
Juragan
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan non-pokok rumahtangga
juragan (KKNPJ) tercakup didalamnya konsumsi barang superior/ mewah
dipengaruhi dan berhubungan positif dengan tingkat pendapatan yang dapat
dibelanjakan (YJSPK), tabungan juragan (TABJ) dan investasi juragan
(INVJ).Hal tersebut mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga
relative cukup tinggi.Hal ini mengindikasikan bahwa pengaturan konsumsi non-
pokok dapat dilakukan degan mengadakan perbaikan dan pengembangan
budaya menabung dan investasi dalam rumahtangga juragan.
Konsumsi kebutuhan non-pokok tersebut dipengaruhi dan berhubungan
negative dan dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman juragan (PDPJ).Hal
ini dapat diinterpretasikan bahwa penddidikan dan penyuluhan budaya
menabung menunjukkan peran penting dalam mempengaruhi pengaturan pola
konsumsi non-pokok dalam rumahtangga nelayan payang di Selat Madura.
Dengan perkataan lain budaya menabung dan investasi dalam mempengaruhi
perilaku konsumsi non-pokok dalam rumahtangga nelayan perlu mendapatkan
perhatian khusus. Khususnya budaya menabung di perbankan dan investasi
harus makin ditingkatkan. Pada umumnya para istri juragan menabung
kekayaannya dalam bentuk perhiasan emas atau barang produktif, seperti asset
kapal ,rumah, lahan ataupun ternak di wilayahnya.
Dalam upaya mengatur pola pengeluaran untuk konsumsi non-pokok,
para juragan dapat diarahkan untuk mengembangkan strategi jangka panjang,
yaitu dengan meningkatkan pendidikan dan penyuluhan, termasuk dakwah
keagamaan tentang budaya menabung yang dikaitkan dengan lembaga
keuangan atau perbankan., seperti kisah nabi yusuf dalam memanage hasil
panen negeri Mesir. Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat
341
55 : “ Berkata Yusuf : jadikanlah aku bendaharawan Negara (mesir),
sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengatahuan “.
38. Respon Pengeluaran Investasi Rumahtangga Juragan
Pengertian pengeluaran untuk investasi (INVJ) adalah penyediaan dana
untuk perawatan dan perbaikan besar seperti pergantian mesin kapal, alat
tangkap dan teknologi baru untuk menunjang keberhasilan penangkapan ikan di
laut, agar armada penangkapan ikan yang digunakan dapat dioperasikan secara
berkelanjutan (sustainable). Perilaku perawatan asset investasi (INVJ) dalam
rumahtangga juragan dipengaruhi dan berhubungan positif dengan tingkat
pendapatan rumahtangga juragan (YJSPK) dan berhubungan negative dengan
kebutuhan konsumsi non-pokok juragan (KKNPJ) serta kekayaan juragan (HKJ).
Pengeluaran untuk investasi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
rumahtangga juragan (YJSPK) yang dapat dibelanjakan. Ini mengisyaratkan
bahwa semakin meningkat pendapatan seorang juragan akan merespon
penyediaan dana investasi untuk menjaga keberlanjutan usaha dan peningkatan
mutu armada penangkapan ikan di laut secara lebih responsive, dibandingkan
dengan besarnya kebutuhan konsumsi non-pokok dan kekayaan juragan.
Dengan perkataan lain, tingkat kekayaan juragan mempengaruhi perilaku
juragan dalam menjaga keberlanjutan investasi rumahtangga nelayan. Dengan
demikian, juragan yang meningkat tingkat pendapatan rumahtangga juragan
secara positif memacu keberlanjutan investasi.
Konsumsi kebutuhan non-pokok (KKNPJ) dipengaruhi dan berhubungan
negative dengan pendidikan dan pengalaman kerja juragan. Jika pendidikan dan
pengalaman kerja juragan meningkat, maka konsumsi kebutuhan non-pokok
akanmenurun. Jika konsumsi kebutuhan non-pokok menurun, maka akan
memacuinvestasi. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa rumahtangga
342
nelayanjuragan memiliki perilaku positif dan produktif.Oleh karena itu dalam
upaya mengatur besarnya investasi, disamping ditentukan oleh tingkat
pendapatan, kekayaan juragan dan budaya menabung, juga ditentukan oleh
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja juragan.Dengan demikian penyuluhan
peningkatan investasi untuk rumahtangga juragan sangat dibutuhkan oleh
nelayan payang di Selat Madura.
39. Tabungan Rumahtangga Juragan
Besarnya tabungan rumahtangga juragan (TABJ) merupakan residu dari
jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan dikurangi kebutuhan konsumsi
pokok, non-pokok dan investasi untuk perawatan armada penangkapan ikan
sebagaimana ditunjukkan pada persamaan identitas (39), berikut :
TABJ = YJSPK –KKPJ – KKNPJ – INVJ ……………………..…(39)
Dengan memperhatikan respon konsumsi kebutuhan pokok dan non-
pokok terhadap pendidikan dan pengalaman juragan, masing-masing berturut-
turut berhubungan positif Pendapatan RT Juragan setelah Pajak (YJSPK)
Tabungan RT Juragan (TABJ) Investasi dalam RT Juragan (INVJ)dan negative
pada peubah Pendidikan/Pengalaman Juragan (PDPJ) (Tabel 13), dapat
diinterpretasikan bahwa peningkatan Pendapatan RT Juragan setelah Pajak
(YJSPK) ,tabungan RT Juragan (TABJ), dan Investasi dalam RT Juragan
(INVJ)berdampak positif, karena konsumsi kebutuhan non-pokok naik, sehingga
jumlah tabungan dalam rumahtangga juragan dapat diharapkan naik.
343
B. Rumahtangga Pendega
40. Respon Pengeluaran Konsumsi Pangan Rumahtangga Pendega
Hasil estimasi parameter dalam kelompok pengeluaran pada
rumahtangga pendega disajikan pada tabel 14.Perilaku pengeluaran konsumsi
kebutuhan pokok pangan rumahtangga pendega (KKPPP) dipengaruhi dan
berhubungan positif dengan tingkat pendapatan rumahtangga pendega
(YPSPK).Juga dipengaruhi oleh interaksi antara jumlah anggota rumahtangga
dan mutu SDM pendega (AKRPD).
