bab 2 tinjauan pustaka 2.1. plasenta previa 2.1.1...

13
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Plasenta Previa 2.1.1. Definisi Plasenta Previa Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan (Chalik, 2008). Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah rahim yang dapat memberikan dampak yang sangat merugikan ibu maupun janin berupa perdarahan, prematuritas dan peningkatan angka kesakitan dan kematian perinatal (Romundstad et all, 2006). 2.1.2. Insiden Plasenta Previa Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dengan paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang cacat juga dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi. Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan, insiden dapat meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu yang paritas tinggi (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Universitas Sumatera Utara

Upload: phamcong

Post on 18-Apr-2018

239 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Plasenta Previa

2.1.1. Definisi Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen

bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang

ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpa adanya

rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan kedelapan

(Chalik, 2008).

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi di segmen bawah rahim

yang dapat memberikan dampak yang sangat merugikan ibu maupun janin berupa

perdarahan, prematuritas dan peningkatan angka kesakitan dan kematian perinatal

(Romundstad et all, 2006).

2.1.2. Insiden Plasenta Previa

Menurut Chalik (2008) plasenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan

dengan paritas tinggi, dan sering terjadi pada usia di atas 30 tahun. Uterus yang

cacat juga dapat meningkatkan angka kejadian plasenta previa. Pada beberapa

Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan angka kejadian plasenta previa

berkisar 1,7 % sampai dengan 2,9 %. Sedangkan di negara maju angka

kejadiannya lebih rendah yaitu kurang dari 1 % yang mungkin disebabkan oleh

berkurangnya wanita yang hamil dengan paritas tinggi.

Kejadian plasenta previa terjadi kira-kira 1 dari 200 persalinan, insiden dapat

meningkat diantaranya sekitar 1 dari 20 persalinan pada ibu yang paritas tinggi

(Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007).

Universitas Sumatera Utara

6

2.1.3. Faktor Risiko dan Etiologi Plasenta Previa

Menurut Faiz & Ananth (2003) faktor risiko timbulnya plasenta previa belum

diketahui secara pasti namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa frekuensi

plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat

seksio sesarea dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat

mempengaruhi peningkatan resiko timbulnya plasenta previa.

Menurut penelitian Wardana (2007) yang menjadi faktor risiko plasenta

previa yaitu:

1. Risiko plasenta previa pada wanita dengan umur 35 tahun 2 kali lebih besar

dibandingkan dengan umur < 35.

2. Risiko plasenta previa pada multigravida 1,3 kali lebih besar dibandingkan

primigravida.

3. Risiko plasenta previa pada wanita dengan riwayat abortus 4 kali lebih besar

dibandingkan dengan tanpa riwayat abortus.

4. Riwayat seksio sesaria tidak ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya

plasenta previa.

Menurut Chalik (2008), yang menjadi penyebab implantasinya blastokis pada

segman bawah rahim belum diketahui secara pasti. Namun teori lain

mengemukakan bahwa yang menjadi salah satu penyebabnya adalah vaskularisasi

desidua yang tidak memadai, yang mungkin terjadi karena proses radang maupun

atropi.

2.1.4. Klasifikasi Plasenta Previa

Menurut Chalik (2008) plasenta previa dapat digolongkan menjadi empat

bagian yaitu:

1. Plasenta previa totalis atau komplit, adalah plasenta yang menutupi

seluruh ostium uteri internum.

2. Plasenta previa parsialis, adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium

uteri internum.

3. Plasenta previa margianalis adalah plasenta yang tepinya berada pada

pinggir ostium uteri internum.

Universitas Sumatera Utara

7

4. Plasenta letak rendah, yang berarti bahwa plasenta yang berimplantasi

pada segmen bawah rahim yang sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya

berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium uteri internum.

Menurut Perisaei, Sheilendra, Pahay, Rian (2008) plasenta previa dapat

dibagi menjadi empat derajat berdasarkan scan pada ultrasound yaitu:

1. Derajat I : plasenta sudah melampaui segmen terendah rahim.

2. Derajat II : plasenta sudah mencapai ostium uteri internum.

3. Derajat III : plasenta telah terletak pada sebagian ostium uteri internum.

4. Derajat IV : plasenta telah berada tepat pada segmen bawah rahim.

Menurut de Snoo dalam Mochtar (1998) klasifikasi plasenta previa

berdasarkan pembukaan 4 -5 cm yaitu:

1. Plasenta previa sentralis (totalis), apabila pada pembukaan 4-5 cm teraba

plasenta menutupi seluruh ostea.

