bab 1 sampai 5 jadi

117
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila kita mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Menurut IASP 1979 (International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan. Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri tersebut bisa diringankan, atau dihilangkan dengan menggunakan 1

Upload: reisa-renjisa

Post on 29-Nov-2015

134 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1 Sampai 5 Jadi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila

kita mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Menurut IASP 1979

(International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman

sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan

jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan.

Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan

dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa

nyeri tersebut. Rasa nyeri tersebut bisa diringankan, atau dihilangkan dengan

menggunakan obat penghilang nyeri, atau yang lebih dikenal pada kalangan tenaga

kesehatan dengan nama Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).1

Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat-obatan yang

sering digunakan sebagai obat untuk mengatasi nyeri yang bersifat ringan sedang

serta sebagai anti inflamasi seperti pada pasien dengan artritis kronik.2 Lebih dari 30

juta tablet dan 70 juta resep dipreskripsikan per tahunnya di Amerika serikat.

1

Page 2: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Tambahan lagi, sejak diperkenalkan obat COX-2 inhibitor pada tahun 2000, jumlah

peresepan NSAIDs meningkat melebihi 111 juta resep per tahun. Namun,

penggunaan NSAIDs dapat menginduksi morbiditas yaitu mulai dari efek samping

ringan seperti mual dan dispepsia (prevalensi sekitar 50-60%) sehingga ke

komplikasi yang lebih serius seperti penyakit tukak peptik (3-4%) yang

menyebabkan perdarahan atau perforasi pada 1.5% pengguna NSAIDs per tahun.

Diperkirakan sekitar 20.000 pasien meninggal setiap tahun disebabkan komplikasi

pada sistem gastrointestinal oleh pemakaian NSAIDs.3

Dikatakan lebih dari 80% pasien yang menderita tukak peptik yang disebabkan

pengguna NSAIDs, tidak menunjukkan tanda-tanda awal seperti dispepsia sebelum

terjadi komplikasi yang lebih parah. Walaupun dengan penggunaan aspirin dosis

75mg/hari, dapat menyebabkan ulserasi pada gastrointestinal terutama lambung dan

duodenum.3 Faktor usia lanjut, riwayat tukak peptik, penggunaan kortikosteroid,

dosis NSAIDs yang tinggi, pemakaian bermacam jenis NSAIDs dan lamanya durasi

penggunaan NSAIDs dikatakan sebagai faktor yang dapat meningkatkan lagi resiko

kejadian tukak peptik.4

NSAIDs bekerja dengan menginhibisi dua enzim yaitu cyclooxygenase-1

(COX1) dan cyclooxygenase-2 (COX2). Kedua enzim ini memproduksi

prostaglandin substansi kimia didalam tubuh yang berperan dalam mekanisme nyeri

2

Page 3: Bab 1 Sampai 5 Jadi

dan inflamasi, namun COX1 juga menghasilkan prostaglandin yang berperan

memproteksi mukosa lambung dari asam lambung serta membantu mengatasi

perdarahan. Oleh sebab itu, penggunaan NSAIDs dikatakan dapat meningkatkan

kecenderungan untuk mengidap tukak peptik. Resiko mengidap tukak peptik

meningkat dengan meningkatnya dosis dan frekuensi penggunaan NSAIDs,

penggunaan lebih dari 1 obat NSAIDs, lama masa penggunaan obat, umur 60 tahun

ke atas, perokok dan pengguna alkohol.2

Salah satu efek samping pemakaian NSAIDs adalah penyakit tukak peptik.

Tukak peptik adalah lesi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif

dan faktor defensif. Tukak peptik didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa

lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan gangguan lokal atau ekskavasi

yang disebabkan proses inflamasi. Tukak peptik dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu,

tukak gaster dan tukak duodeni. Penyebab tersering tukak peptik adalah infeksi

bakteri Helicobacter pylori (H.Pylori) dan efek samping pengunaan Nonsteroidal

Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).5

Di Amerika Serikat, prevalensi tukak peptik mencecah angka 350.000 per

tahun. Angka kematian disebabkan tukak peptik ialah 6000 penderita per tahun

dengan masing-masing 3000 lagi penderita tukak lambung.6 Prevalensi tukak peptik

di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia

3

Page 4: Bab 1 Sampai 5 Jadi

20-50 tahun (Suyono, 2001). Distribusinya pada pria lebih tinggi dengan 10-15%

serta pada wanita mencapai 4-15%. Tukak peptik merupakan lesi yang hilang timbul

dan paling sering di diagnosis pada orang dewasa usia pertengahan sampai usia

lanjut, tetapi lesi ini mungkin sudah muncul sejak usia muda.7

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan suatu penelitian untuk

menjawab permasalahan yaitu apakah ada hubungan penggunaan Nonsteroidal Anti-

Inflammatory Drugs (NSAIDs) dengan kejadian tukak peptik?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengevaluasi penderita tukak peptik dan non tukak peptik yang

berkunjung ke Rumah Sakit Umum Provinsi NTB tentang riwayat penggunaan obat-

obatan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).

4

Page 5: Bab 1 Sampai 5 Jadi

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui seberapa besar kejadian tukak peptik yang disebabkan oleh

penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).

2. Untuk mengetahui jenis obat yang digunakan, kekerapan dan lama penggunaan

yang mempengaruhi kejadian tukak peptik.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah adalah:

1. Bagi peneliti

Untuk mengetahui informasi ilmiah mengenai seberapa besar kejadian tukak

peptik yang disebabkan oleh penggunaan NSAIDs.

2. Bagi institusi pendidikan

Sebagai informasi tambahan kepada penulis lain yang ingin melakukan

penelitian yang berkaitan dengan penggunaan NSAIDs dan kejadian tukak

peptik.

3. Bagi masyarakat

Agar dapat menambahkan wawasan masyarakat terutama pada pasien-pasien

yang menggunakan NSAIDs tentang bahaya pengguna NSAIDs agar pasien

lebih berhati-hati dan waspada tentang tanda mengidap komplikasi pemakaian

5

Page 6: Bab 1 Sampai 5 Jadi

obat tersebut. Serta agar dapat melakukan tindakan pencegahan efek samping

obat terutama kejadian tukak peptik di kemudian hari.

4. Bagi pelayanan kesehatan

Agar dapat dirumuskan strategi yang efisien, efektif dan komprehensif dalam

usaha mencegah efek samping obat terutama kejadian tukak peptik dari

pemakaian NSAIDs.

6

Page 7: Bab 1 Sampai 5 Jadi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Tukak Peptik

2.1.1. Definisi

Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau

duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal. Disebut tukak apabila

robekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan

muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau

lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis

atau radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak

sampai ke muskularis mukosa dan submukosa.

Tukak peptik merujuk kepada penyakit di saluran pencernaan bagian atas

yang disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektrum penyakit tukak peptik adalah

luas meliputi kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.3

7

Page 8: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.1.2. Anatomi dan Histologi

2.1.2.1. Gaster

A. Anatomi Gaster

Gaster terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra sampai region

epigastrica dan umbilicalis. Secara anatomi gaster berbentuk huruf J dan mempunyai

2 lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum ; dua curvature, curvature major

dan curvature minor ; dan dua dinding, paries anterior dan paries posterior. Gaster

dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah kardia yang terletak di

sekitar muara esofagus. Berikutnya adalah fundus gastricum yang berbentuk kubah,

terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Corpus gastricum terbentang dari ostium

cardiacum sampai incisura angularis. Anthrum pyloricum terbentang dari incisura

angularis sampai pylorus. Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubuler.

Dinding otot pylorus yang tebal membentuk musculus sphincter pyloricus. Musculus

ini berfungsi untuk mengatur pengosongan gaster melalui ostium pyloricum menuju

duodenum.

Fungsi motorik dari gaster ada tiga yaitu penyimpanan sejumlah besar

makanan sampai dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan

sekresi dari gaster sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut

8

Page 9: Bab 1 Sampai 5 Jadi

chymus, dan pengaturan kecepatan pengiriman chymus ke duodenum sehingga

pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat berlangsung. Kapasitas gaster dalam

penyimpanan makanan sekitar 1500 ml. Selanjutnya terjadi pencampuran makanan

akibat gerakan cincin konstriktif peristaltik. Mekanisme pengiriman chymus ke

duodenum ditimbulkan oleh kontraksi peristaltik yang kuat pada anthrum

pyloricum.16

B. Histologi Gaster

Dinding gaster terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa.

Proses absorpsi yang terjadi pada gaster umumnya sangat rendah. Derajat absorpsi

yang rendah ini terutama disebabkan oleh dua gambaran spesifik dari mukosa gaster.

Gaster dilapisi oleh sel - sel mukosa resisten yang mensekresi mukus yang sangat

kental dan lekat. Selain itu, mukosa gaster mempunyai sambungan yang sangat rapat

antara sel - sel epitel yang berdekatan.16

Mukosa gaster terdiri atas tiga lapisan yaitu epitel, lamina propria, dan

muskularis mukosa. Permukaan lumen mukosa ditutupi epitel kolumner simplex.

