automated fluorescence sebagai sistem … dari sistem, yaitu struktur pembuluh darah pada...

7
1 AUTOMATED FLUORESCENCE SEBAGAI SISTEM BANTU DIAGNOSIS KEBOCORAN PEMBULUH DARAH RETINA Vanya Vabrina Valindria 1 , Prof. Dr. Ir. Tati L.R. Mengko 1 , Iwan Sovani, dr, SpM, MM, M.Kes 2 1. Imaging and Image Processing Group (I2PRG) ITB 2. Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung Abstrak Kebocoran pembuluh darah retina dapat menyebabkan edema pada retina yang merupakan salah satu ciri penyakit retinopati diabetik. Sejauh ini pemeriksaan FFA (Fluorescence Fundus Angiography) secara berkala merupakan cara diagnosis yang paling efektif untuk penyakit tersebut. Namun, pemakaian FFA ini menimbulkan masalah karena harganya cukup mahal dan menyebabkan efek samping pada pasien. Agar risiko dari pemeriksaan FFA bisa dikurangi, sistem Automated Fluorescence (AF) dibuat untuk mendeteksi kebocoran pembuluh darah secara automatis pada citra retina yang diperoleh dari kamera fundus tanpa memberikan injeksi zat kontras (non-invasive). Pada penelitian ini, metoda yang digunakan untuk deteksi penjalaran pembuluh darah pada citra retina adalah wavelet Gabor 2-D, analisis multiresolusi, dan filter highpass Butterworth. Metoda untuk deteksi area kebocoran retina meliputi JST (Jaringan Saraf Tiruan), CLAHE (Contrast-Limited Adaptive Histogram Equalization), dan operasi morfologis. Hasil percobaan menunjukkan keakuratan algoritma dalam mendeteksi pembuluh darah besar maupun kecil dan area kebocoran yang memberikan tingkat kesesuaian tinggi terhadap citra referensi. Sistem AF ini sudah bisa diaplikasikan dalam bentuk GUI (Graphical User Interface). Kata kunci : fundus, retina, retinopati diabetik, Automated Fluorescence, kebocoran, edema, pembuluh darah, Gabor, JST. 1. Pendahuluan Dalam bidang kedokteran, pengolahan citra memegang peranan penting untuk membantu proses diagnosa. Diagnosa merupakan satu tahapan prosedur kedokteran untuk mengetahui terjangkitnya suatu penyakit atau kelainan pada pasien sehingga dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya seperti menentukan terapi dan obat yang tepat. Citra fundus menampilkan lempeng optik, daerah makula, fovea dan pembuluh – pembuluh darah pada retina. Pada beberapa kasus, dibutuhkan informasi yang jelas pada citra fundus mengenai penjalaran dan bentuk dari pembuluh – pembuluh darah retina. Teknik FFA (Fundus Fluorescence Angiography) menjawab persoalan ini dengan menghasilkan informasi mendetail mengenai sirkulasi pada retina. Zat kontras disuntikkan pada vena sehingga pewarna ini mengalir ke pembuluh – pembuluh darah tubuh, termasuk mata. Adanya zat kontras ini membuat gambar yang diperoleh lebih baik dan sangat jelas untuk diagnosa. Namun, masalah kembali muncul sebab pada beberapa pasien tidak bisa diberikan zat kontras ini. Reaksi yang ditimbulkan adalah alergi, mual, muntah – muntah sampai pingsan. Selain itu, pemakaian zat kontras memberatkan pasien dalam hal biaya karena hanya dipakai untuk diagnosa awal, belum termasuk perawatan, tindakan, dan terapi selanjutnya. Solusi untuk mengatasi permasalahan diatas adalah dengan mengembangkan suatu teknik pencitraan yang menghasilkan gambar detail pembuluh darah dan kebocoran seperti FFA tetapi tanpa menyuntikkan zat kontras ke pasien. Solusi yang akan ditawarkan adalah berupa sistem Automated Fluorescence(AF) yang bisa mengolah citra secara digital dengan memakai alat yang sudah ada (kamera fundus). Tanpa pengolahan citra, kondisi – kondisi yang diinginkan tidak muncul dengan jelas di citra Fundus. Pada tugas akhir sebelumnya mengenai Autofluorescence Angiography sebagai sistem bantu diagnosis kebocoran pembuluh darah [14] juga dilakukan perkiraan area kebocoran dan penguatan struktur pembuluh darah. Metoda yang digunakan pada sistem tersebut adalah pengembangan algoritma matched filter dan Jaringan Saraf Tiruan. Kekurangan dari sistem, yaitu struktur pembuluh darah pada percabangan yang kecil tidak bisa terdeteksi dan banyak kerancuan karena derau yang dihasilkan pada latar belakang citra retina, serta ketepatan deteksi area kebocoran menurut dokter masih kurang dari 50%. Dalam tugas akhir ini, sistem AF diutamakan digunakan untuk diagnosa kebocoran pembuluh darah pada pasien retinopati diabetik. Tujuan dari penelitian tugas akhir ini diantaranya untuk mencari metoda yang tepat agar menghasilkan citra berstruktur pembuluh darah lebih jelas, batas area kebocoran yang tegas, dan memperbaiki sistem sebelumnya. Dokter sangat berharap bahwa dengan sistem AF, mereka bisa memperkirakan lokasi kebocoran sehingga penembakan laser tidak terlalu meleset dan pasien pun menjadi lebih nyaman.