2. Plasenta previa lateralis, apabila pada pembukaan 4-5 cm sebagian

pembukaan ditutupi oleh plasenta, dibagi 2 :

Plasenta previa lateralis posterior; bila sebagian menutupi ostea bagian

belakang.

Plasenta previa lateralis anterior; bila sebagian menutupi ostea bagian

depan.

Plasenta previa marginalis; bila sebagian kecil atau hanya pinggir ostea

yang ditutupi plasenta.

2.1.5. Patofisiologi Plasenta Previa

Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa umumnya

terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami

perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan, segmen bawah uterus

akan semakin melebar, dan serviks mulai membuka. Perdarahan ini terjadi apabila

plasenta terletak diatas ostium uteri interna atau di bagian bawah segmen rahim.

Pembentukan segmen bawah rahim dan pembukaan ostium interna akan

menyebabkan robekan plasenta pada tempat perlekatannya (Cunningham et al,

2005).

Universitas Sumatera Utara

8

Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan dari plasenta previa

ini ialah sinus uterus yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus,

atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta. Perdarahannnya tak dapat

dihindarkan karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk

berkontraksi menghentikan perdarahan tersebut, tidak sama dengan serabut otot

uterus menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang letaknya

normal. Semakin rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan yang

terjadi. Oleh karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalis akan terjadi lebih

dini daripada plasenta letak rendah yang mungkin baru berdarah setelah

persalinan mulai (Oxorn, 2003).

2.1.6. Gambaran klinis Plasenta Previa

Ciri yang menonjol dari plasenta previa adalah perdarahan uterus yang

keluar melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri. Perdarahan biasanya

terjadi diatas akhir trimester kedua. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak

dan dapat berhenti sendiri. Namun perdarahan dapat kembali terjadi tanpa sebab

yang jelas setelah beberapa waktu kemudian. Dan saat perdarahan berulang

biasanya perdarahan yang terjadi lebih banyak dan bahkan sampai mengalir.

Karena letak plasenta pada plasenta previa berada pada bagian bawah, maka pada

palpasi abdomen sering teraba bagian terbawah janin masih tinggi diatas simfisis

dengan letak janin tidak dalam letak memanjang. Pada plasenta previa ini tidak

ditemui nyeri maupun tegang pada perut ibu saat dilakukan palpasi (Chalik,

2008).

2.1.7. Diagnosis Plasenta Previa

Apabila plasenta previa terdeteksi pada akhir tahun pertama atau trimester

kedua, sering kali lokasi plasenta akan bergeser ketika rahim membesar. Untuk

memastikannya dapat dilakukan pemeriksaan USG, namun bagi beberapa wanita

mungkin bahkan tidak terdiagnosis sampai persalinan, terutama dalam kasus-

kasus plasenta previa sebagian (Faiz & Ananth, 2003).

Universitas Sumatera Utara

9

Menurut Mochtar (1998) diagnosa dari plasenta previa bisa ditegakkan

dengan adanya gejala klinis dan beberapa pemeriksaan yaitu:

1. Anamnesia, pada saat anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang

berkaitan dengan perdarahan antepartum seperti umur kehamilan saat terjadinya

perdarahan, apakah ada rasa nyeri, warna dan bentuk terjadinya perdarahan,

frekuensi serta banyaknya perdarahan (Wiknjosastro, 2007)

2. Inspeksi, dapat dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina,

darah beku, dan sebagainya. Apabila dijumpai perdarahan yang banyak maka ibu

akan terlihat pucat (Mochtar, 1998).

3. Palpasi abdomen, sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus

uteri yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian

terbawah janin belum turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih

bergoyang, terapung atau mengolak di atas pintu atas panggul (Mochtar, 1998).

