bab 1 sampai bab iv

89
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya, hal ini sejalan dengan keanekaragaman etnik suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dijaga. Kekayaan seni dan budaya juga merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang perlu dilindungi oleh undang–undang tidak semata- mata untuk seni dan budaya itu sendiri tapi dapat pula dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dibidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan bagi penciptanya, bangsa dan negara. Perlunya perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual (selanjutnya disebut HAKI) ini dikarenakan semakin dirasakannya kondisi dunia yang 1

Upload: maria-lumbantoruan

Post on 24-Jun-2015

758 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya, hal ini sejalan dengan keanekaragaman etnik suku bangsa dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dijaga. Kekayaan seni dan budaya juga merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang perlu dilindungi oleh undangundang tidak semata-mata untuk seni dan budaya itu sendiri tapi dapat pula dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan dibidang perdagangan dan industri yang melibatkan para penciptanya. Kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan bagi penciptanya, bangsa dan negara. Perlunya perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual (selanjutnya disebut HAKI) ini dikarenakan semakin dirasakannya kondisi dunia yang mengarah ke liberalisasi serta globalisasi perdagangan. Liberalisasi membawa dampak semakin menigkatnya barang-barang perdagangan maupun jasa yang melewati batas-batas negara. Barang-barang tersebut merupakan hasil karya pekerja-pekerja kreatif, hasil karya yang tentunya telah melalui proses yang panjang mulai dari mempelajari konsep-konsep, dan serangkaian penelitian, yang kemudian baru proses produksi untuk tujuan komersial. Semua kegiatan tersebut akan membutuhkan tenaga, biaya dan buah pikiran manusia yang sangat besar dan rumit. Dengan perkataan lain kehadiran barang dan jasa tersebut dalam proses

2

produksinya telah menggunakan hak kekayaan intelektual sebagai perlindungan terhadap ciptaan dan penciptanya. Untuk itu, keberadaan perlindungan hukum terhadap hak kekayaan intelektual tentu mempunyai arti yang sangat penting karena menyangkut kelangsungan hidup dari pihak-pihak yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan HAKI, salah satu arti penting tersebut misalnya bagi inventor dapat menjamin kepastian hukum baik individu maupun kelompok serta terhindar dari kerugian akibat pemalsuan dan perbuatan curang pihak lain1, dan juga pemegang hak dapat melakukan upaya hukum baik perdata maupun pidana dalam masyarakat umum. Selain terhadap inventor, perlindungan hukum terhadap HAKI juga berpengaruh terhadap kelangsungan pihak-pihak seperti pengarang buku, pengarang lagu, pengusaha sampai dengan pembuat makanan tradisional sekalipun. Namun pada kenyataanya semakin majunya suatu teknologi dan semakin terus berkembangnya permasalahan HAKI sekarang ini, sesuai pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka hal ini semakin mengancam keberadaan hasil karya seseorang, karena semakin tingginya ilmu teknologi yang berkembang pada saat ini mempermudah seseorang untuk melakukan pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual seseorang. Setiap orang memiliki ide - ide pemikiran, yang kemudian dari hasil pemikiran tersebut mereka menuangkanya ke dalam bentuk yang nyata agar dapat dilihat, diketahui dan dinikmati oleh orang banyak. Bentuk dari hasil pemikiran tersebut kemudian dapat juga dengan mudah dibajak dan

1

www.IDKMOnline.com ditulis oleh Direktorat Jenderal industri dan Dagang Kecil Menegah. 2004.

3

diedarkan oleh seseorang baik yang dipasarkan di dalam negeri maupun ke luar negeri. Atas pertimbangan tersebut, maka dirasakan perlu adanya perlindungan terhadap hasil karya-karya mereka oleh dunia internasional untuk menjamin rasa aman dan menanggulangi beredarnya barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual di dunia. Dalam dunia internasional, terdapat beberapa organisasi internasional yang sangat penting, yang berhubungan dengan masalah HAKI. Organisasi tersebut adalah :2 1. Organisasi HAKI Se-Dunia (WIPO) 2. Perjanjian Umum Tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) 3. Organisasi Perdagangan Se-Dunia (WTO, yang menggantikan GATT. Dalam hal ini, penulis hanya menjelaskan tentang WTO. WTO adalah badan internasional yang meninjau aturan-aturan perdagangan internasional yang tujuan pembentukannya adalah untuk: 1. Memfasilitasi perdagangan, 2. Menetapkan sistem berdasarkan aturan untuk perdagangan, menyelesaikan sengketa perdagangan antar pemerintah, dan 3. Mengatur negosiasi perdagangan. Sehubungan dengan tujuan pembentukanya, maka WTO pun kemudian melakukan sejumlah perundingan-perundingan, yang salah satu perundinganya diadakan di negara Uruguay yang lebih dikenal dengan Uruguay Round dimana dalam perundingan tersebut membahas mengenai persetujuan-persetujuan yang2

Suyud Margono dan Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, CV. Vovindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2002., hlm. 14

4

berkaitan dengan perlindungan HAKI yang berhubungan dengan aspek perdagangan (TRIPs Agreement). Sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Badan Perdagangan Dunia (WTO). maka dengan ini mewajibkan Indonesia sebagai anggota untuk juga dalam perundang-undangan nasional menaati dan memuat semua ketentuan yang termasuk dalam Persetujuan TRPS (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights),3 pada tanggal 1 Januari 2000. Sehubungan dengan hal tersebut, tindakan penyesuaian ini ditandai dengan serangkaian kegiatan seperti menyesuaikan undang-undang nasional dibidang hak kekayaan intelektual dan memaksimalkan instansi pemerintah yang ada, guna memperkecil tingkat peredaran barang-barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual di pasar Indonesia maupun ekspor ke negara lainnya. Sebagai wujud dari tindakan penyesuaian undang-undang nasional terhadap TRIPS Agreement tersebut dan sebagai salah satu instansi-instansi yang mempunyai fungsi penting dalam perlindungan terhadap Hak kekayaan intelektual ini adalah Direktorat Jendaral Bea dan Cukai (selanjutnya disebut DJBC) yang berfungsi sebagai penjaga tapal batas antar negara, mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan pencegahan keluar masuknya setiap barang palsu/bajakan ke atau dari negara RI, sehingga hal tersebut dapat mempersempit ruang gerak perdagangan barang palsu/bajakan. Terlibatnya pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai salah satu instansi pemerintah dalam hal perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual3

Sudargo dan Winata Rizawanto, Hak kekayaan intelektual, Peraturan Baru Desain Industri, Cetakan Kedua Yang Direvisi dan Ditambah, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2004., hlm. 4

5

adalah sebagai penyesuaian dan pelaksanaan dari Bab III bagian I merupakan sesuatu keharusan Bea dan Cukai untuk melindungi HAKI4 dan bagian 4 TRIPs Agreement tentang persyaratan khusus yang terkait dengaan tindakan di tapal batas negara. Ketentuan ini kemudian di adopsi di dalam bagian kedua, BAB X UU Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang telah diubah atau ditambah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006,5 yang mengatur tentang pengendalian impor dan ekspor lalu-lintas barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual, yang termuat dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 dengan melakukan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor dan ekspor. Direktorat Jendaral Bea dan Cukai sebagai instansi yang bertugas sebagai penjaga tapal batas negara yang melakukan pengendalian/pengawasan terhadap impor dan ekspor lalu-lintas barang, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar dalam hal ini mempunyai beberapa potensi yang sangat penting terhadap perlindungan hak kekayaan intelektual. Beberapa potensi tersebut ialah antara lain6:

4

Warta Bea dan Cukai, Pindah Lokasi Penimbunan Demi Kelancaran Arus Barang di Pelabuhan, Edisi 404, Juli, 2008., hlm. 68. 5 www.bppk.depkeu.go.id, ditulis oleh Sunarno, 2008. 6 Warta Bea dan Cukai, Menuju Portal Indonesia National Single Window. Edisi 388, 2007., hlm. 49.

6

1. Dengan posisinya di pintu gerbang dan perbatasan wilayah negara, sebagai aparat pengawasan lalu-lintas barang, maka Bea dan Cukai akan dapat secara efektif mencegah dan menangkal barang-barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual, sebelum barang tersebut masuk dalam sistem distribusi dan peredaran bebas dimana akan sangat rumit dan memakan biaya besar untuk memberantasnya; 2. Aparat Bea dan Cukai memiliki kewenangan dibidangnya, yang memungkinkan untuk melakukan pencegahan atau penyitaan barang, melakukan pemeriksaan fisik (termasuk di tempat importir dan eksportir), serta memeriksa dokumen yang berkaitan; 3. Dengan informasi yang dimiliki Bea dan Cukai dapat mengindentifikasi dan menangani sampai ke sumber darimana barang yang melanggar tersebut berasal; dan 4. Dengan kerjasama antar Bea dan Cukai di berbagai negara (negara pengekspor-transit-pengimpor), diharapkan dapat dilacak dan dicegah terjadinya pelanggaran hak kekayaan intelektual. Sebagai wujud potensi yang dimiliki oleh Bea dan Cukai, pihak Bea dan Cukai berhasil menemukan dan menggagalkan ekspor playstation tujuan Timur Tengah sebanyak satu kontainer yang berisi 712.000 keping melalui pelabuhan Tanjungpriok,7 kemudian pada tanggal 1 November 2007 ditemukanya kasus pelanggaran terhadap merek, dimana pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penangguhan pengeluaran barang dari wilayah pabean berupa tabung gas elpiji yang terdapat logo pertamina, sedangkan pihak pertamina saat itu tidak7

www.Kapanlagi.Com, 2005.

