ayo boikot pemilu

51
“Ayo boikot Pemilu” 1 : Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat Khaerul Umam Noer (090710049M) Abstrak Golongan putih atau golput pada saat pemilihan umum dilaksanakan merupakan fenomena yang umum terjadi di masyarakat. Apakah itu pemilihan kepala daerah, legislatif, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI, golput merupakan non-partai yang memenangkan hampir semua pemilihan tersebut. Tingginya angka golput ditenggarai sebagai bentuk protes kolektif yang dilakukan oleh rakyat, hal ini tentu saja tidak lah mengherankan, terlebih jika mengingat bahwa pilihan untuk golput sepenuhnya merupakan pilihan setiap individu yang memiliki hak pilih. Golput dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk gerakan sosial politik rakyat, terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi pilihan untuk golput. Sebagai gerakan, golput mudah di mengerti dan dilaksanakan oleh semua kalangan tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Di satu sisi, golput tidak lah sama 1 Judul saya ambil dari sebuah email yang dikirim ke saya berupa ‘black email’ yang menyerukan setiap orang yang menerima email tersebut untuk golput dalam pemilu mendatang. Saya sangat berterimakasih atas email dari pengirim anonim tersebut. “Ayo Boikot Pemilu”: Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat 1

Upload: khaerul-umam-noer

Post on 08-Jun-2015

385 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

this paper explore about golput or golongan putih (people who reject to participate on parliament election) in Indonesia as social and political movement.

TRANSCRIPT

Page 1: Ayo Boikot Pemilu

“Ayo boikot Pemilu”1:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

Khaerul Umam Noer (090710049M)

Abstrak

Golongan putih atau golput pada saat pemilihan umum dilaksanakan merupakan fenomena yang umum terjadi di masyarakat. Apakah itu pemilihan kepala daerah, legislatif, bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI, golput merupakan non-partai yang memenangkan hampir semua pemilihan tersebut. Tingginya angka golput ditenggarai sebagai bentuk protes kolektif yang dilakukan oleh rakyat, hal ini tentu saja tidak lah mengherankan, terlebih jika mengingat bahwa pilihan untuk golput sepenuhnya merupakan pilihan setiap individu yang memiliki hak pilih. Golput dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk gerakan sosial politik rakyat, terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi pilihan untuk golput. Sebagai gerakan, golput mudah di mengerti dan dilaksanakan oleh semua kalangan tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Di satu sisi, golput tidak lah sama dengan gerakan sosial lain yang pernah ada, meskipun di sisi yang lain, golput sebagai gerakan sosial politik memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai sebuah gerakan sosial khas rakyat, golput, di sadari atau tidak selalu membayangi pemerintahan dengan wujud tak terlihat dari ketidakpercayaan rakyat. Dalam konteks ini lah golput harus dilihat, yakni sebagai gerakan rakyat untuk mengontrol eksekutif dan legislatif. Melalui mosi tidak percaya ini lah rakyat dapat menemukan momentumnya untuk menyampaikan kritik sekaligus menekan kontrol atas para elite politik dan pemerintah tanpa merasa takut dan khawatir dikatakan melakukan makar.

Kata kunci: golput, gerakan sosial politik, pemilihan umum

1 Judul saya ambil dari sebuah email yang dikirim ke saya berupa ‘black email’ yang menyerukan setiap orang yang menerima email tersebut untuk golput dalam pemilu mendatang. Saya sangat berterimakasih atas email dari pengirim anonim tersebut.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

1

Page 2: Ayo Boikot Pemilu

Sebuah cerita tentang Pemilu, pendahuluan

Seruan untuk tidak memilih dalam pemilihan umum (selanjutkan akan ditulis

dengan istilah pemilu), setidaknya sampai saat ini, masih terus gencar dilakukan.

Tidak kurang dari Abdurrahman Wahid, dalam banyak kesempatan, menyerukan

pada para pengikutnya untuk tidak menggunakan hak politik mereka dengan tidak

memilih atau bergabung dalam golongan putih (selanjutnya akan ditulis golput)

dalam pemilihan umum mendatang. Apa yang diserukan oleh Gus Dur, terlepas dari

motif di balik seruan tersebut, merupakan salah satu seruan yang cukup

mengundang kontroversi, meskipun kebenaran dan bukti ucapan (bahkan posisi Gus

Dur sendiri nantinya) tersebut masih harus menunggu waktu. Nampaknya dalam

beberapa waktu ke depan, perbincangan mengenai seruan untuk tidak memilih atau

golput dalam pemilihan umum, masih akan menarik perhatian orang. Sebenarnya,

apa yang di maksud dengan golongan putih atau golput? Benarkah golput

merupakan tindakan apolitik, atau justru golput sendiri merupakan pilihan politik?

Lalu mengapa setiap orang tiba-tiba berkepentingan untuk ambil suara dalam

persoalan golput? Siapa yang sebenarnya berkepentingan dalam persoalan golput?

Makalah ini akan membahas mengenai fenomena golongan putih dalam

pemilihan umum, di mana fenomena ini dilihat sebagai sebuah gerakan sosial politik

rakyat. Makalah ini akan dibagi dalam lima subtema, pertama akan membahas

mengenai makna definitif golput itu sendiri, kedua akan membahas peran golput

dalam pemilihan umum, ketiga akan membahas konsep gerakan sosial politik rakyat

dan contoh gerakan di Indonesia, keempat akan membahas golput sebagai gerakan

sosial politik, perbedaannya dengan gerakan sosial politik lain dan ciri-ciri khusus

yang dimiliki oleh golput itu sendiri, dan kelima penutup di mana penulis akan

memberikan sebuah catatan akhir atas persoalan golput bagi penulis.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

2

Page 3: Ayo Boikot Pemilu

Mempersoalkan definisi golput

Sebelum saya memaparkan mengenai definisi golput, ada baiknya saya

memaparkan terlebih dahulu mengenai definisi pemilu. Dalam UU Nomor 10 Tahun

2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pemilihan umum adalah

“sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”.

Lebih penting lagi, kedaulatan rakyat yang termanifestasi melalui pemilihan umum

dijadikan sebagai landasan dalam menimbang munculnya Undang-Undang ini,

sebagaimana yang tertera dalam ‘Menimbang’ poin (2), “bahwa pemilihan umum

secara langsung oleh rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang

demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia.”

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pemilihan Umum, maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, menempatkan pemilihan umum

sebagai pondasi dasar pelaksanaan kedaulatan rakyat yang bertujuan untuk

membentuk pemerintahan yang demokratis. konsekuensi logis dari hal ini jelas:

kedaulatan rakyat dengan demikian menjadi fokus utama sekaligus asas dalam

membentuk pemerintahan yang demokratis. Lalu pertanyaannya: bagaimana dengan

pilihan rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum, tidak kah itu

‘menghalangi’ terbentuknya sebuah pemerintahan yang demokratis? atau malah

sebaliknya, golput justru mendorong terbentuknya pemerintahan yang demokratis?

Golongan putih atau golput, seandainya merupakan sebuah partai politik, boleh jadi

dengan telak akan memenangkan setiap pemilihan umum, baik itu pemilihan Kepala

Daerah, legislatif, bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Cerita

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

3

Page 4: Ayo Boikot Pemilu

mengenai golput pun seakan tak pernah habis, lalu sebenarnya makhluk seperti apa

golput ini?

Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2008 tidak terdapat satu pasal pun yang menjelaskan mengenai golput.