4. Pemeriksaan inspekulo, dengan menggunakan spekulum secara hati-hati

dilihat dari mana sumber perdarahan, apakah dari uterus, ataupun terdapat

kelainan pada serviks, vagina, varises pecah, dll (Mochtar, 1998).

5. Pemeriksaan radio-isotop

a. Plasentografi jaringan lunak

b. Sitografi

c. Plasentografi indirek

d. Arteriografi

e. Amniografi

f. Radio isotop plasentografi

6. Ultrasonografi, transabdominal ultrasonografi dalam keadaan kandung kemih

yang dikosongkan akan memberikan kepastian diagnosa plasenta previa.

Walaupun transvaginal ultrasonografi lebih superior untuk mendeteksi keadaan

ostium uteri internum namun sangat jarang diperlukan, karena di tangan yang

tidak ahli cara ini dapat menimbulkan perdarahan yang lebih banyak (Chalik,

2008). Penentuan lokasi plasenta secara ultrasonografis sangat tepat dan tidak

menimbulkan bahaya radiasi terhadap janin (Mochtar, 1998)

Universitas Sumatera Utara

10

7. Pemeriksaan dalam, pemeriksaan ini merupakan senjata dan cara paling akhir

yang paling ampuh dalam bidang obstetrik untuk diagnosa plasenta previa.

Walaupun ampuh namun harus berhati-hati karena dapat menimbulkan

perdarahan yang lebih hebat, infeksi, juga menimbulkan his yang kemudian akan

mengakibatkan partus yang prematur. Indikasi pemeriksaan dalam pada

perdarahan antepartum yaitu jika terdapat perdarahan yang lebih dari 500 cc,

perdarahan yang telah berulang, his telah mulai dan janin sudah dapat hidup diluar

janin (Mochtar, 1998). Dan pemeriksaan dalam pada plasenta previa hanya

dibenarkan jika dilakukan dikamar operasi yang telah siap untuk melakukan

operasi dengan segera (Mose, 2004).

Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fornises dengan hati-hati. Jika

tulang kepala teraba, maka kemungkinan plasenta previa kecil. Namun jika teraba

bantalan lunak maka, kemungkinan besar plasenta previa.

2.1.8. Penatalaksanaan Plasenta Previa

Menurut Mose (2004) penatalaksanaan pada plasenta previa dapat dibagi

dalam 2 golongan, yaitu:

1. Ekspektatif, dilakukan apabila janin masih kecil sehingga kemungkinan

hidup di dunia masih kecil baginya. Sikap ekspektasi tertentu hanya dapat

dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahannya sudah berhenti atau sedikit

sekali. Dahulu ada anggapan bahwa kehamilan dengan plasenta previa harus

segera diakhiri untuk menghindari perdarahan yang fatal.

Menurut Scearce, (2007) syarat terapi ekspektatif yaitu:

a. Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti.

b. Belum ada tanda-tanda in partu.

c. Keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal).

d. Janin masih hidup.

2. Terminasi, dilakukan dengan segera mengakhiri kehamilan sebelum terjadi

perdarahan yang dapat menimbulkan kematian, misalnya: kehamilan telah cukup

bulan, perdarahan banyak, dan anak telah meninggal. Terminasi ini dapat

dilakukan dengan 2 cara yaitu:

Universitas Sumatera Utara

11

a. Cara vaginal yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada plasenta,

dengan cara ini maka pembuluh-pembuluh darah yang terbuka dapat tertutup

kembali (tamponade pada plasenta) ( Mose, 2003).

Menurut Mochtar (1998) penekanan tersebut dapat dilakukan melalui

beberapa cara yaitu:

- Amniotomi ( pemecahan selaput ketuban)

Cara ini merupakan cara yang dipilih untuk melancarkan persalinan

pervaginam. Cara ini dilakukan apabila plasenta previa lateralis, plasenta previa

marginalis, atau plasenta letak rendah, namun bila ada pembukaan. Pada

primigravida telah terjadi pembukaan 4 cm atau lebih. Juga dapat dilakukan pada

plasenta previa lateralis/ marginalis dengan janin yang sudah meninggal (Mochtar,

1998).