7

ada mengimpor tabung gas dari china,8 Tindakan penangguhan yang dilakukan pihak DJBC saat itu dilakukan karena jabatan, sesuai dengan ketentuan Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, yang berawal karena PIB (Pemberitahuan Impor Barang) terhadap barang tersebut menyalahi aturan yang ada. Selain itu pihak pabean juga berhasil melakukan pencegahan/penyitaan terhadap barangbarang hasil pelanggaran linnya seperti tas kulit, jam, dll. Dapat dikatakan pada kenyataanya bahwa walaupun Indonesia telah berhasil menggagalkan beberapa kasus pelanggaran HAKI dan secara konstitusi telah memiliki peraturan dan perundang-undangan yang seharusnya mampu mencegah perdagangan yang terkait dengan pelanggaran aspek HAKI, namun Indonesia masih saja masuk dalam kategori ke dalam negara priority watch list9 dalam masalah pembajakan. Misalnya, di Indonesia menurut harian Kompas terdapat sebuah perusahaan (Sutracom) yang ditengarai sebagai salah satu jaringan pemubuatan kaset dan VCD bajakan internasional. Menurut Roger Paulus Silalahi (Deputi anti pembajakan Asosiasi Rekaman Indonesia), hasil dari penjualan kaset dan CD bajakan tersebut digunakan untuk membiayai mafia penjualan organ tubuh manusia, terorisme dan penjualan narkotika dan prostitusi anak.10 Masih memprihatinkannya kondisi Indonesia di bidang perlindungan HAKI ini tidak lepas dari peranan institusi yang terkait di bidang penegakan HAKI. Salah satunya institusi tersebut adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dimana DJCB merupakan institusi pertama yang berhadapan dengan keluar masuknya barang dalam suatu perdagangan internasiona. Masih didapatinya barang8 9 10

www.beacukai.co.id, ditulis oleh Adi, 2007. www.inovasi.lipi.go.id www.gatra.com , ditulis oleh Tma, Ant. 2002.

8

palsu/bajakan masuk ke dalam Indonesia atau produk bajakan yang berhasil keluar dan dipasarkan di pasaran, merupakan bukti dari masih lemahnya normanorma perlindungan HAKI yang ada di dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006. Seperti yang tercantum dalam pasal 54 menyatakan harus adanya permintaan penangguhan terlebih dahulu oleh pemilik merek/hak cipta, hal ini seperti menempatkan instansi DJBC hanya sebagai tempat penitipan barang, sedangkan pada ketentuan TRIPS Agreeement DJBC dihwajibkan untuk melindungi HAKI. Dari data yang didapatkan, menurut International Data Corpporation (IDC), Indonesia adalah negara dengan angka pembajakan software tertinggi ketiga di dunia pada tahun 2005. Konsumsi produk musik rekaman asli diperkirakan hanya 10%, dan 40% pasar elektronik dikuasai barang palsu dan illegal.11 Pelanggaran terhadap hak cipta dan merek seakan-akan telah menjadi suatu hal yang lumrah yang ada di dalam masyarakat. Hal tersebut membuktikan bahwa perdagangan barang palsu/bajakan senyatanya ada. Sehubungan dengan pentingnya fungsi DJBC sebagai penjaga tapal batas negara terhadap perlindungan hukum hak kekayaan intelektual tersebut, maka penulis mengambil judul : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PERSPEKTIF UNDANG-

UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG KEPABEANAN NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG

11

Warta Bea Cukai, Langkah Konsisten Reformasi Kepabeanan, Edisi 387, 2007., hlm. 20.

9

B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis mencoba merumuskan beberapa hal yang menjadi permasalahan pokok dan pembahasan skripsi yaitu : 1. Apa saja ketentuan penegakan hukum hak kekayaan intelektual dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undangundang Nomor 10 Tahun Tentang Kepabeanan? 2. Apakah fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melindungi hak kekayaan intelektual dalam perspektif Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui ketentuan penegakan hukum hak kekayaan intelektual dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. b. Untuk mengetahui fungsi DJBC dalam melindungi hak kekayaan intelektual yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan .

2. Manfaat penelitian

10

a. Manfaat penelitian ini sangat diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembaca dalam kajian lebih lanjut dalam bidang Hukum Ekonomi khususnya dalam mata kuliah HAKI. b. Bagi Masyarakat, mengetahui fungsi DJBC dalam perlindungan hak kekayaan intelektual. c. Bagi Pemerintah, dapat memberikan suatu pemikiran yang dapat membantu di dalam pembentukan suatu aturan atau ketentuan UndangUndang yang berkenaan dengan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual, sehinga dapat memiliki aturan yang tegas dan jelas dalam memberikan perlindungan hukum bagi pencipta.

D. Kerangka Konseptual Untuk menjelaskan pengertian judul ini, penulis akan menguraikan pengertian yang berkenaan sebagai berikut: 1. Hak kekayaan intelektual Hak kekayaan intelektual, disingkat HKI atau akronim HaKI, adalah padanan kata yang bisa digunakan untuk Intellectual Property Rights, yakni hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia.12

2. Perlindungan

12

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Op. Cit., hlm.03.

11

Perlindungan dalam arti perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum mempunyai rumusan yang bermacam-macam. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan perlindungan hukum yaitu perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual berupa pengakuan terhadap hak yang dimiliki, dihormati dan dipertahankan bagi pihak lain dari tindakan yang melawan hukum.13 3. Perspektif Adalah sudut pandang.14 4. Undang-Undang Ketentuan-ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (presiden. kepala pemerintahan, raja).15 5. Kepabeanan Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar

E. Landasan Teoritis13

Bambang Kesewo, Pengantar Umum Mengenai HAKI di Indonesia, FH-UGM, Yogyakarta, 1995., hal. 144. 14 Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka, Jakarta, 2005., hal. 864 15 Ibid., hal. 1245.

12

Dalam kepustakaan hukum Anglo Saxon adalah dikenal dengan Intellectual Property Rights. Hal ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi hak milik intelektual16 yang selanjutnya diartikan atas kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual mempunyai pengertian yang sangat luas, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pendapat para ahli mengenai hal tersebut, salah satunya pendapat yang mengartikan hak kekayaan intelektual adalah bahwa hak atas hak kekayaan intelektual adalah hak atas kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak hasil kerja rasio. Hasil dari penjelmaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya berupa benda immaterial. Para ahli membagi hak kekayaan intelektual menjadi dua bagian. Hak kekayaan intelektual sebagai induknya yang memiliki dua cabang besar yaitu : 1. Hak milik perindustrian/ hak atas kekayaan perindustrian (industrial property right); 2. Hak cipta (copyright) beserta hak-hak berkaitan dengan hak cipta (neighboring rights). Hak cipta diberikan terhadap ciptaan dalam ruang lingkup bidang ilmu pengetahuan, kesenian, dan kesusasteraan. Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu "seorang atau beberapa orang secara bersamasama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi".

16

O.K.Saidin, Aspek Hukum Hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights), Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, PT. raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003., hlm. 11

13

Perbedaan antara hak cipta (copyright) dengan hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighboring rights) terletak pada subyek haknya. Hak cipta subyek haknya adalah pencipta sedangkan pada hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta subyek haknya adalah artis pertunjukan terhadap penampilannya, produser rekaman terhadap rekaman yang dihasilkannya, dan organisasi penyiaran terhadap program radio dan televisinya. Baik hak cipta maupun hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta di Indonesia diatur dalam satu undang-undang, yaitu Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan produk (barang dan atau jasa) tertentu dengan yang lainnya dalam rangka memperlancar perdagangan, menjaga kualitas, dan melindungi produsen dan konsumen. Indikasi geographis merupakan tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis, termasuk alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut yang memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Sehingga, disamping tanda berupa merek juga dikenal tanda berupa indikasi geografis berkaitan dengan faktor tertentu. Merek dan indikasi geografis di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Merek (UUM). Lahirnya hak kekayaan intelektual ini adalah untuk melindungi hasil dari ide / pikiran seorang penemu, agar hak mereka atas hasil kerjanya tidak digunakan secara semena-mena, dalam hal ini misalnya kegiatan pembajakan. Akan tetapi pada dasarnya, Hak kekayaan intelektual ini lebih mengatur kepada bentuk hak karena hak kekayaan intelektual adalah hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual.1717

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Loc. Cit.

14

Perkembangan hak kekayaan intelektual yang semakin maju seiring dengan perkembangan zaman yang global dan teknologi yang semakin canggih, apalagi dalam bidang perdagangan internasional yang semakin mengharuskan adanya pengaturan yang jelas mengenai hak kekayaan intelektual. Masalah ini pun kemudian mulai di bahas di putaran Uruguay yang dari putaran tersebut menjadi TRIPs Agreement. Dengan adanya TRIPs Agreement, Indonesia sebagai anggota WTO (World Trade Organitation) maka wajib menyesuaikan undang-undang nasional. Salah satunya dengan membuat Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan yang kemudian dirubah menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 yang mengatur tentang hal yang sebelumya tidak diatur yaitu memasukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai salah satu instansi pemerintahan di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan hak kekayaan intelektual di Indonesia. Menurut Pasal 1 Ayat 10 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah unsur pelaksana tugas pokok dan fungsi Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai Sebelum TRIPs Agrement, instansi Bea dan Cukai di banyak negara pada umumnya tidak terlibat dibidang hak kekayaan intelektual. Namun sejak adanya TRIPs Agreement, kedudukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sekarang ini menjadi sangat dipentingkan sebagai penjaga tapal batas negara yang memungkinkan melakukan pencegahan atau penyitaan barang eksport-import

15

yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran Hak kekayaan intelektual, seperti yang tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, ketua Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang import atau eksport dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga sebagai hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 1 yang menyatakan : kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar Pengawasan yang dilakukan oleh pihak kepabeanan adalah pengawasan terhadap lalu lintas barang, dalam hal ini adalah barang-barang yang termasuk dalam kategori barang penumpang, barang pindahan dan barang kiriman, baik barang kiriman melalui jasa titipan barang maupun kantor pos. Untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang tersebut, Direktorat Jendral Bea dan Cukai sebagai pelaksana mempunyai kewajiban untuk melakukan segala jenis tindakan yang akan mencegah masuk dan keluarnya barang, baik itu barang hasil pelanggaran hukum (dalam hal ini hak cipta dan merek), illegal dan penyelundupan. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaan, pengawasan/ pemeriksaan dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu :18 1. Pengawasan/pemeriksaan preventif, yaitu pemeriksaan yang dilakukan sebelum suatu tindakan tertentu terjadi /dilaksanakan.

