aspek-aspek hukum partisipasi masyarakat dalam …

13
Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 239 ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN DESA Kotan Y. Stefanus Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto, Penfui, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang ABSTRACT: Opportunities for community participation in the formation of Regional Regulations and Village Regulations have been opened and justified academically and juridically, but there are still a number of challenges that need serious attention. Therefore, in the use of the space for participa- tion, it is necessary to pay attention to First, each actor plays their role appropriately; Second, the principle of transparency; Third, respect the principle of the rule of law; Fourth, uphold the principles of honesty and political ethics; Fifth,serve the interests of the people; Sixth, Empowerment of the community, traditional institutions and community institutions as the power of democracy. In order to get the data, the type of research used is normative juridical research is the type of research that will be used and is accompanied by the use of a statutory approach (Statue approach) and a conceptual approach. This research is made based on methods by examining existing literature such as laws and regulations, books relating to the issue to be solved, as well as dictionaries and encyclopedias. Keywords: Community Participation, Regional Regulations, Village Regulations, openness, Democ- racy, the interests of the people. ABSTRAK: Peluang partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Desa telah terbuka dan mendapat justifikasi secara akademik dan yuridis, namun masih terbentang sederetan tantangan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Oleh karenanya, dalam penggunaan ruang partisipasi dimaksud perlu diperhatikan: pertama, setiap aktor menggulirkan perannya secara tepat, kedua, prinsip keterbukaan (trans- parancy). Ketiga, menghormati prinsip supremasi hukum; Keempat, menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan etika politik. Kelima, mengabdi kepada kepentingan rakyat; dan keenam, pemberdayaan masyarakat, lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan sebagai kekuatan demokrasi. Kata Kunci : Partisipasi Masyarakat, Peraturan Daerah, Peraturan Desa, keterbukaan, Dem- okrasi, kepentingan rakyat. PENDAHULUAN Peluang partisipasi masyarakat da- lam proses pembuatan Perda/Perdes tidak luput dari sederet tantangan yang harus mendapat perhatian khusus, yaitu: Perta- ma, berkembangnya sistem politik yang sentralistik dan cenderung otoriter selama lebih dari 32 tahun (orde baru), menye- babkan masyarakat selalu dicengkeram oleh kekuasaan dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri. Kondisi ini menyebabkan masyarakat masih terbelenggu dalam tradisi yang melembaga bahwa segala sesuatu yang dibuat pemerintah adalah yang terbaik. Kedua, perubahan politik akibat re- formasi telah melahirkan suasana kebe- basan, namun tidak diletakkan dalam da- lam bingkai kehidupan berdemokrasi dan berkonstitusi yang baik. Ketiga, kapabili- tas anggota DPRD hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 masih diragukan sebagai pembaharu masyarakat, karena sejumlah anggota DPRD kebetulan beruntung aki-

Upload: others

Post on 15-Jan-2022

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 239

ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

DAN PERATURAN DESA

Kotan Y. Stefanus Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana,

Jl. Adisucipto, Penfui, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang

ABSTRACT: Opportunities for community participation in the formation of Regional Regulations

and Village Regulations have been opened and justified academically and juridically, but there are

still a number of challenges that need serious attention. Therefore, in the use of the space for participa-

tion, it is necessary to pay attention to First, each actor plays their role appropriately; Second, the

principle of transparency; Third, respect the principle of the rule of law; Fourth, uphold the principles

of honesty and political ethics; Fifth,serve the interests of the people; Sixth, Empowerment of the

community, traditional institutions and community institutions as the power of democracy. In order

to get the data, the type of research used is normative juridical research is the type of research that

will be used and is accompanied by the use of a statutory approach (Statue approach) and a conceptual

approach. This research is made based on methods by examining existing literature such as laws and

regulations, books relating to the issue to be solved, as well as dictionaries and encyclopedias.

Keywords: Community Participation, Regional Regulations, Village Regulations, openness, Democ-

racy, the interests of the people.

ABSTRAK: Peluang partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan Daerah dan Peraturan Desa telah terbuka dan mendapat justifikasi secara akademik dan yuridis, namun masih terbentang sederetan tantangan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Oleh karenanya, dalam penggunaan ruang partisipasi dimaksud perlu diperhatikan: pertama, setiap aktor menggulirkan perannya secara tepat, kedua, prinsip keterbukaan (trans-parancy). Ketiga, menghormati prinsip supremasi hukum; Keempat, menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan etika politik. Kelima, mengabdi kepada kepentingan rakyat; dan keenam, pemberdayaan masyarakat, lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan sebagai kekuatan demokrasi.

Kata Kunci : Partisipasi Masyarakat, Peraturan Daerah, Peraturan Desa, keterbukaan, Dem-

okrasi, kepentingan rakyat.

PENDAHULUAN

Peluang partisipasi masyarakat da-

lam proses pembuatan Perda/Perdes tidak

luput dari sederet tantangan yang harus

mendapat perhatian khusus, yaitu: Perta-

ma, berkembangnya sistem politik yang

sentralistik dan cenderung otoriter selama

lebih dari 32 tahun (orde baru), menye-

babkan masyarakat selalu dicengkeram

oleh kekuasaan dan tidak memiliki ruang

yang cukup untuk mengekspresikan diri.

Kondisi ini menyebabkan masyarakat

masih terbelenggu dalam tradisi yang

melembaga bahwa segala sesuatu yang

dibuat pemerintah adalah yang terbaik.

Kedua, perubahan politik akibat re-

formasi telah melahirkan suasana kebe-

basan, namun tidak diletakkan dalam da-

lam bingkai kehidupan berdemokrasi dan

berkonstitusi yang baik. Ketiga, kapabili-

tas anggota DPRD hasil Pemilihan Umum

(Pemilu) 2004 masih diragukan sebagai

pembaharu masyarakat, karena sejumlah

anggota DPRD kebetulan beruntung aki-

Page 2: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

240 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

bat kelemahan sistem Pemilu. Ada yang

beruntung karena nomor urut yang diten-

tukan Partai Politik (sebut saja “anggota

Dewan Perwakilan Partai Politik”), ada

yang berutung karena banyak dukungan

anggota keluarga & kerabat (sebut saja

“anggota Dewan Perwakilan Keluarga),

dan ada yang beruntung karena banyak

uang (sebut saja anggota “Dewan Per-

wakilan Uang). Demikian pula kapabili-

tas legislatif desa dalam menghadapi

tuntutan tugas yang bernuasa demokratis

dan membutuhkan pelayanan yang lebih

berkualitas.