Upload: buikhue

Post on 05-May-2018

224 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

AUTOMATED FLUORESCENCE SEBAGAI SISTEM BANTU DIAGNOSIS KEBOCORAN

PEMBULUH DARAH RETINA

Vanya Vabrina Valindria1, Prof. Dr. Ir. Tati L.R. Mengko1, Iwan Sovani, dr, SpM, MM, M.Kes2 1. Imaging and Image Processing Group (I2PRG) ITB

2. Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung

Abstrak

Kebocoran pembuluh darah retina dapat menyebabkan edema pada retina yang merupakan salah satu ciri penyakit retinopati diabetik. Sejauh ini pemeriksaan FFA (Fluorescence Fundus Angiography) secara berkala merupakan cara diagnosis yang paling efektif untuk penyakit tersebut. Namun, pemakaian FFA ini menimbulkan masalah karena harganya cukup mahal dan menyebabkan efek samping pada pasien. Agar risiko dari pemeriksaan FFA bisa dikurangi, sistem Automated Fluorescence (AF) dibuat untuk mendeteksi kebocoran pembuluh darah secara automatis pada citra retina yang diperoleh dari kamera fundus tanpa memberikan injeksi zat kontras (non-invasive). Pada penelitian ini, metoda yang digunakan untuk deteksi penjalaran pembuluh darah pada citra retina adalah wavelet Gabor 2-D, analisis multiresolusi, dan filter highpass Butterworth. Metoda untuk deteksi area kebocoran retina meliputi JST (Jaringan Saraf Tiruan), CLAHE (Contrast-Limited Adaptive Histogram Equalization), dan operasi morfologis. Hasil percobaan menunjukkan keakuratan algoritma dalam mendeteksi pembuluh darah besar maupun kecil dan area kebocoran yang memberikan tingkat kesesuaian tinggi terhadap citra referensi. Sistem AF ini sudah bisa diaplikasikan dalam bentuk GUI (Graphical User Interface). Kata kunci : fundus, retina, retinopati diabetik, Automated Fluorescence, kebocoran, edema, pembuluh darah, Gabor, JST. 1. Pendahuluan

Dalam bidang kedokteran, pengolahan citra memegang peranan penting untuk membantu proses diagnosa. Diagnosa merupakan satu tahapan prosedur kedokteran untuk mengetahui terjangkitnya suatu penyakit atau kelainan pada pasien sehingga dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya seperti menentukan terapi dan obat yang tepat. Citra fundus menampilkan lempeng optik, daerah makula, fovea dan pembuluh – pembuluh darah pada retina. Pada beberapa kasus, dibutuhkan informasi yang jelas pada citra fundus mengenai penjalaran dan bentuk

dari pembuluh – pembuluh darah retina. Teknik FFA (Fundus Fluorescence Angiography) menjawab persoalan ini dengan menghasilkan informasi mendetail mengenai sirkulasi pada retina. Zat kontras disuntikkan pada vena sehingga pewarna ini mengalir ke pembuluh – pembuluh darah tubuh, termasuk mata. Adanya zat kontras ini membuat gambar yang diperoleh lebih baik dan sangat jelas untuk diagnosa. Namun, masalah kembali muncul sebab pada beberapa pasien tidak bisa diberikan zat kontras ini. Reaksi yang ditimbulkan adalah alergi, mual, muntah – muntah sampai pingsan. Selain itu, pemakaian zat kontras memberatkan pasien dalam hal biaya karena hanya dipakai untuk diagnosa awal, belum termasuk perawatan, tindakan, dan terapi selanjutnya. Solusi untuk mengatasi permasalahan diatas adalah dengan mengembangkan suatu teknik pencitraan yang menghasilkan gambar detail pembuluh darah dan kebocoran seperti FFA tetapi tanpa menyuntikkan zat kontras ke pasien. Solusi yang akan ditawarkan adalah berupa sistem Automated Fluorescence(AF) yang bisa mengolah citra secara digital dengan memakai alat yang sudah ada (kamera fundus). Tanpa pengolahan citra, kondisi – kondisi yang diinginkan tidak muncul dengan jelas di citra Fundus.