18

Soedarsono, Pengantar Lalu Lintas Barang Milik/Yang Dikuasai Negara dan Daerah.

16

2. Pengawasan represif, yaitu yang dilakukan setelah suatu tindakan tertentu terjadi / dilaksanakan. Sebagai pengawas terhadap barang-barang eksport dan import yang berada pada tapal batas negara, kepabeanan dapat mengendalikan barang barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual yang masuk dalam daerah atau wilayah pabean dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap HAKI.

F. Metode Penelitian Dalam usaha mengumpulkan data ataupun keterangan yang diperlukan untuk dapat terlaksana penulisan ini dan tercapainya sasaran yang diharapkan dalam suatu penelitian maka diperlukan metode tertentu. 1. Tipe penelitian Tipe penelitian ini adalah Penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang bertujuan mengambarkan suatu keadaan secara objektif, dalam hal ini berkaitan dengan perlindungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 2. Pendekatan yang digunakan Uraian pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa pendekatan sejarah hukum dan pendekatan perundang-undangan (statuta approach), karena dalam penelitian ini penulis menganalisa pokok permasalahan dengan menggunakan peraturan yang berlaku yaitu UndangUndang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. terhadap hak kekayaan intelektual oleh

17

3. Pengumpulan bahan hukum Pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah dengan metode pengumpulan bahan kepustakaan. Dalam penulisan skripsi bahan kepustakaan yang penulis peroleh adalah peraturan perUndang-Undangan, buku-buku atau literatur, serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tertier. a. Bahan hukum primer terdiri dari Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan terhadap perlindungan Hak kekayaan intelektual. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, terdiri dari berbagai bentuk buku, jurnal, artikel dan lain-lain. c. Bahan hukum tertier yakni bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contoh: kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. 4. Analisis bahan hukum Analisis dilakukan dengan cara menginterprestasikan peraturan perundangundangan sesuai dengan masalah yang dibahas.

G. Sistematika Penulisan

18

Adapun penulisan ini didasarkan pada sistematika yang sederhana dengan tujuan dengan memperjelas permasalahan yang ada, akan dibahas pada bab selanjutnya. Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang materi yang akan dibahas, maka disusun secara sistematis oleh penulis yaitu sebagai berikut: Dalam BAB I pendahuluan ini menerangkan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan/penelitian, kerangka konseptual, landasan teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan. Sedangkan dalam BAB II tinjauan pustaka, disajikan mengenai tinjauan umum yang membahas mengenai sejarah hak kekayaan intelektual, pengertian hak kekayaan intelektual, Sejarah Kepabeanan, dan Pengertian Kepabeanan. Dalam BAB III pembahasan ini kemudian dipaparkan mengenai ketentuan dalam penegakan hukum hak kekayaan intelektual oleh DJBC dalam perspektif Undang-undang Nomor 17/2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10/1995 dan apakah fungsi instansi DJBC terhadap perlindungan HAKI dalam perspektif UU N0.17/2006. Pada BAB IV, ini merupakan penutup dalam penulisan skripsi ini, dimana penulis akan menyimpulkan secara keseluruhan dari semua uraian yang telah dituangkan dalam skripsi ini dan selanjutnya akan penulis kemukakan pula tentang saran-saran penulis

BAB II

19

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Kekayaan Intelektual 1. Sejarah hak kekayaan intelektual Secara historis, peraturan perundang-undangan dibidang hak kekayaann intelektual di Indonesia telah ada sejak tahun 1840-an. Saat itu pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan undang-undang pertama mengenai Hak Kekayaan Intelektual pada tahun 1844. Selanjutnya, Pemerintah Belanda mengundangkan Undang-undang Merek (1885), Undang-undang Paten (1910) dan Undang-undang Hak Cipta (1912). Di Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-Indies telah menjadi anggota Paris Convertion for the Protection of Industrial Property sejak tahun 1988, : anggota Madrid Convention dari tahun 1893 sampai dengan 1936, dan anggota Berne Convention for the protec on of Literaary and Artistic Works sejak tahun 1914. Pada zaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, semua peraturan perundang-udangan dibidang hak Kekayaan Intelektual tersebut tetap berlaku. Kemudian setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945, seluruh peraturan yang berasal dari Belanda tetap akan berlaku, selama undang-undang tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Undang-undang Hak Cipta dan Merek dalam penerapannya tetap berlaku, namun tidak bagi Undang-undang Paten, karena undang-undang tersebut menyatakan bahwa permohonan paten dapat diajukan di

20

kantor paten yang berada di batavia (sekarang Jakata), namun pemeriksaan atas permohonan tersebut harus dilakukan di Octooiroo yang berada di Belanda. Pada tahun 1953 Menteri Kehakiman RI mengeluarkan pengumuman yang merupakan perangkat peraturan nasional pertama yang mengatur tentang paten, yaitu Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.S. 5/41/4, yang mengatur

tentang pengajuan sementara permintaan paten dalam negeri, dan Pengumuman Menteri Kehakiman Nomor J.G. 1/2/17, yang mengatur tentang pengajuan sementara permintaan paten luar negeri. Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan Undangundang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan untuk mengganti Undang-undang Merek Kolonial Belanda. Undang-undang Merek Tahun 1961 yang merupakan Undang-undang Indonesia pertama dibidang hak kekayaan intelektual yang mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan Undang-undang Merek Tahun 1961 dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/ bajakan. Pada tanggal 10 Mei 1979 Indonesia meratifikasi Konvensi Paris berdasarkan Keputusan Presiden No 24 Tahun 1979. Partisipasi Indonesia dalam Konvensi Paris saat itu belum penuh karena Indonesia membuat pengecualian (reservasi) terhadap sejumlah ketentuan, yaitu Pasal 1 sampai dengan 12, dan Pasal 28 ayat (1). Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta (Undang-undang Hak Cipta 1982) untuk menggantikan Undang-undang Hak Cipta peninggalan Belanda. Pengesahan

21

Undang-undang Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi penciptaan dan penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu, seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Akibat semakin tingginya tingkat pelanggaran-pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual maka pemerintah kemudian membuat beberapa perubahan kembali terhadap undang-undang yang telah ada untuk melindungi hak kekayaan intelektual seseorang. Serangkaian perubahan undang-undang tersebut adalah: 1. Pada tanggal 19 September1987 Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan Atas Undang-udang Nomor 12 Tahun 1982 Tentang Hak cipta. 2. Pada tanggal 13 Oktober 1989 DPR menyetujui RUU tentang paten, yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989. Undangundang Paten tersebut berlaku pada tanggal 1 Agustus 1991. 3. Pada tahun 1992, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undangundang 19 Tahun 1992 Tentang Merek manggantikan Undang-undang Merek Tahun 1961 Pada tahun 1994, Pemerintah Republik Indonesia menandatangani FinalAct Embodying the Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, yang mencakup Aggrement Trade Realated Aspecs of Intellectual Propety Rights (TRIPS) Tiga tahun kemudian, pada tahun 1997 pemerintah merevisi perangkat peraturan perundang-undangan dibidang hak kekayaan intelektual, yaitu Undangundang Hak Cipta dan Undang-undang Merek Tahun 1982.

22

Di pengujung tahun 2000, disahkan tiga undang-undang baru dibidang hak kekayaan intelektual yaitu: 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang 2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri 3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Sirkuit Terpadu. Dalam upaya menyelaraskan semua peraturan perundang-undangan dibidang hak kekayaan intelektual dengan peresetujuan TRIPS Agreement, pada tahun 2001 pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Kedua undangundang ini mengantikan undang-undang yang lama dibidang terkait. Pada pertengahan tahun 2002, disahkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menggantikan undang-undang yang lama19 dan berlaku efektif satu tahun sejak diundangkannya. Pembentukan hak atas kekayaan intelektual ini berfungsi sebagai berikut :20 1. Melindungi inovasi , kreatifitas, serat memberi imbalan terhadap siapa saja yang mampu melakukan kreatifitas dan inovasi atas suatu penemuan, desain, dan merek. 2. Memberikan hak ekslusif dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain bahwa hak eksklusif terhadap hak kebendaan tidak berwujud yang dimiliki oleh pemlik Hak Kekayaan Intelektual atau penerima Hak Kekayaan Intelektual adalah terbatas.19 20

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Op Cit., hlm.05. Insan Budi Maulana, Bianglala HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), Diterbitkan Atas kerjasama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia., hlm.15.

