bab 2 morbili
Embed Size (px)
DESCRIPTION
teoriTRANSCRIPT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MORBILI
Angka kejadian campak di Indonesia sejak tahun 1990 sampai 2002 masih tinggi sekitar
3000-4000 per tahun demikian pula frekuensi terjadinya kejadian luar biasa tampak meningkat
dari 23 kali per tahun menjadi 174. Namun case fatality rate telah dapat diturunkan dari 5,5%
menjadi 1,2%.
Transmisi campak terjadi melalui udara, kontak langsung maupun melalui droplet dari
penderita saat gejala yang ada minimal bahkan tidak bergejala. Penderita masih dapat
menularkan penyakitnya mulai hari ke-7 setelah terpajan hingga 5 hari setelah ruam muncul.
Biasanya seseorang akan mendapat kekebalan seumur hidup bila telah sekali terinfeksi oleh
campak.
Sebelum penggunaan vaksin campak, puncak insiden pada umur 5-10 tahun.Sekarang di
Amerika Serikat, campak terjadi paling sering pada anak umur sekolah yang belum di imunisasi
dan pada remaja dan orang dewasa muda yang telah di imunisasi.(1)
Campak adalah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan tiga stadium,
yaitu stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalesensi. Nama lain penyakit ini adalah
campak, measles, atau rubeola.(1,2,3,4)
Penularan terjadi secara droplet dan kontak langsung dengan pasien. Virus morbili
terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama stadium kataral sampai 24 jam setelah timbul
bercak di kulit.(3,4)
Banyak kesamaan antara tanda-tanda biologis campak dan cacar memberi kesan
kemungkinan bahwa campak dapat diberantas. Tanda-tanda ini adalah(1,5) :
1. ruam khas,
2. tidak ada reservoir binatang,
3. tidak ada vektor,
4. kejadian musiman dengan masa bebas penyakit,
5. virus laten tidak dapat ditularkan,
15

6. satu serotip, dan
7. vaksin efektif.
I. Definisi
Campak adalah suatu penyakit infeksi virus aktif menular, ditandai oleh tiga stadium :
1. stadium inkubasi atau kataral sekitar 10-12 hari dengan sedikit, jika ada, tanda-tanda atau
gejala-gejala, 2. stadium prodromal dengan enantem (bercak koplik) pada mukosa bukal dan
faring, demam ringan sampai sedang, konjungtivitis ringan, koryza, dan batuk yang semakin
berat, dan 3. stadium akhir atau konvalesen dengan ruam makuler yang muncul berturut-turut
pada leher dan muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai oleh demam tinggi.(1,2,3,4)
II. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh golongan paramyxovirus (Anonim), yaitu virus RNA dari
family Paramixofiridae, genus Morbillivirus. Hanya satu tipe antigen yang diketahui. Selama
masa prodromal dan selama waktu singkat sesudah ruam tampak, virus ditemukan dalam sekresi
nasofaring, darah dan urin.(4,5)
Virus dapat tetap aktif selama sekurang-kurangnya 34 jam dalam suhu kama. Virus
campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh
manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya.
Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku,
minimal 4 minggu dalam temperatur 35˚C, beberapa hari pada suhu 0˚C, dan tidak aktif pada pH
rendah. Virus campak dapat diisolasi dalam biakan embrio manusia. Perubahan sitopatik, tampak
dalam 5-10 hari, terdiri dari sel raksasa multinukleus dengan inklusi intranuklear. Antibodi
dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul.(4,5)
Penyebaran virus maksimal adalah dengan tetes semprotan selama masa prodromal
(stadium kataral). Penularan terhadap kontak rentan sering terjadi sebelum diagnosis kasus
aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan (mulai fase
prodromal), pada beberapa keadaan awal hari ke 7 sesudah pemajanan sampai hari ke 5 sesudah
ruam muncul. (1,4,5,6)
16

III. Patologi
Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit., membran mukosa nasofaring, bronkus,
saluran pencernaan, dan konjungtiva. Sebagai reaksi terhadap virus maka terjadi eksudat yang
serous dan proliferasi sel mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus disekitar kapiler.
Kelainan ini terdapat pada kulit, selaput lendir nasofaring, bronkus dan konjungtiva.
Karakteristik patologi dari Campak ialah terdapatnya distribusi yang luas dari sel raksasa berinti
banyak yang merupakan hasil dari penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa yang
muncul adalah
(1) sel Warthin-Findkeley yang ditemukan pada sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil,
appendiks, limpa dan timus) dan
(2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada epitel saluran nafas. Lesi di daerah kulit
terutama terdapat di sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut.
Terdapat reaksi radang umum pada daerah bukal dan mukosa faring yang meluas hingga
ke jaringan limfoid dan membran mukosa trakeibronkial. Pneumonitis intersisial karena virus
campak menyebabkan terbentuknya sel raksasa dari Hecht. Bronkopneumonia yang terjadi
mungkin disebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.Penularan : secara droplet terutama selama
stadium kataralis. Umumnya menyerang pada usia 6 bulan sampai 5 tahun.(4,5)
Pada kasus encefalomyelitis terdapat demyelinisasi vaskuler dari area di otak dan medula
spinalis. Terdapat degenerasi dari korteks dan subsdtansia alba dengan inclusion body
intranuklear dan intrasitoplasmik pada subacute sclerosing panencephalitis.. (4,5,6)
17