Keempat, mentalitas aparatur peme-

rintahan daerahbelum sepenuhnya men-

cerminkan cita-cita demokrasi dan pe-

layanan. Mentalitas aparatur pemerintah

daerah yang cenderung berkarya ber-

dasarkan rutinitas (tidak kritis dan kreatif)

dan berhamba pada kekuasaan (jab-

atan/kursi), sedangkan kepentingan rak-

yat belum menjadi prioritas kepedulian-

nya. Yang menonjol adalah budaya kerja

mencari peluang untuk berKolusi, Korup-

si dan Nepotisme (KKN).

Deretan tantangan tersebut telah

membelenggu partisipasi masyarakat da-

lam penyusunan Peraturan Daerah (Per-

da) dan Peraturan Desa (Perdes) di NTT,

sehingga realitas partisipasi masyarakat

dalam penyusunan Peraturan Daerah dan

Peraturan Desa masih sangat mempri-

hatinkan. Beberapa indikasi dapat dike-

mukakan sebagai berikut:

1. Selama masa jabatan DPRD NTT

Periode 1999 tercatat 59 Perda yang

dihasilkan, namun hanya sekali DPRD

menggelar public hearing, yaitu berk-

enan dengan tuntutan masyarakat

untuk membatalkan rencana DPRD

menaikan gajinya. Public hearing ter-

sebut sekedar mengklarifikasi dan

memperkuat argumentasi untuk me-

naikan gaji pimpinan dan anggota

DPRD. DPRD Periode 2004 juga

barusan sekali menggelar public hea-

ring, yaitu diselenggarakan Fraksi Ga-

bungan Persatuan. Fraksi ini me-

nyelenggarakan public hearing terha-

dap nota kesepakatan Gubernur NTT

dan Ketua DPRD NTT tentang AKU

APBD 2005, yang telah disahkan.

Rupanya setelah fraksi tersebut gagal

memperjuangkan perubahan AKU

APBD 2005, mereka menggelar Public

Hearing sekedar menyatakan kepada

public bahwa mereka telah berjuang

maksimal, namun secara politis mere-

ka kalah.

2. Dari 59 Perda yang ditetapkan selama

5 tahun yang lalu, semuanya berasal

dari inisiatif eksekutif. Tidak satu pun

di antaranya pernah melibatkan ma-

syarakat dalam bentuk public hearing

atau metode lainnya. Terkesan bahwa

eksekutif sangat percaya diri karena

lebih banyak draft Perda itu berasal

dari foto copy Perda Propinsi lain dan

partaisipasi masyarakat sangat diabai-

kan.

3. Fenomena penyusunan Perda Propinsi

NTT tersebut juga dialami hampir

semua Kabupaten/Kota di NTT, ke-

cuali beberapa Perda yang dihasilkan

Kabupaten Alor. Di Kabupaten Alor

telah dikembangkan Perda partisipatif

dengan dukungan dan bimbingan

GTZ, sehingga mulai dari tahap pe-

rancangan samapai dengan pemba-

hasannya melibatkan segenap kom-

ponen masyarakat. Di Kabupaten

Kupang, “YAPPRITA” sedang mem-

proses sebuah draft Perda tentang

Perlindungan dan Pelayanan Publik

Terhadap Perempuan, “SANLIMA”

juga sedang memproses penyusunan

beberapa Perda menyangkut Desa dan

Kecamatan. Kedua lembaga tersebut

mengisiatif penyusunan draft Perda

Kabupaten Kupang telah melibatkan

segenap komponen masyarakat dan

pihak Pemerintah Kabupaten Kupang.

Page 3: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 241

4. Menyangkut Peraturan Desa yang

dibuat dengan pendekatan partisipatif

terlihat masih jauh dari harapan ka-

rena keterbatasan kemampuan aparat

Pemerintah Desa dan legislatif desa,

termasuk juga warga desa itu sendiri.

Ada beberapa LSM di NTT berusaha

mendampingi Desa dengan pelatihan

penguatan kompetensi legislative

drafting dan budgeting drafting bagi

Pemerintah Desa, serta membimbing

penyusunan Peraturan Desa yang

partisipatif. Upaya ini cukup mak-

simal dilakukan, namun selepas

intervensi LSM, raib pula segenap

pengalaman dan ketrampilan yang

telah dibekali.

Fenomena yang digambarkan di

atas memperlihatkan bahwa tingkat par-

tisipasi masyarakat dalam pembuatan

kebijakan publik, khususnya pemben-

tukan peraturan daerah dan peraturan

desa masih rendah (baik pada tahap

pembentukan maupun pada tahap pene-

rapan), sehingga hampir semua peraturan

daerah dan peraturan desa yang di-

hasilkan kurang berpihak pada kepen-

tingan rakyat. Hal inilah yang mendorong

perlu dilakukam pengkajian ini.

Hal-hal yang menjadi perhatian

dalam tulisan ini adalah: (1) Bagai-

manakah bentuk dan proses partisipasi

masyarakat dalam pembuatan kebijakan

publik di NTT?; (2) Bagaimanakah kua-

litas kebijakan publik di NTT?; (3) Apa

sajakah peluang dan tantangan pengem-

bangan partisipasi masyarakat dalam

pembentukan kebi-jakan publik di NTT?

Dalam mengkaji permasalahan yang

dirumuskan di atas, digunakan metode

pendekatan sosio-juridis, yaitu mencer-

mati realitas hukum yang berkaitan

dengan pembentukan peraturan per-

undang-undangan dalam konteks sosial.

Pencermatan ini dengan mengevaluasi

partisipasi masyarakat dalam pemben-

tukan peraturan daeerah dan peraturan

desa di NTT. Selain itu, digunakan juga

pendekatan yuridis normatif untuk

memahami pengaturan tentang partisipasi

masyarakat dalam pembentukan pera-

turan perundang-undangan di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk tipe

penelitian yuridis normatif yang lebih

mengedepankan norma-norma hukum

yang berkaiatan dengan partisipasi

masyarakat dalam pembuatan pera-

turan daerah atau perturann desa.

Secara lebih spesifik kajian yuridis

normatif ini akan difokuskan pada

kajian perda kabupaten Alor yang

disusun dengan melibatkan partisipasi

masyarakat, semenetara lainnya tidak

menunjukkan partisipasi masyarat

yang seharusnya demikian. Tipe ka-

jian yuridis normatif ini akan

mengoptimalkan pendekatan pende-

katan perundang-undangan (Statue

approach) dan pendekatan konsep (con-

ceptual approach).

Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini berupa bahan-bahan

hukum, antara lain peraturan perun-

dang-undangan, buku buku yang

berkenaan dengan isu yang akan

dipecahkan, serta kamus dan ensiklo-

pedi.1 Data penelitian yang berhasil

dikumpulkan selanjutnya dianalisis

secara kualitattif untuk menjawab isu

hukum yang diangkat dalam peneli-

tian ini.

