bab 1(2)-2

28

Click here to load reader

Upload: rizky-septiana-tita

Post on 15-Apr-2016

233 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

osteoporosis

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 1(2)-2

BAB 1

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai

oleh penurunan densitas massa tulang sehingga menjadi rapuh dan

mudah patah. Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan

sampai saat ini masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat

terutama di Negara berkembang. Proses terjadinya osteoporosis sudah

dimulai sejak usia 40 tahun dan pada wanita akan semakin cepat pada

masa menopause.

Sekitar 80% penderita penyakit osteoporosis adalah wanita,

termasuk wanita muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi

(amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen setelah menopause

meningkatkan resiko terkena osteoporosis. Tidak dapat dipungkiri

penyakit osteoporosis pada wanita ini dipengaruhi oleh hormone estrogen.

Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria

tetap memiliki resiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada

wanita, penyakit osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen.

Bedanya, laki – laki tidak mengalami menopause, sehingga osteoporosis

datang lebih lambat.

Di antara wanita USA yang berumur lebih dari 50 tahun, 13% - 18%

telah terdiagnosis osteoporosis dan 37% - 50% terdiagnosis osteopenia.

Untuk laki – laki dengan umur yang sama 3 – 6 % memenuhi criteria

diagnosis osteoporosis, sedangkan 28 – 47% memenuhi kriteria diagnosis

osteopenia.

Oleh karena hilangnya massa tulang terjadi secara perlahan dan

asimptomatik, diagnosis osteoporosis sering terlambat, baru terdiagnosis

setelah terjadi fraktur. Sebagai dampaknya terapi osteoporosis hanya

bertujuan untuk mencegah fraktur berikutnya. Diagnosis dini dengan

mendeteksi resiko osteoporosis pada seseorang sangat penting untuk

mencegah terjadinya fraktur osteoporosis.

Page 2: BAB 1(2)-2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Osteoporosis adalah suatu penyakit yang sering terjadi yang

ditandai dengan menurunnya densitas massa tulang, oleh karena

berkurangnya matriks dan mineral tulang disertai dengan

kerusakan mikroarsitektur dari jaringan tulang yang sifatnya

sistemik dan tulang menjadi rapuh dan mudah patah dengan

trauma yang minimal. Pada National Institute of Health (NIH)

mengajukan bahwa osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik

yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang

mudah patah.

2.2 Epidemiologi

Di negara maju seperti Amerika Serikat, kira-kira 10 juta

orang usia diatas 50 tahun menderita osteoporosis dan hampir 34

juta dengan penurunan massa tulang yang selanjutnya

berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita

osteoporosis adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika

Serikat menderita osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan

massa tulang yang menjadi risiko untuk osteoporosis. Satu dari 2

wanita dan satu dari 4 pria diatas usia 50 tahun akan menjadi

fraktur yang berhubungan dengan fraktur selama hidup mereka.

Pada tahun 2002 angka prevalensi osteoporosis adalah 16,1%.

Prevalensi di antara pria adalah 11,5%, sedangkan wanita sebesar

19,9%.

Sedangkan menurut World Health Organization (WHO)

dalam IOF (2010), osteoporosis merupakan penyakit kedua setelah

penyakit kardiovaskular sebagai masalah global dan studi

menunjukkan bahwa perempuan berusia 50 tahun memiliki risiko

meninggal karena hip fracture yang sama dengan kanker payudara.

Page 3: BAB 1(2)-2

Catatan pada tahun 2003 di Amerika, patah tulang belakang akibat

osteoporosis setiap tahun mencapai 1.200.000 kasus.

Studi juga mendapatkan bahwa massa tulang orang Asia

lebih rendah dibandingkan massa tulang orang kulit putih Amerika,

akan tetapi fraktur pada orang Asia didapatkan lebih sedikit.

2.3 Faktor ResikoFaktor Resiko Osteoporosis

Aktivitas fisik

Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas,

otot-ototnya tidak terlatih dan menjadi kendor yang akan

mempercepat menurunnya kekuatan tulang. Untuk

menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur

minimal tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban

untuk membentuk dan memperkuat tulang).