Pengeluaran konsumsi pokok pangan rumahtangga pendega dipengaruhi
oleh interaksi antara jumlah anggota rumahtangga, tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja pendega (AKRPD = interaksi antara AKRP * PDPP).
Fenomena ini mengindikasikan bahwa aspek pendidikan menunjukkan peran
penting dalam pengaturan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga nelayan
pendega. Lama pendidikan dan pengalaman pendega mempengaruhi perilaku
konsumsi rumahtangga nelayan pendega, dimana dipengaruhi juga oleh
pendapatan rumahtangga nelayan pendega (YPSPK). Hal ini sejalan dengan
teori, yaitu dalam rangka memenuhi konsumsi kebutuhan pokok daripada
pemenuhan konsumsi lainnya.
Dengan demikian peningkatan mutu SDM akan memacu secara positif
perbaikan pola konsumsi (mutu ) pangan rumahtangga nelayan pendega. Dalam
upaya mengatur pola pengeluaran untuk konsumsi pangan menunjukkan porsi
dari jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan cukup besar .Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa perekonomian rumahtangga pendega relative berada
pada tingkat kesejahteraan yang belum memadai, namun para pendega telah
mengarah pada penetapan strategi jangka panjang, yaitu peningkatan
pendidikan dan perbaikan mutu pangan rumahtangga untuk meningkatkan mutu
pendidikan SDM.
344
Tabel 14. Hasil Estimasi Parameter perilaku nelayan payang dalam Blok Pengeluaran Rumahtangga Pendega
No. Peubah Endogen/Penjelas Estimasi Parameter
t- hitung Durbin-Watson
40. Pengeluaran Konsumsi Pangan RT Pendega (KKPPP) Intercept Pendapatan RT Pendega setelah Pajak (YPSPK) Angkatan Kerja RT Pendega (AKRPD) 41. Pengeluaran Konsumsi Pokok Non- Pangan RT Pendega (KKPNP) Intercept Pendapatan RT Pendega setelah Pajak (YPSPK) Angkatan Kerja RT Pendega (AKRP) Tabungan RT Pendega (TTABP) PANGAMBAK 42. Pengeluaran Konsumsi Pokok RT Pendega (KKPP) KKPP = KKPPP + KKPNP 43. Pengeluaran Konsumsi Non-Pokok RT Pendega (KKNPP) Intercept Pendapatan RT Pendega setelah Pajak (YPSPK) Angkatan Kerja Perempuan RT Pendega (AKPP) Tabungan RT Pendega (TTABP) 44. Total Pengeluaran Konsumsi RT Pendega (TKPP) TKPP = KKPP + KKNPP 45. Tabungan RT Pendega (TTABP) TTABP = YPSPK – KKPP - KKNPP
14763637 0.000049 59237.37 0 -0.00038 -188395 0.019917 4736484 0 -0.00066 13149328 0.469013
5.96***
0.11 0.96** 3.32***
-2.60*** -0.31 0.69 0000
-1.53***
7.18***
5.57***
1.695374
1.678292
1.509082
Keterangan : *** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.10 ** : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.20 * : berarti berbeda nyata dengan nol pada taraf alfa = 0.30 AKRPD = interaksi antara AKRP * PDPP
345
41. Respon Pengeluaran Konsumsi Pokok Non-Pangan Rumahtangga
Pendega
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
rumahtangga pendega (KKPNP) dipengaruhi dan berhubungan positif dengan
tabungan rumahtangga pendega (TTABP), dan kearifan lokal
PANGAMBAK.Dipengaruhi dan berhubungan negative dengan tingkat
pendapatan rumahtangga pendega (YPSPK) juga dengan jumlah anggota
rumahtangga pendega (AKRP). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa jika
tabungan pendega ditingkatkan, maka konsumsi kebutuhan pokok non-pangan
dalam rumahtangga nelayan pendega akan meningkat, yaitu untuk membeli
barang mewah (superior) seperti perhiasan, pakaian dan pendidikan meningkat
Kearifan lokal PANGAMBAK berpengaruh positif terhadap konsumsi
pokok non pangan. Hal ini bisa diinterpretasikan bahwa tanggungan hutang
nelayan kepada pangambak meningkat sejalan dengan pengeluarannya untuk
non-pangan , karena untuk meminjam kepada pangambak . Bentuk pinjaman
pangambak kepada pendega bisa berupa emas atau uang. Pinjaman yang
berupa emas diberikan dengan alas an sebagai berikut : (1) Pangambak memilki
simpanan emas yang cukup, bagi pedagang besar, jika ada kelebihan
penghasilan atau seluruhnya dibelikan emas. Emas adalah bentuk
investasi.Alasannya emas mudah dijual ketika membutuhkan uang dengan
tingkat penurunan harga yang sedikit, tidak mudah rusak dan kadang harganya
meningkat dengan menurunnya nilai rupiah (Kusnadi, 2000).
42. Pengeluaran Konsumsi Pokok Rumahtangga Pendega
Pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok rumahtangga pendega (KKPP)
merupakan penjumlahan pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok pangan
346
(KKPPP) dan konsumsi kebutuhan pokok non-pangan (KKPNP), sebagaimana
pada persamaan identitas (42), berikut :
KKPP = KKPPP + KKPNP ………………………………………..(42)
Kebutuhan pokok non-pangan terdiri atas pakaian, perumahan,
kesehatan dan pendidikan. Dengan memperhatikan respon kebutuhan pokok
pangan terhadap pendidikan dan pengalaman pendega (AKRPD = interaksi
antara AKRP * PDPP), dimana jumlah anggota keluarga berinteraksi dengan
tingkat pendidikan pendega. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa tingkat
pendidikan pendega berdampak positif terhadap pola konsumsi dalam
rumahtangga pendega. Semakin tinggi mutu pendididkan dan pengalaman
pendega , maka semakin tinggi mutu konsumsi dalam rumahtangga pendega.