18

IV. Patogenesis
Campak merupakan infeksi virus yang sangat menular, dengan sedikit virus yang
infeksius sudah dapat menimbulkan infeksi pada seseorang. Lokasi utama infeksi virus campak
adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas sangat minimal.
Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik
regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi
multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun
jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama
infeksi.
Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan
menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas
adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-
11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai
puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama
infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag.
Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan
serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam
keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak.
Hari Manifestasi
0 Virus campak dalam droplet kontak dengan permukaan epitel nasofaring
atau kemungkinan konjungtiva
Infeksi pada sel epitel dan multiplikasi virus
1-2 Penyebaran infeksi ke jaringan limfatik regional
2-3 Viremia primer
3-5 Multiplikasi virus campak pada epitel saluran nafas di tempat infeksi
pertama, dan pada RES regional maupun daerah yang jauh
5-7 Viremia sekunder
7-11 Manifestasi pada kulit dan tempat lain yang bervirus, termasuk saluran
nafas
19

11-14 Virus pada darah, saluran nafas dan organ lain
15-17 Viremia berkurang lalu hilang, virus pada organ menghilang
V. MANIFESTASI KLINIS (1,2,3,4,5)
1. Stadium kataral (prodromal)
Biasanya stadium ini berlangsung selama 4- 5 hari disertai panas (38,5 ºC), malaise,
batuk, nasofaringitis, fotofobia, konjungtivitis dan koriza. Menjelang akhir stadium
kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang
patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna
putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya di
mukosa bukalis berhadapan dengan molar bawah. Jarang ditemukan di bibir bawah
tengah atau palatum. Kadang-kadang terdapat makula halus yang kemudian
menghilang sebelum stadium erupsi. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan
leukopenia. Secara klinis, gambaran penyakit menyerupai influenza dan sering
didiagnosis sebagai influenza. Diagnosis perkiraan yang besar dapat dibuat bila ada
bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita morbili dalam waktu 2
minggu terakhir.
2. Stadium erupsi
Koriza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema atau titik merah di palatum
durum dan palatum mole. Kadang-kadang terlihat pula bercak koplik. Terjadinya
eritema yang berbentuk makula-papula disertai menaiknya suhu badan. Diantara
makula terdapat kulit yang normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang telinga, di
bagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-
kadang terdapat perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam
mencapai anggota bawah pada hari ketiga dan akan menghilang dengan urutan seperti
terjadinya. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di
daerah leher belakang. Terdapat pula sedikit splenomegali. Tidak jarang disertai diare
dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah “black measles”, yaitu morbili
yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus.
20

3. stadium konvalesensi
Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi)
yang lama-kelamaan akan hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia
sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala
patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema dan
eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai
menjadi normal kecuali bila ada komplikasi.
Diagnosis didasarkan atas gejala dan tanda sebagai berikut (4,5,6) :
Anamnesis :
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya tinggi, mendadak), batuk, pilek harus dicurigai
atau di diagnosis banding morbili.
2. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah kecurigaan.
3. Dapat disertai diare dan muntah.
4. Dapat disertai dengan gejala perdarahan (pada kasus yang berat) :
epistaksis, petekie, ekimosis.
5. Anak resiko tinggi adalah bila kontak dengan penderita morbili (1 atau 2 minggu
sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi campak.
Pemeriksaan fisik :
1. Pada stadium inkubasi manifestasi yang tampak mungkin hanya demam (biasanya
tinggi) dan tanda-tanda nasofaringitis dan
konjungtivitis.
2. Pada umunya anak tampak lemah.
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir
stadium kataral).
4. Pada stadium erupsi timbul ruam (rash)
yang khas : ruam makulopapular yang
21

munculnya mulai dari belakang telinga, mengikuti pertumbuhan rambut di dahi, muka,
dan kemudian seluruh tubuh.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan
laboratorium jarang dilakukan. Pada stadium prodromal dapat ditemukan sel raksasa berinti
banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi dari virus campak dapat dilihat dengan
pemeriksaan Hemagglutination-inhibition (HI), complement fixation (CF), neutralization,
immune precipitation, hemolysin inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody
(FA). Pemeriksaan HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu serum akut pada masa
prodromal dan serum sekunder pada 7 – 10 hari setelah pengambilan sampel serum akut. Hasil
dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer sebanyak 4x atau lebih (Cherry, 2004). Serum
IgM merupakan tes yang berguna pada saat munculnya ruam. Serum IgM akan menurun dalam
waktu sekitar 9 minggu, sedangkan serum IgG akan menetap kadarnya seumur hidup. Pada
pemeriksaan darah tepi, jumlah sel darah putih cenderung menurun. Pungsi lumbal dilakukan
bila terdapat penyulit encephalitis dan didapatkan peningkatan protein, peningkatan ringan
jumlah limfosit sedangkan kadar glukosa normal.
22