Kurang kalsium

Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika

kalsium tubuh kurang maka tubuh akan mengeluarkan

hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian tubuh

lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium

harus disertai dengan asupan vitamin D yang didapat dari

sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak mungkin

diserap usus.

Merokok

Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih

besar dibanding bukan perokok. Telah diketahui bahwa

wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih rendah dan

mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding

wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok

berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan

penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan

tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.

Page 4: BAB 1(2)-2

Minuman keras/beralkohol

Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka

kecil pada dinding lambung. Dan ini menyebabkan

perdarahan yang membuat tubuh kehilangan kalsium (yang

ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang

dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.

Minuman soda

Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan

cafein (caffein). Fosfor akan mengikat kalsium dan

membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan cafein

meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk

menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft

drink harus dibarengi dengan minum susu atau

mengonsumsi kalsium extra.

Stress

Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon

stres yaitu cortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal.

Kadar hormon cortisol yang tinggi akan meningkatkan

pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan

menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga

meningkatkan terjadinya osteoporosis.

Bahan kimia

Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan

dalam bahan makanan (sayuran dan buah-buahan), asap

bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah industri

seperti organochlorida yang dibuang sembarangan di sungai

dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini

membuat daya tahan tubuh menurun dan membuat

pengeroposan tulang.

Page 5: BAB 1(2)-2

2.4 Klasifikasia) Osteoporosis Primer

Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca

menopause. Pada masa menopause, fungsi ovarium

menurun sehingga produksi hormon estrogen dan

progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam proses

mineralisasi tulang dan menghambat resorbsi tulang serta

pembentukan osteoclast melalui produksi sitokin. Ketika

kadar hormon estrogen darah menurun, proses

pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami ketidak

seimbangan. Pengeroposan tulang menjadi lebih dominan.

Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis

yang biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis

terjadi akibat dari kekurangan kalsium berhubungan dengan

makin bertambahnya usia.

Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan

osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui.

Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan pria yang

masih dalam usia muda yang relatif jauh lebih muda.

b) Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya

penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan

massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor

pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di

bawah ini:

a. Penyakit endokrin : tyroid, hiperparatyroid,

hipogonadisme

b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi

kalsium terganggu.

c. Penyakit keganasan ( kanker)

d. Konsumsi obat –obatan seprti corticosteriod

Page 6: BAB 1(2)-2

e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang

olahraga.

2.5 PatofisiologiOsteoporosis mempunyai tanda utama berupa penurunan

massa tulang akibat ketidakseimbangan antara proses resorbsi dan

formasi tulang. Faktor penyebab utama adalah proses penuaan

dan hilangnya fungsi gonad. Osteoporosis yang disebabkan oleh

penurunan fungsi gonad disebut osteoporosis post-menopause

(PMO) sedangkan osteoporosis yang bergubungan dengan proses

penuaan disebut sebagai osteoporosis senilis (ARO).

(1) Post-menopause Osteoporosis (tipe I)

Osteoporosis post-menopause terjadi pada wanita antara

menopause dan umur 65 tahun. Hilangnya sekresi estrogen

saat menopause menyebabkan ketidakseimbangan antara

kecepatan resorbsi tulang dangan kecepatan pembentukan

tulang, di mana kecepatan resorbsi tulang lebih tinggi.

Hal ini disebabkan oleh karena terjadi hambatan

apoptosis osteokalst. Penurunan hormon ini juga menyebabkan

pemendekan umur osteoblast dan osteosit serta meningkatkan

terjadinya osteoklastogenesis dan osteoblastogenesis yang

menyebabkan peningkatan kecepatan remodelling (turn over)

tulang. Tingginya remodelling tulang dapat meningjatkan resiko

terjadinya fraktur.

Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai

sitokin yang dihasilkan sel stroma sumsum tulang dan sel-sel

mononuklear. Sitokin- sutokin ini mempunyai peran pada proses

osteoklastogenesis, seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Selain itu juga

berperan untuk menoerbaiki kerusakan mikroarsitektur, adaptasi

terhadap beban mekanik, pengaturan terhadap homeostasis

calcium dan fosfat.