Pada tugas akhir sebelumnya mengenai Autofluorescence Angiography sebagai sistem bantu diagnosis kebocoran pembuluh darah [14] juga dilakukan perkiraan area kebocoran dan penguatan struktur pembuluh darah. Metoda yang digunakan pada sistem tersebut adalah pengembangan algoritma matched filter dan Jaringan Saraf Tiruan. Kekurangan dari sistem, yaitu struktur pembuluh darah pada percabangan yang kecil tidak bisa terdeteksi dan banyak kerancuan karena derau yang dihasilkan pada latar belakang citra retina, serta ketepatan deteksi area kebocoran menurut dokter masih kurang dari 50%.

Dalam tugas akhir ini, sistem AF diutamakan digunakan untuk diagnosa kebocoran pembuluh darah pada pasien retinopati diabetik. Tujuan dari penelitian tugas akhir ini diantaranya untuk mencari metoda yang tepat agar menghasilkan citra berstruktur pembuluh darah lebih jelas, batas area kebocoran yang tegas, dan memperbaiki sistem sebelumnya. Dokter sangat berharap bahwa dengan sistem AF, mereka bisa memperkirakan lokasi kebocoran sehingga penembakan laser tidak terlalu meleset dan pasien pun menjadi lebih nyaman.

2

2. Perancangan Sistem dan Implementasi

Sistem yang dikembangan dibagi dalam dua modul utama, yaitu Modul 1 untuk deteksi pembuluh darah dan Modul 2 untuk pendeteksian daerah kebocoran. Gambar 1 menunjukkan diagram blok sistem AF secara keseluruhan.

1) Preprocessing 1 Sebelum diolah ke dalam Modul 1, terlebih

dahulu dilakukan preprocessing 1 terhadapan citra masukan Gambar 2, yang diambil dari kamera Fundus. Citra retina masukan berupa citra RGB 24 bit, yang memiliki tiga kanal warna dan masing – masing dengan kedalaman warna 8 bit. Lalu, dilakukan pemisahan kanal warna untuk memperoleh informasi yang diinginkan untuk diproses. Kanal warna yang diambil pada tahap ini adalah kanal warna hijau karena informasi mengenai struktur pembuluh darah sangat jelas dibandingkan dua kanal yang lain.

Gambar 2 Citra Masukan

Warna retina pada pasien berbeda karena tergantung pada pigmen retina dan warna iris masing – masing. Untuk meminimalisir kesalahan deteksi, maka dilakukan metoda normalisasi warna agar citra tidak terpengaruh variasi latar belakang pigmen individual.

Metoda normalisasi warna dikerjakan dengan spesifikasi histogram [20]. Citra retina yang dipilih sebagai citra referensi adalah citra yang menghasilkan keluaran pembuluh darah yang jelas dan benar. Maka, citra retina yang masuk akan dimodifikasi nilai frekuensi histogramnya sehingga cocok dengan distribusi histogram referensi.

(a) (b) (c)

Gambar 3 Citra kanal hijau (a), normalisasi (b), citra invers (c)

Setelah itu, Gambar 3(b) di invert sehingga pembuluh darah akan tampak lebih terang dibandingkan latar belakangnya. Maksud dari tahap ini adalah karena dari sisi subjektif penglihatan akan lebih mudah medeteksi pembuluh darah berwarna putih dengan latar belakang hitam dibandingkan sebaliknya, selain itu juga agar citra yang diperoleh nantinya mirip citra FFA.

2) Preprocessing 2 a. Preprocessing pemrosesan dengan JST Citra masukan untuk tahap pelatihan maupun tahap pengolahan JST adalah citra retina kanal hijau dan citra hasil pemrosesan wavelet Gabor yang bersangkutan. b. Preprocessing pendeteksian papil

Dari hasil pengamatan, didapatkan bahwa bagian papil lebih jelas terlihat dan lebih mudah disegmentasi pada kanal biru. Setelah kanal biru dipisahkan, citra dinormalisasi dengan menggunakan citra referensi yang sama seperti tahap preprocessing 1.