VII. DIAGNOSIS BANDING (6,7)
1. German Measles.
Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran kelenjar di daerah
suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga. Ruam berwarna merah muda dan timbul
lebih cepat dari campak. Gejala yang timbul tidak seberat campak.
Etiologi : Rubivirus (fam. Togaviridae), virus RNA.
Masa inkubasi : 14 – 21 hari
Masa penularan: sejak akhir masa inkubasi sampai 5 hari setelah timbulnya ruam. Cara
penularan melalui droplet.
Manifestasi klinis :
- Masa prodromal 1-5 hari ditandai dengan demam subfebris, malaise, anoreksia,
konjungtivitis ringan, koriza, nyeri tenggorokan, batuk dan limf denopati.Gejala cepat
menurun setelah hari pertama timbulnya ruam.
- Demam berkisar 380C –38,70C. Biasanya timbul dan menghilang bersamaan dengan
ruam kulit.
- Enantema pada rubela (Forschheimer spots) ditemukan pada periode prodrodromal
sampai satu hari setelah timbulnya ruam, berupa bercak pinpoint atau lebih besar, warna
merah muda, tampak pada palatum mole sampai uvula. Bercak Forsch heimer bukan
tanda patognomonik.
23

- Terdapat limfadenopati generalisata tapi lebih sering pada nodus limfatikus
suboksipital, retroaurikular atau suboksipital.
- Eksantema berupa makulopapular, eritematosa, diskret. Pertama kali ruam tampak di
muka dan menyebar ke bawah dengan cepat (leher,badan, dan ekstremitas) Ruam pada
akhir hari pertama mulai merata di badan kemudian pada hari ke dua ruam di muka mulai
menghilang, dan pada hari ke tiga ruam tampak lebih jelas di ekstremitas sedangkan di
tempat lain mulai menghilang.
Diagnosis:
- Manifestasi klinis yaitu prodromal ringan, ruam menghilang dalam 3 hari,
limfadenopati retroaurikular dan suboksipital.
- Isolasi virus, virus ditemukan pada faring 7 hari sebelum dan 14 hari sesudah timbulnya
ruam.
- Serologis dapat dideteksi mulai hari ke tiga timbulnya ruam.
2. Exanthem Subitum / Roseola Infatum.
Etiologi : Human herpes virus tipe 6 (HHV6)
Masa inkubasi : sulit ditentukan karena kontak tidak diketahui.
Manifestasi klinis:
24

Perjalanan penyakit dimulai dengan demam tinggi mendadak mencapai 40-
40,60C, anak tampak iritabel, anoreksia, biasanya terdapat koriza, konjungtivitis
dan batuk. Demam menetap 3-5 hari dan menurun secara mendadak ke suhu
normal disertai timbulnya ruam. Ruam muncul saat demam telah menghilang.
Ruam tampak pertama kali di punggung dan menyebar ke leher, ekstremitas atas
muka, dan ektremitas bawah.
Ruam berwarna merah muda, makulopapular, diskret, jarang koalesen sehingga
mirip dengan lesi rubela.
Lamanya timbul erupsi 1-2 hari, kadang dapat hilang dalam beberapa jam. Ruam
hilang tidak meninggalkan bekas berupa pigmentasi atau deskuamasi.
Diagnosis: manifestasi klinis penurunan hitung leukosit.
Scarlet Fever (Scarlatina)
Etiologi : Streptococcus beta hemolyticus grup A
Masa inkubasi : 1 – 7 hari, rata-rata 3 hari
Cara penularan: Melalui droplets dari pasien yang terinfeksi atau karier.
Fokus infeksi : Faring dan tonsil, jarang pada luka operasi atau lesi kulit.
Manifestasi klinis :
- Gejala prodromal berupa demam panas, nyeri tenggorokan, muntah, nyeri kepala,
malaise dan menggigil. Dalam 12 – 24 jam timbul ruam yang khas.
25

