arifin, lilianny sigit. belajar dari kearifan budaya lokal. key note

13
Seminar Nasional Lingkungan Hidup Belajar Dari Kearifan Nilai Lokal / Budaya Untuk Mengatasi Dampak Perubahan Iklim *) Lilianny Sigit Arifin Bidang Studi Permukiman dan Perkotaan. Jurusan Arsitektur, FTSP - Universitas Kristen Petra, Surabaya Email : [email protected] Pengantar Jaman telah membuktikan bahwa kebudayaan adalah rangkaian pencapaian nilai-nilai oleh umat manusia untuk menjaga keberlangsungan hidup yang penuh dengan makna. Oleh sebab itu mengapa setiap budaya mempunyai simbol-simbol yang bukan sekedar untuk dikagumi tetapi untuk dipelajari, apakah makna dibalik setiap simbol simbol yang hadir dalam karya- karya mereka, baik yang bersifat ‘tangible’ seperti arsitektur, kain hasil kerajinan, maupun yang ‘intangible’ seperti tarian, nyanyian, perayaan keagamaan, dsb. Namun, tanpa disadari setiap ada sebuah gejala baru, kita cenderung untuk bertolak pada contoh-contoh dari Barat (baca kebudayaan Eropa dan Amerika). Pertanyaannya, mengapa kita tidak bertolak dari kebudayaan Timur (baca Asia) atau bahkan dari kebudayaan Indonesia sendiri ? Paper ini berusaha untuk mengangkat kembali nilai-nilai kerifan lokal melalui karya- karya arsitektur tradisional, yang telah membuktikan nilai- nilai keberlanjutannya. Dengan masih ditemukannya bukti sejarah dalam bentuk artefak bangunan dan tulisan, maka hubungan antara manusia kini dan pendahulunya menjadi nyata, ada sebuah kesinambungan sejarah yang nyata. Pemahaman bahwa budaya adalah sebuah keberlanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya akan membawa manusia lebih arif dalam melihat dirinya, karena mampu menempatkan diri dalam konteks yang lebih luas dan meninggalkan prasangka bahwa tradisi itu kuno. Belajar dari permukiman tradisional bukan berarti meniru apa yang ada pada masa lampau, tetapi belajar bagaimana kita bersikap dalam membangun permukiman yang berkelanjutan. Sehingga sikap hidup yang kita pelajari dapat menjadi cermin *) Disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup , 16 Mei 2009 di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 1

Upload: tranlien

Post on 12-Jan-2017

261 views

Category:

Documents


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

Belajar Dari Kearifan Nilai Lokal / Budaya Untuk Mengatasi Dampak Perubahan Iklim*)

Lilianny Sigit ArifinBidang Studi Permukiman dan Perkotaan. Jurusan Arsitektur, FTSP - Universitas Kristen Petra, SurabayaEmail : [email protected]

Pengantar

Jaman telah membuktikan bahwa kebudayaan adalah rangkaian pencapaian nilai-nilai oleh umat manusia untuk menjaga keberlangsungan hidup yang penuh dengan makna. Oleh sebab itu mengapa setiap budaya mempunyai simbol-simbol yang bukan sekedar untuk dikagumi tetapi untuk dipelajari, apakah makna dibalik setiap simbol simbol yang hadir dalam karya- karya mereka, baik yang bersifat ‘tangible’ seperti arsitektur, kain hasil kerajinan, maupun yang ‘intangible’ seperti tarian, nyanyian, perayaan keagamaan, dsb.

Namun, tanpa disadari setiap ada sebuah gejala baru, kita cenderung untuk bertolak pada contoh-contoh dari Barat (baca kebudayaan Eropa dan Amerika). Pertanyaannya, mengapa kita tidak bertolak dari kebudayaan Timur (baca Asia) atau bahkan dari kebudayaan Indonesia sendiri ? Paper ini berusaha untuk mengangkat kembali nilai-nilai kerifan lokal melalui karya-karya arsitektur tradisional, yang telah membuktikan nilai-nilai keberlanjutannya.