Pasal yang terkait dengan hak pilih hanya lah Pasal 87 yang mengatur larangan

kampanye pemilu untuk memberikan uang atau imbalan untuk tidak melaksanakan

hak pilih, Pasal 244 tentang partisipasi masyarakat, dan Pasal 286 yang mengatur

sanksi yang diberikan pada orang yang memberikan imbalan agar orang tidak

menggunakan hak pilihnya. UU Nomor 10 Tahun 2008 (Pasal 19 dan Pasal 20) dan

juga UU Nomor 42 Tahun 2008 (Pasal 27 dan Pasal 28) hanya mengatur hak

memilih hanya sebatas orang yang berhak memilih yakni mereka yang sudah berusia

17 tahun atau sudah/pernah kawin, dan orang yang memiliki hak pilih yakni setiap

orang yang memiliki hak untuk memilih dan terdaftar sebagai pemilih. Sebagai

landasan utama pemilihan, UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 42 Tahun

2008 sama sekali tidak menyinggung mengenai orang yang tidak menggunakan hak

pilih mereka atau golput. Oleh karena itu, untuk mendefinisikan golput, saya akan

beralih ke Kamus Besar Bahasa Indonesia yang, untungnya, memiliki entri tentang

golput.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, golongan diterjemahkan sebagai

“puak; tumpukan; kelompok (orang)”, sedangkan istilah golput atau ‘golongan

putih’ sendiri diterjemahkan sebagai “warga negara yang menolak memberikan

suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes” atau “golongan muslim” (lihat

KBBI, 2005: 368). Dalam pengertian yang diberikan dalam KBBI, sebagai kamus

yang dianggap representatif dalam bahasa Indonesia, setidaknya terdapat empat

masalah utama jika melihat makna definitif golput. Pertama, golput sebagai lawan

dari ‘golongan merah’ yang didefinisikan sebagai ‘golongan komunis’ atau

‘golongan nasrani’ (hlm. 368). Kedua, makna definitif golput mengindikasikan para

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

4

Page 5: Ayo Boikot Pemilu

pemilih sebagai warga negara yang terdaftar dan memiliki hak pilih. Ketiga, makna

definitif tersebut menjadikan golongan putih sebagai sebuah pilihan politik yang

terlihat dari kata ‘menolak’. Keempat, golput dilihat sebagai wujud ketidakpuasan

yang diartikulasikan sebagai bentuk protes.

Pada persoalan pertama, nampaknya tidak terlalu banyak persoalan,

mengingat istilah golput sendiri pada dasarnya merujuk pada semua warga negara

yang memiliki hak pilih tanpa memandang latar belakang agama maupun

kepercayaan. Mengenai makna definitif ‘golongan Islam’ nampaknya tidak lah

relevan dengan pembahasan ini, di samping fakta bahwa istilah ‘golongan merah’

merujuk pada ‘golongan komunis’ dan ‘golongan nasrani’. Barangkali yang menjadi

masalah adalah makna definitif golongan merah itu sendiri yang secara ambigu

didefinisikan sebagai ‘golongan komunis’ dan ‘golongan nasrani’.

Pada persoalan kedua, agaknya lebih rumit. Pada dasarnya, KBBI

mendefiniskan secara ideal, di mana setiap warga negara Indonesia yang telah cukup

umur, setidaknya secara undang-undang, terdaftar sebagai pemilih. Dalam konteks

realitas, hal ini tidak lah tercapai sepenuhnya. Masih banyak persoalan yang belum

tuntas mengenai warga negara yang terdaftar dan memiliki hak pilih. Para mantan

anggota Gerwani misalnya, banyak di antara mereka tidak memiliki hak pilih (lihat

Susanti 2007, Wieringa 1998). Dalam konteks yang lebih luas, daftar pemilih tetap,

yang merupakan dokumen resmi Komisi Pemilihan Umum untuk menetapkan

jumlah pemilih dalam pemilihan umum mendatang, pun masih menjadi persoalan

yang tak kunjung usai.

Pada persoalan ketiga, nampak bahwa menjadi golput pada dasarnya

dilandasi oleh sebuah pilihan yang, boleh jadi, sangat politis sekaligus sangat

rasional (bagi orang memilih untuk golput). Menurut saya, penggunaan kata

‘menolak’ merupakan pilihan kata yang menarik. Kata ini menegasikan sebuah

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

5

Page 6: Ayo Boikot Pemilu

rasionalitas pilihan yang dimiliki oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih

untuk terlibat dalam pemilihan umum dengan menggunakan hak pilih mereka, atau

mereka menolak untuk ikut serta dengan ‘bergabung’ dengan golongan putih. Tentu

saja hal ini membawa konsekuensi logis: pilihan untuk golput pada dasarnya

dilandasi oleh tujuan, motif dan kepentingan setiap individu, sehingga memiliki hak

pilih tidak selalu akan berlanjut pada penggunaan hak tersebut. Jika penggunaan hak

pilih merupakan kebebasan setiap individu, maka golput pada dasarnya adalah

pilihan yang diambil oleh seorang warga negara terkait dengan hak yang

dimilikinya. Tentu saja hal ini adalah mutlak pilihan setiap warga negara, jadi

rasanya anjuran untuk golput atau tidak golput tidak lah relevan, mengingat anjuran

tersebut hanya berlaku sebatas ajakan di mana keputusan akhirnya ada di tangan

setiap individu atau warga negara yang memiliki hak pilih.

Pada persoalan keempat, persoalan yang paling krusial, di mana golput

dilihat sebagai wujud protes yang dimiliki oleh warga negara. Dalam konteks ini,

golput merupakan perwujudan dari gerakan sosial politik, yang boleh jadi bersifat

kolektif, yang dilakukan oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih dengan

berbagai motif yang melandasi pilihan untuk golput itu sendiri. Meskipun KBBI

secara khusus menyebutnya ‘sebagai tanda protes’, namun pilihan untuk golput

tidak lah selalu bermotif protes. Sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput

merupakan pilihan protes yang paling mudah dilakukan, ketimbang berdemontrasi

dan mendengarkan orasi yang seringkali membosankan, memilih untuk golput

seringkali sangat menyenangkan, yang perlu dilakukan hanya lah diam di rumah

atau keluar rumah dan berpura-pura lupa bahwa saat itu sedang ada pemilu. Pilihan

untuk menjadi golput pun seringkali lebih mudah dipahami ketimbang

mendengarkan berbagai orasi yang dilontarkan sebagai wujud protes, sehingga

pilihan untuk golput lebih mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

6

Page 7: Ayo Boikot Pemilu

Dalam konteks pemilihan umum, golput tidak hanya sulit untuk

didefinisikan, namun juga sulit ditentukan tindakan apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai golput. Rasanya tidak berlebihan jika beranggapan bahwa

mereka yang golput adalah mereka yang tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara

(TPS) untuk menolak memberikan hak pilihnya, namun juga mereka yang datang ke

TPS tanpa melakukan pemilihan, barangkali juga mereka yang datang ke TPS dan

menggunakan hak pilih mereka namun dengan sengaja memilih untuk menjadikan

suara menjadi tidak sah. Namun hal ini pun bukan lah tanpa persoalan. Bagaimana

harus menyikapi, atau mengkategorikan mereka yang datang ke TPS dan

menggunakan hak pilih mereka hanya saja suara yang mereka berikan, secara

sengaja, tidak sah? Sebagaian orang beranggapan bahwa mereka yang golput adalah

mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih atau terdaftar sebagai pemilih tapi tidak

mendapatkan undangan untuk memilih, namun rasanya kedua alasan ini tidak dapat

dikategorikan sebagai golput mengingat posisi mereka sebagai golput adalah

kesalahan KPU bukan merupakan pilihan pribadi. Berbagai kemungkinan yang

muncul mengenai siapa yang dikatakan golput menjadi lebih sulit lagi karena

batasan golput itu sendiri tidak jelas, atau bahkan tidak ada sama sekali.

Golput dan implikasinya

Berbicara mengenai golput, terlebih jika dikaitkan dengan seruan untuk

memboikot pemilu, saya teringat pada tokoh Minke, dalam novel tetralogi Pulau

Buru tulisan Pramoedya Ananta Toer, yang menyerukan untuk memboikot

pemerintah Belanda yang ketika itu berkuasa. Minke secara tegas menyerukan untuk

mendidik rakyat melalui organisasi dan mendidik pemerintah melalui pergerakan

dan perlawanan. Nampaknya apa yang disampaikan oleh Pram, melalui tokoh

Minke, masih relevan hingga saat ini.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

7

Page 8: Ayo Boikot Pemilu

Golput sebagai sebuah fenomena yang umum terjadi di negara manapun,

hanya Indonesia yang menyebutnya dengan istilah ini, merupakan sebuah bentuk

tindakan politik yang diambil oleh setiap individu yang memiliki hak pilih dan

terdaftar sebagai pemilih. Tindakan ini adalah sebuah tindakan individual, yang

secara umum dapat dilihat sebagai sebuah tindakan kolektif. Sebagai sebuah

tindakan politik, keputusan untuk tidak memilih atau golput tentu saja memiliki

berbagai latar belakang, apakah itu karena kekecewaan terhadap kinerja eksekutif

dan legislatif, ketidakpercayaan atas kedua lembaga tersebut dengan semakin

banyaknya sorotan atas perilaku orang-orang yang terlibat di dalamnya, maupun

tidak adanya tokoh yang dianggap cocok dan pantas untuk duduk di kursi legislatif,

tentu saja berdasarkan kriteria yang sifatnya sangat personal, maupun karena

kejenuhan orang terhadap pemilihan umum yang terus dilaksanakan sepanjang

tahun, belulm lagi pemberitaan mengenai konflik yang muncul atas ketidakpuasan

terhadap hasil pemilihan umum.

