bab 2 telaah pustaka -...
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

8
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1 Implementasi Kebijakan Kebijakan (policy) secara etimologi (asal kata)
diturunkan dari bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang
artinya kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan
dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan
pola formal yang sama-sama diterima
pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka
berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam
Syafaruddin, 2008). Abidin (2006) menjelaskan
kebijakan adalah keputusan pemerintah yang bersifat
umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat.
Sumaryadi (2005) menjelaskan bahwa kebijakan publik
pada hakekatnya merupakan suatu keputusan yang
sudah mantap yang menyangkut kepentingan umum,
oleh pejabat-pejabat pemerintah dan instansi-instansi
pemerintah dalam proses penyelenggaraan Negara.
Selanjutnya Sumaryadi mengatakan bahwa keputusan
didasarkan pada pilihan-pilihan atau pertimbangan
dalam rangka mewujudkan suatu tujuan tertentu
dengan menggunakan sarana-sarana yang sesuai.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Wahab
(2004) memberikan definisi kebijakan sebagai pedoman
untuk bertindak. Pedoman ini bisa amat sederhana

9
atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau
sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci,
bersifat kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.
Kebijakan dalam maknanya yang seperti ini mungkin
berupa suatu deklarasi mengenai suatu program,
mengenai aktivitas-aktivitas tertentu atau suatu
rencana.
Anderson dalam Winarno (2012) memberikan
pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan
yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok
pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh
Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk
merealisasikan tujuan dari Negara yang bersangkutan.
Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar
masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat
pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat
yang dicita-citakan (Tilaar dan Nugroho, 2008). Fattah
(2012) menjelaskan bahwa kebijakan publik merujuk
pada semua wilayah tindakan pemerintah yang
membentang dari kebijakan ekonomi hingga kebijakan
yang biasanya merujuk pada rubrik kebijakan sosial
termasuk pendidikan, kesehatan dan wilayah
kesejahteraan lainnya.
Dunn (2000) menjelaskan analisis kebijakan
adalah awal, bukan akhir, dari upaya memperbaiki

10
proses pembuatan kebijakan. Sebelum informasi yang
relevan dengan kebijakan digunakan oleh pengguna
yang dituju, informasi itu harus dirakit kedalam
dokumen yang relevan dengan kebijakan dan
dikomunikasikan dalam berbagai bentuk presentasi.
Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat
dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang
memiliki kewenangan hukum, politis, dan financial
untuk melakukannya. Kebijakan publik berupaya
merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang
berkembang dimasyarakat. Kebijakan publik juga
bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri
dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang
dibuat untuk mencapai tujuan demi kepentingan orang
banyak menurut Young dan Quin dalam Suharto
(2010).
Fattah (2012) mengatakan kebijakan terkait
dengan kebijakan publik (public policies) dan dibuat
atas nama Negara (state) yang dibuat oleh
instrument/alat-alat Negara untuk mengatur perilaku
tiap orang, seperti guru atau siswa dan organisasi,
seperti sekolah dan universitas. Sehingga kebijakan
dalam pendidikan memiliki fungsi yaitu:
1.3.1. Menyediakan akuntabilitas norma budaya
yang menurut pemerintah perlu ada dalam
pendidikan,

11
1.3.2. Melembagakan mekanisme akuntabilitas
untuk mengukur kinerja siswa dan guru.
Carl Friedrich dalam Winarno (2012) mengatakan
kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan
oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-
hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan
yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi
dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud
tertentu.
Implementasi kebijakan pada dasarnya adalah
cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.
Tujuan kebijakan pada prinsipnya adalah untuk
melakukan intervensi. Oleh karena itu implementasi
kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action)
intervensi itu sendiri (Nugroho, 2009).
Ripley dan Franklin dalam Winarno (2012)
berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang
terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang
memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
atau suatu jenis keluaran (benefit), atau suatu jenis
keluaran yang nyata (tangible output). Selanjutnya, van
Meter dan van Horn membatasi implementasi kebijakan
sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
individu-individu (atau kelompok-kelompok)
pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk

12
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Suatu
program kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan
(Winarno, 2012). Menurut Anderson (1979), ada 4
aspek yang perlu dikaji dalam implementasi kebijakan
yaitu: 1. Siapa yang mengimplementasikan; 2. Hakekat
dari proses administrasi; 3. Kepatuhan; dan 4.Dampak
dari pelaksanaan kebijakan.
Menurut Edwards dalam Winarno (2012)
implementasi kebijakan adalah salah satu tahap
kebijakan public, antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat
yang dipengaruhinya. George Edwards mempertegas
bahwa salah satu dampak dari implementasi kebijakan
publik bisa menjadi rangkaian kesalahpahaman dan
penyimpangan terhadap tujuan para pengambil
kebijakan, karena orang-orang yang menentukan
kebijakan-kebijakan publik tidak sama dengan orang-
orang yang mengimplementasikan kebijakan publik
tersebut. Jika kebijakan yang baik diimplementasikan
dengan buruk maka kebijakan tersebut akan gagal
untuk mencapai tujuan para pembuatnya.
Permasalahan yang ada dalam implementasi kebijakan
publik adalah disebabkan adanya kesenjangan antara
kebijakan dan implementasinya. Dalam mengkaji

13
implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni:
1. What is the precondition for successful policy
implementation? (prakondisi-prakondisi apa yang
diperlukan sehingga suatu implementasi
kebijakan berhasil?)
2. What are the primary obstacles to successful policy
implementation? (hambatan-hambatan utama
utama apa yang mengakibatkan suatu
implementasi gagal?)
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut
dengan mengkaji empat faktor atau variabel penting
dari kebijakan public. Factor-faktor atau variable
tersebut yaitu komunikasi, sumber-sumber,
kecenderungan-kecenderungan (disposisi), struktur
birokrasi.
1.1.1.Komunikasi Menurut Edwards komunikasi adalah
penyampaian pesan atau informasi tentang kebijakan
antara pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.
Sedangkan Agustino (2006) menyatakan bahwa
komunikasi merupakan salah-satu variabel penting
yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik,
komunikasi sangat menentukan keberhasilan
pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik.
Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para
pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang

14
akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para
pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui
komunikasi yang baik. Secara umum Edwards
membahas tiga hal penting dalam proses komunikasi
kebijakan yaitu:
1. Transmisi. Faktor pertama yang berpengaruh terhadap
komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum
pejabat dapat mengimplementasikan suatu
keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah
untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan. Hal ini
tidak selalu merupakan proses yang langsung
sebagaimana nampaknya. Banyak sekali
ditemukan keputusan-keputusan tersebut
diabaikan atau jika tidak demikian, seringkali
terjadi kesalahpahaman terhadap keputusan-
keputusan yang dikeluarkan. Penyaluran
komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan
suatu implementasi yang baik pula. Ada
beberapa hambatan yang timbul dalam
mentransmisikan perintah-perintah
implementasi. Pertama, pertentangan pendapat
antara para pelaksana dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini
akan menimbulkan hambatan-hambatan atau

15
distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan.
Hal ini terjadi karena para pelaksana
menggunakan keleluasaan yang tidak dapat
mereka elakkan dalam melaksanakan keputusan-
keputusan dan perintah-perintah umum. Kedua,
informasi melewati berlapis-lapis hierarki
birokrasi. Seperti kita ketahui birokrasi
mempunyai struktur yang ketat dan cenderung
sangat hierarkhis. Kondisi ini sangat
mempengaruhi tingkat efektivitas komunikasi
yang dijalankan. Penggunaan sarana komunikasi
yang tidak langsung dan tidak adanya saluran-
saluran komunikasi yang ditentukan mungkin
juga mendistorsi perintah-perintah pelaksana.
Ketiga, penangkapan komunikasi-komunikasi
mungkin dihambat oleh persepsi yang selektif
dan ketidakmauan para pelaksana untuk
mengetahui persyaratan-persyaratan suatu
kebijakan. Kadang-kadang para pelaksana
mengabaikan apa yang sudah jelas dan mencoba-
coba menduga makna komunikasi-komunikasi
yang “sebenarnya”.
2. Kejelasan. Jika kebijakan-kebijakan diimplementasikan
sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus
diterima dan dipahami oleh para pelaksana

16
kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan
tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-
instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-
pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan
dan bagaimana suatu program dilaksanakan.
Ketidakjelasan pesan komunikasi yang
disampaiakan berkenaan dengan implementasi
kebijakan akan mendorong terjadinya interpretasi
yang salah bahkan mungkin bertentangan
dengan makna pesan awal. Namun demikian
ketidakjelasan pesan komunikasi kebijakan tidak
selalu menghalangi implementasi. Pada tataran
tertentu, para pelaksana membutuhkan
fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Ada
enam faktor yang mendorong terjadinya
ketidakjelasan komunikasi menurut Edwards.
Factor-faktor tersebut adalah kompleksitas
kebijakan publik, keinginan untuk tidak
mengganggu kelompok-kelompok masyarakat,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan, masalah-masalah dalam memulai
kebijakan baru, menghindari
pertanggungjawaban kebijakan, dan sifat
pembentukan kebijakan pengadilan.
3. Konsistensi. Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung
efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan

17
suatu komunikasi harus konsisten dan jelas.
Walaupun perintah-perintah yang disampaikan
kepada para pelaksana kebijakan mempunyai
unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut
bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana menjalankan
tugasnya dengan baik. Disisi lain, perintah-
perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelaksana
mengambil tindakan yang sangat longgar dalam
menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Bila hal ini terjadi, maka akan
berakibat pada keetidakefektifan implementasi
kebijakan karena tindakan yang sangat longgar
besar kemungkinan tidak dapat digunakan untuk
melaksanak tujuan-tujuan kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian Edwards yang
dirangkum dalam Winarno (2005) Terdapat beberapa
hambatan umum yang biasa terjadi dalam transmisi
komunikasi yaitu: Pertama, terdapat pertentangan
antara pelaksana kebijakan dengan perintah yang
dikeluarkan oleh pembuat kebijakan. Pertentangan
seperti ini akan mengakibatkan distorsi dan hambatan
yang langsung dalam komunikasi kebijakan. Kedua,
informasi yang disampaikan melalui berlapis-lapis
hierarki birokrasi. Distorsi komunikasi dapat terjadi
karena panjangnya rantai informasi yang dapat

18
mengakibatkan bias informasi. Ketiga, masalah
penangkapan informasi juga diakibatkan oleh persepsi
dan ketidakmampuan para pelaksana dalam
memahami persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.
Menurut Winarno (2005) Faktor-faktor yang mendorong
ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan
publik biasanya karena kompleksitas kebijakan,
kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan
kebijakan publik, adanya masalah-masalah dalam
memulai kebijakan yang baru serta adanya
kecenderungan menghindari pertanggungjawaban
kebijakan. Lalu bagaimana menjabarkan distori atau
hambatan komunikasi? Proses implementasi kebijakan
terdiri dari berbagai aktor yang terlibat mulai dari
manajemen puncak sampai pada birokrasi tingkat
bawah. Komunikasi yang efektif menuntut proses
pengorganisasian komunikasi yang jelas ke semua
tahap tadi. Jika terdapat pertentangan dari pelaksana,
maka kebijakan tersebut akan diabaikan dan
terdistorsi. Untuk itu, Winarno (2005) menyimpulkan
semakin banyak lapisan atau aktor pelaksana yang
terlibat dalam implementasi kebijakan, semakin besar
kemungkinan hambatan dan distorsi yang dihadapi.
Dalam mengelola komunikasi yang baik perlu dibangun
dan dikembangkan saluran-saluran komunikasi yang
efektif. Semakin baik pengembangan saluran-saluran
komunikasi yang dibangun, maka semakin tinggi