Epitel ini meluas ke dalam dan melapisi foveola gastrica yang merupakan invaginasi

epitel permukaan. Mukosa gaster juga ditutupi lapisan mukus yang melindungi epitel

9

Page 10: Bab 1 Sampai 5 Jadi

terhadap proses abrasi oleh makanan. Selain itu, lapisan mukus yang disekresi oleh

sel - sel mukosa tersebut juga sebagai sawar yang melindungi mukosa dari

pencernaan oleh asam dan enzim hidrolitik.16

Proses pencernaan secara kimiawi di gaster dibantu oleh enzim yang disekresi

oleh sel - sel yang terdapat di kelenjar gaster. Kelenjar ini terdapat dari bagian

kardiaka gaster sampai pylorus. Kelenjar kardiaka berbentuk tubuler di sekitar batas

esofagus - gaster, menghasilkan gastrin, hormon polipeptida yang merangsang

sekresi kelenjar di korpus dan mempengaruhi motilitas gaster. Kelenjar pada fundus

dan korpus disebut juga sebagai kelenjar oksintik. Pada kelenjar ini banyak terdapat

sel - sel. Dua sel utama pada kelenjar ini adalah sel parietal yang mensekresi HCl

dan sel zimogen yang mensekresi enzim Pepsin. Sel - sel lainnya berfungsi untuk

mensekresi mukus. Kelenjar Pylorus jumlahnya lebih sedikit, berfungsi untuk

mensekresikan mukus dan sedikit enzim dan HCl.16

Celah di sekitar kelenjar gaster dipenuhi oleh jaringan ikat longgar yang

disebut lamina propria. Susunannya terdiri dari serat retikuler, kolagen, dan sedikit

elastin. Lamina propria juga mengandung otot polos, sehingga kontraksinya dapat

membantu pengeluaran secret kelenjar gaster.

10

Page 11: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Lapisan tebal tepat di bawah muskularis mukosa adalah submukosa.

Submukosa mengandung jaringan ikat yang lebih padat dengan lebih banyak serat

kolagen dan elastin. Tidak terdapat kelenjar. Di bagian dasar dari submukosa

terdapat ganglion parasimpatis pleksus Meissner. 16

Lapisan muskularis gaster terdiri atas tiga lapis otot polos yang berbentuk

oblique, sirkular, dan longitudinal. Di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal

terdapat pleksus Mienterikus ( Auerbach ). Pleksus tersebut bekerja secara sinergis

dengan pleksus Meissner untuk mengatur gerakan peristaltik gaster.16

2.1.2.2. Duodenum

A. Anatomi Duodenum

Intestinum tenue terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.

Duodenum merupakan bagian terpendek, terlebar, dan paling mantap kedudukannya.

Lintasannya berbentuk huruf C dengan panjang sekitar 25cm. Duodenum berawal

dari distal pylorus di sebelah kanan dan berakhir pada duodenojejunal junction.

Letaknya melengkung di sekitar caput pancreaticus Sebagian besar terletak

retroperitoneal dan terikat erat pada dinding dorsal abdomen. Pada duodenum juga

terdapat papilla duodenalis mayor yang merupakan muara duktus biliaris dan duktus

11

Page 12: Bab 1 Sampai 5 Jadi

pankreatikus, dan papilla duodenalis minor yang merupakan muara dari duktus

pankreatikus accesorius.16

Intestinum tenue berfungsi melanjutkan proses pencernaan chymus dibantu

oleh enzim - enzim yang dihasilkan mukosanya dan yang disekresi hepar dan

pankreas ke dalam lumennya, absorpsi selektif nutrient ke dalam darah dan kapiler

limfe, dan mengangkut chymus dari gaster menuju kolon. Kelenjar duodenal juga

menghasilkan hormone polipeptida yang menghambat sekresi HCl oleh sel parietal

gaster dan meningkatkan proliferasi epitel.16

B. Histologi Duodenum

Efisiensi fungsi absorpsi intestinum tenue ditingkatkan oleh sejumlah struktur

yang meningkatkan permukaan total dari lapisan mukosa. Struktur yang paling

mencolok adalah plika sirkularis yaitu lipatan atau peninggian mukosa ( dengan inti

submukosa ) permanen, di sepanjang lumen usus. Adanya vili intestinalis

menjadikan perluasan mukosa menjadi lebih efektif. Mereka terdapat di duodenum

dan jejunum proksimal. Pembesaran luas permukaan dapat pula terjadi melalui

invaginasi mukosa di antara basis vili, disebut kripte Lieberkuhn atau kelenjar

intestinal.16

12

Page 13: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Dinding intestinum tenue terdiri atas empat lapisan konsentris : mukosa,

submukosa, muskularis, dan serosa. Permukaan mukosa intestinum tenue dilapisi

epitel kolumner simplex dengan tiga jenis sel : sel absorptif, sel goblet, dan sel

enteroendokrin. Sel absorptif berbentuk tubuler, dengan striated border yang

ditutupi selubung glikokaliks tebal. Sel goblet yang mensekresi mukus dan sel

enteroendokrin tersebar di antara sel - sel absorptif. Sel enteroendokrin berfungsi

memproduksi hormon seperti kolesistokinin, gastrin, motilin, sekretin, dan

polipeptida intestinal vasoaktif.16

Kelenjar Brunner yang mensekresikan mukus, terdapat pada lapisan

submukosa. Fungsi mukus tersebut untuk melindungi mukosa duodenum terhadap

efek yang berpotensi merusak dari sekresi gaster yang asam. Fungsi ini juga dibantu

adanya ion - ion bikarbonat yang alkalis yang mampu menetralkan chymus asam

yang memasuki duodenum. Kelenjar Brunner juga mengandung Epidermal Growth

Factor ( EGF ) sehingga memungkinkan timbulnya regenerasi mukosa setelah

mengalami jejas.16

Lapisan muskularis intestinum tenue terdiri atas otot polos yang berbentuk

sirkular dalam dan longitudinal luar. Di antara kedua lapisan otot tersebut terdapat

ganglion parasimpatis pleksus Mienterikus (Auerbach).16

13

Page 14: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.1.3. Patogenesis Tukak Peptik

Kerusakan pada mukosa gastroduodenum merupakan akibat daripada

ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang

melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi

apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi

apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.

Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus,

sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada

epitel serta regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang

merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara

lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan

dan infeksi bakteri agresif.

Pada pengguna NSAIDs, contohnya indomethacin, diclofenac, dan aspirin

(terutamanya pada dosis tinggi), yang cara kerjanya menghambat enzim

siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut

terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah

penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung

dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah

beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan

agregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak.8

14

Page 15: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.1.4. Etiologi Tukak Peptik

1. Infeksi Helicobacter Pylori

Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan

dengan infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram

negatif, hidup dalam suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang

sekitar 3µm dan diameter 0,5µm, punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya,

terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan epitel antrum lambung, karena pada

epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H.Pylori,

dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.9

Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan

memproduksi toksik yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan

fospolipase menekan sekresi mukus sehingga daya tahan mukosa menurun

menyebabkan asam lambung berdifusi balik. Hal ini menyebabkan nekrosis

jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik. Kedua, mekanisme

terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukosa sehingga

terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini

melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,

peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung

yang masuk ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum.9

15

Page 16: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2. Sekresi Asam Lambung

Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita

tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Peningkatan asam

lambung akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan

terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga

menimbulkan rasa nyeri, sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat

mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam HCL

yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar.

3. Pertahanan Mukosa Lambung

NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan

kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan

kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah.9

Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX)

pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan

mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui

4 tahap yaitu : pertama, penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan

oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung

dan duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan

sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah

16

Page 17: Bab 1 Sampai 5 Jadi

mukosa. Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1 akan menimbulkan

vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.

Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet

dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan

perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik,

dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan epitel

dan endotel menyebabkan statis aliran mikrovaskuler sehingga terjadinya iskemia

dan akhirnya terjadi tukak peptik.9

Tukak lambung memiliki beberapa tipe, yaitu :

Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal

insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.

Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum.

Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).

Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia.9

2.1.5. Diagnosis

2.1.5.1 Anamnesa dan Pemeriksaan fisik

Untuk anamnesa pada tukak peptik hal - hal pertama yang harus ditanyakan

adalah identitas pasien dan keluhan utama yaitu apakah terdapat nyeri pada

17

Page 18: Bab 1 Sampai 5 Jadi

epigastrium seperti terbakar serta keluhan penyerta seperti mual, muntah, anoreksia,

perut kembung, berat badan menurun, hematemesis, melena, dan anemia yang

disebabkan erosi superficial atau erosi dalam pada mukosa gastrointestinal.

Sedangkan pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan nyeri tekan di daerah

epigastrium.9

2.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (UGIE-

Upper Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman

H.Pylori, massa tumor, kondisi mukosa lambung).

1. Pemeriksaan Radiologi

Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis

tukak peptik. Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur

dari pinggiran tukak. Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas.

2. Pemeriksaan Endoskopi

Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal

disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak

akibat keganasan adalah: Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-

18

Page 19: Bab 1 Sampai 5 Jadi

IV/linitis plastika (scirrhus). Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12

minggu setelah terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah :

dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi

darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas atau jinak,

dan dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab tukak.

3. Invasive Test :

Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea.

