askep lansia pencernaan farida fix

65
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses menua merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irrevesible serta menunjukan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami karena adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua terjadi pada lansia secara linear dapat digambarkan melalui 3 tahap yaitu : kelemahan, keterbatasan, dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-2025, tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun 2020 atau sebesar 11,37% penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, di bawah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun. Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia. Data statistik tersebut mengisyartatkan pentingnya keperawatan gerontik di Indonesia. Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditunjukan pada dua kelompok lansia, yaitu 1.) lansia 0

Upload: dyno-manembu

Post on 06-Feb-2016

105 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Gerotik

TRANSCRIPT

Page 1: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses menua merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang

telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irrevesible serta menunjukan adanya

kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami karena adanya penurunan kondisi

fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua

terjadi pada lansia secara linear dapat digambarkan melalui 3 tahap yaitu : kelemahan,

keterbatasan, dan keterhambatan yang akan dialami bersamaan dengan proses

kemunduran. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-

2025, tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2002, jumlah lansia di Indonesia

berjumlah 16 juta dan diproyeksikan akan bertambah menjadi 25,5 juta pada tahun

2020 atau sebesar 11,37% penduduk dan ini merupakan peringkat keempat dunia, di

bawah Cina, India dan Amerika Serikat. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan

sensus BPS tahun 1998 masing-masing untuk pria 63 tahun dan perempuan 67 tahun.

Angka di atas berbeda dengan kajian WHO (1999), dimana usia harapan hidup orang

Indonesia rata-rata adalah 59,7 tahun dan menempati urutan ke 103 dunia. Data

statistik tersebut mengisyartatkan pentingnya keperawatan gerontik di Indonesia.

Fokus asuhan keperawatan pada lansia ditunjukan pada dua kelompok lansia,

yaitu 1.) lansia yang sehat dan produktif, dan 2.) lansia yang memiliki kerentanan

tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai melemah, sakit-sakitan dan daya pikir

menurun. Pemberian asuhan keperawatan bagi lansia bertujuan untuk memenuhi

harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih

baik dan produktif dalam tiga dimensi yaitu : fisik, fungsional, dan kognitif.

Peningkatan kualitas hidup tersebut hendaknya sejalan dengan penerapan praktik

keperawaan yang didasarkan pada fakta. Pada lansia juga sering di temukan

gangguan-gangguan pada sistem-sistem di dalam tubuh seperti contoh pada sistem

pencernaan. Sering di temukan masalah yang muncul pada lansia di sistem

pencernaan yaitu malnutrisi, konstipasi, gastristis, diare dan sebagainya.

0

Page 2: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan melakukan asuhan keperawatan

lansia dengan gangguan pencernaan dari pengkajian hingga evaluasi.

2. Tujuan Khusus

- Mahasiswa memahami proses degeneratif pada sistem pencernaan

- Mahasiswa mengetahui masalah-masalah yang sering terjadi pada lansia di

sistem pencernaan

- Mahasiswa dapat memahami dan melakukan asuhan keperawatan gerontik

pada gangguan pencernaan

C. Manfaat

Manfaat Teoritis

1. Bagi kelompok, makalah ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendalami

pemahaman tentang konsep asuhan keperawatan lansia dengan gangguan sistem

pencernaan.

2. Bagi pembaca, khususnya mahasiswa keperawatan dapat mengerti tentang asuhan

keperawatan lansia dengan gangguan sistem pencernaan yang sesuai dengan

standart kesehatan demi meningkatkan tingkat kesejahteraan Lansia dan dapat

dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang lebih lanjut.

Manfaat Praktis

Mahasiswa keperawatan dapat memberikan asuhan keperawatan kepada lansia

dengan gangguan sistem pencernaan.

1

Page 3: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Konsep Lansia

1. Pengertian

Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas

(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses

menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Constantinides, 1994).Karena

itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural

disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan

episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes

dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni :

1) Kelompok lansia dini (55 – 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki

lansia.

2) Kelompok lansia (65 tahun ke atas).

3) Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun.

Menurut Lumbantobing, (1997;3), menua yang sukses akan mencakup hal-hal, 1)

hambatan fisik yang minimal dan mampu mengatasinya, 2) sehat mental dan mampu

mempertahankan harga dirinya, 3) dapat mempertahankan aktivitas fisik dan mental, 4)

berdikari, 5) melanjutkan gaya hidup, 6) puas dengan hidup atau keadaannya (stabil

secara sosioekonomi, punya peran di lingkungan).

2. Perubahan-perubahan yang Terjadi Pada Lansia

1) Perubahan Fisik Yang Terjadi Pada Proses Menua

Jumlah sel lebih sedikit dan ukurannya lebih besar, proporsi protein pada sel menurun

mengakibatkan terganggunya mekanisme perbaikan sel (Nugroho, 2000) Otak menjadi

kecil dan atrofi, saraf panca indra mengecil sehingga berkurangnya penglihatan ,

hilangnya pendengaran , mengecilnya saraf penciuman dan perasa , lebih sensitif

terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap dingin. Pada sistem

kardio vaskuler terhadap perubahan elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung

menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung untuk memompa darah berkurang.

Perubahan sistem respirasi, otot–otot pernafasan kehilangan kekuatan, menurunnya

2

Page 4: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

aktifitas dari silia, paru–paru kehilangan elastisitas dan kemampuan pegas dinding dada,

kekuatan otot pernafasan akan menurun seiring dengan bertambahnya usia (Depkes

RI,1994). Kehilangan gigi, indera pengecap menurun, rasa lapar menurun, asam lambung

menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul konstipasi. Fungsi absorpsi melemah,

hati makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan adalah perubahan yang

terjadi pada sistem gastroitestinal. Sistem endokrin, produksi hampir semua hormon

menurun, dan menurunya aktivitas tiroid, basal metabolisme rate dan daya pertukaran zat

menurun. Pada sistem integumen : kulit mengkerut atau keriput akibat kehilangan

jaringan lemak, menurunnya respon terhadap trauma, dan menurunnya mekanisme

proteksi kulit. Perubahan pada muskuloskeletal : tulang kehilangan densitas dan makin

rapuh , persendian membesar, kaku, discus intervertebralis menipis dan terdapat kifosis

(Depkes, RI, 1994).

Perubahan yang terjadi pada sistem genitourinaria, ginjal merupakan alat untuk

mengeluarkan sisa metabolisme tubuh melalui urine, mengalami perubahan unit terkecil

dari ginjal mengecil dan menjadi atrofi, aliran darah keginjal menurun sampai 50 %,

fungsi tubulus berkurang akibatnya kemampuan mengkonsentrasikan urine berkurang

(Nugroho, 2000). Vesika urinaria, secara umum dengan bertambahnya usia kapasitas

kandung kemih menurun. Sisa urine setiap selesai berkemih cenderung meningkat dan

kontraksi otot – otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi (Darmojo

dan Martono, 1999). Penurunan kapasitas kandung kemih sampai 200 ml akan

menyebabkan frekwensi buang air seni meningkat (Kozier, 1995).

Sehubungan dengan faktor usia, seorang wanita akan mengalami perubahan yang

disebut sebagai masa menopause. Kapasitas reproduksi menurun dan organ kelamin turut

mengalami atrofi. Pada awalnya menstruasi menjadi tidak teratur dan tidak lancar, darah

haid yang keluar bisa sangat sedikit atau sangat banyak. Muncul gangguan vasomotoris

berupa penyempitan atau pelebaran pembuluh darah. Mengeluh pusing atau sakit kepala,

keluar keringat terus-menerus dan terjadi neuralgia atau gangguan syaraf (Kartono,K.,

1992;318).

2) Perubahan Aspek Psikologis dan Sosial Lansia

Menurut Departemen Sosial RI (1998) yang dikutip dari Hardywinoto dan Setiabudhi

(1999;41), permasalahan khusus lansia meliputi :

a. Berlangsungnya proses menua akan menimbulkan masalah fisik, mental maupun

sosial. Mundurnya kadaan fisik akan menyebabkan perubahan peran sosial lansia dan

lebih tergantung pada pihak lain.

3

Page 5: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

b. Berkurangnya integrasi sosial lansia akibat penurunan produktifitas dan kegiatan akan

memberikan pengaruh negatif pada kondisi sosial psikologis lansia.

c. Rendahnya produktifitas kerja lansia dibanding tenaga kerja muda.

d. Banyaknya lansia yang miskin dan terlantar yang memerlukan bantuan supaya bisa

mandiri.

e. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada masyarakat

individuaalistik menyebabkan lansia merasa tersisih dan kurang dihormati. Sebagian

generasi muda menganggap bahwa lansia tidak perlu lagi aktif dalam urusan hidup

sehari-hari.

f. Dampak negatif dari proses pembangunan, polusi, dan urbanisasi dapat mengganggu

kesehatan fisik dan terjadi ketimpangan jumlah lansia di desa dan di kota.

Masalah-masalah yang dialami lansia akibat purna tugas, menurut Darmojo dan

Martono (1999;22) diantaranya :

a. Kehilangan finansial, yaitu menurunnya sumber penghasilan umumnya terjadi,

kecuali pada orang yang kaya-raya.

b. Kehilangan status, terutama pada orang yang dulunya punya status dan posisi cukup

penting dengan berbagai fasilitasnya.

c. Kehilangan teman/kenalan, mereka akan jarang berinteraksi dengan teman sejawat

yang dulu hampir tiap hari dijumpai.

d. Kehilangan kegiatan/pekerjaan yang teratur dilakukan. Ini berarti mereka kehilangan

rutinitas yang telah dilakukan bertahun-tahun (Brocklehurst, 1987)

B. Proses Degeneratif

Di bidang Gastro-enterologi, pada populasi usia lanjut sebenarnya tidak ada

kelainan yang sangat khas. Walaupun terdapat perubahan seluler dan struktural seperti

organ tubuh lainnya, fungsi sistem gastrointestinal pada umumnya dapat

dipertahankan sebagaimana manusia sehat. Gangguan fungsi biasanya terjadi apabila

terdapat proses patologis pada organ tertentu, atau bilamana terjadi stress lain yang

memperberat beban dari organ yang sudah mulai menurun fungsi dan anatomiknya.