Dengan masih ditemukannya bukti sejarah dalam bentuk artefak bangunan dan tulisan, maka hubungan antara manusia kini dan pendahulunya menjadi nyata, ada sebuah kesinambungan sejarah yang nyata. Pemahaman bahwa budaya adalah sebuah keberlanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya akan membawa manusia lebih arif dalam melihat dirinya, karena mampu menempatkan diri dalam konteks yang lebih luas dan meninggalkan prasangka bahwa tradisi itu kuno.

Belajar dari permukiman tradisional bukan berarti meniru apa yang ada pada masa lampau, tetapi belajar bagaimana kita bersikap dalam membangun permukiman yang berkelanjutan. Sehingga sikap hidup yang kita pelajari dapat menjadi cermin pada konteks saat ini untuk dikembangkan menjadi sumbangan ide untuk mengadapatasi perubahan iklim.

1. Mengapa Budaya Harus Dipertimbangkan Dalam Perubahan Iklim.

Sampai saat ini, perubahan iklim telah banyak dibicarakan dalam berbagai seminar dan konferensi, namun penekanannya lebih pada perspektif penghematan energi. Padahal manusia dan masyarakat, sebenarnya merupakan faktor utama dan menjadi subyek dari perubahan iklim itu sendiri. Ilmu- ilmu budaya dan sosial memainkan peran penting dalam menyikapi gejala perubahan iklim akhir akhir ini. Sudah saatnya kita menyadari bahwa ulah manusia yang konsumtif disebabkan oleh apa? Dan bagaimana kita harus berani keluar dari kemapanan sebuah gaya hidup untuk dapat melahirkan sebuah adaptasi terhadap dampak dampak dari perubahan iklim.

Saya mulai dari asumsi bahwa sebagai makhluk hidup individu dan sosial, kita mempunyai tanggungjawab terhadap lingkungan sekitar tempat kita hidup. Hal ini berhubungan dengan pola-pola budaya seperti nilai nilai spiritual, gaya hidup sehari-hari, teknologi yang kita pakai sehari-hari dan informasi yang kita gunakan. Sebagai makhluk hidup individu, kita mempunyai tanggungjawab pribadi/personal kepada Sang Pencipta memelihara bumi.

*) Disampaikan pada Seminar Nasional Lingkungan Hidup , 16 Mei 2009 di Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 1

Page 2: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

Sedangkan sebagai makhluk hidup sosial, kita mempunyai tanggungjawab bersama/komunal kepada sesama untuk melanjutkan kesinambungan sebuah tradisi. Sesama yang dimaksud, adalah dari generasi sebelumnya, generasi sekarang dan ke generasi berikutnya.

Sebagai sebuah generasi di abad informasi, sudah saatnya kita berhenti sejenak untuk melakukan sebuah refleksi. Refleksi pada budaya melalui artefak-artefaknya akan membantu kita memperoleh sebuah kerangka untuk menghadapi perubahan iklim. Refleksi ini harus berdasarkan pada skema interpretasi yang mampu mendorong manusia sebagai pengambil keputusan baik secara individu maupun sosial melakukan aksi untuk masa depan. Interpretasi yang bukan hanya berdasarkan pada kemajuan jaman, tetapi juga keluhuran nilai-nilai tradisional di masa lalu.

Dalam studinya, Thompson (2000) mengatakan bahwa pembangunan pada masyarakat industri mempunyai tolak ukur berhasil bila pertumbuhan ekonomi sebuah kota atau negara meningkat. Hal ini telah mendorong tumbuhnya kapitalisme, yang bukan saja mendorong kita pada sebuah bencana global, tetapi juga telah merampas pemahaman dan kedekatan kita dengan alam dan kehidupan sosial. Kemajuan industri yang membawa kita pada kehidupan serba “instan” seperti alat transportasi dengan kecepatan semakin tinggi, air minum dalam kemasan, makanan dan minuman suplemen yang bervitamin dan juga munculnya pendingin ruangan, telah membawa kita sebagai manusia dan lingkungan kita mengalami degradasi kepekaan terhadap alam. Hal ini terjadi karena teknologi industri telah memanjakan kita untuk tidak menggunakan tenaga kita. Hampir semua jenis makanan dapat diproduksi dalam kaleng, sehingga kontak kita dengan alam pun menjadi berkurang. Kita tidak lagi pernah menyentuh segarnya sebuah buah atau sayuran, tetapi yang kita sentuh adalah botol dan kalengnya.