23

2. Pengertian hak kekayaan intelektual (HKI) Dalam kepustakaan hukum Anglo saxon ada dikenal sebutan Intellectual Property Rights. Kata ini diterjemahkan kemudian ke dalam bahasa Indonesia menjadi Hak milik intelektual21 yang selanjutnya diartikan dengan hak kekayaan intelektual. Padahal tidak semua hak kekayaan intelektual ini merupakan hak milik dalam arti sesungguhnya. Bisa merupakan hak untuk memperbanyak saja atau untuk mempergunakanya dalam produk tertentu. Hak kekayaan intelektual mempunyai pengertian yang sangat luas, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pendapat para ahli mengenai hal tersebut. Salah pendapat yang mengartikan Hak Kekayaan Intelektual adalah hak atas kekayaan intelektual, hak kekayaan intelektual adalah hak atas kebendaan, hak atas suatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud22. Hasil kerja otak itu kemudian dirumuskan sebagai

intelektualitas. Orang yang optimal memerankan kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu menggunakan rasio, mampu berfikir secara rasional dengan menggunakan logika (metoda berpikir, cabang filsafat). Karena itu hasil pemikirannya disebut rasional atau logis. Orang yang tergabung dalam kelompok ini disebut kaum intelektual. Namun demikian secara garis besarnya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan hak kekayaan intelektual adalah merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik material maupun immaterial. Bukan bentuk21 22

O.K.Saidin, Loc. Cit Ibid., hlm. 9

24

penjelmaanya yang dilindung tetapi daya cipta dan atau penemuan itu sendiri. Daya cipta itu dapat berupa hasil-hasil seni, penemuan dapat meliputi teknologi dan industri. Istilah Property Rights diterjemahkan dengan istilah hak kekayaan intelektual yang berarti suatu hak atas milik yang berada dalam ruang lingkup kehidupan teknologi, ilmu pengetahuan maupun seni sastra, pemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan hasil kemampuan intelektual manusianya, diantaranya berupa ide. Hal ini Muhammad Djumha, dan R. Djubaedillah menyatakan bahwa hak milik intelektual, melindungi pemakaian ide dan informasi yang mempunyai nilai komersial dan ekonomi. Menurut Sri Rejeki Hartini, hak milik intelektual pada hakekatnya merupakan suatu hak dengan karakteristik khusus dan istimewa, karena hak tersebut diberikan oleh negara. Negara berdasarkan ketentuan undang-undang memberikan hak khusus tersebut kepada yang berhak, sesuai dengan prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.23 Invensi/temuan, desain, hak cipta dan sejenisnya adalah hasil dari kegiatankegiatan pengembangan dan investasi, dan sebagai tambahan, guna memelihara dan mempertahankan dorongan untuk mencipta, diperlukan suatu jaminan terhadap riset dan pengembangan dengan biaya tinggi. Seperti halnya kekayaan tanah penting untuk pertanian, kekayaan intelektual juga penting untuk industri. Dari sudut pandang para pencipta yang terlibat dalam industri, sangat dibutuhkan perlindungan terhadap kekayaan intelektual yang menjamin prestasi mereka.23

Pipin Syarifin, dan Dedah Jubaedah, Peraturan hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Bandung: Pustaka Bani Quarisy, 2004, hlm 3-4.

25

Hak-hak kekayaan intelektual adalah satu dari alat alat yang sangat diperlukan dalam masyarakat industri. Di dalam suatu masyarakat yang di dalamnya kekayaan intelektual dilangar dan pemalusan merajalela beredar, perkembangan ekonomi dan kebudayaan tidak dapat diharapkan terwujud. Untuk mencapai masyarakat ekonomis dan industrialis, sangat diperlukan agar setiap orang mempromosikan kekuatan kreativitas serta kekuatan riset dan

pengembangan mereka sendiri sambil mempunyai kesadaran bahwa harta kekayaan yang tidak terwujud seperti kreativitas, dan kredibilitas, merupakan kekayaan yang sangat penting seperti halnya kekayaan berwujud lainnya Batasan dari hak kekayaan intelektual ini adalah terpisahnya antara hak kekayaan intelektual itu dengan hasil material yang menjadi bentuk jelmaannya disebut juga benda berwujud. Jadi ada dua bagian yang terdapat dalam hak kekayaan intelektual itu sendiri yaitu: 1. 2. Ide atau pikiran dari seorang penemu Hasil dari ide atau pikirannya yang diwujudkan dalam suatu bentuk

Lahirnya hak kekayaan intelektual ini adalah untuk melindungi hasil dari ide atau pikiran seorang penemu, agar hak mereka atas hasil karya tidak digunakan secara semena-mena, dalam hal ini misalnya kegiatan pembajakan. Oleh karena itu pemerintah wajib melindungi hasil karya warganya dengan satu perangkat hukum yang jelas mengenai hak kekayaan intelektual. Menurut Setyo Budhiwaskita dkk, menyatakan bahwa hak kekayaan intelektual terbagi atas dua kelompok besar yaitu:24 1. Hak Cipta (Copy Rights)24

Ibid., hlm.4.

26

2. Hak Kekayaan Perindustrian (Industrial Property Rights), hak kekayaan perindustrian ini terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu: a. b. c. d. e. f. g. h. i. Paten Model dan Rancangan Baangun Desain Industri Meerek Dagang Pelayanan Dagang Nama Dagang atau Nama Niaga Sebutan asal Sumber Tanda Perlindungan Terhadap persaingan yang Tidak Sehat

Berdasrkan kerangka WTO/TRIPS ada 2 (dua) bidang yang perlu ditambahkan lagi yakni: 1. Perlindungan Varietas baru tanaman dan 2. Integrated Circuits (rangkaian elektronika terpadu) Perkembangan hak kekayaan intelektual semakin melaju seiring dengan perkembangan zaman yang global. Apalagi dalam bidang perdagangan internasional yang semakin maju mengharuskan adanya pengaturan yang jelas mengenai hak atas kekayaan intelektual ini. Hasilnya tidak mengecewakan, masalah hak atas kekayaan intelektual ini mulai dibahas dalam putaran Uruguay khususnya dalam perundingan di Jenewa bulan September 1990, Intellectual Property in Bussinis briefing mendiskusikan masalah tersebut yang kemudian menjadi TRIPS (Trade Related Aspect of Intellectual property Rights) atau aspek

27

aspek dagang yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual. Tujuan didirikannya Badan Khusus untuk mengatasi masalah hak atas kekayaan intelektual yaitu TRIPs adalah: 1. Meningkatkan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektul dari produk produk yang diperdagangkan. 2. Menjamin prosedur pelaksanaan hak kekayaan intelektual yang tidak menghambat kegiatan perdagangan. 3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanan perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual. 4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerja sama internasional untuk menangani perdagangan barangbarang hasil pemalsuan atau

pembajakan hak atas kekayaan intelektual. Kesemuanya tetap memperhatikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh World Intellectual Property Organization (WPO)

B. Kepabeanan 1. Sejarah kepabeanan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan merupakan undang-undang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Landasan falsafah ini berbeda dengan Undang-Undang Kepabeanan yang ada sebelum undang-undang sebelumnya, yaitu: a. Idische Tarief Wet (Undang-undang Tarief Indonesia) Staadblad

1873 Nomor .35

28

b. c.

Rechten Ordonanntie Staadblad 1882 Nomor 240 Tarief Ordonantie staadblad 1910 Nomor 628

Dimana ketiga produk hukum tersebut seiring perjalanan waktu ternyata dinilai kurang efisien dan efektif, karena setiap barang yang datang dari luar negeri harus melalui pemeriksaan fisik untuk disesuaikan dengan dokumennya dan dalam proses pemeriksaan tersebut, harus melalui 13 meja. Dalam proses pemeriksaan ini pun memakan biaya yang tidak sedikit. Menurut Wirawan menyatakan : karena proses kepabeanan yang harus dilalui sangat rumit dan berbelit-belit mengakibatkan situasi pelayanan, terutama pelayanan dokumen menjadi sangat padat. Bahkan untuk mengurus satu dokumen tidak hanya cukup melalui 13 meja tetapi sekitar 40 meja. Akibat rumitnya birokrasi Bea dan Cukai saat itu yang berdampak pada terjadinya kongesti dan lemahnya perekonomian Indonesia, maka pemerintah pada tahun 1970 melakukan serangkaian deregulasi dan debirokritisasi untuk memangkas semua hambatan, dimana pimpinan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah mengajukan beberapa kali keinginan untuk mengadakan pembaharuan peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai. Hal tersebut kemudian mendapat respon dari Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP. 100/MK/7/1/1975 Tentang Pembentukan Tim Persiapan Penyusunan Undang-undang Tentang Kebeacukaian beserta dengan pelaksanannya dengan bantuan international Monetery Fund (IMF) hingga 1977. Kemudian pada tahun 1985, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengalami pembenahan melalui

29

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 1985, dimana dalam Inpres tersebut dikatakan bahwa sebagian tugas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dibekukan dan mengalihkannya pada surveyor asing yang disewa pemerintah untuk pemeriksaan barang impor Indonesia di negara asal barang. Segala upaya dilakukan, namun upaya yang dilakukan untuk membuat undang-undang yang lebih jelas dan sesuai dengan perkembangan jaman ternyata masih menemui hambatan, hingga pada tahun 1993 upaya yang dilakukan pun membuahkan hasil yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 827/KMK/05/1993 mengenai pembentukan tim perundang-undangan. Setelah terbentuknya tim penyusunan RUU, berbagai langkah dilakukan dengan membahas dan menyusun kembali dalam rangka penyempurnaan RUU Kepabeanan dan Cukai, dan untuk itu tim penyusunan RUU mengambil referensi guna mendukung terbentuknya suatu perundang-undangan yang ideal dan sesuai dengan perkembangan zaman. Referensi yang digunakan oleh pemerintah adalah menggunakan refrensi dari World Custom Organization sebagai induk organisasi pabean sedunia, World Trade Organization, GATT Valuation Agreement, GATT Code on Dumping and Subsidies, Trade Realated aspec f intelecctual Property Rights (TRIPs), dll. Selain referensi dari luar, pemerintah juga mengambil referensi dari dalam negeri seperti perundang-undangan perpajakan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dan ditambah, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta dan