19
probabilitas perintah-perintah tersebut diteruskan
secara benar.
Edwards (Winarno, 2005) berpendapat bahwa
faktor kejelasan menjadi penting dalam proses
implementasi kebijakan dan tidak adanya pemaknaan
yang membingungkan atau ambigu. Kejelasan tidak
identik dengan informasi yang berlebihan yang dapat
menghilangkan fleksibiltas dan akan berujung pada
kebijakan menjadi kaku.
Konsistensi menjadi faktor dalam proses
implementasi kebijakan. Faktor ini mengandung makna
bahwa implementasi kebijakan yang berupa perintah-
perintah harus konsisten dan jelas. Perintah-perintah
yang dijalankan meskipun memiliki unsure kejelasan,
namun jika tidak dilakukan secara konsisten, maka
perintah tersebut akan menyulitkan pelaksana
kebijakan dalam menjalankan perintah kebijakan itu
sendiri.
1.1.2.Sumber Daya Syarat berjalannya suatu organisasi adalah
kepemilikan terhadap sumberdaya atau dengan kata
lain efektifitas kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan
tidak akan berjalan secara baik ketika tidak didukung
oleh potensi-potensi sumber daya yang tidak tersedia.
Menurut Edwards dalam Agustino (2006), sumber daya
merupakan hal penting dalam implementasi kebijakan
yang baik. Sumber-sumber yang penting tersebut

20
meliputi staf yang memadai serta keahlian-keahlian
yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas mereka,
wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul diatas kertas guna
melaksanakan pelayanan-pelayanan publik (Winarno,
2012).
1. Staf. Sumber daya utama dalam implementasi
kebijakan adalah staf atau pegawai (street-level
bureaucrats). Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan, salah-satunya
disebabkan oleh staf/pegawai yang tidak cukup
memadai, mencukupi, ataupun tidak kompeten
dalam bidangnya. Penambahan jumlah staf dan
implementor saja tidak cukup menyelesaikan
persoalan implementasi kebijakan, tetapi
diperlukan sebuah kecukupan staf dengan
keahlian dan kemampuan atau keterampilan
yang diperlukan dalam mengimplementasikan
kebijakan. Jumlah staf yang banyak tidak secara
otomatis mendorong implementasi yang berhasil.
Kurangnya personil yang terlatih dengan baik
akan dapat menghambat pelaksanaan kebijakan-
kebijakan yang menjangkau banyak pembaruan.
2. Informasi. Informasi merupakan sumber penting yang
kedua dalam implementasi kebijakan. Informasi

21
mempunyai dua bentuk yaitu: pertama, informasi
yang berhubungan dengan cara melaksanakan
kebijakan. Pelaksana-pelaksana perlu
mengetahui apa yang dilakukan dan bagaimana
mereka harus melakukannya. Kedua, informasi
mengenai data kepatuhan dari para pelaksana
terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang
telah ditetapkan. Pelaksana-pelaksana harus
mengetahui apakah orang-orang lain yang
terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati
undang-undang ataukah tidak. Informasi
mengenai program-program adalah penting
terutama bagi kebijakan-kebijakan baru atau
kebijakan-kebijakan yang melibatkan persoalan-
persoalan teknis seperti misalnya kebijakan
mengenai otonomi daerah dan rumah sakit
swadana. Kegiatan-kegiatan rutin seperti
membagi dana, membangun jalan-jalan,
mempekerjakan pengetik, atau membeli barang-
barang relative langsung dalam pelaksanaannya,
dan informasi tentang bagaimana melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut. Kurangnya
pengetahuan tentang bagaimana
mengimplementasikan kebijakan beberapa
konsekuensi secara langsung. Pertama, beberapa
tanggung jawab secara sungguh-sungguh tidak
akan dapat dipenuhiatau tidak dapat dipenuhi

22
tepat pada waktunya. Kedua, ketidakefisien.
Kebijakan yang tidak tepat menyebabkan unit-
unit pemerintahan lain atau organisasi-organisasi
dalam sektor swasta membeli perlengkapan,
mengisi formulir, atau menghentikan kegiatan-
kegiatan yang tidak diperlukan. Selain itu,
implementasi kebijakan membutuhkan informasi
tentang ketaatan dari organisasi-organisasi atau
individu-individu dengan hukum. Akan tetapi
data tentang ketaatan sulit diperoleh disebabkan
kurangnya staf yang mampu memberikan
informasi mengenai ketidaktaatan hukum yang
mungkin dilakukan.
3. Wewenang. Pada umumnya kewenangan harus bersifat
formal agar perintah dapat dilaksanakan secara
efektif. Kewenangan merupakan otoritas atau
legitimasi bagi para pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara
politik. Ketika wewenang tidak ada, maka
kekuatan para implementor di mata publik tidak
dilegitimasi, sehingga dapat menggagalkan
implementasi kebijakan publik. Tetapi dalam
konteks yang lain, ketika wewenang formal
tersedia, maka sering terjadi kesalahan dalam
melihat efektivitas kewenangan. Di satu pihak,
efektivitas kewenangan diperlukan dalam

23
implementasi kebijakan; tetapi di sisi lain,
efektivitas akan menyurut manakala wewenang
diselewengkan oleh para pelaksana demi
kepentingannya sendiri atau kelompoknya.
Wewenang ini akan berbeda-beda dari satu
program ke program yang lain serta mempunyai
banyak bentuk yang berbeda seperti misalnya
hak untuk mengeluarkan surat panggilan untuk
datang ke pengadilan, mengajukan masalah-
masalah ke pengadalin, mengeluarkan perintah
kepada para pejabat lain, menarik dana dari
suatu program, menyediakan dana, staf dan
bantuan teknis kepada pemerintah daerah,
membeli barang-barang dan jasa, atau
memungut pajak. Linblom dalam Winarno (2012)
menyatakan bahwa kewenangan dapat dipahami
dengan sebaik-baiknya kalau kita mengenal dua
jalur dimana berbagai orang menggunakan
metode kontrol. Pada jalur pertama, setiap kali
bila seseorang ingin menggunakan berbagai
metode kontrol, ia menerapkan berbagai metode
kontrol (antara lain persuasi, ancaman, dan
tawaran keuntungan) terhadap orang-orang yang
dikontrolnya. Pada jalur kedua, pihak pengontrol
hanya kadang-kadang saja menggunakan
metode-metode itu untuk membujuk orang-orang
yang dikontrolnya agar mentaati peraturan yang

