askep rinitis alergi dan urtikaria kel. iii
DESCRIPTION
rinitis alergi dan urtikariaTRANSCRIPT
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIENDENGAN RHINITIS ALERGI
OLEH: KELOMPOK III
ANDI NUR RAHMADANDI JUNAIDAMARIA GORETY BAHI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (PSIK) JALUR KERJASAMA
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
20151
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di
masyarakat dan golongan penyakit dengan ciri peradangan yang timbul
akibat reaksi imunologis terhadap alergi lingkungan. Walaupun faktor
lingkunan merupakan faktor penting, faktor genetik dalam manifestasi alergi
tidak dapat di abaikan. Adanya alergi terhadap suatu alergi tertentu
menunjukkan bahwa sesorang pernah terpajan dengan alergi bersangkutan
sebelumnya. Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering
dijumpai di masyarakat
Rhinitis alergi (hay fever,polinosis)merupakan bentuk alergi
respiratorius yang paling sering ditemukan dan prevalensinya antara 10-15%
dari masyarakat ( Brunner & Sudarth, 1996 )
Urtikaria atau dikenal juga dengan “hives” adalah kondisi kelainan
kulit berupa reaksi vaskular terhadap bermacam-macam sebab, biasanya
disebabkan oleh suatu reaksi alergi, yang mempunyai karakteristik
gambaran kulit kemerahan (eritema) dengan sedikit oedem atau penonjolan
(elevasi) kulit berbatas tegas yang timbul secara cepat setelah dicetuskan
oleh faktor presipitasi dan menghilang perlahan-lahan. Dalam istilah awam
lebih dikenal dengan istilah “kaligata” atau “biduran”. Meskipun pada
umumnya penyebab urtikaria diketahui karena rekasi alergi terhadap alergen
tertentu, tetapi pada kondisi lain dimana tidak diketahui penyebabnya secara
signifikan, maka dikenal istilah urtikaria idiopatik. Sejumlah faktor, baik
imunologik dan nonimunologik, dapat terlibat dalam patogenesis terjadinya
urtikaria. Urtikaria dihasilkan dari pelepasan histamin dari jaringan sel-sel
mast dan dari sirkulasi basofil. Faktor-faktor nonimunologik yang dapat
melepaskan histamin dari sel-sel tersebut meliputi bahan-bahan kimia,
beberapa obat-obatan (termasuk morfin dan kodein), makan makanan laut
seperti lobster, kerang, dan makanan-makanan lain, toksin bakteri, serta
2
agen fisik. Mekanisme imunologik kemungkinan terlibat lebih sering pada
urtikaria akut daripada urtikaria kronik. Mekanisme yang paling sering
adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yang distimulasi oleh antigen polivalen
yang mempertemukan dua molekul Ig E spesifik yang mengikat sel mast
atau permukaan basofil.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
1. Mahasiswa mengetahui tentang berbagai alergi yang dapat
ditimbulkan, terutama padaRhinitis Alergi dan Urtikaria. Mulai
dari penyebabnya, gejala-gejala apa yang timbul, serta
penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penyakit tersebut.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada
pasien dengan gangguan sistem imunologi : Rinitis alergi dan
Urtikaria
2. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan Rinitis
alergi dan Urtikaria
3. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan Rinitis alergi
dan Urtikaria
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi sesuai dengan
rencana keperawatan Rinitis alergi dan Urtikaria
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan Rinitis
alergi Urtikaria
3
BAB II
TINJAUN TEORI
KONSEP MEDIS RINITIS ALERGI
2.1 Definisi
Rhinitis alergi adalah suatu bentuk inflamasi pada mukosa hidung
dan merupakan gangguan tersering pada orang dewasa yang menyerang
bagian hidung dan sinus ( Stedman, 2003 )
Rhinitis alergi adalah salah satu bentuk rhinitis yang mekanismenya
secara umum melaluisystem imun,atau IgE secara khusus.
Rhinitis alergi (hay fever,polinosis)merupakan bentuk alergi
respiratorius yang paling sering ditemukan dan prevalensinya antara 10-15%
dari masyarakat ( Brunner & Sudarth, 1996 )
Berdasarkan lama dan seringnya gejala, rhinitis alergi
diklasifikasikan sebagai
1. Rinitis Alergi Intermiten; yaitu bila gejala berlangsung kurang dari 4
hari per minggu dan lamanya kurang dari empat minggu.
2. Rinitis Alergi Persisten; yaitu bila gejala berlangsung lebih dari 4 hari
per minggu dan lamanya lebih dari empat minggu.
3. Derajatnya dikatakan sedang atau berat bila gejalanya mengganggu
kualitas hidup penderitanya.
2.2 ETIOLOGI
1. Genetik
2. Tepung sari bunga atau
ilalang
3. Bulu binatang
4. Bahan pakaian (mis:wool)
5. Makanan
6. Benda-benda berdebu
7. Asap
4
2.3 Pathofisiologi
Beberapa orang memiliki kecenderungan alergik. Alergi semacam ini disebut
alergi atopik karena disebabkan oleh respon sistem imun yang tidak lasim.