Pada umumnya, terutama para elite politik, selalu melihat golput sebagai

wujud pilihan politik yang ‘negatif, ‘tidak benar’, bahkan ‘menyesatkan’.

Persoalannya tentu saja tidak lah semudah yang dipikirkan oleh banyak orang.

Golput hanya dilihat dari sisi negatif, yakni sebagai bentuk tindakan yang dilakukan

oleh warga negara yang ‘tidak peduli pada hak politik’ mereka sebagaimana

disangka oleh para elite politik. Golput selalu dilihat sebagai tindakan warga negara

yang ‘tidak sadar hukum’, tindakan yang diambil oleh warga negara yang ‘tidak

peduli terhadap masa depan bangsa’, maupun tindakan yang diambil oleh warga

negara yang ‘tidak berpendidikan’.

Bagi saya, golput tentu saja memiliki sisi positif, setidaknya terdapat dua sisi

positif golput. Pertama, golput menyebabkan hilangnya klaim dukungan mayoritas

rakyat oleh para kepala daerah maupun partai politik mengenai kemenangan mereka,

di mana para kepala daerah maupun partai politik seringkali mengklaim diri mereka

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

8

Page 9: Ayo Boikot Pemilu

didukung oleh mayoritas rakyat. Klaim ini tentu saja tidak benar, apalagi jika

melihat tingginya angka golput. Bagaimana mungkin sebuah partai politik atau

pemenang pilkada mengklaim diri mereka didukung oleh mayoritas rakyat jika

angka golput mencapai 40%? Hal ini tentu saja menggelikan, sebuah klaim kosong

tanpa melihat realitas di lapangan.

Kedua, golput merupakan, mengutip Adam Smith, ‘invisible hand’, sebuah

kekuatan kontrol tak terlihat yang mengontrol setiap pemenang pilkada maupun

partai politik di bawah bayang-bayang ketidakpercayaan masyarakat. Karena golput

menghilangkan klaim dukungan mayoritas, maka golput berfungsi sebagai

mekanisme kontrol yang barangkali menakutkan bagi pemenang pilkada dan partai

politik. Jika golput berwujud sebagai sebuah partai politik, dapat dipastikan partai

ini lah yang memenangkan setiap pemilihan dengan telak, hanya saja golput bukan

lah partai politik namun memiliki kekuatan untuk menutup mulut partai politik

maupun pemenang pilkada, bahwa kemenangan mereka harus berhadapan dengan

kekuatan golput yang merupakan oposisi yang tak terlihat.

Golput, setidaknya menurut saya, dapat dipersamakan dengan mimpi buruk

setiap pemenang pilkada maupun partai politik, mengingat golput adalah kekuatan

besar yang tertidur. Dalam setiap pemilihan kepala daerah angka golput cenderung

tinggi, terutama jika dibandingkan dengan perolehan suara pemenang pemilu.

Bayangkan jika setiap orang yang tidak menggunakan hak pilih mereka menuntut

pada setiap pemenang pemilihan kepala daerah untuk mundur, hal ini tentu saja akan

sangat mengkhawatirkan, terlebih jumlah golput, umumnya, lebih tinggi ketimbang

jumlah yang mendukung calon tersebut. Sebagai sebuah mekanisme kontrol

tersembunyi, yang diwujudkan dalam bentuk bayang-bayang kekhawatiran

‘tindakan makar’, keputusan rakyat untuk menjadi golput akan menjadi ketakutan

tersendiri bagi elite politik. Ketakutan ini lah yang nampaknya membuat para elite

politik, terutama partai politik, cenderung untuk menolak golput dan menyerukan

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

9

Page 10: Ayo Boikot Pemilu

agar setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih

untuk mempergunakan hak pilih mereka.

Adalah Ketua MPR yang secara tegas meminta masyarakat untuk tidak

golput sekaligus meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa larangan atau bahkan

haram bagi masyarakat untuk golput. Meskipun MUI secara tegas menolak karena

hal ini bukan lah termasuk dalam persoalan agama, namun seruan ini rupanya

ditanggapi cukup beragam. Beberapa ulama NU di Jawa Timur misalnya mengambil

konsensus mengenai keharaman golput, yang secara langsung ditolak oleh Gus Dur

sebagai “kelompok kiai kampung” yang “tidak memiliki pengikut”. Hasyim Muzadi

pun angkat bicara mengenai persoalan hukum golput yang ia kaitkan dengan ‘nasbul

imamah’ atau penegakkan kepemimpinan, hal ini berkaitan dengan pertemuan alim

ulama di Nusa Tenggara Barat pada tahun 1997 yang mengeluarkan resolusi

mengenai pentingnya keberadaan seorang pemimpin bagi ummat.2

Meskipun ditanggapi beragam, fenomena golput boleh jadi merupakan

fenomena yang paling mendapat perhatian ketika berbicara mengenai dinamika

politik di Indonesia. Keinginan untuk mengeluarkan sebuah produk hukum yang

jelas yang mengatur tentang golput, di satu sisi, tidak lah memperjelas pokok

persoalan golput itu sendiri; sedangkan di sisi yang lain, hal tersebut dapat dikatakan

bias dan cenderung untuk mendukung kelompok atau agama tertentu. Sebagai

sebuah fenomena, golput memang dapat dilihat dalam berbagai segi, termasuk

sebagai fenomena gerakan sosial politik rakyat.

2 Wawancara dengan Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam acara Genta Demokrasi di Metro TV pada 26 Desember 2008.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

10

Page 11: Ayo Boikot Pemilu

Gerakan sosial politik, definisi dan contoh kasus di Indonesia

Meskipun gerakan sosial politik acapkali dikaitkan dalam bentuk tindakan

kolektif yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat, namun tujuan dari tindakan

kolektif tersebut tidak lah selalu sama. Lalu apa yang sebenarnya dimaksud dengan

gerakan sosial politik? Mengapa gerakan tersebut muncul? Dan dalam bentuk

seperti apa gerakan sosial politik disalurkan?

Pada dasarnya, gerakan sosial politik adalah satu prinsip dasar dalam dunia

sosial, di mana masyarakat secara kolektif menyuarakan keluhan dan hak-hak

mereka, termasuk kesejahteraan, dengan mengambil bentuk aksi kolektif, seperti

aksi turun ke jalan, yang menggambarkan keluhan mereka mengenai kondisi mereka

maupun harapan agar suatu hal dilakukan untuk mereka (lihat Snow, Soule dan

Kriesi, 2004:3). Dalam konteks yang lebih luas, gerakan sosial politik adalah sebuah

gerakan, yang seringkali berwujud kolektif, yang dilaksanakan oleh individu atau

kelompok bertujuan untuk menyuarakan kritik dan keluhan mereka dan/atau

bertujuan untuk menentang kekuasaan dominan (lihat Koopmans 2004).

Gerakan sosial politik seringkali berwujud sebagai tindakan protes atas

keadaan yang dirasakan tidak adil, di mana hal ini ditandai dengan meningkatnya

tensi kemarahan dan konflik yang ada di masyarakat, yang dilakukan oleh orang-

orang yang berkuasa terhadap mereka yang berada di bawah struktur kekuasaan

(lihat Williams 2004). Dalam konteks ini, apa yang disampaikan oleh Sartono

Kartodirdjo (1984a) mengenai radikalisme memiliki kesamaan dalam beberapa hal.

Bagi Sartono, radikalisme yang memiliki makna dengan gerakan sosial adalah aksi

untuk menolak secara menyeluruh segala tertib sosial yang berlaku, di mana hal ini

ditandai dengan kejengkelan moral yang terus meningkat terhadap golongan yang

memiliki hak-hak istimewa dan berkuasa.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

11

Page 12: Ayo Boikot Pemilu

Gerakan sosial politik merupakan sebuah gerakan yang sering diasosiasikan

dengan mode aksi kolektif yang melibatkan tipe relasi, yang secara sosial,

mengandung, atau setidaknya cenderung, konflik (Renon, 2008:783). Dalam

konteks yang berbeda, gerakan sosial politik dapat pula dilihat sebagai bentuk aksi

yang relatif spontan yang mempergunakan model aksi politik kolektif yang

mengubah rutinitas sehari-hari dan menantang norma politik yang telah ada

(Eyerman, 2006:578). Gerakan sosial politik dengan demikian merupakan sebuah

aksi kolektif yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan tertentu dan didasarkan oleh

motif dan kepentingan tertentu, di mana motif, kepentingan, mekanisme, maupun

tujuan yang ingin dicapai tidak selalu sama dalam setiap masyarakat. Dalam banyak

kesempatan, gerakan sosial politik lebih merupakan aksi protes terhadap keadaan

yang tidak setara atau keadaan sosial yang tidak adil, di mana aksi protes tersebut,

seringkali pula bersifat spontan, merupakan gambaran keinginan untuk mengubah

keadaan sekaligus harapan di masa yang akan datang.