Page 7: BAB 1(2)-2

Defisiensi estrogen pada wanita akan meningkatan

RANKL (Receptor Activator of Nuclear Factor-kb Ligand) pada

sel sumsum tulang yang merupakan faktor penting resorbsi

tulang, serta menurunkan produksi OPG (osteoprotogerin) oleh

sel stromal dan osteoblast, yang bekerja antagonist terhadap

kerja osteoklastogenik dari RANKL.

Selain peningkatan aktivitas osteoklas, menopause

mengakibatkan peningkatan ekskresi calcium dari ginjal, serta

menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa

1,25(OH)2D, sehingga terjadi penurunan absorbsi calcium dari

usus. Untuk mengimbangi keseimbangan negatif kalsium kaibat

menopause, maka akan terjadi peningkatan PTH, sehingga

osteoporosis semakin berat.

(2) Age-related Osteoporosis (tipe II)

Osteoporosis tipe senilis ini terjadi pada wanita atau laki-

laki yang menderita osteoporosis setelah usia 65 tahun. Pada

pria dan wanita, penurunan kepadatan tulang dimulai pada

dekade 4 dan 5, dengan kecepatan sekitar 0.3 -0.5 per

tahunnya. Pada dekade delapan dan sembilan, terjadi

ketidakseimbangan remodelling tulang, di mana resorbsi tulang

meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau

menurun. Penurunan fungsi osteoblast pada orang tua diduga

akibat penurunan sekresi Growth Hormon dan IGF-1.

Defisiensi kalsium dan vitamin D pada prang tua

disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang,

anoreksia, malabsorbsi dan paparan sinar matahari yang

rendah. Akibat dari defisiensi kalsium ini mengakibatkan

hiperparatiroidisme sekunder yang persisten.

Page 8: BAB 1(2)-2

2.6 Manifestasi KlinisPada umumnya, osteoporosis tidak menimbulkan gejala-

gejala klinis, kecuali bila terjadi fraktur osteoporotik. Sebagai

akibatnya diagnosis osteoporosis sering terlambat. Gejala dan

tanda osteoporosis seringkali merupakan gejala dan tanda akibat

fraktur osteoporotik tulang vertebra yaitu berupa nyeri daerah

tulang belakang.

Beberapa faktor resiko osteoporosis yang harus dipergatikan

adalah :

l Umur, jenis kelamin

l BMI rendah (< 19 kg/m2)

l Riwayat fraktur sebelumnya terutama pada tulang panggul,

tangan dan tulang belakang

l Riwayat fraktur tulang panggul pada keluarga

l Penggunaan terapi glukokortikoid (peroral selama 3 bulan

atau lebih)

l Perokok aktif

l Asupan alkohol lebih dari 3 unit perhari

2.7 DIAGNOSISGejala dan tanda osteoporosis seringkali merupakan gejala

dan tanda akibat adanya fraktur.

a. AnamnesisAnamnesis memegang peranan penting pada evaluasi

osteoporosis. Keluhan utama biasanya dapat langsung mengarah

kepada diagnosis misalnya fraktur kolom femoris. Faktor lain yang

harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal,

imobilisasi lama, turunnya tinggi badan pada orang tua, kurangnya

Page 9: BAB 1(2)-2

paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor, vitamin D, latihan

yang teratur yang bersifat weight-bearing. Obat-obatan yang

diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti

kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin, antasid yang

mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.

Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi alkohol dan merokok dan

juga penyakit-penyakit lain seperti penyakit ginjal, saluran cerna,

hati, endokrin, dan insufiesiensi pankreas. Riwayat haid, umur

menarke dan menopause, penggunaan obat-obat kontrasepsi, dan

riwayat keluarga dengan osteoporosis juga perlu diperhatikan.

b. Pemeriksaan FisikTemuan penting pada pemeriksaan fisik pada pasien

dengan osteoporosis dapat berupa kelanjutan fraktur lama (kifosis

yang disebabkan fraktur veterbra terdahulu), fraktur baru, atau

abnormalitas karena penyebab sekunder osteoporosis (tiromegali

dengan tirotoksikosis). Pengukuran tinggi badan secara akurat,

dapat membantu evaluasi pasien dengan risiko patah tulang.

