bab 2 tinjauan pustaka - kirstie imelda - 110605154

21
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri penyamakan kulit Industri penyamakan kulit merupakan industri yang mengolah kulit mentah menjadi kulit samak. Kulit samak adalah kulit yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga bersifat lebih permanen, dengan kadar air tertentu yang tidak memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. Bahan mentah dari industri penyamakan kulit adalah kulit hewan, terutama kulit dari hewan-hewan mamalia seperti kambing, sapi dan domba. Kulit dari hewan-hewan mamalia tersebut memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Kulit samak banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan jaket, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya. Kulit samak terbentuk dari reaksi serat kolagen di dalam kulit hewan dengan zat penyamak yang diberikan. Pengawetan kulit perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air dalam kulit. Secara garis besar, proses produksi pada industri penyamakan kulit terdiri atas proses pra penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan. Industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia biasanya memproses dua jenis bahan baku, yaitu kulit sapi atau kulit kambing. Namun, biasanya industri ini tidak melakukan proses pengawetan sendiri karena bahan baku yang datang sudah dalam keadaan diawetkan. Untuk satu lembar kulit kambing biasanya digunakan 1 kg garam

Upload: kirstie-imelda

Post on 26-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pengolahan limbah industri penyamakan kulit

TRANSCRIPT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri penyamakan kulit

Industri penyamakan kulit merupakan industri yang mengolah kulit mentah

menjadi kulit samak. Kulit samak adalah kulit yang dikerjakan sedemikian rupa

sehingga bersifat lebih permanen, dengan kadar air tertentu yang tidak

memungkinkan tumbuhnya mikroorganisme. Bahan mentah dari industri

penyamakan kulit adalah kulit hewan, terutama kulit dari hewan-hewan mamalia

seperti kambing, sapi dan domba. Kulit dari hewan-hewan mamalia tersebut

memiliki nilai ekonomis yang cukup potensial. Kulit samak banyak digunakan

sebagai bahan baku pembuatan jaket, sepatu, sarung tangan, dan sebagainya.

Kulit samak terbentuk dari reaksi serat kolagen di dalam kulit hewan dengan

zat penyamak yang diberikan. Pengawetan kulit perlu dilakukan untuk menciptakan

kondisi yang tidak memungkinkan bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan

mikroorganisme perusak kulit. Hal tersebut dilakukan dengan mengurangi kadar air

dalam kulit. Secara garis besar, proses produksi pada industri penyamakan kulit

terdiri atas proses pra penyamakan, penyamakan dan pasca penyamakan.

Industri penyamakan kulit yang ada di Indonesia biasanya memproses dua

jenis bahan baku, yaitu kulit sapi atau kulit kambing. Namun, biasanya industri ini

tidak melakukan proses pengawetan sendiri karena bahan baku yang datang sudah

dalam keadaan diawetkan. Untuk satu lembar kulit kambing biasanya digunakan 1

kg garam giling (garam halus) untuk mengawetkannya, sedangkan untuk satu

lembar kulit sapi biasanya menghabiskan 5 kg garam giling.

Proses yang dilakukan setelah pengawetan adalah perendaman (soaking) yang

terdiri atas pre-soaking dan main soaking. Proses pre-soaking dikerjakan dalam

sebuah mesin yang dinamakan molen. Mesin ini berupa tong besar dengan kapasitas

1,5 ton dan berputar dengan kecepatan yang rendah (sekitar 4 rpm). Kulit yang

sudah diawetkan dan ditimbang beratnya, kemudian dimasukkan ke dalam molen

yang secara kontinyu diisi dengan air hingga jumlahnya mencapai 300% dari berat

kulit yang masuk. Kemudian antibakteri dimasukkan sebanyak 0.1% dan degreaser

0.1% lalu diputar selama 2.5 jam. Setelah diputar, air dalam molen tersebut dibuang

sampai habis.

Setelah proses pre-soaking, molen diisi dengan air sebanyak 200%,

magnesium 0.75%, sabun degreasing 0.1% dan antibakteri 0.1% secara bersamaan,

kemudian diputar selama 18 jam atau semalam. Molen tidak secara terus menerus

berputar, tetapi setiap 1 jam hanya diputar selama 5 menit. Setelah semalam

direndam, air rendaman dibuang lalu dilakukan proses pencucian dengan

memasukkan air sebesar 200%. Tujuan dari perendaman ini adalah mengembalikan

kadar air kulit yang hilang selama proses pengawetan sehingga kadar airnya

kembali seperti sebelum diawetkan (mendekati kadar air kulit segar). Proses ini

dinamakan main soaking.