24
ada bahwa mereka harus tunduk terhadapnya.
Untuk jalur kedua ini Linblom menegaskan
bahwa hanya jalur kedua yang menetapkan
kewenangan. Jika saya mentaati peraturan untuk
tunduk kepada anda, maka anda mempunyai
kewenangan terhadap saya. Dengan demikian
merujuk pada jalur kedua maka kontrol tidak
berarti kewenangan, sebab kewenangan ada
hanya jika satu pihak bersepakat terhadap
dirinya sendiri untuk mentaati aturan yang
dikemukan oleh pihak lain. Dari sini lantas
Linblom mengemukakan ciri-ciri kewenangan,
yakni: kewenangan selalu bersifat khusus,
kewenangan, baik sukarela maupun paksaan,
merupakan konsesi dari mereka yang bersedia
tunduk; kewenangan itu rapuh dan yang terakhir
kewenangan diakui karena berbagai sebab.
Menurut Linblom, sebab-sebab kewenangan
terdiri dari dua hal pokok, yakni: pertama,
sebagian orang beranggapan bahwa mereka lebih
baik jika ada seseorang yang memerintah. Kedua,
kewenangan mungkin juga ada karena adanya
ancaman, terror, dibujuk, diberi keuntungan dan
lain sebagainya.
4. Fasilitas. Fasilitas fisik bisa pula merupakan sumber-
sumber penting dalam implementasi kebijakan.

25
Seorang pelaksana mungkin mempunyai staf
yang mencukupi, memahami apa yang dilakukan,
dan mungkin mempunyai wewenang untuk
melaksanak tugasnya, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) atau
kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa
perlengkapan, tanpa pembekalan, maka besar
kemungkinan implementasi yang direncakan
tidak akan berhasil. Sebagai contoh,
implementasi kebijakan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan sekolah dasar tidak akan
berhasil, jika tidak dilengkapi dengan gedung
sekolah yang memadai, buku-buku sebagai
bahan pelajaran, kurangnya tenaga pendidikan
dan lain sebagainya. Dengan demikian fasilitas
sangat diperlukan untuk implementasi kebijakan
yang efektif. Namun penyedian fasilitas bagi
implementasi kebijakan yang efektif tidaklah
selalu mudah.
1.1.3.Kecenderungan-kecenderungan Menurut Edwards dalam Winarno (2005)
mengemukakan kecenderungan-kecenderungan atau
disposisi merupakan salah-satu faktor yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi
kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana mempunyai
kecenderungan atau sikap positif atau adanya
dukungan terhadap implementasi kebijakan maka

26
terdapat kemungkinan yang besar implementasi
kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan
awal. Demikian sebaliknya, jika para pelaksana
bersikap negatif atau menolak terhadap implementasi
kebijakan karena konflik kepentingan maka
implementasi kebijakan akan menghadapi kendala
yang serius. Bentuk penolakan dapat bermacam-
macam seperti yang dikemukakan Edwards tentang
”zona ketidakacuhan”. Ada kebijakan yang
dilaksanakan secara efektif karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun
kebijakan-kebijakan lain mungkin akan berttentangan
secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan-kepentingan
pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Menurut pendapat Van Metter dan Van Horn
dalam Agustinus (2006) menyatakan sikap penerimaan
atau penolakan dari agen pelaksana kebijakan sangat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan
implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin
terjadi karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah
hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul
permasalahan dan persoalan yang mereka rasakan.
Tetapi kebijakan publik biasanya bersifat top down
yang sangat mungkin para pengambil keputusan tidak
mengetahui bahkan tak mampu menyentuh

27
kebutuhan, keinginan atau permasalahan yang harus
diselesaikan.
Faktor-faktor yang menjadi perhatian Edwards
dalam Winarno (2012) mengenai kecenderungan-
kecenderungan dalam implementasi kebijakan terdiri
dari:
1. Pengangkatan birokrasi. Kecenderungan-kecenderunga (disposisi) atau
sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-
hambatan yang nyata terhadap implementasi
kebijakan, bila personel yang ada tidak
melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh
pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu,
pengangkatan dan pemilihan personel
pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang
memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan
warga masyarakat.
2. Insentif Menurut Edwards salah-satu teknik yang
disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi
insentif. Pada dasarnya orang bergerak
berdasarkan kepentingan dirinya sendiri, maka
memanipulasi insentif oleh para pembuat
kebijakan mempengaruhi tindakan para
pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah

28
keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan
menjadi faktor pendorong yang membuat para
pelaksana menjalankan perintah dengan baik.
Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan pribadi atau organisasi.
1.1.4.Struktur Birokrasi Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang
paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi
pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau
tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan
masalah-masalah social dalam kehidupan modern.
Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur
pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi
swasta, institusi pendidikan dan kadangkala suatu
system birokrasi sengaja diciptakan untuk
menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan
Franklin dalam Winarno (2012) mengidentifikasi enam
karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan
terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:
1. Birokrasi dimanapun berada, dipilih sebagai
instrument social yang ditujukan untuk
menangani masalah-masalahh yang
didefenisikan sebagai urusan politik.
2. Birokrasi merupakan institusi yang dominan
dalam implementasi kebijakan publik yang