1Soekanto, S. dan Mamudji dalam I Dewa Gede

Arie Kusumaningrat, “Perlindungan Hukum Bagi

Kreditor Terhadap Hapusnya Hak Atas Tanah yang

Dibebani Hak Tanggungan”, Jurnal Hukum Keno-

tariatan, Vol. 4 No. 2, 2019, h. 255

Page 4: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

242 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

PEMBAHASAN

1. Partisipasi Masyarakat

Asal muasal kata partisipasi dari

wacana politik (konsep partisipasi

politik), berasal dari jaman emansipasi di

eropah pada abad ke-18 dan 19. Saat itu

terjadi gerakan politik untuk meminta

pembagian peran dalam kegiatan politik

dan ekonomi. Pada masa itu, kelompok

borjuis sebagai penggerak utama, telah

menggulingkan kekuasaan raja yang

totaliter dan menggantikannya dengan

suatu pemerintahan dengan prinsip liber-

te, egalite,and fraternite.2

Kategorisasi partisipasi yang dibuat

oleh Deshler dan Sock dalam Selener3

memperlihatkan bahwa secara garis besar

terdapat tiga tipe partisipasi, yaitu

partisipasi teknis (technical partisipation),

partisipasi semu (pseudo partisipation), dan

partisipasi politis atau partisipasi asli

(genuine partisipation). Partisipasi teknis

dan partisipasi politik kelihatannya sepa-

dan dengan dua tipe partisipasi yang

ditemukan dalam referensi lain, yaitu

partisipasi yang digunakan dalam pe-

ngembangan program dan partisipasi

yang diperluas (extended partisipation) un-

tuk partisipasi yang merambah ke dalam

isu demokratisasi.

Hans Antlov menganjurkan peng-

gunaan kembali istilah partisipasi warga

(citizen partisipation) yang meliputi par-

tisipasi sosial dan partisipasi politik

dalam arti luas. Partisipasi warga ini

diartikan sebagai keterlibatan warga

masyarakat dalam pemerintahan secara

penuh, termasuk dalam kegiatan-kegiatan

masyarakat, program-program pemba-

2Djohani, Rianingsih, 2003, Partisipasi, Pemberdayaan,

dan Demokratisasi Komunitas, Bandung: Studio Driya

Media Untuk Konsorsium Pengembangan

Masyarakat Nusa Tenggara. 3Selener, Daniel, 1997, Participation Action Research

and Social Change, The Cornell Participatory Action

Research Network, 1997, p. 24.

ngunan, dalam pengambilan keputusan

publik, pemilihan kepemimpinan (formal

dan informal), dsb yang merupakan

seluruh bagian dari kehidupan sebuah

masyarakat (komunitas).4

Konsepsi partisipasi mengacu pada

mekanisme melibatkan masyarakat dalam

proses politik dan pengorganisasian ma-

syarakat untuk meningkatkan pengawas-

an dan kontrol terhadap proses politik

dalam suatu sistem demokrasi. Itu berarti,

demokrasi sangat dipengaruhi tingkat

partisipasi masyarakat. Pelaksanaan parti-

sipasi merupakan perwujudan hak dasar

masyarakat, untuk terlibat langsung mau-

pun melalui perwakilannya dalam sebuah

proses politik. Di samping itu, dibutuh-

kan suatu ruang politik yang terbuka dan

terjamin keamanannya bagi seluruh ma-

syarakat untuk dapat me-ngembangkan

partisipasinya.

Sehubungan dengan paparan di

atas, Jimly Asshiddiqie menandaskan bah-

wa salah satu prinsip pokok sebagai pilar-

pilar utama yang menyangga Negara

Hukum adalah bersifat demokratis. Dia-

nut dan dipraktikkannya prinsip demo-

krasi atau kedaulaatan rakyat yang men-

jamin peran serta masyarakat dalam pro-

ses pengambilan keputusan kenegaraan,

sehingga setiap peraturan perundang-

undangan yang diterapkan dan dite-

gakkan mencerminkan rasa keadilan

masyarakat. Hukum dan peraturan pe-

rundang-undangan tidak boleh ditetap-

kan diterapkan secara sepihak oleh

dan/atau hanya untuk kepentingan pen-

guasa. Hal ini bertentangan dengan prin-

sip demokrasi.5

4Djohani, Rianingsih, Op Cit., hlm. 87. 5Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang-

Demokratis, PT. Buana Ilmu Populer, Kelompok

Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 111.Lihat juga Robert

A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Antara Otonomo

dan Kontrol, Terjemahan Sahat Simamora, Penerbit

CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.10. Proses demo-

krasi yang ideal akan memenuhi 5 (lima) kriteria,

Page 5: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 243

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa

demokrasi sebagai salah satu fenomena

negara modern telah berkembang dan

menjelma dalam berbagai negara. Me-

nurut Schwarzmantel, penjelmaan nilai-

nilai demokrasi dalam sistem peme-

rintahan negara teridentifikasi melalui

tiga idea, yaitu idea partisipasi, idea

pertanggungjawaban pemimpin kepada

rakyat (accountablity), dan idea persa-

maan.6

Atas dasar pemahaman tentang

demokrasi dan partisipasi tersebut, maka

tulisan ini merupakan salah satu bagian

dari partisipasi warga dan terkait erat

dengan partisipasi politik. Artinya par-

tispasi masyarakat dalam proses penyu-

sunan Peraturan Daerah dan Peraturan

Desa merupakan suatu prasyarat bagi

berkembang dan terjelmanya demokrasi.

Dengan perkataan lain, pengukuran

kualitas demokrasi di negeri ini terlihat

dari seberapa jauh partisipasi masyarakat

dalam proses pembuatan Peraturan Dae-

rah dan Peraturan Desa. Oleh karenanya,

diskusi ini sangat penting untuk merefl-

eksi partisipasi masyarakat, menelusuri

peluang dan tantangannya, serta mencari

solusi untuk mendorong partisipasi

masyarakat dalam proses pembentukan

Peraturan Daerah dan Peraturan Desa.