Gerakan sosial politik tentu saja memiliki berbagai dimensi, di mana gerakan

tersebut mengambil landasan pemikiran, apakah itu neo-Marxisme, interaksionisme,

fungsionalisme struktural, maupun gerakan sosial baru (Hoffman 2006, Staggenborg

2005). Teori Marx dapat dikatakan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam

studi gerakan sosial politik, di mana Marx melihat dalam masyarakat industri,

gerakan sosial dan, terutama, revolusi berasal dari kontradiksi struktural antara

kapital dan buruh. Konsekuensinya logis: setiap aktor yang terlibat dalam gerakan

sosial didefinisikan berdasarkan kontradiksi sistemik fundamental ini, yakni antara

kaum pemilik kapital dengan buruh atau antara borjuis dengan proletar (lihat

Bottomore 2008, Hoffman 2006). Berbeda dengan Marx yang melihat gerakan

sosial berlandaskan kontradiksi struktural, interaksionisme melihat gerakan sosial

muncul dari situasi yang tidak terstruktur. Berdasarkan asumsi bahwa setiap

individu dan kelompok orang bergerak dan bertindak berdasarkan pemahaman dan

ekspektasi bersama, gerakan sosial muncul dari situasi yang tak terstruktur. Kondisi

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

12

Page 13: Ayo Boikot Pemilu

ini adalah suatu kondisi yang terdapat sedikit sekali pedoman kultural bersama atau

pedoman tersebut ada namun sangat kacau sehingga harus disusun dan didefinisikan

kembali, dan dalam konteks itu lah gerakan sosial muncul (Renon, 2008:784),

dengan demikian, gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dari rekonstruksi situasi

sosial tersebut.

Kritik utama yang muncul atas pendekatan interaksionisme adalah bahwa

pendekatan ini gagal mengembangkan suatu pendekatan yang memadai dalam

melihat gerakan sosial. Hal ini memunculkan pendekatan lain, yakni struktural

fungsional, yang mencoba melihat gerakan sosial politik sebagai sebuah fenomena

(lihat Staggenborg 2005). Pendekatan ini memiliki tiga macam varian, yaitu:

Pertama, teori masyarakat massa yang melihat individu dalam masyarakat yang

secara bebas dan cenderung berpartisipasi dalam berbagai jenis kelompok sosial

baru, seperti gerakan sosial, di mana hal ini muncul akibat ketercerabutan dari akar

sosio-kultural akibat perubahan sosial yang relatif cepat tanpa mampu ‘dikejar’ oleh

individu tersebut. Adanya urbanisasi menyebabkan hilangnya ikatan tradisional atau

adanya isolasi yang menyebabkan isolasi dari relasi kelompok dan/atau kelompok

normatif. Kedua, teori tekanan struktural yang melihat gerakan sosial muncul

sebagai akibat dari terganggunya keseimbangan dari sistem sosial. Adanya

ketidakseimbangan dan keterputusan hubungan antara nilai-nilai yang dianut dengan

praktik aktual, tertutupnya fungsi institusional, maupun adanya gangguan dari

elemen disfungsional menyebabkan gangguan pada sistem sosial, merusak

keseimbangan dan memicu ketegangan struktural, dan pada gilirannya memicu

gerakan sosial. Ketiga, teori deprivasi relatif yang melihat tekanan bukan

diakibatkan oleh kerusakan struktur maupun keseimbangan, namun berasal dari

kondisi perasaan subjektif. Perasaan subjektif ini memandang kegagalan seseorang

untuk mencapai harapannya, di mana kebutuhan yang terpenuhi tidak sesuai dengan

apa yang diharapkan. Ketika realitas yang muncul secara faktual ternyata tidak

sesuai dengan apa yang diharapkan, maka pada kondisi itu lah seseorang mengalami

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

13

Page 14: Ayo Boikot Pemilu

deprivasi relatif di mana ketidakpuasan dan frustasi akan bermunculan, dan pada

gilirannya akan memicu suatu gerakan sosial (lihat Eyerman 2006, Koopmans 2004,

Renon 2008, dan Snow, Soule dan Kriesi 2004).

Dalam tiga dekade terakhir, muncul sebuah gagasan untuk menyebut

berbagai bentuk protes yang muncul pada era 1970-an sebagai gerakan sosial baru.

Gerakan sosial baru membentuk sebuah jaringan kontestasi melalui jalur politik

resmi. Gerakan sosial baru dilihat sebagai institusi masyarakat sipil yang dipolitisasi

karenanya dibutuhkan definisi ulang mengenai batas-batas politik institusional.

Makna penting gerakan sosial baru terletak pada kemampuan gerakan untuk

mendapatkan kesadaran baru akan kapasitasnya untuk memproduksi makna baru

dan bentuk kehidupan dan tindakan sosial yang baru (Renon, 2008:785). Gerakan

ini, misalnya, dapat dilihat pada gerakan hijau (green movement) yang berwujud

dalam gerakan lingkungan (lihat Maathai 2006, Peets dan Watts 1996, Wall 1999)

maupun gerakan anti-nuklir (Miller 2000).

Gerakan sosial politik di Indonesia, terutama di Jawa (lihat Kartodirdjo

1984b), banyak mengandung elemen keagamaan, seperti gerakan juru selamat

(messianisme), gerakan ratu adil (millenarisme), gerakan pribumi (nativisme),

gerakan kenabian (prophetisme), dan gerakan penghidupan kembali (revivalisme).

Dalam cakupan yang lebih luas, seluruh gerakan ini pada umumnya melibatkan

individu-individu yang berusaha memprotes keadaan di satu sisi, dan mengharapkan

kembali keadaan yang semula ada sekaligus mengharapkan datangnya penolong di

sisi yang lain.

Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo (1984a) mengenai gerakan

pemberontakan yang dilakukan oleh petani Banten pada tahun 1888 misalnya,

memiliki nuansa keagamaan yang kuat. Gerakan Ratu Adil misalnya, berbagi ciri-

ciri yang sama: watak pimpinan, pola ideologi dan sistem kepercayaan. Di samping

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

14

Page 15: Ayo Boikot Pemilu

itu, unsur pokok dari suatu gerakan keagamaan adalah adanya seorang pemimpin

yang sangat dipatuhi berupa pemimpin keagamaan yang “merupakan seorang

prophet (nabi), atau guru, atau dukun, atau tukang sihir, atau utusan Mesias”. Ciri

lainnya yang juga tidak dapat dipisahkan adalah harapan akan datangnya millemium

atau jaman keemasan sekaligus penolakan atas kondisi mereka sekarang yang

dianggap sebagai jaman kegelapan (Kartodirdjo, 1984b:13-14). Kartodirdjo (1984b)

memberikan gambaran yang menarik mengenai gerakan ratu adil, seperti peristiwa

Nyi Aciah di Sumedang (1870-1871), gerakan Kobra atau Jumadilkubra di daerah

Pekalongan dan Banyumas, Jawa Tengah (1871), maupun peristiwa Jasmani di

wilayah Kediri, Jawa Timur (1887).

Tentu saja tidak semua gerakan sosial yang berkembang berhubungan

dengan dimensi keagamaan yang dominan, meskipun beberapa gerakan modern pun

memiliki kaitan dengan agama. Gerakan para pebatik Lawean misalnya, yang

membentuk sebuah organisasi besar bernama Sarekat Dagang Islam, merupakan

contoh yang sangat representatif mengenai gerakan sosial modern (lihat Shiraishi

1997). Sebuah organisasi yang bermula dari para sekumpulan para pengusaha batik

yang bergabung dalam Rekso Roemekso dan bertujuan untuk saling bantu di antara

mereka sekaligus sebagai lawan dari Kong Sing, sebuah organisasi Tionghoa yang

dianggap melakukan tindakan “arogan” dan memonopoli bahan baku batik,

meskipun pada awalnya organisasi ini bertugas sebagai ‘penjaga keamanan’ batik

yang sedang dijemur agar tidak dicuri oleh para kecu. Organisasi ini kemudian

berubah, di bawah kepemimpinan Samanhoedi dan arahan Tirtoadhisoerjo, menjadi

Sarekat Dagang Islam, yang bernaung di bawah Sarekat Dagang Islam di Bogor.