Proses selanjutnya adalah pengapuran (liming). Kapur yang diberikan akan

membuka tenunan kulit sehingga bahan penyamak akan mudah meresap ke dalam

kulit. Kapur juga menyebabkan kulit menjadi bengkak sehingga memudahkan

proses pembuangan daging (fleshing). Pada proses ini kulit dalam molen diberi

input air sebanyak 70% dan anti ringkel 1% lalu diputar selama 20-30 menit.

Setelah itu, dimasukkan natrium sulfida 3% dan kapur 4% dari jumlah kulit.

Natrium sulfida berfungsi merontokan bulu. Kapur dimasukkan dengan dua kali

pemasukkan secara bertahap (masing-masing 2%) dengan selang waktu 30 menit.

Setelah kapur yang kedua dimasukkan dan molen diputar selama 30 menit, air baru

sebanyak 30% dimasukkan ke dalam molen lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu,

molen diputar selama 18 jam atau semalam dengan putaran setiap 1 jam hanya 5

menit. Setelah diputar semalam, air dibuang dan dimasukkan kembali air baru

sebesar 200% untuk mencuci ulang.

Gambar 1. Molen tempat proses soaking dan liming (Sumber: Alihniar, 2011)

Selanjutnya dilakukan proses pembuangan daging (fleshing). Proses ini

bertujuan menghilangkan daging yang masih menempel pada kulit. Pada proses ini

digunakan sejumlah air mengalir untuk membantu pembuangan daging. Air masuk

secara kontinyu dengan volume yang kecil selama kulit diselipkan diantara roller.

Proses pembuangan daging ini dilakukan satu per satu secara manual. Bersihnya

kulit dari sisa daging akan memudahkan masuknya bahan penyamak ke dalam kulit.

Gambar 2. Mesin pembuang daging (Sumber: Alihniar, 2011)

Kulit tanpa daging ini kemudian masuk ke dalam proses selanjutnya yaitu

pembuangan kapur (deliming). Untuk menghilangkan kulit dari sisa-sisa kapur

digunakan air 100%, ZA 2%, sodium metabisulfit 0.3%, oropon 2% , dan degreaser

0.1% dari berat kulit yang masuk. Oropon berfungsi membuka pori-pori kulit agar

kapur yang terikat didalamnya dapat keluar. Dengan terbukanya pori-pori tersebut,

kulit akan menjadi lemas/lentur. Setelah diputar, kulit kembali dicuci dengan air

sebanyak 200%.

Agar kulit siap menerima bahan penyamak krom, maka kulit harus

dikondisikan menjadi asam. Ini untuk menyesuaikan dengan kondisi bahan

penyamak krom yang mempunyai pH 3. Kondisi kulit yang asam akan

memperlambat reaktifitas bahan penyamak krom terhadap protein kulit, sehingga

proses penyamakan dapat berlangsung dengan baik. Proses pengasaman (pickling)

dilakukan dengan menambahkan air 100%, asam (asam semut 0.5% dan asam sulfat

1%) dan garam 10% dari berat kulit yang masuk. Fungsi garam pada pengasaman

ini sebagai buffer bagi kulit agar tidak bengkak akibat pengaruh asam. Pengasaman

memerlukan waktu perendaman 2 jam sampai pH kulit 2-2,5.

Tahap selanjutnya adalah penyamakan (tanning). Proses ini bertujuan

mengubah sifat kulit mentah yang tidak stabil menjadi kulit samak yang stabil.

Bahan penyamak yang digunakan adalah krom. Kelebihan bahan penyamak ini

dibandingkan bahan penyamak nabati antara lain memiliki daya tarik tinggi, lebih

tahan terhadap perlakuan panas atau suhu tinggi. Pada proses ini ditambahkan air

90%, krom 6% - 8% dan natrium bikarbonat 1.5%. Pemasukkan krom dilakukan

secara bertahap sebanyak 3 kali dengan selang waktu pemasukkan 30 menit sekali.