2. Peraturan Perundang-undangan yang

Baik

Dalam ilmu perundang-undangan,

dikenal tiga dasar agar hukum mempu-

nyai kekuatan berlaku secara baik yaitu

mempunyai dasar yuridis, sosiologis dan

filosofis. Ketiga dasar tersebut sangat

penting untuk mengukuhkan kaidah yang

yaitu 1. Persamaan Hak Politik. 2. Partisipasi Efek-

tif. 3. Pembeberan Kebenaran. 4. Kontrol Teraakhir

Terhadap Agenda. 5. Pencakupan. 6John Schwarzmantel, The State in Contemporary

Society: An Introduction, Harvester Wheatsheal,

London, 1994, p.33.

tercantum dalam peraturan perundangan

menjadi sah secara hukum (legal validity)

dan berlaku efektif karena dapat diterima

masyarakat secara wajar dan berlaku

untuk jangka waktu yang panjang.7

Menurut Bagir Manan,8 dasar yuris

dimaksud sangat penting dalam pembuat-

an peraturan perundang-undangan kare-

na akan menunjukkan:ertama, keharusan

adanya kewenangan dari pembuat pera-

turan perundang-undangan. Setiap pera-

turan perundang-undangan harus dibuat

oleh badan atau pejabat yang berwenang.

Kalau tidak, peraturan perundang-un-

dangan itu batal demi hukum (van

rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah

ada dan segala akibatnya batal secara

hukum. Misalnya, Peraturan Daerah di-

buat oleh DPRD dan Kepala Daerah.

Setiap Peraturan Daerah yang tidak

merupakan produk bersama DPRD dan

Kepala Daerah adalah batal demi hukum.

Kedua, keharusan adanya kese-

suaian bentuk atau jenis peraturan perun-

dang-undangan dengan materi yang dia-

tur, terutama kalau diperintahkan oleh

peraturan perundang-undangan tingkat

lebih tinggi atau sederajat. Ketidak-

sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan

untuk membatalkan peraturan perun-

dang-undangan tersebut. Misalnya, kalau

UUD 1945 atau undang Undang terda-

hulu menyatakan bahwa sesuatu diatur

dengan Undang Undang, maka hanya

dengan bentuk Undang Undang hal itu

diatur. Kalau hal tersebut diatur dengan

bentuk lain misalnya dengan Peraturan

Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut

dapat dibatalkan (vernietigbaar). Hal mana

sejalan dengan pendapat W. Zevenbergen

bahwa setiap kaidah hukum harus meme-

7Kelsen, Hans, General Theory of Law and State,

Russell and Ruseell, New York. 1961, P. 29. 8Bagir Manan, , 1992, Dasar-Dasar Perundang-

undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Jakarta,

hlm. 14-15.

Page 6: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

244 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

nuhi syarat-syarat pembentukannya ((op

de vereischte wijze is not stand gekomen).

Ketiga, keharusan mengikuti tata

cara tertentu. Apabila tata cara tersebut

tidak diikuti, peraturan perundang-un-

dangan mungkin batal demi hukum atau

tidak/belum mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Peraturan daerah dibuat oleh

DPRD dengan persetujuan Kepala Dae-

rah. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa

(mencantumkan) persetujuan Kepala Dae-

rah, maka batal demi hukum. Kalau

Peraturan Daerah disyaratkan untuk di-

muat dalam lembaran daerah sebagai

syarat mempunuyai kekuatan mengikat,

maka Peraturan Daerah tersebut hanya

mempunyai kekuatan mengikat kalau

telah dimuat dalam Lembaran Daerah.

Keempat, keharusan tidak berten-

tangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Suatu Undang Undang tidak boleh

mengandung kaidah yang bertentangan

dengan UUD. Begitu pula seterusnya

sampai pada peraturan perundang-

undangan yang tingkat lebih bawah.9

Dasar berlaku secara sosiologis

artinya mencerminkan kenyataan hidup

dalam masyarakat. Dalam suatu masya-

rakat industri, hukumnya harus sesuai

dengan kenyataan-kenyataan yang ada

dalam masyarakat industri tersebut.

Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan

atau tuntutan atau masalah-masalah yang

dihadapi seperti masalah perburuhan,

hubungan majikan dan buruh, dan

sebagainya. Dasar sosiologis ini diha-

rapkan peraturan peruu-an yang dibuat

akan diterima secara wajar bankan spon-

tan. Dengan itu suatu peraturan per-

undang-undangan mempunyai daya ber-

laku efektif dan tidak banyak memerlukan

pengerahan institusional untuk melaksa-

nakannya.

9Kelsen, Hans,Op Cit., p. 34.

Kenyataan yang hidup dalam ma-

syarakat termasuk pula kecenderungan

dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa

kedua faktor tersebut, peraturan perun-

dang-undangan hanya sekedar merekam

keadaan seketika (sekedar moment opn-

ame). Keadaan seperti ini akan menye-

babkan kelumpuhan peranan hukum.

Hukum akan tertinggal dari dinamika

masyarakat. Bahkan peraturan perun-

dang-undangan akan menjadi konservatif

karena seolah-olah mengukuhkan kenya-

taan yang ada. Hal ini bertentangan

dengan sisi lain dari peraturan perun-

dang-undangan yang diharapkan menga-

rahkan perkembangan

Bagaimanakah berlakunya pera-

turan perundang-undangan dengan dasar

filosofis? Setiap masyarakat selalu mem-

punyai “rechtsidee” yaitu apa yang mereka

harapkan dari hukum, misalnya untuk

menjamin keadilan, ketertiban, kese-

jahteraan, dan sebagainya. Rechtsidee atau

cita hukum tersebut tumbuh dari sistem

nilai mereka mengenai baik dan buruk,

pandangan mereka mengenai hubungan

individual dan kemasyarakatan, tentang

kebendaan, tentang kedudukan wanita,

tentang dunia gaib dan lain sebagainya.

Semuanya itu bersifat filosofis, artinya

menyangkut pandangan mengenai inti

atau hakekat sesuai.

Hukum diharapkan mencerminkan

sistem nilai tersebut baik sebagai sarana

yang melindungi nilai-nilai maupun

sebagai sarana mewujudkannya dalam

tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini

ada yang dibiarkan dalam masyarakat

sehingga setiap pembentukan hukum

atau peraturan perundang-undangan ha-

rus dapat menangkapnya setiap kali akan

membentuk hukum atau peraturan perun-

dang-undangan. Tetapi ada kalanya sis-

tem nilai tersebut telah terangkum secara

sistimatik dalam suatu rangkuman baik

berupa teori-teori filsafat maupun dalam

doktrin-doktrin filsafat resmi seperti Pan-

Page 7: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 245

casila. Dengan demikian, setiap pemben-

tukan hukum atau peraturan perundang-

undangan sudah semestinya memperha-

tikan sungguh-sungguh “rechtsidee” yang

terkandung dalam Pancasila.