C. Proses Menua Pada Saluran Cerna

Proses menua pada saluran cerna menurut Blocklehurs dan Allen, 1987;

Morris dan Drew, 1985; Nelson dan Castel, 1990), antara lain :

1. Rongga Mulut

Gigi geligi mulai banyak yang tanggal, di samping itu juga terjadi kerusakan gusi

karena proses degenerasi. Kedua hal ini sangat mempengaruhi mastikasi makanan.

4

Page 6: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Lansia mulai merasakan sukar, lama kelamaan malas, untuk makan makanan

berkonsistensi keras. Kelenjar saliva menurun produksinya, sehingga

mempengaruhi proses perubahan kompleks karbohidrat menjadi disakarida

(karena enzim ptialin menurun) juga fungsi ludah sebagai pelicin makanan mulai

berkurang, sehingga proses menelan lebih sukar. Pentol pengecap di ujung lidah

menurun jumlahnya, terutama untuk rasa asin sehingga lansia cenderung untuk

makan makanan yang lebih asin.

2. Farings dan Esofagus

Banyak lansia sudah mengalami kelemahan otot polos sehingga proses menelan

jadi sukar. Kelemahan otot esofagus sering menyebabkan proses patologis yang

disebut hernia hiatus.

3. Lambung

Terjadi atrofi mukosa, atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief akan

menyebabkan sekresi asam lambung. Pepsin dan faktor intrinsik berkurang.

Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tambung

makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi pepton terganggu.

Karena seksresi asam lambung berkurang maka rangsang lapar juga berkurang.

4. Usus halus

Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaannya

berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan selajutnya juga menurunkan proses

absorbsi. Di daerah duodenum, enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu

juga menurun, sehingga metabolisme karbohidrat, protein dan lemak menjadi

tidak sebaik sewaktu muda. Keadaan yang seperti ini sering menyebabkan

gangguan yang disebut maldigestif atau malabsorbsi.

5. Pankreas

Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga kapasitas

metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada lansia

sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu empedu

yang menyumbat pada ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim

pankreas oleh enzim elatase dan fosfolipase-A yang di aktifkan oleh tripsin dan

atau asam empedu.

6. Hati

Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat, protein, dan

lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses detoksikasi,

5

Page 7: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi bilirubin dan lain sebagainya. Dengan

meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan terjadi perubahan akibat

atrofi sebagian besar sel, berubah bentuk menjadi jaringan fibrous. Hal ini akan

menyebabkan penurunan fungsi hati dalam berbagai aspek yang telah disebut tadi.

Hal ini harus diingat terutama dalam pemberian obat-obatan.

7. Usus besar dan rektum

Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas

kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorbsi air dan

elektrolit meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorbsi makanan), feses

menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air merupakan keluhan yang

sering didapat pada lansia. Konstipasi juga disebabkan oleh peristaltik kolon yang

melemah gagal mengosongkan rektum. Proses defekasi yang seharusnya dibantu

oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding

abdomen sudah melemah. Walaupun demikian harus dicatat, konstipasi tidak

selalu merupakan keadaan fisiologik, dan assesment yang teliti harus dilaksanakan

sebelum menentukan penyebab konstipasi dan terapinya.

8. Imunitas Gastro-intestinal pada usia lanjut

Sistem imun mukosal pada traktus gastro intestinal merupakan alat pertahanan

primer tubuh manusia terhadap faktor lingkungan yang masuk melalui mulut.

Setiap saat, epitel saluran makanan harus mengatasi antigen yang dapat

menggangu fungsi tubuh. Seolah-olah menjadi suatu pagar yang sangat selektif

yang harus mampu memilih substansi patogen dan antigen asing untuk segera

ditolak, tetapi tetap menyerap bahan nutrisi yang diperlukan. Sistem imunitas ini

berbeda dengan sistem imunitas sistemik. Faktor terpenting yang sangat

berpengaruh terhadap infeksi terhadap orang tua adalah nutrisi. Walaupun masih

memerlukan penelitian yang luas, pada umumnya disepakati bahwa nutrisi yang

kurang baik akan menyebabkan penderita menjadi lebih rentan terhadap infeksi.

Kontroversi yang smapai sekarang masih terjadi adalah tetang mekanisme

terjadinya imunosenesens (Aranz dan Ferguson, 1992). Imunosenesens adalah

perubahan gradual pada sistem imun yang terjadi pada individu yang telah

mencapai kematangan seksual. Perubahan ini berhubungan erat dengan proses

involusi dan atrofi kelenjar timus (Busby dan Caranasos, 1985)

6

Page 8: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

D. Gangguan dan Penyakit Pada Saluran Cerna

Adapun gangguan dan penyakit pada saluran cerna antara lain :

1. Esofagus (Vander Cammen, 1990 dan Reuben, 1996)

Berbagai penyakit esogagus pada usia lanjut serupa dengan terjadinya pada usia

muda. Sebagian tambahan kelainan akibat proses degeneratif yang berhubungan

dengan lanjutnya usia dapat mempengaruhi motilitas esofagus. Disamping ini

keganasan di daerah ini juga lebih banyak terdapat pada lansia dibanding pada

dewasa muda (Reuben et al, 1996). Dengan alasan tersebut maka pada keluhan

esofagus yang baru timbul pada lansia harus dikurangi sejauh mungkin terapi

coba-coba. Pemeriksaan endoskopi perlu untuk segera dikerjakan.

2. Gangguan motilitas

Seperti telah dikemukakan, dengan proses menua dapat terjadi ganggua motilitas

otot polos esofagus. Penderita lansia dengan keluhan disfagia (kesulitan menelan

atau nyeri waktu menelan) harus dievaluasi akan adanya penyakit esofagus.

Apabila mungkin, evaluasi dengan sineradiografi merupakan peneltian pertama,

yang kemudian bisa dilengkapi dengan pemeriksaan endoskopi dan pemeriksaan

otolaringeal.

Pada gangguan disfagia dibagi menjadi 3 kondisi :

a. Disfagia orofaringeal adalah penyakit yang mempengaruhi hipofarings dan

esofagus bagian atas mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengawali

proses menelan dan oleh karenanya juga bolus tidak sampai ke esofagus,

aspirasi dan regurgitasi nasal.

Pada usia lanjut penyebab penyakit ini adalah gangguan motilitas primer

(disfungsi kriko-faringeal, penyakit neurologik sentral atau perifer dan

berbagai gangguan metabolik, terutama diabetes melitus dan disfungsi tiroid).

b. Disfagia esofageal adalah gangguan motilitas dan obsrtruksi intrinsik dapat

berakibat terjadinya kesulitan atau pasase makan yang tak lengkap melalui

esofagus. Gejala sering berupa disfagia atau nyeri dada atau keduanya

bersamaan. Penyebab gangguan motilitas adalah akalansia, kelainan esofagus

spastik dan beberapa penyakit jaringan ikat. Pada kelainan ini

penetalaksanaannya sama dengan apabila terjadi pada dewesa muda. Disfagia

tipe ini pada lansia juga bisa disebabkan adanya kompresi mekanik oleh

degenerasi aorta (disfagia aortika), pembesaran atrium kiri, aneurisma toraks

atau mediastinal setelah proses bedah toraks (Reuben et al, 1996)

7

Page 9: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

c. Penyakit refluks gastro-esofageal (GERD = gasto-esofageal reflux

desease) adalah penyakit yang umum disemua golongan umur, tetapi insidensi

mencapau puncak pada usia 60-70 tahun. Terjadi akibat refluks isi lambung

ke esofagus. Data epidemiologi sulit untuk disusun dengan baik, mengingat

kriteria diagnosisnya tidak sama. Penyebabnya antara lain adanya

inkompetensi sflingter esofagus bawah, relaksasi sflingter sepintas dan

terkomprominya mekanisme anti reflux yang lain (misalnya karena adanya

kompresi ekstrinsik sflingter, integritas ligamentum frenoesofageal, bersihan

asam di esofagus). Mekanisme anti reflux dapat dilihat sebagai berikut :

Berbagai zat yang menurunkan kompetensi sfingter esofagus bawah

termasuk coklat, alkohol, lemak, tembakau dan mungkin kafein dapat

memperberat GERD (Reuben et al, 1996). Gejala dan tanda komplikasi GERD

pada populasi lansia seperti yang terdapat pada populasi lain. Rasa panas di ulu

hati, regurgitasi asam, disfagia dan nyari dada merupakan gejala yang paling

sering dikeluhkan . refluks ke saluran nafas menyebabkan batuk dan spasme

bronkus. Komplikasi utama berupa striktur esofagus distal. Terapi seperti pada

Hernia hiatus (Vander Cammen, 1991)

3. Hernia Hiatus

Hernia hiatus meningkat prevalensinya dengan meningkatnya usia menjadi sekitar

60-90% pada usia 70 tahun (Vander Cammen,1991). Walaupun asimtomatik,

seringkali menimbulkan gejala-gejala refluks, disfagia, hemorhagia akibat ulserasi

peptik pada esofagus dan volvulus lambung (pada penderita dimana seluruh

lambung hernia ke rongga toraks). Diagnosis bisa ditegakan dengan foto barium

dan esofaguskopi. Penatalaksanaan bisa digunakan dengan cara non farmakologi,

antara lain tidur dengan kepala tinggi, mengurangi membungkuk, mengurangi

jumlah makanan, menurunkan berat badan pada mereka yang gemuk dan berhenti

8

Tabel 1. Mekanisme anti- refluks

1. Bentuk diafragma kanan2. Segmen intra abdominal3. Sudut masuk esofagus ke lambung4. Mukkosa esofagus yang menyempit5. Sfingter gastro-esofageal.