Tanpa kita sadari, kita semakin jauh dengan alam sekitar, juga hubungan sosial kita dengan sesama. Tumbuhnya pembangunan di kota kota besar, seperti mall-mall raksasa, ternyata memacu munculnya jurang antara yang kaya dan yang miskin. Jurang ini bukan saja terjadi pada sebuah kota, tetapi muncul antar negara, hal ini dipacu oleh munculnya pasar global. Kebutuhan negara maju harus dilayani oleh negara berkembang, namun dikemas dalam bahasa politik ekonomi sehingga seolah olah kerja sama perindustrian antar negara merupakan hal yang positif. Tetapi kenyataannya, tanpa disadari kita telah mengelabuhi rakyat kita sendiri, dengan menjual hasil hutan dan hasil bumi kita untuk kepentingan ekspor. Sehingga sekarang kita sendiri yang merasakan dampaknya dengan permainan harga yang tidak riil. Ketika harga di pasar tidak riil, yang paling dirugikan adalah rakyat miskin.

2. Revolusi Industri vs Arsitektur Tradisional : Datangnya Budaya Mesin, Hilangnya Kearifan Lokal dan Kontak Dengan Alam.

Pada tahun 1712, Thomas Newcomen menemukan mesin uap. Penemuan ini merupakan awal dari terjadinya revolusi industri di Eropa. Gerakan industrialisasi ini berhasil menciptakan suatu sistem masyarakat yang mengagungkan mesin yang mampu menciptakan teknologi produk massal. Hal ini mempengaruhi beberapa arsitek yang mencetuskan era arsitektur modern seperti Mies van de Rohe, Le Corbusier, Walter Grophius, dan Louis Sullivan. Grophius berjaya dengan mendirikan sekolah BauHaus pada tahun 1919, di Wiemar, yang dianggap sebagai cikal bakal para arsitek-arsitek modern saat itu. Corbusier dikenal dengan slogannya 'machine for living', dengan karyanya sebuah perumahan di Perancis 'unite d'Habitation pada tahun 1947. Mies dikenal dengan keberaniannya mendesain rumah yang transparan dengan dinding kaca, dia selalu mengagungkan pengolahan disain dengan grid akan menghasilkan sebuah desain yang bersih. Mies dikenal dengan slogannya 'less is more', dan menjadi kepala sekolah BauHaus pada tahun 1929. Sedang Sullivan dikenal dengan konsepnya “Form Follow Function”. Sebagai bapak pembangunan kota Chicago, Sullivan berhasil menghadirkan citra kota vertikal, membawa kota Chicago hidup kembali setelah

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 2

Page 3: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

mengalami kebakaran besar pada tahun 1885, dengan mendirikan bangunan tinggi (8-12 lantai) dengan dominasi bahan baja dan kaca.

Kehadiran industri, secara perlahan menghasilkan sebuah budaya baru dan seolah-olah melihat yang lama (baca tradisional) menjadi usang. Sikap tidak mau ketinggalan jaman ini secara perlahan pula mendekatkan manusia dengan teknologi dan menjauhkan manusia dari alam. Tingkat kenyamanan manusia di metropolitan perlahan digiring oleh para penguasa kota untuk masuk dalam bangunan. Sistem kapitalis yang otoriter, seperti pembangunan mall dan perubahan peruntukan lahan demi pembangunan kota, menjauhkan manusia dari habitat ekosistemnya, bahwa manusia butuh udara, air, dan bau tanah (baca tanaman). Sehingga masyarakat modern lebih dimanjakan dengan pemakaian mobil turun dekat pintu masuk, dan langsung masuk ke bangunan/mall/kantor yang tertutup tapi memakai pendingin udara sehingga terasa nyaman, karena tidak panas. Tetapi apakah bangunan tersebut sehat?