Kecenderungan alergi ini diturunkan secara genetis dari orangtua ke anak dan ditandai
dengan adanya sejumlah besar antibodi IgE dalam darah. Antibodi ini disebut reagen
atau antibodi tersensitisasi untuk membedakannya dengan antibodi IgE yang lebih
umum. Bila suatu alergen ( yang didefinisikan sebagai suatu antigen yang bereaksi
secara spesifik dengan antibodi reagin IgE tipe spesifik ) memasuki tubuh, maka terjadi
reaksi alergen – reagin dan kemudian terjadi reaksi alergi.
Sifat khusus antibodi IgE adalah adanya kecenderungan yang kuat untuk
melekat pada sel mast dan basofil. Satu sel mast dapat mengikat sampai setengah juta
molekul antibodi IgE. Bila suatu alergen berikatan dengan dengan beberapa antibodi
IgE yang melekat pada sel mast atau basofil, maka ini menyebabkan perubahan segera
pada membran sel mast atau basofil, mungkin disebabkan oleh efek fisik molekul
antibodi yang dapat mengubah membran sel. Pada setiap saat, banyak sel mast dan
basofil yang pecah, ada juga yang segera melepaskan substansi khusus sperti histamin.
Substansi ini menyebabkan beberapa efek seperti dilatasi pembuluh darah setempat,
penarikan eosinofil dan neutrofil menuju tempat yang reaktif, peningkatan
permeabilitas kapiler dan hilangnya cairan kedalam jaringan dan kontraksi otot polos
lokal. Oleh karena itu terjadi berbagai respons jaringan, tergantung tempat reaksi
alergen – reagin terjadi.
Pada rhinitis, reaksi alergen – reagin terjadi dalam hidung. Histamin yang
dilepaskan sebagai respon terhadap reaksi, menimbulkan dilatasi pembuluh darah
stempat, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan peningkatan
permeabilitas kapiler. Kedua efek ini menimbulkan kebocoran cairan yang cepat
kedalam rongga hidung dan kedalam jaringan hidung yang lebih dalam, dan saluran
hidung menjadi bengkak dan penuh dengan sekret, terjadi iritasi dan bersin – bersin
yang khas.
Patway Rinitis Alergi
2.4 Manifestasi Klini
1. Sakit kepala
2. Iritasi hidung
3. Sekret hidung yang encer dan
jernih
4. Kongesti nasal
5. Mata berair
6. Bersin-bersin
7. Batuk kering
8. Suara parau
9. Nyeri pada sinus para nasal
10. Epitaksis
11. Rasa gatal pada hidung,kadang
pula pada tenggorokan dan
palatum
12. mole
2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau
ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung,
walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri
(Irawati, 2002).
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain
alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat
diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan (Irawati, 2002).
2.5 Penatalaksanaan
1. Terapi Penghindaran
Dalam terapi penghindaran,setiap usaha harus dilakukan untuk
menghilangkan allergen. Tindakan sederhana dan control lingkungan sangat efektif
untuk mengurangi gejala. Contoh tindakan ini adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan air conditioner
b. Lingkungan yang bebas debu/asap.
c. Pasien yang memiliki riwayat rinitis harus menghindari kontak dengan orang
yang sedang terinfeksi.
d. Ajarkan pasien menjaga kebersihan diri dan teratur mencuci tangan.
e. Pasien dianjurkan memperbanyak istirahat dan juga intake cairan yang
adekuat.
2. Farmakoterapi
a. Antihistamin
Merupakankelompok utama obat yang diprogramkan untuk mengatasi
gejala rhinitis alergi.Efek samping utama dari kelompok ini adalah
sedasi.Antihistamin oral mudah diserap.Paling efektif jika diberi pada keadaan
timbulnya gejala pertama karena mencegah terjadinya gejala baru dengan
menghambat kerja histamine pada reseptor –H1.
Contoh antihistamin: dipenhidramin,klorfeniramin,prometazin
a. Preparat Adrenergik
Merupakanvasokontriktorpembuluh darah mukosa,dapat diberikan secara
oral maupuntopical (tetesan dan semprotan).Pemberian secara topical lebih
minimal efek samping dibandingkan per oral. Contohpreparat adrenergik:
pseudoefedrin, phenilefrin, hidroklorida.
b. Natrium kromolin intranasal.
Merupakan semprotan yang bekerja dengan cara menstabilkan sel mast
dan menghambat pelepasan histamine serta mediator lainnya dalam respon
alergi.Preparat ini digunakan sebagai profilaksis sebelum seseorang
terpajan allergen.
c. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid intranasal merupakan indikasi bagi kasus-
kasus alergi yang lebih berat dan kasus rhinitis persisten yang tidak bisa
diatasi dengan terapi konvensionalseperti dekongestan,antihistamin,dan
kromolin intranasal. Contoh: beklometason,dexametason, flunisolid,
triamnisolon.
d. Imunotherapy
Indikasi hanya jika hipersensitivitas IgE ( hipersensitivitas tipe I )
terlihat pada alergen inhalan yang spesifik yang tidak dapat dihindari oleh
pasien ( debu rumah, serbuk sari )
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN RHINITIS ALERGI
2.6 Pengkajian
1. Riwayat sakit sekarang
Klien mengungkapkan gejala :
a. Sakit kepala bersin – bersin yang kerapkali bersifat serangan mendadak
b. Ingus yang encer serta berair
c. Mata dan hidung terasa gatal
d. Lakrimasi
e. Suara parau
2. Riwayat sebelumya
a. Alergi pada pasien atau anggota keluarganya
b. Pemeriksaan alergi
c. Riwayat penggunaan obat
d. Apa yang dirasakan pasien sebelum gejalanya muncul dengan jelas seperti
pruritus, masalah pernapasan dan rasa kesemutan
3. Pemeriksaan fisik
Mungkin ditemukan adanya suara parau, mengi, biduran, ruam, eritema atau edema.