(dari :Bennet, JR, 1988)

Page 10: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

merokok. Terapi farmakologi bisa ditambahkan diantaranya obat prokinetik

(misalnya metoklopramid) dan pengehambat H2 (simetidin dan ranitidin) yang

mungkin diperlukan dalam jangka waktu antara 4-8 minggu.

4. Divertikula

Divertikula yang paling sering didapati di dapati di esofagus biasanya terletak

diatas sfingter esofagus atas (Divertikula Zenker), dibagian tengah esofagus

(divertikula karena tarikan), atau tepat diatas sfingter esofagus bawah

(divertikula epifrenik). Sering di diagnosa seelah usia dewasa, diakibatkan oleh

gangguan motorik. Divertikula Zenker sering dihubungkan dengan disfungsi

kriko-faringeal, biasanya diawali dengan disfagia sepintas. Bila divertikula

membesar, gejala regurgitasi, aspirasi dan massa dileher yang tampak jelas, makin

nyata. Divertikula esofagus dibagian tengah lebih sering asimtomatik, sedangkan

divertikula epifrenik mungkin juga memberi gejala disfagia dan regurgitasi

(Vander Cammen, 1991 dan Reuben, 1996) Diagnosa ditegakan atas dasar

pemeriksaan esofagogram. Pemeriksaan endoskopi dan manometrik sering tidak

memberikan tambahan informasi.

Gejala ringan bisa diberikan pengobatan simtomatik dan prokinetik. Gejala yang

berat memerlukan tindakan pembedahan (Reuben, 1996).

5. Penyakit pada gangguan lambung

Walaupun jenis penyakit dan gangguan lambung pada populasi lansia dan dewasa

muda serupa, akan tetapi penampilan dan penyebab penyakit dan gangguan

tersebut seringkali berbeda. Hal ini karena adanya perubahan fisilogik dan

berbagai penyakit ko-morbid yang sering terdapat pada lansia. Tampilan penyakit

dan gangguan lambung pada lansia temasuk penyakit peptik-sering tidak khas.

6. Gangguan motilitas gastro intestinal primer

Gangguan motilitas gasrto-intestinal primer adalah gangguan yang tidak

berhubungan dengan penyakit tertentu. Tampilan klinik, patofisiologi dan

pengobatannya bervariasi. Gastro-paresis idiopatik dan dispepsia fungsional bisa

terjadi pada lansia.

7. Gangguan motilitas GI sekunder (vander Cammen, 1991)

Berbagai penyebab yang sering terdapat pada populasi lansia, antara lain

gangguan neuro-muskuler, gangguan vaskuler kolagen, dan obat-obatn dapat

menyebabkan gangguan motilitas GI. Disamping itu, gastro-paresis juga bisa

9

Page 11: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

diakibatkan tindakan bedah disaluran cerna yang merubah anatomi dan

mempengaruhi mekanisme yang mengontrol motilitas.

Neuropati diabetik merupakan kelainan yang umum yang mempengaruhi

inervasi saluran cerna dan mempengaruhi motilitas. Kelainan degeneratif susunan

syaraf otonom pada lansia, misalnya sindroma Shy-drager dan hipotensi ortostatik

idiopatik bisa mengakibatkan komplikasi gastroparesis.

Berbagai kelainan SSP, antara lain trauma medula spinalis, kelainan SSP

paroksismal (vertigo, migren) dan lesi intrakranial juga dilaporkan disertai dengan

gangguan pengosongan lambung.

Hipertiroidisme dapat menyebabkan percepatan pengosongan lambung dan

laluan di intestinum. Sebaliknya, hipotiroidisme menyebabkan perlambatan

pengosongan lambung dan pseudo-obstruksi intestinal. Beberapa obat antara lain :

agonis adrenergik, agonis dopaminergik, antagonis kolinergik dan obat

penghambat aktivitas kontraktil dan melambatkan pengosongan lambung. Agonis

kolinergik dan serotonin akan meningkatkan motilitas lambung.

Dalam hal pemeriksaan tes pengosongan lambung dengan radio sintigrafi

dapat mengukur pengosongan lambung secara kwantitatif, sedangkan manometrik

gaster dapat mengukur kontraktilitas lambung dan intestinum tenue dengan

mengukur tekanan intraluminernya. Penatalaksanaan pada gangguan motilitas bisa

berupa modifikasi diet atau dengan obat-obatan. Gejala penderita dengan gastro-

paresis bisa dikurangi dengan pemberian makanan sedikit demi sedikit atau

dengan merubah komposisi (misalnya dengan meningkatkan cairan) sehingga

meningkatkan pengosongan lambung. Retensi lambung persisten merupakan

indikasi penggunaan obat pro-motilitas (betanekol, metoklopramid, sisaprid)

untuk meningkatkan kontraktilitas. Bila keadaan menyebabkan gangguan yang

sangat berat, tindakan bedah mungkin diperlukan.

8. Gastritis

Gastritis adalah suatu proses inflamasi pada lapisan mukan submukosa lambung.

Secara histopatologik dapat dibuktikan adanya infiltrasi sel-sel radang pada

daerah tersebut. Secara garis besar gastritis dapat dibagi dalam beberapa bentuk,

atas dasar (Misiewiez et al, 1990) :

a. Manifestasi klinis

b. Gambaran histologi yang khas pada gastritis.

c. Distribusi anatomik

10

Page 12: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

d. Kemungkinan patogenesis gastritis.

Insidensi gastritis meningkat dengan lanjutnya usia. Gastritis atrofikans

merupakan penyebab tersering terjadinya hipo atau akhlorhidia. Gastritis akut

sering disebabkan oleh konsumsi alkohol, obat-obatan (terutama anti inflamasi

non steroid) dan toksin stafilokokus. Jenis superfisial ditndi dengan adanya

inflamasi, edema dan produksi mukus yang berlebihan. Pada lansia seringkali

asimtomatik atau dianggap sebagai akibat normal penyakit menua. Pada jenis

hipertrofikans secara endoskopik terlihat pembengkakan mukosa sehingga

berbentuk seprti spons, disertai disana-sini terdapat ulserasi dan erosi (Matteson,

1988).

Perubahan histologik yang jelas terdapat pada kondisi patologis antara lain

anemia pernisiosa dan defisiensi besi, hepatitis virus, pasca radiasi abdomen dan

pasca operasi lambung.

Gastritis Kronis

Disebut gastritis kronis bila terjadi infiltrasi sel radang seperti disebutkan

diatas yang terjadi pada lamina propria, daerah epitelial atau pada kedua daerah

tersebut terutama terdiri atas limfosit dan sel plasma. Kehadiran granulosit netrofil

pada daerah tersebut menendakan peningkatan aktivitas gastritis kronik

(Misiewiez et al, 1990).

Klasifikasi menurut Whitehead (1972) adalah sebagai berikut :

a. Gastritis kronis superfisialis, bila sel radang kronis terbatas pada lamina

propria mukosa superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar

mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar tetap utuh.

b. Gastritis kronik atrofik, bila sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam

disertai distorsi dan destruksi sel-sel kelenjar mukosa yang lebih nyata.

c. Metaplasia intestinalis, dimana terjadi perubahan-perubahan histopatologis

kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar mukosa usus halus yang

mengandung sel goblet. Perubahan tersebut dapat terjadi hmpir pada seluruh

segment lambung, tetapi dapat pula hanya berupa bercak-bercak pada

beberapa bagian lambung.

Whitehead juga menjelaskan tentang atrofi gaster yang merupakan kelanjutan

dan merupakan stadium akhir dari gastritis kronis atrofik. Pada saat ini struktur

kelenjar menghilang terpisah satu dan yang lainnya secara nyata oleh jaringan

11

Page 13: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

ikat. Menurut distribusi anatomiknya, Strickland dan McKay, 1973

memberikan klasifikasi sebagai berikut :

a. Gastritis kronik korpus atau tipe A, dimana perubahan histopatologik

terjadi pada korpus dan kardia lambung. Tipe ini sering dihubungkan dengan

proses oto-imun dan dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.

b. Gastritis kronik antrum atau tipe B, merupakan tipe yang sering dijumpai

dan akhir-akhir ini sering dihubungkan dengan infeksi kuman Helicobacter

pilori.

c. Gastritis multifokal atau tipe AB yang diajukan oleh Correa (1988) yang

distribusi anatomiknya menyebar keseluruh gaster. Penyebaran kearah korpus

menigkat dengan seiring dengan lanjutnya usia.

Secara etiologi terdapat dua hal penting, yaitu imunologik dan bakteriologik.

a. Imunologik : terutama pada gastritis kronik korpus yang berkorelasi kuat

dengan oto-antibodi sel parietal. Ciri-ciri khusus adalah bahwa secara

histopatologik berbentuk gastritis kronik atrofik dengan predominasi korpus

yang dapat menyebar ke natrum dan hipergastenemia (Misiewiez, 1990)

keadaan ini dapat berlanjut menjadi anemia pernisiosa.

b. Bakteriologi : pada mulanya kuman ini disebut sebagai Kampilo-bakteri

pilori. Terdapat diseluruh dunia dan berkolerasi dengan tingkat sosio-ekonomi

masyarakat. Prevalensi meningkat dengan meningkatnya umur.

c. Aspek lain : disamping kedua faktor diatas, faktor refluks entero-gaster cairan

pankreato-bilier, asam empedu dan lisolesitin masuk kedalam lumen lambung

merupakan penyebab terjadinya gastritis kronis (Mc Guigan, 1991)

Diagnosis. Pada lansia gastritis kronis seringkali asimtomatik atau berupa

keluhan yang khas yang tidak memberikan informasi penting untuk menegakan

diagnosis (Mc Guigan, 1991). Diagnosis karenanya ditegakan atas dasar

pemeriksaan endoskopi dan histopatologik. Secara endoskopi di temukan

topografi eritema/eksudatif, erosi datar, erosi terangkat, atrofi hemoragik, refluks

dan rugae. Sedangkan pada histopatologi sebaiknya mencakup 3 komponen

utama, yaitu etiologik, topografik, dan morfologik. Etiologi menegaskan ada

tidaknya kuman Helikobakter pilori, sedangkan morfologi menerangkan tentang

inflamasi (akut/kronik), aktivitas, atrofi, metaplasia, intestinalis.