3) Modul 1 Neovaskularisasi yang ditandai oleh penjalaran pembuluh kecil yang tidak lazim adalah salah satu ciri retinopati diabetik. Selain itu, lokasi saat penjalaran pembuluh darah kecil terhenti mendadak dan tidak terlihat lagi merupakan kandidat letak terjadinya kebocoran. Pendeteksian pembuluh darah yang kecil lebih sulit karena kontrasnya rendah dan strukturnya lebih berkelok – kelok. a. Deteksi Pembuluh Darah dengan Wavelet Gabor 2-D Analisis waktu – skala sangat cocok digunakan untuk sinyal yang non-stasioner dan inhomogen, serta masalah – masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan Fourier. Transformasi wavelet (TW) sesuai karena bisa mendeteksi singularitas pada citra (tepian, fitur visual), mengekstraksi frekuensi tertentu dan analisis multiresolusi. Keuntungan utama dari pemakaian wavelet untuk kasus ini adalah kemampuannya dalam memilih ke frekuensi spesifik,

Masukan Citra 

Preprocessing 1 Modul 1 Deteksi 

Pembuluh Darah 

Enhancement 

Preprocessing 2 

Segmentasi papil 

Proses JST 

Keluaran Citra 1 

Modul 2 Deteksi  Area Kebocoran 

Keluaran Citra 2 

CLAHE 

Wavelet Gabor 2‐D

Gambar 1 Digram Blok Sistem Umum AF

3

sehingga derau bisa ditapis dan pembuluh darah bisa terdeteksi dengan satu langkah. Fungsi Gabor akan dijadikan fungsi basis (mother wavelet) untuk transformasi wavelet. Mother wavelet dan transformasi Fourier-nya memiliki kondisi yang lokalisasi yang baik dalam domain waktu maupun frekuensi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa transformasi wavelet memberikan penapisan lokal yang efisien dan baik untuk deteksi singularitas seperti pembuluh darah. Transformasi wavelet Gabor kontinu didefinisikan sebagai:

, , , , , ,

dengan , adalah citra, , parameter translasi, s parameter dilasi atau skala dan adalah kompleks konjugat dari . Pada literatur disebutkan bahwa data sudut dari piksel – piksel pada bagian citra akan memperlihatkan kesesuaian respon dengan jalur pembuluh darah [18].

Transformasi wavelet Gabor dilakukan untuk θ dari 0 sampai 170 derajat dengan langkah 10 derajat. Langkah 10 derajat merupakan langkah yang optimal dalam menghasilkan deteksi pembuluh darah. Sudut orientasi θ dinyatakan dalam radian sehingga harus dikalikan dengan π/180. Untuk tiap sudut dihitung rotasi dari x dan y,

′ cos sin ′ sin cos

Transformasi wavelet ini menggunakan fungsi basis wavelet dari fungsi Gabor. Untuk memenuhi syarat fungsi basis, fungsi Gabor sebagai mother wavelet harus dibangkitkan dengan translasi dan penskalaan:

, , , = | |

,

x’ dan y’ merupakan koordinat dari pusat pola yang akan masuk ke dalam analisis multiresolusi pada transformasi wavelet Gabor, sehingga x’ dan y’ harus mengandung parameter s, yaitu skala yang dipilih. Kini, tanpa memperhitungkan translasi, parameter x’ dan y’ menjadi sebagai berikut:

′ cos sin

′ sin cos

Persamaan fungsi Gabor sebagai fungsi basis wavelet tersusun dari dua bagian, yaitu bagian kompleks eksponensial s(x,y) dan fungsi Gaussian g(x,y) sebagai envelop-nya.

, , ,

Frekuensi fo adalah frekuensi dari fungsi kompleks eksponensial, dimana berdasarkan [16] dipilih frekuensi fo = 3 untuk ke sumbu – y, sedangkan f0 bernilai nol untuk sumbu – x. Nilai frekuensi tersebut disebabkan dipilih karena frekuensi kompleks eksponensial bernilai rendah memperkecil osilasi. Pemilihan frekuensi memiliki arti penting terhadap penyesuaian transformasi untuk bisa memberikan respon yang kuat pada piksel – piksel pembuluh darah. Karena nilai frekuensi untuk sumbu – x dipilih nol, maka fungsi kompleks eksponensial hanya dihitung pada sumbu – y,

, exp ′

dengan nilai vektor frekuensi untuk y bernilai 3 dan √ 1. Nilai fo = 3 dekat dengan frekuensi dimana

sistem paling sensitif pada luminansi yang digunakan sehingga akan meningkatkan kecenderungan untuk pendeteksian pola pembuluh darah.

Fungsi Gaussian 2-dimensi diberikan oleh persamaan:

, exp12

′ ′

Nilai parameter σy adalah 1, merupakan nilai yang terbaik dalam menangkap karakteristik pola yang akan dideteksi. Struktur pembuluh darah memanjang dan tidak terlalu terdispersi, sehingga perentangan fungsi Gaussian yang cocok yaitu ke satu arah mengikuti penjalaran pembuluh darah retina.