- Tonsil membesar dan eritem, pada palatum dan uvula terdapat eksudat putih keabu-
abuan.
- Pada lidah didapatkan eritema dan edema sehingga memberikan gambaran strawberry
tongue (tanda patognomonik).
- Ruam berupa erupsi punctiform, berwarna merah yang menjadi pucat bila ditekan.
Timbul pertama kali di leher, dada dan daerah fleksor dan menyebar ke seluruh badan
dalam 24 jam. Erupsi tampak jelas dan menonjol di daerah leher, aksila, inguinal
dan lipatan poplitea.
- Pada dahi dan pipi tampak merah dan halus, tapi didaerah sekitar mulut sangat pucat
(circumoral pallor).
- Beberapa hari kemudian kemerahan di kulit menghilang dan kulit tampak sandpaper
yang kemudian menjadi deskwamasi setelah hari ketiga.
- Deskuamasi berbeda dengan campak karena lokasinya di lengan dan kaki. Deskuamasi
kemudian akan mengelupas dalam minggu 1-6.
VIII. KOMPLIKASI (4,5,6,8)
Bila ada, berupa komplikasi segera :
- Trakeobronkitis dan laringotrakeitis biasanya telah ada, merupakan sebagian dari
manifestasi morbili.
- Otitis media merupakan komplikasi paling sering terjadi, harus dicurigai bila demam tetap
tinggi pada hari ketiga atau keempat sakit.
- Bronkopneumonia / bronkiolitis oleh virus morbili sendiri atau infeksi sekunder (oleh
pneumokokus, hemofilus influenzae) dengan gejala batuk menghebat, timbul sesak nafas.
- Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat terjadi anergi
(uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif).
26

- Konjungtivitis terjadi pada hampir semua kasus campak. Dapat terjadi infeksi sekunder oleh
bakteri yang dapat menimbulkan hipopion, pan oftalmitis dan pada akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan.
- Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran cerna sehingga
mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya daya tahan penderita campak
(Soegeng Soegijanto, 2002)
- Lain-lain (jarang) : ensefalitis, miokarditis, tromboflebitis, sindrom Guillain-Barre, dan lain-
lain.
- Campak menjadi berat pada pasien dengan gizi buruk dan anak yang lebih kecil juga diare,
miokarditis, trombositopeni, malnutrisi pasca serangan campak, keratitis, hemorragic measles
(morbili yang parah dengan perdarahan multiorgan, demam, dan gejala cerebral) serta kebutaan.
IX. PENATALAKSANAAN (4,5)
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk, dan memperbaiki
keadaan umum. Tindakan yang lain ialah pengobatan segera terhadap komplikasi yang timbul:
1. Istirahat.
2. Pemberian makanan atau cairan yang cukup dan bergizi..
3. Medikamentosa :
- Antipiretik : parasetamol 7,5 – 10 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam.
- Ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : 50 – 100 mg tiap 2-6 jam, dosis
maksimum 600 mg/hari.
- Antitusif perlu diberikan bila batuknya hebat/mengganggu, narcotic antitussive (codein)
tidak boleh digunakan.
- Perawatan mata untuk konjungtivitis yang ringan dengan cairan mata jernih; jika
mata bernanah, bersihkan dengan kain katun yang telah direbus dalam air mendidih atau
lap bersih yang direndam dalam air bersih. Oleskan salep mata kloramfenikol/tetrasiklin,
3x/hari selama 7 hari.
- Mukolitik bila perlu.
- Vitamin terutama vitamin A dan C. Vitamin A pada stadium kataral sangat bermanfaat.
Dosis rekomendasi berdasarkan WHO pemberian vitamin A adalah sebagai berikut :
Infant usia < 6 bulan 50.000 IU
27

6 bulan – 1 tahun 100.000 IU
Anak > 1 tahun 200.000 IU
Pemberian suplementasi vitamin A secara rutin pada dapat menurunkan angka kasus
kematian pada morbili dari beberapa faktor termasuk diare.(9)
- Antivirus
Antivirus seperti ribavirin (dosis 20-35 mg/kgBB/hari i.v) telah dibuktikan secara in vitro
terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan penderita campak berat dan penderita dewasa
yang immunocompromissed. Namun penggunaan ribavirin ini masih dalam tahap
penelitian dan belum digunakan untuk penderita anak. (10)
- Tatalaksana campak dengan komplikasi berat anak – anak dengan campak disertai
komplikasi memerlukan perawatan di rumah sakit serta penanganan terhadap
penyulityang timbul, yaitu :
Bronkopneumonia : pemberian antibiotik ampisilin 100mg/kgBB/hari dalam 4
dosis intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 74mg/kgBB/hari intravena
dibagi dalam 4 dosis samapi gejala sesak berkurang dan pasien sudah mampu
untuk minum obat per oral.
Enteritis: pada keadaan berat nak mudah jatuh dalam dehidrasi. Pemberian cairan
intravena dapat dipertimbangkan apabila terdapat enteritis dan dehidrasi. Untuk
bayi usia 2-5 bulan, berikan setelah zinc (10mg) sekali sehari selama sepuluh hari
berturut-turut. Untuk anak usia 6 bulan-12 tahun, berikan zinc (20 mg) sekali
sehari selama sepuluh hari berturut-turut.
Otitis media seringkali disebabkan oleh karena infeksi sekunder, sehingga
perlu diberikan antibiotik kotrimoksazol-sulfametoksazol (TMP 4mg/kgBB/hati
dibagi dalam 2 dosis)
Ensefalopati : perlu reduksi jumlah pemberian cairan hingga ¾ kebutuhan untuk
mengurangi edema otak, disamping pemberian kortikosteroid. Perlu dilakukan
koreksi elektrolit dan gangguan gas darah.
Indikasi rawat inap bila hiperpireksia (suhu >39,5˚C), dehidrasi, kejang, asupan
oral sulit atau adanya penyulit. Pengobatan dengan penyulit disesuaikan dengan penyulit
yang timbul.
28

