bab 2 tinjauan pustakaeprints.umm.ac.id/39296/3/bab ii.pdf · diatur oleh banyaknya besi yang...

14
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Kelor 2.1.1. Taksonomi Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermathophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil) Sub kelas : Dilleniidae Ordo : Capparales Famili : Moringaceae Genus : Moringa Spesies : Moringa oleifera Lam (UPT Materia medika, 2016) (Sumber: BPOM RI, 2008) Gambar 2.1 Tanaman Kelor

Upload: others

Post on 03-Nov-2019

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kelor

2.1.1. Taksonomi

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermathophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil)

Sub kelas : Dilleniidae

Ordo : Capparales

Famili : Moringaceae

Genus : Moringa

Spesies : Moringa oleifera Lam

(UPT Materia medika, 2016)

(Sumber: BPOM RI, 2008)

Gambar 2.1 Tanaman Kelor

6

2.1.2. Morfologi

Tanaman kelor (Moringa oleifera lam.) termasuk jenis

tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 - 12

meter. Merupakan tumbuhan yang berbatang bulat, berkayu dan

permukaannya kasar. Akar dari tanaman Moringa oleifera lam.

merupakan akar tunggang yang bentuknya membesar seperti lobak,

berwarna putih, tidak keras, bentuk tidak beraturan. Akar yang berasal

dari biji, akan mengembang menjadi bonggol, membengkak dan

memiliki bau tajam yang khas. Tanaman kelor jenis daunnya

bertangkai. Helai daun saat muda berwarna hijau muda - setelah

dewasa hijau tua, bentuk helai daun bulat telur, panjang 1 - 2 cm,

lebar 1 - 2 cm, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul, tepi rata,

susunan pertulangan menyirip, permukaan atas dan bawah halus.

Tangkai daun berbentuk silinder dengan sisi atas agak pipih,

menebal pada pangkalnya dan permukaannya halus. Bunga muncul

di ketiak daun (axillaris), bertangkai panjang, kelopak berwarna putih

agak krem, menebar aroma khas. Selain itu tanaman Kelor juga bisa

berbuah setelah berumur 12 - 18 bulan. Buah atau polong Kelor

berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa) dengan

panjang 20 - 60 cm. Dalam setiap polong rata-rata berisi antara 12

dan 35 biji. Biji berbentuk bulat berwarna kecoklatan. Setiap pohon

dapat menghasilkan antara 15.000 dan 25.000 biji/tahun. Berat rata-

rata per biji adalah 0,3 g (K, Dudi, 2015).

7

2.1.3. Kandungan Daun Kelor

Daun kelor (Moringa oleifera lam.) merupakan tanaman kaya

vitamin A, vitamin C serta mineral salah satunya zat besi (Faizal,

2014).

Kandungan vitamin dan mineral daun kelor (Moringa oleifera

lam.) juga telah diteliti dan dilaporkan oleh Leone Alessandro et al.,

dan dipublikasikan dalam International Journals of Molecules

Science (2015). Menurut penelitiannya, kandungan vitamin dan

mineral dari daun kelor (Moringa oleifera lam.) dapat dilihat pada

tabel berikut

Tabel 2.1 Kandungan Daun Kelor (Moringa oleifera lam.) Basah dan kering tiap 100 g

Kandungan Daun basah Daun kering

Karoten (vitamin A) Thiamin (vitamin B) Riboflavin Niacin Vitamin C Vitamin E Betakaroten Lutein Kalsium Kalori Karbohidrat Tembaga Lemak Serat Zat Besi Magnesium Fosfor Potassium Protein Zinc

6,78 mg 0,06 mg 0,05 mg 0,8 mg 220 mg 9,0 mg 6,63 mg 6,94 mg 440 mg 92 kal 12,5 g 0,07 mg 1,70 g 0,9 g 4 mg 42 mg 70 mg 259 mg 6,70 mg 0,16 mg

18,9 mg 2,64 mg 20,5 mg 8,2 mg 17,3 mg 113 mg 39,6 mg 102 mg 2,003 mg 205 kal 38,2 g 0,57 mg 2,3 g 19,2 g 32,5 mg 368 mg 204 mg 1,324 mg 27,1 g 3,29 mg

(Alessandro et al, 2015)

8

Hasil penelitian lain tentang kandungan vitamin A, vitamin C

dan zat besi pada daun kelor segar dan kering dijelaskan dalam tabel

sebagai berikut :

Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Vitamin A, Vitamin C, Zat besi