Pemeriksaan penyaring dengan urea breath test dan serologi seringkali

diperlukan untuk menentukan adanya infeksi Helikobakter pilori, juga untuk

12

Page 14: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

menilai kebersihan eradikasi. Hasil positif pada penderita tanpa keluhan bukan

berupa indikasi pengobatan karena tingginya angka infeksi, terutama pada lansia

(Tytgat, 1990)

Pengobatan. Pada gastritis kronis oto-imun, pengobatan ditujukan pada

anemia pernisiosa yang diakibatkannya. Vitamin B-12 parenteral dapat

memperbaiki keadaan anemianya (Mc Guigan, 1991). Eradikasi Helikobakter

pilori dianjurkan untuk gastritis kronik yang berhubungan dengan infeksi kuman

tersebut.

Kombinasi obat untuk eradikasi helikobakter pilori

Tripel drugs (diberikan 1-2 minggu)

Bismuth triple terapy : colloidal bismuth subnitrat (DENOL) 4 x 120 mg/hari

Pilih 2 diantara 3 : metronidasol 4 x 500 mg/hari dan amoksisilin 4 x 500 mg/hari,

tetrasiklin 4 x 500 mg/hari

“PPI based” triple terapy : omeprasol 2 x 20 mg/hari atau Lansoprasol 2 x 30

mg/hari atau lansoprasol 2 x 40 mg/hari.

2 antibiotika dari : klaritromisin 2 x 250-500 mg/hari, amoksisilin 2 x 1000

mg/hari atau metronidasol 2 x 400-500 mg/hari

9. Gangguan pada hati (Nelson dan Castell, 1990, Vander Cammen, 1991)

a. Hepatitis kronik aktif

Keadaan ini ditandai dengan nekrosis piecemeal disertai nekrosis

bridging atau kolaps multi-lobuler dengan infiltrasi limfositik dan sel plasma.

Bersama dengan kelainan-kelainan tersebut, pada 2/3 penderita ditemukan

antibodi otot polos didalam darahnya.

Perubahan histologik hepatitis kronik aktif bisa didapatkan menyertai

kolitis ulseratif atau setelah terpapar obat tertentu misalnya metyldopa,

Isoniazid, Nitrofurantoin, oksifenistan dan kotekonasol.

Terapi.

Oleh karena perjalanan penyakit bervariasi, terapi dengan steroid

hanya diberikan pada mereka yang menunjukan gejala. Penderita menjalani

pemeriksaan biokimiawi dan bilamana perlu dilakukan biopsi. Penderita

dengan penyakit berat mungkin memerlukan pengobatan steroid jangka

panjang.

13

Page 15: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

b. Sirosis Bilier Primer (Vander Cammen, 1991, Matteson, 1988)

Gambaran klinis yang sering dijumpai antara lain pruritus, pigmentasi

kulit, sindroma malabsorbsi, jari tabuh, pembesaran hati dengan tepi rata,

splenomegali, antibodi anti mitokondria yang (+), peningkatan kadar IgM atau

peningkatan fosfatase alkalin serum.

Beberapa penderita menunjukan gejala yang mengesankan terkenannya

beberapa sistem lain : Syndroma CRST (Calcinosis Raynaud’s desease,

selerodactily dan telangi-ectasia), penyakit tiroid atau sydroma Sjogren.

Pengobatan

Pada lansia, penyakit ini biasanya asimtomatik. Penderita dengan

ikterus sebainya diberikan vitamin larut lemak A dan D untuk mencegah

osteomalasia dan K, suplemen kalsium serta koles-tiramin untuk mengobati

pruritus.

c. Sirosis

Pada lansia perjalan penyakit ini sama pada usia dewasa muda.

Keadaan ini biasanya disebabkan oleh hepatitis virus, alkoholisme, gangguan

imunitas, kolestatis berkepanjangan, over load zat besi, malnutrisi, bypass

jejunoileal, atau bisa timbul sebagai sirosis kriptogenik yang tidak jelas

penyebabnya.

10. Penyakit Kantung Empedu dan Traktus biliaris

Penyakit pada lansia yang berkaitan dengan kantung empedu dan traktus

biliaris yaitu :

a. Batu empedu (Matteson, 1988, Vander Cammen, 1991, Nelson dan

Castell, 1990)

Penyakit batu empedu memiliki insidensi tinggi seiring peningkatan

umur, ditemukan sekitar 1/3 lansia berumur 70 tahun menderita penyakit batu

empedu. Gejala yang ditimbulkan : ikterus ringan dalam jangka waktu singkat

atau ikterus obstruktif berat, kolesistitis, kolangitis atau kolik bilier. Diagnosis

ditegakan menggunakan pemeriksaan USG dan ERCP. Pada beberapa

penderita mungkin perlu dilakukan koleangiografi.

Penatalaksanaan tergantung pada lokasi dan tipe batu, komplikasi

saluran batu empedu dan keadaan kesehatan umum penderita. Pemberian asam

urso-deoksikolat atau asam kenodeoksikolat bisa dicoba untuk melarutkan

batu radiolusen. Pada penderita batu radio-opak yang mengalami serangan

14

Page 16: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

kolesistitis atau kolangitis, harus dilakukan kolesistektomi. Pada penderita

yang fisiknya lemah disertai ikterus obstruktif , ERCP dengan papilektomi

merupakan terapi pilihan.

b. Karsinoma Kandung Empedu (Matteson, 1988, Vander Cammen, 1991)

Penyakit ini khas pada wanita lansia. Terdapat hubungan erat dengan

batu empedu. Manifestasi utama biasanya berupa ikterus obstruktif, nyeri

kuadran perut kanan atas dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik

biasanya teraba massa keras di hipokondrium kanan. Diagnosis ditegakan

dengan pemeriksaan USG dan ERCP. Pengobatan dengan operasi, tetapi

prognosis penyakit ini buruk. Seringkali hanya tindakan paliatif yang bisa

dikerjakan, berupa insersi prostesis untuk mengurangi ikterus, karena tumor

biasanya inoperabel.

c. Karsinoma Saluran Empedu (Kolangiokarsinoma)

Penyakit ini cendrung mengenai wanita. Gambaran klinis penyakit ini

antara lain ikterus obstruktif, yang sering kali intermiten, nyeri, penurunan

berat badan dan hepatomegali nyata. Diagnosis biasanya dengan ERCP.

Prognosis tergantung dari letak tumor. Penderita dengan tumot dibagian

ampula memberikan prognosis lebih baik daripada tumor yang berasal dari

kantung empedu. Pada keadaan berat tersebut hanya bisa dilakukan tindakan

paliatif atau dengan radioterapi.

11. Penyakit Pada Pankreas (Morris dan Dew, 1985, Matteson, 1988, Vander

Cammen, 1991, Nelso dan Castell, 1990, Reuban, 1996)

a. Pankreatitis akut

Kejadian pankreatitis akut terjadi pada usia diatas 50 tahun 2-3 kali

lebih tinggi dibanding penderita muda (Vander Cammen, 1991). Gambaran

klinis diantaranya adalah nyeri epigastrik yang dijalarkan ke punggung,

tumpah, konfusio atau tidak sadar, kadang terdapat efusi pleura atau bisa

didapatkan gambaran EKG abnormal. Pada pemeriksaan amilase serum

meningkat (mungkin normal setelah di periksa beberapa hari), lipase gula

darah dan bilirubin meningkat. Faktor penyebab antara lain batu empedu,

iskemia, hipotermia, dan keracunan karbon monoksida. Pada lansia

komplikasi lebih berat dan mortalitas lebih tinggi.

Penatalaksanaan antara lain dengan rehidrasi parenteral, analgesia, dan

aspirasi cairan duodenum. Penderita dipuasakan untuk menurunkan stimulasi

15

Page 17: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

pankreas. Laparotomi likakukan pada penerita yang mengalami komplikasi,

misalnya abses pankreas atau pseudokista. Dan bisa dilakukan tindakan

operatif.

b. Pankreatitis kronis

Biasanya akibat pankreatitis akut berulang. Gambaran klinis antara lain

nyeri, mual dan muntah pada separuh penderita, penurunan berat badan, diare,

dan glukosuria. Pemeriksaan yang sering untuk menegakan diagnosis

menunjukan diantaranya foto polos perut yang memperlihatkan adanya

kalsifikasi pankreas dan test lundt yang menunjukan penurunan aktifitas

tripsin.

Penatalaksanaan penderita dengan diare dan mal absorbsi memerlukan terapi

dengan ekstrak pankreas.

c. Karsinoma Pankreas (Morris dan Dew, 1985, Nelson dan Castell, 1990,

Vander Cammen, 1991)

Penyakit ini mempenyai insidensi puncak pada usia 80 tahun ke atas

dengan gambaran klinis berupa ikterus obstruktif tanpa nyeri, anoreksia,

penurunan berat badan, pembesaran hati, melena dan trombosis vena dalam.

Tindakan diagnosis pilihan adalah USG dan ERCP. Penatalaksanaan pada

penderita hanya berupa terapi paliatif untuk mengurangi ikterus karena

biasanya penderita datang pada stadium lanjut.

12. Penyakit Usus Kecil dan Usus Besar (Brocklehurst dan Allen, 1987, Vander

Cammen, 1991, Reuben 1996)

a. Malabsorbsi

Berbagai keadaan bisa menyebabkan malabsorbsi pada lansia. Pada

lansia terdapat gejala berupa kelemahan umum , nyeri otot, memburuknya

kesehatan secara umum, penurunan berat badan dan konfusio. Gejala diare

atau steatore jarang terjadi. Berbagai penyebab Malabsorbs menurut Vander

Cammen, 1991:

Penyakit coeliac

Penyakit divertikula pada usus kesil

Sindroma pasca gasterktomi

Amilodosis

Limfoma

Sirosis bilier primer

16

Page 18: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Beberapa penyakit kulit.