Organisasi ini terus membesar di bawah pimpinan Tjokroaminoto, tidak hanya di

wilayah Surakarta (Mangkunegara), tapi juga merambah ke wilayah lain. Perubahan

besar pun terjadi, dengan perubahan nama menjadi Sarekat Islam, sebuah organisasi

massa yang luar biasa besar pada masanya, dan dari organisasi ini pula lah sebuah

organisasi lainnya lahir: Partai Komunis Indonesia.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

15

Page 16: Ayo Boikot Pemilu

Beberapa gerakan yang muncul dapat dikatakan memakan banyak korban

jiwa. Gerakan di tiga daerah misalnya, menggambarkan berbagai tindak kekerasan

dan pembunuhan terhadap para pangreh praja yang dianggap tidak setia dengan

revolusi karena tetap melayani pemerintah kolonial (lihat Lucas 1989). Ada pula

gerakan pembantaian yang dilakukan pada masa awal Orde Baru sebagai gerakan

penghapusan PKI dan antek-anteknya, sekaligus sebagai upaya mencegah terjadinya

kembali gerakan 30 September (lihat Roosa 2008). Gerakan lain yang juga patut

diperhatikan adalah gerakan mahasiswa ketika melakukan unjuk rasa pada tahun

1998 (lihat Boudreau 2002). Meskipun gerakan mahasiswa tersebut ‘agak unik’,

terutama dengan tidak adanya tokoh sentral gerakan dan tidak adanya organisasi

yang terstruktur dengan rapih.

Gerakan sosial pun tidak selalu dalam bentuk organisasi massa dengan

struktur organisasi yang jelas, namun dapat juga dalam bentuk yang paling

sederhana: sebuah perlawanan ‘khas Asia’. Dalam kajian Scott (2000), meskipun

mengambil lokasi penelitian di Malaysia namun rasanya dapat diaplikasikan di

Indonesia, melihat bahwa gerakan sosial yang terjadi di kalangan rakyat miskin

adalah usaha mereka untuk bertahan hidup. Sebuah “senjata orang yang lemah”,

berupa organisasi anonim, landasan hukum moral yang didasarkan pada prinsip tahu

sama tahu, maupun perlawanan kecil-kecilan seperti pencurian, mogok kerja, pura-

pura sakit, hingga menggunjing di belakang untuk menjatuhkan nama baik. Hal-hal

kecil ini lah yang merupakan senjata andalan yang dipergunakan oleh kaum lemah

yang selalu kalah dalam menentang perlakuan yang sewenang-wenang dari

kelompok ekonomi mapan dan politik yang kuat.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

16

Page 17: Ayo Boikot Pemilu

Golput sebagai gerakan sosial politik

Bagaimana golongan putih atau golput sebagai sebuah gerakan sosial politik?

Dalam wujud seperti apa golput bergerak dalam dimensi gerakan sosial politik?

Atau lebih penting lagi, mengapa golput menjadi sebuah gerakan sosial politik?

Sejauh ini saya telah menjelaskan mengenai makna definitif golput dan implikasi

definisi tersebut, juga imlplikasi golput secara politis, saya juga telah menjelaskan

mengenai gerakan sosial politik secara konseptual dan contohnya di Indonesia. Pada

poin ini, saya akan mencoba menjelaskan golput dalam pemilihan umum sebagai

sebuah gerakan sosial politik; namun sebelum saya menjelaskan golput sebagai

sebuah gerakan sosial politik rakyat, saya akan menjelaskan ciri-ciri golput sebagai

gerakan sosial politik.

Sebagai sebuah fenomena gerakan sosial politik, golput memiliki keunikan

tersendiri jika dibandingkan dengan gerakan sosial politik lainnya. Setidaknya

terdapat tujuh ciri utama yang membedakan golput sebagai sebuah fenomena

gerakan sosial politik dengan gerakan sosial politik lainnya yang ada, yaitu:

Pertama, sebagai sebuah fenomena gerakan sosial politik, golput tidak memiliki

struktur organisasi yang jelas dan terstruktur. Jika dibandingkan dengan gerakan

pedagang batik Lawean yang tergabung dalam SDI, yang kemudian berubah

menjadi SI, terdapat sebuah struktur yang jelas mengenai organisasi tersebut, hal ini

dapat dilihat dalam Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga dan

tercantum dalam Lembaran Negara (lihat Shiraishi 1997). Golput pada dasarnya

adalah sebuah politik individual, dengan demikian tidak lah diperlukan sebuah

organisasi yang secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi khusus bagi

golongan putih. Barangkali ada dua faktor kenapa organisasi semacam ini tidak

pernah terbentuk: (1) organisasi ini secara jelas dan tegas melanggar hukum

sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR,

DPD, dan DPRD yang melarang seseorang atau kelompok tertentu yang

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

17

Page 18: Ayo Boikot Pemilu

memberikan imbalan atau menjanjikan imbalan kepada orang lain untuk tidak

memberikan hak pilihnya (meskipun UU ini hanya sebatas orang yang memberikan

imbalan bukan orang memerintahkan meskipun tanpa imbalan), (2) organisasi

semacam ini boleh jadi akan gulung tikar dengan sendirinya mengingat tujuan

organisasi ini pada dasarnya melanggar hak politik seseorang untuk mempergunakan

hak pilihnya atau tidak, sehingga orang akan berpikir ulang untuk mendaftarkan diri

dalam organisasi tersebut.

Kedua, selain tidak terdapat sebuah organisasi yang secara khusus mengatur

mengenai golput, juga tidak terdapat tokoh utama yang secara khusus menyerukan

untuk golput di mana seruan tersebut dipercaya dan diikuti oleh semua orang, atau

dalam terminologi Hoffer (1993), seorang yang kata-katanya diikuti oleh “true

believer”. Meskipun Hoofer menyatakan bahwa setiap gerakan sosial, tak perduli

motif gerakan tersebut, selalu terdapat sekelompok orang yang rela menyerahkan

segalanya, termasuk nyawa, untuk berkorban atau sebuah fanatisme tinggi terhadap

gerakan tersebut. Dalam kasus golput, Gus Dur tidak lah dapat dikatakan sebagai

aktor utama yang menciptakan terjadinya pengorbanan semacam itu, meskipun hal

ini pun tidak lah salah sepenuhnya. Seruan Gus Dur boleh jadi akan memicu

sekelompok orang yang kelewat fanatik terhadap Gus Dur akan benar-benar

melaksanakan perintah tersebut seperti seorang hamba atas perintah tuannya, namun

toh sangat berlebihan jika beranggapan setiap orang NU di Jawa Timur akan

menjadi true believer dalam menanggapi seruan Gus Dur tersebut.

Ketiga, mereka yang golput tidak lah berasal hanya dari satu kelas sosial

tertentu, atau dalam bahasa lain, golput tidak memandang status dan kelas sosial

seseorang. Mereka yang golput tidak hanya mereka yang secara ekonomi marjinal,

namun juga mereka yang secara ekonomi mapan. Berbeda dengan anggapan Hoffer

(1993) yang menganggap bahwa mereka yang kecewa, tidak puas dan frustasi

terhadap diri mereka sendiri sebagai ‘panen’ pertama terhadap sebuah gerakan sosial

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

18

Page 19: Ayo Boikot Pemilu

yang dilakukan oleh true believer, mereka yang memilih untuk golput jutru

merasakan kekecewaan yang besar bukan terhadap diri mereka sendiri melainkan

terhadap orang yang pernah mereka pilih dalam pemilihan umum. Kekecewaan yang

muncul memicu sebuah pilihan yang dapat diambil oleh semua orang tanpa

memandang suku, agama, maupun kelas sosial: golput dalam pemilu..

Keempat, golput sebagai gerakan sosial politik tidak lah dilakukan secara

terbuka dan diwujudkan dalam bentuk kelompok massa, hal ini tentu saja sangat

berbeda dengan berbagai gerakan sosial lain yang terjadi di Indonesia. Dalam

gerakan mahasiswa pada tahun 1998 misalnya, terlihat bahwa gerakan protes

tersebut dilakukan dengan wujud gerakan mahasiswa secara massal yang menduduki

Gedung MPR/DPR atau gerakan protes berupa demontrasi, meskipun dalam skala

kecil, yang dilakukan untuk menentang represi negara (lihat Boudreau 2002). Hal

yang juga berbeda dengan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh petani

Banten pada tahun 1888 (lihat Kartodirdjo 1984a), maupun gerakan Nyi Aciah dan

Jumadilkubra (Kartodirdjo 1984b) di mana gerakan-gerakan tersebut menekankan

pada sebuah gerakan massa yang secara sengaja dipusatkan. Golput sebagai sebuah

gerakan sosial politik tidak lah dilakukan dengan mengumpulkan massa yang secara

khusus bertujuan untuk menolak pemilihan umum, namun dilaksanakan secara

perseorangan, hanya saja jumlah secara akumulatif jelas tidak dapat dipandang

sebelah mata.