Selain ketiga dasar tersebut, terka-

dang juga suatu peraturan peruu-an yang

telah memenuhi ketiga dasar tersebut

masih mengandung masalah, yaitu peru-

musan yang tidak jelas dan menimbulkan

makna yang ambiguitas atau rumusannya

dimaknakan dengan beragam penafsiran,

inkonsistensi penggunaan istilah, sistema-

tika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-

belit sehingga sulit dipahami, dan seba-

gainnya. Persoalan ini bekaitan dengan

teknik perancangan suatu peraturan per-

undang-undangan. Hal itu berarti bahwa

reknik perancangan peraturan perun-

dang-undangan juga menjadi faktor pen-

ting bagi berlakumya suatu peraturan

perundang-undangan.

Perancangan suatu peraturan per-

undang-undangan harus memperhatikan

secara cermat, kempat unsur (dasar yuri-

dis, sosiologis dan filosofis, dan teknik

perancangan) tersebut. Keempat unsur

tersebut terbagi dalam dua kelompok

utama dan sekaligus sebagai tahapan

perancangan peraturan perundang-un-

dangan, yaitu: (1) tahap penyusunan

Naskah Akademik; dan (2) tahap peran-

cangan, mencakup aspek-aspek prose-

dural dan kemahiran penulisan rancang-

an. Kedua hal tersebut akan dijelaskan

tersendiri agar dapat dipahami secara

baik.

Pelbagai ketidakadilan dan pende-

ritaan yang meliliti kehidupan masyarakat

NTT disebabkan juga oleh ulah penguasa.

Penguasa sering berdalil mengupayakan

kepentingan rakyat, padahal hanya ber-

juang demi kepentingan segelintir golong-

an atau kepentingan oknum tertentu.

Penguasa semacam ini pada akhirnya

membatasi dan melumpuhkan hak-hak

warga negaranya dengan melangkahi

hak-hak kemanusiaan.

Dengan praktek semacam itu, pen-

guasa telah memasuki lahan tidak terpuji

dan merusak martabatnya sendiri. Se-

bagai konsekuensinya, penguasa yang

menguasai sektor publik untuk men-

jelmakan kesejahteraan rakyat telah mela-

kukan pelanggaran HAM. Maksudnya,

ketika penguasa merencanakan dan mela-

ksanakan kebijakan publik yang mem-

batasi dan mengurangi rakyat untuk

menikmati hak-haknya dalam menyem-

purnakan martabat kemanusiaannya, ma-

ka kebijakan publik tersebut dapat dilihat

sebagai salah satu bentuk pelanggaran

HAM.

Sederetan pelanggaran HAM Di

NTT telah terjadi dalam sektor publik,

antara lain dalam bentuk penyalahgunaan

wewenang, tidak mentaati prosedur yang

telah ditetapkan dan juga materinya tidak

berpihak pada kepentingan rakyat. Sede-

retan kasus melanda NTT, antara lain

sejumlah anggota DPRD dan Pemerintah

Kabupaten/Kota telah melakukan pe-

nyimpangan APBD dengan menetap-kan

anggaran untuk anggota DPRD (sebut saja

dana purnabakti/operasional), kasus pem-

babatan kopi di Manggarai, pembe-lian

kapal cepat di Flores Timur, kasus proyek

rumpon, DPRD dan Pemerintah Daerah

NTT telah mengesahkan APBD yang

memuat anggaran pembuatan ru-mah

jabatan Gubernur NTT sebesar Rp. 13,8

miliar, sementara rakyat NTT terancam

kelaparan karena gagal panen dengan

kerugian Rp. 191 miliar,10 kenaikan BBM

yang berdampak harga barang mencekik

leher rakyat, , dan sebagainya.

Realitas kebijakan publik yang di-

gariskan dan diimplementasikan di NTT

menunjukkan HAM telah dikesamping-

kan bahkan terjadi pelecehan serius.

Implikasinya, posisi dan peran masya-

10Harian Pos Kupang, 15 Maret 2005.

Page 8: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

246 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

rakat yang lemah semakin tergusur pada

sudut yang sangat tidak berdaya. Adapun

indikasinya sebagai berikut : Pertama,

Struktur Pembuat Kebijakan Publik dan

Kapabalitas aparatur. Masalah tersebut

meliputi:

a) Struktur pembuat kebijakan publik

yang ada di lembaga legislatif mau-

pun di lembaga eksekutif didominasi

kaum laki-laki dan sebaliknya posisi

kaum perempuan lebih mendominasi

sektor domestik. Walaupun secara

kuantitatif, jumlah kaum perempuan

NTT (50,64%) lebih besar dari kaun

laki-laki, namun terdapat jurang dil-

ihat dari segi posisinya dalam struktur

pembuat kebijakan publik. Perbedaan

yang sangat menyolok terlihat dalam

jumlah kaum perempuan dalam

bidang politik, khususnya menempati

kursi-kursi legislatif tahun 1999. Hasil

Pemilu 2004 juga masih mempri-

hatinkan. Jumlah keterwakilan perem-

puan NTT dalam lembaga legislatif

berkisar antara 0 – 16%. Persentase

keterwakilan ini lebih kecil dari keter-

wakilan perempuan negara Republik

Demokratik Timor Leste dalam parl-

emen sebesar 27%. Demikian pula

posisi perempuan di tataran eksekutif

daerah. Hampir dapat dihitung de-

ngan jari tangan, perempuan yang

menempati posisi strategis dalam

pembuatan kebijakan publik dan im-

plementasinya. Ketimpangan serupa

nampak pada struktur pemerintah

Kabupaten/Kota dan lebih menyolok

lagi pada tingkat desa.

Lembaga-lembaga pemerintahan yang

dibentuk kurang mendukung meka-

nisme kerja yang profesional dan

rasional. Bahkan struktur yang ada

terkesan sangat besar dan cenderung

terjadi pemborosan dalam pembia-

yaan. Pemberdayaan kelembagaan

yang juga menjadi tuntutan reformasi

belum dilakukan secara mantap.

Kalau saja posisi perempuan yang

demikian ini menjadi peta kekuatan

dalam pembuatan kebijakan publik

dan implementasinya, maka tidak

heran perempuan memiliki posisi

tawar yang sangat lemah dalam

pembuatan dan implementasi kebi-

jakan publik.

b) Manajemen pemerintahan masih ber-

orientasi pada kebijakan dengan pen-

dekatan penganggaran tradisional

(traditional budget), sehingga menjadi

lahan subur KKN. Mestinya dikem-

bangkan “New Public Management”

dengan pendekatan penganggaran

berbasis kinerja (perfomance budget),

tuntutan untuk melakukan efisiensi,

pemangkasan biaya (cost cutting), dan

kompetisi tender (compulsory compe-

titive) tendering contract). Kalaupun

belakangan ini pendekatan baru ini

mulai dilakukan, namun sering ter-

bentur pada realitas kemampuan yang

terbatas dan pola kerja lama yang

telah membudaya di kalangan peme-

rintah.

c) Budaya kerja pemerintah masih ber-

sifat paternalistik (asal bapak senang)

dan patrimonial (hubungan brocker-

nasabah), sehingga menyuburkan la-

han KKN di lingkungan pemerintah.

d) Dalam Era otonomi daerah ini hampir

semua kewenangan pemerintah pusat

diserahkan kepada daerah disertai

pula dengan desentralisasi fiskal, na-

mun pemerintah daerah belum me-

nyiapkan diri secara baik memikul

tanggung jawab yang demikian besar

itu. Tradisi dan pengalaman bero-

tonomi daerah belum dimiliki peme-

rintah daerah dan masyarakatnya.