43. Respon Pengeluaran Konsumsi Non-Pokok Rumahtangga Pendega
Perilaku pengeluaran konsumsi kebutuhan non-pokok rumahtangga
pendega (KKNPP) dipengaruhi dan berhubungan positif dengan angkatan kerja
perempuan RT pendega (AKPP) dan tabungan pendega (TTABP). Hal ini dapat
dinterpretasikan bahwa semakin meningkat angkatan kerja perempuan dan
tabungan rumahtangga pendega akan meningkatkan pengeluaran konsumsi
kebuthan non-pokok rumahtangga pendega, terutama sekali akan nampak pada
saat telasan dimana kebutuhan pakaian dari kaki sampai kepala harus baru
ditambah lagi dengan perhiasan para perempuan nelayan yang cenderung untuk
membeli perhiasan emas.
Adapun hubungannya dengan pendapatan yang dapat dibelanjakan
(YPSPK) berpengaruh negative hal ini logis karena pendapatan yang ada akan
banyak terserap kepada kebutuhan pokok pangan nelayan dengan rumahtangga
pendega. Fenomena tersebut mengisyaratkan bahwa peran serta angkatan kerja
347
perempuan dan pengembangan budaya menabung menunjukkan pengaruhnya
terhadap pola kosumsi non-pokok dalam rumahtangga nelayan pendega.Pada
umumnya para istri nelayan pendega menabung kekayaannya dalam bentuk
perhiasan emas. Ini berarti dalam upaya mengatur pengeluaran untuk konsumsi
non-pokok, para nelayan pendega dapat diarahkan untuk mengembangkan
strategi menjadikan peningkatan budaya menabung yang dikaitkan dengan
lembaga keuangan seperti perbankan syariah. Sehingga dimasa mendatang
pemberdayaan perempuan dan pendirian perbankan yang berbasis emas seperti
pegadaian yang syariah akan efektif dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan.
44. Total Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Pendega
Total pengeluaran konsumsi rumahtangga pendega (TKPP) merupakan
penjumlahan pengeluaran konsumsi kebutuhan pokok (KKPP) dan konsumsi
kebutuhan non-pokok (KKNPP), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan
identitas (44), berikut :
TKPP = KKPP + KKNPP ………………………………………….(44)
Dengan memperhatikan respon konsumsi kebutuhan pokok pangan
terhadap pendidikan dan pengalaman pendega (PDPP), dapat diinterpretasikan
bahwa tingkat pendidikan berdampak positif terhadap pola pengaturan konsumsi
dalam rumahtangga pendega, dan dipengaruhi secara positif oleh pendapatan
yang dapat dibelanjakan (YPSPK).Sedangkan untuk konsumsi kebutuhan pokok
non pangan dipengaruhi secara positif oleh tabungan pendega dan pangambak.
Sehingga dimasa depan peningkatan mutu SDM pendega dan pengelolaan
pendapatan yang dibelanjakan sesuai skala prioritas, serta budaya menabung
terutama dalam bentuk emas bisa ditingkatkan dengan pendirian perbankan
348
syariah, seperti pegadaian syariah akan memacu pemberdayaan masyarakat
nelayan payang dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan (sustainable).
45. Tabungan Rumahtangga Pendega
Besarnya tabungan rumahtangga pendega (TTABP) merupakan selisih
dari jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan dikurangi kebutuhan konsumsi
pokok pangan dan non-pangan, serta konsumsi kebutuhan non-pokok seperti
perhiasan emas sebagaimana ditunjukkan pada persmaan identitas (45), berikut:
TABP = YPSPK –KKPP – KKNPP……………………………….(45)
Dengan memperhatikan respon konsumsi kebutuhan pokok dan non-
pokok masing-masing terhadap pendidikan dan pengalaman pendega, angkatan
kerja perempuan dalam rumahtangga pendega, masing-masing berhubungan
positif dapat diinterpretasikan bahwa peningkatan pendidikan dan peranserta
perempuan berdampak positif terhadap pengaturan pola konsumsi
rumahtangga.Jika pendidikan dan peranserta perempuan dalam rumahtangga
pendega naik, maka konsumsi kebutuhan non-pokok naik sehingga jumlah
tabungan dalam rumahtangga pendega dapat diharapkan naik, utamanya dalam
bentuk perhiasan emas.
Dari uraian tersebut, baik dalam rumahtangga juragan, maupun pendega
peningkatan pendidikan dan pengalaman akan berdampak terhadap peningkatan
pengaturan pola monsumsi dan tabungan dalam rumahtangga. Atas dasar
perilaku ekonomi rumahtangga nelayan tersebut, maka berbagai pilihan
kebijakan dan non-kebijakan akan dikaji dampaknya terhadap keragaan ekonomi
rumahtangga juragan dan pendega dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di
Selat Madura.
349
Dan untuk kepantingan pengelolaan perikanan secara lestari dengan
memberdayakan kearifan lokal yang ada dalam rangka pengelolaan secara
berkelanjutan (sustainable) dimasa mendatang perlu diupayakan adanya
rencana strategi kebijakan jangka panjang bagi nelayan payang yang ada di
Selat Madura yang sudah mengalami over fishing tersebut, dengan jalan mencari
mata pencaharian alternative. Sebagaimana yang dapat dilihat dalam tabel
berikut :
Tabel 15. Pengaruh jangka panjang dari program-program pengembangan pada perikanan yang diusahakan secara berlebihan / lebih tangkap (Over Fishing )
Metode Pengembangan (7 tujuan utama)
Hasil tangkapan lestari (MSY)
Jumlah nelayan Pendapatan perorangan nelayan
1.Perbaikan kemampuan kapal dan alat penangkapan (peningkatan produktivitas)
Berkurang Berkurang Meningkat bagi beberapa nelayan dalam jangka pendek, tanpa pengaruh dalam jangka panjang
2.Masukan disubsidi (biaya lebih rendah)
Berkurang Meningkat Menurun dalam jangka panjang
3.Perbaikan pemasaran dan teknologi pasca panen (menaikkan harga-harga)
Berkurang Meningkat Tidak menentu (tergantung pada elastisitas penawaran dan permintaan)
4.Pembentukan Koperasi atau organisasi lain (meningkatkan harga)
Berkurang Meningkat Tidak menentu (tergantung pada elastisitas penawaran dan permintaan)
5.Pengembangan sunberdaya pendapatan alternatif atau tambahan
Meningkat Berkurang Meningkat
(Sumber Ian R. Smith, 1981)
350
5.4. Kearifan Lokal Yang Dapat Efektif Mempengaruhi Perilaku
Rumahtangga Nelayan Payang Agar Dapat Menjaga Kelestarian
Sumberdaya Ikan di Selat Madura.