4. Kaji setiap hubungan antara masalah emosional atau stress dan terpicunya gejala
alergik
2.7 Diagnosa Keperawatan ( NANDA )
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
oleh mukus yang berlebih
2. Ansietas berhubungan dengan terpajannya alergen
2.8 Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
oleh mukus yang berlebih
Hasil NOC :
a. Pencegahan aspirasi
b. Status pernapasan : kepatenan jalan napas
c. Status pernapasan : ventilasi
Tujuan / kriteria evalusi ( NOC )
a. Menunjukan pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh
pencegahan aspirasi; status pernapasan : kepatenan jalan napas ; dan status
pernapasan : ventilasi tidak terganggu.
b. Menunjukan status pernapasan : kepatenan jalan napas, yang dibuktikan oleh
indikator gangguan sebagai berikut ( sebutkan 1 – 5 : gangguan ekstrem, berat,
sedang, ringan, atau tidak ada gangguan ) :
1) Kemudahan bernapas
2) Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
3) Mengeluarkan sekret yang efektif.
4) Batuk efektif
5) Pada pemeriksaan auskultasi, memiliki suara napas yang jernih.
6) Mempunyai irama dan frekwensi pernapasan dalam rentang normal
Intervensi NIC :
a. Manajemen jalan napas : memfasilitasi kepatenan jalan udara
b. Pengisapan jalan napas : mengeluarkan sekret dari jalan napas dengan
memasukan kateter pengisap kedalam jalan napas oral atau thrakea.
c. Pengaturan posisi : mengubah posisi atau bagian tubuh klien secara untuk
memfasiltasi kesejateraan fisiologis dan psikologis.
Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Kaji dan dokumentasikan hal – hal berikut ini :
a. Keefektifan pemberian oksigen dan terapi lain
b. Keefektifan obat resep
c. Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mukus kental dan
keletihan.
d. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan
atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
e. Pengisapan jalan napas
Tentukan kebutuhan pengisapan oral atau thrakea`
Pantau status oksigen pasien
Catat jenis dan jumlah sekret yang dikumpulkan
Penyuluhan untuk pasien / keluarga
a. Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung ( misalnya, oksigen )
b. Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam
ruangan perawatan, beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti merokok.
c. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk
memudahkan pengeluaran sekret.
d. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti
warna, karakter, jumlah dan bau.
e. Pengisapan jalan napas : instruksikan kepada klien dan atau keluarga tentang
cara pengisapan jalan napas, jika perlu
Aktivitas kolaboratif
a. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu
b. Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau peralatan
pendukung.
c. Berikan udara atau oksigen yang telah dihumidifikasi ( dilembabkan ) sesuai
dengan kebijakan institusi.
d. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonik dan perawatan
paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol institusi.
e. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal.
Aktivitas lain
a. Anjurkan aktivitas fisik untuk memfasilitasi pengeluaran sekret
b. Informasikan kepada pasien sebelum memulai prosedur untuk menurunkan
kecemasan dan meningkatkan kontrol diri.
c. Atur posisi pasien yang memungkinkan untuk pengembangan maksimal
rongga dada, misalnya bagian kepala tempat tidur ditinggikan 450 kecuali ada
kontraindikasi
d. Pertahankan keadekuatan hidrasi untuk mengencerkan sekret
2. Ansietas berhubungan dengan terpajannya alergen
Hasil NOC :
a. Tingkat ansietas : keparahan manifestasi kekhawatiran, ketegangan atau
perasaan tidak tenang yang muncul dari sumber yang tidak dapat diidentifikasi
b. Pengendalian diri terhadap ansietas : tindakan personal untuk menghilangkan
atau mengurangi perasaan khawatir, tegang atau perasaan tidak tenang akibat
sumber yang tidak dapat diidentifikasi
c. Konsentrasi : kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu
d. Koping : tindakan personal untuk mengatasi stressor yang membebani sumber
– sumber individu.
Tujuan / kriteria evalusi ( NOC )
a. Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya ringan sampai
sedang, dan selalu menunjukan pengendalian diri terhadap ansietas,
konsentrasi dan koping.
b. Menunjukan pengendalian diri terhadap ansietas, yang dibuktikan oleh
indikator gangguan sebagai berikut ( sebutkan 1 – 5 : tidak pernah, jarang,
kadang – kadang, sering atau selalu ) :
1) Merencanakan strategi koping untuk situasi penuh tekanan
2) Mempertahankan performa peran.
3) Memantau manifestasi perilaku ansietas
4) Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas.
Contoh lain, pasien akan :
1) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami kecemasan
2) Menunjukan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan
ketrampilan yang baru.
3) Mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas pasien sendiri.
4) Mengkomunikasikan kebutuhan dan perasaan negatif secara tepat.