Tata cara diagnosis memerlukan beberapa tindakan :

Guna mencari penyebab malabsorbsi dilakukan tes absorbsi silose,

biopsi usus kecil, kultur cairan aspirat jejenum (yang diambil saat

biopsi). Juga tes nafas dengan 14 C-Glocokolic, pengukuran retensi

Sehcat (suatu konyugat taurin dari garam empedu sintesis yang

mengandung isotop selenium-75), tes triolein 14C sebagai alternatif

perkiraan lemak fekal, ERCP dan USG pankreas.

Pemeriksaan defisiensi nutrisi, terapi antibiotika untuk penderita yang

mengalami pertumbuhan bakteri di usus atau diet bebas gluten bagi

penderita penyakit coeliac yang disertai diare dan nyeri perut hebat.

13. Gangguan Motilitas Usus Halus (Reuben, 1996, Vander Cammen, 1991)

Berbagai kelainan pada usus halus menyebabkan obstruksi fungsional, tanpa

adanya obstruksi mekanik. Abnormalitas yang terjadi akibat adanya disfungsi

neuron atau otot polos. Gejala yang timbul adalah distensi perut, kembung, kolik

perut, anoreksia, nausea, dan vomitus. Kadang-kadang dehidrasi dan uremia

ringan.

Pada obstruksi intestinal idiopatik primer, yang terjadi karena kelainan

aktivitas neuromuskuler yang tidak serupa pada setiap penderita. Kelainan yang

sporadik dapat menimbulkan perumbhan bakteri hebat di usus yang terkena,

sehingga memberi gejala diare dan steatore.

Psedo-obstruksi sekunder pada usus halus bisa terjadi karena penyait kolagen

vaskuler (skleroderma), gangguan neurologik, penyakit primer pada otot (distrofi

otot), penyakit endokrin (DM), gangguan elektroit dan obat-obatan. Ileus

adinamik terjadi bila kehilangan motilitas usus kecil. Tindakan diagnostik yang

dilakukan untuk mencari penyebabnya.

14. Iskemia Mesenterik (Vander Cammen, 1991, Nelson dan Castell, 1990)

Trombosis atau emboli pada vena maupun arteri dapat mengenai pembuluh

darah mesenterium sehingga menyebabkan iskemia mesenterik. Tanda dan

gejalanya berupa aterosklerosis, infark. Dan gejala khas nyeri perut mendadak,

yang terlokalisasi di epigastrum dan umbiikus. Gejala badominal lain adalah mual

muntah, diare, perut membesar dan syok.

Pada kondisi iskemia intestinal kronik, gejala nyeri perut berulang 10-15

menit setelah makan, dirasakan di bagian perut atas. Nyeri kemudian menghilang

17

Page 19: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

pada 1-3 jam . maka penderita biasanya “ takut makan” sehingga makan sedikit-

sedikit. Baik kondisi akut atau kronis biasanya diagnosis ditegakan dengan

arteriografi, pada kondisi nekrosis dilakukan emboliktomi, rekonstruksi arteri dan

eksisi usus. Juga bisa dilakukan tindakan by pass untuk memperbaiki aliran darah

pada iskemia kronis.

15. Penyakit Crohn (Vander Cammen, 1991 dan Matteson, 1988)

Penyakit Corhn mempunyai insidensi 2 kali lipat pada usia 70 tahun keatas.

Bagian usus yang terkena adalah ileum dengan atau tanpa penyebaran ke kolon

kanan. Prognosis tergantung pada daerah yang terkena. Bila mengenai ileum,

gejala obstruksi dan komplikasi lain sering dilakukan bedah.

Gejala klinis berupa diare, nyeri perut dan anus, serta simtom sistemik yang

tidak jelas, konfusio. Terapi yang diberikan berupa sulfasalin dengan atau tanpa

kortikosteroid. Penambahan Metronidasol memberikan penyembuhan yang lebih

baik, terutama bila lesi mengenai kolon perianal. Pemberian asatiprin memberikan

penyembuhan yang lebih baik bila terjadi fistula perianal. Tindakan beda

diperlukan bila terjadi komplikasi fistula, abses dan peritonitis. Mengistirahatkan

usus dan memberikan nutrisi secara adekuat, koreksi anemia, gangguan elektrolit

dan cairan mempercepat penyembuhan.

16. Karsinoma Kolon dan Rektum (Morris dan Dew, 1985, Vander Cammen,

1991, reuben 1996)

Keganasan yang terjadi pada lansia dengan insidensi cukup sering. Keadaan

prekondisi terjadinya keganasan akibat kolitis ulserativa, polip kolon, atau

adenoma. Ditandai dengan diare, inkotinensia fecal, konstipasi dan perdarahan

perektal dengan atau tanpa anemia. Terba massa di kolon. Diagnosis ditegakan

dengan pemeriksaan radoilogik dengan kontras barium. Pemeriksaan

sigmoidoskopi dan kolonoskopi disertai pemeriksaan histologik akan lebih

mengkonfirmasi diagnosis. Oleh karena biasanya didapatkan stadium lanjut

dengan metastas yang cuku luas (ke tulang dan hati).

E. Kebutuhan Gizi Pada Lanjut Usia

18

Page 20: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Kebutuhan gizi klien lansia perlu dipenuhi secara adekuat untuk kelangsungan

proses penggantian sel dalam tubuh, mengatasi proses menua dan memperlambat

terjadinya usia biologis. Kebutuhan kalori pada klien lansia akan berkurang karena

semakin berkurangnya kalori dasar sebagai akibat kegiatan fisik. Kalori dasar adalah

kalori yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat,

misalnya untuk jantung, usus, pernapasan, ginjal, dan lain-lain. Kebutuhan kalori pada

lansia tidak melebihi dari 1700 kal, sebaiknya disesuaikan dengan macam kegiatan.

Kebutuhan protein normal pada lansia adalah 1 grm/kgBB/hari.

Makanan yang mengandung lemak hawani harus dikurangi, misalnya daging

sapi, daging kerbau, kuning telur, otak dan lai-lain. Lansia disarankan untuk

mengkonsumsi makanan tambahan yang banyak mengandung kalsium (Ca) atau zat

kapur. Kebutuhan kalsium pada lansia adalah 14,1 mg/kgBB/hari. Zat besi perlu

diberikan untuk memperlancar pembentukan darah. Pemberian garam natrium harus

dikurangi untk mengurangi kemungkinan adanya tekanan darah tinggi. Para lansia

perlu mendapatkan asupan buah-buahan untuk mendapatkan vitamin. Untuk

menghindari konstipasi (sembelit), klien lansia harus diberi makanan yang cukup

mengandung serat, misalnya beras tumbuk, akar-akar hijau, kacang-kacangan, buah-

buahan, serta banyak minum (1500-2000 cc) yang sekaligus berguna untuk membantu

kerja ginjal.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gizi pada lansia adalah :

1. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan (akibat kerusakan gigi/ompong)

2. Berkurangnya cita rasa

3. Berkurangmya koordinasi otot

4. Keadaan fisik yang kurang baik

5. Faktor ekonomi dan sosial

6. Faktor penyerapan makanan

A. Masalah Gizi Pada Lansia

Terdapat beberapa masalah gizi yang sering dialami lansia, antara lain :

1. Gizi berlebih

Gizi berlebihan disebabkan oleh kebiasaan makan yang berlebihan diusia muda

sehingga menimbulkan obesitas. Apalagi pada lansia, penggunaan kalori yang

berkurang karena berkurangnya aktivitas fisik. Kebiasaan makan ini sulit untuk

dirubah walaupun klien telah menyadari untuk mengurangi makan. Kegemukan

19

Page 21: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

merupakan salah satu pencetus terjadinya berbagai penyakit, misalnya penyakit

jantung, diabetes melitus, penyempitan pembuluh darah, dan hipertensi.

2. Gizi kurang

Gizi kurang sering disebabkan oleh masalah sosial ekonomi dan juga karena

gangguan penyakit. Bila konsumsi kalori terlalu rendah dari yang dibutuhkan, hal

tersebut menyebabkan berat badan berkurang. Apabila kondisi ini disertai dengan

kekurangan protein, kerusakan sel terjadi yang tidak dapat diperbaiki. Akibatnya

rambut rontok, daya tahan terhadap penyakit menurun, atau mudah terkena infeksi

pada organ tubuh yang vital

Adapun faktor penyebab malnutrisi pada lansia adalah :

a. Penyebab akut dan kronis

b. Keterbatasan sumber penghasilan

c. Faktor psikologis

d. Hhilangnya gigi

e. Kesalahan dalam pola makan

f. Kurangnya energi untuk mempersiapkan makanan

g. Kurangnya pengetahuan tentang nutrisi yang tepat.

3. Kekurangan Vitamin

Bila lansia kurang mengkonsumsi buah dan sayur, ditambah kekurangan protein

dalam makanan, hal tersebut mengakibatkan nafsu makan berkurang, pengelihatan

mundur, kulit kering, nafsu, lemah lunglai dan tidak semangat.

B. Pengkajian Status Gizi

Perawata harus melakukan pengkajian status gizi, yaitu dengan cara :

Pertama, pengukuran antropometrik yaitu mengukur tinggi badan (TB) dan berat

badan (BB), kemudian menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT). IMT pada perempuan

normalnya 17-23, sedangkan untuk lakilaki adalah 18-25.

IMT = KgBB / (TB)²

Para lansia mengalamai penurunan tinggi badan dikarenakan oleh :

1. Komponen cairan tubuh yang berkurang sehingga diskus invertebralis relatif

kurang mengandung air sehingga menjadi lebih pipih.

