bab 1 sampai 5 jadi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Nyeri dapat digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan yang terjadi bila
kita mengalami cedera atau kerusakan pada tubuh kita. Menurut IASP 1979
(International Association for the Study of Pain) nyeri adalah suatu pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan yang nyata atau yang berpotensial untuk menimbulkan kerusakan jaringan.
Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh yang timbul bilamana jaringan
dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa
nyeri tersebut. Rasa nyeri tersebut bisa diringankan, atau dihilangkan dengan
menggunakan obat penghilang nyeri, atau yang lebih dikenal pada kalangan tenaga
kesehatan dengan nama Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).1
Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) adalah obat-obatan yang
sering digunakan sebagai obat untuk mengatasi nyeri yang bersifat ringan sedang
serta sebagai anti inflamasi seperti pada pasien dengan artritis kronik.2 Lebih dari 30
juta tablet dan 70 juta resep dipreskripsikan per tahunnya di Amerika serikat.
1
Tambahan lagi, sejak diperkenalkan obat COX-2 inhibitor pada tahun 2000, jumlah
peresepan NSAIDs meningkat melebihi 111 juta resep per tahun. Namun,
penggunaan NSAIDs dapat menginduksi morbiditas yaitu mulai dari efek samping
ringan seperti mual dan dispepsia (prevalensi sekitar 50-60%) sehingga ke
komplikasi yang lebih serius seperti penyakit tukak peptik (3-4%) yang
menyebabkan perdarahan atau perforasi pada 1.5% pengguna NSAIDs per tahun.
Diperkirakan sekitar 20.000 pasien meninggal setiap tahun disebabkan komplikasi
pada sistem gastrointestinal oleh pemakaian NSAIDs.3
Dikatakan lebih dari 80% pasien yang menderita tukak peptik yang disebabkan
pengguna NSAIDs, tidak menunjukkan tanda-tanda awal seperti dispepsia sebelum
terjadi komplikasi yang lebih parah. Walaupun dengan penggunaan aspirin dosis
75mg/hari, dapat menyebabkan ulserasi pada gastrointestinal terutama lambung dan
duodenum.3 Faktor usia lanjut, riwayat tukak peptik, penggunaan kortikosteroid,
dosis NSAIDs yang tinggi, pemakaian bermacam jenis NSAIDs dan lamanya durasi
penggunaan NSAIDs dikatakan sebagai faktor yang dapat meningkatkan lagi resiko
kejadian tukak peptik.4
NSAIDs bekerja dengan menginhibisi dua enzim yaitu cyclooxygenase-1
(COX1) dan cyclooxygenase-2 (COX2). Kedua enzim ini memproduksi
prostaglandin substansi kimia didalam tubuh yang berperan dalam mekanisme nyeri
2
dan inflamasi, namun COX1 juga menghasilkan prostaglandin yang berperan
memproteksi mukosa lambung dari asam lambung serta membantu mengatasi
perdarahan. Oleh sebab itu, penggunaan NSAIDs dikatakan dapat meningkatkan
kecenderungan untuk mengidap tukak peptik. Resiko mengidap tukak peptik
meningkat dengan meningkatnya dosis dan frekuensi penggunaan NSAIDs,
penggunaan lebih dari 1 obat NSAIDs, lama masa penggunaan obat, umur 60 tahun
ke atas, perokok dan pengguna alkohol.2
Salah satu efek samping pemakaian NSAIDs adalah penyakit tukak peptik.
Tukak peptik adalah lesi yang terjadi karena ketidakseimbangan antara faktor agresif
dan faktor defensif. Tukak peptik didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa
lambung dan/atau duodenum yang menyebabkan gangguan lokal atau ekskavasi
yang disebabkan proses inflamasi. Tukak peptik dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu,
tukak gaster dan tukak duodeni. Penyebab tersering tukak peptik adalah infeksi
bakteri Helicobacter pylori (H.Pylori) dan efek samping pengunaan Nonsteroidal
Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).5
Di Amerika Serikat, prevalensi tukak peptik mencecah angka 350.000 per
tahun. Angka kematian disebabkan tukak peptik ialah 6000 penderita per tahun
dengan masing-masing 3000 lagi penderita tukak lambung.6 Prevalensi tukak peptik
di Indonesia pada beberapa penelitian ditemukan antara 6-15% terutama pada usia
3
20-50 tahun (Suyono, 2001). Distribusinya pada pria lebih tinggi dengan 10-15%
serta pada wanita mencapai 4-15%. Tukak peptik merupakan lesi yang hilang timbul
dan paling sering di diagnosis pada orang dewasa usia pertengahan sampai usia
lanjut, tetapi lesi ini mungkin sudah muncul sejak usia muda.7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan suatu penelitian untuk
menjawab permasalahan yaitu apakah ada hubungan penggunaan Nonsteroidal Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs) dengan kejadian tukak peptik?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengevaluasi penderita tukak peptik dan non tukak peptik yang
berkunjung ke Rumah Sakit Umum Provinsi NTB tentang riwayat penggunaan obat-
obatan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).
4
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui seberapa besar kejadian tukak peptik yang disebabkan oleh
penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).
2. Untuk mengetahui jenis obat yang digunakan, kekerapan dan lama penggunaan
yang mempengaruhi kejadian tukak peptik.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penulisan Karya Tulis Ilmiah adalah:
1. Bagi peneliti
Untuk mengetahui informasi ilmiah mengenai seberapa besar kejadian tukak
peptik yang disebabkan oleh penggunaan NSAIDs.
2. Bagi institusi pendidikan
Sebagai informasi tambahan kepada penulis lain yang ingin melakukan
penelitian yang berkaitan dengan penggunaan NSAIDs dan kejadian tukak
peptik.
3. Bagi masyarakat
Agar dapat menambahkan wawasan masyarakat terutama pada pasien-pasien
yang menggunakan NSAIDs tentang bahaya pengguna NSAIDs agar pasien
lebih berhati-hati dan waspada tentang tanda mengidap komplikasi pemakaian
5
obat tersebut. Serta agar dapat melakukan tindakan pencegahan efek samping
obat terutama kejadian tukak peptik di kemudian hari.
4. Bagi pelayanan kesehatan
Agar dapat dirumuskan strategi yang efisien, efektif dan komprehensif dalam
usaha mencegah efek samping obat terutama kejadian tukak peptik dari
pemakaian NSAIDs.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Tukak Peptik
2.1.1. Definisi
Tukak didefinisikan sebagai kerusakan integritas mukosa lambung dan/atau
duodenum yang menyebabkan terjadinya inflamasi lokal. Disebut tukak apabila
robekan mukosa berdiameter ≥ 5 mm kedalaman sampai submukosa dan
muskularis mukosa atau secara klinis tukak adalah hilangnya epitel superfisial atau
lapisan lebih dalam dengan diameter ≥ 5 mm yang dapat diamati secara endoskopis
atau radiologis. Robekan mukosa < 5 mm disebut erosi dimana nekrosis tidak
sampai ke muskularis mukosa dan submukosa.
Tukak peptik merujuk kepada penyakit di saluran pencernaan bagian atas
yang disebabkan oleh asam dan pepsin. Spektrum penyakit tukak peptik adalah
luas meliputi kerusakan mukosa, eritema, erosi mukosa dan ulkus.3
7
2.1.2. Anatomi dan Histologi
2.1.2.1. Gaster
A. Anatomi Gaster
Gaster terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra sampai region
epigastrica dan umbilicalis. Secara anatomi gaster berbentuk huruf J dan mempunyai
2 lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum ; dua curvature, curvature major
dan curvature minor ; dan dua dinding, paries anterior dan paries posterior. Gaster
dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah kardia yang terletak di
sekitar muara esofagus. Berikutnya adalah fundus gastricum yang berbentuk kubah,
terletak di sebelah kiri ostium cardiacum. Corpus gastricum terbentang dari ostium
cardiacum sampai incisura angularis. Anthrum pyloricum terbentang dari incisura
angularis sampai pylorus. Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubuler.
Dinding otot pylorus yang tebal membentuk musculus sphincter pyloricus. Musculus
ini berfungsi untuk mengatur pengosongan gaster melalui ostium pyloricum menuju
duodenum.
Fungsi motorik dari gaster ada tiga yaitu penyimpanan sejumlah besar
makanan sampai dapat diproses dalam duodenum, pencampuran makanan dengan
sekresi dari gaster sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut
8
chymus, dan pengaturan kecepatan pengiriman chymus ke duodenum sehingga
pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat berlangsung. Kapasitas gaster dalam
penyimpanan makanan sekitar 1500 ml. Selanjutnya terjadi pencampuran makanan
akibat gerakan cincin konstriktif peristaltik. Mekanisme pengiriman chymus ke
duodenum ditimbulkan oleh kontraksi peristaltik yang kuat pada anthrum
pyloricum.16
B. Histologi Gaster
Dinding gaster terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa.
Proses absorpsi yang terjadi pada gaster umumnya sangat rendah. Derajat absorpsi
yang rendah ini terutama disebabkan oleh dua gambaran spesifik dari mukosa gaster.
Gaster dilapisi oleh sel - sel mukosa resisten yang mensekresi mukus yang sangat
kental dan lekat. Selain itu, mukosa gaster mempunyai sambungan yang sangat rapat
antara sel - sel epitel yang berdekatan.16
Mukosa gaster terdiri atas tiga lapisan yaitu epitel, lamina propria, dan
muskularis mukosa. Permukaan lumen mukosa ditutupi epitel kolumner simplex.