5) Memiliki tanda – tanda vital dalam batas normal.
Intervensi NIC :
a. Bimbingan antisipasi : mempersiapkan pasien menghadapi kemungkinan
krisis perkembangan dan atau situasional.
b. Penurunan ansietas : meminimalkan kekhawatiran, ketakutan, prasangka, atau
perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan sumber bahaya yang
diantisipasi dan tidak jelas.
c. Teknik menenangkan diri : meredakan kecemasan pada pasien yang
mengalami distress akut.
d. Peningkatan koping : membantu pasien untuk beradaptasi dengan persepsi
stressor, perubahan atau ancaman yang menghambat pemenuhan tuntutan dan
peran hidup.
e. Dukungan emosi : memberikan penenangan, penerimaan, dan bantuan atau
dukungan selama masa stress.
Aktivitas keperawatan
Pengkajian
a. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik.
b. Kaji untuk faktor budaya ( misalnya, konflik nilai ) yang menjadi penyebab
ansietas.
c. Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas dimasa lalu.
d. Reduksi ansietas : menentukan kemampuan pengambilan keputusan pasien.
Penyuluhan untuk pasien / keluarga
a. Buat rencana penyuluhan dengan tujuan yang realistis, termasuk kebutuhan
untuk pengulangan, dukungan dan pujian terhadap tugas – tugas yang telah
dipelajari.
b. Informasikan tentang gejala ansietas
c. Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan panik dan
gejala penyakit fisik.
Aktivitas kolaboratif
Penurunan ansietas : berikan obat untuk menurunkan ansietas, jika perlu.
Aktivitas lain
a. Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.
b. Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan
perasaan untuk mengesternalisasikan ansietas.
c. Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara untuk
mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi
ansietas.
d. Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan serta terapi okupasi
untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
e. Coba teknik seperti imajinasi bimbing dan relaksasi progresif.
f. Berikan penguatan positif ketika pasien mampu meneruskan aktivitas sehari –
hari dan aktivitas lainnya meskipun mengalami ansietas.
g. Yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik secara verbal
dan nonverbal secara bergantian.
h. Dorong pasien untuk mengespresikan kemarahan dan iritasi, serta izinkan
pasien untuk menangis.
i. Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan lingkungan yang
lebih tenang, kontak terbatas dengan orang lain jika dibutuhkan, serta
pembatasan penggunaan kafein dan stimulan lain.
j. Sarankan terapi alternatif untuk mengurangi ansietas yang dapat diterima oleh
pasien.
k. Singkirkan sumber – sumber ansietas jika memungkinkan.
l. Penurunan ansietas :
1) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
2) Nyatakan dengan jelas tentang harapan terhadap perilaku pasien.
3) Dampingi pasien untuk meningkatkan keamanan dan mengurangi rasa
takut.
4) Berikan pijatan punggung atau pijatan leher jika perlu.
5) Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan.
6) Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang mencetuskan ansietas.
KONSEP MEDIS URTIKARIA
2.9 Definis
Urtikaria adalah lesi sementara yang terdiri dari bentol sentral yang dikelilingi
oleh haloeritematosa. Lesi tersendiri adalah bulat, lonjong, atau berfigurata, dan
seringkali menimbulkan rasa gatal. (Harrison, 2005)
Urtikaria, yang dikenal dengan hives, terdiri atas plak edematosa (wheal) yang
terkait dengan gatal yang hebat (pruritus). Urtikaria terjadi akibat pelepasan histamine
selama respons peradangan terhadap alegi sehingga individu menjadi tersensitisasi.
Urtikaria kronis dapat menyertai penyakit sistemik seperti hepatitis, kanker atau
gangguan tiroid. (Elizabeth, 2007)
Urtikaria merupakan istilah klinis untuk suatu kelompok kelainan yang ditandai
dengan adanya pembentukan “bilur-bilur” – pembekakan kulit yang dapat hilang
tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. Pada umumnya kita semua pernah
merasakan salah satu bentuk urtikaria akibat jath (atau didorong) hingga gatal-gatal.
Gambaran patologis yang utama adalah didapatkannya edema dermal akibat
terjadinya dilatasi vascular, seringkali sebagai respons terhadap histamine (dan
mungkin juga mediator-mediator yang lain) yang dilepas oleh sel mast.(Tony, 2005)
2.10 Etiologi
Etiologi urtikaria. (Harrison, 2005):
1. Gangguan Kulit Primer
a. Dermatografisme
b. Urtikaria solaris
c. Urtikaria dingin
d. Penyakit sistemik
2. Obat-obatan atau Bahan kimia; Penisilin dan derivatnya kemungkinan merupakan
penyebab obat paling sering dari urtikaria akut, tetapi obat-obatan lainnya, apakah
melalui oral, injeksi, inhalasi, atau, topikal juga dapat menyebabkan reaksi
urtikaria.
3. Makanan; Makanan merupakan penyebab yang umum dari urtikaria akut.
Terutama adalah makanan seafood, sedangkan makanan lainnya yang sering
dilaporkan adalah strawberry, cokelat, kacang, keju, telur, gandum, dan susu.