Natrium bikarbonat diberikan untuk menaikan pH dari 3 menjadi 4. Kulit yang

sudah disamak dinamakan wet blue. Kulit ini masih mengandung banyak air

sehingga perlu proses pengurangan kadar air.

Setelah kulit sudah berkurang kadar airnya, dilakukan perataan dan

penyerutan sesuai dengan permintaan konsumen. Penyerutan dilakukan secara

manual. Proses selanjutnya adalah penyamakan ulang (retanning). Pada proses ini

digunakan air 400% yang dimasukkan secara bertahap, krom syntan 3%, sodium

format 1%, dan natrium bikarbonat 2%. Krom syntan pada penyamakan ulang

bertujuan mengisi bagian kulit yang kosong sehingga memperbaiki sifat fisik kulit

samak.

Gambar 3. Mesin perataan dan penyerutan (Sumber: Alihniar, 2011)

Tahap berikutnya adalah pewarnaan dasar. Warna yang ditambahkan

tergantung pada permintaan konsumen. Pada proses pewarnaan dasar, kulit

ditambahkan cat dasar, air, akrilik, mimosa, dan amonia. Masing-masing sebesar

3%, 150%, 2%, 2%, dan 2%. Semua bahan tersebut dimasukkan secara bersamaan,

kemudian molen diputar selama 1 jam atau sampai warnanya sudah tembus ke kulit.

Kulit yang disamak krom pada umumnya memiliki serat-serat yang lebih

rapat sehingga keadaannya menjadi kering dan kaku. Oleh karena itu, perlu

dilakukan peminyakan (fat liquoring) dengan menambahkan minyak 8% dan air

50% lalu diputar selama 1 jam. Setelah itu dilakukan proses fiksasi yang bertujuan

memecahkan emulsi minyak dan air sehingga airnya mudah menguap pada saat

dikeringkan dan bahan lain terikat kuat dalam kulit. Pada proses fiksasi ini

digunakan air 150% dan asam semut 3%.

Kulit yang sudah difiksasi kemudian disimpan pada hot plate untuk divakum.

Setelah itu, kulit digantung selama 24 jam. Penggantungan dilakukan dengan kering

angin. Keesokannya kulit dijemur dibawah panas matahari sampai kering. Setelah

pengeringan dilakukan proses perenggangan. Setelah direnggangkan, kulit

mengalami proses spraying untuk memberi warna akhir pada kulit. Pemberian

warna menggunakan cat kulit sesuai permintaan konsumen. Setelah itu, kulit

mengalami proses penyetrikaan.

Gambar 4. Proses spraying (Sumber: Alihniar, 2011)

Gambar 5. Proses penyetrikaan (Sumber: Alihniar, 2011)

Tahap terakhir adalah proses pengukuran dan penyortiran sesuai standar

permintaan konsumen. Apabila ada kulit yang tidak sesuai dengan standar

permintaaan konsumen maka produk akan dijual ke konsumen dengan standar kulit

yang lebih rendah atau dinyatakan sebagai produk gagal (reject). Pengukuran

bertujuan menentukan luas kulit dalam satuan kaki karena harga jual kulit dihitung

per satuan kaki.

2.1.1 Kulit

Komoditas kulit digolongkan menjadi dua golongan yaitu : (1) kulit yang

berasal dari binatang besar (hide) seperti kulit sapi, kulit kerbau, kulit kuda,

kulit banteng, kulit badak, kulit harimau, dan lain-lain, (2) kulit yang berasal

dari binatang kecil (skin) seperti kulit domba, kulit kambing, kulit rusa, kulit

babi dan kulit reptil (biawak, buaya, ular, komodo, dan lain-lain) (Purnomo,

1987).

Menurut Judoamidjojo (1981), secara topografis kulit dibagi menjadi 3

bagian yaitu:

a. Daerah krupon, merupakan daerah terpenting yang meliputi kira-kira 55%

dari seluruh kulit dan memiliki jaringan kuat dan rapat serta merata dan

padat.

b. Daerah leher dan kepala meliputi 3% bagian dari seluruh kulit. Ukurannya

lebih tebal dari daerah krupon dan jaringannya bersifat longgar serta sangat

kuat.

c. Daerah perut, paha, dan ekor meliputi 22% dari seluruh luas kulit. Bagian

tersebut paling tipis dan longgar.