Kelima, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah berbentuk

sebuah ‘kudeta berdarah’. Jika melihat gerakan 30 September yang digambarkan

sebagai sebuah kudeta berdarah sekaligus memantik sebuah pembantaian yang lebih

besar terhadap ‘antek-antek’ PKI, sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru

dengan mengambil dalih pemberontakan PKI dan pembunuhan para jenderal (lihat

Roosa 2008), atau gerakan rakyat yang terjadi di tiga daerah (lihat Lucas 1989) yang

membunuh para birokrat dan aparatur desa yang tetap taat pada pemerintahan

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

19

Page 20: Ayo Boikot Pemilu

kolonial dan Jepang tanpa memperhatikan gerak revolusi. Kedua peristiwa ini tentu

hanya merupakan gambaran singkat mengenai sebuah gerakan sosial politik yang

menuntut korban nyawa, baik dari para pendukung gerakan maupun dari lawan

gerakan itu sendiri. Berbeda dengan gerakan-gerakan tersebut, golput bukan sebuah

gerakan yang menuntut korban nyawa, baik oleh mereka yang memilih golput

maupun para elite politik dan aparatur pemerintahan.

Keenam, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak hanya bukan

merupakan kudeta berdarah, golput juga tidak dilakukan dengan cara-cara

kekerasan, lebih jauh, golput bergerak tidak dengan kekuatan militer bersenjata.

Berbeda sepenuhnya dengan gerakan 30 september, terlepas dari siapa dalang di

balik peristiwa tersebut, yang menggunakan kekerasan dan kekuatan militer,

terutama untuk memberangus akar gerakan tersebut yang ‘dianggap’ kaki-tangan

Partai Komunis Indonesia (lihat Roosa 2008). Golput sebagai gerakan sosial politik

tidak lah dijalankan dan ‘disebarkan’ melalui jalur-jalur kekerasan maupun ancaman

fisik, mengingat golput merupakan pilihan individual seseorang. Meskipun

demikian, saya tidak dapat menjamin sepenuhnya bahwa golput tidak ‘disebarkan’

melalui ancaman-ancaman fisik, barangkali ada, tapi hal ini rasanya tidak lah

berlaku di setiap daerah di Indonesia.

Ketujuh, sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput tidak lah ditujukan

untuk menggulingkan kekuasaan yang sah. Hal ini misalnya berbeda ketika melihat

contoh kasus gerakan di tiga daerah (Lucas 1989) yang dalam beberapa gerakannya

mencoba untuk menggulingkan para pangreh praja daerah yang tidak setia terhadap

gerakan revolusi, di mana gerakan tiga daerah dapat dilihat sebagai bentuk ‘main

hakim sendiri’, perampokan, kekerasan, pembunuhan, maupun pengerusakan

gudang dan gedung-gedung pabrik. Meskipun belum ada sebuah gerakan yang

berusaha menggulingkan kekuasaan yang sah dari seorang presiden, terkecuali kalau

gerakan 30 september dianggap sebagai gerakan untuk menggulingkan Soekarno, di

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

20

Page 21: Ayo Boikot Pemilu

mana gerakan yang ada umumnya hanya menggulingkan kekuasaan dari para

pangreh praja dan/atau aparatur desa.

Sebagai sebuah gerakan sosial politik yang unik, tentu saja golput memiliki

sejumlah ciri-ciri penting. Setidaknya terdapat lima ciri penting, selain tujuh ciri

lainnya di atas, golput sebagai sebuah gerakan sosial politik. Pertama, golput

dimulai oleh sebuah rasa kecewa yang dirasakan terhadap elite politik maupun oleh

partai politik. Kekecewaan ini lah yang memunculkan sebuah antipati tersendiri

terhadap pemilihan umum, terlebih terhadap hasil dan kinerja wakil rakyat, maupun

presiden dan wakil presiden yang telah terpilih. Kekecewaan ini, jika merujuk teori

deprivasi relatif, muncul sebagai akibat kesenjangan antara harapan dengan

kenyataan yang ada. Ketika golput muncul sebagai akibat dari adanya kekecewaan,

maka wujub abstraksi yang paling mudah muncul adalah protes.

Kedua, golput dilakukan sebagai bentuk protes. Hal ini tentu saja mudah di

mengerti, terutama jika melihat golput sebagai wujud protes ‘khas rakyat’ yang

dapat dilakukan dengan mudah tanpa terlibat organisasi atau terpengaruh ideologi

apapun. Sebagai wujud protes khas rakyat, hal yang hampir sama dengan yang

dilakukan oleh petani Sedaka di Malaysia (lihat Scott 2000), golput dilakukan oleh

mereka yang selama ini termarjinalkan dalam bidang politik, di mana golput

dipergunakan sebagai ‘weapon of the weak’. Sebagai wujud protes yang dapat

dilakukan oleh setiap warga negara tanpa memandang status dan kedudukan, golput

dapat terjadi di hampir semua tempat di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Ketiga, golput dilakukan secara universal tanpa memandang status dan kelas

sosial. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, golput dapat dilakukan oleh

setiap warga negara yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih tanpa

memandang batas-batas ras, suku, agama, kedudukan, status dan lain sebagainya.

Dalam realitas sebenarnya, golput dilakukan tidak hanya oleh mereka yang secara

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

21

Page 22: Ayo Boikot Pemilu

ekonomi terpinggirkan namun juga mereka secara ekonomi mapan, golput tidak

hanya dilakukan oleh mereka yang tinggal di wilayah pedesaan namun juga mereka

yang tinggal di perkotaan.

Keempat, golput dilakukan oleh individu secara sadar. Hal ini penting,

mengingat golput pada dasarnya adalah pilihan yang diambil oleh seseorang yang

memahami betul tindakannya. Tentu saja harus dikecualikan dalam hal ini adalah

mereka yang sengaja memilih golput karena mengalami paksaan maupun ancaman

dari pihak lain. Hal yang lebih kompleks terjadi manakala golput dikaitkan dengan

true believers, katakan lah mereka yang percaya sepenuhnya pada anjuran Gus Dur

untuk golput, tapi saya rasa mereka pun dikecualikan dalam poin ini. Sebagai

sebuah pilihan yang murni individual dan dapat dikatakan memiliki rasionalitas

tersendiri, maka pilihan untuk golput menjadi pilihan yang tidak dapat dipengaruhi

oleh seruan atau pun perintah orang lain.

Kelima, golput dilakukan secara diam-diam atau pun setengah terbuka

dengan klaim-klaim perseorangan. Hal ini pun mudah di mengerti, mengingat salah

satu sifat utama pemilu adalah rahasia, maka menjaga rahasia untuk golput pun

menjadi bagian integral dalam pemilu itu sendiri. Kerahasiaan dalam golput,

meskipun tidak menutup kemungkinan terdapat sekelompok orang yang secara

terbuka mengakui jika mereka golput, boleh jadi merupakan kebebasan setiap orang

untuk mengutarakan pendapatnya atau menutup secara rapat mengenai pilihan

tersebut. Di sisi yang lain, saya pun tidak dapat menutup kemungkinan lain: bahwa

tertutupnya sikap orang yang memilih boleh jadi dilandasi ketakutan orang tersebut

terhadap tekanan pemerintah atau dari anggota partai politik, meskipun rasanya agak

berlebihan, terhadap diri mereka, atau ketakutan akan celaan yang datang dari orang

lain yang tahu bahwa dirinya golput.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

22

Page 23: Ayo Boikot Pemilu

Setelah menjelaskan ciri-ciri golput, saya akan mencoba melihat golput

sebagai sebuah gerakan sosial politik khas rakyat. Sebagaimana telah saya jelaskan

sebelumnya, golput didefinisikan sebagai pilihan yang dilakukan oleh warga negara

yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih untuk tidak menggunakan hak

pilih mereka, terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi pilihan tersebut.

Meskipun KBBI secara tegas mendefinisikan tujuan golput sebagai wujud protes,

namun makna definitif di atas tidak lah mencukupi. Bagi saya, adalah simplifikasi

yang berlebihan jika mengaitkan golput hanya sebagai wujud protes, mengingat

golput pun memiliki motif lain selain protes.