Epitel ini meluas ke dalam dan melapisi foveola gastrica yang merupakan invaginasi
epitel permukaan. Mukosa gaster juga ditutupi lapisan mukus yang melindungi epitel
9
terhadap proses abrasi oleh makanan. Selain itu, lapisan mukus yang disekresi oleh
sel - sel mukosa tersebut juga sebagai sawar yang melindungi mukosa dari
pencernaan oleh asam dan enzim hidrolitik.16
Proses pencernaan secara kimiawi di gaster dibantu oleh enzim yang disekresi
oleh sel - sel yang terdapat di kelenjar gaster. Kelenjar ini terdapat dari bagian
kardiaka gaster sampai pylorus. Kelenjar kardiaka berbentuk tubuler di sekitar batas
esofagus - gaster, menghasilkan gastrin, hormon polipeptida yang merangsang
sekresi kelenjar di korpus dan mempengaruhi motilitas gaster. Kelenjar pada fundus
dan korpus disebut juga sebagai kelenjar oksintik. Pada kelenjar ini banyak terdapat
sel - sel. Dua sel utama pada kelenjar ini adalah sel parietal yang mensekresi HCl
dan sel zimogen yang mensekresi enzim Pepsin. Sel - sel lainnya berfungsi untuk
mensekresi mukus. Kelenjar Pylorus jumlahnya lebih sedikit, berfungsi untuk
mensekresikan mukus dan sedikit enzim dan HCl.16
Celah di sekitar kelenjar gaster dipenuhi oleh jaringan ikat longgar yang
disebut lamina propria. Susunannya terdiri dari serat retikuler, kolagen, dan sedikit
elastin. Lamina propria juga mengandung otot polos, sehingga kontraksinya dapat
membantu pengeluaran secret kelenjar gaster.
10
Lapisan tebal tepat di bawah muskularis mukosa adalah submukosa.
Submukosa mengandung jaringan ikat yang lebih padat dengan lebih banyak serat
kolagen dan elastin. Tidak terdapat kelenjar. Di bagian dasar dari submukosa
terdapat ganglion parasimpatis pleksus Meissner. 16
Lapisan muskularis gaster terdiri atas tiga lapis otot polos yang berbentuk
oblique, sirkular, dan longitudinal. Di antara lapisan otot sirkular dan longitudinal
terdapat pleksus Mienterikus ( Auerbach ). Pleksus tersebut bekerja secara sinergis
dengan pleksus Meissner untuk mengatur gerakan peristaltik gaster.16
2.1.2.2. Duodenum
A. Anatomi Duodenum
Intestinum tenue terbagi atas tiga bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum.
Duodenum merupakan bagian terpendek, terlebar, dan paling mantap kedudukannya.
Lintasannya berbentuk huruf C dengan panjang sekitar 25cm. Duodenum berawal
dari distal pylorus di sebelah kanan dan berakhir pada duodenojejunal junction.
Letaknya melengkung di sekitar caput pancreaticus Sebagian besar terletak
retroperitoneal dan terikat erat pada dinding dorsal abdomen. Pada duodenum juga
terdapat papilla duodenalis mayor yang merupakan muara duktus biliaris dan duktus
11
pankreatikus, dan papilla duodenalis minor yang merupakan muara dari duktus
pankreatikus accesorius.16
Intestinum tenue berfungsi melanjutkan proses pencernaan chymus dibantu
oleh enzim - enzim yang dihasilkan mukosanya dan yang disekresi hepar dan
pankreas ke dalam lumennya, absorpsi selektif nutrient ke dalam darah dan kapiler
limfe, dan mengangkut chymus dari gaster menuju kolon. Kelenjar duodenal juga
menghasilkan hormone polipeptida yang menghambat sekresi HCl oleh sel parietal
gaster dan meningkatkan proliferasi epitel.16
B. Histologi Duodenum
Efisiensi fungsi absorpsi intestinum tenue ditingkatkan oleh sejumlah struktur
yang meningkatkan permukaan total dari lapisan mukosa. Struktur yang paling
mencolok adalah plika sirkularis yaitu lipatan atau peninggian mukosa ( dengan inti
submukosa ) permanen, di sepanjang lumen usus. Adanya vili intestinalis
menjadikan perluasan mukosa menjadi lebih efektif. Mereka terdapat di duodenum
dan jejunum proksimal. Pembesaran luas permukaan dapat pula terjadi melalui
invaginasi mukosa di antara basis vili, disebut kripte Lieberkuhn atau kelenjar
intestinal.16
12
Dinding intestinum tenue terdiri atas empat lapisan konsentris : mukosa,
submukosa, muskularis, dan serosa. Permukaan mukosa intestinum tenue dilapisi
epitel kolumner simplex dengan tiga jenis sel : sel absorptif, sel goblet, dan sel
enteroendokrin. Sel absorptif berbentuk tubuler, dengan striated border yang
ditutupi selubung glikokaliks tebal. Sel goblet yang mensekresi mukus dan sel
enteroendokrin tersebar di antara sel - sel absorptif. Sel enteroendokrin berfungsi
memproduksi hormon seperti kolesistokinin, gastrin, motilin, sekretin, dan
polipeptida intestinal vasoaktif.16
Kelenjar Brunner yang mensekresikan mukus, terdapat pada lapisan
submukosa. Fungsi mukus tersebut untuk melindungi mukosa duodenum terhadap
efek yang berpotensi merusak dari sekresi gaster yang asam. Fungsi ini juga dibantu
adanya ion - ion bikarbonat yang alkalis yang mampu menetralkan chymus asam
yang memasuki duodenum. Kelenjar Brunner juga mengandung Epidermal Growth
Factor ( EGF ) sehingga memungkinkan timbulnya regenerasi mukosa setelah
mengalami jejas.16
Lapisan muskularis intestinum tenue terdiri atas otot polos yang berbentuk
sirkular dalam dan longitudinal luar. Di antara kedua lapisan otot tersebut terdapat
ganglion parasimpatis pleksus Mienterikus (Auerbach).16
13
2.1.3. Patogenesis Tukak Peptik
Kerusakan pada mukosa gastroduodenum merupakan akibat daripada
ketidakseimbangan antara faktor-faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang
melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan mukosa tidak hanya terjadi
apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa tetapi juga dapat terjadi
apabila mekanisme proteksi mukosa gagal.
Faktor pertahanan ini antara lain adalah pembentukan dan sekresi mukus,
sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali ion hidrogen pada
epitel serta regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang
merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara
lain daerah geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan
dan infeksi bakteri agresif.
Pada pengguna NSAIDs, contohnya indomethacin, diclofenac, dan aspirin
(terutamanya pada dosis tinggi), yang cara kerjanya menghambat enzim
siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari asam arakidonat turut
terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah
penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung
dan duodenum sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah
beberapa hari atau minggu penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan
agregasi trombosit menyebabkan bahaya perdarahan pada tukak.8
14
2.1.4. Etiologi Tukak Peptik
1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan
dengan infeksi Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram
negatif, hidup dalam suasana asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang
sekitar 3µm dan diameter 0,5µm, punya ≥ 1 flagel pada salah satu ujungnya,
terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan epitel antrum lambung, karena pada
epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang dikenali oleh H.Pylori,
dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.9
Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan
memproduksi toksik yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan
fospolipase menekan sekresi mukus sehingga daya tahan mukosa menurun
menyebabkan asam lambung berdifusi balik. Hal ini menyebabkan nekrosis
jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik. Kedua, mekanisme
terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukosa sehingga
terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini
melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,
peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung
yang masuk ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum.9
15
2. Sekresi Asam Lambung
Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita
tukak, produksi asam lambung dapat mencapai 40 mEq/jam. Peningkatan asam
lambung akan merangsang syaraf kolinergik dan syaraf simpatik. Perangsangan
terhadap kolinergik akan berakibat terjadinya peningkatan motilitas sehingga
menimbulkan rasa nyeri, sedangkan rangsangan terhadap syaraf simpatik dapat
mengakibatkan reflek spasme esophageal sehingga timbul regurgitasi asam HCL
yang menjadi pencetus timbulnya rasa nyeri berupa rasa panas seperti terbakar.
3. Pertahanan Mukosa Lambung
NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan
kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan
kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah.9
Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX)
pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan
mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui
4 tahap yaitu : pertama, penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan
oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung
dan duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan
sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah
16
mukosa. Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1 akan menimbulkan
vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel epitel.
Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet
dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan
perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik,
dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan epitel
dan endotel menyebabkan statis aliran mikrovaskuler sehingga terjadinya iskemia
dan akhirnya terjadi tukak peptik.9
Tukak lambung memiliki beberapa tipe, yaitu :
Tipe 1, yang paling sering terjadi. Terletak pada kurvatura minor atau proximal
insisura,dekat dengan junction mukosa onsitik dan antral.
Tipe 2, lokasi yang sama dengan tipe 1 tapi berhubungan dengan tukak duodenum.
Tipe 3, terletak pada 2 cm dari pilorus (pyloric channel ulcer).
Tipe 4, terletak pada proksimal abdomen atau pada cardia.9
2.1.5. Diagnosis
2.1.5.1 Anamnesa dan Pemeriksaan fisik
Untuk anamnesa pada tukak peptik hal - hal pertama yang harus ditanyakan
adalah identitas pasien dan keluhan utama yaitu apakah terdapat nyeri pada
17
epigastrium seperti terbakar serta keluhan penyerta seperti mual, muntah, anoreksia,
perut kembung, berat badan menurun, hematemesis, melena, dan anemia yang
disebabkan erosi superficial atau erosi dalam pada mukosa gastrointestinal.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan nyeri tekan di daerah
epigastrium.9
2.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang
Gold Standar adalah pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (UGIE-
Upper Gastrointestinal Endoscopy) dan biopsi lambung (untuk deteksi kuman
H.Pylori, massa tumor, kondisi mukosa lambung).
1. Pemeriksaan Radiologi
Barium Meal Kontras Ganda dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
tukak peptik. Gambaran berupa kawah, batas jelas disertai lipatan mukosa teratur
dari pinggiran tukak. Apabila permukaan pinggir tukak tidak teratur dicurigai ganas.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Berupa luka terbuka dengan pinggiran teratur, mukosa licin dan normal
disertai lipatan yang teratur yang keluar dari pinggiran tukak. Gambaran tukak
akibat keganasan adalah: Boorman-I/polipoid, B-II/ulcerative, B-III/infiltrative, B-
18
IV/linitis plastika (scirrhus). Dianjurkan untuk biopsi & endoskopi ulang 8-12
minggu setelah terapi eradikasi. Keunggulan endoskopi dibanding radiologi adalah :
dapat mendeteksi lesi kecil diameter < 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi
darah dengan penyemprotan air,dapat memastikan suatu tukak ganas atau jinak,
dan dapat menentukan adanya kuman H.Pylori sebagai penyebab tukak.
