atrial fibrilasi subklinis dan risiko stroke

Upload: irine-puspita-sasmitaningsih

Post on 18-Jul-2015

327 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Atrial Fibrilasi Subklinis dan Risiko StrokeJeff S. Healey, M.D., Stuart J. Connolly, M.D., Michael R. Gold, M.D., Carsten W. Israel, M.D., Isabelle C. Van Gelder, M.D., Alessandro Capucci, M.D., C.P. Lau, M.D., Eric Fain, M.D., Sean Yang, M.Sc., Christophe Bailleul, M.D., Carlos A. Morillo, M.D., Mark Carlson, M.D., Ellison Themeles, M.Sc., Elizabeth S. Kaufman, M.D.,and Stefan H. Hohnloser, M.D., for the ASSERT Investigators*

ABSTRAK Latar Belakang Seperempat kejadian stroke tidak diketahui penyebabnya, atrial fibrilasi subklinis mungkin menjadi penyebab yang umum ditemukan. Alat pacu jantung dapat mendeteksi episode subklinis dari peningkatan denyut atrium, dimana hal tersebut berhubungan dengan gambaran atrial fibrilasi pada electrokardiogram. Kami menilai apakah episode subklinis dari peningkatan denyut atrium yang terdeteksi dari alat implant berhubungan dengan meningkatnya risiko stroke iskemik pada pasien yang tidak memiliki riwayat atrial fibrilasi.

Metode Kami melibatkan 2580 pasien dengan karakteristik usia 65 tahun atau lebih, menderita hipertensi, tidak memiliki riwayat atrial fibrilasi, dan menggunakan alat pacu jantung atau defibrilator. Kami melakukan pengawasan selama 3 bulan untuk mendeteksi adanya atrial takiaritmia subklinis (denyutan atrium > 190 kali per menit selama lebih dari 6 menit) dan memantau mereka dalam jangka waktu 2,5 tahun untuk mengetahui adanya stroke iskemik atau emboli sistemik. Pasien dengan alat pacu jantung dipilih secara acak, beberapa dari mereka akan mendapatkan continous atrial overdrive pacing .

Hasil Setelah 3 bulan, terdapat 261 pasien (10,1%) mengalami atrial takiaritmia subklinis yang terdeteksi pada alat implant. Atrial takiaritmia subklinis berhubungan dengan peningkatan risiko atrial fibrilasi (hazard ratio 5,56; confidence interval (CI) 3,78-8,17; p 6 menit, durasi > 6 jam, atau durasi >24

jam) memicu munculnya variabel waktu yang akan tetap positif selama periode evaluasi. Data yang diperoleh dengan sistem random dari continous atrial overdrive pacing dianalisis dengan metode Cox-Proportional-Hazard dan Log-Rank test.

HASIL Gambaran Pasien Selama periode Desember 2004 hingga September 2009, terdapat total 2451 pasien dengan pemasangan alat pacu jantung baru dan 29 pasien dengan pemasangan implant baru ICD, terkumpul dari 23 negara. Sejak waktu terkumpulnya pasien hingga 3 bulan pelaksanaan evaluasi, setidaknya satu kejadian atrial takiaritmia terdeteksi oleh alat

implant pada 261 pasien (10,1%). Dalam waktu yang sama, atrial takiaritmia secara klinis terjadi pada 7 pasien. Diantara seluruh pasien yang mengalami periode subklinis atrial takiarirmia setelah rentang 3 bulan pemasangan implant, rata-rata mengalami episode serangan sebanyak 2 kali (rentang 1-3 kali). Nilai median dari denyut atrium yaitu 480 kali per menit (rentang 366-549 kali per menit), dan nilai median untuk waktu terjadinya serangan pertama adalah 35 hari (rentang 11-66 hari ). Sebelum waktu 3 bulan, persentase usia pasien dan riwayat terjadinya stroke hampir sebanding diantara kelompok yang mengalami atrial takiaritmia subklinis dan yang tidak megalami atrial takiaritmia subklinis (Lihat Tabel 1). Dibandingkan dengan kelompok yang tidak mengalami atrial takiaritmia subklinis, prevalensi gangguan sinus nodal meningkat dan kejadian henti jantung menurun pada pasien-pasien yang mengalami atrial takiaritmia subklinis. Persentase perbandingan penggunaan aspirin yaitu 61,3% : 61,7 % diantara kedua kelompok tersebut dan tidak ada diantaranya yang mengonsumsi antagonis vitamin K.