Dalam konteks Indonesia saat ini, rasanya salah satu alasan yang, barangkali,

paling banyak digunakan adalah kekecewaan terhadap kinerja legislatif, baik itu

DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kekecewaan ini terjadi

setidaknya disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, rakyat melihat kinerja legislatif

yang lamban dalam banyak hal, baik itu dalam persoalan legislasi maupun lobi-lobi

politik. Berbagai kebijakan yang diambil oleh DPR terkesan sangan lamban dan

bertele-tele, bahkan cenderung hanya ingin publisitas semata. DPR misalnya tercatat

seringkali mengeluarkan wacana hak angket meskipun seringkali berujung

antiklimaks. Kritik yang mereka berikan atas kebijakan eksekutif cenderung parsial

dan tidak berkelanjutan. Hak angket kenaikan harga BBM misalnya, justru berakhir

dengan bungkamnya DPR, hal ini lah yang memicu pada point berikutnya.

Kedua, rakyat melihat kinerja legislatif tidak membela kepentingan rakyat

keseluruhan, hal ini terlihat dengan adanya berbagai demonstrasi berbagai elemen

masyarakat terkait dengan kebijakan perundangan yang dibuat oleh legislatif.

Barangkali kebijakan DPR yang paling kontroversial adalah UU Pornografi, sebuah

undang-undang yang menyita begitu banyak waktu dan perdebatan, bahkan ketika

UU tersebut akhirnya disahkan, yang justru muncul adalah penolakan dari berbagai

elemen. Demikian pula dengan UU Badan Hukum Pendidikan yang juga memicu

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

23

Page 24: Ayo Boikot Pemilu

protes keras masyarakat. Muncul sebuah pertanyaan serius: untuk siapa sebenarnya

DPR bekerja? Mengingat banyak kebijakan yang disetujui oleh DPR dianggap tidak

pro rakyat.

Ketiga, rakyat melihat kinerja sekaligus mentalitas buruk legislatif yang

terlihat dari banyaknya anggota legislatif (termasuk eksekutif dan yudikatif) yang

terlibat kasus pidana korupsi. Berbagai kasus yang muncul sepanjang tahun 2008

telah menyeret beberapa orang anggota legislatif untuk masuk dalam penjara dan

sebagian besar lainnya masih dalam proses penyidikan. Kasus alih fungsi hutan

lindung, tender kapal laut dan mobil pemadam kebakaran, hingga kasus BLBI dan

pemilihan deputi senior BI menyita perhatian yang luar biasa dari publik. Kasus-

kasus ini memberikan gambaran yang begitu baik mengenai hubungan antara

legislatif dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan kebijakan yang

dikeluarkan oleh legislatif. Kasus alih fungsi hutan lindung misalnya, memberikan

sebuah bukti adanya kongkalingkong yang terjadi antara pemerintah daerah dengan

DPR. Hal juga mengejutkan adalah dugaan suap yang diberikan Deputi Senior BI,

hal yang juga memberikan bukti hubungan gelap antara dua lembaga negara.

Keseluruhan faktor tersebut memicu munculnya perasaan kecewa yang

bermula dari kesenjangan antara harapan rakyat dengan kenyataan yang terjadi di

lapangan. Masyarakat mengalami, apa yang disebut Gurr sebagai, deprivasi relatif.

Relative depriviation atau deprivasi relatif memiliki prima causa yang muncul akibat

adanya jurang atau kesenjangan yang semakin lebar antara harapan dan kenyataan

yang ada. Adanya deprivasi relatif menyebabkan kekecewaan sebagian besar

penduduk sehingga menyebabkan mereka memilih untuk tidak menggunakan hak

pilih mereka.

Di sisi yang lain, golput sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga negara

tidak lah diatur dalam perundang-undangan. Hal ini tentu saja membawa implikasi

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

24

Page 25: Ayo Boikot Pemilu

yang lebih jauh: pilihan untuk menjadi golput tidak lah menyalahi secara hukum

sehingga tidak mungkin diambil tindakan hukum. Hal ini terlihat dengan tidak

adanya aturan yang mengikat dalam perundang-undangan. Barangkali salah satu

point yang harus diperhatikan adalah aturan yang berlaku bukan pada individu yang

memilih untuk golput, melainkan pada individu yang secara sengaja mengajak atau

memberikan imbalan kepada orang untuk melakukan golput. UU No. 10 Tahun

2008 mengenai pemilu DPR, DPD dan DPRD misalnya, secara langsung tidak lah

menyinggung mengenai larangan untuk tidak menggunakan hak pilih. Dalam pasal

244 point (1) dan (2) misalnya, hanya lah tertulis bahwa “pemilu diselenggarakan

dengan partisipasi masyarakat”, di mana “partisipasi masyarakat” dilakukan “dalam

bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih....”. Lebih jauh, dalam

UU tersebut secara tegas melarang pada pelaksana kampanye untuk menjanjikan

atau memberikan sejumlah uang untuk tidak menggunakan hak pilihnya seperti yang

terdapat dalam Pasal 87, sedangkan hukuman, sebagaimana tertera dalam Pasal 286,

atas pelaksana kampanye atau perseorangan yang secara jelas memberikan sejumlah

uang kepada orang untuk tidak memberikan hak pilihnya dipidana dengan “pidana

penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)

bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling

banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

Munculnya kekecewaan, termasuk juga kemarahan, protes, dan motif

lainnya, juga tidak adanya aturan yang secara tegas melarang seseorang untuk tidak

menggunakan hak pilihnya atau golput menyebabkan setiap warga negara yang

memiliki hak pilih sekaligus terdaftar sebagai pemilih dapat secara leluasa memilih

untuk tidak menggunakan hak pilihnya dan bergabung dalam kelompok golput. Hal

ini tentu saja membawa satu implikasi yang lebih serius: jika golput tidak dilarang

secara legal formal boleh jadi angka untuk golput akan semakin bertambah.

Barangkali hal ini pula yang menjadi persoalan, atau setidaknya dipersoalkan oleh

para elite politik.

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

25

Page 26: Ayo Boikot Pemilu

Barangkali ketakutan para elite politik bukan lah melihat golput sebagai

wujud ketidakpedulian rakyat terhadap perkembangan demokrasi, mengingat saya

sendiri tidak melihat adanya kepedulian yang sungguh-sungguh yang dimiliki oleh

legislatif terhadap nasib rakyat, namun lebih melihat golput sebagai sebuah wujud

ketidakpercayaan rakyat terhadap mereka. Dalam konteks ini, rasanya tidak

berlebihan jika ketakutan tersebut melihat golput yang dilakukan oleh rakyat sebagai

sebuah gerakan sosial politik, yang dikhawatirkan akan bangkit dan menentang

mereka dengan mempertanyakan, bukan keabsahan melainkan, posisi mereka yang

dianggap mewakili atau sebagai representasi dari rakyat. Hal ini, barangkali, tidak

lah terlalu mengejutkan, terutama jika melihat tingginya angka golput secara tersirat

mempertanyakan ‘keterwakilan’ seseorang dalam lembaga legislatif. Dalam kasus

seperti ini lah golput dilihat dan dijelaskan, yakni sebagai gerakan khas rakyat yang

dapat dipergunakan oleh semua orang sebagai wujud protes atau kekecewaan atas

kondisi mereka.

Sebagai sebuah gerakan sosial politik, golput merupakan sebuah ‘silent

movement’, sebuah gerakan sosial politik yang tak bersuara. Sebuah gerakan sosial

politik khas rakyat melalui bentuk protes perseorangan, yang dalam skala tertentu

menjadi protes kolektif, terhadap kondisi politik yang selama ini tidak

memperhatikan keadaan mereka. Tentu saja hal ini dapat dilihat dengan wujud dan

pelaksanaan golput yang hanya datang ketika pemilihan umum, baik itu pemilihan

legislatif maupun eksekutif, sehingga sebagai sebuah gerakan, boleh jadi golput

sebagai gerakan sosial politik hanya lah bersifat singkat. Meskipun singkat, namun

benih perasaan kecewa tentu saja bersifat lebih lama. Golput dengan demikian

merupakan akumulasi kekecewaan seseorang yang termanifestasi melalui sebuah

pilihan yang jelas dan rasional sebagai wujud protes terhadap keadaan yang

melingkupi dirinya; golput merupakan lonjakan perasaan yang muncul akibat

ketidaksukaan seseorang terhadap legislatif dan eksekutif yang bersifat laten, sebuah

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

26

Page 27: Ayo Boikot Pemilu

kemunculan yang boleh jadi tidak lah bersifat spontan, sehingga ajang pemilu hanya

lah momen yang tepat untuk menyuarakan protes mereka melalui tindakan golput.