Gambar 6. Topografi kulit hewan secara umum (Sumber: Fahidin dan Muslich, 1999)

Kulit yang baru lepas dari tubuh hewan disebut dengan kulit mentah

segar. Kulit ini mudah rusak bila terkena bahan-bahan kimia seperti asam kuat,

basa kuat, atau mikroorganisme. Kulit mentah segar sebagian besar tersusun

dari air (65%), lemak (1.5%), mineral (0.5%), dan protein (33%) (Purnomo,

1987).

Kandungan air pada tiap bagian kulit tidaklah sama. Bagian yang paling

sedikit mengandung air adalah krupon (bagian punggung), selanjutnya berturut-

turut adalah bagian leher dan perut (Purnomo, 1985). Kadar air berbanding

terbalik terhadap kadar lemak. Jika kadar lemaknya tinggi maka kadar airnya

rendah (Purnomo, 1985). Tabel dibawah akan menunjukkan komposisi kimia

kulit mentah segar pada domba. Oleh karena keadaan kulit mentah segar yang

mudah rusak, maka kulit harus mengalami proses pengawetan terlebih dahulu.

Komponen Presentase (%)

Air 64

Protein 33

Protein fibrous

- Elastin 0,3

- Kolagen 29

- Keratin 2

Protein globular

- Albumin 1

- Globulin 0,7

- Mucin, Mucoid

Lemak 2

Garam mineral 0,5

Zat lain 0,5

Tabel 1. Komposisi substansi kimia kulit domba mentah segar (Sumber: Sharphouse, 1978)

Pengawetan sebenarnya bukanlah termasuk dalam proses penyamakan

kulit, namun memegang peranan penting karena bertujuan mencegah serta

membatasi pertumbuhan bakteri pembusuk yang secara langsung akan

mempengaruhi mutu kulit. Pengawetan yang tidak benar menyebabkan kulit

berbau busuk dan warnanya tidak merata. Pengawetan kulit dapat dilakukan

dengan beberapa cara, diantaranya : (1) pengawetan dengan racun/obat

antiseptik, (2) pengawetan dengan garam basah, (3) pengawetan dengan garam

kering, dan (4) pengawetan dengan asam (Purnomo, 1987).

Penggaraman merupakan metode pengawetan yang paling mudah dan

efektif. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit hingga tingkat

kondisi yang tidak memungkinkan pertumbuhan bakteri.

Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan.

Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan

tertentu (bahan penyamak) kedalam anyaman atau jaringan serat kulit sehingga

terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo,

1987).

Menurut Fahidin dan Muslich (1999), teknik penyamakan kulit

dikelompokan menjadi 3 tahapan, yaitu proses pra penyamakan, penyamakan,

dan pasca penyamakan.

1. Pra penyamakan: Proses pra penyamakan (Beam House Operation) meliputi

perendaman, pengapuran, pembuangan daging, pembuangan kapur,

pengikisan protein, pemucatan dan pengasaman (Purnomo, 1987).

a. Perendaman (soaking) merupakan tahapan pertama dari proses

penyamakan yang bertujuan mengembalikan kadar air kulit yang hilang

selama proses pengawetan sehingga kadar airnya mendekati kadar air

kulit segar.

b. Pengapuran bertujuan menghilangkan epidermis dan bulu, kelenjar

keringat dan lemak, serta menghilangkan semua zat-zat yang bukan

kolagen. Kapur yang masih ketinggalan akan mengganggu proses

penyamakan.

c. Pembuangan daging (fleshing) bertujuan menghilangkan sisa-sisa

daging yang masih melekat pada kulit dan menghilangkan lapisan

subkutis (lapisan antara daging dan kutis). Proses pembuangan bulu

(scudding) bertujuan menghilangkan sisa-sisa bulu beserta akarnya yang

masih tertinggalpada kulit (Fahidin dan Muslich, 1999).

d. Pembuangan kapur (deliming) bertujuan menghilangkan kapur dan

menetralkan kulit dari suasana basa akibat pengapuran, menghindari

pengerutan kulit ketika pengasaman, serta menghindari timbulnya

endapan kapur yang dapat bereaksi dengan bahan penyamak. Proses

pembuangan kapur biasanya menggunakan garam ammonium sulfat

(ZA) yang nantinya dicampur dengan asam sulfat.

e. Pengikisan protein (bating) bertujuan melanjutkan pembuangan semua

zat-zat bukan kolagen yang belum terhilangkan dalam proses

pengapuran. Pengikisan protein ini dilakukan oleh enzim protease.