Atrial Takiaritmia Selama Masa Pengawasan Pasien masih akan mendapatkan pengawasan selama kurang lebih 2,5 tahun namun terdapat 14 pasien yang gagal mendapat pengawasan. Selama masa tersebut, 194 pasien

mendapatkan antagonis vitamin K, termasuk 47 pasien (18%) yang mengalami atrial takiaritmia subklinis dalam 3 bulan pertama. Selama masa pengawasan, terjadi penambahan kejadian atrial takiaritmia subklinis pada 633 pasien (24,5%). Sebelum pemeriksaan dibulan ketiga, sebanyak 41 dari 261 pasien (15,7%) yang mengalami atrial takiaritmia subklinis memperlihatkan gambaran atrial takiaritmia di electrocardiogram. Dan gambaran tersebut juga ditemukan pada 71 dari 2319 pasien (3,1%) yang tidak mengalami atrial takiaritmia subklinis (hazard ratio 5,56; 95% confidence interval (CI) 3,78 - 8,17; p 4, menghasilkan angka tahunan stroke iskemik atau emboli sistemik secara berurutan sebesar 1,20 (95% CI, 0,25 3,50), 2,15 (95% CI, 0,44 - 6.29), 1,89 (95% CI, 0,23 6,81), dan 1,93 (95% CI, 0,40 5,63). Risiko relatif terjadinya stroke iskemik atau emboli sistemik yang berkaitan dengan atrial takiaritmia subklinis secara konsisten meningkatkan risiko awal terjadinya stroke sebagaimana yang dapat ditentukan dengan skor CHADS2 (Lihat Tabel 3). Tingkat kejadian stroke meningkat seiring dengan meningkatnya skor CHADS2, hingga mencapai angka 3,78% per tahun pada pasien yang mengalami atrial takiaritmia subklinis dan memiliki skor CHADS2 lebih dari dua.

Evaluasi Random pada Penggunaan Continous Atrial Overdrive Pacing Kami juga secara acak memilih beberapa pasien dengan alat pacu jantung untuk mendapatkan continous atrial overdrive pacing dan sebagian lagi tidak. Karakteristik dasar dari kedua kelompok ini di sesuaikan agar serupa (Lihat Tabel 1). Angka kejadian atrial fibrilasi secara klinis tidak terlalu tinggi pada kedua kelompok ini. Tindakan pencegahan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan pada hasil ini ataupun lainnya. Pada sebuah analisis terhadap nilai prognostik atrial takiaritmia subklinis dengan pasien

distratifikasikan berdasarkan kelompok penelitian acak (continous atrial overdrive pacing versus tanpa continous atrial overdrive pacing), uji interaksinya tidak signifikan (P=0,995). Sebuah tabel yang menunjukkan kejadian merugikan yang muncul selama bagian acak pada percobaan tersebut diberikan pada Lampiran Tambahan.

Tabel 1. Karakteristik Pasien. 1. Nilai plus-minus berarti SD. Karakteristik dasar pasien ditunjukkan berdasarkan apakah atrial takiaritmia subklinis terdeteksi atau tidak terdeteksi antara waktu pendaftaran hingga 3 bulan dan berdasarkan apakah pasien yang ditugaskan secara acak setelah tiga bulan kunjungan tersebut untuk menyalakan atau mematikan pacu continous atrial overdrive pacing. Seluruh pasien memiliki riwayat hipertensi yang membutuhkan pengobatan, dan tidak ada pasien yang mendapatkan terapi antagonis vitamin K. ECG menunjukkan elektrokardiogram dan ICD menunjukkan implantable cardioverter-defibrillator. 2. Hanya pasien yang menerima alat pacu jantung yang didaftarkan pada bagian percobaan tersebut di mana pasien secara acak ditugaskan menyalakan atau mematikan pacu continous atrial overdrive pacing setelah 3 bulan kunjungan tersebut. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut pada karakteristik dasar yang ditunjukkan (P>0,05 pada seluruh perbandingan). 3. Indeks massa tubuh merupakan berat dalam kilogram yang dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter. 4. Skor CHAD2 digunakan untuk memperkirakan risiko stroke pada pasien dengan fibrilasi atrial. Cakupan skor dari 0 hingga 6, dengan skor yang lebih tinggi menunjukkan risiko stroke yang lebih besar; kategori gagal jantung kongestif, hipertensi, diabetes dan usia 75 tahun atau lebih masing-masing diberikan 1 poin, dan kategori stroke terdahulu atau serangan iskemik ringan (TIA) diberi 2 poin.