Enzim urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat

suasana menjadi basa, yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari

mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang

mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut

maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.

Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak

minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3

kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan

kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin.

4. Non Invasive Test

Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan

keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-

19

Page 20: Bab 1 Sampai 5 Jadi

13,C-14) produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar

dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test

juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen

H.Pylori dalam feses.9

2.1.6. Terapi Tukak Peptik

1. Terapi non medikamentosa

a) Dianjurkan rawat jalan, apabila gagal atau adanya komplikasi dianjurkan

rawat inap.

b) Untuk kontrol diet, air jeruk yang asam, minuman b e r s o d a ,beralkohol,

kopi dikatakan tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung

tetapi dapat menambah sekresi asam lambung.

c) Penderita dianjurkan untuk berhenti merokok oleh karena dapat

mengganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi

bikarbonat pankreas, menambah keasaman duodeni, menambah refluks

duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus sekaligus meningkatkan

kekambuhan tukak.11

20

Page 21: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2. Terapi Medikamentosa

a) Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik,

membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin

dapat bekerja pada pH lebih tinggi dari 4, maka penggunaan antasida juga

dapat mengurangkan aktivitas pepsin.

b) Antagonis Reseptor H2/ARH2.

Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi

asam lambung yang dikatakan efektif untuk menghambat sekresi asam

nokturnal. Strukturnya homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya secara

kompetitif memblokir perlekatan histamin pada reseptornya sehingga sel parietal

tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat

reversibel. Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin : 2 x 400 mg/800

mg malam hari, dosis rumatan 400 mg, Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis

rumatan 150 mg, Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis rumatan 150 mg,

Famotidine : 1 x 40 mg malam hari, Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam

hari,dosis rumatan 75 mg malam hari.

c) Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim

K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang

digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke dalam

lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel

21

Page 22: Bab 1 Sampai 5 Jadi

kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi

aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek

eradikasi oleh regimen triple drugs, Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg,

Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg.

d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth

Subsalisilat/BSS) membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar

tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek

bakterisidal terhadap H.Pylori.

e) Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang

berikatan dengan kutub positif melekul protein lapisan fisikokemikal pada dasar

tukak melindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin,

kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi bikarbonat & mukus, peningkatan

daya pertahanan dan perbaikan mukosa.

f) Prostaglandin: Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi mukus,

bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa.

Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi NSAIDs.

g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori.

Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan

tukak dan mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2

minggu,untuk kesembuhan tukak, bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4

minggu lagi.11

22

Page 23: Bab 1 Sampai 5 Jadi

3. Tindakan Operasi

Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau

terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Hal ini dapat

dilakukan dengan tindakan vagotomy yaitu dengan melakukan pemotongan cabang

saraf vagus yang menuju lambung menghilangkan fase sefalik sekresi lambung.

Tindakan operasi lain seperti antrektomi dan gastrektomi juga dapat dilakukan

apabila adanya indikasi dilakukan operasi.12

2.1.7. Komplikasi

Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20%

pasien tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu

pada dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi

arteria pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada

kematian akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini.12

Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga

menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik.

Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal,

dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma.

23

Page 24: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan

duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis

atau oedem dan spasme. Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala

yang sering timbul. Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan

muntah.12

2.2. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs)

2.2.1. Definisi

Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAIDs (Non

Steroidal Anti- inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki

khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti

radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini

dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAIDs bukan tergolong obat-

obatan jenis narkotika.11

Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana

terdapat kehadiran rasa nyeri dan radang. NSAIDs merupakan salah satu obat yang

banyak diresepkan oleh dokter diseluruh dunia untuk mengobati nyeri dan inflamasi.

Secara umum, NSAIDs diindikasikan untuk gejala penyakit seperti rheumatoid

arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan sakit kepala, nyeri setelah

24

Page 25: Bab 1 Sampai 5 Jadi

operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus, dan renal

kolik. Secara umum penggunaan obat ini dapat menyebabkan reaksi obat yang tidak

dikehendaki (ROTD) yang telah banyak dilaporkan oleh agen regulasi obat pada

berbagai studi klinik dan studi epidemologi.11

Mekanisme kerja NSAIDs didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1

(cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim COX ini berperan

dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat.

Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi.11

Berdasarkan kinerja NSAIDs yakni menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2.

Maka sebernarnya terdapat 3 jenis obat NSAIDs, yaitu:

COX-1 selective inhibitor. Yaitu obat golongan NSAIDs yang cenderung

menghambat aktivitas COX-1, contohnya asam mefenamat.

COX-2 selective inhibitor. Golongan obat NSAIDs yang punya kecenderungan

menghambat aktivitas COX-2, contohnya celecoxib.

Non-selective COX inhibitor. Obat NSAIDs golongan ini menghambat aktivitas

COX-1 dan COX-2, contohnya aspirin.15

2.2.2. Klasifikasi

25

Page 26: Bab 1 Sampai 5 Jadi

NSAIDs dapat digolongkan atau diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya atau

mekanisme aksi, yaitu :

a) Golongan salisilat (diantaranya asam asetilsalisilat, diflunisal salsalat),

b) Golongan derivate asam propionate (diantaranya ibuprofen, ketoprofen,

naproksen, fenoprofen, flurbiprofen),

c) Golongan derivat asam asetat (diantaranya indometasin, sulindak, tolmetin,

diklofenak),

d) Golongan derivat asam enolat (diantaranya piroksikam, meloksikam,

tenoksikam, droksikam, lornoksikam),

e) Golongan derivat pirazolon (diantaranya fenilbutazon, azapropazone,

oksifenbutazon),

f) Golongan derivate asam fenamat (diantaranya asam mefenamat,

meklofenamat, asam flufenamat, asam tolfenamat),

g) Golongan penghambat COX-2 selektif (celecoxib, lumiracoxib, Rofecoxib,

Valdecoxib),

h) Golongan sulfonanilida (nimesulide), serta

i) Golongan lain (licofelone).13

26

Page 27: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.2.3. Farmakokinetik

NSAIDs dikelompokkan dalam berbagai kelompok kimiawi, beberapa di

antaranya (propionic acid deretivative, inodole derivative, oxicam, fenamate,dll.)

keanekaragaman kimiawi ini memberi sebuah rentang karakteristik farmakokinetik

yang luas. Sekalipun ada banyak perbedaan dalam farmakokinetik NSAIDs , mereka

mempunyai beberapa karakteristik yang sama. Sebagian besar dari obat ini diserap

dengan baik, dan makanan tidak mempengruhi biovailabilitas mereka secara

substansial. Sebagian besar dari NSAIDs sangat di metabolisme, beberapa oleh

mekanisme fase I dan fase II dan lainnya hanya oleh glukuronidasi langsung (fase

II). Metabolisme dari seberapa besar NSAIDs berlangsung sebagian melalui enzim

P450 kelompok CYP3A dan CYP2P dalam hati. Sekalipun ekskresi ginjal adalah

rute yang paling penting untuk eliminasi terakhir, hampir semuanya melalui berbagai

tingkat ekskresi empedu dan penyerapan kembali (sirkulasi enterohepatis).

Kenyataanya tingkat iritasi seluruh saluran cerna bagian bawah berkolerasi dengan

jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar dari NSAIDs berikatan dengan

protein tinggi , biasanya dengan albumin.13,14

27

Page 28: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.2.4. Farmakodinamik

Aktivitas anti inflamasi dari NSAIDs terutama diperantari melalui hambatan

biosintesis prostaglandin. Berbagai NSAIDs mungkin memiliki mekanisme kerja

tambahan, termasuk hambatan komitaksis, regulasi rendah, produksi interleukin-1,

penurunan produksi redaikal bebas dan superoksida, dan campur tangan dengan

kejadian-kejadian intraseluler yang diperantari kalsium. Aspirin secara ireversibel

mengasetilasi dan menyekat platelet cyclooxigenase., tetapi NSAIDs yang lain

adalah penghambat- penghambat yang reversible. Selektivitas COX-1 versus COX-2

dapat bervariasi dan tidak lengkap bagi bahan-bahan yang lebih lama, tetapi

penghambat-penghambat COX-2 yang sangat selektif sekarang bisa di dapat. Dalam

pengujian dengan memakai darah utuh manusia, entah mengapa, aspirin,

indomethacine, pirixicam, dan sulindac lebih efektif dalam menghambat COX-1,

ibuprofen dan mectofenamate menghambat kedua isozim yang kurang lebih sama.

Hambatan sintesis lipoxigenase oleh NSAIDs yang lebih baru, suatu efek yang di

inginkan untuk obat anti inflamasi adalah terbatas tetapi mungkin lebih besar

daripada dengan aspirin. Benoxaprofen, NSAIDs lain yang lebih baru, diperlihatkan

28

Page 29: Bab 1 Sampai 5 Jadi

menghambat sintesis leukotriene dengan baik tetapi di tarik kembali karena sifat

toksiknya. Dari NSAIDs yang sekarang ini bisa didapat , indomethacine dan

diclofanac telah dilaporkan mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotriene.

Kepentingan klinis dari selektivitas COX-2 sekarang ini sedang diselidiki.