Pengikisan ini diutamakan untuk globular protein yang terdapat diantara

serat kulit dan elastin. Dengan terurainya protein ini maka akan terdapat

banyak ruang kosong diantara serat- serat kulit sehingga kulit samakan

menjadi lebih lunak dan lemas. Waktu bating yang berlebihan dapat

menyebabkan kulit menjadi menipis karena banyak protein yang

terhidrolisis mengakibatkan kekuatan tarik menjadi rendah, sedangkan

waktu bating yang terlalu singkat menyebabkan terjadinya pemisahan

serat-serat fibril yang tidak sempurna dan penetrasi bahan penyamak

kurang merata.

f. Pengasaman (pickling) berfungsi mengasamkan kulit sampai pH tertentu

untuk menyesuaikan dengan penyamak krom yang mempunyai pH 2.5 -

3. Selain itu, pengasaman juga dilakukan untuk menghilangkan noda

hitam pada kulit akibat proses sebelumnya, menghilangkan unsur besi

pada kulit serta menghilangkan noda putih karena pengendapan CaCO3

yang menyebabkan cat dasar tidak merata (Purnomo, 1987).

2. Penyamakan: Penyamakan bertujuan mengubah kulit mentah yang mudah

rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia maupun fisik menjadi kulit

tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Bahan

penyamak dapat berasal dari bahan nabati (tumbuh-tumbuhan), mineral, dan

minyak. Bahan penyamak nabati dapat berasal dari kulit akasia, manggis,

buah pinang, gambir dan lain-lain. Bahan penyamak mineral adalah garam-

garam yang berasal dari logam-logam aluminium, zirkonium, dan kromium.

Bahan penyamak dari minyak dapat berasal dari minyak ikan hiu atau ikan

lainnya. Penggunaan bahan penyamak akan mempengaruhi sifat fisik dari

kulit, seperti kelemasan, ketahanan terhadap panas/dingin, terhadap gesekan,

dan lain-lain (Purnomo, 1987).

Kulit yang disamak dengan penyamak nabati akan berwarna seperti

warna bahan penyamaknya, mempunyai ketahanan fisik yang kurang baik

terhadap panas. Sifat dari kulit yang disamak yaitu agak kaku tetapi empuk,

cocok untuk bahan dasar ikat pinggang dan tas. Mekanisme pada

penyamakan nabati yaitu mereaksikan gugus-gugus hidroksil yang terdapat

dalam zat penyamak dengan struktur kolagen kulit dan membuat reaksi

ikatan dari molekul zat penyamak dengan molekul zat penyamak lainnya

hingga seluruh ruang kosong yang terdapat diantara rantai kolagen terisi

seluruhnya. Proses penyamakan akan berlangsung sempurna jika kolagen

telah menyerap kira-kira separuh dari berat zat penyamak yang digunakan.

Dalam penyamakan nabati, pH dan kepekatan dari larutan bahan

penyamaknya harus diatur. Pada pH tinggi, bahan penyamak nabati

mempunyai zarah-zarah yang lebih halus dibanding pada pH rendah. Pada

kepekatan rendah, penyamak nabati mempunyai ukuran zarah yang lebih

kecil dibanding pada kepekatan tinggi. Dengan demikian, kondisi yang

diberlakukan pada penyamakan nabati adalah dimulai dengan pH tinggi dan

kepekatan rendah kemudian diakhiri dengan pH rendah dan kepekatan tinggi

(Purnomo, 1987).

Bahan penyamak mineral yang paling banyak digunakan yaitu krom.

Hal ini karena krom memiliki sifat-sifat khusus yang berhubungan dengan

struktur molekul bahan krom itu sendiri. Penyamakan menggunakan krom

menghasilkan kulit dengan tekstur yang lebih lemas dibanding penyamak

nabati, tahan terhadap panas yang tinggi, daya tarik tinggi dan

memungkinkan hasil yang lebih baik bila dilakukan pengecatan. Kulit ini

cocok untuk kulit atasan sepatu, baju, sarung tangan, dan lain-lain.