Tabel 2. Keluaran Klinis yang Terjadi Setelah 3 Bulan Kunjungan, Berdasarkan Apakah Terdeteksi atau Tidak Terdeteksinya Atrial Takiaritmia Subklinis antara Waktu Pendaftaran hingga 3 Bulan Kunjungan.

Lima kasus menjelaskan stroke dengan penyebab yang tidak ditentukan (iskemik atau hemoragik) telah diikutsertakan. Seluruh lima kasus tersebut terjadi pada kelompok pasien yang tidak memiliki episode atrial takiaritmia subklinis antara waktu pendaftaran hingga 6 bulan.

DISKUSI Temuan utama pada penelitian ini adalah bahwa di antara pasien berusia 65 tahun atau lebih dengan riwayat hipertensi yang memiliki implantasi alat pacu jantung atau ICD dan bebas dari fibrilasi atrial klinis, memiliki insiden takiaritmia subklinis yang besar. Atrial takiaritmia subklinis dideteksi pada sepersepuluh pasien dalam 3 bulan setelah implantasi dan dideteksi paling sedikit satu kali selama rata-rata 2,5 tahun pengawasan pada 34,7% pasien. Episode atrial takiaritmia subklinis hampir terjadi delapan kali sama seperti episode fibrilasi atrial klinis. Selama masa penelitian, fibrilasi atrial klinis berkembang hanya pada 15,7% pasien dengan atrial takiaritmia subklinis, yang menandakan bahwa terdapat kelambatan antara kejadian subklinis dengan deteksi klinis. Waktu median untuk mendeteksi adalah selama 36 hari, dengan merata-ratakan waktu monitoring alat secara kontinu, pada saat terjadinya atrial takiaritmia subklinis selama 3 bulan pertama, mengindikasikan bahwa monitoring Holter dapat gagal mendeteksi fibrilasi atrial subklinis bahkan untuk beberapa hari. Temuan utama kedua pada penelitian tersebut menyebutkan bahwa atrial takiaritmia subklinis berhubungan secara independen dengan peningkatan faktor 2,5 pada risiko stroke iskmeik atau emboli sistemik dan risiko ini independen terhadap faktor stroke lainnya dan pada kejadian fibrilasi atrial klinis. Populasi dengan risiko stroke iskemik atau emboli sistemik yang berhubungan dengan atrial takiaritmia subklinis sebelum 3 bulan sebesar 13%, yang serupa dengan risiko stroke yang berhubungan dengan fibrilasi atrial klinis yang dilaporkan oleh peneliti Framingham. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa risiko stroke lebih tinggi saat episode atrial takiaritmia subklinis berlangsung lebih lama, namun penelitian tersebut tidak dapat menguatkankan analisis ini. Penelitian kami juga menganalisi kejadian yang berlangsung 6 menit atau kurang, yang sering terjadi dan yang mungkin penting secara klinis.

Gambar 1. Risiko Atrial takiaritmia Klinis dan Stroke Iskemik atau Emboli Sistemik, Berdasarkan pada Ada atau Tidaknya Atrial takiaritmia Subklinis. Panel A menunjukkan risiko atrial takiaritmia klinis yang terdeteksi dengan elektrokardiografi setelah 3 bulan kunjungan, berdasarkan apakah terdeteksi atau tidak terdeteksinya atrial takiaritmia subklinis antara waktu pendaftaran hingga 3 bulan kunjungan. Inset menunjukkan data yang sama pada axis y yang diperbesar.

Risiko stroke dengan atrial takiaritmia yang terdeteksi alat dimodulasi dengan profil risiko pasien terhadap stroke. Saat seorang pasien memiliki skor CHADS2 lebih tinggi dari 2, risiko stroke isemik atau emboli sistemik yang dihubungkan dengan takiaritnia atrial subklinis mendekati angka 4% per tahun. Lebih dari setengah pasien awalnya menerima aspirin, dan 18% pasien dengan atrial takiaritmia subklinis menerika antagonis vitamin K selama masa pengawasan. Kedua terapi tersebut dapat menurunkan risiko stroke dan mungkin mengurangi peningkatan risiko stroke yang berhubungan dengan atrial takiaritmia subklinis. Keuntungan bersih pada terapi antitrombotik ditunjukkan dengan baik pada pasien dengan fibrilasi atrial klinis, namun mungkin tidak ditemukan keuntungan serupa pada pasien dengan atrial takiaritmia subklinis; oleh karena itu, diperlukan percobaan acak pada terapi antikoagulan pada pasien dengan atrial takiaritmia subklinis.