Dalam [16] digunakan nilai parameter perentangan filter yang konstan, tetapi hasilnya tidak maksimal untuk penguatan pada piksel pembuluh darah dan penapisan derau. Oleh karena itu, agar hasil deteksi lebih tajam dan akurat dipilih nilai σx yang optimal. Menurut [18], nilai σx harus disesuaikan dengan perubahan skala, yang akan berpengaruh terhadap lebar pembuluh darah yang dideteksi, sehingga hasilnya bisa lebih baik. Amplituda dari bagian Gaussian menjadi setengah kali maksimum-nya pada saat x = s/2 dan y = 0, maka nilai akan didefinisikan sebagai berikut :

Persamaan di atas menyatakan parameter skala

dibagi oleh suatu konstanta, yaitu nilai FWHM. Full width at half maximum (FWHM) adalah persamaan dari perluasan fungsi, diperoleh dari jarak antara titik – titik di kurva dimana nilai fungsi mencapai setengah nilai maksimumnya. FWHM merupakan parameter yang digunakan untuk menjelaskan lebar dari kurva atau fungsi.

Setelah semua parameter dari bagian fungsi basis wavelet Gabor diketahui, maka bisa diperoleh fungsi basis wavelet Gabor pada kasus ini secara utuh, yaitu:

4

, 1

2exp

12

exp

Sebelum dikomputasi dengan transformasi

wavelet, fungsi basis harus dikonjugat-kan dulu menjadi . Nilai konjugat ini lalu dicari trasformasi Fourier-nya. Setelah itu, transformasi wavelet Gabor 2-D bisa dihitung dengan cara perkalian dalam antara citra dan konjugat fungsi basis dalam domain Fourier:

, .

Untuk tiap nilai skala yang dipilih, akan dihitung respon maksimum dari hasil transformasi pada semua orientasi. Pada akhir iterasi, diperoleh citra keluaran maksimum yang merupakan respon citra maksimum pada skala kecil dijumlahkan citra maksimum skala besar. Dengan analisis multiresolusi, derau bisa dikurangi dan respon garis lebih ditingkatkan. Faktor yang penting dalam pendeteksian garis adalah skala dari filter. Setelah ditapis secara multiresolusi dengan Gabor, penjumlahan skala diimplementasikan sebagai penjumlahan dari hasil transformasi pada dua skala berdekatan. Dari citra retina yang diperoleh bisa ditentukan berapa jangkauan dari ukuran piksel lebar pembuluh darah yang ada dari paling kecil sampai yang paling besar [19]. Pada kasus ini, digunakan nilai skala yang kecil adalah 3 dan skala besarnya 7. Gambar 4 menampilkan hasil deteksi pembuluh darah.

Gambar 4 Hasil Pengolahan Wavelet Gabor 2-D

b. Enhancement

Agar struktur pembuluh darah retina dari ukuran besar sampai kecil bisa lebih dipertajam, akan dilakukan penapisan tinggi terhadap citra tersebut dengan filter highpass Butterworth, Gambar 5. Respon filter highpass Butterworth juga ditransformasikan ke dalam domain frekuensi sehingga fungsinya menjadi,

, ,

dengan D(u,v) adalah jarak dari titik (u,v) ke pusat frekuensi, D0 adalah radius frekuensi cut-off dan n adalah orde filter. Filter Butterworth yang digunakan memiliki orde 2 dan frekuensi cut-off 1,8.

Gambar 5 Citra Hasil Modul 1

4) Modul 2

Kebocoran dari sisi citra fundus retina menurut dokter memiliki ciri, yaitu merupakan bagian yang lebih halus dan terkadang intensitasnya sedikit lebih terang dibandingkan latar belakangnya. Pada kebocoran terpusat, bisa dilihat letak sumber kebocoran dan area edema-nya. Sedangkan pada kebocoran difus, yang bisa teramati hanya area edema-nya. Secara keseluruhan, diagram blok di Gambar 6 menjelaskan sistem Modul 2 ini.

 

a. Deteksi Area Kebocoran dengan Jaringan Saraf Tiruan(JST)

Tahap Pelatihan JST Sistem pelatihan JST yang digunakan menggunakan algoritma back propagation. Pada tahap pelatihan, digunakan dua buah citra masukan yang terdiri dari citra kanal hijau ternormalisasi dan citra hasil wavelet Gabor sebagai vektor fitur. Sedangkan, citra target yang dituju adalah citra FFA-nya. Dari proses