X. PROGNOSIS (4,5,6)
Baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis buruk bila keadaan
umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis atau bila ada komplikasi.
XI. PENCEGAHAN(4)
Angka kesembuhan terjadi lebih baik pada anak- anak yang menerima vaksinasi dari ibu
yang memiliki antibody daripada ibu yang tidak memiliki antibodi dan lebih baik pula
dibandingkan dengan anak yang hanya menerima vaksinasi pada umur 9 bulan. (11)
Imunisasi Aktif
Imunisasi campak terdiri dari Imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif dapat
berasal dari virus hidup yang dilemahkan maupun virus yang dimatikan. Vaksin dari
virus yang dilemahkan akan memberi proteksi dalam jangka waktu yang lama dan
protektif meskipun antibodi yang terbentuk hanya 20% dari antibodi yang terbentuk
karena infeksi alamiah. Pemberian secara sub kutan dengan dosis 0,5ml. Vaksin tersebut
sensitif terhadap cahaya dan panas, juga harus disimpan pada suhu 4˚C, sehingga harus
digunakan secepatnya bila telah dikeluarkan dari lemari pendingin.
Vaksin dari virus yang dimatikan tidak dianjurkan dan saat ini tidak digunakan
lagi. Respon antibodi yang terbentuk buruk, tidak tahan lama dan tidak dapat merangsang
pengeluaran IgA sekretori.
Indikasi kontra pemberian imunisasi campak berlaku bagi mereka yang sedang
menderita demam tinggi, sedang mendapat terapi imunosupresi, hamil, memiliki riwayat
alergi, sedang memperoleh pengobatan imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari
darah.
Imunisasi Pasif (Imunoglobulin)
Indikasi :
– Anak usia > 12 bulan dengan immunocompromised belum mendapat imunisasi, kontak
dengan pasien campak, dan vaksin MMR merupakan kontraindikasi.
– Bayi berusia < 12 bulan yang terpapar langsung dengan pasien campak mempunyai
resiko yang tinggi untuk berkembangnya komplikasi penyakit ini, maka harus diberikan
imunoglobulin sesegera mungkin dalam waktu 5 hari paparan. Setelah itu vaksin MMR
29

diberikan sesegera mungkin sampai usia 12 bulan, dengan interval 3 bulan setelah
pemberian imunoglobulin.
Dosis serum dewasa 0,25 ml/kgBB yang diberikan maksimal 5 hari setelah terinfeksi,
tetapi semakin cepat semakin baik..(12)
XII. Prognosis
Campak merupakan penyakit self limiting sehingga bila tanpa disertai dengan penyulit
maka prognosisnya baik.
30

31

32

33

34

KEJANG
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai mengakibatkan akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)
Etiologi
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder.
Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat
disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus,
infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme seperti
hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia, hiperproteinemia,
hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan
oleh metastasis keganasan ke otak9.
Klasifikasi Kejang
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan menjadi6 :
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu hemisfer
serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada 30% anak yang
mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan pada anak berusia 3 hingga 13
tahun8. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
1. Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai dengan
perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan aktivitas
motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah
dan ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks
35

sering ditandai dengan perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan
abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis
2. Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi dan
sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat kejang, pandangan mata
anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar
dari mulut, dan seringkali disertai mual dan muntah.
3. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan gejala
seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya
menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan
kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua hemisfer
serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat
dikelompokkan menjadi :
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi pada
anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun pada beberapa
anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Pada awal fase tonik,
anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang
disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai dengan
inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi
gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada
ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran pada anak selama episode kejang
berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Anak tiba –
tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang progresif.
3. Kejang mioklonik
36

Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh secara tiba –
tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan kali
per hari.
4. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
5. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut
juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai
dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran
sementara secara singkat, yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak
kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari
30 detik. Kejang ini jarang dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang
absens atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa
ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran7.
Tatalaksana Intractable Seizures
Pada penanganan intractable seizure, terdapat beberapa obat yang masih
digunakan. Penggunaan obat – obatan tersebut hanya dipakai pada beberapa kasus
penyakit dengan kondisi intactable seizure, obat – obatan tersebut adalah :
1. Valproate (Depacote)
Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang Lennox –
Gustaut Syndrome. Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-60 mg/kg/hari,
diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali sehari. Dosis harian harus dimulai pada dosis
10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10 mg/kg/hari setiap minggunya sampai
level serum terapeutik tercapai yaitu 50-100 µg/ml. Efek samping yang sering
terjadi adalah gangguan traktus gastrointestinal, kenaikan berat badan, mengantuk,
dan alopesia. Tremor dan trombositopenia merupakan dose related effect. Untuk
anak dibawah usia 2 tahun dapat meningkatkan resiko toksisitas hepar dan
pankreatik. Asam valproat juga mengganggu metabolisme dari obat antikonvulsan
lain yaitu meningkatkan jumlah obat fenobarbital, fenitoin, karbamazepin,
diazepam, clonazepam, dan ethosuksamid di dalam darah. Dosis asam valproat 15
37