3. Invasive Test :
Rapid Urea Test adalah tes kemampuan H.pylori untuk menghidrolisis urea.
Enzim urea katalase menguraikan urea menjadi amonia bikarbonat, membuat
suasana menjadi basa, yang diukur dengan indikator pH. Spesimen biopsi dari
mukosa lambung diletakkan pada tempat yang berisi cairan atau medium padat yang
mengandung urea dan pH indikator, jika terdapat H.Pylori pada spesimen tersebut
maka akan diubah menjadi ammonia,terjadi perubahan pH dan perubahan warna.
Untuk pemeriksaan histologi, biopsi diambil dari pinggiran dan dasar tukak
minimum 4 sampel untuk 2 kuadran, bila ukuran tukak besar diambil sampel dari 3
kuadran dari dasar, pinggir dan sekitar tukak, minimal 6 sampel. Pemeriksaan
kultur tidak biasa dilakukan pada pemeriksaan rutin.
4. Non Invasive Test
Urea Breath Test adalah untuk mendeteksi adanya infeksi H.pylori dengan
keberadaan urea yang dihasilkan H.pylori, labeled karbondioksida (isotop berat,C-
19
13,C-14) produksi dalam perut, diabsorpsi dalam pembuluh darah, menyebar
dalam paru-paru dan akhirnya dikeluarkan lewat pernapasan. Stool antigen test
juga mengidentifikasi adanya infeksi H.Pylori melalui mendeteksi keadaan antigen
H.Pylori dalam feses.9
2.1.6. Terapi Tukak Peptik
1. Terapi non medikamentosa
a) Dianjurkan rawat jalan, apabila gagal atau adanya komplikasi dianjurkan
rawat inap.
b) Untuk kontrol diet, air jeruk yang asam, minuman b e r s o d a ,beralkohol,
kopi dikatakan tidak mempunyai pengaruh userogenik pada mukosa lambung
tetapi dapat menambah sekresi asam lambung.
c) Penderita dianjurkan untuk berhenti merokok oleh karena dapat
mengganggu penyembuhan tukak gaster kronik, menghambat sekresi
bikarbonat pankreas, menambah keasaman duodeni, menambah refluks
duodenogastrik akibat relaksasi sfingter pylorus sekaligus meningkatkan
kekambuhan tukak.11
20
2. Terapi Medikamentosa
a) Antasida adalah basa lemah yang bereaksi dengan asam hidroklorik,
membentuk garam dan air untuk mengurangi keasaman lambung. Enzim pepsin
dapat bekerja pada pH lebih tinggi dari 4, maka penggunaan antasida juga
dapat mengurangkan aktivitas pepsin.
b) Antagonis Reseptor H2/ARH2.
Penggunaan obat antagonis reseptor H2 digunakan untuk menghambat sekresi
asam lambung yang dikatakan efektif untuk menghambat sekresi asam
nokturnal. Strukturnya homolog dengan histamin. Mekanisme kerjanya secara
kompetitif memblokir perlekatan histamin pada reseptornya sehingga sel parietal
tidak dapat dirangsang untuk mengeluarkan asam lambung. Inhibisi bersifat
reversibel. Dosis terapeutik yang digunakan adalah Simetidin : 2 x 400 mg/800
mg malam hari, dosis rumatan 400 mg, Ranitidine : 300 mg malam hari,dosis
rumatan 150 mg, Nizatidine : 1 x 300 mg malam hari,dosis rumatan 150 mg,
Famotidine : 1 x 40 mg malam hari, Roksatidine : 2 x 75 mg / 150 mg malam
hari,dosis rumatan 75 mg malam hari.
c) Proton Pump Inhibitor/PPI: mekanisme kerja adalah memblokir kerja enzim
K+H+ATPase yang akan memecah K+H+ATP menghasilkan energi yang
digunakan untuk mengeluarkan asam HCL dari kanalikuli sel parietal ke dalam
lumen lambung. PPI mencegah pengeluaran asam lambung dari sel
21
kanalikuli,menyebabkan pengurangan rasa sakit pasien tukak, mengurangi
aktifitas faktor agresif pepsin dengan pH >4 serta meningkatkan efek
eradikasi oleh regimen triple drugs, Omeprazol 2 x 20 mg atau 1 x 40 mg,
Lansprazol/pantoprazol 2 x 40 mg atau 1 x 60 mg.
d) Koloid Bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth
Subsalisilat/BSS) membentuk lapisan penangkal bersama protein pada dasar
tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam dan pepsin dan efek
bakterisidal terhadap H.Pylori.
e) Sukralfat: Mekanisme kerja berupa pelepasan kutub alumunium hidroksida yang
berikatan dengan kutub positif melekul protein lapisan fisikokemikal pada dasar
tukak melindungi tukak dari asam dan pepsin. Membantu sintesa prostaglandin,
kerjasama dengan EGF ,menambah sekresi bikarbonat & mukus, peningkatan
daya pertahanan dan perbaikan mukosa.
f) Prostaglandin: Mengurangi sekresi asam lambung, meningkatkan sekresi mukus,
bikarbonat, peningkatan aliran darah mukosa, pertahanan dan perbaikan mukosa.
Digunakan pada tukak lambung akibat komsumsi NSAIDs.
g) Penatalaksanaan infeksi H.Pylori.
Tujuan eradikasi H.Pylori adalah untuk mengurangi keluhan, penyembuhan
tukak dan mencegah kekambuhan. Lama pengobatan eradikasi H.Pylori adalah 2
minggu,untuk kesembuhan tukak, bisa dilanjutkan pemberian PPI selama 3 – 4
minggu lagi.11
22
3. Tindakan Operasi
Indikasi untuk melakukan tindakan operasi apabila terapi medik gagal atau
terjadinya komplikasi seperti perdarahan, perforasi, dan obstruksi. Hal ini dapat
dilakukan dengan tindakan vagotomy yaitu dengan melakukan pemotongan cabang
saraf vagus yang menuju lambung menghilangkan fase sefalik sekresi lambung.
Tindakan operasi lain seperti antrektomi dan gastrektomi juga dapat dilakukan
apabila adanya indikasi dilakukan operasi.12
2.1.7. Komplikasi
Tukak dapat berkomplikasi pada perdarahan. Pendarahan berlaku pada 15-20%
pasien tukak peptik. Perdarahan adalah komplikasi tersering pada tukak peptik yaitu
pada dinding posterior bulbus duodenum, karena pada tempat ini dapat terjadi erosi
arteria pankreatikaduodenalis atau arteria gastroduodenalis. Dikatakan 25% daripada
kematian akibat tukak peptik adalah disebabkan komplikasi pendarahan ini.12
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah perforasi di lambung sehingga
menyebabakan terjadinya peritonitis. Perforasi terjadi pada 5% pasien tukak peptik.
Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal,
dinyatakan sebagai bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma.
23
Pada tukak juga dapat berkomplikasi menjadi obstruksi. Tukak prepilorik dan
duodeni bisa menimbulkan gastric outlet obstruction melalui terbentuknya fibrosis
atau oedem dan spasme. Mual,kembung setelah makan merupakan gejala-gejala
yang sering timbul. Apabila obstruksi bertambah berat dapat timbul nyeri dan
muntah.12
2.2. Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs)
2.2.1. Definisi
Obat antiinflamasi non steroid, atau yang dikenal dengan NSAIDs (Non
Steroidal Anti- inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki
khasiat analgesik (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi (anti
radang). Istilah "non steroid" digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini
dengan steroid, yang juga memiliki khasiat serupa. NSAIDs bukan tergolong obat-
obatan jenis narkotika.11
Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana
terdapat kehadiran rasa nyeri dan radang. NSAIDs merupakan salah satu obat yang
banyak diresepkan oleh dokter diseluruh dunia untuk mengobati nyeri dan inflamasi.
Secara umum, NSAIDs diindikasikan untuk gejala penyakit seperti rheumatoid
arthritis, osteoarthritis, encok akut, nyeri haid, migrain dan sakit kepala, nyeri setelah
24
operasi, nyeri ringan hingga sedang pada luka jaringan, demam, ileus, dan renal
kolik. Secara umum penggunaan obat ini dapat menyebabkan reaksi obat yang tidak
dikehendaki (ROTD) yang telah banyak dilaporkan oleh agen regulasi obat pada
berbagai studi klinik dan studi epidemologi.11
Mekanisme kerja NSAIDs didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1
(cyclooxygenase-1) dan COX-2 (cyclooxygenase-2). Enzim COX ini berperan
dalam memacu pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat.
Prostaglandin berperan dalam proses inflamasi.11
Berdasarkan kinerja NSAIDs yakni menghambat aktivitas COX-1 dan COX-2.
Maka sebernarnya terdapat 3 jenis obat NSAIDs, yaitu:
COX-1 selective inhibitor. Yaitu obat golongan NSAIDs yang cenderung
menghambat aktivitas COX-1, contohnya asam mefenamat.
COX-2 selective inhibitor. Golongan obat NSAIDs yang punya kecenderungan
menghambat aktivitas COX-2, contohnya celecoxib.