4. Gigitan dan sengatan serangga; Gigitan serangga, sengatan nyamuk, kutu, atau
laba-laba, dan kontak dengan ngengat, lintah, dan ubur-ubur dapat menyebabkan
timbulnya urtikaria.
5. Inhalan; Nasal spray, insect spray, inhalasi dari debu, bulu-bulu binatang atau
karpet, dan serbuk merupakan beberapa faktor pencetus melalui inhalasi.
6. Sindroma Urtikaria Kontak; Respon yang tidak lazim ini dapat diakibatkan karena
kontak antara kulit dengan obat-obatan, bahan kimia, makanan, serangga, hewan,
dan tanaman.
2.11 Patogenesis
Sel mast adalah sel efektor utama pada kebanyakan bentuk urtikaria, meskipun
tipe-tipe sel lainnya juga dapat terlibat. Sel mast kutaneus melepaskan histamin dalam
respon terhadap C5a, morfin, dan kodein. Neuropeptida substansi P (SP), vasoactive
intestinal peptide (VIP), dan somatostatin, neurokinin A dan B, bradikinin, dan
calcitonin gene–related peptide (CGRP), kesemuanya dapat mengaktivasi sel-sel mast
untuk mensekresi histamin. Tidak semua produk biologik potensial tersebut
diproduksi ketika sel mast kutaneus terstimulasi. Permeabilitas vaskuler di kulit
diakibatkan secara predominan oleh reseptor histamin H 1, meskipun reseptor
histamin H 2 juga dapat berperan. Urtikaria disebabkan karena pelepasan histamin,
bradikinin, leuketrien C4, prostaglandin D2, dan substansi vasoaktif lainnya lainnya
dari sel mast dan basofil di kulit. Substansi-substansi tersebut menyebabkan
ekstravasasi cairan ke kulit, mengakibatkan timbulnya lesi urtikaria. Intensitas
pruritus dari urtikaria adalah hasil dari pelepasan histamin ke kulit. Aktivasi reseptor
histamin H1 pada sel-sel endotel dan otot polos menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler. Sedangkan aktivasi reseptor histaminH2 menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan venula.
Proses ini disebabkan oleh beberapa mekanisme. Respon alergi tipe I IgE
diinisiasi oleh kompleks imun antigen-mediated IgE yang mengikat dan cross-link
reseptor Fc pada permukaan sel-sel mast dan basofil, hal tersebut menyebabkan
pelepasan histamin. Respon alergi tipe II dimediasi oleh sel-sel T sitotoksik,
menyebabkan deposit Ig, komplemen, dan fibrin di sekitar pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan vaskulitis urtikaria. Penyakit kompleks imun tipe III berhubungan
dengan SLE dan penyakit autoimun lainnya yang dapat menyebabkan urtikaria.
Komplemen-mediated urtikaria disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus, serum
sickness, dan reaksi transfusi. Reaksi transfusi urtikaria terjadi ketika substansi
alergenik dalam plasma dari produk darah donor bereaksi dengan antibodi Ig E resipien.
Beberapa obat-obatan (opioids, vecuronium, succinylcholine, vancomycin, dan lain-
lain) juga agen-agen radiokontras menyebabkan urtikaria karena degranulasi sel mast
melalui mekanisme mediasi non-Ig E. Urtikaria fisik pada beberapa stimulus fisik yang
menyebabkan urtikaria meliputi immediate pressure urticaria, delayed pressure
urticaria, cold urticaria, dan cholinergic urticaria. Terakhir, urtikaria kronik dimana
penyebabnya tidak dapat ditemukan secara signifikan, merupakan idiopatik.
2.12 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit berupa
biduran yaitu kulit kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatas tegas dengan
batas tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal (pruritus) sedang sampai berat, pedih,
dan atau sensasi panas seperti terbakar. Lesi dari urtikaria dapat tampak pada bagian
tubuh manapun, termasuk wajah, bibir, lidah, tenggorokan, dan telinga. Diameter lesi
dapat bervariasi dari sekitar 5 mm (0,2 inchi) sampai dapat sebesar satu piring makan.
Ketika proses oedematous meluas sampai ke dalam dermis dan atau subkutaneus dan
lapisan submukosa, maka ia disebut angioedema. Urtikaria dan angioedema dapat
terjadi pada lokasi manapun secara bersamaan atau sendirian. Angioedema umumnya
mengenai wajah atau bagian dari ekstremitas, dapat disertai nyeri tetapi jarang
pruritus, dan dapat berlangsung sampai beberapa hari. Keterlibatan bibir, pipi, dan
daerah periorbita sering dijumpai, tetapi angioedema juga dapat mengenai lidah dan
faring. Lesi individual urtikaria timbul mendadak dan jarang persisten melebihi 24-48
jam, dan dapat berulang untuk periode yang tidak tentu.
2.13 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Urtikaria:
1. Urtikaria akut; Uji laboratorium pada umumnya tidak diperlukan
2. Urtikaria kronik; jika penyebab agen fisik telah disingkirkan, maka penggunan
pemeriksaan laboratorium, radiografik dan atologik berikut ini dapt memberian
petunjuk untuk diagnosis penyakit sistemik yang samar.