29
mempunyai kepentingan yang berbeda-beda
dalam setiap hierarkinya.
3. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang
berbeda.
4. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang
kompleks dan luas.
5. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang
tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi
yang mati.
6. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dalam
pilihan-pilihan kebijakan mereka, tidak juga
dalam kendali penuh dari pihak luar dirinya.
Otonomi yang mereka miliki membuat mereka
mempunyai kesempatan untuk melakukan tawar
menawar guna meraih pembagian yang dapat diukur
dari pilihan-pilihan yang mereka ambil. Menurut
Edwars ada dua karakteristik utama dari birokrasi,
yakni prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar
atau sering disebut sebagai standart operating
procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama
berkembang sebagai tanggapan internal dari para
pelaksana serta keinginan untuk keseragaman dalam
bekerjanya organisasi-organisasi yang kompleks dan
tersebar luas. Yang kedua,berasal terutama dari
tekanan-tekanan diluar unit birokrasi, seperti komite-
komite legislative, kelompok-kelompok kepentingan,
pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi Negara dan sifat

30
kebijakan yang memengaruhi organisasi birokrasi-
birokrasi pemerintah.
1. Pengaruh struktur organisasi bagi implementas (SOP)
Struktur organisasi-organisasi yang
melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh penting
pada implementasi. Salah satu dari aspek-aspek
struktural paling dasar dari suatu organisasi adalah
prosedur-prosedur kerja ukuran dasarnya (standard
operating procedures, SOP). Prosedur-prosedur biasa
digunakan dalam menanggulangi keadaan-keadaan
umum digunakan dalam organisasi-organisasi publik
dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para
pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia.
Selain itu, SOP juga menyeragamkan tindakan-
tindakan dari para pejabat dalam organisasi-organisasi
yang komplek dan tersebar luas, yang pada gilirannya
dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar (orang
dapat dipindahkan dengan mudah dari suatu tempat
ketempat yang lain) dan kesamaan besar dalam
penerapan peraturan-peraturan.
SOP sangat mungkin menghalangi implementasi
kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan cara-
cara kerja baru atau tipe-tipe personil baru untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan. Disamping itu,
semakin besar kebijakan membutuhkan perubahan
dalam cara-cara yang lazim dari suatu organisasi,

31
semakin besar pula probablitis SOP menghambat
implementasi. Birokrasi-birokrasi dimana SOP tidak
sangat melekat-apakah karena badan yang baru atau
tingkat pergantian personil yang tinggi mungkin lebih
tanggap terhadap kebutuhan bagi cara-cara yang lazim
untuk implementasi. Sementara itu waktu yang lama
dan perilaku yang ditentukan dengan jelas dalam
undang-undang mungkin membantu dalam mengatasi
cara-cara lazim birokrasi yang tidak semestinya.
Namun demikian, disamping menghambat
implementasi kebijakan SOP juga mempunyai manfaat.
Organisasi-organisasi dengan prosedur-prosedur
perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas
program-program yang luwes mungkin lebih dapat
menyesuaikan tanggung jawab yang baru ketimbang
birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti
ini.
2. Fragmentasi Sifat kedua dari struktur birokrasi yang
berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah
fragmentasi organisasi. Tanggung jawab bagi suatu
bidang kebijakan sering tersebar diantara beberapa
organisasi, seringkali pula terjadi desentralisasi
kekuasaan tersebut dilakukan secara radikal guna
mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Konsekuensi yang
paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha
untuk menghambat koordinasi. Para birokrat karena

32
alsan-alasan prioritas dari badan-badan yang berbeda,
mendorong para birokrat ini untuk menghindari
koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal,
penyebaran wewenang dan sumber-sumber untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks
membutuhkan koordinasi. Hambatan ini diperburuk
oleh struktur pemerintah yang terpecah-pecah. Pada
umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang
kemungkinan untuk berhasil.
Fragmentasi mengakibatkan pandangan-
pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi.
Hal ini akan menimbulkan dua konsekuensi pokok
yang merugikan bagi implementasi yang berhasil.
Pertama, tidak ada orang yang akan mengakhiri
implementasi kebijakan dengan melaksanakan fungsi-
fungsi tertentu karena tanggung jawab bagi suatu
bidang kebijakan terpecah-pecah. Disamping itu karena
masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang
terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang
penting mungkin akan terdampar antara reak-retak
struktur organisasi. Kedua, pandangan-pandangan
yang sempit dari badan mungkin juga akan
menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai
fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka
badan itu akan berusaha mempertahankan esensinya

33
dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-
kebijakan baru yang membutuhkan perubahan.
Komunikasi
Sumberr-sumber
Implementasi
Kecenderungan-kecenderungan
Struktur Birokrasi
Gambar 2.1. Dampak Langsung dan Tidak Langsung
pada Implementasi
2.2 Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pendanaan bagi Perluasan Akses Pendidikan
Pembangunan sistem pendidikan nasional adalah
suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri,
dan modern (Fattah, 2012). Pendidikan pada
hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan diluar
sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh
karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh
rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing
individu, maka pendidikan adalah tanggung jawab
keluarga, masyarakat dan pemerintah (Gunawan,

34
1991). Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
adalah usaha pemerintah untuk memecahkan suatu
masalah dalam bidang pendidikan sehingga bisa
mencapai tujuan yang diinginkan dalam pendidikan.
Kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses
dan hasil perumusan visi, misi pendidikan dalam
rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan
pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu
kurun waktu tertentu (Tilaar dan Nugroho, 2008).
Sebagaimana di kemukakan oleh Mark Olsen & Anne-
Maie O’Neil kebijakan pendidikan merupakan kunci
bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara dalam
persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu
mendapatkan prioritas utama dalam era globalisasi.
Salah satu argument utamanya adalah bahwa
globalisasi membawa nilai demokrasi. Demokrasi yang
memberikan hasil adalah demokrasi yang didukung
oleh pendidikan (Nugroho, 2008). Marget E. Goertz
mengemukakan bahwa kebijakan pendidikan
berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran
pendidikan (Nugroho, 2008).
Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
terlihat ketika pendidikan berada pada prioritas
pertama dengan mengalokasikan anggaran terbesar
dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor yang
memang perlu diprioritaskan negara karena menyentuh
langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat

35
dengan pembangunan Sumber Daya Manusia masa
depan. Pemerintah juga melalui Undang Undang Dasar
1945 (UUD 1945) ayat (4) menugaskan negara untuk
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan
daerah (APBD) untuk mememenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional. Dalam upaya
meningkatan aksesibilitas dan mutu pendidikan
nasional, sejak beberapa tahun lalu pemerintah
mengeluarkan kebijakan dan telah mengucurkan
bantuan dana pembangunan pendidikan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang Pendidikan. DAK
Bidang Pendidikan Dasar juga merupakan salah satu
sumber dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang
dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai
kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program
yang menjadi prioritas Nasional, khususnya untuk
membiayai kebutuhan sarana dan prasarana satuan
pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun yang belum
mencapai standar tertentu atau percepatan
pembangunan daerah di bidang pendidikan dasar.
Kebijakan DAK Bidang Pendidikan Dasar tahun 2013
ada untuk: 1. DAK Bidang Pendidikan Dasar dialokasikan
untuk mendukung penuntasan program wajib

36
belajar pendidikan dasar 9 (Sembilan) tahun yang
bermutu dan merata dalam rangka memenuhi
Standar Pelayanan Minimum dan secara
bertahap memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
2. Sasaran program DAK Bidang Pendidikan Dasar
untuk SD/SDLB dan SMP/SMPLB baik negeri
maupun swasta.
3. Alokasi DAK Bidang Pendidikan Dasar per daerah
dan pedoman umum DAK ditetapkan oleh
Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2012
tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana
Alokasi Khusus (DAK) Tahun Anggaran 2013.
4. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar Jenjang
SD/SDLB diarahkan untuk:
a. rehabilitasi ruang kelas rusak sedang
b. pembangunan perpustakaan
c. pengadaan peralatan pendidikan
1. peralatan pendidikan Matematika;
2. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA);
3. peralatan pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS);
4. peralatan pendidikan Bahasa;
5. peralatan Pendidikan Jasmani, Olahraga,
dan Kesehatan; dan/atau

37
6. peralatan pendidikan Seni Budaya dan
Keterampilan
5. Kegiatan DAK bidang pendidikan Dasar jenjang
SMP/SMPLB diarahkan untuk:
a. Penggandaan dan distribusi buku teks
pelajaran sesuai kurikulum 2013 sehingga
seluruh peserta didik kelas VII terpenuhi
kebutuhan bukunya.
b. Rehabilitasi ruang beajar dengan tingkat
kerusakan paling rendah rusak sedang,
pembangunan ruang kelas baru,
pembangunan perpustakaan,
pembangunan ruang belajar lainnya.
c. Pengadaan peralatan pendidikan yang
terdiri dari peralatan IPS , Matematika,
peralatan laboratorium IPA, peralatan
laboratorium Bahasa, dan peralatan olah
raga. (Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan)
6. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK
Bidang Pendidikan Dasar untuk SD/SDLB
adalah:
1. Tercapainya kebutuhan ruang kelas yang
layak;
2. Tersedianya ruang perpustakaan beserta
perabotnya; dan

38
3. Tersedianya peralatan pendidikan yang
memadai.
7. Target yang akan dicapai dalam kegiatan DAK
Bidang Pendidikan Dasar untuk SMP/SMPLB
adalah:
1. Tersedianya buku teks pelajaran sesuai
kurikulum 2013 sehingga seluruh peserta
didik kelas VII terpenuhi kebutuhan
bukunya;
2. Bertambahnya ruang belajar dalam kondisi
layak sebagai tempat terselenggaranya
proses belajar mengajar;
3. Bertambahnya ruang kelas baru (RKB)
beserta perabotnya; dan
4. Bertambahnya sarana pendidikan
penunjang peningkatan mutu pendidikan.
Selain itu pemerintah juga mengeluarkan
kebijakan melalui program dana Bantuan Oprasional
Sekolah (BOS) sebagai upaya untuk memperbaiki mutu
pendidikan di Indonesia. Menurut peraturan
mendiknas nomor 69 tahun 2009, standar biaya
operasi nonpersonalia adalah standar biaya yang
diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi
nonpersonalia selama satu tahun sebagai bagian dari
keseluruhan dana pendidikan agar satuan pendidikan
dapat melakukan kegiatan pendidikan secara teratur
dan berkelanjutan sesuai standar nasional pendidikan.

39
Program BOS adalah program pemerintah yang pada
dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya
operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar
sebagai pelaksana program wajib belajar, dan
meningkatkan fasilitas pendidikan seperti
pembangunan gedung sekolah dan beberapa sarana
prasarana pendukung lainnya. Menurut PP 48 Tahun
2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, biaya non
personalia adalah biaya untuk bahan atau peralatan
pendidikan habis pakai, dan biaya tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana
dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi,
pajak dll. Namun demikian, ada beberapa jenis
pembiayaan investasi dan personalia yang
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS.
Secara umum program BOS bertujuan untuk
meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan
pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang
bermutu. Secara khusus memiliki tujuan untuk
membebaskan pungutan bagi seluruh siswa SD/SLB
negeri dan SMP/SMPT negeri terhadap biaya operasi
sekolah, membebaskan pungutan seluruh siswa miskin
dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun baik
disekolah negeri maupun swasta, meringankan beban
biaya operasi sekolah bagi siswa disekolah swasta. Hal
ini merupakan kebijakan yang sudah diberikan oleh

40
pemerintah bagi kemajuan tingkat pendidikan dan
akses pendidikan di Negara Indonesia.
Sasaran program BOS adalah semua sekolah
SD/SDLB dan SMP/SMPLB/SMPT, termasuk SD-SMP
Satu Atap (SATAP) dan Tempat Kegiatan Belajar
Mandiri (TKB Mandiri) yang diselenggarakan oleh
masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh
provinsi di Indonesia.
2.3 Perluasan Akses Pendidikan Sejak tujuan Negara Indonesia yang tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara
Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang
bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang
dimilikinya tanpa memandang status sosial,ras,
agama,dan gender maka pemerintah telah menetapkan
Misi Departemen Pendidikan Nasional yaitu sebagai
berikut:
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi
Pendidikan Nasional adalah
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan yang
bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia
2. Membantu dan memfasilitasi pengembangan
potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini

41
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan
masyarakat belajar;
3. Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas
proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral;
4. Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas
lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan
ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman,
sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional
dan global; dan
5. Memberdayakan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip
otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Untuk mewujudkan misi tersebut, Depdiknas
menetapkan beberapa strategi dan program yang
disusun berdasarkan suatu skala prioritas. Salah satu
bentuk dari prioritas tersebut adalah penggunaan dana
APBN/APBD dan dana masyarakat yang lebih
ditekankan pada tiga pilar kebijakan pendidikan yaitu:
1. Upaya pemerataan dan perluasan akses
pendidikan;
2. Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing
keluaran pendidikan; dan
3. Peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra
publik pengelolaan pendidikan. (RENSTRA
Departemen Pendidikan Nasional 2005-2009)

42
Pilar pertama yaitu mengenai upaya pemerataan
dan perluasan akses pendidikan adalah hal yang akan
diteliti. Deklarasi dunia tentang Pendidikan Untuk
Semua (PUS) atau Education For All (EFA) yang
diselenggarakan di Dakar, Senegal pada tanggal 26-28
april 2000 menyebutkan bahwa menjelang tahun 2015
setiap Negara akan menjamin semua anak, khususnya
anak perempuan, anak-anak dalam keadaan sulit dan
mereka termasuk minoritas etnik, mempunyai akses
dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bebas dan
wajib dengan kualitas baik (Fattah, 2012). Perluasan
akses pendidikan sangat diperlukan untuk membangun
mutu pendidikan yang lebih baik, membangun
pemahaman manusia mengenai pentingnya pendidikan.
Pemerataan dan perluasan akses pendidikan diarahkan
pada upaya memperluas daya tampung satuan
pendidikan serta memberikan kesempatan yang sama
bagi semua peserta didik dari berbagai golongan
masyarakat yang berbeda baik secara social, ekonomi,
gender, lokasi tempat tinggal dan tingkat kemampuan
intelektual serta kondisi fisik. Kebijakan ini ditujukan
untuk meningkatkan kapasitas penduduk Indonesia
untuk dapat belajar sepanjang hayat dalam rangka
peningkatan daya saing bangsa di era global, serta
meningkatkan peringkat indek pembangunan daya
saing bangsa era global serta meningkatkan peringkat
indeks pembangunan manusia hingga mencapai posisi

43
sama dengan atau lebih baik dari IPM sebelum krisis
(Renstra Depdiknas).
Pendidikan adalah alat dan sarana untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang
siap untuk terjun langsung dalam dunia kerja sebagai
pribadi yang handal dan terampil. Karena begitu
pentingnya pendidikan maka diamanatkan dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa serta bercermin pada
UUD 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa
tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan,
dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan
undang-undang. Pendidikan disediakan dan
dikeluarkan oleh pemerintah agar supaya seluruh
lapisan masyarakat di negeri ini tanpa terkecuali bisa
membangun kapasitas diri menjadi lebih baik.
Masyarakat Indonesia diberikan hak sepenuhnya untuk
dapat mengenyam pendidikan. Hal tersebut tertuang
pada batang tubuh UUD pasal 31 tahun 1945 yang
dengan tegas lagi menyatakan (1) setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan, dan pasal (2) setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Dengan adanya

44
kebijkan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah,
bukan menjadi alasan biaya pendidikan yang mahal
sebagai penghambat masyarakat tidak mengambil
bagian untuk bersekolah dan memperoleh pendidikan,
karena UUD sudah menegaskan bahwa pemerintah
membiayai masyarakat untuk bersekolah dan
mengenyam pendidikan. Namun yang terjadi dinegeri
ini adalah 1,08 juta siswa (2,05%) putus sekolah dan
3,03 juta lulusan SD sampai SMP tidak bisa
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi
karena alasan faktor ekonomi, disampaikan oleh
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh kepada
Kompas, Rabu (27/7/2011) di Jakarta.
Akses pendidikan yang kurang baik adalah salah
satu penyebab pemerataan pendidikan masih rendah.
Akses pendidikan dalam hal ini meliputi sarana
prasarana yang kurang memadai, jarak tempuh antara
rumah-sekolah, pembagian guru tidak merata antara
desa dan kota, akses terhadap layanan pendidikan
masih terbatas dan tidak merata, kesenjangan gender
yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan
faktor ekonomi, kesadaran orang tua untuk mendorong
anak-anak mereka bersekolah, masih meningkatnya
angka melek aksara yang disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu 1) masih terjadinya anak putus sekolah,
khususnya pada kelas-kelas rendah di SD dan yang
kemudian sebagian besar akan menjadi buta aksara, 2)

45
sebagian dari aksarawan baru akan kembali menjadi
buta aksara (relapse illiteracy) karena kemampuan
literasi yang dimiliki tidak digunakan lagi, 3)
menurunnya perhatian pemerintah daerah dan
masyarakat terhadap upaya pemberantasan buta
aksara (Renstra Depdiknas).
Beberapa kebijakan strategis yang disusun dalam
rangka memperluas pemerataan dan akses pendidikan
adalah sebagai berikut:
a. Memperluas akses bagi anak usia 0-6 tahun,
baik laki-laki maupun perempuan untuk
memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang
secara optimal sesuai potensi yang dimiliki dan
tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan
dalam mengikuti pendidikan di SD/MI.
b. Menghapus hambatan biaya (cost barries )
melalui pemberian bantuan operasional sekolah
(BOS) bagi semua siswa pada jenjang Dikdas baik
pada sekolah umum maupun madrasah yang
dimiliki oleh pemerintah atau masyarakat, yang
besarnya dihitung berdasarkan per siswa
dikalikan dengan jumlah seluruh siswa pada
jenjang tersebut. Di samping itu, dilakukan
kebijakan pemberian bantuan biaya personal
terutama bagi siswa yang berasal dari keluarga
miskin pada jenjang Dikdas melalui pemanfaatan
BOS untuk tujuan tersebut. Secara bertahap