Kehilangan tinggi badan 4 cm atau lebih dibandingkan dengan

tinggi badan maksimal atau kehilangan 2 cm atau lebih

dibandingkan pengukuran sebelumnya dapat menunjukkan adanya

fraktur vertebra. Pengukuran berat badan juga merupakan bagian

evaluasi osteoporosis karena berat badan yang rendah (kurang dari

127 lbs), IMT rendah (20 atau kurang) dan penurunan berat badan

5% atau lebih berkaitan dengan peningkatan risiko fraktur.

Kerapuhan tulang spinal, kifosis, atau berkurangnya jarak antara

tulang rusuk bagian bawah dan pelvis dapat merupakan hasil dari

satu atau lebih fraktur vertebra. Kelainan cara berjalan, postur,

keseimbangan, kekuatan otot, atau adanya hipotensi postural atau

menurunnya kesadaran dapat dikaitkan dengan risiko jatuh. Atrofi

testis menunjukkan hipogonadisme. Pasien harus diobservasi

apakah terdapat gejala hipertiroidisme atau sindrom Cushing.

Page 10: BAB 1(2)-2

Sklera berwarna biru, penurunan pendengaran, gigi kuning-

kecoklatan dapat menunjukkan osteogenesis imperfect

c. Pemeriksaan LaboratoriumPada pemeriksaan laboratorium, tes rutin yang dilakukan

adalah pengukuran kalsium serum dan kadar kreatinin, fungsi hati,

pengukuran kadar tirotropin, dan hitung darah lengkap. Jika

diindikasikan secara klinis, pemeriksaan elektroforesis protein

serum, dan tes protein Bence Jones urin, kortisol dan kalsium

dalam urin 24 jam, dan antibodi HIV dapat dilakukan.

Hipogonadisme sulit di deteksi berdasarkan riwayat pasien dan

pemeriksaan fisik saja, maka pengukuran kadar testosteron

direkomendasikan pada semua pria dengan osteoporosis. Kadar

serum 25-hidroksivitamin D juga dapat diukur. Kadar dibawah 30

ng/ml (75 nmol/L) harus di berikan pengobatan.

d. Marker biokimia turnover tulang

Marker remodelling atau turnover tulang [marker resorpsi

tulang : serum C-telopeptida (CTX) dan N-telopeptida urin (NTX)

serta marker pembentukan tulang : serum bone specific alkaline

phosphatase (BSAP) dan osteokalsin] dapat diukur dalam serum

dan urin pasien untuk menilai resiko fraktur. Selain itu dapat juga

digunakan untuk evaluasi setelah 3-6 bulan pengobatan

osteoporosis.

e. Pemeriksaan RadiologiX-ray digunakan untuk mendiagnosis semua tipe fraktur dan

dapat menentukan penyebab sekunder osteoporosis.

Pseudofraktur (zona Looser’s) yang memberikan gambaran

radiolusen tegak lurus pada korteks tulang dapat dilihat pada

pasien dengan osteomalasia. Hal ini menunjukkan fraktur yang

disebabkan oleh stress fisik yang mengalami penyembuhan

dengan mineralisasi osteoid yang buruk. Gambaran radiolusen

Page 11: BAB 1(2)-2

pungtata, dapat terlihat pada X-ray tulang pasien dengan

mastositosis sistemik. Hiperparatiroidisme primer dapat

menyebabkan kista tulang, resorpsi tulang subperiosteal, brown

tumor, dan demineralisasi tulang kranial. Magnetic Resonance

Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) scan, atau nuclear

imaging dapat digunakan untuk mendeteksi fraktur karena stress

fisik yang tidak dapat dilihat dengan X-ray. MRI pada tulang spinal

sering digunakan untuk vertebroplasti atau kipoplasti untuk

menentukan umur fraktur, kemungkinan fraktur terjadi oleh sebab

selain osteoporosis dan apakah terdapat retropulsi pada fragmen

tulang yang kemudian memengaruhi fungsi neuron.