Keefektifan mungkin tidak terpengruh tetapi keamanan gastrointestinal mungkin

dapat di tingkatkan. Gunakan NSAIDs secara hati-hati pada pasien - pasien dengan

riwayat gangguan perdarahan / perdarahan gastrointestinal, penyakit hati, ginjal , dan

cardiovaskuler berat. Sedangkan keamanan NSAIDs pada kehamilan belum di

tetapkan.13,14

2.2.5. Efek samping pada gastrointestinal

Semua NSAIDs secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAIDs

yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis,

terutama jika NSAIDs digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan

merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk

mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat NSAIDs.14

NSAIDs pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada

lambung (intoleransi). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin disebabkan oleh

iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena penghambatan

prostaglandin pelindung. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan

dengan penggunaan NSAIDs biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan

29

Page 30: Bab 1 Sampai 5 Jadi

kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin serta peningkatan kehilangan

darah yang sedikit melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi NSAIDs

; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-

kira 4 mL per hari pada penderita yang minum NSAIDs dosis biasa dan pada dosis

lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun

diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan

saraf pusat setelah absorbsi dosis besar NSAIDs.11

NSAIDs memberikan manfaat anti inflamasi melalui aksinya pada enzim

siklooksigenase-2 (COX-2). Pada saat yang sama, mereka dapat menyebabkan tukak

lambung melalui aksinya pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1).15

Beberapa NSAIDs mempunyai efek samping yang buruk dibanding yang lain,

meskipun aksi anti inflamasi mereka sama. Hal ini tergantung pada spesifisitas

masing-masing obat dalam merintangi COX. Kebanyakan NSAIDs merintangi

COX-1 lebih besar dibanding COX-2, sehingga ratio spesifisitas aksinya menjadi

besar. Obat-obat jenis ini mempunyai resiko efek samping yang lebih besar. Sebagai

contoh, Aspirin 166 kali lebih besar aksinya pada COX-1 dibanding COX-2, dan

diketahui mempunyai potensi menyebabkan tukak yang tinggi. Obat lain dengan

efek samping tinggi pada GI adalah Sulindak, Tolmetin dan Piroksikam.15

30

Page 31: Bab 1 Sampai 5 Jadi

NSAIDs tidak selalu menyebabkan tukak dengan cara mengiritasi lambung.

Umumnya mereka memblok produksi Prostaglandin yang berfungsi sebagai

pelindung di lambung. Karenanya, NSAIDs salut enteric lebih rendah

kemungkinannya menyebabkan gangguan lambung, hanya masih memungkinkan

menyebabkan tukak lambung.15

2.3. Kerangka Teori

31

Rokok Garam EmpeduH. Pilory Alkohol NSAIDs

Fungsi Sawar Mukosa

Asam Berdifusi Ke Mukosa

Kerusakan Sel Mukosa dan Pembuluh Darah

Page 32: Bab 1 Sampai 5 Jadi

2.4. Kerangka Konsep

2.5. Hipotesis

Ho: Tidak Terdapat hubungan antara penggunaan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.

H1: Terdapat hubungan antara penggunaan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.

32

Penggunaan NSAIDs

Jenis obat Kekerapan

penggunaan Lama penggunaan

Menderita penyakit

tukak peptik

Tukak Peptik

Perdarahan

: Variabel yang diteliti

: Variable yang tidak diteliti

Page 33: Bab 1 Sampai 5 Jadi

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non ekperimental, deskriptif analitik

dengan rancangan penelitian case-control (kasus-kontrol). Variabel yang diukur dan

dibandingkan adalah pengalaman terpajan (exsposure) oleh faktor yang diduga

sebagai penyebab timbulnya penyakit antara kelompok penderita sebagai kasus dan

kelompok bukan penderita sebagai kontrol. Selanjutnya, kedua kelompok ditelusuri

ke belakang (retrospektif) berdasarkan urutan waktu untuk mencari perbedaan dari

segi pengalaman terpajan oleh faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya

penyakit kemudian perbedaan pengalaman kedua kelompok dibandingkan untuk

menentukan ada atau tidaknya hubungan, dimana dilakukan pengumpulan data

33

Page 34: Bab 1 Sampai 5 Jadi

dengan melihat rekam medis pasien serta menggunakan metode wawancara dan

pemberian kuesioner.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitan

Tempat penelitian dilakukan di RSUP NTB. Tempat ini dipilih karena

merupakan Rumah Sakit pendidikan dan rujukan di NTB. Penelitian dilaksanakan

dimulai pada tanggal 01 MARET 2013 sampai dengan 04 MEI 2013.

3.3. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

Variabel dalam penilitian ini adalah :

Variabel independen : Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penggunaan NSAID

Variabel dependen : Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pasien tukak peptik dan non tukak peptik.

2. Definisi Operasional

1. Pasien tukak peptik

Pasien tukak peptik adalah pasien yang ada riwayat tukak peptik atau masa kini

telah didiagnosa menderita tukak peptik yang didiagnosa oleh dokter. Pasien

tukak peptik diukur dengan alat ukur rekam medis dan kuesioner.. Dalam

34

Page 35: Bab 1 Sampai 5 Jadi

penelitian ini, ada tidaknya tukak peptik dibaca menggunakan rekam medis

pasien dengan skala nominal.

2. Pasien non tukak peptik

Pasien non tukak peptik adalah pasien yang tidak ada riwayat tukak peptik atau

masa kini tidak didiagnosa menderita tukak peptik oleh dokter. Pasien non

tukak peptik diukur dengan alat ukur rekam medis dan kuesioner dengan skala

nominal.

3. Penggunaan NSAIDs

Penggunaan NSAIDs adalah pasien yang mempunyai riwayat penggunaan

NSAIDs termasuk penggunaan aspirin dan NSAIDs jenis lainnya serta

kekerapan dan lama penggunaan obat tersebut. Penggunaan NSAIDs diukur

dengan rekam medis dan kuesioner dengan skala nominal.

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi penelitian

Populasi penelitian adalah pasien-pasien tukak peptik dan non tukak peptik

yang berkunjung ke RSUP NTB periode Januari 2012 - April 2013. Dalam

35

Page 36: Bab 1 Sampai 5 Jadi

penelitian ini jumlah populasi kelompok kasus yaitu semua pasien tukak peptik

periode Januari 2012 – April 2013.

2. Sampel penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien tukak peptik yang

berkunjung ke RSUP NTB periode Januari 2012 – April 2013 yang dianggap

mewakili. Untuk mendapatkan besar sampel digunakan rumus besar sampel untuk

studi kasus-kontrol yaitu uji hipotesis terhadap rasio.18

Pada studi kasus control peneliti menggunakan odds ratio (OR) sebagai

perkiraan hasil yang diinginkan; dengan demikian apabila P1 = proporsi kasus dan

P2 = proporsi control, maka:

P 2= P1¿ (1−P 1 )+ P1

Bila OR = 4,5 P1 = 0,50, maka;

P 2= 0,502 (1−0,50 )+0,50

P 2=0,501,50

P 2=0,30

Diketahui; Zα = 1,96; Zβ = 0,84; P1 = 0,50; P2 = 0,30

P = ½ (P1+P2), maka P = ½ (0,50+0,30), nilai P = 0,40

Q1 = (1-P1), maka Q1 = (1-0,50), nilai Q1 = 0,50

36

Page 37: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Q2 = (1-P2), maka Q2 = (1-0,30), nilai Q2 = 0,70

Q = (1-P), maka Q = (1-0,40), nilai Q = 0,60

n=( Zα √2 PQ+Zβ √ (P 1 Q 1+P 2 Q 2 ) )2

P 1−P 2

Keterangan :

n = Besar sampel

P1 = Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu

P2 = Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu

P = Rata=rata P1 dan P2 (P1+P2)/2

Zα = Nilai Z pada derajat kemaknaan sebesar 95% = 1.96

Zβ = Nilai Z pada kekuatan uji power 80% = 0.84

Maka perhitungan sampelnya sebagai berikut :

n=(1,96 √2.0,40 .0 .60+0,84 √ (0,50.0,50+0,30.0,70 ) )2

(0,50−0,30)

37

Page 38: Bab 1 Sampai 5 Jadi

n=(1,96 √0,48+0,84√0,46 )2

0.20

n=(1,96.0,69+0,84.0,68 )2

0,20

n=(1,9 )2

0,20

n=18

Maka besar sampel sebanyak 18 orang, dan disesuaikan dengan sampel

kelompok kontrol yaitu pasien non tukak peptik dengan perbandingan kasus dan

kontrol 1:1.

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien tukak peptik dan non tukak peptik

yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria Inklusi

a). Kelompok kasus :

Pasien yang berumur 25-75 tahun yang telah didiagnosa menderita tukak peptik.

b). kelompok kontrol :

Pasien yang berumur 25-75 tahun yang tidak didiagnosa menderita tukak peptik.

2. Kriteria Eksklusi

Pasien yang berumur kurang dari 25 tahun atau lebih dari 75 tahun

38

Page 39: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Pasien yang mempunyai riwayat merokok dan mekonsumsi minuman yang

beralkohol.

Pasien pernah didiagnosa infeksi H.pylory.