30

Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek, RUU Kepabeanan, RUU Tarif dan RUU Cempaka Putih Tahun 1986, termasuk juga literatur kebeacukaian. Pada akhirnya berdasarkan referensi-referensi tersebut, akhirnya lahirlah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan menggantikan produk lama peninggalan kolonial Belanda dan sekaligus kembalinya kewenangan bea dan cukai dalam melakukan pemeriksaan barang yang sebelumnya dilakukan oleh surveyor asing. Tepatnya pada tanggal 30 Desember 1995 RUU Kepabeanan dan RUU Cukai disahkan menjadi Undang-undang Nomor.11 dan Undangundang Nomor 11 Tahun 1995 yang diundangkan di Jakarta. Setelah diundangkanya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dalam prakteknya menimbulkan tanggapan beragam, baik dari

kalangan pengusaha maupun dari kalangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sendiri. Pada prakteknya, seiring berjalannya waktu, ditemukannya kekurangan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tersebut yaitu misalnya mengenai adanya suatu terobosan yang inovatif namun tidak mempunyai pijakan hukum yang cukup kuat. Kemudian juga mengenai adanya jalur prioritas yang tidak ada dasar hukum dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995, begitu juga registrasi importir yang tidak ada di undang-undang tersebut, padahal hal tersebut sangat diperlukan, dan isu lainnya yang melemahkan Bea dan Cukai. Untuk itu kemudian Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 diamandemenkan untuk

menyempurnakan undang-undang tersebut.25 Kemudian pada tahun 2006 disahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan dengan tujuan untuk antara lain25

Warta Bea dan Cukai, Edisi 387, Februari, Op. Cit., hlm. 4.

31

mengantisipasi tuntutan masyarakat para pelaku bisnis, dunia dagang dan internasional untuk mengadakan reformasi perundang-undangan kepabeanan.26

2. Pengertian kepabeanan Dalam Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, didalamnya terkandung azas keadilan, menjunjung tinggi hak setiap anggota masyarakat serta menempatkan kewajiban pabean sebagai kewajiban kenegaraan yang mencerminkan perasaan serta anggota masyarakat dalam menghimpun dana melalui pembayaran bea masuk. Pada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Pasal 1 mendefinisikan kepabeanan kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar Pengawasan pada intinya adalah proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan.27 Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan, dan apakah sebab-sebabnya. Fungsi dari pengawasan adalah agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan atau dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah direncanakan, dikehendaki maupun diperintahkan oleh suatu peraturan yang berlaku. Dengan dilakukannya

26

Ali Purwito M, Kepabeanan Dan Cukai (Pajak Lalu Lintas Barang) Teori dan Aplikasi, Kajian Hukum Fiskal FHUI bekerjasama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008., hlm.46. 27 Prajudi Atmosuwirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, 1983., hal.82-83.

32

pengawasan

dapat

diketahui

apa

yang

menyebabkan

kecocokan

atau

ketidakcocokan antara apa yang dikehendaki atau direncanakan dengan apa yang terlaksana atau dijalankan, misalnya menemukan kendala-kendala dan

keterbatasan yang menyebabkan suatu aturan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan saat aturan tersebut diterapkan Kegiatan pengawasan dilakukan dalam rangka penegakan hukum dan upaya agar perundang-undangan kepabeanan, cukai dan peraturan-peraturan depertemen teknis yang dititipkan kepada dan menjadi tanggung jawab bea dan cukai dapat terlaksana dengan baik. Untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang tersebut, Direktorat Jendral Bea dan Cukai sebagai pelaksana mempunyai kewajiban untuk melakukan segala jenis tindakan yang akan mencegah masuk dan keluarnya barang, baik itu barang hasil pelanggaran hukum (dalam hal ini hak cipta dan merek), illegal dan penyelundupan. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaan, pengawasan/ pemeriksaan dapat dibagi dalam beberapa bentuk yaitu :28 1. Pengawasan/pemeriksaan preventif, yaitu pemeriksaan yang dilakukan sebelum suatu tindakan tertentu terjadi /dilaksanakan. 2. Pengawasan represif, yaitu yang dilakukan setelah suatu tindakan tertentu terjadi / dilaksanakan. Berbagai bentuk pengawasan diatas dilakukan oleh pihak Pejabat Bea dan Cukai untuk mengawasi lalu lintas barang yang berada dalam wilayah pabean. Pengawasan yang dilakukan terhadap lalu lintas barang yang masuk dan keluar28

Soedarsono, Pengantar Lalu Lintas Barang Milik/Yang Dikuasai Negara dan Daerah, Loc.

Cit

33

wilayah pabean, menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 (sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006), barang yang termasuk dalam pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dibagi menjadi tiga jenis yaitu: 1. Barang Penumpang Adalah barang impor milik penumpang yang tiba bersama penumpang, sebelum atau setelah kedatangan penumpang bersangkutan, yang dapat berupa barang keperluan diri dan sisa bekal baru atau bekas yang diperlukan selama perjalanan dan/bawaan lainnya.29 2. Barang Pindahan Adalah barang-barang yang karena kepindahan pemiliknya ke Indonesia dimaksudkan ke dalam daerah pabean Indonesia.30 3. Barang Kiriman Adalah barang yang datang melalaui jasa titipan barang dan barang yang datang melalui kantor pos. Namun setelah berlakunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, penggolangan terhadap jenis barang yang diawasi bertambah, yaitu pengawasan terhadap barang tertentu di daerah pabean.31 Menurut Pasal 1 butir 19 Undangundang Nomor 17 tahun 2006 menyatakan barang tertentu adalah barang yang ditetapkan oleh instansi teknis terkait sebagai barang yang pengangkutannya di dalam daerah pabean diawasi

29

Abdul Sanni, dan R. Isis Ismail dkk, Buku Pintar Kepabeanan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007., hlm. 124. 30 Ibid., hlm. 174. 31 Warta Bea dan Cukai, Pengawasan DJBC Dalam UU No.17/2006, Edisi 392, Juli., hlm.8.

34

dalam hal penambahan Pasal untuk golongan barang tertentu ini dilakukan karena pemerintah selama ini sering menemukan barang-barang yang diselundupkan keluar dan masuk wilayah Indonesia seperti kayu rotan dan barang-barang bersubsidi lainnya seperti pupuk dan bahan bakar minyak. Pengawasan/pemerikasan yang dilakukan terhadap barang oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah pengawasan terhadap barang yang berada pada daerah pabean. Menurut Pasal 1 butir 2 menyatakan : Daerah pabean adalah Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undangundang Kepabeanan Di setiap daerah pabean yang ada, pihak pabean mempunyai sebuah pos untuk mekukan segala jenis tindakan yang dibutuhkan dalam rangka pengawasan tersebut. Menurut Pasal 1 butir 5 menyatakan : Pos pengawasan adalah tempat yang digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk melakukan pengawasan terhadap lalu lintas barang impor dan ekspor Dalam pos pengawasan tersebut dilakukan salah satu tindakan yaitu pemeriksaan terhadap barang-barang yang berada dalam wilayah tersebut sebagai wujud dari pengawasan. Bentuk pemeriksaan terhadap lalu lintas barang ekspor impor yang dilakukan oleh pihak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai meliputi : 1 Pemeriksaan Administrasi32

32

Ali Purwito M, Op. Cit. hlm. 116

35

Pemeriksaan dengan cara petugas pabean melakukan penelitian administrasi, yang meliputi pemberitahuan pabean beserta lampiran-lampirannya berupa dokumen pelengkap yang diperlukan untuk tujuan penelitian ini 2 Pemeriksaan Fisik33 Untuk mengetahui jumlah dan jenis barang impor yang diperiksa guna keperluan pengklasifikasian dan penetapan nilai pabean. Pemeriksaan fisik atas barang dilaksanakan berdasarkan tingkat resiko yang terbagi atas tingkat yaitu: a. Hi Risk b. Medium Risk c. Low Risk 3. Pemeriksaan Fisik secara jabatan (ex-offisio)34 Adalah pemeriksaan yang diberlakukan atas jabatan seseorang atas barang impor atau ekspor. Pemeriksaaan dilakukan sebelum atau sesudah

pemberitahuan pabean disampaikan ke kantor pengawasan dan pelayanan bea dan cukai. Pejabat Bea dan Cukai berwenang meminta pengangkut, pengusaha tempa penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat/yang

memilikinya untuk menyerahkan barang untuk diperiksa, membuka sarana pengangkut/bagiannya dan membuka setiap bungkusan/pengemas untuk diperiksa. 4. Penelitian/Pemeriksaan Dokumen33 34

Ibid., hlm. 118 Ibid., lhm. 119

36

a. kebenaran dan kelengkapan pengisian data pemberitahuan pabean ekspor b. kelengkapan dokumen lengkap lainnya yang diwajibkan sebagai pemenuhan ketentuan umum dibidang ekspor c. ketentuan perhitungan bea keluar yang tercantum dalam bukti pelunasan bea keluar dalam hal barang ekspor terkena bea keluar dan pemenuhan ketentuan umum dibidang ekspor.