Permasalahan pokok yang dialami warga kota adalah kehilangan kontak dengan alam. Bahkan, seringkali dalam seminar-seminar tentang kepedulian lingkungan, obyek diskusi kita terpaku pada kerusakan alam sebagai sebuah produk lingkungan di dekat kita. Namun sebenarnya kita lupa bahwa pembangunan untuk manusia, dan yang sering terjadi demi perbaikan lingkungan kita juga mengorbankan kelompok manusia yang menghuninya. Konteks sosial budaya yang selalu beralaskan geografis dan iklim tertentu menjadi kabur bahkan tidak disadari. Referensi literature tentang kemajuan pembanguna di negara Eropa dan Amerika, yang diperoleh dari buku dan dunia internet lebih menarik untuk ditiru. Mulai dari yang sederhana makanan, cara berpakaian sampai bentuk arsitektur.

Dalam era modern, desain dianggap suatu kegiatan yang terpisah dari proses produksi, dan desain merupakan bagian dari suatu produk yang bernilai ekonomis. Desain semakin jauh dengan dunia seni dan ekspresi diri, karena dampak sistem kerja mesin dan produksi massal. Hal ini berbeda dengan konsep desain tradisional, dimana desain adalah bagian dari sebuah seni yang mempunyai dimensi sosial, desain adalah olah seni yang mengekspresikan jati diri dalam bentuk ornamen-ornamen yang mempunyai makna budaya yang kuat.

Membangun pada masa lalu selalu terdorong oleh pemaknaan kegiatan dalam ruang yang dibatasi oleh unsur alam dan iklim, sehingga wujudnya bagaikan lahir, berkembang dan kemudian mengalami pemantapan untuk diteruskan ke generasi lain sehingga menjadi tradisi. Kini keadaan amat berbeda, membangun tak lagi terdorong oleh pemenuhan kebutuhan berkegiatan bagi pemilik. Membangun kini tak perlu menghasilkan bangunan yang dipakai sendiri atau kelompok, melainkan suatu pasokan bagi calon-calon pemakai sehingga dengan demikian makna yang dibangun tidaklah oleh pemakai, melainkan oleh penggagas untuk calon pemakainya.

Bangunan di kota-kota besar kini dapat dengan cepat dirubuhkan untuk suatu kepentingan yang berdasarkan nilai jual. Slogan yang amat menghimbau adalah, anda adalah: apa yang anda pakai, apa yang anda kendarai, apa yang anda makan,dimana anda tinggal, dimana anda bekerja, dan dimana anda belanja. Diri seseorang kini lebih ditentukan oleh iklan media massa dengan memasang selebriti yang memberi tahu anda, bagaimana anda pantas menjadi manusia. Kenyataan bukan lagi pengalaman nyata, tetapi suatu dunia maya yang dapat menanamkan citra ke dalam diri seseorang, termasuk bangunan. Sebuah masyarakat baru telah tumbuh di alam perkotaan di dunia dan kekuatannya amat dahsyat karena dikendalikan oleh kapitalisme yang rakus dan tak kenal nilai lain selain penambahan dan perputaran modal (kapital).

Menghadapi keadaan demikian tentu tidak membuat kita mengembalikan keadaan ke masa lalu, kecuali jika ada suatu bencana manusia atau alam yang membuat kita semua merenungkan makna membangun dan kembali ke hakekatnya melalui penyadaran terus-menerus. Ketakberdayaan kita menghadapi kenyataan telah dengan jelas tampil saat

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 3

Page 4: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

masyarakat kita digoncangkan oleh bencana tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 yang skalanya amat besar sehingga menggoncang dunia ini masih belum menemukan suatu penyelesaian yang tertata sampai saat ini.

Perguruan Tinggi sebagai masyarakat ilmiah perlu menggali kembali kekuatan lokal sebagai bekal bekerjasama dengan pihak developer yang dari segi teknologi jauh mengungguli kita. Membangun kota (bangunan) berarti membangun diri. Kota tempat kita melakukan kegiatan sehari-hari, selayaknya kita bangun sebagaimana diri sendiri. Pemahaman terhadap diri tak akan jelas jika kita tak berjarak dari diri. Dalam hal ini hanya melalui cermin kita mampu menelusuri darimana asal kita dan bagaimana kita harus berdandan untuk menunjukkan siapa diri kita. Untuk itu kita tak dapat melupakan sejarah. Sejarah cara mereka membangun akan mengasah kemampuan kita untuk menjadi lebih arif menyikapi masa lalu dan lebih kreatif melihat masa depan dengan memahami cara-cara membangun, mencari gagasan yang cemerlang untuk menjadi karya yang lebih gemilang.