f. BONE MINERAL DENSITY

Osteoporosis ditegakkan dengan pengukuran densitas

massa tulang (Bone Mineral Density/ BMD) dengan menggunakan

Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) pada tulang panggul,

kolum femoris, spina lumbalis dengan T-score kurang atau sama

dengan -2.5. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI)

memberikan pedoman indikasi untuk pemeriksaan BMD pada

individu resiko tinggi, seperti :

1. Laki-laki atau wanita dengan kerentanan fratur sebelumnya

(fraktur spontan atau fraktur dengan trauma ringan).

2. Laki-laki atau wanita yang telah mendapatkan terapi

glukokortikoid atau sedang terapi selama 3 bulan dengan

dosis prednisone ≥ 5mg/hari

3. Laki-laki atau wanita dengan osteopenia atau fraktur vertebra

dengan pemeriksaan radiologi.

4. Semua wanita berumur ≥ 65 tahun

Page 12: BAB 1(2)-2

5. Wanita pascamenopause berumur ≤ 65 tahun dengan minimal

1 faktor resiko dibawah ini :

a. Low body weight (BMI ≤ 20)

b. Riwayat keluarga (terjadi fraktur setelah umur 45 tahun

pada ayah/ibu)

c. Saat ini sebagai perokok (1 pak/hari)

d. Tidak menggunakan terapi pengganti hormon (hormone

replacement therapy)

e. Menopause sebelum umur 40 tahun

f. Menggunakan HRT > 10-15 tahun

6. Laki-laki atau wanita menderita penyakit kronis yang

berhubungan dengan hilangnya massa tulang

7. Wanita premenopause dengan amenorrhea > 1 tahun.

8. Laki-laki dengan hipogonadisme > 5 tahun.

9. Laki-laki atau wanita dengan immobilisasi yang lama (tirah

baring atau menggunakan kursi roda > 1 tahun)

10. Laki-laki atau wanita yang telah mendapatkan transplantasi

organ padat atau allogenic bone marrow.

2.8 TERAPIIndikasi terapi menurut National Osteoporosis Foundation (NOF) :

Wanita pascamenopause dan laki-laki dengan riwayat fraktur

pada tulang panggul atau tulang belakang

T-score ≤ -2.5

Massa tulang rendah (osteopenia) dengan T-score antara -1

sampai -2.5

Page 13: BAB 1(2)-2

Perkiraan kemungkinan patah tulang panggul dalam 10

tahun paling sedikit sebesar 3% atau fraktur tulang major

paling sedikit 20%

(1) TERAPI NON-FARMAKOLOGI

1. Modifikasi gaya hidup ;

* Weight-bearing exercise (jalan, aerobic ringan-sedang

, latihan resistensi)

* 6 NO : No smoking, No coffee, No alcohol, No excess

intake of protein, fat and salt

* Menaikkan berat badan bila underweight

2. Asupan kalsium 1-1.5 g/hari.

3. Vitamin D 800-1000 IU/hari untuk usia 50 tahun atau lebih

(rekomendasi NOF)

(2) TERAPI FARMAKOLOGI

Osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat

kerja osteoklas (anti resorptif) dan/atau meningkatkan kerja

osteoblas (stimulator tulang). Yang termasuk golongan obat

anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bisfosfonat dan

kalsitonin. Sedangkan stimulator tulang contohnya PTH.

Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif

maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk

optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh

osteoblas.