BAB III

37

PEMBAHASAN

A. Ketentuan Penegakan Hukum Hak Atas Kakayaan Intelektual Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mempunyai kewajiban untuk mengendalikan ekspor-impor hasil barang-barang pelanggaran dibidang hak kekayaan intelektual sebagai kalanjutan dari diratifikasi TRIPs Agreement oleh Indonesia sebagai bentuk keikutsertaan dalam Oarganisasi Internasional (WTO). Mengenai ketentuan-ketentuan border measure control yang termuat dalam article 51 s/d 60 the TRIPs Agreement, tepatnya tertuang pada Pasal 54 s/d 64 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, yang didalamnya memuat tentang ketentuan-ketentuan apa saja yang harus dipatuhi, baik oleh pihak yang meminta penangguhan terhadap barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran HAKI maupun oleh pihak DJBC yang menerima perintah penangguhan barang dari Ketua Pengadilan Niga. 1. Tindakan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam kerangka perlindungan hak kekayaan intelektual, tindakan atau kewenangan yang dapat dilaksanakan oleh Bea dan Cukai adalah tindakan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean (Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006).

38

Tindakan border measurement oleh Bea dan Cukai tersebut dianggap cukup efektif untuk mencegah adanya pelanggaran hak kekayaan intelektual. Tindakan penangguhan yang dilaksanakan pada eksit atau entry point di kawasan pabean ini dapat mencegah barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual, sebelum barang tersebut masuk ke jalur distribusi komersial di daerah pabean, dimana pencegahannya akan lebih rumit dan memakan biaya besar. Perlu dicatat bahwa walaupun Pejabat Bea dan Cukai adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam kasus pelanggaran kepabeanan, tetapi bea cukai PPNS di bidang hak kekayaan intelektual, dan tidak mempunyai kewenangan ex-officio(karena jabatan), karena penanganan kasusnya seterusnya diserahkan kepada pihak polri atau PPNS Ditjen Hak Hekayaan Intelektual, untuk memprosesnya. Jadi dalam hal ini pihak Bea dan Cukai tidak mempunyai hak untuk melakukan penyidikan di bidang hak kekayaan intelektual, mereka hanya bisa melakukan tindakan sebatas menangguhkan barang yang berada dalam wilayah pabean saja untuk jenis kasus pelanggaran hak kekayaan intelektual tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, tindakan penangguhan pengeluaran barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual oleh Bea dan Cukai dapat dilaksanakan berdasarkan dua alasan, yaitu: a. Berdasarkan perintah Tertulis dari Ketua Pengadilan Niaga (Pasal 54);

39

b. Dilakukan karena jabatan (ex-officio), apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta (Pasal 62) 2. Jenis-jenis hak kekayaan intelektual yang ditangguhkan pengeluarannya Berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, maka jenisjenis hak kekayaan intelektual yang dapat dimintakan penangguhan

pengeluarannya oleh Bea dan Cukai hanya meliputi merek dan hak cipta. Menurut Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, dengan Peraturan Pemerintah, pengendalian impor atau ekspor barang yang melanggar hak kekayaan intelektual juga dapat diperluas untuk jenis hak kekayaan intelektual selain merek dan hak cipta (misalnya terhadap paten, desain industri, dan lain-lain). Perluasan pelanggaran jenis hak kekayaan intelektual yang dapat ditangguhkan oleh Bea dan Cukai ini, menurut penjelasan Pasal 64, dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan kemampuan dan kesiapan penggelolaan sistem hak kekayaan intelektual. 3. Penangguhan pengeluaran barang berdasarkan perintah tertulis Ketua Pengadilan Niaga Dalm TRIPS Agreement diatur bahwa dalam hal pemilik atau pemegang hak memiliki bukti yang cukup untuk menduga adanya impor barang yang melanggar hak merek atau hak cipta, ia dapat mengajukan permintaan tertulis kepada pihak yang berwenang untuk dilakukannya penangguhan pengeluaran tersebut oleh Bea dan Cukai.

40

TRIPs Agreement tidak menentukan kepada pihak mana permintaan penangguhan ini harus diajukan, hal ini tergantung pada ketentuan masing-masing negara, dengan demikian permintaan tersebut dapat diajukan kepada pihak pengadilan atau kepada instansi-instansi lain termasuk yang diajukan langsung kepada Bea dan Cukai. Berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, maka di Indonesia permintaan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga sebagai pihak yang berwenang mengurusi masalah-masalah bisnis dan niaga yang bersifat hukum perdata. 4. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk meminta penangguhan

pengeluaran barang berdasarkan perintah tertulis Ketua Pengadilan Niaga. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran hak kekayaan intelektual merupakan merupakan syarat yang mutlak sebelum mengambil keputusan untuk menangguhkan pengeluaran barang dari kawasan pabean, baik bagi Ketua Pengadilan Niaga dalam maupun phak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berdasarkan Pasal 55 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Undangundang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, maka permintaan penangguhan pengeluaran barang kepada Ketua Pengadilan Niaga, diajukan dengan disertai a. bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan;

41

b. bukti pemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan; c. perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya, agar dengan cepat dapat dikenali oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan d. Jaminan Contoh bukti-bukti mengenai adanya pelanggaran merek yang dapat diajukan, anara lain :35 1. Nama dan alamat importir atau eksportir dan atau penerima barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual 2. Negara asal barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual 3. Negara pembuat barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual 4. Nama dan alamat orang atau perusahaan yang terlibat dalam pembuatan dan pendistribusian barang yangn melanggar hak kekayaan intelektual 5. Cara pengangkutan dan identitas alat pengangkut yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual 6. Perkiraan pelabuhan dimana pemberitahuan impor/ekspor akan diajukan; 7. Perkiraan tanggal penyerahan pemberitahuan impor/ekspor kepada Bea dan Cukai; dan 8. Nomor tarif pos Harmonized System dari barang yang diduga melanggar hak kekayaan intelektual (apabbila diketahui)

5. Jaminan, kepentingan pemilik barang dan ganti rugi35

Warta Bea Cukai, Edisi 388, Maret, Op. Cit., hlm.51.

42

Dalam hal meminta penangguhan terhadap barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual, suatu jaminan dengan nilai cukup diperlukan untuk melindungi pemilik barang (yang diduga melakukan pelanggaran) dari kerugian yang tidak perlu yang timbul karena pengeluaran barangnya ditangguhkan, dan dengan demikian dapat mengurangi kemungkinan penyalahgunaan hak. Kelengkapan persyaratan dalam pengajuan permintaan penangguhan berdasarkan Pasal 55 tersebut diatas sangat penting dan bersifat mutlak. Hal ini untuk menghindarkan penyalahgunaan tindakan penangguhan tersebut untuk praktek dagang yang merugikan pihak lain, antara lain uuntuk melumpuhkan atau melemahkan saingan dagangnya. Oleh karena itu, pihak yang meminta penangguhan pengeluaran barang wajib menaruh jaminan yang cukup nilainya, yang tujuannya adalah: a. Melindungi pihak yang diduga melakukan pelanggaran dari kerugian yang tidak perlu; b. Mengurangi kemungkinan berlangsungnya penyalahgunaan hak; c. Melindungi Pejabat Bea dan Cukai dari lingkungan adanya tuntutan ganti rugi karena dilaksanakannya perintah penangguhan. Kepentingan pemilik barang tidak diabaikan, sehingga dalam keadaan tertentu (misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak), imporir, eksportir atau pemilik barang impor atau ekspor, dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat untuk memerintahkan sacara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan pengeluaran barang. Dalam

43

pengajuan permintaan ini, pihak-pihak tersebut juga harus menyerahkan jaminan yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf (d). Selanjutnya apabila dari hasil pemeriksaan perkara kemudian terbukti bahwa barang impor atau ekspor yang ditangguhkan ternyata tidak merupakan atau tidak berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta, pemilik barang impor atau ekspor berhak untuk memperoleh ganti rugi dari pemilik/pemegang hak yang meminta penangguhan. Ganti rugi sebagaimana dimaksud diatas diatur dalam article 56 TRIPS Agreement, yaitu pembayaran kompensasi yang memadai atas kerugian yang terjadi karena penangguhan yang salah untuk mengganti kerugian material dan immaterial berupa nama baik, kepercayaan badan hukum dimaksud36. 6. Jangka waktu penangguhan dan peranan pemilik atau pemegang hak Penangguhan pengeluaran barang dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama sepuluh hari kerja sesuai yang tertera dalam Pasal 57 yang menyatakan berdasarkan alasan dan syarat tertentu, dengan perintah dari Ketua Pengadilan Niaga, jangka waktu penangguhan dapat diperpanjang satu kali untuk sepuluh hari kerja perpanjangan penangguhan tersebut disertai dengan perpanjangan jaminan Prinsip yang berlaku dalam perlindungan hak kekayaan intelektual adalah bahwa pemilik atau pemegang hak harus aktif untuk mempertahankan hakhaknya, sedangkan peran Bea dan Cukai adalah membantu terlaksananya perlindungan hak kekayaan intelektual. Oleh karena itulah maka dalam prosedur penangguhan berdasarkan Pasal 54 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 ini, pemilik atau pemegang hak harus aktif untuk mengumpulkan bukti-bukti,36

Ali Purwito M, Op. Cit., hlm. 329.