Non-selective COX inhibitor. Obat NSAIDs golongan ini menghambat aktivitas
COX-1 dan COX-2, contohnya aspirin.15
2.2.2. Klasifikasi
25
NSAIDs dapat digolongkan atau diklasifikasikan berdasarkan struktur kimianya atau
mekanisme aksi, yaitu :
a) Golongan salisilat (diantaranya asam asetilsalisilat, diflunisal salsalat),
b) Golongan derivate asam propionate (diantaranya ibuprofen, ketoprofen,
naproksen, fenoprofen, flurbiprofen),
c) Golongan derivat asam asetat (diantaranya indometasin, sulindak, tolmetin,
diklofenak),
d) Golongan derivat asam enolat (diantaranya piroksikam, meloksikam,
tenoksikam, droksikam, lornoksikam),
e) Golongan derivat pirazolon (diantaranya fenilbutazon, azapropazone,
oksifenbutazon),
f) Golongan derivate asam fenamat (diantaranya asam mefenamat,
meklofenamat, asam flufenamat, asam tolfenamat),
g) Golongan penghambat COX-2 selektif (celecoxib, lumiracoxib, Rofecoxib,
Valdecoxib),
h) Golongan sulfonanilida (nimesulide), serta
i) Golongan lain (licofelone).13
26
2.2.3. Farmakokinetik
NSAIDs dikelompokkan dalam berbagai kelompok kimiawi, beberapa di
antaranya (propionic acid deretivative, inodole derivative, oxicam, fenamate,dll.)
keanekaragaman kimiawi ini memberi sebuah rentang karakteristik farmakokinetik
yang luas. Sekalipun ada banyak perbedaan dalam farmakokinetik NSAIDs , mereka
mempunyai beberapa karakteristik yang sama. Sebagian besar dari obat ini diserap
dengan baik, dan makanan tidak mempengruhi biovailabilitas mereka secara
substansial. Sebagian besar dari NSAIDs sangat di metabolisme, beberapa oleh
mekanisme fase I dan fase II dan lainnya hanya oleh glukuronidasi langsung (fase
II). Metabolisme dari seberapa besar NSAIDs berlangsung sebagian melalui enzim
P450 kelompok CYP3A dan CYP2P dalam hati. Sekalipun ekskresi ginjal adalah
rute yang paling penting untuk eliminasi terakhir, hampir semuanya melalui berbagai
tingkat ekskresi empedu dan penyerapan kembali (sirkulasi enterohepatis).
Kenyataanya tingkat iritasi seluruh saluran cerna bagian bawah berkolerasi dengan
jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar dari NSAIDs berikatan dengan
protein tinggi , biasanya dengan albumin.13,14
27
2.2.4. Farmakodinamik
Aktivitas anti inflamasi dari NSAIDs terutama diperantari melalui hambatan
biosintesis prostaglandin. Berbagai NSAIDs mungkin memiliki mekanisme kerja
tambahan, termasuk hambatan komitaksis, regulasi rendah, produksi interleukin-1,
penurunan produksi redaikal bebas dan superoksida, dan campur tangan dengan
kejadian-kejadian intraseluler yang diperantari kalsium. Aspirin secara ireversibel
mengasetilasi dan menyekat platelet cyclooxigenase., tetapi NSAIDs yang lain
adalah penghambat- penghambat yang reversible. Selektivitas COX-1 versus COX-2
dapat bervariasi dan tidak lengkap bagi bahan-bahan yang lebih lama, tetapi
penghambat-penghambat COX-2 yang sangat selektif sekarang bisa di dapat. Dalam
pengujian dengan memakai darah utuh manusia, entah mengapa, aspirin,
indomethacine, pirixicam, dan sulindac lebih efektif dalam menghambat COX-1,
ibuprofen dan mectofenamate menghambat kedua isozim yang kurang lebih sama.
Hambatan sintesis lipoxigenase oleh NSAIDs yang lebih baru, suatu efek yang di
inginkan untuk obat anti inflamasi adalah terbatas tetapi mungkin lebih besar
daripada dengan aspirin. Benoxaprofen, NSAIDs lain yang lebih baru, diperlihatkan
28
menghambat sintesis leukotriene dengan baik tetapi di tarik kembali karena sifat
toksiknya. Dari NSAIDs yang sekarang ini bisa didapat , indomethacine dan
diclofanac telah dilaporkan mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotriene.
Kepentingan klinis dari selektivitas COX-2 sekarang ini sedang diselidiki.
Keefektifan mungkin tidak terpengruh tetapi keamanan gastrointestinal mungkin
dapat di tingkatkan. Gunakan NSAIDs secara hati-hati pada pasien - pasien dengan
riwayat gangguan perdarahan / perdarahan gastrointestinal, penyakit hati, ginjal , dan
cardiovaskuler berat. Sedangkan keamanan NSAIDs pada kehamilan belum di
tetapkan.13,14
2.2.5. Efek samping pada gastrointestinal
Semua NSAIDs secara potensial umumnya bersifat toksik. Toksisitas NSAIDs
yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis,
terutama jika NSAIDs digunakan bersama obat-obatan lain, alkohol, kebiasaan
merokok, atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk
mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat NSAIDs.14
NSAIDs pada dosis yang biasa, efek samping utama adalah gangguan pada
lambung (intoleransi). Gastritis yang timbul pada aspirin mungkin disebabkan oleh
iritasi mukosa lambung oleh tablet yang tidak larut atau karena penghambatan
prostaglandin pelindung. Perdarahan saluran cerna bagian atas yang berhubungan
dengan penggunaan NSAIDs biasanya berkaitan dengan erosi lambung. Peningkatan
29
kehilangan darah yang sedikit melalui tinja secara rutin serta peningkatan kehilangan
darah yang sedikit melalui tinja secara rutin berhubungan dengan konsumsi NSAIDs
; kira-kira 1 mL darah normal yang hilang dari tinja per hari meningkat sampai kira-
kira 4 mL per hari pada penderita yang minum NSAIDs dosis biasa dan pada dosis
lebih tinggi. Di lain pihak, dengan terapi yang tepat, ulkusnya sembuh, meskipun
diberikan bersamaan. Muntah juga dapat terjadi sebagai akibat rangsangan susunan
saraf pusat setelah absorbsi dosis besar NSAIDs.11
NSAIDs memberikan manfaat anti inflamasi melalui aksinya pada enzim
siklooksigenase-2 (COX-2). Pada saat yang sama, mereka dapat menyebabkan tukak
lambung melalui aksinya pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1).15
Beberapa NSAIDs mempunyai efek samping yang buruk dibanding yang lain,
meskipun aksi anti inflamasi mereka sama. Hal ini tergantung pada spesifisitas
masing-masing obat dalam merintangi COX. Kebanyakan NSAIDs merintangi
COX-1 lebih besar dibanding COX-2, sehingga ratio spesifisitas aksinya menjadi
besar. Obat-obat jenis ini mempunyai resiko efek samping yang lebih besar. Sebagai
contoh, Aspirin 166 kali lebih besar aksinya pada COX-1 dibanding COX-2, dan
diketahui mempunyai potensi menyebabkan tukak yang tinggi. Obat lain dengan
efek samping tinggi pada GI adalah Sulindak, Tolmetin dan Piroksikam.15
30
NSAIDs tidak selalu menyebabkan tukak dengan cara mengiritasi lambung.
Umumnya mereka memblok produksi Prostaglandin yang berfungsi sebagai
pelindung di lambung. Karenanya, NSAIDs salut enteric lebih rendah
kemungkinannya menyebabkan gangguan lambung, hanya masih memungkinkan
menyebabkan tukak lambung.15
2.3. Kerangka Teori
31
Rokok Garam EmpeduH. Pilory Alkohol NSAIDs
Fungsi Sawar Mukosa
Asam Berdifusi Ke Mukosa
Kerusakan Sel Mukosa dan Pembuluh Darah
2.4. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis
Ho: Tidak Terdapat hubungan antara penggunaan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.
H1: Terdapat hubungan antara penggunaan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.
32
Penggunaan NSAIDs
Jenis obat Kekerapan
penggunaan Lama penggunaan
Menderita penyakit
tukak peptik
Tukak Peptik
Perdarahan
: Variabel yang diteliti
: Variable yang tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non ekperimental, deskriptif analitik
dengan rancangan penelitian case-control (kasus-kontrol). Variabel yang diukur dan
dibandingkan adalah pengalaman terpajan (exsposure) oleh faktor yang diduga
sebagai penyebab timbulnya penyakit antara kelompok penderita sebagai kasus dan
kelompok bukan penderita sebagai kontrol. Selanjutnya, kedua kelompok ditelusuri
ke belakang (retrospektif) berdasarkan urutan waktu untuk mencari perbedaan dari
segi pengalaman terpajan oleh faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya
penyakit kemudian perbedaan pengalaman kedua kelompok dibandingkan untuk
menentukan ada atau tidaknya hubungan, dimana dilakukan pengumpulan data
33
dengan melihat rekam medis pasien serta menggunakan metode wawancara dan
pemberian kuesioner.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitan
Tempat penelitian dilakukan di RSUP NTB. Tempat ini dipilih karena
merupakan Rumah Sakit pendidikan dan rujukan di NTB. Penelitian dilaksanakan
dimulai pada tanggal 01 MARET 2013 sampai dengan 04 MEI 2013.
3.3. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penilitian ini adalah :
Variabel independen : Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penggunaan NSAID
Variabel dependen : Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pasien tukak peptik dan non tukak peptik.
2. Definisi Operasional
1. Pasien tukak peptik
Pasien tukak peptik adalah pasien yang ada riwayat tukak peptik atau masa kini
telah didiagnosa menderita tukak peptik yang didiagnosa oleh dokter. Pasien
tukak peptik diukur dengan alat ukur rekam medis dan kuesioner.. Dalam
34
penelitian ini, ada tidaknya tukak peptik dibaca menggunakan rekam medis
pasien dengan skala nominal.
2. Pasien non tukak peptik
Pasien non tukak peptik adalah pasien yang tidak ada riwayat tukak peptik atau
masa kini tidak didiagnosa menderita tukak peptik oleh dokter. Pasien non
tukak peptik diukur dengan alat ukur rekam medis dan kuesioner dengan skala
nominal.
3. Penggunaan NSAIDs
Penggunaan NSAIDs adalah pasien yang mempunyai riwayat penggunaan
NSAIDs termasuk penggunaan aspirin dan NSAIDs jenis lainnya serta
kekerapan dan lama penggunaan obat tersebut. Penggunaan NSAIDs diukur
dengan rekam medis dan kuesioner dengan skala nominal.