3.5. Instrumen Penelitian

1. Rekam Medis

Instrumen ini digunakan untuk mengetahui dan mengumpulkan data rekam

medis pasien tukak peptik dan non tukak peptik rawat inap periode Januari 2012-

april 2013 tentang identitas dan alamat pasien serta untuk menyingkirkan kriteria

eksklusi dari data rekam medis pasien tersebut.

2. Kuesioner

Instrumen ini digunakan untuk mengetahui karakteristik sampel meliputi

identitas, tentang riwayat apakah responden pernah menggunakan NSAID, nama

obat yang digunakan, kekerapan penggunaan obat tersebut, serta berapa lama

penggunaannya. Pengisian kuesioner juga disertai dengan wawancara mengenai

hal-hal yang berhubungan dengan riwayat merokok serta riwayat konsumsi

minuman beralkohol. Setelah terkumpul, kemudian dilakukan analisis data.

39

Page 40: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Kuesioner ini sudah digunakan sebelumnya oleh peneliti Nurul Farahani

fakultas kedokteran USU dan telah disahkan valid secara validity of content.

Pengesahan ini telah dilakukan oleh Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.FK, dari

divisi Farmakologi. Perbaikan telah dilakukan menurut saranan yang diberikan

dan telah dipersetujui untuk digunakan dalam penelitian ini.

3.6. Cara Penelitian (Alur Penilitian)

40

Pengumpulan Data Rekam Medis Pasien Tukak Peptik dan non tukak

peptik

Sampel non tukak peptik (kontrol)

Sampel tukak peptik (kasus)

Kuisioner dan WawancaraKuisioner dan Wawancara

Page 41: Bab 1 Sampai 5 Jadi

3.7. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu bagian yang penting dari suatu penelitian.

Dimana tujuan dari analisis data ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah

yang diteliti. Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan program

komputer dengan menggunakan program SPSS 17 (Statistical Program and Service

Solution) windows 7.

Analisa dalam penelitian ini menggunakan :

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel, baik

variabel indepeden dan variabel depeden. Adapun variabel yang dianalisis meliputi

jenis kelamin responden, umur responden, riwayat penggunaan jenis obat NSAID

dengan kejadian tukak peptik dan non tukak peptik.

b. Analisa Bivariat

41

Analisis data

Page 42: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas

(independent) dan variabel terikat (dependent) yaitu untuk mengetahui hubungan

NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.

Setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data penelitian yang

diperoleh, hasil penelitian akan disusun dalam tabel 2x2. Risiko relatif untuk

rancangan case control dihitung secara tidak langsung yaitu menggunakan Odds

ratio.18 Kemudian berdasarkan data akan dicari Odds Ratio untuk mengetahui

hubungan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik. kemudian dilakukan uji hipotesis.

Variabel-variabel yang digunakan untuk mencari Odss Ratio akan disajikan dalam

tabel 2 x2 berikut :

Tabel 3.1 Tabel Silang hubungaan penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory

Drugs (NSAIDs) dengan kejadian tukak peptik Di RSUP NTB.

NSAIDs

Tukak Peptik

Jumlah

Ya Tidak

Ya A B A+B

Tidak C D C+D

Jumlah A+C B+D A+B+C+D

42

Page 43: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya empat kelompok subyek

(A, B, C dan D) yang merupakan kombinasi variabel independen dengan dependen.

Sehingga diperoleh rumus sebagai berikut :

Rumus Odds ratio :[A x DB xC

]=¿

Dalam penelitian ini juga digunakan uji statistik Chi-Square dengan bantuan

komputer untuk mengetahui hubungan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik. Taraf

signifikasi yang digunakan adalah 95 % / taraf kesalahan 0,05 %.

Rumus dari Chi-Square adalah:

Keterangan:

o r = jumlah baris,

o c = jumlah kolom,

o i = baris ke i

o j=baris ke j

o Oij = frekuensi observasi pada baris i kolom j

o Eij = frekuensi yang diharapkan pada baris i kolom j

43

Page 44: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Kriteria hubungan berdasarkan P-value (probabilitas) yang dihasilkan dengan

nilai kemaknaan yang dipilih, dengan kriteria sebagai berikut:

Jika p value > 0,05 maka Ho diterima (tidak ada perbedaan)

Jika p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak (ada perbedaan)

3.1. Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika

penelitian. Etika penelitian meliputi:

a. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka peneliti tidak

mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup dengan memberi nomor kode

pada masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti.

b. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasian informasi yang telah dikumpulkan dan dijumpai pada pasien,

dijamin kerahasiannya oleh peneliti dan benar-benar digunakan untuk tujuan

penelitian.

44

Page 45: Bab 1 Sampai 5 Jadi

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Penelitian ini dilaksanakan tanggal 01 MARET 2013 sampai dengan 04 MEI

2013 di RSUP NTB. Sampel yang diambil adalah pasien tukak peptik periode

Januari 2012 - April 2013 berjumlah 18 orang, jumlah kontrol diambil dengan

perbandingan 1:1 jadi didapatkan jumlah pasien non tukak peptik sebanyak 18 orang

total dari jumlah kasus dan kontrol sebanyak 36 orang. Sampel yang diambil

berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini.

4.2. Analisa Univariat

45

Page 46: Bab 1 Sampai 5 Jadi

4.2.1. Jenis Kelamin

Distribusi sampel penderita dan non penderita tukak peptik menurut jenis kelamin

adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Kasus Kontrol

Laki – laki (66,7%) (66,7%)

Perempuan (33,3%) (33,3%)

Total (100%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

46

Page 47: Bab 1 Sampai 5 Jadi

gambar 4.1. Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan tabel 4.1 dan diagram 4.1 diatas terlihat jenis kelamin laki-laki

dan perempuan antara kasus dan kontrol memiliki jumlah yang sama. Jumlah yang

didapatkan pada responden yang berjenis kelamin laki-laki pada kasus lebih besar

yaitu (66,7%) atau 12 orang laki-laki, sedangkan perempuan pada kasus sebesar

(33,3%) atau 6 orang perempuan. Sedangkan pada kontrol terdapat sebesar (66,7%)

atau 12 orang laki-laki dan sebesar (33,3%) atau 6 orang yang berjenis kelamin

perempuan. Sehingga dari data di atas dapat dilihat distribusi jenis kelamin pada

kasus dan kontrol memiliki jumlah laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.

Hal ini terjadi karena sesuai dengan literatur epidemiologi yang didapat bahwa

prevalensi tukak peptik lebih besar terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan

47

Page 48: Bab 1 Sampai 5 Jadi

perempuan. Jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kasus dan kontrol

adalah sama ini di akibatkan karna kondisi sampel kasus dan kontrol tidak mencapai

distribusi yang normal sehingga jumlahnya sama.

4.2.2. Umur

Pada penelitian ini didapatkan distribusi penderita dan non penderita tukak

berdasarkan kelompok umur seperti dalam tabel berikut :

Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia

Usia Kasus Kontrol

20 – 39 (0%) (22,2%)

40 – 59 (44,4%) (33,3%)

>60 (55,6%) (44,4%)

Total (100%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

48

Page 49: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Gambar 4.2 Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Usia

Tabel 4.2.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia 20-39 tahun dan >40 tahun

Usia Kasus Kontrol

20 – 39 (0%) (22,3%)

>40 (100%) (77,7%)

Total (100%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

49

Page 50: Bab 1 Sampai 5 Jadi

20 - 39 TAHUN > 40 TAHUN

KASUS 0 1

KONTROL 0.223 0.777

5%

25%

45%

65%

85%

USIA

PERS

ENTA

SE

Gambar 4.2.1 Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Usia 20-39 tahun dan >40

tahun

Dari tabel 4.2 dan diagram 4.2 dapat dilihat penderita terbanyak berdasarkan

kelompok usia berada dalam rentang usia 60 tahun ke atas yaitu sebesar (55,6%)

atau 10 responden pada kasus, sedangkan pada kontrol sebesar (44,4%) atau 8

responden, diikuti kelompok usia 40-59 yaitu sebesar (44,8%) atau 8 responden pada

kasus, dan kontrol sebesar (33,3%) atau 6 responden, dan yang paling sedikit pada

kelompok usia 20-39 tahun yaitu sebesar (22,2%) atau 4 responden pada kontrol,

sedangkan pada kasus (0%) atau tidak ada. Dilihat dari tabel diatas jumlah terbanyak

pada kelompok kasus dan kontrol yaitu usia 60 tahun ke atas dan yang paling sedikit

pada usia 20 - 39 tahun. Ini karena  pada usia lanjut banyak terjadi perubahan

fisiologis pada fungsi organ-organ tubuh salah satunya menurunnya fungsi

50

Page 51: Bab 1 Sampai 5 Jadi

homeostasis mukosa lambung dapat menjadi faktor pencetus dan memudahkan

terjadinya tukak peptik serta ditambah paparan NSAID menjadi sebab lainnya.

Selanjutnya pada tabel 4.2.1 dan diagram 4.2.1 berdasakan usia dibagi lagi menjadi 2

kelompok usia pada kasus dan kontrol yaitu usia 20-39 tahun dan usia 40 tahun

keatas. Diketahui bahwa usia terbanyak pada kasus dan kontrol yaitu pada usia 40

tahun keatas sebesar (100%) atau 18 responden pada kasus dan (77,7%) atau 14

responden pada kontrol. Sedangkan pada usia 20-39 tahun adalah paling sedikit yaitu

sebesar (22,3%) atau 4 responden dan pada kasus (0%) atau tidak ada.