ESTROGEN

Estrogen digunakan untuk mencegah osteoporosis,

meringankan gejala gejala vasomotor dan atrofi vulvovaginal

terkait menopause. Woman’s Health Initiative (WHI)

Page 14: BAB 1(2)-2

melaporkan bahwa 5 tahun terapi hormone menurunkan

resiko fraktur vertebra dan tulang panggul sebanyak 34%

dan fraktur osteoporosis lain sebanyak 23%. Beberapa

preparat yang dapat dipakai untuk anti resorptifnya adalah

estrogen terkonjugasi 0,625 mg/hari, 17β-estradiol oral 1-2

mg/hari, 17β-estradiol transdermal 50 mg/hari, 17β-estradiol

perkutan 1,5 mg/hari dan 17β-estradiol subkutan 25-50 mg

setiap 6 bulan.

RALOKSIFEN

Raloksifen merupakan anti estrogen yang memiliki

efek seperti estrogen di tulang dan lipid tetapi tidak

menyebabkan perangsangan endometrium dan payudara.

Golongan preparat ini disebut juga selective estrogen

receptor modulators (SERM). Mekanisme kerja raloksifen

terhadap tulang diduga melibatkan TGFβ3 yang dihasilkan

oleh osteoblas dan osteoklas dan berfungsi menghambat

diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang. Dosis

yang dianjurkan adalah 60mg/hari. Pemberian raloksifen

peroral akan diabsorbsi dengn baik dan mengalami

metabolisme di hati.

BISFOSFONAT

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh

osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang

dan menghambat kerja osteoklas. Bisfosfonat juga dapat

mempengarugi aktivasi prekursor osteoklas, diferensiasi

prekursor osteoklas menjadi osteoklas matur, kemotaksis,

perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis

osteoklas. Bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan

diferensiasi osteoblas serta memiliki efek tidak langsung

terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas

Page 15: BAB 1(2)-2

menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas

dan menurunkan kadar stimulator osteoklas.

Bisfosfonat harus diminum dengan air putih, idealnya

pada pagi hari pada waktu bangun tidur dalam keadaan

perut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan

untuk makan apapun, minimal selama 30 menit. Sekitar 20-

50% bisfosfonat yang diabsorbsi akan melekat pada

permukaan tulang setelah 12-24 jam. Setelah berikatan

dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat

akan tetap berada didalam tulang selama berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat

yang tidak berikatan dengan tulang tidak akan mengalami

metabolisme didalam tubuh dan akan dieksresikan dalam

bentuk utuh melalui ginjal sehingga pemberiannya terhadap

penderita gagal ginjal harus berhati-hati.

Preparat bisfosfonat

* Etidronat

Untuk osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan

dosis 400mg/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan

supplementasi kalsium 500mg/hari selama 76 hari. Siklus ini

diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan untuk

mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat

jangka panjang secara terus-menerus.

* Klodronat

Untuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan

dosis 400mg/hari selama 1 bulan dilanjutkan dengan

suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat

diulang setiap 3 bulan, sama seperti etidronat, pemberian

Page 16: BAB 1(2)-2

klodrona jangka panjang terus menerus juga akan

mengganggu mineralisasi tulang.

* Alendronat

Untuk terapi osteoporosis dapat diberikan dengan

dosis 10mg/hari setiap hari secara kontinyu karena tidak

mengganggu mineralisasi tulang.

*Risedronat

Risedronat digunakan untuk osteoporosis dan

mengurangi resiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis

pasca menopause dan wanita dengan menopause artifisial

akibat pengobatan karsinoma payudara.

* Asam zoledronat

Asam zoledronat merupakan bisfosfonat terkuat yang

saat ini ada. Sediaan intravena diberikan drip selama 15

menit untuk dosis 5 mg. Untuk osteoporosis cukup diberikan

dosis 5 mg setahun sekali.

KALSITONIN

Kalsitonin berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh

osteoklas. Sekresinya secara akut diatur oleh kadar kalsium.

Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer kalsitonis

pada mamalia.Efek biologis utama kalsitonin adalah sebagai

penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah

pemberian, efek tesebut sudah mulai bekerja sehingga

aktivitas resorpsi tulang berhenti. Efek lain adalah efek anti

inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur.

Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator

sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma

meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat.

