bab 1 dan bab 2 piriaisis versikolor

12
BAB I PENDAHULUAN Penyakit panu merupakan "penyakit rakyat" yang dapat menyerang semua orang pada semua golongan umur. Penyakit panu yang dalam bahasa kedokteran disebut pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yang disebabkan oleh jamur dalam genus malassezia dan sebagai spesies tunggal disebut sebagai Malassezia furfur. Spesies ini merupakan flora normal pada kulit. Penyakit ini lebih prevalen di daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab. Laporan dari berbagai rumah sakit bagian kulit di Indonesia menunjukkan kasus panu ini masih cukup prevalen. Faktor lingkungan yaitu faktor kelembaban kulit, sedangkan faktor individual yaitu penyakit yang mempengaruhi imunitas, malnutrisi, penggunaan obat-obatan yang menurunkan imunitas dan adanya kecenderungan genetik (keturunan). Akibat kondisi tersebut, malassezia furfur akan berkembang menjadi bentuk miselial yang bersifat patogenik yang terlihat secara klinis sebagai penyakit panu. Penyakit ini paling banyak dijumpai pada usia belasan, walaupun pernah dilaporkan pada usia yang lebih muda dan tua. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang menghasilkan banyak keringat, karena jamur ini hidup dan berkembang biak dari hasil metabolisme sebum. Biasanya terdapat pada bagian atas dada dan meluas ke lengan, leher, perut, kaki, ketiak, pelipatan paha, muka, dan kepala. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang tertutup 1

Upload: may-maghdalena

Post on 26-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

versikoloooooor

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit panu merupakan "penyakit rakyat" yang dapat menyerang semua orang

pada semua golongan umur. Penyakit panu yang dalam bahasa kedokteran disebut

pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yang disebabkan oleh jamur dalam genus

malassezia dan sebagai spesies tunggal disebut sebagai Malassezia furfur. Spesies ini

merupakan flora normal pada kulit. Penyakit ini lebih prevalen di daerah tropis yang

bersuhu hangat dan lembab. Laporan dari berbagai rumah sakit bagian kulit di Indonesia

menunjukkan kasus panu ini masih cukup prevalen.

Faktor lingkungan yaitu faktor kelembaban kulit, sedangkan faktor individual

yaitu penyakit yang mempengaruhi imunitas, malnutrisi, penggunaan obat-obatan yang

menurunkan imunitas dan adanya kecenderungan genetik (keturunan). Akibat kondisi

tersebut, malassezia furfur akan berkembang menjadi bentuk miselial yang bersifat

patogenik yang terlihat secara klinis sebagai penyakit panu. Penyakit ini paling banyak

dijumpai pada usia belasan, walaupun pernah dilaporkan pada usia yang lebih muda dan

tua. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang menghasilkan banyak keringat,

karena jamur ini hidup dan berkembang biak dari hasil metabolisme sebum. Biasanya

terdapat pada bagian atas dada dan meluas ke lengan, leher, perut, kaki, ketiak,

pelipatan paha, muka, dan kepala. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang

tertutup pakaian yang bersifat lembab. Keluhan ini pada awalnya timbul bercak yang

berwarna coklat, bercak putih yang disertai dengan rasa gatal terutama pada waktu

berkeringat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

1

Page 2: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

Pitiriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh

Malasezia furfur. Penyakit jamur kulit ini adalah penyakit koronis yang ditandai oleh

bercak putih sampai coklat yang bersisik. Kelainan ini umumnya menyerang badan dan

kadang- kadang terlihat di ketiak, sela paha,tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.

Nama lainnya adalah tinea versikolor atau panu.

Pitiriasis versikolor adalah infeksi ringan yang sering terjadi disebabkan oleh

Malasezia furfur dan pityrosporum orbiculare. Infeksi ini bersifat menahun, ringan, dan

biasanya tanpa peradangan. Pitiriasis versikolor ini mengenai muka, leher, badan,

lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha.

2.2 Epidemiologi

Pitiriasis versikolor lebih sering terjadi di daerah tropis dan mempunyai

kelembaban tinggi. Walaupun kelainan kulit lebih terlihat pada orang berkulit gelap,

namun angka kejadian pitiriasis versikolor sama di semua ras. Beberapa penelitian

mengemukakan angka kejadian pada pria dan wanita dalam jumlah yang seimbang. Di

Amerika Serikat, penyakit ini banyak ditemukan pada usia 15-24 tahun, dimana kelenjar

sebasea (kelenjar minyak) lebih aktif bekerja. Angka kejadian sebelum pubertas atau

setelah usia 65 tahun jarang ditemukan. Di negara tropis, penyakit ini lebih sering

terjadi pada usia 10-19 tahun.