Kalau kita menengok pada arsitektur tradisional, kekaguman kita sampai sekarang tidak pernah habisnya. Kepiawaian arsitektur tradisional menghadirkan ruang yang penuh makna dengan bentukannya yang jujur, selalu menarik untuk dipahami. Bentuk bangunan tradisional merefleksikan bagaimana caranya membangun yang dapat dipelajari secara visual oleh setiap orang. Arsitekur tradisional mampu menempatkan dirinya sebagai bagian dari kehidupan.

Sayangnya cara membangun, material dan norma-norma yang secara transparan muncul dalam sebuah karya, perlahan-lahan menjadi usang dan muncul dominasi industri bahan bangunan yang canggih dan dianggap mampu memunculkan bentuk arsitektur yang lebih atraktif. Keinginan menjadi ‘wah’ (menonjol) dengan menggunakan bahan yang serba modern menciptakan suatu bentukan homogen secara global, yang semakin jauh meninggalkan kontinuitas sebuah budaya

3. Belajar Dari Kearifan Lokal Permukiman di Kalimantan.

Dalam paper ini diambil sebuah studi kasus permukiman ”rumah panjang” di Kalimantan. Pertanyaaannya, adakah kearifan nilai nilai lokal yang dapat menjadi inspirasi kita dalam menyikapi issue perubahan iklim? Lebih lanjut apakah permukiman tradisional mempunyai sebuah potensi ajaran tentang pembangunan permukiman yang berkelanjutan? Dan apakah kita mampu mengadopsinya untuk mebuuthan di abad 21 ini ? mari kita renungkan bersama.

3.1 Kondisi Sosial

Keragaman kondisi geografis ruang hunian mulai dari pedalaman hutan rimba hingga ke dekat pantai, membentuk keanekaragaman karakter sosial dan budaya.Kepercayaan sebagian besar masyarakat Dayak adalah agro-religi (dengan filsafat dan religi yang bersumber pada kepercayaan Kaharingan bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah. Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan isteri).

Bagian hilir banyak menerima pengaruh luar, bagian tengah sebagian telah menerima pengaruh luar, bagian hilir-pedalaman lebih konservatif karena sulit dijangkau (berhutan lebat yang makin sukar dilalui ketika sungai berubah menjadi kering pada musim kemarau). Demikianlah wilayah pedalaman mendapat perlindungan alam, sedangkan wilayah yang mendekati pantai mendapat kesempatan lebih besar berhubungan dengan dunia luar.

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 4

Page 5: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

Leluhur mereka mewariskan kepekaan yang sangat tinggi terhadap alam hunian yang luas. Mereka membagi hutan dalam 4 kelompok pengelolaan, yaitu :

hutan rima = yang belum pernah ditebang jamih muntuk = yang belum pernah dijadikan ladang jamih mongit = hutan yang sudah pernah dijadikan ladang padang ilalang = daerah yang tidak boleh ditanam lagi

3.2 Kondisi EkonomiMata pencaharian masyarakatnya sebagian besar adalah bercocok tanam, berburu dan memancing. Setiap tahun mereka meninggalkan desanya dan hidup sebagai satu kesatuan kelompok di daerah perladangan selama 4 sampai 6 bulan hingga panen selesai. Begitulah cara pemanfaatan hutan dengan ladang berpindah (membuka sebagian sangat kecil hutan di lingkungan huniannya dan membakar hasil tebangan untuk mendapatkan abu sebagai pupuk. Jika kesuburan telah menurun, mereka berganti lahan untuk membiarkan yang lama mengalami proses pemulihan alami). Jika tidak berladang di hutan seperti itu, mereka bertanam padi di tanah paya (tanah becek, berlumpur).