Citra Masukan

Pengolahan kontras dengan CLAHE 

Preprocessing 2a 

Preprocessing 2b 

Hasil CLAHE 

Pengolahan dengan JST 

Segmentasi papil 

Hasil JST 

Hasil Papil 

+

Hasil kombinasi 

-

Citra Hasil Modul 2 

Set data latih 

Nilai bobot dan bias 

Pelatihan dengan JST 

Pemisahan kanal hijau 

Gambar 6 Diagram Blok Sistem Modul 2

5

pelatihan ini diperoleh nilai – nilai bobot dan bias antar sambungan lapisan JST. Tahap pengolahan dengan JST Tahap ini untuk mengolah data – data hasil pelatihan JST ke dalam proses sistem pengolahan citra. Sistem JST yang telah dirancang lalu diimplementasikan agar dapat menampilkan citra keluaran yang mengenali area kebocoran pada citra retina. Desain JST pada tahap pelatihan maupun pengolahan sama dan memiliki tiga lapisan, yaitu satu lapisan masukan, satu lapisan tersembunyi, dan satu lapisan keluaran. Lapisan masukan memiliki dua node input, lapisan tersembunyi menggunakan tiga buah node, dan lapisan keluaran memiliki satu node.

Gambar 7 Citra Hasil Pengolahan JST

Pada tahap pengolahan, yang digunakan adalah JST algoritma feed-forward. Masukan dari tahap pengolahan JST adalah citra kanal hijau ternormalisasi dan citra hasil pengolahan wavelet Gabor 2-D. Lalu, citra ini masuk ke sistem JST dan keluarannya Gambar 7 akan berupa citra dengan ciri area kebocoran yang tegas.

b. Pengolahan Kontras Citra hasil CLAHE pada Gambar 8 bisa

menunjukkan struktur pembuluh darah dan perkiraan kebocoran yang cukup jelas. Dalam pengolahan kontras ini, spesifikasi bagian area window lokal yang diproses adalah [8 8]. Nilai batas clipping adalah faktor kontras yang akan menghindari saturasi berlebihan dari citra pada are kontras homogen. Untuk nilai batas (limit) perbaikan kontras dipilih 0,05 dari skala [0 1] untuk menghasilkan keluaran yang sesuai.

Gambar 8 Citra CLAHE

Citra hasil pemrosesan CLAHE ini akan dijumlahkan dengan citra dengan area kebocoran hasil pengolahan JST dengan komposisi :

0,2 x (citra CLAHE) + 0.5 x (citra hasil JST)

Dengan adanya kombinasi ini, daerah kebocoran yang muncul di kedua citra akan semakin dikuatkan, kerancuan over-exposure di sekitar papil bisa dikurangi, dan struktur pembuluh darahnya tidak mengganggu wilayah bocor karena berwarna lebih gelap.

c. Deteksi Papil Langkah pertama untuk deteksi papil adalah

menggunakan informasi dari penelusuran histogram yang berhenti jika banyaknya piksel hasil penjumlahan melebihi nilai ambangnya. Kemudian dilakukan threshold dengan nilai ambang tersebut untuk mendapatkan segmentasi daerah papil secara kasar. Label yang memiliki luas bagian lebih dari 3.200 piksel diproses lebih lanjut dengan operasi dilasi dan disegmentasi seperti Gambar 9. Bagian yang tersegmentasi harus dihitung nilai circularity/compactness-nya, yang dinyatakan dengan:

dimana adalah jumlah piksel dalam area dan

adalah keliling/perimeter dari . Jika nilainya kurang dari 2, area itu adalah papil.

Gambar 9 Segmentasi Papil

Hasil penjumlahan proses CLAHE dan area kebocoran JST disubtraksi dengan hasil deteksi papil. Pengurangan area papil ini bertujuan untuk membuang bagian terang selain area kebocoran/edema sehingga tidak mengalami kerancuan pada penilaiannya. Letak papil pada citra kebocoran retina juga lebih bisa diperkirakan dengan adanya proses subtraksi ini. Citra hasil Modul 2 yang diberikan pada Gambar 10(a) menunjukkan kesesuaian bagian area kebocoran dengan citra referensi (FFA) pada Gambar 10(b).

(a) (b)

Gambar 10 Citra Hasil Modul 2(a), Citra FFA(b)

5) AFSW(Automated Fluorescence Software) Agar dokter lebih mudah untuk menggunakan

sistem ini, maka dibuat aplikasi GUI (Graphical User

6

Interface) yang bisa langsung dipakai. Cara penggunaannya yaitu, yang pertama adalah memilih gambar retina untuk diproses dengan menekan tombol ‘File’ sehingga pada kotak di kanan tombol akan berisi nama file yang dipilih. Tampilan pada GUI seperti yang diberikan pada Gambar 11 ini juga bisa menampilkan citra retina yang telah dipilih.

Menu dapat dipilih dengan cara menandai salah satu nama pengolahan yang diinginkan. Setelah memilih salah satu, tekan tombol ‘Proses’ yang ada dibawahnya untuk mengolah citra tersebut.