Sumber: Gophalan et al, 2011

Hasil penelitian tentang perbandingan kandungan vitamin A,

vitamin C, zat besi pada daun kelor dengan makanan umum

dijelaskan dalam tabel sebagai berikut :

Tabel 2.3 Perbandingan Kandungan Daun Kelor Dengan Makanan

Sumber: Krisnadi, 2015

2.2 Absorbsi Zat Besi (Fe)

Besi diserap terutama pada mukosa duodenum dan jejenum

proksimal. Besi dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam

lambung. Brush border dari sel absorptif pada puncak vili usus (apical cell)

mengkonversi besi ferri menjadi besi ferro dengan bantuan enzim

ferireduktase dan dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like

(DCYTB). Transpor membran difasilitasi oleh divalent metal transporter

(DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian besi disimpan

Kandungan per 100 gr

Daun kelor segar Daun kelor kering

Vitamin A Vitamin C

Zat besi (Fe)

6.78 mg 220 mg 4 mg

18.9 mg 17.3 mg 32.5 mg

Bahan Kandungan Vitamin A Daun kelor segar

Daun kelor kering Wortel

6.78 mg 18.9 mg 1.8 mg

Vitamin C Daun kelor segar Daun kelor kering

Jeruk

220 mg 17.3 mg 30 mg

Zat Besi Daun kelor segar Daun kelor kering

Bayam

4 mg 32.5 mg 1.14 mg

9

dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui ferroportin (basolateral

transporter) kedalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi reduksi dari ferro

ke ferri oleh enzim ferooksidase kemudian besi diikat oleh apotransferin

dalam kapiler usus.

(Sumber: Soedewo et al, 2012)

Gambar 2.2 Proses Absorbsi Besi pada Permukaan Duodenum

Besi yang diserap oleh enterosit, kemudian melewati bagian basal

epitel usus, memasuki kapiler usus, lalu diikat oleh apotransferin menjadi

transferin dalam darah. Transferin akan melepaskan besi pada sel

retikuloendotelial melalui proses pinositosis. Satu molekul transferin dapat

mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-

Tf) akan diikat oleh reseptor transferin (Tfr) yang terdapat pada permukaan

Besi feri diubah menjadi fero pada puncak vili usus kemudian besi sebagian disimpan di sitoplasma dalam bentuk feritin sebagian diloloskan melalui ferropoitin ke dalam kapiler usus

10

sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu

cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini

mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton

menurunkan pH dalam endosom, menyebabkan perubahan konformasional

dalma protein sehingga melepaskan ikatan besi dengan transferin. Besi dalam

endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT1, sedangkan

ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke

permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali (Bakta et al, 2014).

Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup yang

diatur oleh banyaknya besi yang diserap usus, sedangkan kehilangan besi

fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap usus setiap hari berkisar antara 1-

2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah yang sama melalui eksfoliasi epitel.

Besi dari usus dalam bentuk transferin akan bergabung dengan besi yang

dimobilisasi dari makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat

memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg per hari. Eritrosit yang

terbentuk secara efektif dan akan beredar melalui sirkulasi memerlukan besi

17 mg, sedangkan besi sebesar 7 mg akan dikembalikan ke makrofag karena

terjadinya eritropoiesis inefektif (hemolisis intramedular). Besi yang terdapat

pada eritrosit yang beredar, setelah mengalami penuaan juga akan

dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg (Bakta et al,

2014).

11

(Sumber: Metha & Hoffbrand, 2012)

Gambar 2.3 Skema Siklus Pertukaran Besi dalam Tubuh

2.3 Anemia Defisiensi Besi

Anemia merupakan suatu keadaan dimana tubuh mengalami

penurunan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit selama

volume darah total masih berada dalam batas normal (Silbernagle, 2013).

Pada umumnya pemeriksaan kadar hemoglobin darah merupakan indikator

yang paling mudah untuk dilakukan, namun pemeriksaan hemoglobin saja

belum dapat menjelaskan penyebab dari anemia (The global prevalance

anemia, 2011).

Anemia disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling sering terjadi

adalah anemia defisiensi besi. Sekitar 50% anemia disebabkan oleh

defisiensi besi, tetapi jumlahnya bervariasi tergantung jumlah populasi dan

perbedaan lokasi tergantung kondisi lingkungan (The global prevalance

Setiap molekul transferin dapat mengandung sampai 2 atom zat besi. Transferin mengirim zat besi ke organ yang mempunyai reseptor transferin, terutama eritroblas di sumsum tulang yang menggabungkan zat besi menjadi hemoglobin.