3.4. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah pasien-pasien tukak peptik dan non tukak peptik
yang berkunjung ke RSUP NTB periode Januari 2012 - April 2013. Dalam
35
penelitian ini jumlah populasi kelompok kasus yaitu semua pasien tukak peptik
periode Januari 2012 – April 2013.
2. Sampel penelitian
Sampel pada penelitian ini adalah sebagian pasien tukak peptik yang
berkunjung ke RSUP NTB periode Januari 2012 – April 2013 yang dianggap
mewakili. Untuk mendapatkan besar sampel digunakan rumus besar sampel untuk
studi kasus-kontrol yaitu uji hipotesis terhadap rasio.18
Pada studi kasus control peneliti menggunakan odds ratio (OR) sebagai
perkiraan hasil yang diinginkan; dengan demikian apabila P1 = proporsi kasus dan
P2 = proporsi control, maka:
P 2= P1¿ (1−P 1 )+ P1
Bila OR = 4,5 P1 = 0,50, maka;
P 2= 0,502 (1−0,50 )+0,50
P 2=0,501,50
P 2=0,30
Diketahui; Zα = 1,96; Zβ = 0,84; P1 = 0,50; P2 = 0,30
P = ½ (P1+P2), maka P = ½ (0,50+0,30), nilai P = 0,40
Q1 = (1-P1), maka Q1 = (1-0,50), nilai Q1 = 0,50
36
Q2 = (1-P2), maka Q2 = (1-0,30), nilai Q2 = 0,70
Q = (1-P), maka Q = (1-0,40), nilai Q = 0,60
n=( Zα √2 PQ+Zβ √ (P 1 Q 1+P 2 Q 2 ) )2
P 1−P 2
Keterangan :
n = Besar sampel
P1 = Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P2 = Proporsi kejadian pada salah satu partisipasi pada kelompok tertentu
P = Rata=rata P1 dan P2 (P1+P2)/2
Zα = Nilai Z pada derajat kemaknaan sebesar 95% = 1.96
Zβ = Nilai Z pada kekuatan uji power 80% = 0.84
Maka perhitungan sampelnya sebagai berikut :
n=(1,96 √2.0,40 .0 .60+0,84 √ (0,50.0,50+0,30.0,70 ) )2
(0,50−0,30)
37
n=(1,96 √0,48+0,84√0,46 )2
0.20
n=(1,96.0,69+0,84.0,68 )2
0,20
n=(1,9 )2
0,20
n=18
Maka besar sampel sebanyak 18 orang, dan disesuaikan dengan sampel
kelompok kontrol yaitu pasien non tukak peptik dengan perbandingan kasus dan
kontrol 1:1.
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien tukak peptik dan non tukak peptik
yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Kriteria Inklusi
a). Kelompok kasus :
Pasien yang berumur 25-75 tahun yang telah didiagnosa menderita tukak peptik.
b). kelompok kontrol :
Pasien yang berumur 25-75 tahun yang tidak didiagnosa menderita tukak peptik.
2. Kriteria Eksklusi
Pasien yang berumur kurang dari 25 tahun atau lebih dari 75 tahun
38
Pasien yang mempunyai riwayat merokok dan mekonsumsi minuman yang
beralkohol.
Pasien pernah didiagnosa infeksi H.pylory.
3.5. Instrumen Penelitian
1. Rekam Medis
Instrumen ini digunakan untuk mengetahui dan mengumpulkan data rekam
medis pasien tukak peptik dan non tukak peptik rawat inap periode Januari 2012-
april 2013 tentang identitas dan alamat pasien serta untuk menyingkirkan kriteria
eksklusi dari data rekam medis pasien tersebut.
2. Kuesioner
Instrumen ini digunakan untuk mengetahui karakteristik sampel meliputi
identitas, tentang riwayat apakah responden pernah menggunakan NSAID, nama
obat yang digunakan, kekerapan penggunaan obat tersebut, serta berapa lama
penggunaannya. Pengisian kuesioner juga disertai dengan wawancara mengenai
hal-hal yang berhubungan dengan riwayat merokok serta riwayat konsumsi
minuman beralkohol. Setelah terkumpul, kemudian dilakukan analisis data.
39
Kuesioner ini sudah digunakan sebelumnya oleh peneliti Nurul Farahani
fakultas kedokteran USU dan telah disahkan valid secara validity of content.
Pengesahan ini telah dilakukan oleh Prof. dr. Aznan Lelo, Ph.D, Sp.FK, dari
divisi Farmakologi. Perbaikan telah dilakukan menurut saranan yang diberikan
dan telah dipersetujui untuk digunakan dalam penelitian ini.
3.6. Cara Penelitian (Alur Penilitian)
40
Pengumpulan Data Rekam Medis Pasien Tukak Peptik dan non tukak
peptik
Sampel non tukak peptik (kontrol)
Sampel tukak peptik (kasus)
Kuisioner dan WawancaraKuisioner dan Wawancara
3.7. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu bagian yang penting dari suatu penelitian.
Dimana tujuan dari analisis data ini adalah agar diperoleh suatu kesimpulan masalah
yang diteliti. Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan program
komputer dengan menggunakan program SPSS 17 (Statistical Program and Service
Solution) windows 7.
Analisa dalam penelitian ini menggunakan :
a. Analisa Univariat
Analisa ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel, baik
variabel indepeden dan variabel depeden. Adapun variabel yang dianalisis meliputi
jenis kelamin responden, umur responden, riwayat penggunaan jenis obat NSAID
dengan kejadian tukak peptik dan non tukak peptik.
b. Analisa Bivariat
41
Analisis data
Analisa yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
(independent) dan variabel terikat (dependent) yaitu untuk mengetahui hubungan
NSAIDs dengan kejadian tukak peptik.
Setelah dilakukan validasi dan pengelompokan data penelitian yang
diperoleh, hasil penelitian akan disusun dalam tabel 2x2. Risiko relatif untuk
rancangan case control dihitung secara tidak langsung yaitu menggunakan Odds
ratio.18 Kemudian berdasarkan data akan dicari Odds Ratio untuk mengetahui
hubungan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik. kemudian dilakukan uji hipotesis.
Variabel-variabel yang digunakan untuk mencari Odss Ratio akan disajikan dalam
tabel 2 x2 berikut :
Tabel 3.1 Tabel Silang hubungaan penggunaan Nonsteroidal Anti-Inflammatory
Drugs (NSAIDs) dengan kejadian tukak peptik Di RSUP NTB.
NSAIDs
Tukak Peptik
Jumlah
Ya Tidak
Ya A B A+B
Tidak C D C+D
Jumlah A+C B+D A+B+C+D
42
Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya empat kelompok subyek
(A, B, C dan D) yang merupakan kombinasi variabel independen dengan dependen.
Sehingga diperoleh rumus sebagai berikut :
Rumus Odds ratio :[A x DB xC
]=¿
Dalam penelitian ini juga digunakan uji statistik Chi-Square dengan bantuan
komputer untuk mengetahui hubungan NSAIDs dengan kejadian tukak peptik. Taraf
signifikasi yang digunakan adalah 95 % / taraf kesalahan 0,05 %.
Rumus dari Chi-Square adalah:
Keterangan:
o r = jumlah baris,
o c = jumlah kolom,
o i = baris ke i
o j=baris ke j
o Oij = frekuensi observasi pada baris i kolom j
o Eij = frekuensi yang diharapkan pada baris i kolom j
43
Kriteria hubungan berdasarkan P-value (probabilitas) yang dihasilkan dengan
nilai kemaknaan yang dipilih, dengan kriteria sebagai berikut:
Jika p value > 0,05 maka Ho diterima (tidak ada perbedaan)
Jika p value ≤ 0,05 maka Ho ditolak (ada perbedaan)
3.1. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika
penelitian. Etika penelitian meliputi:
a. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian maka peneliti tidak
mencantumkan nama pada lembar penelitian cukup dengan memberi nomor kode
pada masing-masing lembar yang hanya diketahui oleh peneliti.
b. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasian informasi yang telah dikumpulkan dan dijumpai pada pasien,
dijamin kerahasiannya oleh peneliti dan benar-benar digunakan untuk tujuan
penelitian.
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan tanggal 01 MARET 2013 sampai dengan 04 MEI
2013 di RSUP NTB. Sampel yang diambil adalah pasien tukak peptik periode
Januari 2012 - April 2013 berjumlah 18 orang, jumlah kontrol diambil dengan
perbandingan 1:1 jadi didapatkan jumlah pasien non tukak peptik sebanyak 18 orang
total dari jumlah kasus dan kontrol sebanyak 36 orang. Sampel yang diambil
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini.
4.2. Analisa Univariat
45
4.2.1. Jenis Kelamin
Distribusi sampel penderita dan non penderita tukak peptik menurut jenis kelamin
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Kasus Kontrol
Laki – laki (66,7%) (66,7%)
Perempuan (33,3%) (33,3%)
Total (100%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
46
gambar 4.1. Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 4.1 dan diagram 4.1 diatas terlihat jenis kelamin laki-laki
dan perempuan antara kasus dan kontrol memiliki jumlah yang sama. Jumlah yang
didapatkan pada responden yang berjenis kelamin laki-laki pada kasus lebih besar
yaitu (66,7%) atau 12 orang laki-laki, sedangkan perempuan pada kasus sebesar
(33,3%) atau 6 orang perempuan. Sedangkan pada kontrol terdapat sebesar (66,7%)
atau 12 orang laki-laki dan sebesar (33,3%) atau 6 orang yang berjenis kelamin
perempuan. Sehingga dari data di atas dapat dilihat distribusi jenis kelamin pada
kasus dan kontrol memiliki jumlah laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan.
Hal ini terjadi karena sesuai dengan literatur epidemiologi yang didapat bahwa
prevalensi tukak peptik lebih besar terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan
47
perempuan. Jumlah jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kasus dan kontrol
adalah sama ini di akibatkan karna kondisi sampel kasus dan kontrol tidak mencapai
distribusi yang normal sehingga jumlahnya sama.