Kedua, Proses Pembuatan dan Pe-

laksanaan Kebijakan Publik yang meng-

halau partisipasi Menyangkut proses dan

prosedur pembuatan kebijakan publik

semestinya bertumpu pada tiga landasan

utama, yaitu selain asas negara hukum

Page 9: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 247

dan asas instrumental, asas demokrasi

juga merupakan asas yang mestinya

dihormati. Asas demokrasi dalam pro-

sedur berkenaan dengan keterbukaan

dalam perumusan kebijakan publik. Asas

ini mewajibkan pemerintah untuk secara

aktif memberikan informasi kepada

masyarakat tentang suatu permohonan

atau suatu rencana tindak pemerintahan

dan mewajibkan untuk memberikan

penjelasan kepada masyarakat akan hal

yang diminta. Keterbukaan pemerintahan

memungkinkan peranserta masyarakat

dalam pengambilan keputusan.

Dalam kenyataan kita menemukan

hampir semua kebijakan publik dibuat

tanpa melibatkan masyarakat. Rupanya

telah tertanam kuat dalam diri pembuat

kebijakan publik bahwa urusan ini me-

rupakan urusannya semata dan rakyat

hanya sekedar sebagai obyek. Kenda-

tipun kebijakan publik yang dibuat

tersebut tidak menyentuh bahkan melang-

kahi kepentingannya, segenap masyarakat

harus menerimanya sebagai sesuatu titah

yang imperatif. Selain itu, rendahnya

partisipasi masyarakat dalam sektor

publik, antara lain disebabkan terbatasnya

kemampuan untuk mengakses ke sektor

publik dan terkungkung dalam tradisi

lama yang memangkas inisiatif dan

kontrol publik.

Ketiga, Substansi Kebijakan Publik

yang tidak menampung kepentingan

rakyat. Sebagai akibat dari ketimpangan

dalam struktur dan proses pembuatan

kebijakan publik yang berperspektif gen-

der dan menghalau partisipasi rakyat,

maka tidak mustahil berbagai kebijakan

publik yang dirumuskan menampilkan

substansinya tidak berpihak pada kese-

taraan dan keadilan masyarakat. Pende-

katan pembangunan yang digulirkan

selama ini juga tidak memperhatikan

prinsip kesetaraan dan keadilan masya-

rakat, berakibat pada masyarakat tidak

mendapatkan cukup benefit (kemanfa-

atan) dan akses (kesempatan) untuk

menikmati hasil pembangunan.

Gambaran tersebut menunjukkan

cukup jelas bahwa perencanaan pem-

bangunan dan Anggaran Belanja Negara

serta Anggaran Belanja Daerah yang

sangat tidak sensitif terhadap masyarakat

terutama kelompok masyarakat miskin

dan tidak responsif gender, mengaki-

batkan martabat manusia semakin ter-

gusur dan tingkat kesejahteraan kaum

perempuan di seantero Nusantara sema-

kin memprihatinkan.

Indikasilainnya adalah sistem hu-

kum yang dirakit dalam era-era sebe-

lumnya berselubung dalam konfigurasi

politik yang non-demokratis, sehingga

hukum yang diproduk berkarakter

orthodoks/elitis. Kondisi ini ditandai juga

dengan pembentukan hukum tanpa

melewati proses partispatif, sehingga

tidak memihak pada kepentingan rakyat.

Urusan penyelenggaraan pemerintahan

lebih bernuansa formalistik dan kurang

menyentuh persoalan yang dihadapi

masyarakat.

3. Peluang dan proses partisipasi

Masyarakat

Partisipasi masyarakat dalam pem-

buatan peraturan perundang-undangan

merupakan keharusan, berdasarkan alas-

an-alasan sebagai berikut:

Pertama, dalam ilmu perundang-

undangan, dikenal tiga dasar agar hukum

mempunyai kekuatan berlaku secara baik

yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis

dan filosofis. Ketiga dasar tersebut sangat

penting untuk mengukuhkan kaidah yang

tercantum dalam peraturan perundangan

menjadi sah secara hukum (legal validity)

dan berlaku efektif karena dapat diterima

masyarakat secara wajar dan berlaku

untuk jangka waktu yang panjang.11

11Kelsen, Hans, Op Cit. p. 29.

Page 10: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

248 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

Dasar berlaku secara sosiologis ar-

tinya mencerminkan kenyataan hidup

dalam masyarakat. Dalam suatu masya-

rakat industri, hukumnya harus sesuai

dengan kenyataan-kenyataan yang ada

dalam masyarakat industri tersebut.

Kenyataan itu dapat berupa kebutuhan

atau tuntutan atau masalah-masalah yang

dihadapi seperti masalah perburuhan,

hubungan majikan dan buruh, dan seba-

gainya. Dasar sosiologis ini diharapkan

peraturan perundang-undangan yang

dibuat akan diterima secara wajar bankan

spontan. Dengan itu suatu peraturan

perundang-undangan mempunyai daya

berlaku efektif dan tidak banyak memer-

lukan pengerahan institusional untuk

melaksanakannya.

Kenyataan yang hidup dalam ma-

syarakat termasuk pula kecenderungan

dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa

kedua faktor tersebut, peraturan perun-

dang-undangan hanya sekedar merekam

keadaan seketika (sekedar moment op-

name). Keadaan seperti ini akan menye-

babkan kelumpuhan peranan hukum.

Hukum akan tertinggal dari dinamika

masyarakat. Bahkan peraturan perun-

dang-undangan akan menjadi konservatif

karena seolah-olah mengukuhkan kenya-

taan yang ada. Hal ini bertentangan de-

ngan sisi lain dari peraturan perundang-

undangan yang diharapkan mengarahkan

perkembangan masyarakat.

Atas dasar sosiologis tersebut, maka

proses pembuatan peraturan perundang-

undangan harus melibatkan masyarakat,

sehingga kecenderungan dam harapan-

harapan masyarakat dapat diproses dan

diakomodir dalam pereaturan perundang-

undangan yang dihasilkan.