Gambar 11 Tampilan AFSW

3. Pengujian dan Analisis Sistem

Sistem diuji terhadap 42 buah citra retina masukan, yaitu yang terdiri dari 22 buah citra berukuran 1600x1216 piksel dan 20 buah citra berukuran 2588x1958 piksel. Citra tersebut terdiri dari berbagai variasi kondisi kebocoran retina, yang telah dipilih oleh dokter. Pengujian ini diberikan oleh empat orang dokter spesialis mata khusus retina dari Rumah Sakit Mata Cicendo.

a. Hasil Deteksi Pembuluh Darah

Pada pengujian ini yang akan dinilai adalah citra hasil modul 1. Bentuk pengujian berupa tabel penilaian terhadap kualitas kejelasan struktur pembuluh darah dengan 5 tingkat kriteria penilaian [1]. Menurut pendapat keempat dokter penguji, untuk sistem modul 1 telah memberikan hasil deteksi pembuluh darah yang sangat jelas dan bisa digunakan untuk diagnosa. Rata – rata penilaian untuk citra 1216x1600 piksel adalah 95% dan citra 1958 x 2588 piksel adalah 90,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pengolahan sistem modul 1 sama baiknya untuk dua ukuran citra berbeda yang memiliki karakteristik berbeda dan memberikan rata – rata nilai kepuasan subjektif 92%.

Kesalahan deteksi masih terdapat pada citra yang berpatologi, seperti adanya eksudat atau kerusakan lapisan retina. Sistem sebelumnya memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa mendeteksi cabang pembuluh darah yang

kecil dengan baik dan penuh derau. Pendeteksian pembuluh darah menggunakan wavelet Gabor dibuktikan menghasilkan struktur pembuluh yang lebih jelas dan mengurangi derau.Struktur pembuluh darah dalam sistem sebelumnya pada wilayah kebocoran akan tertutup karena citra pembuluh darah dan deteksi area pembuluh darah disatukan. Dengan pemisahan citra, diharapkan penjalaran pembuluh darah tidak terganggu oleh patologi.

b. Hasil Deteksi Area Kebocoran Citra yang dinilai adalah citra hasil Modul 2. Citra keluaran yang akan dinilai dan citra referensi FFA diberi label berupa lingkaran dengan lima bagian yang diletakkan di daerah makula, karena gejala kebocoran yang menjadi fokus diagnosa adalah di daerah tersebut. Kedua citra tersebut akan dibandingkan kesesuaiannya.

Tingkat penilaian yang diberikan dari skala 0 sampai 5. Nilai 0 menyatakan bahwa seluruh bagian area kebocoran hasil pendeteksian tidak bisa menunjukkan ketepatan deteksi. Untuk nilai maksimum 5 berarti pendeteksian area kebocoran pada citra hasil pengolahan sangat mirip dengan citra referensi.

Menurut pendapat keempat dokter penguji, untuk sistem Modul 2 telah memberikan hasil deteksi kebocoran yang bisa digunakan untuk diagnosa. Rata – rata penilaian untuk citra 1216x1600 piksel adalah 3,49 dan untuk citra 1958 x 2588 piksel rata – rata penilaiannya 3,51. Citra hasil modul 2 ini memberikan rata – rata keseuaian 3,5 bagian terhadap citra referensi dari 5 bagian yang dibandingkan atau 75 %.

Kesulitan sistem ini adalah untuk membedakan antara lokasi sumber kebocoran dan edema makula. Keterbatasan lain dari sistem ini adalah pendeteksi untuk kondisi kebocoran pembuluh darah pada lapisan luar.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 12 Citra masukan (a), FFA (b), hasil sistem sebelumnya (c)

dan hasil modul 2(d)

Sistem sebelumnya menganalisa bahwa karakteristik pembuluh darah dengan kebocoran sama sehingga diproses menggunakan matched filter. Hasilnya kurang optimal karena kebocoran tidak muncul dan tidak memiliki batas tegas. Dengan menggunakan wavelet Gabor pada sistem AF, kebocoran ini bisa muncul pada Gambar 12(d), lebih tegas dan ditandai oleh area yang berwarna putih. Hasil ini memperlihatkan bahwa tekstur merupakan fitur penting dalam mendeteksi kebocoran.