4.2.2. Umur
Pada penelitian ini didapatkan distribusi penderita dan non penderita tukak
berdasarkan kelompok umur seperti dalam tabel berikut :
Tabel 4.2 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia
Usia Kasus Kontrol
20 – 39 (0%) (22,2%)
40 – 59 (44,4%) (33,3%)
>60 (55,6%) (44,4%)
Total (100%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
48
Gambar 4.2 Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Usia
Tabel 4.2.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Usia 20-39 tahun dan >40 tahun
Usia Kasus Kontrol
20 – 39 (0%) (22,3%)
>40 (100%) (77,7%)
Total (100%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
49
20 - 39 TAHUN > 40 TAHUN
KASUS 0 1
KONTROL 0.223 0.777
5%
25%
45%
65%
85%
USIA
PERS
ENTA
SE
Gambar 4.2.1 Diagram Distribusi Sampel Berdasarkan Usia 20-39 tahun dan >40
tahun
Dari tabel 4.2 dan diagram 4.2 dapat dilihat penderita terbanyak berdasarkan
kelompok usia berada dalam rentang usia 60 tahun ke atas yaitu sebesar (55,6%)
atau 10 responden pada kasus, sedangkan pada kontrol sebesar (44,4%) atau 8
responden, diikuti kelompok usia 40-59 yaitu sebesar (44,8%) atau 8 responden pada
kasus, dan kontrol sebesar (33,3%) atau 6 responden, dan yang paling sedikit pada
kelompok usia 20-39 tahun yaitu sebesar (22,2%) atau 4 responden pada kontrol,
sedangkan pada kasus (0%) atau tidak ada. Dilihat dari tabel diatas jumlah terbanyak
pada kelompok kasus dan kontrol yaitu usia 60 tahun ke atas dan yang paling sedikit
pada usia 20 - 39 tahun. Ini karena pada usia lanjut banyak terjadi perubahan
fisiologis pada fungsi organ-organ tubuh salah satunya menurunnya fungsi
50
homeostasis mukosa lambung dapat menjadi faktor pencetus dan memudahkan
terjadinya tukak peptik serta ditambah paparan NSAID menjadi sebab lainnya.
Selanjutnya pada tabel 4.2.1 dan diagram 4.2.1 berdasakan usia dibagi lagi menjadi 2
kelompok usia pada kasus dan kontrol yaitu usia 20-39 tahun dan usia 40 tahun
keatas. Diketahui bahwa usia terbanyak pada kasus dan kontrol yaitu pada usia 40
tahun keatas sebesar (100%) atau 18 responden pada kasus dan (77,7%) atau 14
responden pada kontrol. Sedangkan pada usia 20-39 tahun adalah paling sedikit yaitu
sebesar (22,3%) atau 4 responden dan pada kasus (0%) atau tidak ada.
4.2.3. Jenis NSAID
Pada penelitian ini diteliti juga penggunaan NSAID yang digunakan dengan
kejadian tukak peptik. Hal ini dapat dilihat dalam tabel dan diagram berikut:
51
Tabel 4.3 Distribusi menurut penggunaan jenis NSAID dengan kejadian tukak
peptik.
Jenis NSAID Kasus Kontrol
Asam Mefenamat (69%) (53%)
Meloksikam (23,1%) (26,7%)
Ibuprofen (7,7%) (20,0%)
Total (100%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
IBUPROFEN MELOKSIKAM ASAM MEFENA-MAT
KASUS 0.077 0.231 0.692
KONTROL 0.2 0.267 0.533
5.0%15.0%25.0%35.0%45.0%55.0%65.0%
JENIS NSAID
Axis Title
Gambar 4.3 Diagram menurut penggunaan jenis NSAID dengan kejadian tukak
peptik
52
Berdasarkan tabel 4.3 dan diagram 4.3 di atas dapat dilihat penggunaan jenis NSAID
terbesar pada kasus dan kontrol adalah Asam Mefenamat yaitu pada kelompok kasus
sebesar (69%), atau 9 responden, dan kelompok kontrol sebesar (53%) atau, 8
responden, sedangkan penggunaan jenis NSAID meloksikam pada kelompok kasus
sebesar (23,1%) atau, 3 responden, dan pada kelompok kontrol sebesar (26,7%) atau,
4 responden. sedangkan yang paling sedikit penggunaan jenis NSAID adalah
ibuprofen yaitu pada kelompok kasus (7,7%) atau 1 responden, dan pada kelompok
kontrol sebesar (20,0%) atau 3 responden. Dari data diatas dapat dilihat bahwa
penggunaan jenis NSAID terbesar pada kelompok kasus dan kontrol adalah asam
mefenamat yaitu sebesar 17 responden dan yang paling sedikit penggunaan jenis
NSAID adalah jenis NSAID ibuprofen yaitu sebesar 4 responden.
Mengapa asam mefenamat terbanyak pada urutan pertama mungkin disebabkan
karena asam mefenamat banyak diresepkan oleh dokter, selain cara kerja obat yang
lebih selektif menghambat kedua-dua jenis COX ini, asam mefenamat mempunyai
harga yang lebih murah dibandingkan dengan meloksikam dan ibuprofen walaupun
dari segi keamanan obat asam mefenamat kurang baik. Sedangkan meloksikam
berada di urutan kedua, ini disebabkan karna dinilai dari harga meloksikam lebih
mahal dari asam mefenamat tetapi dari segi keamanan meloksikam lebih baik karna,
mekanisme kerja obat lebih selektif terhadap COX 2. Ibuprofen mempunyai cara
kerja obat yang sama dengan asam mefenamat, tetapi dinilai dari segi harga
ibuprofen lebih mahal dari asam mefenamat dan meloksikam serta dari segi
53
keamanan ibuprofen kurang baik mungkin karna hal ini ibuprofen berada diurutan
ketiga dari tabel diatas.
4.3. Analisa Bivariat
4.3.1. Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan
Riwayat Penggunaan NSAID
Tabel 4.4 Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan
Riwayat Penggunaan NSAID
Penderita tukak peptik
Riwayat penggunaan NSAIDTotal
Ya Tidak
Ya (72,2%) (27,8%) (100%)
Tidak (83,3%) (16,7%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
54
Gambar 4.4 Diagram penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan
Riwayat Penggunaan NSAID
Berdasarkan tabel 4.4 dan diagram 4.4 diatas dapat diketahui pasien yang
mempunyai riwayat penggunaan NSAID lebih besar tidak menderita tukak peptik
yaitu sebesar (83,3%) atau 15 pasien, diikuti dengan pasien yang mempunyai
riwayat NSAID dan menderita tukak peptik yaitu sebesar (72,2%) atau 13 pasien,
Dan pasien yang tidak mempunyai riwayat NSAID tetapi menderita tukak peptik
yaitu sebesar (27,8%) atau 5 pasien, serta diikuti pasien yang tidak mempunyai
riwayat NSAID dan tidak menderita tukak peptik yaitu sebesar (16,7%) atau 3
pasien.
55
4.3.2. Tabel Silang Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat
Penggunaan NSAID
Tabel 4.5 Tabel silang penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat
penggunaan NSAID
Penderita tukak peptik
Riwayat penggunaan NSAIDTotal
Ya Tidak
Ya 13 5 18
Tidak 15 3 18
Total 28 8 36
Sumber: Data primer yang diolah
Rumus Odds ratio :[A x DB xC
]=¿
Odds ratio :[ 13 x35 x15 ]=0,52
Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio
diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 0,52. Bila OR <1 maka menunjukkan
bahwa faktor yang diteliti bukan merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan
NSAID bukan merupakan faktor resiko terjadinya tukak peptik.
56
Hubungan penggunaan NSAID dengan kejadian tukak peptik hasil uji statistik
menunjukkan bahwa penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap kejadian
tukak peptik. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada
data sbb :
Tabel 4.6 Tabel Uji Chi-square
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 0,643 dengan nilai
signifikansi (P-Value) sebesar 0.423. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai
signifikansi (0.423) > α (0,05) sehingga H0 diterima.
Sedangkan untuk melihat adanya hubungan penggunaan NSAID dengan
kejadian tukak peptik maka digunakan uji korelasi contingency coefficient.
57
Uji Value Signifikansi (P-Value)
Chi- Square 0,643 0.423
Berdasarkan uji korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka
hasil pegujian dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :
Tabel. 4.7. Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient
Uji Value
Signifikansi (P-
Value)
ContingencyCoefficient
0.132
0.423
Sumber: Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel 4.7 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai p=
0.423 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan
penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk
mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.132.
Pada penelitian ini didapatkan tiada hubungan yang berarti antara penggunaan
NSAID dengan kejadian tukak peptik dari data tabel 4.4 dan diagram 4.4 diatas
dapat diketahui pasien yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID tetapi tidak
menderita tukak peptik yaitu sebanyak 15 pasien, dan pasien yang mempunyai
riwayat NSAID yang menderita tukak peptik sebanyak 13 pasien. Sedangkan pasien
yang tidak mempunyai riwayat NSAID tetapi menderita tukak peptik sebanyak 5
58
pasien dan pasien yang tidak mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan tidak
menderita tukak peptik sebanyak 3 pasien.
Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.5, diperoleh nilai
0,52. Bila OR < 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID bukan merupakan faktor
resiko terjadinya tukak peptik, Dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel 4.6
didapatkan nilai signifikansi = 0,423 > α (0,05) sehingga H0 diterima artinya yang
berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana hubungan
tersebut maka dari tabel 4.7 didapatkan value sebesar 0.132. Nilai 0.132
menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak terdapat
hubungan yang berarti antara penggunaan NSAID dengan kejadian tukak peptik.
Hal ini dikarenakan sampel yang tidak mencapai distribusi normal. Selain itu,
penyebab tukak peptik pada kasus diatas mungkin disebabkan oleh H.pilory atau
penyebab lainnya dibandingkan karena penggunaan NSAID, hal ini disebabkan dari
data rekam medis pasien banyak penulisan data yang tidak jelas untuk menunjukkan
penyebab tukak peptik tersebut, serta pada saat pemberian kuesioner mungkin
adanya jawaban yang tidak mewakili keadaan yang sebenarnya. hal inilah yang
menyebabkan hubungan NSAID dengan kejadian tukak peptik tidak signifikan.