2. Semakin tua cendrung semakin kifosis

3. Osteoporosis yang sering kali terjadi pada wanita lanjut usia akan mudah

mengakibatkan fraktur vertebra sehingga tinggi badan berkurang

4. Penurunan tinggi badan akan mempengaruhi hasil pengukuran IMT

20

Page 22: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Oleh sebab itu dianjurkan untuk menggunakan ukuran tinggi lutut (knee height) untuk

menentukan dengan pasti tinggi badan seseorang. Tinggi lutut tidak akan berkurang

kecuali terdapat fraktur tungkai bawah.

Dari tinggi lutut dapat diukur tinggi badan sesungguhnya, yaitu :

TB pria = 59.01 + (0,28 x TL)

TB wanita = 75,00 + (1,91 x TL) – (0,17 x U)

Catatan : TL = tinggi lutut, U = usia

Selain itu dapat digunakan parameter laboratorium yaitu dengan mengukur nilai

haemoglobin dan albumin serum. Perlu diketahui paruh waktu albumin serum adalah

21 hari maka pemantauan status gizi dapat pula menggunakan transferin (waktu paruh

8 hari) atau kadar pre-albumin (waktu paruh 2 hari)

C. Pemberian Makanan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan :

1. Apakan makanan yang disajikan memenuhi kebutuhan gizi.

2. Sajikan makanan tersebut pada waktunya secara teratur dan dalam porsi yang

kecil saja.

3. Jangan menunjukan rasa bosan dalam melayani klien lansia, tunjukan ekspresi

gembira.

4. Beri makanan secara bertahap dan bervariasi, terutama bila nafsu makan

berkurang

5. Perhatikan makanan apa yang tidak disukai atau yang disukai, agar dapat

menentukan jenis makanan sesuai seleranya.

6. Jika mendapat diet tertentu, perhatikan apakah diet tersebut sesuai dengan

petunjuk dokter misalnya untuk DM dan Hipertensi.

7. Beri makanan yang lunak serta menghindari konstipasi serta memudahkan

mengunyah, terutama bagi klien lansia yang sudah ompong, misalnya dalam

bentuk nasi tim atau bubur.

Cara pemberian makan pada klien lansia :

1. Posiskan klien setengah duduk

2. Periksa apakah mulutnya dalam keadaan bersih

3. Letakan serbet diatas dadanya guna mencegah bajunya tidak kotor

4. Suapi dengan sendok yang tidak terlalu penuh

5. Penolong atau perawat dapat berdiri disisi tempat tidur

6. Sediakan waktu yang cukup untuk membantu memberikan makanan

21

Page 23: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

7. Jangan tergesa-gesa agar jalan makanan tidak terganggu dan menghilangkan nafsu

makan.

D. Perencanaan Makan untuk Lanjut Usia

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pemberian makanan untuk

klien lansia :

1. Porsi makan yang perlu diperhatikan, jangan terlalu kenyang.

2. Banyak minum dan kurangi garam. Banyak minum dapat melancarkan

pengeluaran sisa makanan. Pengurangan garam akan mengurangi kerja ginjal dan

mencegah terjadinya Hipertensi.

3. Membatasi penggunaan kalori hingga berat badan dalam batas normal, terutama

makanan yang manis atau gula dan makanan yang berlemak. Kebutuhan kalorii

usia 60 tahun 1700 kal sedangkan pada usia 70 tahun adalah 1500 kal.

4. Bagi lansia yang proses penuaannya sudah lebih lanjut perlu diperhatikan :

a. Mengkonsumsi makanan yang mudah dicerna

b. Hindari makanan yang terlalu manis, gurih, dan gorengan.

c. Jika terjadi kerusakan gigi atau menggunakan gigi palsu, sajikan makanan

yang lunak dan mudah dicerna.

d. Makanan dalam porsi kecil tapi sering

e. Makanan kudapan, susu, buah dan sari buah sebaiknya diberikan.

5. Batasi minum kopi dan teh. Minuman tersebut boleh diberikan tetapi perlu

diencerkan untuk membantu merangsang gerakan usus dan menambah nafsu

makan.

E. Menu Seimbang untuk Lanjut Usia

Menu adalah susunan hidangan yang dipersiapkan untuk disajikan pada waktu makan.

Menu seimbang untuk lanjut usia adalah susunan makanan yang mengandung cukup

unsur gizi yang dibutuhkan

Syarat menu seimbang untuk lansia :

1. Mengandung gizi yang beraneka ragam bahan makanan yang terdiri atas zat

tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur.

2. Jumlah kalori yang baik untuk dikonsumsi lansia adalah 50% dari hidrat arang

yang merupakan hidrat kompleks (sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian)

3. Jumlah lemak harus dibatasi, yaitu 25-30% dari total kalori

4. Jumlah protein yang baik dikonsumsi 8-10 dari total kalori

22

Page 24: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

5. Dianjurkan makanan yang tinggi serat (selulose) yang bersumber pada buah, sayur

dan macam-macam pati yang dikonsumsi secara bertahap.

6. Menggunakan bahan makanan yang tinggi kalsium, seperti susu non-fat, yogurt

dan ikan.

7. Makanan mengandung tinggi zat besi (Fe), seperti kacang-kacangan, hati, daging,

bayam atau sayuran hijau.

8. Membatasi penggunaan garam

9. Bahan makanan dari sumber zat gizi dan mudah dicerna

10. Hindari bahan makanan yang tinggi alkohol

11. Pilih makanan yang mudah dikunyah.

Syarat menu untuk lansia dengan berat badan yang kurang :

1. Jika lansia mengalami kekurangan berat badan, makanan yang diberikan adalah

yang mengandung tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)

2. Diet TKTP terdiri dari TKTP 1 dan TKTP 2

a. TKTP 1 2100 kalori, protein 85 gr (12-15% dari total kalori)

b. TKTP 2 2500 kalori, protein 100 g.

3. Bahan makanan yang baik diberikan adalah :

a. Sumber protein hewani : ayam, tekur, hati, susu, keju, ikan.

b. Sumber protein nabati : kacang-kacangan, tahu, tempe, dan oncom.

c. Bahan makanan yang perlu dihindari adalah makanan yang manis, dodol,

cake.

4. Cara pemberian makanan dengan berat badan rendah adalah makanan yang bisa

diberi makanan tambahan.

Contoh :

Komposisi 2100 kal, protein 85 gr, karbohidrat 325, dan lemak 40 gr

Pagi

Sarapan

1 gelas susu (2 sendok makan susu bubuk full cream) + gula

Roti isi telur

1 potong buah

Pukul 10.00

1 gelas sari buah

Kue sus

Siang

23

Page 25: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

10 sdm nasi (200 gr)

1 potong besar ikan/daging/ayam (100 gr)

1 mangkuk sayur (100 gr)

1 potong buah (100 gr)

Pukul 16.00

1 gelas bubur kacang hijau ( 50 gr kacang hijau + santan secukupnya)

Malam

10 sdm nasi (200 gr)

1 potong ikan/daging/ayam (75 gr)

Sayuran secukupnya

1 potong buah (100 gr)

Menjelang tidur

1 gelas susu (2 sdm full cream)

5. Syarat menu untuk lansia dengan kelebihan berat badan (kegemukan)

a. Jika berat badan lebih, konsumsi energi harus dikurangi sampai mencapai

berat badan normal.

b. Diet rendah kalori untuk lansia harus memnuhi syarat sbb :

1) Kalori dikurangi 500 sampai dengan 100 kalori dari kebutuhan normal.

2) Pengurangan kalori sebaiknya dilakukan dari pengurangan karbohidrat

dan lemak.

3) Protein diberikan dalam jumlah normal, dapat juga diatas kebutuhan

normal, yaitu 1-5 gr/kgBB

4) Serat dibutuhkan cukup tinggi

5) Vitamin dan mineral diberikan dalam jumlah seperti biasa

6) Diet rendah kalori terdiri atas :

Rendah kalori 1 (1200 kal)

Rendah kalori 2 (1500 kal)

Rendah kalori 3 (1700 kal)

Yang sering digunakan adalah diet rendah kalori 1500 atau

1700 kalori

Contoh menu :

Komposisi kurangi kalori sebesar 500 – 1000 kalori (misal 1700 kal). Dengan

protein 75 gr, lemak 45 gr, dan karbohidrat 249 gr

24

Page 26: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Pagi

Sarapan

4 sdm nasi (100 gr)

1 butir telur ( 75 gr)

1 mangkuk sayuran

Pukul 10.00

1 gelas susu ( 3 sdm susu bubuk) + 2 sdt gula

1 potong pepaya

Siang

6 sdm nasi (150 gr)

1 potong besar bandeng presto (75 gr)

1 mangkuk sayur lodeh encer (100 gr sayur + 23 gr daging sapi)

1 potong buah

Pukul 16.00

Pisang bakar ( 150 gr pisang + 2,5 gr margarin)

Malam

4 sdm nasi ( 100 gr)

1 potong ikan/daging/ayam (75 gr)

Sayur secukupnya (100 gr)

1 potong buah (100 gr)

F. Asuhan Keperawatan untuk Gangguan Pencernaan Pada Lanjut usia

A. Pengkajian

25

Page 27: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Pengkajian yang menyeluruh pada lansia yang dilakukan oleh perawat meliputi:

1. Mengidentifikasi status kesehatan (anamneses dan pemeriksaan fisik)

a. Identitas klien, berupa data demografi klien (nama, usia, jenis kelamin,

pekerjaan, tempat tinggal, agama, dll)

b. Riwayat Kesehatan dulu, terkait dengan kondisi kesehatan masa lalu penting

di kaji untuk membantu menempatkan masalah kesehatan saat ini, misal

obesitas, memiliki riwayat penyakit lain, penggunaan obat-obatan, perokok,

konsumsi alkohol, gizi buruk.

c. Keluhan utama saat ini, misal : disfagia, dispepsia, anoreksia, mual, vomitus,

sariawan, nyeri lambung, konstipasi, diare.

d. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk menilai kesehatnnya secara tepat. Seperti

biasa, pemeriksaan fisik mencakup inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.