- 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis. Lama pengobatan rumat diberikan selama 1
tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.7
2. Lamotrigine (Lamictal)
Obat ini juga dapat digunakan untuk pengobatan kejang pada Lennox –
Gustaut syndrome. Dosis maintenance yang digunakan sekitar 5-15 mg/kg/hari,
tetapi dikarenakan obat ini mengganggu kerja antikonvulsan lainnya, penetapan
dosis harus dilakukan ketika diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lainnya.
Lamictal harus diberikan dosis rendah pada awal pemberian jika diberikan pada
pasien yang mengkonsumsi asam valproat dan pada dosis tinggi jika diberikan
pada pasien yang juga meminum fenitoin, karbamezepin, fenobarbital, atau
pirimidon. Efek samping dari obat ini adalah gangguan traktus gastrointestinal,
somnolen, pusing, sakit kepala, dan diplopia. Efek yang paling
mengkhawatirkan adalah munculnya ruam kemerahan di kulit yang dapat
merupakan tanda – tanda dari Stevens – Johnson syndrome7. Pada studi yang
dilakukan pada Shahid Sadoughi Hospital di Iran yang dilakukan oleh Fallah R,
et al, meneliti 22 anak laki – laki dan 18 anak perempuan yang mengalami
intractable epilepsy dengan Lennox –Gastaut syndrome didapatkan hasil nilai
rata – rata angka kejadian kejang selama penelitian yang dihitung setiap minggu
dan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian lamotrigin mengindikasikan
bahwa penggunaan lamotrigin efektif dalam mengurangi kejang dan disarankan
menjadi terapi tambahan pada penanganan intractable epilepsi pada kasus
Lennox –Gastaut syndrome.11
3. Felbamate (Felbatole)
Obat ini dipakai untuk refractory seizure yang tidak dapat ditangani
dengan pengobatan lain. Penggunaan obat ini sebagian besar dipakai untuk
Lennox – Gustaut syndrome. Dosis yang diberikan sekitar 15-45 mg/kg,
diberikan 3 sampai 4 kali sehari. Pemberian harus dimulai dengan dosis yang
paling rendah berdasarkan kisaran dosis terapeutik dan harus digunakan sebagai
terapi tunggal dikarenakan resiko terjadinya efek samping lebih tinggi jika
diberikan bersamaan dengan antikonvulsan lain. Pada interaksi obat, felbamat
meningkatkan kadar serum fenobarbital, fenitoin, asam valproat, dan
38

menurunkan kadar karbamazepin. Efek samping yang dapat disebabkan obat ini
adalah anoreksia, nausea, vomiting, insomnia, dan letargi dengan efek samping
yang dikhawatirkan yaitu anemia aplastik dan hepatotoksisitas berat. Semua
anak yang mendapatkan obat ini disarankan untuk selalu dipantau dengan
pemeriksaan laboratorium darah rutin dan fungsi hati.7
4. Vigabatrin (Sabril)
Obat ini efektif digunakan pada kasus refractory partial seizure. Dosis
maintenance yang dipakai adalah 30-150 mg/kg/hari dan diberikan sehari atau
dua hari sekali. Jika setelah pemberian, kondisi kejang pasien tidak terdapat
kemajuan, hal tersebut berarti obat tersebut resisten.7
5. Topiramate (Topamax)
Obat ini efektif digunakan pada pengobatan Lennox – Gustaut syndrome
dan refractory complex partial seizure. Dosis yang diberikan pertama kali yaitu
1 mg/kg/hari dengan dosis target maintenance sebesar 3-9 mg/kg/hari. Interaksi
dengan obat antikonvulsan lainnya sangat sedikit. Topiramat memiliki beberapa
efek samping yang sangat mengkhawatirkan yaitu masalah kepribadian yang
paling umum terjadi pada anak – anak. Efek samping lain yang dapat terjadi
adalah anoreksia, penurunan berat badan, masalah dalam tidur, kelelahan, sakit
kepala, diplopia, gangguan bicara. Efek samping yang serius dari topiramat
adalah nefrolitiasis dan harus hati – hati pada pemberian topiramat kepada
pasien yang memiliki riwayat batu ginjal atau sedang dalam ketogenic diet.7
6. Tiagabine (Gabitril)
Obat ini dipakai untuk terapi tambahan pada kasus refractory partial
seizure. Dosis pemberian diawali dengan 0,1 mg/kg/hari dan dinaikkan hingga
mencapai dosis target yaitu 0,5-1 mg/kg/hari sampai dapat mengontrol kejang
secara adekuat. Efek samping yang disebabkan oleh obat ini adalah kelelahan,
pusing, sakit kepala, kesulitan berkonsentrasi, dan mood depresi.7
7. Levetiracetam (Keppra)
Obat ini efektif sebagai terapi tambahan pada refractory partial seizures
pada anak – anak usia 6 sampai 12 tahun. Dosis maintenance sekitar 10 sampai
60 mg/kg/hari. Efek samping pada anak – anak adalah sakit kepala, anoreksia,
39