Uji Rutin:
1. Pemeriksaan darah, air seni dan tinja rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi
yang tersembunyi atau kelainan pada alat dalam
2. Pemeriksaan imunologis seperti pemeriksaan kadar IgE, eosinofil dan komplemen
3. Test kulit, walaupun terbatas kegunaannya dapat dipergunakan untuk membantu
diagnosis. Uji gores dan uji tusuk dapat digunakan untuk mencari alergen
4. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai
untuk beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu persatu.
2.14 Penatalaksanaan Pasien Urtikaria
1. Saat dibawa ke IGD untuk setiap pasien dengan tanda atau gejala reaksi alergi,
termasuk urtikaria, angioedema, atau syok anafilaksis adalah penting. Urtikaria
akut dapat progresif mengancam nyawa menjadi angioedema dan atau syok
anafilaksis dalam periode waktu yang sangan singkat, meskipun demikian
biasanya syok rapid-onset tanpa disertai urtikaria atau angioedema.
2. Jika angioedema tampak menyertai urtikaria, pemberian 0.3-0.5 mg epinefrin i.m
dapat diperlukan.
3. Jika bronkospasme muncul, nebulisasi bronkodilator seperti albuterol diperlukan.
4. Penilaian lainnya mungkin diperlukan, seperti EKG serial, monitoring tekanan
darah dan pulse oximetry; berikan kristaloid i.v jika pasien hipotensi; dan berikan
oksigen.
5. Antihistamin, terutama yang menghambat reseptor H1, merupakan terapi lini
pertama urtikaria.
1) Diphenhydramin dan hydroxyzin adalah H1 blocker yang paling sering
digunakan. Ia beraksi lebih cepat daripada H1 blocker minimal sedatif. Obat-
obatan ini berpotensi sedative, dan pasien sebaiknya tidak diperbolehkan
mengendarai kendaraan dalam 6 jam dari pemberian obat.
2) H1 blocker efektif dalam meredakan pruritus dan rash dari urtikaria akut.
3) H1 blocker sedative minimal yang lebih baru seperti fexofenadine, loratadine,
desloratadine, cetirizine, dan levocetirizine digunakan terutama dalam
manajemen urtikaria kronik dari pada akut. Akan tetapi, jika urtikaria akut
persisten selama > 24-48 jam, antihistamin dengan sedative minimal
sebaiknya diberikan, dengan suplementasi antihistamin sedative jika pruritus
dan urtikaria sukar disembuhkan.
4) Antihistamin H2, seperti cimetidine, famotidine, dan ranitidine, dapat berperan
ketika dikombinasikan dengan antihistamin H1 pada beberapa kasus urtikaria.
Antihistamin H1 dan H2 diduga mempunyai efek sinergis dan sering
memberikan hasil yang lebih cepat dan resolusi lengkap urtikaria daripada
pemberian H1 blocker sendirian, terutama jika diberikan secara simultan
secara I.V.
5) Doxepin adalah antidepressant dan antihistamin yang menghambat reseptor
H1 dan H2 dan mungkin efektif pada kasus yang sulit disembuhkan dalam
dosis 25-50 mg saat tidur atau 10-25 mg 3-4 kali per hari.
6) Glukokortikoid dapat menstabilisasi membran sel mast dan menghambat
pelepasan histamin lebih lanjut. Ia juga mengurangi efek inflamasi dari
histamin dan mediator lainnya.
7) Keefektifan dari glukokortikoid pada urtikaria akut masih kontroversial.
Dalam satu kasus, urtikaria akut membaik lebih cepat pada kelompok yang
diterapi dengan prednisone daripada dengan kelompok yang diterapi dengan
placebo.
8) Pada dewasa, prednisone 40-60 mg/hari selama 5 hari. Pada anak-anak, terapi
1 mg/kg/hari selama 5 hari. Tapering off dosis kortikosteroid tidak diperlukan
pada kebenyakan kasus urtikaria akut.
9) Keefektifan epinefrin pada urtikaria akut adalah kontroversial. Jika
angioedema tampak disertai dengan urtikaria, epinefrin 0.3-0.5 mg dapat
diberikan secara i.m. Tetapi harus diingat bahwa ACE-inhibitor–induced
angioedema biasanya tidak berespon terhadap epinefrin atau pada terapi
umum lainnya, karena ia tidak dimediasi IgE.
10) Penggunaan methotrexate, colchicine, dapsone, indomethacin, dan
hydroxychloroquine dapat efektif dalam manajemen vasculitic urticaria.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN URTIKARIA
2.15 Anamnesis
Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya dan durasi rash / ruam serta
gatal dapat bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau
kronik. Untuk urtikaria kronik atau rekuren, penting untuk mempertimbangkan faktor-
faktor penyebab sebelumnya dan keefektifan berbagai pilihan terapi.
1. Tanyakan tentang faktor presipitan, seperti:
a. Panas
b. Dingin
c. Tekanan
d. Aktivitas berat
e. Cahaya matahari
f. Stres emosional, atau penyakit kronik (misalnya, hipertiroidisme, rheumatoid
arthritis, SLE, polimiositis, amiloidosis, polisitemia vera, karsinoma,
limfoma).
2. Tanyakan tentang penyakit lain yang dapat menyebabkan pruritus, seperti:
a. diabetes mellitus (DM)
b. insufisiensi ginjal kronik
c. sirosis bilier primer
d. kelainan kulit nonurtikaria lainnya (misalnya, eczema, dermatitis kontak).