Beberapa kearifan lokal yang ada pada masyarakat nelayan payang di
Selat Madura yang dapat efektif mempengaruhi perilaku rumahtangga nelayan
payang agar dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan di Selat Madura
berdasarkan analisis perilaku ekonomi rumahtangga adalah sebagai berikut :
Tabel 16. Kearifan Lokal yang dapat efektif mempengaruhi perilaku RT nelayan Payang di Selat Madura.
Peubah Dependent Peubah Independent Nilai Koefisien
DPI (Daerah Penangkapan Ikan)
ONJHEM 2665.133
PRM (Produktivitas Melaut)
PETIK LAUT 0.611
RJM (Penerimaan Kotor Juragan Melaut)
ANDUN -9.273E7
KKPNJ (Pengeluaran Konsumsi Pokok Non-Pangan RT Juragan)
PANGAMBAK 1609298
KKPNP (Pengeluaran Konsumsi Pokok Non-Pangan RT Pendega)
PANGAMBAK 4736484
Dari tabel diatas ada 4 kearifan lokal yang dapat efektif mempengaruhi perilaku
rumahtangga nelayan payang agar dapat menjaga kelestarian sumberdaya ikan
di Selat Madura. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
5.4.1. ONJHEM
Keberadaan onjhem sebagai rumah ikan atau sarang ikan yang
menyediakan stock ikan atau restocking sumberdaya ikan akan memacu daerah
penangkapan ikan yang semakin luas. Dimana semakin meningkat hasil ikan
yang didapat, maka akan memerlukan curahan kerja yang semakin meningkat
dibidang yang berkaitan dengan usaha penangkapan ikan. Dan untuk
351
memudahkan kegiatan penangkapan ikan ditengah laut (daerah penangkapan
ikan), sebagian nelayan memasang sarang ikan atau onjhem didalam laut,
onjehm ini dibuat dari daun pohon kelapa yang masih utuh, batangan bamboo,
dan batu pemberta yang disusun sedemikian rupa, onjhem ini akan menjadi
tempat berkumpul dan bertelur ikan sehingga dapat membantu nelayan untuk
menjaringnya (Kusnadi, 2000). Maka dimasa mendatang diperlukan untuk
pemberdayaan onjhem ini ketempat daerah penagkapan yang lebih luas lagi
untuk meningkatkan hasil tangkapan sekaligus upaya pelestarian sumberdaya
ikan oleh stakeholder.
Disamping itu nampak kontribusi kearifan lokal onjhem (rumpon)
terhadap pembangunan perikanan mendatang Laut sebagai karakteristik kondisi
alam sudah terpenuhi jika mengacu pada Christy(1992). Onjem merupakan hasil
buah pikir yang terjadi karena desakan adaptasi manusia dengan alam. Onjem
juga memiliki batas-batas wilayah dalam pengelolaannya, meskipun tidak ada
teknologi canggih yang digunakan, dan hanya menggunakan cara tradisional
dalam mengetahuinya batas-batas ini bisa ditentukan hukum adat yang melekat
seperti: misalnya, secara naluriah jika onjem ini bukan milik kita, maka kita tidak
akan melakukan penangkapan ikan di onjem orang lain tersebut. Hal ini
merupakan sebuah bentuk hukum adat yang tidak tertulis dalam masyarakat
nelayan Selat Madura. Dari aspek teknologi, meskipun sederhana dibanding
rumpon-rumpon modern yang sudah ada saat ini.Teknologi yang digunakan
tetap bisa berfungsi dengan baik meskipun hasil belum maksimal dibanding hasil
tangkapan dilaut lepas.Sehingga aspek teknologi terpenuhi meskipun sederhana
dan tradisional.Aspek budaya juga terpenuhi dalam onjem masyarakat nelayan
Selat Madura, dapat dilihat dari adanya budaya menghormati “jika ini milikmu
maka aku tidak boleh memanfaatkannya tanpa seijinmu” dan apabila ini
dilanggar maka hasil akan diambil pemilik onjem dan adanya sanksi moral dari
352
masyarakat. Ditinjau dari aspek distribusi kekayaan tidak terpenuhi karena
memang onjem merupakan milik pribadi meskipun berada dilahan komunal dan
tidak ada hukum yang melindungi seperti halnya sertifikat tanah pada umumnya.
Sedangkan dari aspek otoritas pemerintah, tidak adanya hukum yang melindungi
tidak berarti kegiatan atau tradisi ini illegal dan melanggar hukum. Bahkan jika
kita lihat dan kaji lebih dalam akan berdampak positif bagi lingkungan, yaitu
dengan adanya onjem ini maka sebagai rumah bagi ikan untuk melakukan
pemijahan dan tempat berlindung dari pemangsa, disamping itu terjadi rantai
makanan sebagai wujud keseimbangan alanm akan terjadi disekitar rumpon. Hal
ini sebagai salah satu wujud kepedulian masyarakat nelayan selat Madura
terhadap lingkungan dengan diterapkannya kearifan lokal onjem ini, dimasa
mendatang dapat ditumbuh kembangkan dengan teknologi yang lebih baik, yaitu
dengan upaya pembangunan terumbu karang buatan (Primyastanto. M, 2012).