kelelahan, dan infeksi termasuk rinitis, otitis media, gastroenteritis, dan
faringitis. Pemakaian pada orang dewasa dilaporkan dapat mengakibatkan
leukopenia tetapi tidak pernah didapatkan pada pasien anak.7
8. Oxcarbazepine (Trileptal)
Pada suatu studi yang dilakukan di Iran University of Medical Science dan
Shahid Beheshti of Medical Science di Iran yang dilakukan oleh Azita Tavassoli,
et al, menyimpulkan oxcarbazepin efektif untuk mengontrol intractable seizure
pada anak – anak. Respon yang paling baik ditunjukkan oleh pasien dengan
partial epilepsy dan pasien dengan mixed type seizure memberikan respon yang
paling sedikit. Dosis rata – rata untuk mengontrol kejang adalah 45 mg/kg/hari.
Pada studi ini didapatkan efek samping kemerahan pada kulit dan didapatkan
riwayat reaksi kulit terhadap karbamazepin pada pasien tersebut sehingga harus
dikeluarkan dari studi. Dan efek samping lain yang ditunjukkan adalah pada
pemberian dosis yang tinggi menyebabkan diplopia dan pusing kepala yang
langsung menghilang jika dosis obatnya diturunkan. Efek samping lain yang
terlihat yaitu asimptomatik transient hyponatremia, mengantuk, sakit kepala,
nausea dan muntah, ataksia dan agitasi. Semua efek samping tersebut terlihat
pada pemberian awal dan menghilang setelah beberapa hari. Pada studi ini,
komplikasi serius seperti depresi sumsum tulang dan gangguan pada hepar
maupun ginjal ntidak ditemukan.12
40

PEMBAHASAN
Pada Pasien
Anamnesis :
1. Anak dengan panas 3-5 hari (biasanya
tinggi, mendadak), batuk, pilek harus dicurigai
atau di diagnosis banding morbili.
Pasien dengan demam tinggi 4 hari sebelum
masuk rumah sakit sudah berobat namun tidak
ada perbaikan.
2. Dapat disertai diare dan muntah. 2 hari sebelum masuk rumah sakit pagi hari
pasien mendadak mimisan, sorenya pasien
BAB cair, lendir (-), darah (-), BAB hitam (-)
dan muntah 3x berisi cairan tidak banyak.
3. Dapat disertai dengan gejala perdarahan:
epistaksis, petekie, ekimosis
4. Mata merah, tahi mata, fotofobia, menambah
kecurigaan.
Pada saat hari masuk RS pasien mengeluhkan
mata merah dan belekan.
5. Anak resiko tinggi adalah bila kontak
dengan penderita morbili (1 atau 2 minggu
Pasien belum mendapatkan vaksin campak.
41

sebelumnya) dan belum pernah vaksinasi
campak.
Pemeriksaan fisik :
1. Pada stadium inkubasi manifestasi yang
tampak mungkin hanya demam (biasanya
tinggi) dan tanda-tanda nasofaringitis dan
konjungtivitis.
Pasien dengan demam tinggi 4 hari sebelum
masuk rumah sakit sudah berobat namun tidak
ada perbaikan, disertai batuk yang tidak ada
dahak
2. Pada umunya anak tampak lemah. Pada saat observasi tanggal 11-13 pasien
nampak lemah
3. Koplik spot pada hari ke 2-3 panas (akhir
stadium kataral).
Sariawan timbul sehingga pasien malas makan
4. Pada stadium erupsi timbul ruam (rash) yang
khas : ruam makulopapular yang munculnya
mulai dari belakang telinga, mengikuti
pertumbuhan rambut di dahi, muka, dan
kemudian seluruh tubuh.
Kemerahan muncul mulai dari leher ke dada,
wajah lalu kaki dan seluruh tubuh.
Lalu pada tanggal 14-05-2015 : nampak
hiperpigmentasi pada dada
Morbili
42