- Memasang cunam Willet Gausz

Pemasangan cunam Willet Gausz dapat dilakukan dengan mengklem kulit

kepala janin dengan cunam Willet Gausz. Kemudian cunam diikat dengan

menggunakan kain kasa atau tali yang diikatkan dengan beban kira-kira 50-100 gr

atau sebuah batu bata seperti katrol. Tindakan ini biasanya hanya dilakukan pada

janin yang telah meninggal dan perdarahan yang tidak aktif karena seringkali

menimbulkan perdarahan pada kulit kepala janin (Mochtar, 1998).

- Metreurynter

Cara ini dapat dilakukan dengan memasukkan kantong karet yang diisi

udara dan air sebagai tampon, namun cara ini sudah tidak dipakai lagi (Mochtar,

1998).

- Versi Braxton-Hicks

Cara ini dapat dilakukan pada janin letak kepala, untuk mencari kakinya

sehingga dapat ditarik keluar. Cara ini dilakukan dengan mengikatkan kaki

dengan kain kasa, dikatrol, dan juga diberikan beban seberat 50-100 gr (Mochtar,

1998).

b. Dengan cara seksio sesarea, yang dimaksud untuk mengosongkan rahim

sehingga rahim dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan. Selain itu

seksio sesarea juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah

Universitas Sumatera Utara

12

rahim yang sering terjadi pada persalinan pervaginam (Mochtar, 1998). Persalinan

seksio sesarea diperlukan hampir pada seluruh kasus plasenta previa. Pada

sebagian besar kasus dilakukan melalui insisi uterus transversal. Karena

perdarahan janin dapat terjadi akibat insisi ke dalam plasenta anterior

(Cunningham et al, 2005).

Menurut Mochtar (1998) Indikasi dilakukannya persalinan seksio sesarea

pada plasenta previa adalah:

a. Dilakukan pada semua plasenta previa sentralis, janin hidup atau

meninggal, serta semua plasenta previa lateralis, posterior, karena perdarahan

yang sulit dikontrol.

b. Semua plasenta pevia dengan perdarahan yang banyak, berulang dan tidak

berhenti dengan tindakan yang ada.

c. Plasenta previa yang disertai dengan panggul sempit, letak lintang.

Menurut Winkjosastro (1997) dalam Sihaloho (2009) gawat janin maupun

kematian janin dan bukan merupakan halangan untuk dilakukannya persalinan

seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Tetapi apabila dijumpai gawat ibu

kemungkinan persalinan seksio sesarea ditunda sampai keadaan ibunya dapat

diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan untuk segera memperbaiki keadaan

ibu, sebaiknya dilakukan seksio sesarea jika itu merupakan satu-satunya tindakan

yang terbaik untuk mengatasi perdarahan yang banyak pada plasenta previa

totalis.

2.1.9. Komplikasi Plasenta Previa

Menurut Dutta (2004) komplikasi dapat terjadi pada ibu dan bayi yaitu:

Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum yang

dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin sehingga meningkatnya letak

bokong dan letak lintang. Selain itu juga dapat mengakibatkan kelahiran prematur.

Selama persalinan plasenta previa dapat menyebabkan ruptur atau robekan jalan

lahir, prolaps tali pusat, perdarahan postpartum, perdarahan intrapartum, serta

dapat menyebakan melekatnya plasenta sehingga harus dikeluarkan secara manual

atau bahkan dilakukan kuretase.

Universitas Sumatera Utara

13

Sedangkan pada janin plasenta previa ini dapat mengakibatkan bayi lahir

dengan berat badan rendah, munculnya asfiksia, kematian janin dalan uterus,

kelainan kongenital serta cidera akibat intervensi kelahiran.

2.1.10. Prognosis Plasenta Previa

Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan

perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Kematian pada ibu dapat dihindari

apabila penderita segera memperoleh transfusi darah dan segera lakukan

pembedahan seksio sesarea. Prognosis terhadap janin lebih burik oleh karena

kelahiran yang prematur lebih banyak pada penderita plasenta previa melalui

proses persalinan spontan maupun melalui tindakan penyelesaian persalinan.

Namun perawatan yang intensif pada neonatus sangat membantu mengurangi

kematian perinatal (Cunningham, 2005).