2.3 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh jamur Malasezia furfur. Malassezia furfur (dahulu

dikenal sebagai Pityrosporum orbiculare, Pityrosporum ovale) merupakan jamur

lipofilik yang normalnya hidup di keratin kulit dan folikel rambut manusia saat masa

pubertas dan di luar masa itu. Sebagai organisme yang lipofilik, Malassezia furfur

memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhan in vitro dan in vivo. Secara in vitro, asam

amino asparagin menstimulasi pertumbuhan organisme, sedangkan asam amino lainnya,

glisin, menginduksi (menyebabkan) pembentukan hifa. Pada dua riset yang terpisah,

tampak bahwa secara in vivo, kadar asam amino meningkat pada kulit pasien yang tidak

terkena panu. Jamur ini juga ditemukan di kulit yang sehat, namun baru akan

memberikan gejala bila tumbuh berlebihan. Beberapa faktor dapat meningkatkan angka

terjadinya pitiriasis versikolor, diantaranya adalah turunnya kekebalan tubuh, faktor

temperature, kelembaban udara, hormonal dan keringat.

2

Page 3: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

2.4. Patofisiologi

Panu disebabkan oleh organisme lipofilik dimorfik, Malassezia furfur, yang hanya

dapat dikultur pada media yang diperkaya dengan asam lemak berukuran C12- sampai

C14. Malassezia furfur atau yang juga dikenal dengan nama singkat M furfur,

merupakan salah satu anggota dari flora kulit manusia normal (normal human cutaneous

flora) dan ditemukan pada bayi (infant) sebesar 18% sedangkan pada orang dewasa

mencapai 90-100%.

Human peptide cathelicidin LL-37 berperan dalam pertahanan kulit melawan

Malassezia globosa. Meskipun merupakan bagian dari flora normal, M furfur dapat juga

menjadi patogen yang oportunistik. Keadaan ini tidak menular karena patogen jamur

kausatif (causative fungal pathogen) merupakan penghuni normal pada kulit. Kulit

penderita panu dapat mengalami hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Pada kasus

hipopigmentasi, inhibitor tyrosinase (hasil dari aksi/kerja inhibitor tyrosinase dari asam

dicarboxylic yang terbentuk melalui oksidasi beberapa asam lemak tak jenuh

(unsaturated fatty acids) pada lemak di permukaan kulit) secara kompetitif menghambat

enzim yang diperlukan dari pembentukan pigmen melanocyte. Pada kasus panu dengan

makula hiperpigmentasi, organisme memicu pembesaran melanosom yang dibuat oleh

melanosit di lapisan basal epidermis.

Perubahan bentuk Malassezia dari blastospora menjadi miselium dipengaruhi oleh

berbagai faktor predisposisi. Faktor endogen dapat disebabkan diantaranya oleh

defisiensi imun, malnutrisi, dermatitis seboroik, sindrom cushing, terapi imunosupresan,

hiperhidrosis, dan riwayat keluarga yang positif. Faktor eksogen dapat karena faktor

suhu, kelembaban udara, dan keringat. Hal ini merupakan penyebab sehingga pitiriasis

versikolor banyak dijumpai di daerah tropis dan pada musim panas di daerah subtropis.

Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaian atau kosmetik dimana

mengakibatkan peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora dan pH. Asam dikarboksilat,

yang dibentuk oleh oksidasi enzimatis asam lemak pada lemak di permukaan kulit,

menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis dan dengan demikian memicu

hipomelanosis. Enzim ini terdapat pada organisme (Malassezia).

2.5 Gejala klinis

3

Page 4: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

Kelainan kulit pitiriasis versikolor ditemukan terutama di punggung, dada, leher

dan lengan walaupun dapat terjadi di bagian tubuh lain. Pada anak-anak, terkadang

dapat timbul di daerah wajah. Timbul bercak putih atau kecoklatan yang kadang-kadang

gatal bila berkeringat. Bisa pula tanpa keluhan gatal sama sekali, tetapi penderita

mengeluh karena malu oleh adanya bercak tersebut. Pada orang kulit berwarna, kelainan

yang terjadi tampak sebagai bercak hipopigmentasi (warna kulit lebih terang dibanding

kulit sekitarnya), tetapi pada orang yang berkulit pucat maka kelainan bisa berwarna

kecoklatan ataupun kemerahan. Di atas kelainan kulit tersebut terdapat skuama (sisik

halus).

A B

Gambar: a (pada orang kulit berwarana) dan b (pada orang berkulit pucat)

2.6 Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Penderita biasanya mengeluhkan gatal ringan, yang merupakan alasan

berobat. Penderita pada umumnya hanya mengeluhkan adanya bercak/macula

berwarna putih (hipopigmentasi) atau kecoklatan (hiperpigmentasi) dengan

rasa gatal yang akan muncul saat berkeringat.

2. Pemeriksaan fisik

Kelainan kulit di temukan di badan terlihat sebagai bercak-bercak

berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus.

Sering didapatkan lesi bentuk folikular atau lebih besar, atau bentuk nummular

yang meluas membentuk plakat. Kadang-kadang dijumpai bentuk campuran,

4

Page 5: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

yaitu folikular dengan nummular, folikular dengan plakat ataupun folikular

atau nummular dengan plakat.

3. Pemeriksaan penunjang

Presentasi klinis panu jelas, khas (distinctive), dan diagnosis seringkali

dibuat tanpa pemeriksaan laboratorium. Sinar ultraviolet hitam (Wood) dapat

digunakan untuk menunjukkan pendar (fluorescence) warna kuning keemasan

sampai orange (coppery-orange) dari panu. Bagaimanapun juga, pada beberapa

kasus, lesi panu terlihat lebih gelap daripada kulit yang tidak terkena panu di

bawah sinar Wood, hanya saja tidak berpendar.