4.2.3. Jenis NSAID

Pada penelitian ini diteliti juga penggunaan NSAID yang digunakan dengan

kejadian tukak peptik. Hal ini dapat dilihat dalam tabel dan diagram berikut:

51

Page 52: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Tabel 4.3 Distribusi menurut penggunaan jenis NSAID dengan kejadian tukak

peptik.

Jenis NSAID Kasus Kontrol

Asam Mefenamat (69%) (53%)

Meloksikam (23,1%) (26,7%)

Ibuprofen (7,7%) (20,0%)

Total (100%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

IBUPROFEN MELOKSIKAM ASAM MEFENA-MAT

KASUS 0.077 0.231 0.692

KONTROL 0.2 0.267 0.533

5.0%15.0%25.0%35.0%45.0%55.0%65.0%

JENIS NSAID

Axis Title

Gambar 4.3 Diagram menurut penggunaan jenis NSAID dengan kejadian tukak

peptik

52

Page 53: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Berdasarkan tabel 4.3 dan diagram 4.3 di atas dapat dilihat penggunaan jenis NSAID

terbesar pada kasus dan kontrol adalah Asam Mefenamat yaitu pada kelompok kasus

sebesar (69%), atau 9 responden, dan kelompok kontrol sebesar (53%) atau, 8

responden, sedangkan penggunaan jenis NSAID meloksikam pada kelompok kasus

sebesar (23,1%) atau, 3 responden, dan pada kelompok kontrol sebesar (26,7%) atau,

4 responden. sedangkan yang paling sedikit penggunaan jenis NSAID adalah

ibuprofen yaitu pada kelompok kasus (7,7%) atau 1 responden, dan pada kelompok

kontrol sebesar (20,0%) atau 3 responden. Dari data diatas dapat dilihat bahwa

penggunaan jenis NSAID terbesar pada kelompok kasus dan kontrol adalah asam

mefenamat yaitu sebesar 17 responden dan yang paling sedikit penggunaan jenis

NSAID adalah jenis NSAID ibuprofen yaitu sebesar 4 responden.

Mengapa asam mefenamat terbanyak pada urutan pertama mungkin disebabkan

karena asam mefenamat banyak diresepkan oleh dokter, selain cara kerja obat yang

lebih selektif menghambat kedua-dua jenis COX ini, asam mefenamat mempunyai

harga yang lebih murah dibandingkan dengan meloksikam dan ibuprofen walaupun

dari segi keamanan obat asam mefenamat kurang baik. Sedangkan meloksikam

berada di urutan kedua, ini disebabkan karna dinilai dari harga meloksikam lebih

mahal dari asam mefenamat tetapi dari segi keamanan meloksikam lebih baik karna,

mekanisme kerja obat lebih selektif terhadap COX 2. Ibuprofen mempunyai cara

kerja obat yang sama dengan asam mefenamat, tetapi dinilai dari segi harga

ibuprofen lebih mahal dari asam mefenamat dan meloksikam serta dari segi

53

Page 54: Bab 1 Sampai 5 Jadi

keamanan ibuprofen kurang baik mungkin karna hal ini ibuprofen berada diurutan

ketiga dari tabel diatas.

4.3. Analisa Bivariat

4.3.1. Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan

Riwayat Penggunaan NSAID

Tabel 4.4 Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan

Riwayat Penggunaan NSAID

Penderita tukak peptik

Riwayat penggunaan NSAIDTotal

Ya Tidak

Ya (72,2%) (27,8%) (100%)

Tidak (83,3%) (16,7%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

54

Page 55: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Gambar 4.4 Diagram penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan

Riwayat Penggunaan NSAID

Berdasarkan tabel 4.4 dan diagram 4.4 diatas dapat diketahui pasien yang

mempunyai riwayat penggunaan NSAID lebih besar tidak menderita tukak peptik

yaitu sebesar (83,3%) atau 15 pasien, diikuti dengan pasien yang mempunyai

riwayat NSAID dan menderita tukak peptik yaitu sebesar (72,2%) atau 13 pasien,

Dan pasien yang tidak mempunyai riwayat NSAID tetapi menderita tukak peptik

yaitu sebesar (27,8%) atau 5 pasien, serta diikuti pasien yang tidak mempunyai

riwayat NSAID dan tidak menderita tukak peptik yaitu sebesar (16,7%) atau 3

pasien.

55

Page 56: Bab 1 Sampai 5 Jadi

4.3.2. Tabel Silang Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat

Penggunaan NSAID

Tabel 4.5 Tabel silang penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat

penggunaan NSAID

Penderita tukak peptik

Riwayat penggunaan NSAIDTotal

Ya Tidak

Ya 13 5 18

Tidak 15 3 18

Total 28 8 36

Sumber: Data primer yang diolah

Rumus Odds ratio :[A x DB xC

]=¿

Odds ratio :[ 13 x35 x15 ]=0,52

Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio

diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 0,52. Bila OR <1 maka menunjukkan

bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan

NSAID bukan merupakan faktor resiko terjadinya tukak peptik.

56

Page 57: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Hubungan penggunaan NSAID dengan kejadian tukak peptik hasil uji statistik

menunjukkan bahwa penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap kejadian

tukak peptik. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada

data sbb :

Tabel 4.6 Tabel Uji Chi-square

Sumber: Data primer yang diolah

Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 0,643 dengan nilai

signifikansi (P-Value) sebesar 0.423. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai

signifikansi (0.423) > α (0,05) sehingga H0 diterima.

Sedangkan untuk melihat adanya hubungan penggunaan NSAID dengan

kejadian tukak peptik maka digunakan uji korelasi contingency coefficient.

57

Uji Value Signifikansi (P-Value)

Chi- Square 0,643 0.423

Page 58: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Berdasarkan uji korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka

hasil pegujian dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :

Tabel. 4.7. Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient

Uji Value

Signifikansi (P-

Value)

ContingencyCoefficient

0.132

0.423

Sumber: Data primer yang diolah

Berdasarkan tabel 4.7 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai p=

0.423 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan

penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk

mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.132.

Pada penelitian ini didapatkan tiada hubungan yang berarti antara penggunaan

NSAID dengan kejadian tukak peptik dari data tabel 4.4 dan diagram 4.4 diatas

dapat diketahui pasien yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID tetapi tidak

menderita tukak peptik yaitu sebanyak 15 pasien, dan pasien yang mempunyai

riwayat NSAID yang menderita tukak peptik sebanyak 13 pasien. Sedangkan pasien

yang tidak mempunyai riwayat NSAID tetapi menderita tukak peptik sebanyak 5

58

Page 59: Bab 1 Sampai 5 Jadi

pasien dan pasien yang tidak mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan tidak

menderita tukak peptik sebanyak 3 pasien.

Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.5, diperoleh nilai

0,52. Bila OR < 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID bukan merupakan faktor

resiko terjadinya tukak peptik, Dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel 4.6

didapatkan nilai signifikansi = 0,423 > α (0,05) sehingga H0 diterima artinya yang

berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana hubungan

tersebut maka dari tabel 4.7 didapatkan value sebesar 0.132. Nilai 0.132

menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak terdapat

hubungan yang berarti antara penggunaan NSAID dengan kejadian tukak peptik.

Hal ini dikarenakan sampel yang tidak mencapai distribusi normal. Selain itu,

penyebab tukak peptik pada kasus diatas mungkin disebabkan oleh H.pilory atau

penyebab lainnya dibandingkan karena penggunaan NSAID, hal ini disebabkan dari

data rekam medis pasien banyak penulisan data yang tidak jelas untuk menunjukkan

penyebab tukak peptik tersebut, serta pada saat pemberian kuesioner mungkin

adanya jawaban yang tidak mewakili keadaan yang sebenarnya. hal inilah yang

menyebabkan hubungan NSAID dengan kejadian tukak peptik tidak signifikan.

59

Page 60: Bab 1 Sampai 5 Jadi

4.3.3. Distribusi Keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat Penggunaan

NSAID

Tabel 4.8 Distribusi menurut keluhan nyeri epigastrium berdasarkan riwayat

penggunaan NSAID.

Nyeri Epigastrium

Riwayat Penggunaan NSAID Total

Ya Tidak

Ya (94,1%) (5,9%) (100%)

Tidak (63,2%) (36,8%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

60

Page 61: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Gambar 4.8 Diagram menurut keluhan nyeri epigastrium berdasarkan riwayat

penggunaan NSAID

Berdasarkan tabel 4.8 dan diagram 4.8 diatas dapat diketahui banyak pasien

yang menggunakan NSAID akan mengalami keluhan nyeri epigastrium setelah

penggunaan obat tersebut yaitu sebesar 94,1% atau 16 pasien. Sedangkan pada

pasien yang menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium

sebesar 63,2% atau 12 pasien, dan pasien yang tidak menggunakan NSAID dan

mengalami keluhan nyeri epigastrium sebesar 5,9% atau 1 pasien, serta pasien yang

tidak menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium sebesar

36,8% atau 7 pasien.