2.2. Seksio Sesarea

2.2.1. Definisi Seksio Sesarea

Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya

“memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia

atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur

tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan

sekarat demi menyelamatkan calon bayinya (Cunningham et al, 2005). Seksio

sesarea merupakan suatu proses insisi dinding abdomen dan uterus untuk

mengeluarkan janin (Dorland, 2002).

Seksio sesarea merupakan prosedur operasi yang dilakukan pada fetus pada

akhir minggu ke-28 melalui penyayatan atau pengirisan pada dinding perut dan

dinding rahim (Dutta, 2004). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan,

dimana janin yang dilahirkan melalui insisi atau penyayatan pada dinding perut

dan dinding rahim dengan syarat rahim ibu dalam keadaan baik dan berat janin

diatas 500 gram (Wiknjosastro, 2005)

Universitas Sumatera Utara

14

2.2.2. Indikasi Seksio Sesarea

Menurut Scott (2002) dalam Sinaga (2009), melahirkan dengan seksio

sesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan medis dengan memperhatikan

kesehatan ibu maupun bayinya. Dengan maksud bahwa janin atau ibu dalam

kadaan gawat darurat sehingga hanya dapat diselamatkan dengan persalinan

seksio sesarea dengan tujuan untuk memperkecil timbulnya resiko pada ibu

maupun bayinya.

Menurut Cunningham, et al (2005), lebih dari 85 % persalinan seksio

sesarea disebabkan oleh:

1. Riwayat seksio sesarea

2. Distosia persalinan dan kemacetan persalinan

3. Gawat janin

4. Letak sungsang

Menurut Ricci (2001) indikasi persalinan seksio sesarea dibedakan

berdasarkan beberapa faktor yaitu :

a. Faktor ibu

Indikasi yang paling sering terjadi yaitu, disproporsi Sefalo-pelvik yang

merupakan ketidakseimbangan antara ukuran kepala bayi dengan ukuran panggul

ibu (Decherney, Nathan, Goodwin, Laufer, 2007). Selain itu dapat juga

disebabkan oleh disfungsi uterus, ruptura uteri, partus tak maju yang merupakan,

persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada primipara, dan lebih dari 18

jam pada multipara yang terjadi meskipun terdapat kontraksi uterus yang kuat,

janin tidak dapat turun karena faktor mekanis (Mochtar,1998).

b. Faktor janin

b.1. Gawat janin

Keadaan gawat janin yang disertai dengan kondisi ibu yang kurang baik

dianjurkan untuk dilakukan persalinan seksio sesarea. Jika ibu mengalami tekanan

darah tinggi, kejang ataupun gangguan pada ari- ari maupun tali pusar dapat

mengakibatkan gangguan aliran oksigen kepada bayi sehingga dapat

menyebabkan kerusakan otak yang bahkan dapat menimbulkan kematian janin

dalam rahim (Oxorn, 2003).

Universitas Sumatera Utara

15

b.2. Prolaps tali pusat

Kejadian ini lebih sering terjadi jika tali pusar panjang dan jika plasenta

letaknya rendah. Keadaan ini tidak mempengaruhi keadaan ibu secara langsung

tetapi dapat sangat membahayakan janin karena tali pusat dapat tertekan antara

bagian depan anak dan dinding panggul yang akan timbul asfiksia (Bratakoesuma,

2004).

b.3. Malpresentasi janin

i. Letak sungsang

Bayi letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian

yang letaknya paling rendah (Bratakoesuma, 2004). Sekarang ini banyak kelainan

letak bayi yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea. Hal ini karena risiko

kematian dan kecacatan yang timbul karena persalinan pervaginam jauh lebih

tinggi. Secara teori penyebab kelainan ini dapat terjadi karena faktor ibu seperti

kelainan bentuk rahim, letak plasenta yang rendah ataupun tumor jinak yang

terdapat dalam rahim (Dewi, 2007).

ii. Letak Lintang

Bayi letak lintang yaitu apabila sumbu memanjang janin menyilang sumbu

memanjang ibu secara tegak lurus atau mendekati 90 derajat. Dalam kedaan

normal yang cukup bulan bayi letak lintang tidak mungkin untuk dilahirkan secara

spontan. Janin hanya dapat dilahirkan secara spontan jika janin prematur, sudah

mati serta bila panggul ibu lebar (Bratakoesuma, 1998).