44

menyiapkan

persyaratan

yang

diperlukan,

dan

mengajukan

permintaan

penangguhan kepada Ketua Pengadilan Niaga. Sehingga apabila barang yang diduga melangar hak kekayaan intelektual agar telah ditangguhkan pengeluarannya oleh Bea dan Cukai, maka pemilik atau pemegang hak menggunakan kesempatan dalam jangka waktu 10 hari kerja (dan mungkin diperpanjang untuk 10 hari kerja lagi) untuk melakukan langkah-langkah atau berlaku, antara lain dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga (Pasal 57 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006) 7. Kewajiban yang dilakukan Bea dan Cukai Kewajiban Bea dan Cukai atas penerimaan perintah Tertulis dari Pengadilan Niaga adalah: a. memberitahukan secara tertulis kepada pihak importir, eksporir,

atau pemilik barang mengenai adanya perintah penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspornya;37 b. melaksanakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor

dari kawasan pabean, terhitung tanggal diterimanya perintah tertulis.38 8. Pengakhiran penangguhan a. Sebagaimana dituliskan pada Pasal 57 ayat 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, jangka waktu penangguhan pengeluaran barang selama sepuluh hari kerja harus digunakan oleh pihak yang meminta penangguhan untuk melakukan tindakan hukum yang diperlukan dalam mempertahankan haknya. Dalam hal tindakan hukum untuk mempertahankan hak yang telah mulai37 38

Endang Tata,Modul Hak Kekayaan Intelektual,2007., hlm. 18 Ibid

45

dilakukan, dalam jangka waktu sepuluh hari pihak yang meminta penangguhan wajib secepatnya melaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai b. Menurut Pasal 59 Undang-undang Kepabeanan, apabila dalam jangka waktu sepuluh hari kerja Pejabat Bea dan Cukai tidak menerima pemberitahuan dari pihak yang meminta penangguhan bahwa tindakan hukum telah dilakukan, dan Ketua Pengadilan Niaga tidak memperpanjang secara tertulis, pejabat bea cukai wajib mengakhiri tindakan penangguhan pengeluaran barang.

Selanjutnya barang diproses/diselesaikan sesuai ketentuan kepabeanan. c. Pengakhiran penangguhan juga dapat dilakukan karena sifat barang, dimana dengan alasan sifat barang yang mudah rusak (dalam kekadaan tertentu), permohonan dapat diajukan kepada Pengadilan Niaga di daerah yuridiksi barang tersebut berada. Kemudian Pengadilan Niaga akan memerintahkan kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk mengakhiri penangguhan pengeluaran barang. Hal ini diatur dalam Pasal 60 undang-undang Nomor 17 Tahun 2006. 9. Pemeriksaan barang oleh pemegang/pemilik hak Izin untuk melakukan pemeriksaan barang yang ditangguhkan, diatur dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006. a. atas permintaan pemilik atau pemegang hak yang meminta perintah penangguhan, Ketua Pengadilan Niaga dapat memberikan izin kepada pemilik atau pemegang hak guna memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluarannya.

46

b. pemberian izin pemeriksaan oleh Ketua Pengadilan Niaga dilakukan setelah mendengar dan mempertimbangkan penjelasan serta memperhatikan

kepentingan pemilik barang impor atau ekspor. c. pemeriksaan tersebut dilakukan dalam rangka identifikasi atau pencacahan untuk kepentingan pengambilan tindakan hukum atau langkah-langkah untuk mempertahankan hak39 d. pemeriksaan dilakukan dengan sepengetahuan Pejabat Bea dan Cukai. e. Karena permintaan penangguhan tersebut masih berdasarkan dugaan, maka kepentingan pemilik barang juga perlu diperhatikan untuk menjaga rahasia dagang atau informasi teknologi yang dirahasiakan ( yang digunakan untuk memproduksi barang tersebut). Dalam hal demikian, pemeriksaan hanya diizinkan secara fisik, sekedar untuk mengidentifikasi atau mencacah barang yang dimintakan penanggguhan. 10. Penangguhan pengeluaran barang karena jabatan (Ex-Officio Action) Tindakan penangguhan pengeluaran barang impor atau ekspor dapat juga dilakukan kerena jabatan oleh pejabat bea dan cuka, apabila terdapat bukti yang cukup bahwa barang tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran merek atau hak cipta (Pasal 62 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006) Pasal 62 tidak menguraikan pengertian tindakan penangguhan karena jabatan ini serta ruang lingkupnya. Pada penjelasannya Pasal 62 hanya dinyatakan bahwa tindakan ini dilakukan hanya kalau dimiliki bukti-bukti yang cukup, dan tujuannya adalah untuk mencegah peredaran barang-barang yang melanggar merek dan hak cipta yang berdampak buruk terhadap perekonomian39

Ibid., hlm. 328

47

pada umumnya. Dalam TRIPs Agreement secara sekilas dinyatakan bahwa exofficio action ini merupakan tindakan penangguhan pengeluaran barang yang dilaksanakan atas inisiatif dari instansi yang berkompeten (dalam hal ini Bea dan Cukai). 11. Barang yang dikecualikan dari ketentuan pelanggaran hak kekayaan intelektual Dalam Pasal 63 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, diatur mengenai pengecualian tersebut, dimana ketentuan penangguhan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual, tidak diberlakukan terhadap jenis-jenis barang sebagai berikut: barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan. Syaratnya ialah bahwa barang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. 12. Peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Pasal 54-63 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan adanya ketentuan tersebut dan kenyataan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 54-63 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 masih belum terinci dengan jelas, maka adanya Peraturan pemerintah

tersebut mutlak diperlukan. Namun demikian, sampai saat ini Peraturan Pemerintah dimaksud belum ada. Belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan Pasal 54-63 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Kepabeanan yang menguraikan

48

tentang perlindungan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelekutal Indonesia, merupakan salah satu ganjalan yang menghambat pelaksanaan perlindungan Hak kekayaan intelektual oleh Bea dan Cukai. Pemilik/pemegang hak dan pihak lain yang terkait dalam perlindungan hak kekayaan intelektual tidak bisa melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan, karena peraturan yang lebih rinci dan jelas belum ada. Rincian yang diperlukan meliputi antara lain: jumlah dan bentuk jaminan yang harus diserahkan. Namun demikian dengan belum adanya Peraturan Pemerintah ini bukan berarti Bea dan Cukai tidak melaksanakan penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual. Sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah tersebut Bea dan Cukai telah mengambil tidakantindakan dalam melaksanakan perlindungan hak kekayaan intelaktual berdasarkan ketentuan-ketentuan kepabeanan yang berlaku.

B. Fungsi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Terhadap Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, sesuai dengan fungsinya sebagai penjaga di tapal batas negara, DJBC mempunyai peran yang sangat penting terhadap perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual. Dengan fungsinya tersebut, DJBC memberikan bentuk perlindungan seperti yang tertuang dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 yaitu penangguhan pengeluaran terhadap barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual.

49

Penangguhan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu, penangguhan melalui Pengadilan Niaga (Pasal 54), dan kemudian Pejabat Bea dan Cukai yang langsung melakukan tindakan penangguhan pengeluaran terhadap barang tersebut, sesuai kewenangan ex-officio (Pasal 62). Namun antara tindakan/kewenangan penangguhan terhadap barang yang dilakukan sesuai dengan Pasal 54 dan Pasal 62, yang lebih berperan adalah Pasal 54 karena jika kita mengacu pada Pasal 62 hal tersebut berarti pihak Bea dan Cukai harus mencari barang bukti terlebih dahulu, sedangkan barang bukti tersebut didapatkan setelah pihak Bea dan Cukai melakukan kewenangan Pasal 82 yaitu pemeriksaan terhadap barang, maka dapat dilihat kewenangan Pasal 62 kurang berfungsi dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa kewenangan/tindakan yang mempunyai peluang besar untuk melakukan penangguhan terhadap barang adalah Pasal 54 yang menyatakan Atas permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta, Ketua Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai untuk menangguhkan sementara waktu pengeluaran barang import atau eksport dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga sebagai hasil pelanggaran merek dan hak cipta yang dilindungi di Indonesia Menurut pasal diatas, yang dapat dimintakan penangguhan barang hanya meliputi merek dan hak cipta atas permintaan pemilik hak cipta dan merek. Pelanggaran merek yang dimaksud yaitu barang-barang bermerek tiruan adalah barang-barang yang termasuk kemasannya, yang identik dengan merek yang terdaftar secara sah yang berkenan dengan barang tersebut atau merek tersebut tidak dapat dibedakan aspek-aspek utamanya, maka hal tersebut dianggap

50

melanggar hak pemilik merek menurut undang-undang.40 dan karenanya melanggar hak dari pemilik merek menurut undang-undang.41 Sedangkan pada hak cipta, pelanggaran yang dimaksud adalah hasil pembajakan hak cipta yang merupakan salinan yang dimuat tanpa ijin pemegang hak atau pihak diberikan ijin dari pemegang hak di negara tempat kegiatan produksi dilakukan dan dibuat, baik langsung atau tidak langsung, dari bahan dimana pembuatan salinannya merupakan pelanggaran hak cipta atau hak terkait sesuai hukum dari negara importir.42 Sehubungan dengan tindakan penangguhan terhadap suatu barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran hak cipta/merek, dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut : 1. Perintah tertulis Ketua Pengadilan Niaga setempat berdasarkan permintaan pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta yang dilindungi di Indonesia 2. Kewenangan jabatan (ex-officio) oleh Pejabat Bea dan Cukai apabila di dapat bukti yang cukup bahwa barang impor atau ekspor tersebut merupakan atau berasal dari hasil pelanggaran hak merek atau hak cipta Tindakan penangguhan tersebut dilakukan untuk menahan sementara pengeluaran barang ekspor/impor yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual dari kawasan pabean. Kawasan pabean yang dimaksud adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau40