Pemeriksaan fisik dibagi 2, yaitu :

1) Pemeriksaan fisik umum meliputi : status mental, kesadaran, kondisi

kulit, kondisi kelenjar getah bening, tanda-tanda vital.

2) Pemeriksaan fisik khusus meliputi semua sistem tubuh : respirasi,

kardiovaskuler, GI, muskuloskletal, neurologis, genitourinaria, dan

psikologis.

e. Pemeriksaan diagnostik dan labaratorium dibutuhkan untuk menegakan

diagnosa dan menentukan tindakan yang akan dibutuhkan

f. Penatalaksanaan

2. Status Gizi

Pada lansia perlu mewaspadai status gizi yang menurun, mengingat prevalensi

malnutrisi yang tinggi di kalangan mereka yang berasal dari multifaktor (faktor

fisik, sosial dan ekonomi), kemungkinan gangguan suasana hati mempengaruhi

selera makan, konsumsi alkohol juga dapat mempengaruhi nafsu makan). Status

gizi juga bisa menimbulkan masalah lain seperti obesitas yang dapat memicu

penyakit-penyakit degeneratif (hipertensi, diabetes mellitus, Gout, sirosis, batu

empedu)

3. Kapasitas fungsional, mengkaji kemampuan mandiri klien dalam melakukan

aktivitas harian mereka, seperti : makan, mandi, berpakaian/berdandan, ke toilet,

melakukan pekerjaan rumah tangga, mampu menggunakan transportasi dan

telpon, berpindah tempat.

26

Page 28: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

usia Degeneratif sistem cerna

lambungesofagusRongga mulut

4. Status psikososial, mengkaji status psikolsosial dilakukan melalui observasi,

wawancara, dan pemeriksaan status mental (menurut Folstein). Pengkajian status

psikososial meliputi pengkajian fungsi kognitif, psikomotor, pandangan dan

penalaran, serta kontak dengan realita (Black, 1990). Pengkajian status psikososial

dilakukan dengan Mini Mental State Examination (MMSE)

5. Masalah khusus yang dihadapi secara individual.

B. Diagnosa Keperawatan

Ada beberapa masalah yang sering muncul pada sistem pencernaan pada lansia, yaitu:

1. Perubahan asupan nutrisi ≤ kebutuhan tubuh berhubungan dengan kondisi rongga

mulut yang kurang nyaman untuk makan.

2. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan maldigestif/malabsorbsi,

diare.

3. Gangguan eliminasi fecal berhubungan dengan konstipasi

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan

5. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan malnutris

6. Resiko aspirasi berhubungan dengan refluks makanan karena melambatnya

gerakan menutup sfingter

BAGAN PROSES PENURUNAN FUNGSI PADA SISTEM PENCERNAAN

27

Page 29: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Gg nutrisi < kebutuhan tubuh

pe↓ prod HCL

Makanan tidak tercerna dg baik

pe↓ sensasi rasa di lidah

dry mouth/xerostomia, kuman mudah berkembang

Kemampuan mastikasi me↓

Rentan untuk terjadi infeksi

me↓kan selera makan

Kurang rasa nyaman saat makan

Sukar menelan /disfagia

Refluks makanan

Resiko aspirasi/tersedak

Perlambatan gerakan sfingter

Kemampuan mendorong makanan me↓

Cepat kenyang

me↓ rangsang lapar

Malas makan

Daya tampung makanan berkurang

pe↓ukuran lambung

malnutrisi

Resti terjadi infeksi

28

Page 30: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

usia

Atrofi sebagian besar sel

Usus halusHati pankreas kolon

Degeneratif pada sistem pencernaan

Pe↓ prod enzim tripsin, amilase, lipaseAtrofi mukosa , luas permukaan ber <, jumlah vili ber <, pe↓ sekresi laktase

Motilitas kolon me↓

pe↓ metabolisme karbo, lemak, dan protein

kelemahan

anemia

Intoleransi aktivitas

Penumpukan cadangan makanan

nausea

Pe ↓proses pembentukan SDM di retikuloendotelial sistem

pe↓ nafsu makan

BB berkurang

Kapasitas metabolisme zat gizi me↓

Resti defisit volume cairan

Maldigestif/malabsorbsi

Diare

Absorbsi air dan elektrolit me↑

pe↓ absorbsi zat makanan

Feces menjadi lebih keras

Konstipasi

Gg eliminasi fecal

LANJUTAN……!

C. Analisa Data dan Intervensi Keperawatan

Analisa Data Diagnosa Keperawatan Tujuan dan kriteria

hasil

Intervensi Keperawatan

29

Page 31: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Ds :

Os mengatakan

tidak nafsu makan

Os mengatakan

mulutnya pahit dan

kering

Os bilang tidak

bisa makan

makanan dengan

konsistensi keras.

Do :

Gigi os tampak

ompong dan

kurang bersih

Os tampak lambat

dalam mengunyah

makanan.

Lidah os tampak

putih dan sekitar

bibir os terlihat

kering

Os terlihat senang

dengan makanan

yang manis

Makanan yang

disajikan hanya

habis ¼ porsi

Data antropometri.

BB, TB.

Hasil lab : Hb,

Albumin

Perubahan asupan

Nutrisi ≤ kebutuhan

tubuh berhubungan

dengan kondisi rongga

mulut yang kurang

nyaman untuk makan.

Setelah dilakukan

perawatan selama 3 x

24 jam diharapkan

nutrisi terpenuhi,

dengan kriteria hasil :

1. Os mengatakan

mulutnya tidak

pahit dan

2. Sekitar mulut os

tampak

lembab/tidak

kering

3. Mulut os

tampak bersih

dari sisa

makanan

4. os mengatakan

selera makannya

meningkat

(makan habis 1

porsi)

5. hasil lab dalam

batas normal

(albumin : 3,5-5

g/dl, Hb pada :

L 13-18gr/dl

P 12 – 16 gr/dl

1. monitoring status gizi

klien

2. monitoring hasil lab

3. anjurkan klien untuk

menjaga kebersihan

mulut dengan sikat

gigi min. 2 x/hari

4. gunakan sikat gigi

yang lunak untuk

menghindari

terjadinya luka pada

mulut

5. anjurkan klien untuk

membatasi makan

makanan yang manis.

6. Anjurkan klien untuk

cukup minum untuk

mengatasi kekeringan

pada mulut

7. Berikan makanan

yang hangat dengan

menu yang bervariasi.

8. Berikan makanan

yang mudah dicerna

9. Berikan makan

dengan pola sedikit

tapi sering

10. Kolaborasi dengan

dokter gigi dalam

pemeliharaan

kesehatan gigi

30

Page 32: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Ds :

os mengatakan

malas minum

Do :

turgor kulit os

tampak kering/aus

Bibir os tampak

kering

Kelopak mata os

nampak cekung

Intake output os

Hasil lab : Ht

menurun

TTV

Resiko tinggi defisit

volume cairan

berhubungan dengan

malabsorbsi, diare.

Setelah dilakukan

perawatan selama 3 x

24 jam diharapkan

kebutuhan cairan

terpenuhi dengan

kriteria hasil :

1. Os mengatakan

hari ini banyak

minum

2. Kulit os tampak

agak lembab

3. Kelopak mata os

tampak lebih

segar

4. Balance cairan

5. Hasil lab : Ht

normal

L (45%-52%)

P (37%-48%)

6. TTV dalam

batas normal

1. Monitoring intake dan

output klien

2. Monitoring tanda-

tanda vital

3. Monitoring hasil lab :

Ht (hematokrit)

4. Anjurkan klien untuk

banyak minum (1500

– 2000 cc/hari)

5. Jaga kebersihan

makanan klien.

6. Batasi konsumsi susu

dengan konsistensi

kental.

7. Kolaborasi dengan

dokter untuk

pemberian obat

antipulgite.

Ds :

Os mengatakan

belum BAB selama

3 hari.

Os bilang sudah

minum obat

pencahar

Os mengatakan

suka kram ketika

berjongkok

Do :

Perut os tampak

kembung

Gangguan eliminasi

fecal berhubungan

dengan konstipasi

Setelah dilakukan

perawatan selama 3 x

24 jam diharapkan

konstipasi tidak terjadi,

dengan kriteria hasil :

1. Os mengatakan

sudah bisa BAB

2. Perut os tampak

tidak kembung

3. Tidak ada

distensi

abdomen

4. Os bisa BAB

1. Monitoring eliminasi

fecal (frekuensi,

konsistensi)

2. Anjurkan klien untuk

banyak minum.

3. Berikan klien

makanan yang

mengandung serat

tinggi, seperti buah

dan sayur.

4. Beritahukan kepada

klien untuk tidak

menggunakan obat-

31

Page 33: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

Distensi abdomen

Os tampak

mendapat bantuan

orang lain ketika

ingin BAB

Os tampak

kesulitan untuk

berjongkok

tanpa bantuan obatan pencahar

5. Anjurkan klien untuk

meningkatkan

aktivitas.

6. Anjurkan pada

keluarga untuk

menyediakan fasilitas

untuk kebutuhan

eliminasi yang

nyaman bagi klien :

toilet duduk

7. Jika eliminasi fecal

belum terjadi,

kolaborasikan dengan

dokter untuk tindakan

enema.

Ds :

Os mengatakan

sering merasa lelah

Os mengatakan

berkunang waktu

berdiri

Do :

Os tampak pucat

Os tampak lemah

dan lesu

Os tampak dibantu

dalam melakukan

aktivitas

Konjungtiva os

tampak anemis

Hasil lab : Hb <,

SDM

Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan

kelemahan

Setelah dilakukan

perawatan selama 3 x

24 jam diharapkan

kelemahan tidak terjadi

dengan kriteria hasil :

1. Os mengatakan

pusing

berkurang dan

sudah terasa

lebih segar

2. Os tampak lebih

segar

3. Os mampu

melakukan

aktivitas secara

mandiri

4. Konjungtiva os

1. Monitoring TTV

2. Monitoring hasil lab

3. Anjurkan klien

mengkonsumsi

makanan kaya zat besi

(Fe) seperti bayam

dan sayuran hijau.