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan potassium hydroxide

(KOH), yang menunjukkan gambaran hifa dengan cigar-butt yang pendek.

Penemuan KOH tentang spora dengan miselium pendek telah dianggap serupa

dengan gambaran spaghetti and meatballs atau bacon and eggs sebagai tanda

khas pitiriasis versikolor. Jadi, ciri khas panu yang ditemukan pada

pemeriksaan KOH adalah gambaran hifa filamentosa dan bentuk globose yeast,

yang sering disebut: spaghetti dan meat balls, yaitu kelompok hifa pendek yang

tebalnya 3-8 mikron, dikelilingi spora berkelompok yang berukuran 1-2

mikron. Sedangkan pada pemeriksaan dengan lampu Wood, tampak fluoresensi

kuning keemasan atau blue-green fluorescence of scales.

2.7 Diagnosis banding

Penyakit-penyakit kulit yang bisa menyerupai tinea versikolor adalah seperti

vitiligo dan pitiriasis alba. Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan

adanya makula putih yang dapat meluas. Makula bisa berwarna putih dengan diameter

beberapa millimeter sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas

dan kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula apigmentasi. Vitiligo

umumnya mengenai kulit di sekitar mata atau persendian. Untuk menegakkan vitiligo

dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematosiklin eosin di mana

pada pemeriksaan tidak ditemukan melanosit

Pitiriasis alba merupakan bentuk dermatitis yang tidak spesifik yang ditandai

dengan adanya bercak kemerahan dan skuama halus yang akan menghilang serta

meninggalkan area yang depigmentasi. Dibedakan dengan vitiligo dan tinea versikolor

dengan menggunakan pemeriksaan mikroskop electron di mana akan terlihat penurunan

jumlah dan berkurangnya ukuran melanosom.

5

Page 6: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

Morbus Hansen mempunyai ciri-ciri makula hipopigmentasi yang khas yaitu

makula anestesi, alopesia, anhidrosis dan atrofi. Lesi dapat satu atau lebih banyak,

berbatas tegas dengan ukuran yang bervariasi. Kelainan ini terjadi karena menurunnya

kativitas melanosit.

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Bila lesinya

minimal atau terbatas, dapat diberikan secara topikal dengan golongan imidazol,

misalnya ketoconazole dalam bentuk krim. Pengobatan harus dilakukan menyeluruh,

tekun, dan konsisten, karena penyakit panu sering kambuh dan untuk mencegah

serangan ulang.

Mekanisme kerja dari ketoconazole yaitu dengan menghambat biosintesis

ergosterol atau sterollain, yang merusak membran dinding sel jamur dan merubah

permeabilitas sehingga menghambat pertumbuhan jamur. Secara klinik ketoconazole

aktif terhadap dermatofit jenis Epidermophyton floccosum, Malassezia furfur dan

candida spp.  Aturan pakainya: oleskan 1-2 kali sehari pada daerah lesi dan dibiarkan

selama 10-15 menit, tergantung pada beratnya infeksi. Pengobatan harus diteruskan

sampai beberapa hari sesudah semua gejala hilang.

Lama pengobatan biasanya 3-4 minggu. Salep harus dioleskan pada kulit yang

telah bersih, setelah mandi atau sebelum tidur, meskipun lesinya telah hilang.

Menghentikan pengobatan dengan salep dapat menimbulkan kekambuhan. Pasalnya

jamur belum terbasmi dengan tuntas. Pengobatan secara sistemik dilakukan bila lesinya

luas. Obat golongan ketoconazole dapat diberikan secara oral selama 7-10 hari. Jangan

lupa, Anda harus berkonsultasi dengan dokter sebelum mengkonsumsi obat-obat

tersebut. Sebab obat-obat itu, tidak untuk semua orang. Mereka yang menderita payah

liver tidak dapat menelan jenis obat-obatan itu. Untuk pencegahan, dapat dilakukan

dengan selalu menjaga higienitas perseorangan, hindari kelembaban kulit dan

menghindari kontak langsung dengan penderita.

2.9 Prognosis

Prognosisnya baik dalam hal kesembuhan bila pengobatan dilakukan

menyeluruh, tekun dan konsisten. Pengobatan harus di teruskan 2 minggu

6

Page 7: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu wood dan sediaan

langsung negatif.

Daftar Pustaka

7

Page 8: Bab 1 Dan Bab 2 Piriaisis Versikolor

1. Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

keenam, cetakan pertama, Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010; 99 – 100.

2. Partogi, Dona. Pityriasis Versikolor dan Diagnosis Bandingnya. Departemen

Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, RSUP H.Adam Malik, Medan, 2008.

3. Siregar R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Edisi 2. Jakarta; EGC,

2005.

4. Kuswadji, Budimulya U, Sunoto, Tjokronegoro A. Mikosis Superfisial.

Avalaible at http://repository.usu.ac.id .

8