7

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa sistem hasil pengolahan Automated Fluorescence memberikan citra – citra retina yang bisa membantu dokter untuk diagnosa kebocoran area makula pada penyakit diabetik retinopati tanpa harus menginjeksikan zat kontras kepada pasien. Selain itu, algoritma sistem bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan sistem terdahulu pada sisi kejelasan percabangan pembuluh darah dari besar sampai kecil, serta kesesuaian batas area sumber kebocoran dan edema dengan citra referensi. Metoda pengolahan dengan wavelet Gabor 2-D dalam sistem ini bisa menghasilkan struktur pembuluh darah yang detail dan jelas pada citra retina berpenyakit. Kelebihan penggunaan wavelet Gabor 2-D adalah lebih sensitif dalam mendeteksi pembuluh darah kecil dibandingkan metoda sebelumnya (matched filter) dan bisa membantu memperoleh informasi mengenai tekstur area kebocoran pembuluh darah pada citra retina. Pengolahan wavelet Gabor 2-D merupakan proses yang paling lama sehingga diperlukan optimasi algoritma agar proses bisa dikomputasi lebih cepat. Citra keluaran memberikan batas area kebocoran pembuluh darah yang tegas di daerah makula pada lapisan luar retina. Namun, belum bisa membedakan antara lokasi sumber kebocoran dan area edema-nya sehingga diperlukan pengembangan sistem lebih lanjut yang bisa membedakan antara sumber kebocoran dan edema, serta menganalisa luas area edema secara akurat.

Sistem ini sudah dapat dijalankan dalam bentuk aplikasi di komputer (GUI) yang bisa digunakan langsung oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Jain K. Anil, Fundamentals of Digital Image Processing, Prentice Hall, Singapore, 1989.

[2] Gonzalez C. Rafael dan Richard E. Woods, Digital Image Processing, Prentice Hall, New Jersey,2002.

[3] S. Fadlisyah, Computer Vision dan Pengolahan Citra, Penerbit ANDI, Yogyakarta, 2007.

[4] Sid-Ahmed, A. A, Image Processing, Theory, Algorithms, &. Architectures, McGraw-Hill, 1995.

[5] B. James, C. Chew, dan A. Bron, Lecture Notes : Oftamologi, Erlangga Medical Series, Jakarta, 2006.

[6] D.G. Vaughan. T. Asbury, dan P. Riordan – Eva, Oftamologi Umum, Penerbit Widya Medika, Jakarta, 1996.

[7] Kulkarni D. Arun, Artificial Neural Network for Image Understanding, VNR Computer Library, New York, 1994.

[8] S. Kusumadewi, Mengembangkan Jaringan Saraf Tiruan Menggunakan MATLAB dan Excel Link, Penerbit Graha Ilmu, 2004.

[9] A. Hermawan, Jaringan Saraf Tiruan : Teori dan Aplikasi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006.

[10] S.E. Mulyana, Pengolahan Digital Image dengan Photoshop CS2, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005.

[11] D. Puspitaningrum, Pengantar Jaringan Saraf Tiruan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2006.

[12] H. Nugroho, Laporan Tugas Akhir: “Ekstraksi Citra Fundus Untuk Membantu Mendiagnosa Penyakit Diabetic Retinopathy,” Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2005.

[13] R.A. Simandjuntak. Laporan Tugas Akhir: “Segmentasi Mikroaneurisma dari Citra Retina Digital untuk Membantu Diagnosis Awal Retinopati Diabetes”. Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2005.

[14] M. Yaphary, Laporan Tugas Akhir: “Autofluorescence Angiography Sebagai Sistem Bantu Diagnosis Kebocoran Pembuluh Darah Tahap Awal pada Citra Retina Menggunakan Algoritma Matched Filter dan Jaringan Saraf Tiruan ”. Institut Teknologi Bandung, Bandung, 2007.

[15] S. Mallat, “A Theory for Multiresolution Signal Decomposition : The Wavelet Representation,” IEEE Transaction., PAMI-11 : 674 – 693, 1989.

[16] Jo˜ao V. B. Soares, Jorge J. G. Leandro, Roberto M. Cesar-Jr., “Retinal Vessel Segmentation Using the 2-D Gabor Wavelet and Supervised Classification,” IEEE Transaction on Medical Imaging, vol. 25, September, 2006.

[17] Qin Li, Jane You, Lei Zhang, and David Zhang, “A New Approach to Automated Retinal Vessel Segmentation Using Multiscale Analysis ,” The 18th International Conference on Pattern Recognition (ICPR'06), 2006.

[18] R.M Rangayyan, F. Olomi, dan F.J. Ayres, “Detection of Blood Vessels in the Retina Using Gabor Filters,” Canadian Conference on Electrical and Computer Engineering (CCECE 2007),vol.22, pp.717 – 720, April 2007.

[19] P. Bhattacharya, Qin Li dan Lei Zhang. “Automated Retinal Vessel Segmentation Using Multiscale Analysis and Adaptive Thresholding,” IEEE Southwest Symposium on Image Analysis and Interpretation, pp.139 – 143, 2006.

[20] A. Osareh, Automated Identification of Diabetic Retinal Exudates and the Optic Disc, University of Bristol, Januari 2004.