Struktur utama bangunan rumah panjang berupa kayu yang keras menggunakan sistem tebuk-tembus dan pasak yang tidak memerlukan paku sehingga bisa dipakai berulang kali, elemen-elemen bangunan biasanya dibawa migrasi dengan kapal dan rakit.

3.3 Arsitektur Traditional Kalimantan – “rumah panjang”Ciri khas rumah tradisional Kalimantan : Selalu menggunakan sistem konstruksi “rumah panggung” dengan rata-rata ketinggian panggung antara 2-5 m. Tujuan penggunaan sistem konstruksi ini adalah untuk ventilasi alami, sebagai tempat menyimpan hasil panen, ternak, berburu dan kayu bakar, selain itu juga untuk menghindari banjir karena sebagian besar daerah Kalimantan merupakan daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi. Penggunaan atap pelana dengan sudut kemiringan yang curam.

Selalu terdapat serambi (teras / balkon) dengan tujuan menambah keprivasian bagi penghuni rumah.Entrance bangunan diletakkan pada kedua sisi bangunan dan selalu berhadapan, dengan tujuan untuk membuat lorong angin mengingat bentuk rumah ini panjang dan tebal sulit untuk terjadi cross ventlation dengan baik.Terdapat motif-motif mural dari suku Dayak pada dinding-dinding balai, di mana motif tersebut menggambarkan roh naga sebagai pembawa pesan dari Tuhan yang di atas.

Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya jaman , “rumah panjang” pun mengalami perkembangan bentuk menjadi 2 bagian yaitu rumah ibu yang merupakan tempat tinggal dan rumah dapur sebagai area servis (perapian untuk memasak).Diantara rumah ibu dan rumah dapur dipisahkan oleh sebuah open space. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko kebakaran pada rumah ibu (safety).

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 5

•Awa : Serambi / Tempat Berkumpul

• Amin : Kamar Tidur

• Sah : Sirkulasi jalan

• Avo : Dapur dan Ruang makan

Page 6: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

3.4. Desain dan Konsep Permukiman Keberlanjutan.

Konsep sustainable design yang digunakan pada perancangan rumah berdasarkan permukiman tradisional Kalimantan ini dikembangkan dari teori “environmentally symbiotic housing” oleh Kazuo Iwamura (2005) yang memperhatikan Low Impact, Health and Amenity, High Contact with Nature. Secara singkat pengertian ketiga parameter sebagai berikut,

- Low impact – global environmental protection (energy saving & more effective use of natural resources)Meliputi cara-cara bagaimana menyiasati dan mengurangi dampak yang sekecil-kecilnya terhadap bumi yaitu dengan memanfaatkan energi terbaharui yang disediakan oleh bumi (air, udara, matahari, angin, api). Contohnya dengan menghemat penggunaan energi listrik dengan memanfaatkan energi matahari dan menerapkan prinsip reduce-reuse-recycle (3R) dalam pengolahan material yang digunakan.

- Health & Amenity – a healthy residential, environment with amenities (be safe, feel safe)Erat hubungannya dengan sirkulasi udara yang sehat di dalam bangunan yaitu dengan menggunakan sistem cross ventilation. Selain itu juga memperhatikan penggunaan material bahan bangunan yang tidak berbahaya bagi kesehatan penghuni dan pekerja konstruksi bangunan. Penataan ruang-ruang yang baik sehingga penghuni dapat merasakan keamanan dan kenyamanan tinggal di dalamnya.

- High Contact – compatability and harmony with the local environmentMenyelaraskan bangunan dengan alam yang memungkinkan terjadinya ekosistem – rantai kehidupan di dalamnya, yaitu dengan cara menghadirkan biotop baik di luar maupun di dalam bangunan.

3.5. Analisa Permukiman “RUMAH PANJANG” berdasarkan teori keberlanjutan(a) Low impact – global environmental protection (energy saving & more effective use of natural resources)

Struktur rumah panggung dapat memberikan ventilasi yang baik sehingga membantu pendinginan di dalam rumah. Banyak bukaan untuk memasukkan ventilasi dan pencahayaan alami. Terdapat beberapa skylight pada atap yang berfungsi untuk memberikan penerangan alami.