61

Page 62: Bab 1 Sampai 5 Jadi

4.3.4 Tabel Silang Keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat Penggunaan

NSAID

Tabel 4.9. Tabel silang keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat

Penggunaan NSAID

Nyeri EpigastriumRiwayat Penggunaan NSAID Total

Ya Tidak

Ya 16 1 17

Tidak 12 7 19

Total 28 8 36

Sumber: Data primer yang diolah

Rumus Odds ratio :[A x DB xC

]=¿

Odds ratio :[ 16 x 71x 12 ]=9,3

Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio

diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 9,3. Bila OR >1 maka menunjukkan

bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan NSAID

merupakan faktor resiko terjadinya nyeri epigastrium.

Hubungan penggunaan NSAID dengan nyeri epigastrium hasil uji statistik

menunjukkan bahwa penggunaan NSAID berhubungan terhadap kejadian nyeri

62

Page 63: Bab 1 Sampai 5 Jadi

epigastrium. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada

data sbb :

Tabel 4.10 Tabel Uji Chi-square

Sumber: Data primer yang diolah

Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 4.976 dengan nilai

signifikansi (P-Value) sebesar 0.026. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai

signifikansi (0.026) < α (0,05) sehingga H0 ditolak.

Sedangkan untuk melihat adanya hubungan penggunaan NSAID dengan nyeri

epigastrium maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji

korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian

dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :

Tabel. 4.11. Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient

Uji Value

Signifikansi (P-Value)

63

Uji Value Signifikansi (P-Value)

Chi- Square 4,976 0.026

Page 64: Bab 1 Sampai 5 Jadi

ContingencyCoefficient

0.348

0.026

Sumber: Data primer yang diolah

Berdasarkan tabel 4.11 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai

p= 0.026 < α (0.05) dengan demikian menunjukan penolakan terhadap H0 dan

penerimaan terhadap H1, yang berarti ada hubungan yang signifikan. Untuk

mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.348.

Dari hasil pengukuran hubungan penggunaan NSAID dengan kejadian nyeri

epigastrium. Berdasarkan tabel 4.8 dan diagram 4.8 diketahui banyak pasien yang

menggunakan NSAID akan mengalami keluhan nyeri epigastrium setelah

penggunaan obat tersebut yaitu sebesar 94,1% atau 16 pasien. Sedangkan dengan

pasien yang menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium

sebesar 63,2% atau 12 pasien.

Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.9, diperoleh nilai

9,3. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor resiko

terjadinya nyeri epigastrium, Dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel 4.10

didapatkan nilai signifikansi = 0,026 < α (0,05) sehingga H0 ditolak artinya ada

hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana hubungan tersebut maka

dari tabel 4.11 didapatkan value sebesar 0.348. Nilai 0.348 menunjukkan tanda

rendah (low correlation) artinya, terdapat hubungan yang rendah antara penggunaan

64

Page 65: Bab 1 Sampai 5 Jadi

NSAID dengan kejadian nyeri epigastrium. Ini bermakna, pada pasien-pasien yang

menggunakan NSAID sering mengeluhkan adanya nyeri epigastrium dengan

mekanisme yang telah dibahaskan di awal tadi. Terdapat jurnal yang mempunyai

hasil yang sama, yaitu apabila dilakukan satu penelitian meta analisis pada hasil

studi pada 92 responden yang respondennya diacak untuk menerima NSAID dan

placebo sebagai kelompok kontrol. Kemudian, diteliti efek samping penggunaan

NSAID dengan keluhan nyeri epigastrium. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa,

terdapat peningkatan resiko nyeri epigastrium dan tukak pada penggunaan NSAID

dengan risk ratio 1.36 dengan tingkat kepercayaan 95%.4

4.3.5 Distribusi Menurut Keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan

NSAID

Tabel 4.12 Distribusi menurut keluhan mual muntah berdasarkan riwayat

penggunaan NSAID

Mual Muntah Riwayat Penggunaan NSAID Total

Ya Tidak

Ya (90,0%) (10,0%) (100%)

65

Page 66: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Tidak (73,1%) (26,9%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

Gambar 4.12 Diagram menurut keluhan mual muntah berdasarkan riwayat

penggunaan NSAID

Berdasarkan tabel 4.12 dan diagram 4.12 diatas dapat diketahui dari pasien

yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan mengalami keluhan mual muntah

yaitu sebesar 90,0% atau 9 pasien, Dan pasien yang tidak mempunyai riwayat

penggunaan NSAID dan mengalami mual muntah sebesar 10.0% atau 1 pasien.

sedangkan pasien yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan tidak

mengalami keluhan mual muntah sebesar 73,1% atau 19 pasien, dan pasien yang

66

Page 67: Bab 1 Sampai 5 Jadi

tidak mempunyai riwayat NSAID dan tidak mengalami keluhan mual muntah

sebesar 26,9% atau 7 pasien.

4.3.6 Tabel Silang Keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan

NSAID

Tabel 4.13 Tabel silang keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan

NSAID

Mual Muntah Riwayat Penggunaan NSAID Total

Ya Tidak

Ya 9 1 10

Tidak 19 7 26

Total 28 8 36

Sumber: Data primer yang diolah

Rumus Odds ratio :[A x DB xC

]=¿

Odds ratio :[ 9 x71 x19 ]=3,3

Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio

diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 3,3. Bila OR >1 maka menunjukkan

bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan NSAID

merupakan faktor resiko terjadinya mual muntah.

67

Page 68: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Hubungan penggunaan NSAID dengan mual muntah hasil uji statistik

menunjukkan bahwa penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap kejadian mual

muntah. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada data

sbb :

Tabel 4.14 Tabel Uji Chi-square

Sumber: Data primer yang diolah

Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 1.197 dengan nilai

signifikansi (P-Value) sebesar 0.247. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai

signifikansi (0.247) > α (0,05) sehingga H0 diterima.

Sedangkan untuk melihat adanya Hubungan penggunaan NSAID dengan mual

muntah maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji

korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian

dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :

Tabel. 4.15 Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient

Uji Valu Signifikan

68

Uji Value Signifikansi (P-Value)

Chi- Square 1.197 0.274

Page 69: Bab 1 Sampai 5 Jadi

e si (P-Value)

ContingencyCoefficient

0.179

0.274

Sumber: Data primer yang diolah

Berdasarkan tabel 4.15 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai

p= 0.274 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan

penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk

mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.179.

Berdasarkan tabel 4.12 dan diagram 4.12 dapat diketahui dari 28 pasien yang

mempunyai riwayat penggunaan NSAID yang mengalami keluhan mual muntah

setelah penggunaan NSAID hanya sedikit yaitu 90.0% atau 9 pasien. Sedangkan

pasien yang tidak mengalami mual muntah setelah penggunaan NSAID sebesar

73.1% atau 19 pasien.

Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.13, diperoleh

nilai 3,3. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor

resiko terjadinya mual muntah, dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel

4.14 didapatkan nilai signifikansi = 0,274 > α (0,05) sehingga H0 diterima artinya

yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana

hubungan tersebut maka dari tabel 4.15 didapatkan value sebesar 0.179. Nilai 0.179

menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak terdapat

hubungan yang berarti antara penggunaan NSAID dengan keluhan mual muntah.

69

Page 70: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor

resiko terjadinya mual muntah ini dikarenakan penggunaan NSAID bisa

menyebabkan terjadinya iritasi pada lambung dan menyebabkan peradangan di

lambung yang diakibatkan oleh tingginya asam lambung menyebabkan permeabilitas

kapilier pembuluh darah naik sehingga menyebabkan lambung menjadi edema

(bengkak) dan merangsang reseptor tegangan serta merangsang hypothalamus untuk

menginduksi mual dan muntah. Pada penelitian ini didapatkan sampel yang tidak

mencapai distribusi normal sehingga hubungan penggunaan NSAID dengan keluhan

mual muntah tidak signifikan.

4.3.7. Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat

Durasi Penggunaan NSAID

Penggunaan NSAID dikatakan singkat apabila pasien menggunakan NSAID

kurang dari sebulan dan dikatakan penggunaan lama apabila penggunaannya kurang

atau lebih 3 bulan.

Tabel 4.16 Distribusi penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat

durasi penggunaan NSAID

Durasi Penggunaan

Penderita tukak peptik Total

Ya Tidak

70

Page 71: Bab 1 Sampai 5 Jadi

NSAIDSingkat (72,7%) (27,3%) (100%)

Lama (58,8%) (41,2%) (100%)

Sumber: Data primer yang diolah

Gambar 4.16 Diagram penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat

durasi penggunaan NSAID

Berdasarkan tabel 4.16 dan diagram 4.16 diatas dapat diketahui riwayat durasi

pasien yang menggunakan NSAID yaitu pada penderita dengan durasi singkat

sebesar 72,7% atau 8 pasien dan non penderita dengan durasi singkat sebesar 27,3%

atau 3 pasien. sedangkan riwayat durasi penggunaan NSAID dengan durasi lama

71

Page 72: Bab 1 Sampai 5 Jadi

pada penderita sebesar 58,8% atau 10 pasien dan non penderita dengan durasi lama

yaitu 41,2% atau 7 pasien.