Saya pun harus mengakui, bahwa dalam banyak kasus, golput muncul

sebagai akibat ketidakmampuan KPU dalam mendata semua warga negara yang

memiliki hak pilih dan memberikan surat undangan untuk memilih kepada mereka.

Kesalahan seperti ini boleh jadi menyumbang porsi yang cukup banyak ketika kita

berbicara mengenai golput, hanya saja, lagi-lagi, saya cenderung untuk

menempatkan kasus semacam ini bukan sebagai bentuk golput, mengingat golput

merupakan pilihan yang diambil oleh setiap warga negara yang memiliki hak pilih

dan terdaftar sebagai pemilih namun memilih untuk tidak menggunakan hak pilih

yang dimilikinya.

Golput sebagai sebuah gerakan sosial politik dengan demikian lebih mudah

dilihat: yakni sebagai bentuk protes perseorangan, yang dalam tingkatan tertentu

memiliki kuantitas yang signifikan secara kolektif, terhadap kondisi yang ada atau

kekecewaan yang muncul sebagai akibat adanya kondisi deprivasi relatif yang ada

dalam dirinya. Jika golput dilihat dalam konteks ini, tidak lah terlalu sulit melihat

golput sebagai wujud riil gerakan sosial politik rakyat yang menemukan momentum

sekaligus cara penyaluran yang tepat dan signifikan, yakni dengan tidak

menggunakan hak pilihnya. Tentu saja sebagai sebuah gerakan, golput memiliki

kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Sebagaimana telah saya jelaskan sebelumnya, salah satu kelebihan golput

adalah pelaksanaannya yang dapat dilakukan ole semua orang dan kemampuan

golput untuk mementahkan klaim dukungan mayoritas rakyat yang biasanya

dimunculkan oleh para pemenang pemilu, baik kepala daerah maupun partai politik.

Dengan tidak adanya klaim tersebut, maka golput pun menjelma sebagai mimpi

buruk setiap pemenang pemilu mengenai posisi mereka dalam pemerintah ketika

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

27

Page 28: Ayo Boikot Pemilu

berhadapan dengan jumlah riil pendukung mereka. Di sisi yang berbeda, golput

memiliki sejumlah kekurangan. Salah satu kekurangan golput sebagai sebuah

gerakan sosial adalah golput dilakukan dalam waktu sangat singkat dan tertutup

sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi gerakan secara penuh. Kedua hal ini

tentu saja merupakan gambaran mengenai kekuatan golput sebagai sebuah gerakan

sosial politik.

Dalam konteks yang lebih jauh, golput merupakan kekuatan sosial politik

khas rakyat yang merupakan sebuah tindakan individual, dalam cakupan yang lebih

besar boleh jadi dikatakan tindakan kolektif, yang dilaksanakan dengan cara

menolak memberikan suara dalam pemilihan umum. Terlepas dari berbagai motif

yang melandasi tujuan untuk golput itu sendiri, golput merupakan mosi tidak

percaya yang dilakukan oleh masyarakat, di mana mosi ini tentu saja dilakukan

dengan cara yang mudah di mengerti oleh rakyat. Mosi bahkan bertindak lebih jauh,

menyebarkan ketakutan di kalangan elite politik mengenai posisi mereka. Meskipun

dapat dianggap mengganggu kestabilan politik dan perkembangan demokrasi di

Indonesia, namun golput merupakan salah satu senjata, kalau tidak mau dikatakan

sebagai satu-satunya, yang mampu mengontrol pemerintahan dan partai politik

melalui ketakutan atas ketidakpercayaan masyarakat, di samping adanya fakta

bahwa melalui golput lah rakyat dapat menunjukkan kekuatan politiknya tanpa

khawatir dianggap sebagai usaha untuk menggoyang kekuatan pemerintah.

Catatan tentang golput, penutup

Barangkali akan sangat sulit untuk menjadikan golput sebagai sebuah

gerakan sosial politik sebagai sebuah wujud gerakan massal yang terlihat dengan

jelas, setidaknya secara kuantitas. Meskipun demikian, tidak berarti golput tidak

memiliki kekuatan massa sama sekali. Adanya kesempatan yang sama bagi setiap

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

28

Page 29: Ayo Boikot Pemilu

warga negara yang terdaftar sebagai pemilih untuk golput, sekaligus kemungkinan

adanya kekecewaan terhadap lembaga legislatif dan eksekutif yang bersifat

universal, menjadi pendorong utama setiap orang untuk memilih golput dengan

menolak memberikan hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Di sisi yang lain, meskipun suara golput kemungkinan akan sangat besar,

sangat sulit untuk mengumpulkan mereka yang golput dan menentukan kesepakatan

bersama dalam membentuk sebuah gerakan sosial politik. Jika hal tersebut sulit

dilakukan, adalah lebih mustahil untuk mengubah sebuah keputusan mengenai siapa

yang berhak maju sebagai eksekutif dan legislatif. Hal ini lah yang menyebabkan

sebagai sebuah gerakan, boleh jadi gerakan golput tidak lah sempurna. Meskipun

demikian, golput sangat efektif sebagai senjatanya orang yang lemah, sebab hanya

melalui golput lah seseorang yang selama ini terpinggirkan secara politik

menyuarakan protes mereka. Hal ini pula lah yang menyebabkan golput, setidaknya

bagi saya, sebagai sebuah silent movement. Sebuah gerakan yang terdiam cukup

lama sambil menunggu waktunya untuk bangkit dan menuntut hak yang selama ini

terrenggut dari mereka.

Surabaya, 03 Januari 2009

Kepustakaan:

Bottomore, T. (2008) “Marxism” dalam William Outhwaite (ed.) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern. Edisi kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 495-500

Boudreau, V. (2002). “State Repression and Democracy Protest in Three Southeast Asian Countries” dalam David S. Meyer, Nancy Whittier, dan Belinda Robnett (eds.) Social Movements: Identity, Culture, and the State. New York: Oxford University Press. Hlm. 28-46

Hoffer, E. (1993). Gerakan Massa. Cetakan kedua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

29

Page 30: Ayo Boikot Pemilu

Kartodirdjo, S. (984a). Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

_________________ (1984b). Ratu Adil. Jakarta: Sinar Harapan

Koopmans, R. (2004). “Protest in Time and Space: The Evolution of Waves and Contention” dalam David A. Snow, Sarah A. Soule dan Hanspeter Kriesi (eds.) The Blackwell Companion to Social Movements. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 19-46

Lucas, A.E. (1989). Peristiwa Tiga Daerah, Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Maathai, W. (2006). The Green Belt Movement, Sharing the Approach and Experience. New York: Lantern Books

Miller, B.A. (2000 [1957]). Geography and Social Movements: Comparing Antinuclear Activism in the Boston Area. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press

Peet, R. dan M. Watts (1996). “Liberation Ecology: Development, Sustainability, and Environment in an Age of Market Triumphalism” dalam Richard Peet dan Michael Watts (eds.) Liberation Ecology: Environment, Development, Social Movements. London and New York: Routledge. Hlm. 1-45

Renon, K.D. (2008). “Social Movement” dalam William Outhwaite (ed.) Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern. Edisi kedua. Jakarta: Kencana. Hlm. 783-786

Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra

Scott, J. (2000). Senjatanya Orang-Orang yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Shiraishi, T. (1997). Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Snow, D.A., S.A. Soule and H. Kriesi (2004). “Mapping The Terrain” dalam David A. Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi (eds.) The Blackwell Companion to Social Movements. Malden, MA: Blackwell. Hlm. 3-15

Steggenborg, S. (2005). “Social Movement Theory” dalam George Ritzer (ed.) Encyclopedia of Social Theory, vol.II. California: Sage Publication. Hlm. 753-759

Susanti, F.R (2007). Kembang-Kembang Genjer. Yogyakarta: Jejak

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

30

Page 31: Ayo Boikot Pemilu

Wall, D. (1999). Earth First! and the Anti-Road Movement, Radical Environmentalism and Comparative Social Movements. London and New York: Routledge

Wieringa, S.E. (1998). Kuntilanak Wangi, Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950. Jakarta: Kalyanamitra

Undang-Undang:

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

“Ayo Boikot Pemilu”:Golongan Putih (Golput) Sebagai Gerakan Sosial Politik Rakyat

31