Sistem konstruksi “rumah panjang” sama sekali tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan sistem tebuk-tembus dan pasak. Jadi konstruksi “rumah panjang” ini nantinya bisa digunakan kembali untuk pemakaian yang berkelanjutan.

(b) Health & amenity - a healthy residential, environment with amenities ( be safe , feel safe)

Balai dan ruang terbuka yang terdapat pada tiap rumah panjang memberikan area yang lebih besar dan aman sebagai tempat bermain anak-anak. Hal ini bertujuan agar anak-anak tetap dalam pengawasan keluarganya.

Kebersamaan antar keluarga dalam masyarakat Dayak yang tinggal di rumah panjang memberikan rasa aman pada tiap-tiap keluarga yang tinggal di rumah tersebut , dengan tujuan untuk saling menjaga.

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 6

Page 7: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

Konstruksi rumah panggung setinggi 2 - 4m bertujuan untuk menghindari bahaya banjir , sesuai dengan kondisi geografi Kalimantan. Di tiap-tiap entrance terdapat patung dewa penjaga yang sesuai dengan kepercayaan penduduk setempat.

Antara rumah ibu (rumah tinggal) dan rumah dapur (area servis) letaknya dipisahkan oleh sebuah open space. Hal ini bertujuan untuk mengurangi resiko kebakaran di rumah ibu.

(c ) Harmony and contact with the local environment

Sistem konstruksi yang digunakan pada rumah panjang selalu menggunakan konstruksi rumah panggung. Hal ini untuk menghormati dan memperlakukan alam dengan hormat (tidak melakukan cut & fill) Material konstruksi yang digunakan hampir semua berasal dari alam (hutan setempat) dan selalu merupakan material alam yang cepat diperbaharui (rapid growth), seperti :

1. Kayu yang berasal dari pohon setempat (Kalimantan) yaitu kayu Galam, kayu kapur naga, kayu ulin, dsb.

2. Bambu3. Pelepah daun pisang sebagai material penutup atap

Setiap rumah panjang (kelabit) selalu terdapat taman yang diolah / ditata dengan baik. Hal ini merupakan salah satu cara masyarakat Dayak untuk hidup harmonis berdampingan dengan alam yang ada di sekitar merekaMasyarakat Dayak yang sebagian besar bekerja bercocok tanam biasanya memiliki ladang sendiri di bagian belakang perkampungannya. Dimana ladang tersebut dicapai dengan berperahu.

3.5. Aplikasi Desain Berdasarkan Kearifan Lokal Rumah Panjang

Salah satu contoh penanaman kesadaran akan nilai-nilai lokal dapat melalui sebuah tugas yang memberikan apresiasi dan kritik terhadap permukiman tradisional. Kemudian hasil apreasiasi dan kritik dapat diterapkan dalam sebuah usulan desain yang kontekstual untuk menjawab issue perubahan iklim. Contohnya mata kuliah ‘sustainable housing’ yang mengajak mahasiswa untuk membedah terlebih dahulu sebuah permukiman tradisional, memahami nilai-nilai kearifan lokal, kemudian dengan pemahaman yang ada, mahasiswa diminta untuk membuat sebuah desain permukiman masa kini yang berkelanjutan.

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 7

Rumah

“Ibu”

Rumah

“Dapur”

Open

Space

Page 8: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

4. Diskusi.Sumber sumber budaya dapat merupakan aspek aspek “tangible” maupun yang “intangible”. Budaya yang tangible bisa dipelajari dari bentuk bentuk permukiman , cara penataan rumah dan halamannya, termasuk di dalamnya tanaman, binatang yang telah didayagunakan menjadi jenis makanan maupun barang-barang untuk acara-acara perkawinan maupun perayaan keagamaan. Sedangkan Budaya yang intangible dapat dipelajari dari bentuk bentuk cerita rakyat, mitos mitos, lagu lagu, tarian. Bentuk Bentuk budaya ini tidaklah statis, tetapi mengalami perubahan secara perlahan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu itu adalah hal yang wajar bila kita mempelajari nilai nilai kearifan lokal kemudian kita kembangkan untuk membentuk sebuah budaya yang terbarui. Bentuk budaya akan selalu bisa dikembangkan dengan baik bila memperhatikan geografis lokasi yang dihadapi, sehingga mampu menciptakan sebuah pola baru yang peka terhadap lingkungan lokal (baca budaya dan iklim). Kita mampu menciptakan berjuta permukiman baru, tetapi ktia tidak mampu menciptakan tanah (baca bumi) yang kita pijak.