Ade Maman Suherman., Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Edisi Revisi, Penerbit GHALIA INDONESIA, Jakarta 2004., hlm. 130 41 Ibid. 42 Warta Bea Cukai. Patroli DJBC Memaksimalkan Kekuatan Tekanan Penyelundupan., Edisi 405, hlm. 62

51

tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direkatorat Jenderal Bea dan Cukai. Batas-batas tertentu, merupakan batas yang menurut yuridiksi berada dibawah pengawasan Bea dan Cukai dan merupakan kawasan yang steril. Di dalam kawasan tersebut, hanya petugas Bea dan Cukai yang mempunyai otoritas dan berwenang dalam penegakan hukum dibidang kepabeanan seperti pemeriksaan dan memberikan persetujuan pemasukan dan pengeluaran terhadap barang ekspor maupun impor. Mengenai permintaan penangguhan dilaporkan kepada Pengadilan Niaga, pada perkembangan dunia perdagangan global yang sangat cepat mengubah sistem peradilan di Indonesia. Dahulu yang disebut sebagai badan peradilan hanya Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang timbul di bidang bisnis dan niaga yang masalah-masalahnya lebih ke bidang hukum perdata daripada hukum publik, sistem peradilan dibagi-bagi menurut karakteristik masing-masing masalah yang dihadapi. Dengan terbentuknya Pengadilan Niaga, maka masalah-masalah yang berkaitan dengan hal tersebut, diselesaikan melalui pengadilan ini. Di antara tugas kepabeanan adalah melaksanakan peraturan instansi lain, seperti pelanggaran hak kekayaan intelektual. Sesuai dengan fungsi pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, untuk pelanggaran hak kekayaan inteletkual diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahanya, dengan izin Pengadilan Niaga. Di beberapa negara lainya, seperti Australia prosedur permintaan penangguhan pengeluaran barang ekspor/impor yang diduga terindikasi adanya pelanggaran hak kekayaan intelektual, pemegang merek dan hak cipta dapat

52

langsung mengajukan kepada Customs/Bea dan Cukai setempat, tanpa birokrasi melalui Pengadilan Niaga, setelah cukup bukti yang kuat maka persoalan tersebut akan dibawa ke pengadilan guna keputusan lebih lanjut.43 Namun di Indonesia, untuk meminta penangguhan barang, pemegang merek/hak cipta menghadap Pengadilan Niaga dengan menyiapkan bukti-bukti yang cukup dan mengikuti prosedur penangguhan untuk melakukan permintaan kepada Pengadilan Niaga. Kemudian, apabila barang bukti yang cukup yang menyatakan benar barang tersebut adalah barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual dan sudah mengikuti prosedur yang ada, maka Ketua Pengadilan Niaga akan melakukan perintah tertulis kepada Bea dan Cukai untuk melakukan penangguhan. Setelah itu, untuk kelanjutan penyelesaian kasus tersebut dalam hal penyidikannya dilimpahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan kepada pihak Pengadilan Niaga. Namun sesungguhnya, ketentuan harus dilaporkanya terlebih dahulu kepada pihak Pengadilan Niaga adalah kegiatan prosedur yang berbelit-belit, yang akan menyebabkan kemungkinan barang tersebut lolos dari wilayah pabean. Perintah tertulis tersebut dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean, yaitu tempat kegiatan impor dan ekspor tersebut berlangsung. Dalam hal impor barang tersebut ditujukan ke beberapa kawasan pabean dalam daerah pabean Indonesia permintaan perintah tersebut ditujukan kepada dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat impor barang yang bersangkutan ditujukan atau dibongkar.43

Ibid., hlm. 63

53

Dalam hal ekspor dilakukan dari beberapa kawasan pabean, permintaan tersebut ditujukan kepada dan dikeluarkan oleh Ketua Pengadialn Niaga yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean pertama, yaitu tempat ekspor berlangsung. Pengadilan Niaga yang berwenang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Untuk melakukan permintaan penangguhan barang kepada Pengadilan Niaga, harus melalui berbagai prosedur, yaitu44 1. Pengajuan Surat Permintaan - surat permintaan diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga, yang daerah hukumnya meliputi kawasan pabean tempat kegiatan ekspor/impor tersebut berlangsung. - selanjutnya, setelah mempertimbangkan permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Niaga dapat mengeluarkan perintah tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai. - atas dasar perintah tertulis Ketua Pengadilan Niaga, Pejabat Bea dan Cukai menangguhkan pengeluaran barang yang diduga merupakan hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual untuk jangka waktu yang telah ditentukan. 2. Isi surat permintaan penangguhan - bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran merek atau hak cipta yang bersangkutan - Perincian dan keterangan yang jelas mengenai barang yang diminta penangguhan

44

Endang Tata, Op. Cit., hlm. 26

54

- penangguhan dilakukan dengan alasan yang jelas mengenai barang yang diminta penangguhan 3. Lampiran surat permintaan - bukti kepemilikan merek atau hak cipta yang bersangkutan, dan jaminan (perpanjangan jangka waktu penangguhan disertai pula dengan perpanjangan jaminan) Sehubungan dengan permintaan penangguhan, harus disertai dengan alat-alat bukti seperti yang tercantum dalam Pasal 55, tentang persyaratan untuk penangguhan pengeluaran barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual adalah : 1. Bukti yang cukup mengenai adanya pelanggran merek atau hak cipta yang bersangkutan; 2. Bukti pemilikan merek/hak cipta yang bersangkutan; 3. Perizinan dan keterangan yang jelas mengenai barang impor/ekpor yang dimintakan penangguhan; 4. Sejumlah jaminan Lebih lengkap mengenai barang bukti yang dapat diajukan, berikut tata cara penangguhan yang dilakukan oleh pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta adalah dengan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Niaga setempat dengan melampirkan :45 1. Bukti tentang adanya impor atau ekspor barang yang mempergunakan merek palsu atau hak cipta tidak resmi.

45

www.haki.lipi.go.id, ditulis oleh Dirjen Bea dan Cukai

55

2. Nama dan alamat importir atau eksportir yang mengimpor atau mengekspor barang yang mempergunakan merek atau hak cipta tidak resmi tersebut. 3. Bukti kepemilikan yang menunjukan bahwa merek atau hak cipta tersebut merupakan hak dari yang mengajukan penangguhan. 4. Keterangan yang jelas mengenai uraian barang impor atau barang ekspor yang mempergunakan merek atau hak cipta tidak resmi. 5. Jaminan berupa uang tunai, atau jaminan bank sesuai putusan Pengadilan Niaga setempat. Dalam hal pembuktian dajukan kepada Pengadilan Niaga, menurut pihak Bea dan Cukai hal ini dikerenakan masalah ini (pelanggaran hak kekayaan intelektual ekspor/impor) lebih menjurus kepada ruang lingkup niaga, maka pengajuan barang bukti dan penilaian barang bukti diserahkan kepada Pengadilan Niaga setelah itu Pengadilan Niaga yang akan memerintahkan kepada pihak Bea dan Cukai untuk melakukan penangguhan. Sifat pembuktian yang dianut oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 mengenai pembuktian barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual ini disebut pembuktian terbalik, dimana pihak yang meminta penangguhan yang berusaha membuktikan bahwa barang tersebut adalah barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual dan ketentuan barang yang bisa dimintakan penangguhannya tersebut tidak diberlakukan terhadap barang bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, barang kiriman melalui pos jasa titipan yang tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.4646

Endang Tata., Op. Cit., hlm.25

56

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, terdapat ketentuan-ketentuan sehubungan dengan penegakan hukum terhadap hak

57

kekayaan intelektual yang tercantum dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64, dimana ketentuan-ketentuan tersebut harus dilaksanakan baik oleh pihak bea dan cukai maupun pihak yang meminta penangguhan terhadap barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran HAKI. 2. Sesuai dengan fungsinya, bentuk perlindungan yang diberikan oleh pihak bea dan cukai dalam perspektif Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undnag Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan adalah berupa penangguhan pengeluaran terhadap barang yang diduga sebagai barang hasil pelanggaran HAKI seperti yang tersirat dalam Pasal 54, dengan memenuhi beberapa syarat yaitu harus menyiapkan barang-barang bukti yang diperlukan (Pasal 55) dan mengajukanya kepada Pengadilan Niaga melalui prosedur pengajuan surat permintaan, isi surat permintaan, dan lampiran surat permintaaan

B. Saran 1. Segera buat aturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut dari pengaturan mengenai pengendalian impor dan ekpor barang hasil pelanggaran hak kekayaan intelektual yang dimuat dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006, sebagai acuan pelaksanaan di lapangan. Hal ini sangat penting, mengingat Pasal 54 sampai Pasal 64 hanya mengatur hal-hal yang masih bersifat umum dan memerlukan penjabaran yang lebih rinci, seperti mengenai kriteria barang bukti yang cukup dan perihal bentuk jaminan yang harus dipersiapkan oleh pemegang hak cipta/merek..

58

2.

Sebaiknya aturan dalam Pasal 54 yang menyatakan permintaan penangguhan dilaporkan kepada Pengadilan Niaga terlebih dahulu, harus diubah menjadi permintaan penangguhan dapat dilakukan langsung kepada pihak Bea dan Cukai oleh pemilik hak cipta/merek tanpa harus melaporkanya kepada pihak Pengadilan Niaga, setelah itu untuk penyidikan dan keputusan lebih lanjjut diserahkan kepada pihak penyidik yang berwenang dan Pengadilan Niaga.