Kedua, Dalam pemerintahan negara

demokrasi, partisipasi masyarakat meru-

pakan hal yang sangat esensial. Menurut

Schwarmantel,12 penjelmaan nilai-nilai

12John Schwarzmantel, Op Cit., p. 33.

demokrasi dalam sistem pemerintahan

negara teridentifikasi melalui tiga idea,

yaitu idea partisipasi, idea pertanggung-

jawaban pemimpin kepada rakyat (accoun-

tablity), dan idea persamaan.

Idea partisipasi mengandung pe-

ngertian rakyat ikut serta dalam proses

pengambilan keputusan dalam bidang

politik dan pemerintahan baik lewat

perwakilan maupun secara langsung

dengan pernyataan pendapat baik secara

lisan maupun tertulis. Hak untuk ber-

partisipasi itu harus dilindungi oleh

peraturan perundang-undangan.

Dalam sistem hukum Indonesia,

partisipasi masyarakat dalam penye-

lenggaraan pemerintahan, termasuk da-

lam pembuatan peraturan perundang-

undangan telah mendapatkan landasan

yuridis dengan ditetapkannya Peraturan

Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta

Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Ne-

gara dan Undang Undang nomor 10

Tahun 2004 Tentang Pembentukan Pera-

turan Perundang-undangan.

Ketiga, Seidman, dkk13 mengung-

kapkan bahwa salah satu penyebab

terbentuknya pemerintahan yang tidak

bersih dan kegagalan pembangunan

adalah sistem hukum. Oleh karenanya,

dikembangkan penyusunan rancangan

peraturan perundang-undangan dalam

perubahan masyarakat yang demokratis.

Itu berarti, perilaku menyimpang yang

terjadi dalam masyarakat dapat diatasi

dengan melibatkan masyarakat dalam

proses pembuatan peraturan perundang-

undangan.

13Ann seidmann, dkk., Penyusunan Rancangan UU

Dalam Perubahan masyarakat Yang Demokratis:

Sebuah Panduan Untuk Rancangan UU,

Terjemahan Johannes Usfuman, dkk., p. 7-19.

Lihat Juga Rival Gulam Ahmad, dkk., Menual Pe-rancangan Peraturan Untuk Transformasi soasial;

Page 11: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 249

Bagaimanakah peluang partisipasi

masyarakat dalam proses pembuatan Per-

aturan Daerah/Peraturan Desa? Dalam

UU.22/1999, tidak diatur secara eksplisit

tentang ruang partisipasi masyarakat

dalam pembuatan Perda/Perdes, namun

pengaturan tentang hal tersebut terlihat

dalam berbagai peraturan pelaksanaan-

nya.

Terakhir dengan diundangkannya

Undang Undang Nomor23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah, ruang

partisipasi masyarakat dalam pembuatan

Perda semakin jelas diatur, yaitu ber-

kaitan ketentuan mengenai Asas-asas

Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Pasal 58 huruf d (asas keterbukaan) dan

ketentuan Pasal 237 ayat (3) yang menen-

tukan bahwa masyarakat berhak mem-

berikan masukan secara lisan dan/atau

tertulis dalam pembentukan Peraturan

Daerah.

Bahkan Undang Undang Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan pera-

turan Perundang-undangan, Pasal 5 me-

ngatur tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan berdasarkan pada

asas Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan yang baik, antara lain asas

keterbukaan. Selanjutnya secara eksplisit

diatur Pasal 96 bahwa masyarakat mem-

berikan masukan secara lisan dan/atau

dalam Pembentukan Peraturan Perun-

dang-undangan.

Jelaslah bahwa secara yuridis,

peluang partisipasi masyarakat dalam

pembentukan peraturan perundang-un-

dangan telah disiapkan dalam pengaturan

sistem pemerintahan daerah sistem

pemerintahan daerah yang terbaru Un-

dang Undang Nomor 23 Tahun 2014 dan

Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Partisipasi dimaksud meliputi tahap

penyiapan rancangan Peraturan Daerah

dan tahap pembahasan rancangan Pera-

turan Daerah. Kendatipun tidak diatur

secara eksplisit, partisipasi masyarakat

juga harus dilakukan pada tahap eveluasi

pelaksanaan. Demikian halnya pula

dengan pengaturan tentang Partisipasi

Masyarakat dalam Pembentukan Pera-

turan Desa. Dalam Undang Undang No-

mor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 24

diatur tentang asas penyelenggaraan

pemerintahan desa, antara lain asas

keterbukaan (huruf d) dan asas parti-

sipatif (huruf k). Lebih jauh diatur secara

eksplisit dalam Pasal 69 angka (9 dan 10),

bahwa Rancangan Peraturan Desa wajib

dikonsultasikan kepada masyarakat desa,

dan masyarakat desa berhak memberikan

masukan terhadap rancang-an Peraturan

Desa.

Persoalan yang muncul adalah

bagaimana bentuk partisipasi masyarakat

dalam setiap tahapan proses pemben-

tukan Peraturan Daerah dan Peraturan

Desa (Perda/Perdes) dimaksud. Peluang

partisipasi masyarakat dalam proses

pembentukan Perda/Perdes dapat dila-

kukan dalam bentuk kegiatan sebagai

berikut:

1. Menyiapkan/mengajukan rancangan

inisiatif masyarakat. Dalam hal ini

setiap anggota masyarakat baik secara

perorangan maupun secara kolektif

menyiapkan rancangan Perda/Perdes

melalui metodologi yang valid dan

selanjutnya mendiskusikan dengan

pihak eksekutif dan/atau legislatif.

Hasil kerja masyarakat tersebut dise-

rahkan kepada pihak eksekutif atau

legislatif untuk proses lebih lanjut

sesuai mekanisme yang telah baku.

Tentunya usul inisiatif masyarakat ini

akan diajukan oleh eksekutif atau

legislatif sebagai hak inisiatifnya un-

tuk dibahas dalam persidangan

DPRD.

2. Mendiskusikan dan memberikan in-

put terhadap rancangan Perda/Perdes

yang diajukan sebagai hak inisitif

legislatif atau eksekutif. Dalam hal ini,

forum diskusi dapat dilakukan atas

Page 12: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

250 | Aspek-aspek Hukum Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perda dan Perdes

inisiatif masyarakat sendiri ataupun

inisiatif pihak pemerintah/legislatif

yang menyiapkan rancangan Perda/

Perdes. Inisitif yang muncul dari

pihak legislatif dan eksekutif yang

lazimnya dalam bentuk public hearing,

dialog dan pemantauan langsung di

lapangan dalam masa reses, dialog

interaktif lewat media TVRI, Radio,

dll. Efektivitasnya mekanisme partisi-

pasi ini sangat tergantung pada kese-

diaan pihak eksekutif dan legislatif

mensosialisasi rancangan Perda/Per-

des yang telah disiapkan.