59
4.3.3. Distribusi Keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat Penggunaan
NSAID
Tabel 4.8 Distribusi menurut keluhan nyeri epigastrium berdasarkan riwayat
penggunaan NSAID.
Nyeri Epigastrium
Riwayat Penggunaan NSAID Total
Ya Tidak
Ya (94,1%) (5,9%) (100%)
Tidak (63,2%) (36,8%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
60
Gambar 4.8 Diagram menurut keluhan nyeri epigastrium berdasarkan riwayat
penggunaan NSAID
Berdasarkan tabel 4.8 dan diagram 4.8 diatas dapat diketahui banyak pasien
yang menggunakan NSAID akan mengalami keluhan nyeri epigastrium setelah
penggunaan obat tersebut yaitu sebesar 94,1% atau 16 pasien. Sedangkan pada
pasien yang menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium
sebesar 63,2% atau 12 pasien, dan pasien yang tidak menggunakan NSAID dan
mengalami keluhan nyeri epigastrium sebesar 5,9% atau 1 pasien, serta pasien yang
tidak menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium sebesar
36,8% atau 7 pasien.
61
4.3.4 Tabel Silang Keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat Penggunaan
NSAID
Tabel 4.9. Tabel silang keluhan Nyeri Epigastrium Berdasarkan Riwayat
Penggunaan NSAID
Nyeri EpigastriumRiwayat Penggunaan NSAID Total
Ya Tidak
Ya 16 1 17
Tidak 12 7 19
Total 28 8 36
Sumber: Data primer yang diolah
Rumus Odds ratio :[A x DB xC
]=¿
Odds ratio :[ 16 x 71x 12 ]=9,3
Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio
diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 9,3. Bila OR >1 maka menunjukkan
bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan NSAID
merupakan faktor resiko terjadinya nyeri epigastrium.
Hubungan penggunaan NSAID dengan nyeri epigastrium hasil uji statistik
menunjukkan bahwa penggunaan NSAID berhubungan terhadap kejadian nyeri
62
epigastrium. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada
data sbb :
Tabel 4.10 Tabel Uji Chi-square
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 4.976 dengan nilai
signifikansi (P-Value) sebesar 0.026. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai
signifikansi (0.026) < α (0,05) sehingga H0 ditolak.
Sedangkan untuk melihat adanya hubungan penggunaan NSAID dengan nyeri
epigastrium maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji
korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian
dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :
Tabel. 4.11. Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient
Uji Value
Signifikansi (P-Value)
63
Uji Value Signifikansi (P-Value)
Chi- Square 4,976 0.026
ContingencyCoefficient
0.348
0.026
Sumber: Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel 4.11 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai
p= 0.026 < α (0.05) dengan demikian menunjukan penolakan terhadap H0 dan
penerimaan terhadap H1, yang berarti ada hubungan yang signifikan. Untuk
mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.348.
Dari hasil pengukuran hubungan penggunaan NSAID dengan kejadian nyeri
epigastrium. Berdasarkan tabel 4.8 dan diagram 4.8 diketahui banyak pasien yang
menggunakan NSAID akan mengalami keluhan nyeri epigastrium setelah
penggunaan obat tersebut yaitu sebesar 94,1% atau 16 pasien. Sedangkan dengan
pasien yang menggunakan NSAID dan tidak mengalami keluhan nyeri epigastrium
sebesar 63,2% atau 12 pasien.
Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.9, diperoleh nilai
9,3. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor resiko
terjadinya nyeri epigastrium, Dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel 4.10
didapatkan nilai signifikansi = 0,026 < α (0,05) sehingga H0 ditolak artinya ada
hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana hubungan tersebut maka
dari tabel 4.11 didapatkan value sebesar 0.348. Nilai 0.348 menunjukkan tanda
rendah (low correlation) artinya, terdapat hubungan yang rendah antara penggunaan
64
NSAID dengan kejadian nyeri epigastrium. Ini bermakna, pada pasien-pasien yang
menggunakan NSAID sering mengeluhkan adanya nyeri epigastrium dengan
mekanisme yang telah dibahaskan di awal tadi. Terdapat jurnal yang mempunyai
hasil yang sama, yaitu apabila dilakukan satu penelitian meta analisis pada hasil
studi pada 92 responden yang respondennya diacak untuk menerima NSAID dan
placebo sebagai kelompok kontrol. Kemudian, diteliti efek samping penggunaan
NSAID dengan keluhan nyeri epigastrium. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa,
terdapat peningkatan resiko nyeri epigastrium dan tukak pada penggunaan NSAID
dengan risk ratio 1.36 dengan tingkat kepercayaan 95%.4
4.3.5 Distribusi Menurut Keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan
NSAID
Tabel 4.12 Distribusi menurut keluhan mual muntah berdasarkan riwayat
penggunaan NSAID
Mual Muntah Riwayat Penggunaan NSAID Total
Ya Tidak
Ya (90,0%) (10,0%) (100%)
65
Tidak (73,1%) (26,9%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
Gambar 4.12 Diagram menurut keluhan mual muntah berdasarkan riwayat
penggunaan NSAID
Berdasarkan tabel 4.12 dan diagram 4.12 diatas dapat diketahui dari pasien
yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan mengalami keluhan mual muntah
yaitu sebesar 90,0% atau 9 pasien, Dan pasien yang tidak mempunyai riwayat
penggunaan NSAID dan mengalami mual muntah sebesar 10.0% atau 1 pasien.
sedangkan pasien yang mempunyai riwayat penggunaan NSAID dan tidak
mengalami keluhan mual muntah sebesar 73,1% atau 19 pasien, dan pasien yang
66
tidak mempunyai riwayat NSAID dan tidak mengalami keluhan mual muntah
sebesar 26,9% atau 7 pasien.
4.3.6 Tabel Silang Keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan
NSAID
Tabel 4.13 Tabel silang keluhan Mual Muntah Berdasarkan Riwayat Penggunaan
NSAID
Mual Muntah Riwayat Penggunaan NSAID Total
Ya Tidak
Ya 9 1 10
Tidak 19 7 26
Total 28 8 36
Sumber: Data primer yang diolah
Rumus Odds ratio :[A x DB xC
]=¿
Odds ratio :[ 9 x71 x19 ]=3,3
Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio
diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 3,3. Bila OR >1 maka menunjukkan
bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga penggunaan NSAID
merupakan faktor resiko terjadinya mual muntah.
67
Hubungan penggunaan NSAID dengan mual muntah hasil uji statistik
menunjukkan bahwa penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap kejadian mual
muntah. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan nilai pada data
sbb :
Tabel 4.14 Tabel Uji Chi-square
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 1.197 dengan nilai
signifikansi (P-Value) sebesar 0.247. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai
signifikansi (0.247) > α (0,05) sehingga H0 diterima.
Sedangkan untuk melihat adanya Hubungan penggunaan NSAID dengan mual
muntah maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji
korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian
dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :
Tabel. 4.15 Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient
Uji Valu Signifikan
68
Uji Value Signifikansi (P-Value)
Chi- Square 1.197 0.274
e si (P-Value)
ContingencyCoefficient
0.179
0.274
Sumber: Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel 4.15 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai
p= 0.274 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan
penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk
mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.179.
Berdasarkan tabel 4.12 dan diagram 4.12 dapat diketahui dari 28 pasien yang
mempunyai riwayat penggunaan NSAID yang mengalami keluhan mual muntah
setelah penggunaan NSAID hanya sedikit yaitu 90.0% atau 9 pasien. Sedangkan
pasien yang tidak mengalami mual muntah setelah penggunaan NSAID sebesar
73.1% atau 19 pasien.
Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.13, diperoleh
nilai 3,3. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor
resiko terjadinya mual muntah, dan hasil uji statistik melalui uji chi-square tabel
4.14 didapatkan nilai signifikansi = 0,274 > α (0,05) sehingga H0 diterima artinya
yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui bagaimana
hubungan tersebut maka dari tabel 4.15 didapatkan value sebesar 0.179. Nilai 0.179
menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak terdapat
hubungan yang berarti antara penggunaan NSAID dengan keluhan mual muntah.
69
Dari hasil diatas dapat diketahui bahwa penggunaan NSAID merupakan faktor
resiko terjadinya mual muntah ini dikarenakan penggunaan NSAID bisa
menyebabkan terjadinya iritasi pada lambung dan menyebabkan peradangan di
lambung yang diakibatkan oleh tingginya asam lambung menyebabkan permeabilitas
kapilier pembuluh darah naik sehingga menyebabkan lambung menjadi edema
(bengkak) dan merangsang reseptor tegangan serta merangsang hypothalamus untuk
menginduksi mual dan muntah. Pada penelitian ini didapatkan sampel yang tidak
mencapai distribusi normal sehingga hubungan penggunaan NSAID dengan keluhan
mual muntah tidak signifikan.
4.3.7. Distribusi Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat
Durasi Penggunaan NSAID
Penggunaan NSAID dikatakan singkat apabila pasien menggunakan NSAID
kurang dari sebulan dan dikatakan penggunaan lama apabila penggunaannya kurang
atau lebih 3 bulan.
Tabel 4.16 Distribusi penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat
durasi penggunaan NSAID
Durasi Penggunaan
Penderita tukak peptik Total
Ya Tidak
70
NSAIDSingkat (72,7%) (27,3%) (100%)
Lama (58,8%) (41,2%) (100%)
Sumber: Data primer yang diolah
Gambar 4.16 Diagram penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan riwayat
durasi penggunaan NSAID
Berdasarkan tabel 4.16 dan diagram 4.16 diatas dapat diketahui riwayat durasi
pasien yang menggunakan NSAID yaitu pada penderita dengan durasi singkat
sebesar 72,7% atau 8 pasien dan non penderita dengan durasi singkat sebesar 27,3%
atau 3 pasien. sedangkan riwayat durasi penggunaan NSAID dengan durasi lama
71
pada penderita sebesar 58,8% atau 10 pasien dan non penderita dengan durasi lama
yaitu 41,2% atau 7 pasien.