Sehingga perlu dilestarikan dan diberdayakan dengan sentuhan teknologi
yang ramah lingkungan, serta pembuatan terumbu karang buatan ditempat
tertentu sebagai fishing ground untuk memperluas daerah penagkapan ikan bagi
nelayan.
5.4.2. PETIK LAUT
Pada perilaku produktivitas (PRM), dipengaruhi oleh peubah kearifan lokal
PETIK LAUT.Produktivitas hasil tangkapan ikan merespon positif terhadap
peubah PETIK LAUT. Perilaku tersebut dapat diinterpretasikan bahwa
peningkatan pelaksanaan petik laut akan meningkatkan produktivitas
pemanfaatan sumberdaya yang ada, terutama akan membuka peluang kerja
baru sebagai akibat dari terbukanya peluang usaha baik perikanan dan non
perikanan, yaitu dengan menjadikan even petik laut sebagai ekowisata dan bisa
353
dilakukan per tahun. Hal tersebut akan meningkatkan produktivitas rumahtangga
nelayan secara keseluruhan.
Dalam tradisi petik laut, dapat kita lihat untuk karakteristik alam dapat
terlihat, bahwa laut merupakan objek dari tradisi tersebut.Kemudian dari segi
budaya, petik laut merupakan budaya dari masyarakat pesisir hampir
sebagian besar masyarakat nelayan Selat Madura di Jawa Timur. Dari aspek
distribusi kekayaan, biaya yang digunakan dalam petik laut merupakan biaya
yang dikumpulkan dari semua lapisan masyarakat nelayan Selat Madura
yang besarannya dikategorikan berdasarkan dari segi jenis alat tangkap yang
dimiliki oleh nelayan. Sehingga antara pemilik alat tangkap payang jurung
dan alat tangkap sleret atau purse seine akan berbeda, yang tentunya akan
berbeda juga dari tingkat ekonomi nelayan karena biaya operasional dan
biaya dalam satu kali trip beserta hasilnya akan sangat berbeda.
Respon produktivitas hasil tangkapan ikan terhadap perbaikan status
sumberdaya menunjukkan hubungan tidak nyata. Hal ini dapat menjelaskan
bahwa peningkatan produtivitas melalui pemanfaatan sumberdaya secara
berkelanjutan (sustainable) pada tingkat Maximum Sustainable Yield (MSY)
adalah sulit diimplementasikan, karena terkait dengan siklus hidup ikan yang
menjadi sasaran penagkapan,disamping itu juga membutuhkan waktu pemulihan
yang panjang (Anderson, 1986), serta bergantung pada jenis ikan yang menjadi
tujuan penangkapan (Hannesson, 1988).
Perbaikan teknologi tidak berpengaruh terhadap produktivitas hasil
tangkapan ikan nelayan payang, hal ini terjadi sebagai akibat kondisi
sumberdaya perikanan yang terbatas hanya di Selat Madura, dimana
sumberdaya ikan semakin terkuras (over-exploited). Sehingga pemanfaatan
sumberdaya perikanan akan menghadapi masalah over fishingdimana pada
354
akhirnya akan mengancam pemanfaatan sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan (sustainable). Oleh karena itu untuk memacu nelayan payang selat
Madura untuk meningkatkan produktivitas hasil tangkapannya perlu diupayakan
untuk mencari daerah penangkapan baru (fishing ground), dan mencari
alternative pendapatan baru bagi rumahtangga (Primyastanto. M, et al 2013 b).
5.4.3. ANDUN
Adapun peubah SSDA tidak berpengaruh, sedangkan untuk peubah
kearifan lokal ANDUN berpengaruh dan merespon negative . Hal ini dapat
diinterpretasikan karena andun berkisar didaerah lain yang sama letaknya di
Selat Madura, dimana biaya yang dikeluarkan semakin besar dan jenis ikan yang
tertangkap tidak berbeda jauh sehingga kenaikan biaya tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh. Disamping itu andun juga merupakan pengalihan dari
tempat asal probolinggo yang sedang mengalami paceklik karena adanya angin
gending. Sebagaimana menurut Illo dan Pollo (1970) , bahwa para nelayan
ketika andun kedaerah lain mereka membawa perahunya masing-masing , dan
mereka melakukan andun tidak kedaerah lain yang lebih jauh karena risiko biaya
yang akan ditanggung cukup besar. Andun yaitu suatu proses perpindahan
sementara dalam usaha penangkapan ikan oleh nelayan dikarenakan beberapa
kendala salah satunya yaitu pengaruh cuaca yang buruk. Misal seperti jika
menurut Key Informan : Dengan adanya angin gending, dimana angin gending ini
sangat kencang ditengah laut dan ombak sangat ganas, meskipun ikan
melimpah tetapi nelayan enggan untuk menukar resiko keselamatan mereka.
Andun sebagai upaya untuk mencari ikan ketempat lain ini tidak terlepas dari
keyakinan adanya perintah agama yang diyakininya , yaitu Islam, dimana para
ulama’ mengajaka para nelayan selat Madura untuk mengalkannya, yaitu : “
355
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi,
dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu
beruntung “. (Q.S. Al-Jumu’ah : 10). Hal ini menunjukkan bahwa kearifan lokal
Andun itu, disamping untuk berpindah tempat dalam mencari sumberdaya ikan
baru, juga agar memberi kesempatan bagi ikan ditempat semula melakukan
restoking sehingga terjadi kelestarian sumberdaya ikan dalam upaya
pengelolaan secara sustainable atau berkesinambungan (Primyastanto, M et al,
2013 a)
Pada masa mendatang diharapkan budaya kearifan lokal ini diupayakan
dengan payung hukum agar mencari daerah penangkapan yang masih potensial
untuk dilakukan penangkapan ikan seperti di Laut Selatan Jawa , karena
disamping potensi masih belum over fishing juga jenis ikannya termasuk ikan
ekonomis penting sebagai komoditi eksport. Program transmigrasi nelayan ke
wilayah Laut Indonesia Timur juga merupakan alternative pemerataan
pembangunan dan pengelolaan terhadap eksploitasi sumberdaya ikan , sehingga
pemerintah perlu memberikan kebijakan yang multiplier effect terhadap
kelestarian sumberdaya ikan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan
dengan berbasis kearifan lokal yang ada pada masyarakat .