3. Menyiapkan rancangan Tanding Per-

da/Perdes. Mekanisme ini perlu di-

kembangkan di kalangan masya-rakat

khususnya LSM, organisasi sosial

kemasyarakatan, Organisasi Profesi,

dan Perguruan Tinggi untuk me-

nyikapi rancangan inisiatif legis-latif

atau eksekutif. Rancang tanding ini

dapat didiskusikan secara serius de-

ngan lembaga penginisiatif, sehing-ga

ada pilihan yang lebih terbuka bagi

lembaga inisiatif untuk merumuskan

substansi Perda/Perdes.

4. Ketika rancangan Perda/Perdes telah

memasuki tahap pembahasan, maka

partisipasi masyarakat dapat dila-

kukan dengan mengkawali proses

pembahasan. Dalam hal ini tentunya

dibutuhkan komunikasi yang terbuka

dengan pemerintah dan legislatif ten-

tang materi yang menjadi kecen-

derungan dan harapan masyarakat,

melakukan presure langsung ke

lembaga legislatif, dan juga melalui

media masa. Presure dimaksud selain

diarahkan pada materi Perda/Perdes,

tetapi juga diarahkan pada perilaku

anggota legislatif dan eksekutif untuk

mendorong keseriusan pembahasan

dan sekaligus mencegah terjadinya

tindakan KKN.

5. Kontrol dan mengavaluasi terhadap

pelaksanaan Perda/Perdes yang telah

disyahkan. Kontrol masyarakat sangat

diperlukan agar tidak terjadi penyim-

pangan terhadap norma-norma hu-

kum dan semangat yang terkandung

dalam Perda/Perdes. Sedangkan eva-

luasi menekankan pada aspek peru-

bahan yang dikehendaki Perda/Per-

des dimaksud telah terwujud atau

tidak.

Untukmengembangkan partisipa-si

dan konsep sosialisasi dalam penyu-

sunan Perda dan Perdes perlu mengu-

tamakan beberapa prinsip sebagai berikut:

Pertama, baik DPRD/BPD/BPM dan Kepa-

la Daerah/Kepala Desa menggulir-kan

wewenang, fungsi-fungsi, hak-hak, serta

kewajibannya secara tepat, sehingga roda

penyelenggaraan pemerintahan daerah/

desa akan berputar secara wajar, dinamis,

dan berkesinambungan. Kedua, prinsip

keterbukaan (transparancy) harus menjadi

corak hubungan kedua lembaga dae-

rah/desa tersebut, serta dengan berbagai

komponen masyarakat;

Ketiga, menghormati prinsip su-

premasi hukum. Keempat, menjunjung

tinggi prinsip kejujuran dan etika politik,

sehingga DPRD/BPD/BPM tampil sebagai

lembaga yang bebas KKN, bersih dan

berwibawa. Kelima, mengabdi kepada

kepentingan rakyat. Keenam, Pember-

dayaan masyarakat, lembaga adat dan

lembaga kemasyarakatan sebagai keku-

atan demokrasi di daerah/desa.

PENUTUP

Demikian pemikiran yang dapat di-

ajukan untuk memperkaya wacana ten-

tang pengembangan Konsep Partisi-pasi

Masyarakat dalam Perancangan Peraturan

Daerah dan Peraturan Desa. Peluang

partisipasi masyarakat dalam pemben-

tukan kedua produk hukum tersebut telah

terbuka dan mendapat justifikasi secara

yuridis, namun masih terbentang sede-

retan tantangan yang perlu mendapatkan

perhatian serius.

Page 13: ASPEK-ASPEK HUKUM PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM …

Jurnal Proyuris Vol. 3 No. 1April 2021 | 251

Oleh karenanya, dalam penggunaan

ruang partisipasi dimaksud perlu diper-

hatikan Pertama, setiap aktor menggulir-

kan perannya secara tepat, Kedua, prinsip

keterbukaan (transparancy) harus menjadi

corak hubungan kedua lembaga dae-

rah/desa tersebut, serta dengan berbagai

komponen masyarakat; Ketiga, menghor-

mati prinsip supremasi hukum; Keempat,

menjunjung tinggi prinsip kejujuran dan

etika politik, sehingga setiap actor tampil

sebagai lembaga yang bebas KKN, bersih

dan berwibawa; Kelima, mengabdi kepa-

da kepentingan rakyat; Keenam, Pem-

berdayaan masyarakat, lembaga adat dan

lembaga kemasyarakatan sebagai keku-

atan demokrasi di daerah/desa.

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-

undangan Indonesia, Penerbit IND-

HILL.CO, Jakarta, 1992.

Dahl, Robert A., Dilema Demokrasi Pluralis,

Antara Otonomo dan Kontrol, Terje-

mahan Sahat Simamora, Penerbit

CV. Rajawali, Jakarta, 1985.

Djohani, Rianingsih, Partisipasi, Pember-

dayaan, dan Demokratisasi Komunitas,

Studio Driya Media Untuk Konsor-

sium Pengembangan Masyarakat

Nusa Tenggara. Bandung, 2003.

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum

Yang Demokratis, PT. Buana Ilmu

Populer, Kelompok Gramedia, Ja-

karta, 2009.

Kelsen, Hans, General Theory of Law and

State, Russell and Ruseell, New

York, 1961,

Kotan Y. Stefanus, Perancangan Peraturan

Tingkat Daerah Untuk Transformasi

Sosial, Modul Perkuliahan Teori dan

Metodologi Perundang-undangan,

Kupang, 2007.

Harian Pos Kupang, 15 Maret 2005.

Rival Gulam Ahmad, dkk., Menual Peran-

cangan Peraturan Untuk Transformasi

soasial;

Seidmann, Ann, dkk., Penyusunan Ran-

cangan UU Dalam Perubahan Masya-

rakat Yang Demokratis: Sebuah Pan-

duan Untuk Rancangan UU, Terjema-

han Johannes Usfuman, dkk.

Scmichd, J.J.Von, Ahli Pikir Besar Tentang

Negara dan Hukum, Terjamahan R.

Wiratmo, dkk., PT. Pembangunan,

Jakarta, 1980.

Schwarzmantel, John, The State in Contem-

porary Society: An Introduction, Har-

vester Wheatsheal, London, 1994.

Selener, Daniel, Participation Action Re-

search and Social Change, The Cornell

Participatory Action Research Net-

work. 1997.