4.3.8 Tabel Silang Penderita dan Non Penderita Tukak Peptik Berdasarkan Riwayat
Durasi Penggunaan NSAID
Tabel 4.17 Tabel silang penderita dan non penderita tukak peptik berdasarkan
riwayat durasi penggunaan NSAID
Durasi Penggunaan
NSAID
Penderita tukak peptik Total
Ya Tidak
Singkat 8 3 11
Lama 10 7 17
Total 18 10 28
Sumber: Data primer yang diolah
Rumus Odds ratio :[A x DB xC
]=¿
Odds ratio :[ 8 x73 x10 ]=1,8
Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel silang dan perhitungan odds ratio
diatas diketahui bahwa nilai odds ratio adalah 1,8. Bila OR >1 maka menunjukkan
72
bahwa faktor yang diteliti merupakan faktor resiko. Sehingga durasi penggunaan
NSAID merupakan faktor resiko terjadinya tukak peptik.
Hubungan durasi penggunaan NSAID dengan tukak peptik hasil uji statistik
menunjukkan bahwa durasi penggunaan NSAID tidak berhubungan terhadap
kejadian tukak peptik. Hal ini ditunjukkan dari uji melalui uji chi-square dengan
nilai pada data sbb :
Tabel 4.18 Tabel Uji Chi-square
Sumber: Data primer yang diolah
Dari data tersebut di atas diperoleh nilai X2hitung sebesar 0,562 dengan nilai
signifikansi (P-Value) sebesar 0.453. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh, nilai
signifikansi (0.453) > α (0,05) sehingga H0 diterima.
Sedangkan untuk melihat adanya hubungan durasi penggunaan NSAID dengan
tukak peptik maka digunakan uji korelasi contingency coefficient. Berdasarkan uji
korelasi contingency coefficient pada lampiran hasil analisis maka hasil pegujian
dapat disajikan dalam bentuk tabel sederhana sebagai berikut :
Tabel. 4.19 Tabel Uji Korelasi Contingency Coefficient
73
Uji Value Signifikansi (P-palue)
Chi- Square 0,562 0.453
Uji Value
Signifikansi (P-Value)
ContingencyCoefficient
0.140
0.453
Sumber: Data primer yang diolah
Berdasarkan tabel 4.19 hasil uji Contigency coefficient di atas, diperoleh nilai
p= 0.453 > α (0.05) dengan demikian menunjukan penerimaan terhadap H0 dan
penolakan terhadap H1, yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk
mengetahui bagaimana hubungan tersebut didapatkan value sebesar 0.140.
Berdasarkan tabel 4.16 dan diagram 4.16 dapat diketahui bahwa durasi riwayat
penggunaan NSAID pada penderita dengan durasi singkat yaitu sebesar 72,7% atau
8 pasien dan non penderita sebesar 27,3% atau 3 pasien. Sedangkan riwayat
penggunaan NSAID pada penderita dengan durasi lama sebesar 58,8% atau 10
pasien, dan non penderita sebesar 41,2% atau 7 pasien.
Analisis lanjutan dengan menggunakan odd ratio dari tabel 4.17, diperoleh
nilai 1,8. Bila OR > 1 menunjukkan bahwa durasi penggunaan NSAID merupakan
faktor resiko terjadinya tukak peptik, dan hasil uji statistik melalui uji chi-square
tabel 4.18 didapatkan nilai signifikansi = 0,453 > α (0,05) sehingga H0 diterima
artinya yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan. Untuk mengetahui
bagaimana hubungan tersebut maka dari tabel 4.19 didapatkan value sebesar 0.140.
Nilai 0.140 menunjukkan tanda tidak berarti (negligible correlation) artinya, tidak
terdapat hubungan yang berarti antara durasi penggunaan NSAID dengan kejadian
74
tukak peptik, Hal ini terjadi karena tidak didapatkannya durasi penggunaan NSAID
yang lebih dari setahun serta tidak diketahui seberapa besar dosis yang digunakan,
karena terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat
disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan.
Selain itu karena sampel yang tidak mencapai distribusi normal sehingga hal inilah
yang menyebabkan hubungan durasi penggunaan NSAID dengan kejadian tukak
peptik tidak signifikan.
4.4 Kelemahan Penelitian
1. Tidak lengkapnya data rekam medis pasien seperti alamat serta tulisan data
yang tidak jelas.
2. Jumlah sampel penderita tukak peptik yang kecil atau tidak mencapai sampel
distribusi yang normal.
3. Ketelitian dan kejujuran dari pasien dalam mengisi kuesioner sehingga tidak
menutup kemungkinan adanya jawaban yang tidak mewakili keadaan
sebenarnya dan hal ini dapat mempengaruhi dari hasil penelitian.
4. Dalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa hambatan yaitu keterbatasan
sumber, waktu dan tenaga serta pengetahuan dan daya ingat pasien pada saat
pengisian kuesioner.
75
5. Pasien tukak peptik bukan hanya disebabkan oleh NSAID tetapi juga bisa
disebabkan oleh H.pilory atau penyebab lainnya dibandingkan karena
penggunaan NSAID, hal ini disebabkan dari data rekam medis pasien banyak
penulisan data yang tidak jelas untuk menunjukkan penyebab tukak peptik
tersebut.
BAB V
PENUTUP
76
5.1. Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID
dengan kejadian tukak peptik yang ditunjukkan dengan nilai yaitu p=0.423 > α
(0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap H1.
2. Terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID dengan
keluhan nyeri epigastrium yaitu ditunjukkan dengan nilai p=0.026 < α (0.05),
artinya penolakan terhadap H0 dan penerimaan terhadap H1. Didapatkan value
sebesar 0.348. Nilai 0.348 menunjukkan tanda rendah (low correlation)
artinya, terdapat hubungan yang rendah antara penggunaan NSAID dengan
kejadian nyeri epigastrium.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat penggunaan NSAID
dengan keluhan mual muntah yang ditunjukkan dengan nilai yaitu p=0.274 > α
(0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap H1.
4. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada riwayat durasi penggunaan
NSAID dengan kejadian tukak peptik yang ditunjukkan dengan nilai yaitu
p=0.453 > α (0.05), artinya penerimaan terhadap H0 dan penolakan terhadap
H1.
5.2. Saran
77
1. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi salah satu dasar dalam
memberikan edukasi dan informasi ilmiah tentang Bahaya efek samping
NSAID yang menyebabkan keluhan seperti nyeri epigastrium, mual muntah
hingga bisa sampai ke komplikasi yang lebih serius yaitu penyakit tukak
peptik kepada masyarakat, sehingga perlahan-lahan hal tersebut akan dapat
mengurangi angka kejadian dari efek samping yang disebabkan penggunaan
NSAID.
2. Diharapkan adanya penelitian lanjutan yang melibatkan sampel penelitian
yang lebih banyak dan waktu lebih lama serta pertanyaan kuesioner yang
lebih terperinci dalam menilai jenis NSAID yang digunakan, frekuensi dan
durasi penggunaan NSAID serta penggunaan obat-obatan lain bersamaan
pengambilan NSAID.
3. Pencatatan atau penulisan data rekam medis pasien dirumah sakit sebaiknya
lebih tercatat dengan lengkap dan jelas, agar memudahkan peneliti lanjutan
untuk menggunakan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
78
1. Tamsuri, A. (2007). Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta : EGC. Hlm 1-63
2. Scott D.L.,2002, Rheumatoid arthritis in The Lancet, Available from:
http://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(10)60826-4/fulltext
[Accesed 05 Februari 2013]
3. Valle J.D., 2005, Harrison Principle of Internal Medicine 16th Ed. [e-book], USA:
McGraw Hill (1746-1756)
4. Ramakrishnan K., Salinas R.C. 2007, Peptic Ulcer Disease . Available from:
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/nsaids/NSAIDS_PepticUlcers.pdf page
2 [Accesed 07 Februari 2013]
5. Suyono.S., 2011, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed III, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
6. Nam DH, Park SY, Park JM, Kim SC., 2011, Therapeutic and cost effectiveness of
proton pump inhibitor regimens for idiopathic or drug-induced peptic ulcer
complication. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed?term=peptic
%20ulcer [ Accesed 24 Maret 2013]
7. Peura D. A., Czinn S. J., 2004, What I Need To Know About Peptic Ulcers,
Available from: http://www.digestive.niddk.nih.gov. [Accesed 24 Maret 2013]
79
8. Silbernagl S., Lang F., 2000, Color atlas of Pathophysiology [e-book], Germany:
Thieme (152-155)
9. McPhee S.J., Lingappa V.R., Ganong W.F., Lange J.D., 1995, Pathophysiology of
Disease, An Introduction to Clinical Medicine 2nd Ed, USA: Appleton & Lange
(302-303)
10. Silbernagl, S., Lang, F., 2000, Color Atlas of Pathophysiology, New York : Thieme
Stuttgart (144-147)
11. Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009, Lippincott’s
Illustrated Review Pharmacology 4th Ed, Pliladelphia: Williams & Wilkins (329-
335, 502-509)
12. Kumar V., Abbas A. K., Fausto N., 2005, Robbins and Cotran Pathologic Basic of
Disease 7th Ed [e-book], Philadelphia: Saunders Elsevier (874-875)
13. Katzung,B.G.1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, ed IV.Jakarta :Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
14. Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Penerbit : Erlangga . Jakarta.
80
15. Journal of physiology and pharmacology 2006, 57, supp 5, 113.124. Inhibitors Of
Cyclooxygenase: Mechanisms, Selectivity and Uses.
16. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2008.
17. Sugiyono. 2007. “Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D”. Bandung:
Alfabeta.
18. Sastroasmoro, sudigdo. 1995. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:
Binarupa Aksara.
19. Peura D. A., Czinn S. J., 2004, What I Need To Know About Peptic Ulcers,
Available from: http://www.digestive.niddk.nih.gov. [Accesed 20 Mei 2013].
81