3. Tanyakan tentang riwayat angioedema pada keluarga dan pribadi, dimana
urtikaria pada jaringan yang lebih dalam dan dapat mengancam nyawa jika
mengenai laring dan pita suara. Penyebab spesifik angioedema diantaranya
hereditari angioedema (defisiensi C1-inhibitors) dan acquired angioedema
(berhubungan dengan angiotensin-converting enzyme [ACE] inhibitor dan
angiotensin receptor blockers (ARBs). Karakteristik dari angioedema meliputi di
bawah ini:
1) Vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan yang lebih dalam daripada yang
tampak pada urtikaria.
2) Pembengkakan yang nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada
permukaan mukosa dari saluran nafas (bibir, lidah, uvula, palatum molle, dan
laring ) dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen
berat).
3) Suara serak, merupakan tanda paling awal dari oedem laring (tanyakan pasoen
bila ia mengalami perubahan suara serak)
Untuk urtikaria akut, tanyakan tentang kemungkinan pencetus/presipitan, seperti
di bawah ini:
4. Penyakit sekarang (misalnya, demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, muntah,
diare, nyeri kepala)
5. Pemakaian obat-obatan meliputi penisilin, sefalosporin, sulfa, diuretik,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs, iodida, bromida, quinidin, chloroquin,
vancomycin, isoniazid, antiepileptic agents, dll.
6. Intravenous media radiokontras
7. Riwayat bepergian (amebiasis, ascariasis, strongyloidiasis, trichinosis, malaria)
8. Makanan ( kerang, ikan, telur, keju, cokelat, kacang, tomat)
9. Pemakaian parfum, pengering rambut, detergen, lotion, krim, atau pakaian
10. Kontak dengan hewan peliharaan, debu, bahan kimia, atau tanaman
11. Kontak dengan bahan nikel (ex, perhiasan, kancing celana jeans), karet (ex,
sarung tangan karet, elastic band), latex, dan bahan-bahan industri
12. Paparan panas atau sinar matahari
2.16 Pemeriksaan Fisik
Urtikaria mempunyai karakteristik ruam kulit pucat kemerahan dengan elevasi
kulit, dapat linier, annular (circular), atau arcuate (serpiginous). Lesi ini dapat terjadi
pada daerah kulit manapun dan biasanya sementara dan dapat berpindah.
Dermographism dapat terjadi (lesi urtikaria yang berasal dari goresan ringan).
Pemeriksaan fisik sebaiknya terfokus pada keadaan yang memungkinkan
menjadi presipitasi urtikaria atau dapat berpotensi mengancam nyawa. Di antaranya :
1. Faringitis atau infeksi saluran nafas atas, khususnya pada anak-anak
2. Angioedema pada bibir, lidah, atau laring
3. Skleral ikterik, pembesaran hati, atau nyeri yang mengindikasikan adanya
hepatitis atau penyakit kolestatik hati
4. Pembesaran kelenjar tiroid
5. Lymphadenopati atau splenomegali yang dicurigai limfoma
6. Pemeriksaan sendi untuk mencari bukti adanya penyakit jaringan penyambung,
rheumatoid arthritis, atau systemic lupus erythematosus (SLE)
7. Pemeriksaan pulmonal untuk mencari pneumonia atau bronchospasm (asthma)
8. Extremitias untuk mencari adanya infeksi kulit bakteri atau jamur
2.17 Diagnosa Keperawatan (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010)
Diagnosa keperawatan yang umumnya muncul pada klien penderita kelainan
kulit seperti urtikaria adalah sebagai berikut :
1. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka akibat gangguan
integritas
2. Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar allergen
3. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
No.Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan
Tujuan/Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1Potensial terjadinya
infeksi b.d. adanya
luka akibat
gangguan integritas
Tujuan :
Tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
Hasil pengukuran tanda vital dalam
batas normal.
- RR :12-24 x/menit
- N : 70-82 x/menit
- T : 36-37 OC
- TD : 120/85 mmHg
Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi
(kalor,dolor, rubor, tumor, infusiolesa)
Hasil pemeriksaan laboratorium dalam
batas normal Leuksosit darah : 4.400 –
11.300/mm3
1. Lakukan teknik aseptic dan antiseptic
dalam melakukan tindakan pada pasien
2. Ukur tanda vital tiap 4-6 jam
3. Observasi adanya tanda-tanda infeksi
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
pemberian diet TKTP
5. Libatkan peran serta keluarga dalam
memberikan bantuan pada klien.
6. Jaga lingkungan klien agar tetap bersih.
1. Dengan teknik septik dan aseptik
dapat mengirangi dan mencegah
kontaminasi kuman.
2. Suhu yang meningkat adalah
imdikasi terjadinya proses infeksi.
3. Deteksi dini terhadap tanda-tanda
infeksi
4. Untuk menghindari alergen dari
makanan.
5. Memandirikan keluarga
6. Menghindari alergen yang dapat
meningkatkan urtikaria.
2 Resiko kerusakan
kulit b.d. terpapar
alergen
Tujuan :
Tidak terjadi kerusakan pada kulit klien
Kriteria hasil :
Klien akan mempertahankan integritas
1. Ajari klien menghindari atau
menurunkan paparan terhadap alergen
yang telah diketahui.