Pada umumnya nelayan Selat Madura melakukan andun ke daerah Paiton
(perbatasan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Situbondo) serta ke wilayah
Kabupaten Pasuruan. Proses andun sendiri dilakukan dengan membawa kapal
dan seluruh ABK yang berkenan untuk ikut dalam andun kelokasi yang
ditentukan oleh Fishing master atau kapten kapal. Umumnya jika terjadi angin
gending, yaitu pada bulan-bulan Agustus hingga Oktober dan awal-awal
November.
Andun yang dilakukan nelayan Selat Madura hanya terbatas disekitar
Selat Madura saja, sehingga berdampak semakin meningkatkan tekanan
356
terhadap over fishing, dimana akan bermuara tingkat produksi yang semakin
berkurang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pemerintah
mengupayakan memberikan payung hukum tentang daerah penangkapan ikan
yang dianjurkan untuk dieksploitasi terutama didaerah ZEE atau diluar Selat
Madura, seperti di perairan Selatan pulau Jawa , yaitu Lautan Hindia, sehingga
diharapkan budaya kearifan lokal Andun akan berdampak positif terhadap
sumberdaya ikan sekaligus akan meningkatkan pendapatan nelayan, karena
disamping akan meningkatkan produktivitas juga harga ikan didaerah fishing
ground ZEE memilki nilai ekonomis penting (eksport). Sebagaimana penelitian
yang dilakukan oleh Sahri Muhammad, et al (2013) tentang model kemitraan
social berbasis kearifan masyarakat lokal sebagai perspektif Sosio-Ecology-
Centrisme, dimana permasalahan kerusakan lingkungan dan akibat yang
ditimbulkan masih merupakan masalah yang kita rasakan setelah berlangsung
dua abad terakhir sejak industrialisassi melanda dunia. Dan kita dengan mudah
dan sistematika bisa menunjuk apa saja jenis kerusakan tersebut.
Pertanyaannya adalah benarkah kita sudah tidak bisa berfikir logis sehingga
tindakan kita hanya berhenti pada tahap mengeksploitasi saja. Lemahnya
kesadaran terhadap lingkungan sisi lain yang juga terjadi karena adanya
anggapan bahwa pemanfaatan alam oleh manusia itu adalah hal yang wajar.
Tindakan konservasi cadangan ikan di pesisir memerlukan implementasi
penguatan “modal sosial” berupa pendekatan kemitraan co-management, yaitu
sebuah bentuk pendekatan Model Kemitraan Sosial adalah bentuk
pemberdayaan modal sosial sama kuat diantara berbagai puhak yang bermitra.
Kaitan kemitraan social dengan modal social bahwa kemitraan social adalah
bentuk interaksi antar pelaku untuk meraih pencapaian tujuan kesejahteraan
masyarakat miskin dalam meraih : (1) Informasi, (2) Ikatan sosial, (3)
Menumbuhkan kepercayaan dan (4) Pengakuan social antar pelaku yang
357
bermitra. Kemitraan social adalah merupakan penguatan struktur social yang
menjamin peran sama kuat (equal role) antar pelaku yang bermitra (bias Negara,
Korporasi maupun masyarakat dengan pihak masyarakat miskin yang tidak
berdaya). Untuk meraih penguatan struktur social masyarakat yang tidak
berdaya menjadi berdaya, yaitu dengan penguatan Model Kemitraan social ini
diimplementasikan atas dasar prinsip sebagai berikut : (a) Proses pemberdayaan
masyarakat nelayan bersifat kemitraan (equal role) yang berpusat pada
pembangunan manusia (human centered development, antropocentis)
seutuhnya yang peduli pada kelestarian lingkungan, (b) Dilakukan atas dasar
prinsip partisipatif dan kemandirian masyarakat, (c) Bersifat multi dimensi social
budaya/lingkungan multi tahun dan multi tahapan, (d) Pendampingan dilakukan
secara berkelanjutan dengan suasana hubungan pendampingan bersifat
kemitraan, (e) Mengacu penguatan kesepakatan dan kearifan masyarakat lokal
(Local Communities Wisdom), (f) Proses pemberdayaan untuk penguatan
tindakan Konservasi Cadangan Ikan dilakukan atas dasar prinsip pemecahan
masalah (problem solving). Dengan demikian menurut Sahri.M, (2011) bahwa
dari sudut pandang aliran lingkungan, Model Kemitraan Sosial merupakan
bentuk jalan tengan/ moderat : antara aliran lingkungan acomodating/ konservasi
dan communities berbasi pada modal social ajaran agama sebagaimana telah
disebutkan. Artinya Model Kemitraan Sosial merupakan salah satu bentuk
pemikiran modal social berbasis lingkungan atas dasar pendekatan Ekonomi
Hijau dan Religius.
5.4.4. PANGAMBAK
Demikian pula pengeluaran untuk keperluan PANGAMBAK cukup besar.
Dalam banyak hal masyarakat nelayan diberbagai tempat nelayan dan pedagang
perantara terikat oleh hubungan kerjasama yang kuat demi kepentinganbersama
358
secara jangka panjang.Hubungan kerjasama tersebut bertujuan mengatasi
kesulitan nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan yang kualitasnya cepat
menurun (perishable food) juga karena keterbatasan modal usaha. Dissi lain
nelayan selalu dirugikan dalam hubungan kerjasama tersebut (Acheson, 1981).
Sedangkan menurut Firth (1946) selain menyediakan pinjaman modal usaha
kepada para nelayan, tugas utama pedagang perantara adalah
menyelenggarakan kegiatan pasar secara terus menerus agar ikan tetap tersedia
untuk konsumen dan menyelamatkan harga ikan ketika hasil tangkapan nelayan
sedikit atau melimpah.