12

anemia, 2011). Lebih dari 1,5 miliar penduduk secara global menderita

anemia, dan satu pertiga dari populasi tersebut disebabkan karena defisiensi

besi (Pharmar et al, 2017). Sebelum memberikan terapi, penyebab anemia

harus diketahui terlebih dahulu. Penyebab anemia dapat diketahui dengan

penilaian klinis (anamnesis, pemeriksaan fisik) dan pemeriksaan penunjang

yang dilakukan secara tepat (Metha & Hoffbrand, 2012).

Defisiensi besi merupakan penyebab paling umum anemia

dikarenakan faktor nutrisi dan sering terjadi selama periode peningkatan

kebutuhan misalnya pada masa kehamilan dan selama masa menyusui,

penduduk dengan status sosioekonomi yang rendah karena kurangnya

asupan zat besi, infeksi dan malabsorbsi (Pharmar et al, 2017). Status zat besi

dipertimbangkan sebagai berikut : defisiensi besi dengan anemia, defisiensi

besi tanpa anemia, status zat besi normal dan zat besi berlebih, yang bisa

menyebabkan kerusakan organ jika parah atau berat (WHO, Iron deficiency

anemia, 2001).

2.3.1 Patofisiologi

Iron depleted state atau negative iron balance terjadi

dikarenakan cadangan besi dalam tubuh menurun. Keadaan ini

ditandai dengan penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi

besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.

Apabila kekurangan besi terjadi terus menerus, maka cadangan besi

menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit

tetapi anemia secara klinis belum terjadi (iron deficient

13

erythropoesis). Pada fase ini, kelainan pertama yang dijumpai adalah

peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin

dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan TIBC meningkat.

Parameter yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin

dalam serum. Apabila jumlah besi terus menurun maka eritropoesis

semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun,

akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer (iron deficiency

anemia) (Bakta et al, 2014).

Kebutuhan harian zat besi yang digunakan untuk mengganti

zat besi yang dikeluarkan oleh tubuh sangat beragam, tergantung umur

dan jenis kelamin. Kebutuhan terbanyak pada ibu hamil, remaja dan

wanita yang sedang menstruasi dijelaskan pada tabel berikut:

Tabel 2.4 Kebutuhan zat besi setiap hari (mg/hari)

Urin, Keringat, Feses

Haid Kehamilan Pertumbuhan Total

Laki – laki dewasa 0,5 – 1 0,5 – 1

Wanita post-menopause

0,5 – 1 0,5 – 1

Wanita menstruasi 0,5 – 1 0,5 – 1 1 – 2

Ibu hamil 0,5 – 1 1 – 2 1,5 – 3 Anak – anak 0,5 0,6 1,1

Remaja (12 – 15) 0,5 – 1 0,5 – 1 0,6 1,6 – 2,6

Sumber: Hoffbrand, A.V., 2016

2.3.2 Diagnosis

Terdapat 3 tahapan untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi.

Tahap pertama, menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar

hemoglobin atau hematokrit. Tahapan kedua, memastikan adanya

14

defisiensi besi. Tahapan ketiga, menentukan penyebab defisiensi besi

yang terjadi. Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia

defisiensi besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria Kerlin

et al, sebagai berikut:

Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau

MCV <80 fl dan MCHC <31% dengan salah satu dibawah ini

1. Dua dari tiga parameter dibawah ini:

a. Besi serum <50 mg/dl

b. TIBC >350 mg/dl

c. Saturasi transferin <15%,

2. Feritin serum <20 mg/l, atau

3. Pengecatan sumsum tulang menunjukkan cadangan besi negatif,

atau

4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hr selama 4 minggu

disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl (Bakta et al,

2014)

Gejala khas yang dijumpai pada anemia defisiensi besi tetapi

tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah:

1. Koilonychia atau kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh,

bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sengga mirip seperti

sendok.

2. Glositis atau atrofi papil lidah, permukaan lidah menjadi licin dan

mengkilap karena papil lidah menghilang.

15

3. Stomatitis angularis (cheilosis), adanya peradangan pada sudut

mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

4. Pica, keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti

tanah liat, es, lem, dan lain-lain.

5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

6. Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson

Kelly, merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari anemia

hipokromik mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia (Bakta et

al, 2014).

Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboraturium untuk

menegakkan diagnosa pasti anemia defisiensi zat besi, antara lain:

1. Anemia mikrositik hipokromik

2. Gambaran apusan darah meliputi sel hipokromik/ mikrositik,

anisositosis/poikilositosis, sel target dan sel “pensil”

(Sumber: Metha & Hoffbrand, 2012) Gambar 2.4

Hapusan Darah Normal dan Anemia Defisiensi Besi

3. Sumsum tulang – tidak diperlukan untuk diagnosis : eritoblas

memperlihatkan siroplasma iregular kasar; tidak adanya besi dari

simpanan dan eritoblas

16

4. Jumlah trombosit meningkat

5. Feritin serum berkurang, besi serum rendah dengan peningkatan

transferin dan kapasitas pengikat besi tidak jenuh

6. Reseptor transferin yang dapat larut dalam serum meningkat

(Metha & Hoffbrand, 2012).

2.4 Peran Daun Kelor dalam Meningkatkan Kadar Hematokrit

Telah banyak penelitian tentang Moringa oleifera lam. dalam

beberapa tahun terakhir terutama pada tikus. Hasil penelitian in vitro pada

hewan dan manusia membuktikan bahwa semua bagian dari Moringa

oleifera lam. memiliki fungsi baik secara fisiologis maupun farmakologi.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan pada manusia mengindikasikan

bahwa bubuk daun Moringa oleifera lam. yang diberikan secara oral

diketahui berguna sebagai anti-anemia, kemoprotektif, dan efek antioksidan

tanpa menimbulkan efek samping (Fahey, Jed W., 2005).

Daun kelor mempunyai banyak kandungan zat besi (Fe), vitamin C

dan vitamin A sebagai sumber yang berpengaruh terhadap kadar

hemoglobin, hematokrit, dan RBC pada anemia defisiensi besi. Vitamin A

membantu memelihara kesehatan tulang sedangkan vitamin C dapat

mempercepat penyerapan zat besi (Fe) (Krisnadi, 2015).

Penelitian sebelumnya dilakukan pada ibu hamil yang diberikan buah

kiwi sebagai vitamin C dengan diberikan bersamaan dengan suplemen besi

menghasilkan terdapat perbedaan signifikan kenaikan kadar besi dan

hemoglobin. Meningkatnya absorbsi zat besi di dalam tubuh yang dibantu

17

dengan vitamin C, maka kadar hemoglobin dalam darah akan meningkat

(Deck et al, 2011).

Penggunaan vitamin C pada saat konsumsi zat besi juga dapat

menurunkan jumlah total zat besi yang diperlukan untuk mendapatkan

tujuan klinis yang sama. Selain itu dengan menggunakan vitamin C dapat

meningkatkan kelarutan zat besi yang akan berpengaruh terhadap

penyerapan zat besi (Lane et al, 2016).

(Sumber: Jane et al, 2016)

Gambar 2.5 Peran Vitamin C dalam Metabolisme Zat Besi

Kandungan zat besi daun kelor dibantu dengan kandungan vitamin C

dapat mempercepat pengembalian zat besi yang tersimpan dalam tubuh. Zat

besi yang telah disimpan akan digunakan untuk proses eritropoiesis

sehingga eritrosit yang beredar ditubuh akan bertambah (Yulianti H, 2016).

Peran vitamin C dalam metabolism zat besi tidak hanya membantu absorbsi melainkan juga berperan untuk trasnportasi zat besi, eritropoiesis dan penyimpanan zat besi.

18

Zat besi yang terdapat dalam daun kelor akan diserap oleh tubuh

melalui usus duodenum dengan bantuan reseptor DMT1 untuk masuk ke

enterosit. Zat besi akan diteruskan ke ferroportin yang merupakan pintu

keluar menuju cairan interstisial tubuh. Sebelum dilepas ke cairan

interstisial tubuh, zat besi akan di oksidasi menjadi Fe3+ oleh HEPH. Setelah

di oksidasi, zat besi akan dilepas ke cairan interstisial dan berikatan dengan

Transferrin (Metha & Hoffbrand, 2016).

(Sumber: Metha & Hoffbrand, 2016) Gambar 2.6

Sintesis Hemoglobin

Transferin yang membawa zat besi akan masuk ke dalam sel melalui

reseptor. Zat besi akan dilepaskan lalu menuju ke mitokondria yang

merupakan tempat sintesis protoporphyrin. Protoporphyrin bergabung

dengan zat besi dalam bentuk Fe2+ sehingga terbentuk Hemo. Hemo akan

dikeluarkan dari mitokondria untuk bergabung dengan α2β2 globin menjadi

Hemoglobin (Metha & Hoffbrand, 2016).

Zat besi masuk ke dalam mitokondria akan bergabung dengan Protopophyrin sehingga terbentuk Hemo.