4.3.8 Tabel Silang Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat

Durasi Penggunaan NSAID

Tabel 4.17 Tabel silang penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan

riwayat durasi penggunaan NSAID

Durasi Penggunaan

NSAID

Penderita tukak peptik Total

Ya Tidak

Singkat 8 3 11

Lama 10 7 17

Total 18 10 28

Sumber: Data primer yang diolah

Rumus Odds ratio :[A x DB xC

]=¿

Odds ratio :[ 8 x73 x10 ]=1,8

Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio

diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 1,8. Bila OR >1 maka menunjukkan

72

Page 73: Bab 1 Sampai 5 Jadi

bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga durasi penggunaan

NSAID merupakan faktor resiko terjadinya tukak peptik.

Hubungan durasi penggunaan NSAID dengan tukak peptik hasil uji statistik

menunjukkan bahwa durasi penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap

kejadian tukak peptik. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan

nilai pada data sbb :

Tabel 4.18 Tabel Uji Chi-square

Sumber: Data primer yang diolah

Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 0,562 dengan nilai

signifikansi (P-Value) sebesar 0.453. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai

signifikansi (0.453) > α (0,05) sehingga H0 diterima.

Sedangkan untuk melihat adanya hubungan durasi penggunaan NSAID dengan

tukak peptik maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji

korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian

dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :

Tabel. 4.19 Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient

73

Uji Value Signifikansi (P-palue)

Chi- Square 0,562 0.453

Page 74: Bab 1 Sampai 5 Jadi

Uji Value

Signifikansi (P-Value)

ContingencyCoefficient

0.140

0.453

Sumber: Data primer yang diolah

Berdasarkan tabel 4.19 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai

p= 0.453 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan

penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk

mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.140.

Berdasarkan tabel 4.16 dan diagram 4.16 dapat diketahui bahwa durasi riwayat

penggunaan NSAID pada penderita dengan durasi singkat yaitu sebesar 72,7% atau

8 pasien dan non penderita sebesar 27,3% atau 3 pasien. Sedangkan riwayat

penggunaan NSAID pada penderita dengan durasi lama sebesar 58,8% atau 10

pasien, dan non penderita sebesar 41,2% atau 7 pasien.

Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.17, diperoleh

nilai 1,8. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa durasi penggunaan NSAID merupakan

faktor resiko terjadinya tukak peptik, dan hasil uji statistik melalui uji chi-square

tabel 4.18 didapatkan nilai signifikansi = 0,453 > α (0,05) sehingga H0 diterima

artinya yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui

bagaimana hubungan tersebut maka dari tabel 4.19 didapatkan value sebesar 0.140.

Nilai 0.140 menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak

terdapat hubungan yang berarti antara durasi penggunaan NSAID dengan kejadian

74

Page 75: Bab 1 Sampai 5 Jadi

tukak peptik, Hal ini terjadi karena tidak didapatkannya durasi penggunaan NSAID

yang lebih dari setahun serta tidak diketahui seberapa besar dosis yang digunakan,

karena terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat

disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan.

Selain itu karena sampel yang tidak mencapai distribusi normal sehingga hal inilah

yang menyebabkan hubungan durasi penggunaan NSAID dengan kejadian tukak

peptik tidak signifikan.

4.4 Kelemahan Penelitian

1. Tidak lengkapnya data rekam medis pasien seperti alamat serta tulisan data

yang tidak jelas.

2. Jumlah sampel penderita tukak peptik yang kecil atau tidak mencapai sampel

distribusi yang normal.

3. Ketelitian dan kejujuran dari pasien dalam mengisi kuesioner sehingga tidak

menutup kemungkinan adanya jawaban yang tidak mewakili keadaan

sebenarnya dan hal ini dapat mempengaruhi dari hasil penelitian.

4. Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hambatan yaitu keterbatasan

sumber, waktu dan tenaga serta pengetahuan dan daya ingat pasien pada saat

pengisian kuesioner.

75

Page 76: Bab 1 Sampai 5 Jadi

5. Pasien tukak peptik bukan hanya disebabkan oleh NSAID tetapi juga bisa

disebabkan oleh H.pilory atau penyebab lainnya dibandingkan karena

penggunaan NSAID, hal ini disebabkan dari data rekam medis pasien banyak

penulisan data yang tidak jelas untuk menunjukkan penyebab tukak peptik

tersebut.

BAB V

PENUTUP

76

Page 77: Bab 1 Sampai 5 Jadi

5.1. Kesimpulan

1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID

dengan kejadian tukak peptik yang ditunjukkan dengan nilai yaitu p=0.423 > α

(0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap H1.

2. Terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID dengan

keluhan nyeri epigastrium yaitu ditunjukkan dengan nilai p=0.026 < α (0.05),

artinya penolakan terhadap H0 dan penerimaan terhadap H1. Didapatkan value

sebesar 0.348. Nilai 0.348 menunjukkan tanda rendah (low correlation)

artinya, terdapat hubungan yang rendah antara penggunaan NSAID dengan

kejadian nyeri epigastrium.

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID

dengan keluhan mual muntah yang ditunjukkan dengan nilai yaitu p=0.274 > α

(0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap H1.

4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat durasi penggunaan

NSAID dengan kejadian tukak peptik yang ditunjukkan dengan nilai yaitu

p=0.453 > α (0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap

H1.

5.2. Saran

77

Page 78: Bab 1 Sampai 5 Jadi

1. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi salah satu dasar dalam

memberikan edukasi dan informasi ilmiah tentang Bahaya efek samping

NSAID yang menyebabkan keluhan seperti nyeri epigastrium, mual muntah

hingga bisa sampai ke komplikasi yang lebih serius yaitu penyakit tukak

peptik kepada masyarakat, sehingga perlahan-lahan hal tersebut akan dapat

mengurangi angka kejadian dari efek samping yang disebabkan penggunaan

NSAID.

2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan yang melibatkan sampel penelitian

yang lebih banyak dan waktu lebih lama serta pertanyaan kuesioner yang

lebih terperinci dalam menilai jenis NSAID yang digunakan, frekuensi dan

durasi penggunaan NSAID serta penggunaan obat-obatan lain bersamaan

pengambilan NSAID.

3. Pencatatan atau penulisan data rekam medis pasien dirumah sakit sebaiknya

lebih tercatat dengan lengkap dan jelas, agar memudahkan peneliti lanjutan

untuk menggunakan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

78

Page 79: Bab 1 Sampai 5 Jadi

1. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63

2. Scott D.L.,2002, Rheumatoid arthritis in The Lancet, Available from:

http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(10)60826-4/fulltext

[Accesed 05 Februari 2013]

3. Valle J.D., 2005, Harrison Principle of Internal Medicine 16th Ed. [e-book], USA:

McGraw Hill (1746-1756)

4. Ramakrishnan K., Salinas R.C. 2007, Peptic Ulcer Disease . Available from:

http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/nsaids/NSAIDS_PepticUlcers.pdf page

2 [Accesed 07 Februari 2013]

5. Suyono.S., 2011, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,

6. Nam DH, Park SY, Park JM, Kim SC., 2011, Therapeutic and cost effectiveness of

proton pump inhibitor regimens for idiopathic or drug-induced peptic ulcer

complication. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=peptic

%20ulcer [ Accesed 24 Maret 2013]

7. Peura D. A., Czinn S. J., 2004, What I Need To Know About Peptic Ulcers,

Available from: http://www.digestive.niddk.nih.gov. [Accesed 24 Maret 2013]

79

Page 80: Bab 1 Sampai 5 Jadi

8. Silbernagl S., Lang F., 2000, Color atlas of Pathophysiology [e-book], Germany:

Thieme (152-155)

9. McPhee S.J., Lingappa V.R., Ganong W.F., Lange J.D., 1995, Pathophysiology of

Disease, An Introduction to Clinical Medicine 2nd Ed, USA: Appleton & Lange

(302-303)

10. Silbernagl, S., Lang, F., 2000, Color Atlas of Pathophysiology, New York : Thieme

Stuttgart (144-147)

11. Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009, Lippincott’s

Illustrated Review Pharmacology 4th Ed, Pliladelphia: Williams & Wilkins (329-

335, 502-509)

12. Kumar V., Abbas A. K., Fausto N., 2005, Robbins and Cotran Pathologic Basic of

Disease 7th Ed [e-book], Philadelphia: Saunders Elsevier (874-875)

13. Katzung,B.G.1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, ed IV.Jakarta :Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

14. Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerbit : Erlangga . Jakarta.

80

Page 81: Bab 1 Sampai 5 Jadi

15. Journal of physiology and pharmacology 2006, 57, supp 5, 113.124. Inhibitors Of

Cyclooxygenase: Mechanisms, Selectivity and Uses.

16. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2008.

17. Sugiyono. 2007. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:

Alfabeta.

18. Sastroasmoro, sudigdo. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:

Binarupa Aksara.

19. Peura D. A., Czinn S. J., 2004, What I Need To Know About Peptic Ulcers,

Available from: http://www.digestive.niddk.nih.gov. [Accesed 20 Mei 2013].

81