Pedagang perantara yang menjualkan hasil tangkapan ikan dikalangan
nelayan Selat Madura disebut pangambak (Jordaan dan Niehof,
1982).Pangambak di pesisir didominasi oleh perempuan.Pada umumnya baik
pemilik perahu (juragan) maupun pandhiga (pendega), memiliki pinjaman ikatan
dengan pangambak. Besarnya pinjaman ikatan yang diberikan kepada nelayan
antara juragan dan pendega berbeda-beda, sekalipun yang diharapkan dari
nelayan adalah sama yaitu hasil tangkapan ikan. Perkiraan besar kecilnya
pinjaman ikatan antara juragan dan pendega itu muncul karena pangambak
memperhitungkan sumberdaya ekonomi yang dimilki keduanya. (1) Juragan
adalah pemilik alat produksi untuk menangkap ikan (ASKJ), sehingga
sumberdaya ekonomi yang dimilki juga besar. Berkaitan dengan hal itu, system
bagi hasil yang berlaku di selat Madura memberikan bagian yang lebih besar
kepada juragan daripada pendega secara perorangan. Jika bagian hasil yang
diterima juragan cukup besar, berarti keuntungan yang diterima pangambak juga
akan cukup besar juga. (2) Pendega adalah nelayan buruh yang hanya memilki
sumberdaya jasa tenaga, dan dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada
juragan. Dalam system bagi hasil yang berlaku seperti system paron (50%),
maka secara keseluruhan pendega memperoleh bagi hasil yang cukup besar.
359
Tetapi jika bagian itu dibagi lagi perorang, maka hasil yang didapatkan akan
menjadi sedikit (Primyastanto. M, et al. 2013 c).
Menurut Sahri Muhammad, et al (2013), bahwa tantangan utama didalam
pemberdayaan ikatan antar individu atau kelompok (spiral model), utamanya
dalam hubungannya dengan pangambak diperlukan penguatan dalam hal
permodalan dan pemasaran. Pada praktek ekonomi yang terjadi saat ini telah
ditemukan adanya pengabaian politik dan ekonomi (economic and political
exclusion) oleh “urban- metropolitan economy” dan “multinational economy”
terhadap si-miskin, termasuk nelayan miskin diwilayah pesisir. Secara praktis
langkah pemberdayaan politik adalah : (1) mendorong agar kelompok individu
berkembang menjadi “civil society” yang meiliki kekuatan tawar-menawar
(bargaining position), (2) mendudukkan lembaga pemerintah sebagai tulang
punggung (backbone) bagi terbangunnya keterkaitan antara kekuatan social
masyarakat pesisir, (3) korporasi ekonomi regional dan nasional diminta untuk
membuka tanggung jawab social (corporate social responsibility / CSR) dan
pasar produk yang dihasilkan komunitas pesisir, atau memberikan kegiatan
kepada peran keluarga miskin didaerah pesisir melalui mekanisme sub-kontrak.
Peran Pangambak dimasa mendatang agar tidak terkesan eksploitasi
terhadap nelayan skala kecil seperti nelayan payang , maka perlu pemerintah
untuk membebaskan hutang yang ada, melalui lembaga penjamin sosial (LPS),
selanjutnya pangambak dilibatkan dalam pemasaran dengan system lelang agar
berjalan sesuai dengan mekanisme pasar, dan nelayan diarahkan agar berusaha
untuk menabung dalam lembaga tersebut sebagai bentuk partisipasinya
terhadap lembaga lokal tersebut sebagaimana model Koperasi. Sedangkan
peran ulama atau tokoh masyarakat memberikan pencerahan kepada para
pangambak untuk tidak berpraktek sebagaimana rentenir yang merupakan
larangan dalam agama islam sebagaimana, yang tercantum dalam Al-Qur’an
360
surah Al-Baqarah ayat 275 : “ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Juga
sebagaimana larangan Allah tentang memakan harta orang lain secara batil yang
tertera dam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 29 – 31 : “ Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu. Dan barang siapa yang berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya kedalam
Neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah, jika kamu menjauhi dosa-
dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya
Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami
masukkan kamu ketempat yang mulia (Syurga)”.
Berdasarkan penelitian Sahri Muhammad, et al (2013), bahwa perolehan
modal usaha nelayan umumnya dilayani oleh pedagang (pangambak) dengan
“beban jasa” yang semakin mencekik, nelayan berharap adanya perbaikan harga
ikan dengan “pola kemitraan social”, yaitu diperlukan pedagang yang memihak
komunitas nelayan sebagai “organizer” pemasaran ikan sekaligus ikut serta
menyelesaikan “ikatan modal pedagang” yang dinilai bahwa para pedagang
berperilaku “mencekik harga ikan”. Nelayan selat Madura cenderung menjual
hasil tangkapannya pada “pedagang langganan” atau pangambak. Ada dua
alasan utama mengapa nelayan menjual hasilnya padanya, yaitu : (1) Adanya
ikatan hutang. Pedagang untuk mendapatkan kepastian barang dagangannya,
mereka mengikat hubungan dengan nelayan dalam bentuk pinjaman “bebas
361
bunga” dengan margin harga tertentu, antara 10%-20%. (2) Adanya kepastian
harga. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi tawar menawar harga yang
disepakati.