Sayangnya dengan kemajuan pendidikan arsitektur, dengan mengkotak-kotakan menjadi sebuah spesialisasi, menjadikan arsitek sekarang menjadi terkotak-kotak. Bukan saja keahliannya tetapi juga cara berpikirnya seringkali tidak utuh atau tidak tanggap terhadap masalah kota. Shin (2003) memberikan kritiknya bahwa sekarang arsitek terjebak dalam (1) spesialisasi yang terpisah-pisah; (2) ketergantungan dengan ide-ide duplikasi/import; (3) keasingan terhadap problem sosial-budaya sebagai realita hidup. Kita membutuhkan suatu pembaharuan dalam pengkotakan disiplin yang menjurus pada pola pikir yang utuh atau berkesinambungan, sehingga tidak semakin merusak wajah kota.

Kalau dunia arsitektur mau berakar dari karakter geografis dan sosial budaya sendiri, tentunya para arsitek yang dilahirkan akan mempunyai suatu kepekaan terhadap nilai nilai lokal. Belajar dari permukiman tradisional bukan berarti meniru apa yang ada pada masa lampau, tetapi belajar bagaimana sikap hidup dalam membangun permukiman yang berkelanjutan. Sehingga sikap hidup yang kita pelajari dapat menjadi cermin pada konteks saat ini untuk dikembangkan menjadi sumbangan ide untuk mengadapatasi perubahan iklim.

Saya ingin menutup paper ini dengan mengutip tulisan Mangunwijaya , ”Manusia ber-satu alam dan ber-satu hukum dengan dunia semesta fisik di sekelilingnya, tetapi sekaligus mengatasi flora, fauna, dan alam materi belaka. Hakikat dan tugas budaya arsitektural pun di situlah. Bagaimana ber-satu hukum dengan alam semesta, sekaligus mengatasinya; artinya berbudaya, bermakna”. (1980:2)

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 8

Desain Oleh Christine S, Patricia G, Dimas P

Page 9: Arifin, Lilianny Sigit. Belajar Dari Kearifan Budaya Lokal. Key Note

Seminar Nasional Lingkungan Hidup

Bahan BacaanDawson, Barry, and John Gillow, 1994, The Traditional Architecture of Indonesia, Thames

and Hudson inc.Japan Architect Association, 2005, “Architecture for a Sustainable Future”, Institute for

Building Environment and Energy Conservation (IBEC), Tokyo.Mangunwijaya, 1980, Wastu Citra: Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi Sendi

Filsafatnya , Gramedia.Muramatsu, Shin, 2003, Let The mAAN-Flower Bloom Toward A Sustainable Revitalization

of Urban Heritage and Environment Assets, in proceesing 3rd internatioanl conference of Documenting Built Heritage: Revitalization Of Modern Architecture in Asia, modern Asian Architecture Network (mAAN), Petra Christian Unviersity, Surabaya.

Rapoport, Amos, 1986, Culture and Built Form – A Resiconderation, in D.G.Saile, Architecture in Cultural Change, University of Kansas, Lawrence.

Schefold, Reimar Gaudenz Domenig, and Peter Nas , 2006, Indonesian Houses, The Bornean longhouse in historical perpective, 1850-1990, hlm 285-331.

Suwondo,Bambang, 1978, Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Thompson, M, 2000, Global Networks and Local Cultures, in C Engel and K.H.Keller (ed.), Understanding the Impact of Global Networks on Local Sosial, Political and Cultural Values. Baden – Baden, Nomos.

Belajar Dari Kearifan Lokal-Lilianny S Arifin 9