Page 17: BAB 1(2)-2

Kalsitonin merupakan obat yang direkomendasikan FDA

untuk pengobatan penyakit penyakit yang meningkatkan

resorpsi tulang dan hiperkalsemia. Pemberian secara

intranasal mempermudah penggunaan daripada preparat

injeksi. Dosis intranasal yang dianjurkan adalah 200 U

perhari. Kadar puncak didalam plasma tercapai dalam waktu

20-30 menit dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal.

HORMON PARATIROID

Hormon paratiroid berfungsi untuk mempertahankan

kadar kalsium didalam cairan ekstraseluler dengan cara

merangsang sintesis 1,25 (OH)2 D di ginjal, sehingga

absorpsi kalsium di usus meningkat. Selain itu juga

merangsang formasi tulang.Kombinasi PTH dosis rendah

(25-40 mg) dengan antiresorptif lain (HRT, bisfosfonat atau

kalsitonin) ternyata memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan pemberian antiresorptif saja.

2.9 Evaluasi Hasil Pengobatan

Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan

mengulang pemeriksaan densitometri setelah 1-2 tahun

pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu

1 tahun tidak terjadi peningkatan densitas massa tulang, maka

pengobatan sudah dianggap berhasil karena resorpsi tulang sudah

dianggap berhasil. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan

petanda biokimia tulang untuk evaluasi. Penggunaan petanda

biokimia tulang dapat menilai hasil terapi dengan cepat dalam

waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah

penurunan kadar berbagai pertanda resorpsi dan formasi tulang.

2.10 Pencegahan Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur

untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi system

Page 18: BAB 1(2)-2

neuromuscular serta kebugaran sehingga dapat mencegah

resiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi

berjalan 30-60 menit/ hari, bersepeda maupun berenang.

Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik malalui makanan

sehari-hari maupun suplementasi

Hindari merokok dan minum alcohol

Diagnose dini dan tarapi yang tepat terhadap defisiensi

testosterone pada laki-laki dan menoupose awal pada wanita

Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat

menimbulkan osteoporosis

Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita

terjatuh misalnya lantai yang licin, obat-obatansedatif dan obat

anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik

Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang

kurang terpajan sinar matahari atau pada penderita

fotosensitifitas misalnya SLE.

Hindari peningkatan ekresi kalsium lewat ginjal dengan

membatasi asupan natrium sampai 3gram/hari untuk

meningkatkan reabsobsi kalsium di tubulus ginjal

Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tingki

dan jangka panjang. Usahakan pemberian glukokortikoid pada

dosis serendah mungkin

Pada penderita arthritis rheumatoid dan arthritis inflamasi

lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya karena

hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas masa

tulang akibat arthritis inflamasi yang aktif.

Page 19: BAB 1(2)-2

BAB 3KESIMPULAN

Osteoporosis adalah suatu penyakit yang sering terjadi yang ditandai

dengan menurunnya densitas massa tulang, oleh karena berkurangnya

matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikroarsitektur dari

jaringan tulang yang sifatnya sistemik dan tulang menjadi rapuh dan

mudah patah

Page 20: BAB 1(2)-2

DAFTAR PUSTAKA

1. Alifatul, D., & Martini, S. (2013). HUBUNGAN ANTARA OBESITAS

DENGAN OSTEOPOROSIS STUDI DI RUMAH SAKIT HUSADA

UTAMA SURABAYA. Departemen Epidemiologi FKM UA .

2. Hammett, Stabler CA, 2004. Osteoporosis from pathophysiology to

treatment. In: Washington American Assosiation for Clinical

Chemistry Press.p. 1-86

3. Murtiwi, Pranoto, Tjokroprawiro, 2015. Osteoporosis. Dalam Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas

Airlagga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.

4. Sennang AN, Mutmainnah, Pakasi RDN, Hardjoeno, 2006. Analisis

Kadar Osteocalsin Serum Osteopenia dan Osteoporosis. Dalam

Indonesian Journal of clinical pathology and medical laboratory,

Vol.12, No.2: hal 49-52

5. Setiyohadi, 2009. Osteoporosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam, Jilid III Edisi V. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit

Dalam Indonesia.