Mekanisme dari penyamakan krom yaitu membentuk ikatan dengan asam-

asam amino dalam struktur protein kolagen yang reaktif. Besar kecilnya

molekul krom akan berpengaruh terhadap daya penetrasinya. Hal ini erat

kaitannya dengan basisitas dari krom. Proses penyamakan diawali dengan

basisitas yang rendah (sekitar 33%) dan diakhiri dengan basisitas yang tinggi

(sekitar 66%). Pada basisitas rendah, krom mempunyai daya penetrasi yang

baik terhadap jaringan kulit walaupun daya ikatnya terhadap kulit lemah.

Pada basisitas tinggi, daya penetrasi krom rendah namun daya ikatnya tinggi

sehingga krom mampu berikatan dengan jaringan kulit secara sempurna

(Purnomo, 1987).

3. Pasca penyamakan: Pasca penyamakan bertujuan membentuk sifat-sifat

tertentu pada kulit terutama berhubungan dengan kelemasan, kepadatan, dan

warna kulit. Proses tersebut terdiri atas netralisasi, pewarnaan, perminyakan,

pengecatan, pengeringan, pelembaban, dan pelemasan (Fahidin dan Muslich,

1999).

a. Penetralan (neutralization) bertujuan mengurangi kadar asam dari kulit

yang disamak menggunakan krom agar tidak menghambat proses

pengecatan dasar dan perminyakan (Purnomo, 1985).

b. Pewarnaan dasar memiliki fungsi sebagai pemberian warna dasar pada

kulit tersamak seperti yang diinginkan. Pemberian warna disesuaikan

dengan bentuk produk akhir yang direncanakan.

c. Peminyakan (fat liquoring) bertujuan melicinkan serat kulit sehingga

lebih tahan terhadap gaya tarikan, menjaga serat kulit agar tidak lengket

sehingga lebih lunak dan lemas, dan memperkecil daya serap, serta

membuat kulit lebih fleksibel (mudah dilekuk dan tidak mudah sobek).

d. Pengecetan bertujuan memenuhi selera konsumen. Pengecatan zat

warna hanya melekat di permukaan dalam media bahan perekat yang

fungsinya melekatkan warna dan memperbaiki permukaan kulit.

e. Pengeringan bertujuan menghentikan semua reaksi kimia di dalam kulit.

f. Pelembaban biasanya dilakukan selama 1-3 hari pada udara biasa agar

kulit menyesuaikan dengan kelembaban udara disekitarnya. Proses ini

menyebabkan jumlah air bebas atau air tidak terikat di dalam kulit

meningkat sehingga kulit siap menerima perlakuan fisik pada proses

pelemasan.

g. Pelemasan dilakukan dengan tujuan melemaskan kulit dan

mengembalikan luas kulit yang hilang (mengkerut) selama proses

pengeringan.

Mutu kulit samak (leather) selain dipengaruhi oleh proses yang dilakukan

di industri penyamakan kulit, juga sangat bergantung pada mutu kulit mentah

sebagai bahan dasarnya. Sementara itu, mutu kulit mentah dipengaruhi oleh

kerusakan kulit yang terjadi pada saat hewan hidup, pemotongan, dan

pengawetan. Purnomo (1985), membagi kerusahan kulit mentah menjadi:

Kerusakan antemoterm, yaitu kerusakan yang terjadi pada hewan hidup.

Kerusakan postmortem, yaitu kerusakan yang terjadi pada waktu

pengulitan, pengawetan, penyimpanan, dan transportasi.

Selain kerusakan tersebut, mutu kulit juga dipengaruhi oleh bangsa, jenis

kelamin, dan umur ternak waktu dipotong. Pada setiap spesies terdapat

perbedaan antara kulit hewan jantan dan betina. Kulit hewan betina mempunyai

rajah yang lebih halus dan bobot rata-rata lebih ringan daripada kulit hewan

jantan, tetapi mempunyai daya tahan renggang yang lebih besar dibanding

jantan.