IVFD KaEn 1B / 12 jam
Antipiretik : parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali, interval 6-8 jam.
Pada pasien
BB : 22,5 kg x 10 mg = 225mg / kgBB/ kali (dalam interval 6-8 jam)
- Ekspektoran : gliseril guaiakolat anak 6-12 tahun : dosis secara oral 100 - 200 mg
setiap 4 jam; dosis maksimum 1200 mg/hari.
Pada pasien dapat diberikan 100mg PO / 4 jam.
Dosis rekomendasi berdasarkan WHO pemberian vitamin A adalah sebagai berikut :
Infant usia < 6 bulan : 50.000 IU
6 bulan – 1 tahun : 100.000 IU
Anak > 1 tahun : 200.000 IU
Pada pasien usia 3 tahun mendapatkan Vit A 200.000 IU
Nebulizer : Nacl 0,9% 2cc untuk mengencerkan dahak karena pada pasien didapatkan
batuk dan ronkhi minimal
Perawatan mata : bersihkan mata dengan kain bersih direndam dalam air bersih. Oleskan salep mata kloramfenikol/tetrasiklin, 3x/hari selama 7 hari.
Komplikasi dari morbili pada pasien adalah gastroenteritis dengan derajat ringan.
Anjuran untuk banyak minum
Pemberian zinc
usia 2-5 bulan zinc :10mg/ hari (10 hari berturut-turut),
usia 6 bulan-12 tahun :20 mg / hari (10 hari berturut-turut)
Pada pasien usia 3 tahun mendapatkan dosis 20mg /hari (10 hari berturut-turut)
RIWAYAT KEJANG PADA PASIEN
Kejang yang kurang dari 5 menit berupa kaku kaku pada tubuh pasien termasuk dalam kejang
umum tipe tonik.
Asam valproat dapat digunakan pada penanganan kasus kejang Lennox – Gustaut Syndrome.
Dosis maintenance yang dipakai sekitar 10-60 mg/kg/hari, diberikan sebanyak 2 hingga 4 kali
43

sehari. Dosis harian harus dimulai pada dosis 10 mg/kg/hari dan ditingkatkan sebanyak 10
mg/kg/hari setiap minggunya sampai level serum terapeutik tercapai yaitu 50-100 µg/ml.
Pada pasien diberikan asam valproat 3x250mg dan sudah meminum hampir 1 tahun.
STATUS GIZI PASIEN
BB / U = (22,5-14,3)/1,7= 4,8 SD ( gizi lebih)
TB / U = (110- 96,1)/3,7= 3,8 SD ( tinggi )
BB / TB = (22,5-18,9)/1,8 = 2 SD ( normal)
IMT / U = (18,59 – 15,6)/ 1,3 = 2,3 SD (gemuk)
44

\
45

Kebutuhan gizi untuk anak usia 1-3 tahun 1200 kalori / kgBB/ hari,
Kebutuhan protein
1200 x 15% = 180 kal / hari
180 / 4 = 45gr/ hari
Kebutuhan karbohidrat
40-45% dari energi total perhari
1200 x 40% = 480 kal/ hari
480/ 4 = 120 gr/hari
Kebutuhan lemak
30-50%
1200 x 40% = 480 kal / hari
480 / 9 = 53,55 gr/ hari
46

47

Pasien tidak mengikuti anjuran vaksinasi menurut rekomendasi IDAI pada tahun 2014.
Seharusnya ketika pada usia 9 bulan pasien terlewati jadwal vaksinasi campak, dapat
mendapatkan vaksin gabungan pada MMR ketika usia 15 bulan.
48

DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Edisi I.
Jakarta: IDAI, 2004.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar Penyakit Infeksi Tropis. Jakarta: IDAI, 2004.
3. Penyakit Tropik dan Infeksi Anak. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III Jilid 2. FKUI
2000.
4. Atom. Campak. http://www.Medlinux.blogspot.com. [diakses 22 Agustus 2008]
5. Haryowidjojo. Demam Campak. Htttp://www.Pediatrik.com. [diakses 22 Agustus
2008]
6. Rahayu Tuti, Alan R. Tumbelaka. Gambaran Klinis Penyakit Eksantema Akut Pada
Anak. Sari Pediatri Vol. 4, No 3: 104-113. Desember 2002
7. Depkes Republik Indonesi. Campak. 07 Februari 2006.
8. William, W. 2002. Current Pediatric Diagnosis & Treatment 16 th edition. USA:
MacGraw-Hill Education
9. Sudfeld Christhoper,et al. Effectiveness of measless vaccination and vitamin A
treatment. International Journal of Epidemiology. 2010
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.1985. Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
11. Abby Peter, et al. Measles Vaccination in the Presence or Absence of Maternal
Measles Antibody: Impact on Child Survival. Clin Infect Dis. (2014) 59 (4): 484-492
12. Soegijanto, 2001. Buku Imunisasi di Indonesia Edisi Pertama. Jakarta: Pengurus
Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
49

13. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
14. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical Care UK
Annual Congress. 2013
15. Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak 1999
Knudsen FU. Febrile seizures: treatment and outcome. Brain Dev 1996;18:438-49.
16. Fallah R, Karbasi A.S, Golestan M. Efficacy and Safety of Lamotrigene in Lennox –
Gastaut Syndrome. Iran Journal Child Neurology. 2009 December;33-38
17. Tavazolli A,Ghofrani M,Rouzrokh M,Eznollah A.Efficacy of Oxarbazepine Add –
On Therapy on Intractable Seizures in Children. Journal of Neuroscience and
Behavioural Health, 2010 September;3:30-34.
18. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010. Kementrian Kesehatan RI Direktoran Jendreal Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. 2011
50