c. Faktor plasenta

c.1. Plasenta previa

Letak plasenta yang ada di depan jalan lahir atau implantasi plasenta yang

tidak normal yang dapat menutupi seluruhnya ataupun sebagian dari ostium

internum sehingga dapat menghambat keluarnya bayi melalui jalan lahir (Chalik,

2008).

c.2. Solusio plasenta

Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau seluruh

plasenta yang letaknya normal dari perlekatannya diatas 22 minggu dan sebelum

anak lahir (Mose, 2004). Pelepasan plasenta ini biasanya ditandai dengan

Universitas Sumatera Utara

16

perdarahan yang keluar melalui vagina, tetapi juga dapat menetap di dalam rahim,

yang dapat menimbulkan bahaya pada ibu maupun janin. Biasanya dilakukan

persalinan seksio sesarea untuk menolong agar janin segera lahir sebelum

mengalami kekurangan oksigen ataupun keracunan oleh air ketuban, serta dapat

menghentikan perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu (Mochtar,

1998).

Menurut Dutta (2004), indikasi persalinan seksio sesarea dibagi atas dua

kategori yaitu:

a. Indikasi absolut

Apabila terjadi plasenta previa sentral, adanya Cephalopelvic Disproportion

/ CPD, adanya massa pada pelvis sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan,

adanya kanker serviks, dan adanya obstruksi pada vaginal ( atresia, stenosis).

b. Indikasi relatif

Apabila ibu telah mengalami persalinan seksio sesarea sebelumnya,

dijumpai adanya fetal distress, distosia, perdarahan antepartum, malpresentasi,

gangguan tekanan darah ibu, serta adanya penyakit yang menyertai ibunya.

2.2.3. Jenis seksio sesarea

Menurut Mochtar (1998) jenis operasi seksio sesarea yaitu:

a. Seksio sesarea transperitonealis:

a.1. Seksio sesarea klasik atau korporal dengan insisi memanjang pada

korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm. Jenis seksio sesarea ini memiliki

kelebihan berupa pengeluaran janin lebih cepat, tidak mengakibatkan kandung

kemih tertarik, serta sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal. Namun

metode persalinan seksio sesare ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi

intraabdominal yang lebih mudah karena tidak adanya reperitonealis yang baik.

Serta lebih mudah terjadi ruptur uteri spontan pada persalinan berikutnya

(Mochtar, 1998).

a.2. Seksio sesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi

pada segmen bawah rahim kira-kira 10 cm. Persalinan seksio sesarea jenis ini

memiliki kelebihan yaitu, penjahitan luka yang lebih mudah, penutupan luka

Universitas Sumatera Utara

17

dengan reperitonealisasi yang baik, dan perdarahan yang lebih sedikit, serta

kemungkinan ruptur uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan seksio sesarea

jenis klasik. Namun metode persalinan ini dapat menimbulkan luka yang dapat

melebar ke kiri, kanan, dan bawah, sehingga menyebabkan arteri uterina putus

sehingga dapat mengakibabkan perdarahan yang lebih banyak, serta keluhan

postoperasi yang terjadi pada kandung kemih tinggi (Mochtar, 1998).

b. Seksio sesarea ekstraperitonealis, tindakan persalinan ini dilakukan dengan

insisi peritoneum, lipatan peritoneum didorong ke atas dan kandung kemih ke

arah bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi pada

segmen bawah (Dorland, 2002). Namun pembedahan persalinan ini tidak banyak

lagi dilakukan untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal (Oxorn, 2003).

2.2.4. Komplikasi tindakan seksio sesarea

Komplikasi yang dapat terjadi setelah tindakan seksio sesarea menurut

Mochtar (1998) yaitu:

a. Infeksi puerperal (nifas)

Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja

Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan

perut sedikit kembung.

Berat; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita

jumpai pada partus yang terlantar, dimana sebelumnya telah timbul infeksi

intrapartum karena ketuban yang telah pecah terlalu lama.

b. Perdarahan yang dapat disebabkan oleh:

Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

Atonia uteri

Perdarahan pada placental bed.

c. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila

reperitonialisasi terlalu tinggi.

d. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang.

Universitas Sumatera Utara