2. Baca label makanan kaleng agar
1. Menghindari alergen akan
menurunkan respon alergi.
2. Menghindari dari bahan makanan
kulit, ditandai dengan menghindari
alergen
terhindar dari bahan makan yang
mengandung alergen
3. Hindari binatang peliharaan.
4. Gunakan penyejuk ruangan (AC) di
rumah atau di tempat kerja, bila
memungkinkan.
yang mengandung alergen.
3. Binatang sebaiknya hindari
memelihara binatang atau batasi
keberadaan binatang di sekitar
area rumah.
4. AC membantu menurunkan
paparan terhadap beberapa
alergen yang ada di lingkungan.
3 Perubahan rasa
nyaman b.d.
pruritus
Tujuan :
Rasa nyaman klien terpenuhi
Kriteria hasil :
Klien menunjukkan berkurangnya
pruritus, ditandai dengan berkurangnya
lecet akibat garukan, klien tidur
nyenyak tanpa terganggu rasa gatal,
klien mengungkapkan adanya
peningkatan rasa nyaman
1. Jelaskan gejala gatal berhubungan
dengan penyebabnya (misal keringnya
kulit) dan prinsip terapinya (misal
hidrasi) dan siklus gatal-garuk-gatal-
garuk.
2. Cuci semua pakaian sebelum digunakan
untuk menghilangkan formaldehid dan
bahan kimia lain serta hindari
menggunakan pelembut pakaian buatan
pabrik.
3. Gunakan deterjen ringan dan bilas
pakaian untuk memastikan sudah tidak
1. Dengan mengetahui proses
fisiologis dan psikologis dan
prinsip gatal serta penangannya
akan meningkatkan rasa
kooperatif.
2. Pruritus sering disebabkan oleh
dampak iritan atau allergen dari
bahan kimia atau komponen
pelembut pakaian.
3. Bahan yang tertinggal (deterjen)
pada pencucian pakaian dapat
ada sabun yang tertinggal.
4. Jaga kebersihan kulit pasien
5. Kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat pengurang rasa gatal
menyebabkan iritasi.
4. Mengurangi penyebab gatal
karena terpapar alergen.
5. Mengurangi rasa gatal.
4 Gangguan citra
tubuh b.d.
penampakan kulit
yang tidak bagus
Tujuan :
Pengembangan peningkatan
penerimaan diri pada klien tercapai
Kriteria Hasil :
1. Mengembangkan peningkatan
kemauan untuk menerima keadaan
diri.
2. Mengikuti dan turut berpartisipasi
dalam tindakan perawatan diri.
3. Melaporkan perasaan dalam
pengendalian situasi.
4. Menguatkan kembali dukungan
positif dari diri sendiri.
5. Mengutarakan perhatian terhadap
diri sendiri yang lebih sehat.
1. Kaji adanya gangguan citra diri
(menghindari kontak mata,ucapan
merendahkan diri sendiri).
2. Identifikasi stadium psikososial
terhadap perkembangan.
3. Berikan kesempatan pengungkapan
perasaan.
4. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan
klien, bantu klien yang cemas
mengembangkan kemampuan untuk
1. Gangguan citra diri akan
menyertai setiap
penyakit/keadaan yang tampak
nyata bagi klien, kesan orang
terhadap dirinya berpengaruh
terhadap konsep diri.
2. Terdapat hubungan antara
stadium perkembangan, citra diri
dan reaksi serta pemahaman klien
terhadap kondisi kulitnya.
3. Klien membutuhkan pengalaman
didengarkan dan dipahami.
4. Memberikan kesempatan pada
petugas untuk menetralkan
kecemasan yang tidak perlu
6. Tampak tidak meprihatinkan
kondisi.
7. Menggunakan teknik
penyembunyian kekurangan dan
menekankan teknik untuk
meningkatkan penampilan
menilai diri dan mengenali masalahnya.
5. Dukung upaya klien untuk memperbaiki
citra diri , spt merias, merapikan.
6. Mendorong sosialisasi dengan orang
lain.
terjadi dan memulihkan realitas
situasi, ketakutan merusak
adaptasi klien .
5. Membantu meningkatkan
penerimaan diri dan sosialisasi.
6. Membantu meningkatkan
penerimaan diri dan sosialisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aisah. Urtikaria. Dalam : Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2.
Jakarta : FKUI. 2005: 169-76.
Bruner & Sudarth ( 2002 ) Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3 Edisi 8, Jakarta ;
EGC
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing diagnosis
manual planning, individualizing, and documentary client care edition 3.
Philadelphia: F.A.davis company.
Guyton & Hall. 2014. Buku Ajar fisiologi Kedokteran Edisi keduabelas.Elseiver:
Singapur
Linscott. Urticaria. www.emedicine.com. Diupdate pada tanggal 15 Oktober 1015
Stedman. ( 2001 ) Medical Dictionary Edisi 5, Baltimore ; Walter Healtha
Company
Urticaria. www.wikipedia.com. Diupdate pada tanggal 15 Oktober 1015.
Ahern, Nancy R & Wilkinson, Judith M . 2011.Buku Saku Diagnosa Keperawatan
Edisi 9. 2011. Jakarta; EGC