Perbedaan yang dipengaruhi oleh umur hewan dapat menurunkan mutu

kulit samak. Kulit hewan muda pada umumnya mempunyai struktur yang halus

dan kompak, tetapi kurang tahan terhadap pengaruh dari luar. Pada hewan tua,

lapisan rajah makin kuat dan kasar.

Gambar 7. Tahapan proses penyamakan kulit dan limbah yang dihasilkan (Sumber: Fahidin dan

Muslich, 1999)

2.1.2 Potensi produksi kulit di Indonesia

Produksi penyamakan kulit di dalam negeri pada tahun 2014 mencapai 5

juta lembar per tahun, seperti dikatakan oleh Sutanto Haryono, Ketua Asosiasi

Penyamak Kulit Indonesia (APKI).. Pasokan baru beranjak naik saat momen

Idul Adha atau hari raya kurban. Ekspor kulit Indonesia mencapai lebih dari

Rp. 3,5 miliar pada 2014, karena industri kulit menjadi basis untuk sepatu dan

barang-barang kulit di mana dalam 5 tahun terakhir ekspornya meningkat dua

kali lipat.

Besarnya potensi pengembangan industri kulit di Indonesia didukung

oleh beberapa faktor seperti ketersediaan bahan baku dan teknologi baik dalam

hal proses maupun disain. Ditargetkan, ekspor kulit Indonesia pada tahun

selanjutnya bisa dua kali capaian ekspor yang ada tahun ini. Saat ini saingan

terberat Indonesia dalam mengekspor kulit adalah Vietnam, Brasil, dan China.

2.1.3 Potensi industri penyamakan kulit di Indonesia

Indonesia dinilai memiliki potensi besar di sektor industri penyamakan

kulit dengan produk olahan wet blue (kulit yang diwarnai dengan krom). Ketua

Umum Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Lany Sulaiman mengatakan

produk wet blue Indonesia merupakan yang terbaik di dunia. Keunggulannya

terletak pada bintik-bintik (tick mark) yang relatif sedikit dibandingkan dengan

kulit asal Amerika Serikat.

Wet blue Indonesia memang hanya memiliki bentangan (hide) lebih

sempit yakni 25 square feet (SF), sedangkan Amerika Serikat 60 SF. Namun,

bagian kulit yang terdapat tick mark akan dibuang, tidak dapat digunakan untuk

industri. Karenanya, proses produksi akan menjadi lebih efisien dengan

memakai wet blue dari Indonesia. Keunggulan lain yakni kulitnya juga

mempunyai serat yang lebih halus dan lentur.

Rata-rata industri penyamakan kulit di Indonesia menggunakan kulit

kambing dan kulit sapi sebagai bahan baku utamanya. Sebagai contoh, diambil

satu sampel industri penyamakan kulit di sekitar daerah Bogor. Industri

penyamakan kulit ini merupakan industri yang dirintis oleh keluarga Haji Ali

Ahmad, terletak di Desa Cibuluh, Kecamatan Bogor Utara. Industri ini sudah

berdiri sejak 30 tahun yang lalu. Pada mulanya industri ini hanya menjadi

pengumpul (gudang) dari kulit mentah yang akan disamak. Namun sekitar

tahun 1989, industri ini melakukan proses produksi sendiri hingga saat ini.

Industri penyamakan kulit Haji Ali termasuk ke dalam industri menengah

karena memiliki tenaga kerja sekitar 35 orang.

Industri penyamakan kulit Haji Ali hanya menggunakan bahan baku dari

kulit sapi atau kulit kambing. Sekarang ini kulit sapi sudah sulit didapatkan.

Oleh karena itu, pabrik lebih sering mengolah kulit kambing untuk dijadikan

kulit samak. Pasokan bahan baku sangat dipengaruhi oleh waktu (sifatnya

kondisional). Pasokan kulit akan meningkat pada hari-hari tertentu seperti hari

Raya Idul Adha. Pasokan kulit kambing biasanya berasal dari rumah potong

hewan, yang sebelumnya sudah dikumpulkan oleh pengumpul lalu dijual ke

pabrik. Selain itu, pabrik juga menerima kulit mentah dari pedagang yang dijual

secara eceran. Rata-rata jumlah kulit mentah yang diolah setiap bulannya

adalah 4,000 lembar kulit kambing dan atau 2 ton kulit sapi.