Status pedagang yang beroperasi di wilayah ini dapat dikelompokkan
menjadi pedagang antar daerah dan pedagang eksport.Pedagang eksport
memiliki persyaratan standard barang dagangan antara lain : (a) Jenis ikan
tertentu, (b) Mutunya segar atau beku dengan harganya lebih tinggi dari harga
pasar lokal.Permasalahan tingkat harga mengikuti mekanisme pasar bebas yang
tidak jarang pembentukan harga terjadi berada dalam tekanan harga oleh
pedagang. Dalam keadaan demikian neleyan hampir tidak berdaya, meskipun
berdiri tempat pelelangan ikan, hanya saja nelayan tidak pernah menjual hasil
tangkapannya melalui proses pelelangan ikan. Tempat pelelangan ikan (TPI)
tidak berfungsi karena : (1) tidak ada lelang ikan, (2) Harga cenderung tertekan
rendah, karena pedagang tidak hadir, (3) ikan yang bersifat parishable food atau
cepat busuk , maka nelayan tidak berdaya menghadapi perilaku pedagang,
karena nelayan terikat hutang, sementara pedagang menjemput (ngambak)
nelayan ditempat pendaratan ikan, ketika ikan mulai Nampak membusuk, harga
ikan semakin ditekan oleh pedagang. Nelayan menghadapi suasana dilematis
antara ikatan hutang sekaligus ikan cepat busuk.Sehingga bagi nelayan skala
rumahtangga keadaan demikian dinilai sebagai sumber permasalahan. Oleh
karenanya Pemerintah diharapkan untuk memfungsikan kembali Tempat
Pelelangan Ikan secara efektif dan perlunya payung hukum dalam mekanisme
pasar, agar terjadi keadilan dalam proses pemasaran ikan bukan eksploitasi.
362
5.5. Peran Kearifan Lokal dalam Menjaga kelestarian Sumberdaya Ikan
secara Berkelanjutan (sustainable)
Dari beberapa informasi kearifan lokal yang ada bagaimana policy atau
kebijakan kita semua untuk mengelola sumberdaya ikan yang sudah mengarah
kepada over fishing ini dengan arif bijaksana agar kelestarian sumberdaya ikan
akan pulih kembali dan akan terus berkesinambungan sampai kepada anak cucu
kita. Bukankah Allah SWT telah berfirman bahwa Dihalalkan bagimu binatang
buruan laut, begitu pula yang berasala dari laut, baik langsung kamu makan
maupun diawetkan untuk mereka yang suka bepergian (Q.S.: 5 ayat 96). Dimana
kekayaan laut kita bukan hanya ikan (fish), tapi juga mollusca, mutiara,dan biota
laut lainnya juga barang tambang seperti minyak, nikel, mangaan dan lai-lain
adalah kekayaan yang dikaruniakan Allah SWT untuk kemakmuran dan
kesejahteraan ummat manusia.
Disamping itu juga manfaat daripada perairan laut kita juga sebagai
transportasi untuk berkomunikasi dengan dunia global, sebagaimana
diinformasikan dalam Surah Yaasin ayat 41, yaitu : Dan suatu tanda kebesaran
Allah SWT yang besar bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan
mereka dalam bahtera yang penuh muatan.Sehingga dengan demikian maka
akan seimbanglah antara hak dan kewajiban kita terhadap sesama sebagaimana
firman Allah SWT : Dan berikanlah hak untuk hidup berbahagia kepada kaum
keluarga, kaum sengsara dan wisatawan agama. Namun jangan engkau
hambur-hamburkan hartamu secara boros.(Q.S.17. Ayat 26)
Kenikmatan yang telah diberikan Yang Maha Pencipta senantiasa dijaga
agar memberikan benefit sepanjang masa, sebagaimana yang tertera dalam Q.S
Ar-Rahman : 19-25, yaitu : “ Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-
masing. Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?Dari
363
keduanya keluar mutiara dan marjan.Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah
yang kamu dustakan?Dan kepunyaan-Nyalah bahtera-bahtera yang tinggi
layarnya di lautan laksana gunung-gunung.Maka ni’mat Tuhan kamu yang
manakah yang kamu dustakan?
Maka dalam pemberdayaan masyarakat pesisir hendaknya mengacu
pada sumber hukum dari Yang Maha Kuasa atau agama disertai dengan
perkembangan iptek yang ada sehingga terjadi keselarasan yang bukan hanya
dapat memakmurkan kehidupan manusia di dunia saja tapi mempunyai
jangkauan masa depan yang lebih panjang yaitu menjadi bekal amal sholeh
untuk kehidupan setelah mati, dan itu semua telah dimanifestasikan oleh
masyarakat nelayan sejak dahulu dalam bentuk kearifan lokal yang berlaku,
khususnya pada kearifan lokal : Onjhem, Petik Laut, Andun dan Pangambak.
Dimana bisa dikembangkan menjadi suatu budaya lokal yang berdampak secara
nasional maupun internasional dalam menjaga kelestarian alam sumberdaya
ikan sekaligus menjadi suatu model untuk pengelolaan sumberdaya ikan secara
berkelanjutan (sustainable).
Untuk keberhasilan pengelolaan perikanan berkelanjutan tersebut
menurut Sahri Muhammad et al (2013) diperlukan beberapa strategi, sebagai
berikut :
(1) Penggunaan kawasan konservasi laut dengan tekanan pada penghentian
penangkapan ikan untuk memberikan kesempatan pertambahan besar
induk ikan, biodiversitas dan perlindungan ikan-ikan yang mudah punah.
(2) Perubahan pola penangkapan ikan dengan tekanan tidak boleh
menangkap ikan yang belum sempat bertelur memalui selektivitas alat
tangkap ikan, dan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan serta
memberikan kesemptan ikan memijah. Perubahan pola penangkapan
364
termasuk pengaturan musim dan wilayah tertutup untuk melakukan
penagkapan ikan sementara atau permanen.
(3) Program restocking dan penguatan cadangan ikan di alam dengan
melakukan penebaran bibit ikan di alam dan memperoduksi bibit biota
target restocking secara massal.
(4) Program reduksi/pengurangan kapasitas/ukuran alat tangkap, baik dalam
jumlah maupun produktivitasnya sampai pada tingkat Tangkapan Total
Yang Boleh Ditangkap (TAC).
(5) Program budidaya laut, khususnya melibatkan perempuan nelayan untuk
kegiatan budidaya biota laut di pantai.
(6) Kendali keamanan pangan dan sertfikasi produk perikanan untuk
memberikan jaminan pangan ikani yang memenuhi persyaratan
kesehatan.
(7) Promosi perluasan Alternatif Mata Pencaharian (AMP) Nelayan yang
memberikan jaminan dan harapan pekerjaan untuk perbaikan
pendapatan rumahtangga nelayan melalui mata pencaharian tambahan di
luar penangkapan ikan.