4. Anjurkan klien untuk

cukup istirahat

5. Berikan klien

latihan/exercise

ringan.

6. Kolaborasi dengan

dokter untuk

pemberian suplemen

Fe.

32

Page 34: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

TTV ananemis

5. Hasil TTV

dalam batas

normal

6. Hasil lab dlm

batas normal.

Ds :

Os mengatakan

perut bagian kiri

terasa nyeri

Os mengatakan

sedang sariawan

Os mengatakan

tidak nafsu makan

Do :

Terjadi Pe↑ suhu

tubuh, Nd me↑

Ekspresi wajah

menahan nyeri

Skala nyeri

Hasil lab :

Hematokrit me↓

Limposit me↑

Leukosit ↑

Resiko tinggi terjadinya

infeksi berhubungan

dengan malnutrisi

Setelah dilakukan

perawatan selama 3 x

24 jam diharapkan

infeksi tidak terjadi

dengan kriteria hasil :

1. Os mengatakan

nyeri berkurang

2. Os mengatakan

sariawan sudah

sembuh.

3. Ekspresi wajah

os mulai tenang

4. Skala nyeri

berkurang

5. Hasil lab dalam

batas normal

Leukosit 4300-

10800/µl

Limp T 500-

2400/µl

6. Ttv dalam batas

normal.

1. Monitoring TTV klien

2 jam sekali

2. Monitoring hasil lab

yang menunjukan

indikasi adanya

infeksi (leukosit,

limposit)

3. Monitoring status gizi

klien.

4. Anjurkan klien

membatasi aktifitas

5. Ajarkan klien teknik

relaksasi untuk

mengurangi nyeri :

mendengarkan musik,

distraksi, imagery.

6. Jaga kebersihan mulut

klien

7. Berikan kompres

hangat di bagian yang

terasa nyeri

8. Kondisikan klien pada

suasana yang tenang

9. Kolaborasikan dengan

dokter untuk

pemberian analgetik

10. Kolaborasikan untuk

33

Page 35: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

pemberian antibiotik

Ds :

Os mengatakan

kesulitan menelan

Os bilang sering

merasa mual saat

makan

Do :

Os tampak ompong

Sekitar mulut os

tampak kering

Os terlihat

menggunakan air

untuk membantu

menelan makanan

Resiko aspirasi

berhubungan dengan

refluks makanan karena

melambatnya gerakan

menutup sfingter

Setelah dilakukan

perawatan 1 x 24 jam

diharapkan aspirasi

tidak terjadi dengan

kriteria hasil :

1. Os mengatakan

mual berkurang

saat makan.

2. Mulut os

tampak bersih

3. Os makan

dengan tenang

dan dalam posisi

yang benar

1. Monitoring kegiatan

makan klien

2. Bantu klien makan,

jika klien tidak

mampu makan

sendiri.

3. Anjurkan klien untuk

melakukan oral

hygiene.

4. Berikan posisi yang

nyaman saat makan :

duduk tegak.

5. Suapi pasien dengan

suapan yang tidak

penuh pada sendok.

6. Batasi asupan cairan

saat makan untuk

menghindari mual.

D. Implementasi dan Evaluasi

DX Implementasi Evaluasi

Perubahan asupan Nutrisi

≤ kebutuhan tubuh

berhubungan dengan

kondisi rongga mulut yang

kurang nyaman untuk

makan.

1. Memonitoring status

gizi klien

2. Memonitoring hasil lab

3. Menganjurkan klien

untuk menjaga

kebersihan mulut

dengan sikat gigi min. 2

x/hari

4. Menggunakan sikat gigi

yang lunak untuk

S :

Os mengatakan nafsu

makannya kembali

Os bilang lebih enak makan

karena mulutnya bersih

O :

Os sudah tampak menggosok

gigi sebelum makan.

Gigi dan mulut os tampak

bersih.

34

Page 36: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

menghindari terjadinya

luka pada mulut

5. Mengaanjurkan klien

untuk membatasi

makan makanan yang

manis.

6. Menganjurkan klien

untuk cukup minum

untuk mengatasi

kekeringan pada mulut

7. Memberikan makanan

yang hangat dengan

menu yang bervariasi.

8. Memberikan makanan

yang mudah dicerna

9. Memberikan makan

dengan pola sedikit tapi

sering

10. berkolaborasi dengan

dokter gigi dalam

pemeliharaan kesehatan

gigi

Os bisa mengahabiskan ½

porsi makanan tanpa rasa

mual.

Os tampak mengurangi

makanan yang manis.

A : masalah teratasi sebagian

P : Rencana dilanjutkan

Resiko tinggi defisit

volume cairan

berhubungan dengan

malabsorbsi, diare.

1. Memonitoring intake

dan output klien

2. Memonitoring tanda-

tanda vital

3. Memonitoring hasil

lab : Ht (hematokrit)

4. Menganjurkan klien

untuk banyak minum

(1500 – 2000 cc/hari)

5. Membatasi konsumsi

S :

Klien mengatakan sudah

minum cukup banyak hari ini

O :

Klien minum sebanyak 6

gelas ukuran 200 cc/gelas

A : masalah belum teratasi

35

Page 37: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

susu dengan konsistensi

kental.

6. Berkolaborasi dengan

dokter untuk pemberian

obat antipulgite.

P : rencana dilanjutkan

Gangguan eliminasi fecal

berhubungan dengan

konstipasi

1. Memonitoring

eliminasi fecal

(frekuensi, konsistensi)

2. Menganjurkan klien

untuk banyak minum.

3. Memberikan klien

makanan yang

mengandung serat

tinggi, seperti buah dan

sayur.

4. Memberitahukan

kepada klien untuk

tidak menggunakan

obat-obatan pencahar

5. Menganjurkan klien

untuk meningkatkan

aktivitas.

6. Menganjurkan pada

keluarga untuk

menyediakan fasilitas

untuk kebutuhan

eliminasi yang nyaman

bagi klien : toilet duduk

7. Jika eliminasi fecal

belum terjadi,

Berkolaborasikan

36

Page 38: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

dengan dokter untuk

tindakan enema.

Intoleransi aktivitas

berhubungan dengan

kelemahan

1. Memonitoring TTV

2. Memonitoring hasil lab

3. Menganjurkan klien

mengkonsumsi

makanan kaya zat besi

(Fe) seperti bayam dan

sayuran hijau.

4. Menganjurkan klien

untuk cukup istirahat

5. Memberikan klien

latihan/exercise ringan.

6. berkolaborasi dengan

dokter untuk pemberian

suplemen Fe.

Resiko tinggi terjadinya

infeksi berhubungan

dengan malnutrisi

1. Memonitoring TTV

klien 2 jam sekali

2. Memonitoring hasil lab

yang menunjukan

indikasi adanya infeksi

(leukosit, limposit)

3. Memonitoring status

gizi klien.

4. Menganjurkan klien

membatasi aktifitas

5. Mengajarkan klien

teknik relaksasi untuk

mengurangi nyeri :

mendengarkan musik,

distraksi, imagery.

6. Menjaga kebersihan

mulut klien

7. Memberikan kompres

37

Page 39: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

hangat di bagian yang

terasa nyeri

8. Mengkondisikan klien

pada suasana yang

tenang

9. Berkolaborasikan

dengan dokter untuk

pemberian analgetik

10. Berkolaborasikan untuk

pemberian antibiotik

Resiko aspirasi

berhubungan dengan

refluks makanan karena

melambatnya gerakan

menutup sfingter

1. Memonitoring kegiatan

makan klien

2. Membantu klien

makan, jika klien tidak

mampu makan sendiri.

3. Menganjurkan klien

untuk melakukan oral

hygiene.

4. Memberikan posisi

yang nyaman saat

makan : duduk tegak.

5. Menyuapi pasien

dengan suapan yang

tidak penuh pada

sendok.

6. Membatasi asupan

cairan saat makan

untuk menghindari

mual.

BAB III

PENUTUP

38

Page 40: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

A. KESIMPULAN

Keperawatan gerontik fokus pemberian asuhan keperawatan pada lansia

ditunjukan pada dua kelompok lansia, yaitu 1.) lansia yang sehat dan produktif, dan

2.) lansia yang memiliki kerentanan tubuh dengan ditandai kondisi fisik yang mulai

melemah, sakit-sakitan dan daya pikir menurun. Yang bertujuan untuk memenuhi

harapan-harapan yang diinginkan oleh lansia yaitu memiliki kualitas hidup yang lebih

baik dan produktif. Proses menua pada saluran cerna di karenakan penurunan fungsi

dari rongga mulut hingga penurunan Imunitas Gastro-intestinal pada usia lanjut.

Adapun beberapa gangguan yang terjadi akibat proses penuaan pada saluran cerna

antara lain, Gangguan motilitas, hernia hiatus, penyakit pada gangguan lambung,

gastritis dan lain-lain. Dari beberapa gagguan tersebut di sinilah peran perawat

gerontik untuk memberikan asuhan keperawatan dari pengkajian intervensi hingga

evaluasi untuk mempertahan kan kondisi fisik lansia dan memiliki kualitas hidup yang

lebih baik dan produktif.

DAFTAR PUSTAKA

39

Page 41: Askep Lansia Pencernaan Farida Fix

1. Tamher, S. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan.

Jakarta : Salemba Medika

2. Boedi-Darmojo,R & Martono Hadi, H. 2007. GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut). Jakarta : FK Universitas Indonesia

3. Library of Congress Cataloging. 1998. HANDBOOK OF GERIATRIC NURSING

CARE. Pensylvania : Springhouse.

4. Nugroho. Wahyudin,H. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik. Edisi 3. Jakarta :

EGC.

40