Tabel 3. Risiko Stroke Iskemik atau Emboli Sistemik setelah 3 Bulan Kunjungan, Berdasarkan Apakah Terdeteksi atau Tidak Terdeteksinya Atrial takiaritmia Subklinis antara Waktu Pendaftaran hingga 3 Bulan Kunjungan. Kecenderungan nilai P adalah 0,35.

Dua penelitian sebelumnya melaporkan sebuah peningkatan risiko kejadian klinis dengan atrial takiaritmia yang terdeteksi alat, namun keduanya tidak mengekslusi pasien yang pernah terdiagnosis fibrilasi atrial, dan juga tidak menentukan episode dari atrial takiaritmia tersebut. Analisis retrospektif pada subgroup dengan 312 pasien dari Mode Selection Trial (MOST; ClinicalTrials.gov number, NCT00000561) menunjukkan bahwa

risiko kematian atau stroke meningkat dengan faktor 2,5 pada pasien dengan minimal satu episode angka atrial yang tinggi. Glotzer et al. juga melaporkan hubungan antara takikardia atrial yang terdeteksi alat dengan kejadian embolik. Akan tetapi, penelitian tersebut juga mengikutsertakan pasien yang sebelumnya pernah tercatat mengalami fibrilasi atrial dan tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pada analisis primer sebelumnya. Prevalensi atrial takiaritmia subklinis mungkin lebih tinggi pada pasien dengan alat pacu jantung dibandingkan dengan kelompok pasien dengan risiko tinggi lainnya. Disfungsi sinus-node berhubungan dengan peningkatan risiko fibrilasi atrial. Selanjutnya, pasien dengan penyakit atrioventrikuler-node lebih mungkin asimtomatis saat terjadi atrial takiaritmia, yang menunjukkan penurunan konduksi atrioventrikuler. Meskipun demikian, prevalensi fibrilasi atrial subklinis pada populasi yang lebih tua mungkin tinggi. Pada penelitian kesehatan kardiovaskuler yang mengikutsertakan orang-orang usia 65 tahun atau lebih secara acak, fibrilasi atrial didiagnosis dengan elektrokardiografi pada 2% pasien; 14% di antaranya tidak memiliki diagnosis fibrilasi atrial sebelumnya. Hubungan antara penyebab stroke yang belum diketahui, sering disebut dengan stroke kriptogenik, dan fibrilasi atrial subklinis telah lama diperkirakan. Penelitian dengan monitoring jangka pendek menunjukkan bahwa fibrilasi atrial subklinis sering muncul pada pasien dengan stroke kriptogenik, namun pada monitoring jangka panjang, yang disertai dengan alat pacu jantung, saat ini tidak mudah dilaksanakan. Data dari penelitian terbaru mendukung konsep bahwa terdapat hubungan antara fibrilasi atrial subklinis dengan stroke kriptogenik. Hasil dari penelitian ini tidak menunjukkan keuntungan dari continous atrial overdrive pacing. Akan tetapi, karena angka perkembangan fibrilasi atrial klinis yang rendah, penelitian ini tidak sanggup mendukung hasil tersebut. Algoritme untuk continous atrial overdrive pacing telah dievaluasi pada percobaan sebelumnya, namun hampir seluruh percobaan tersebut hanya memiliki jumlah sampel yang sedikit, dan terdapat banyak perbedaan dalam karakteristik populasi paien, penggunaan algoritme pacu dan posisi sadapan atrial. Percobaan-percobaan tersebut tidak memberikan bukti manfaat yang

meyakinkan. Data saat ini memberikan bukti yang kurang kuat bahwa intervensi ini tidak mencegah fibrilasi atrial klinis.

Tabel 4. Efek Continous Atrial Overdrive Pacing pada Keluaran Klinis. Angka tahunan merupakan angka per 100 pasien yang di-followup bertahun-tahun. Atrial takiaritmia simtomatik dan asimtomatik (denyut atrial > 190 kali per menit) yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tercatat dengan EKG, merupakan keluaran primer secara acak dari percobaan continous atrial overdrive pacing.

Kesimpulannya, atrial takiritmia subklinis sering muncul pada pasien dengan alat pacu jantung yang memiliki riwayat hipertensi namun tanpa diagnosis utama fibrilasi atrial klinis. Atrial takiaritmia subklinis sering mangawali kejadian fibrilasi atrial klinis. Pada pasien dengan alat pacu jantung tanpa fibrilasi atrial klinis, kejadian atrial takiaritmia subklinis dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke lanjutan yang signifikan.

Tabel 1

Tabel 2

Gambar 1

Tabel 3

Tabel 4