46
BOS akan dikembangkan menjadi dasar untuk
penentuan satuan biaya pendidikan berdasarkan
formula (formula based funding) yang
memperhitungkan siswa miskin maupun kaya
serta tingkat kondisi ekonomi daerah setempat.
c. Membentuk “SD-SMP satu atap ”bagi daerah
terpencil yang berpenduduk jarang dan
terpencar, dengan menambahkan ruang belajar
SMP di SD untuk menyelenggarakan program
pendidikan SMP bagi lulusannya. Untuk
mengatasi kesulitan tenaga pengajar dalam
kebijakan ini dapat dilakukan dengan
memanfaatkan guru SD untuk mengajar di SMP
pada beberapa mata pelajaran yang relevan atau
dengan meningkatkan kompetensi guru sehingga
dapat mengajar di SMP. Selain itu, dilakukan
upaya memaksimalkan fasilitas yang sudah ada,
baik ruang kelas maupun bangunan sekolah
dengan membuat jaringan sekolah antara SMP
dengan SD-SD yang ada di wilayah layanannya
(catchment areas) serta menggabungkan SD-SD
yang sudah tidak efisien lagi.
d. Memperluas akses bagi anak usia sekolah 7-15
tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak/belum terlayani di jalur pendidikan formal
untuk memiliki kesempatan mendapatkan
layanan pendidikan di jalur nonformal maupun

47
program pendidikan terpadu/ inklusif bagi anak-
anak yang berkebutuhan khusus terutama untuk
daerah-daerah yang tidak tersedia layanan
pendidikan khusus luar biasa. Di samping itu,
untuk memperluas akses bagi penduduk usia 13-
15 tahun dikembangkan SMP Terbuka melalui
optimalisasi daya tampung dan pengembangan
SMP Terbuka model maupun melalui model
layanan pendidikan alternatif yang inovatif.
e. Memperluas akses bagi penduduk buta aksara
usia 15 tahun ke atas baik laki-laki maupun
perempuan untuk memiliki kesempatan
mendapatkan layanan pendidikan keaksaraan
melalui jalur pendidikan nonformal. Perluasan
kesempatan bagi penduduk buta aksara
dilakukan dengan menjalin berbagai kerjasama
dengan pendidikan, seperti organisasi
keagamaan, organisasi perempuan, dan
organisasi lain yang dapat menjangkau lapisan
masyarakat, serta PT.
f. Memfasilitasi peran serta masyarakat dalam
memperluas akses sekolah menengah (SM),
khususnya pada daerah-daerah yang memiliki
lulusan SMP cukup besar. Di sisi lain, juga
mengembangkan SM terpadu, yaitu pendidikan
yang menyelenggarakan pendidikan umum dan
kejuruan dalam satu satuan pendidikan. Bagi

48
siswa yang berkebutuhan khusus, dilakukan
kebijakan strategis dalam melaksanakan program
pendidikan inklusif.
g. Memperluas akses terhadap pendidikan di SMK
sesuai dengan kebutuhan dan keunggulan lokal.
Perluasan SMK ini dilaksanakan melalui
penambahan program pendidikan kejuruan yang
lebih fleksibel sesuai dengan tuntutan pasar
kerja yang berkembang. Disamping itu,
dilakukan upaya penambahan muatan
pendidikan keterampilan di SMA bagisiswa yang
akan bekerja setelah lulus.
h. Memperluas daya tampung PT yang ada dengan
memberikan fasilitasi pada perguruan tinggi
untuk membuka program-program keahlian yang
dibutuhkan masyarakat dan mengalihfungsikan
atau menutup sementara secara fleksibel
program-program yang lulusannya sudah jenuh.
i. Memperluas kesempatan belajar pada perguruan
tinggi yang lebih dititikberatkan pada
program-program politeknik, pendidikan tinggi
vokasi dan profesi yang berorientasi lebih besar
pada penerapan teknologi tepat guna untuk
kebutuhan dunia kerja.
j. Memperluas kesempatan belajar sepanjang hayat
bagi penduduk dewasa yang ingin meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan kecakapan

49
hidup yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat melalui program-program pendidikan
berkelanjutan. Perluasan kesempatan belajar
sepanjang hayat dapat juga dilakukan dengan
mengoptimalkan berbagai fasilitas pendidikan
formal yang sudah ada sebagai bagian dari
harmonisasi pendidikan formal dan nonformal.
k. Memperhatikan secara khusus kesetaraan
gender, pendidikan untuk layanan khusus
didaerah terpencil dan daerah tertinggal, daerah
konflik, perbatasan, dan lain-lain serta
mengimplementasikannya dalam berbagai
program secara terpadu.
l. Melaksanakan komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE), serta advokasi kepada masyarakat
agar keluarga makin sadar akan pentingnya
pendidikan serta mau mengirimkan anak-
anaknya ke sekolah dan/atau mempertahankan
anaknya untuk tetap bersekolah.
m. Melaksanakan advokasi bagi pengambil
keputusan, baik di eksekutif maupun legislative
dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
untuk memberikan perhatian yang lebih besar
pada pembangunan pendidikan.
n. Memanfaatkan secara optimal sarana radio,
televisi, komputer dan perangkat TIK lainnya
untuk digunakan sebagai media pembelajaran

50
dan untuk pendidikan jarak jauh sebagai sarana
belajar alternatif selain menggunakan modul atau
tutorial, terutama bagi daerah terpencil dan
mengalami hambatan dalam transportasi, serta
jarang penduduk. (RENSTRA Departemen
Pendidikan Nasional 2005-2009)